Anda di halaman 1dari 21

PEMANFAATAN KOMPOS TRICHO-AZOLLA SEBAGAI BIOPESTISIDA

DAN BIOFERTILIZER PADA PEMBIBITAN KELAPA SAWIT

Fifi Puspita*, Fajar Restuhadi,** dan Besri Nasrul***


*dan*** Program Studi Agroteknologi, ** Program Studi THP Fakultas Pertanian UR

ABSTRACT
Biopesticide and biofertilizer is an attractive alternative to the strong dependence of
conventional agriculute on synthetic pesticides and inorganic fertilizer, which caused
enviromental pollution and development of resistance strains. Azolla can fuctionable as a
biofertilizer if combine with Trichoderma pseudokoningii as decomposer and biological
control agent, which is expected later can act effectively to promote growth and
sustainability of oil palm seedling againt Ganoderma boninese in Nursery.The aim this
research to assess potential and synergy and benefits as biofertilizer if combined with
Trichoderma pseudokoningii as decomposer, biopesticide, induce systemic resistance and
Plant growth promoting agent. The result of this research showed that higher doses of
Tricho-Azolla(50g/polybag) can suppressed the G. boninese until 86.92% so that can
occur induce systemic resistance. Oil palm seedling are infested with Tricho-Azolla at
dose 50 g/plybag to increase the growth oil palm in the nursery and which followed the
increase of root crown.

Keyword: Biopesticide, Biofertilizer, Tricho-Azolla, Trichoderma pseudokoningii.

Pendahuluan
Disadari bahwa penggunaan pupuk anorganik untuk keperluan pertanian
cenderung sudah berlebihan, sehingga kondisi tanah yang digunakan untuk bercocok
tanam tak bertambah subur, kecenderungan meningkatnya harga pestisida dan pupuk
anorganik juga membuat tekanan finansial yang semakin berat bagi para petani. Belum
lagi dampak ekologis akibat pemakaian kimiawi yang tak terkontrol, sebagaimana
dipaparkan di atas, mendorong pengembangan inovasi dan teknologi yang mengandalkan
kepada system pasokan nutrien berkesinambungan dengan memanfaatkan sumber-
sumber biologi (cyclic nutrient supply system through biological sources). Sistem ini
dipercaya memiliki keunggulan ditinjau dari aspek ekologi dan ekonomi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu teknologi baru untuk
menghasilkan sebuah prototype produk (yang kami sebut sebagai Tricho-Azolla) guna
menjawab permasalahan di atas, dengan memadukan dua organisme biologis yang
berperan sebagai biofertilizer dan biopesticide. Organisme yang diharapkan berfungsi
sebagai biofertilizer adalah Azolla, sementara Trichoderma pseudokoningii diharapkan
berfungsi sebagai biopesticide, sekaligus juga sebagai decomposer yang berperan sebagai
dekomposer azolla menjadi kompos organik (biofertilizer).

Azolla adalah sejenis pakis (fern) air tawar yang hidup di kolam, danau,
rawa dan sungai kecil baik di kondisi tropis maupun sub tropis. Azolla pinnata
mempunyai potensi sebagai bahan organic dan banyal terdapat pada persawahan
di Indonesia. Penggunaan Azolla pada Padi Azolla berasosiasi dengan ganggang
biru hijau algae anabaena dapat memfiksasi N dari udara ke dalam bentuk amonia
yang dapat diserap tanaman padi saat diinkorporasikan ke dalam tanah. Azolla
mengandung 2-5 % N, 3-6 % K (bahan kering). yang merupakan suatu
keunggulan dan menjadi andalan dalam penelitian ini untuk menjadikannya
sebagai sumber nitrogen biologis yang berasal dari jasad hayati alami yang
bersifat dapat diperbaharui (renewable). Azolla kering mengandung unsur
Nitrogen (N) 3 - 5 persen, Phosphor (P) 0,5 - 0,9 persen dan Kalium (K) 2 -
4,5 persen. Sedangkan hara mikronya berupa Calsium (Ca) 0,4 - 1 persen,
Magnesium (Mg) 0,5 - 0,6 persen, Ferum (Fe) 0,06 -0,26 persen dan Mangan
(Mn) 0,11 - 0,16 persen .

Selain itu, Trichoderma sp. berpotensi untuk digunakan sebagai agen


biokontrol penyakit terutama yang bersifat tular tanah dan bersifat aman bagi
lingkungan serta dapat meningkatkan ketahanan tanaman (induksi produksi
fitoaleksin atau peningkatan ketahanan tanaman) terhadap pathogen. Turner
(1981) menyatakan bahwa Trichoderma spp. bersifat antagonis terhadap
Ganoderma. Telah banyak dilaporkan keberhasilannya dalam menekan beberapa
penyakit tumbuhan, khususnya penyakit tular tanah. Hasil penelitian Puspita dkk.
(2007) menunjukkan bahwa perlakuan Tricho kompos pada dosis 30 g per
tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman sawi. Aplikasi 25 g
Trichoderma sp/kg gambut yang dikombinasikan dengan 30 kg dreg/kg gambut
berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit dapat menurunkan
intensitas penyakit bercak daun pada bibit kelapa sawit dan meningkatkan
pertumbuhan tanamam (Elfina, dkk. 2008

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap yaitu a).Uji zona bening, uji
aktivitas kitinase dan selulase,1,3 βglukanase, dan xylanase Trichoderma
pseudokoningii in vitro b). Uji beberapa dosis TrichoAzolla sebagai biopestisida
dan biofertilizer di pembibitan kelapa sawit.

Tahap Pertama

a. Uji Zona Bening


Uji zona bening beberapa isolat Trichoderma sp terhadap jamur
Ganoderma boninense dengan menggunakan metode. Penelitian ini dilakukan
secara eksperimen dengan menggunakan analisis varians yang terdiri dari 5
perlakuan dengan 4 ulangan. Tiap unit percobaan terdiri dari 2 cawan petri.
Perlakuan yang diuji adalah penggunaan beberapa isolat Trichoderma sp:

T0 = Tanpa isolat Trichoderma spp

T1 = Isolat T-ks (diisolasi dari rizosfir kelapa sawit)

T2 = Isolat T-ak (diisolasi dari rizosfir akasia)

T3 = Isolat T-ang (diisolasi dari rizosfir sawi)

T4 = Isolat T-k (diisolasi dari rizosfir karet)

Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan dianalisis secara statistik
dengan menggunakan analasis ragam dan dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan
pada taraf α = 5%.
Tahap Kedua

a. Analisis Nutrisi dan pH TrichoAzolla

Analisis ini dilakukan pada sampel kompos TrichoAzolla. Kompos yang akan
dianalisis terlebih dahulu diaduk merata. Analisis ini dilaksanakan pada akhir
pengomposan. Analisis nutrisi dan pH kompos ini dilakukan untuk mengetahui
kandungan unsur hara dan pH yang terdapat dalam tricho kompos. Prinsip dasarnya
adalah menumbuhkan azolla pada wadah atau lubang galian dangkal yang dialas
plastik yang berukuran 3 x2 x 1 m. Kolam diisi air setinggi 10 -15 cm. Azolla sebanyak
50 – 200 g ditambah SP-36 sebanyak 20 kg per hektar. Dan ditambahkan 1g/kg azolla
dicampur dan diupayakan kondisi air tetap setinggi 10 -15 cm. untuk memperkaya
nutrien genangan air tersebut. Keseluruhan unit ini dibiarkan terekspos matahari, dan
setelah berlangsung15 – 20 hari, permukaan genangan akan tertutup oleh spesies azolla
yang diinokulasikan. Setelah dipanen, alga siap untuk dicampur dengan Trichoderma
sp.

b.Uji Beberapa Dosis TrichoAzolla sebagai Biofertilizer dan Biopestisida pada


Pembibitan Kelapa Sawit

Pada tahap kedua digunakan isolat yang membentuk zona bening yang te rbesar
dan aktivitas kitinase, selulase dan 1,3 β glukanase. Penelitian ini dilakukan secara
eksperimen dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 4
perlakuan dan 4 ulangan. Tiap unit percobaan terdiri dari 5 bibit yang ditanam dalam
polybag. Perlakuan yang diuji adalah pengunaan beberapa dosis TrichoAzolla yaitu:

T0 = dosis 0 g TrichoAzolla/polybag

T1 = dosis 20 g TrichoAzolla/polybag

T2 = dosis 30 g TrichoAzolla/polybag

T3 = dosis 40 g TrichoAzolla/polybag

T4 = dosis 50 g TrichoAzolla/polybag
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini akan dianalisis secara statistik dengan
menggunakan analasis ragam dan dilanjutkan dengan uji lanjut DNMRT pada taraf 5%.

Hasil dan Pembahasan

1. Pengujian luas zona bening (mm)


Hasil analisis ragam uji beberapa isolat Trichoderma sp berpengaruh nyata terhadap
diameter zona bening (lampiran 1). Hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada
tabel 1

Tabel 1. Uji zona bening Trichoderma spp terhadap Ganoderma boninense (mm)

Isolat Trichoderma Luas zona bening

T0 = Ganoderma 0,71 a

T-ks = isolat dari rizosfer kelapa sawit 2,70 c

T-ak = isolat dari rizosfer akasia 2,27 ab

T-ang = isolat dari rizosfer sawi 1,86 b

T-k = isolat dari rizosfer karet 2,42 bc

Keterangan: Angka-angka diikuti huruf kecil yang berbeda adalah berbeda nyata pada uji
DNMRT taraf 5 %.

Pada tabel 1 dan gambar 1 menunjukkan bahwa empat isolat yang diuji mempunyai
kemampuan yang berbeda di dalam menghambat perkembangan jamur Ganoderma boninense.
Perbedaan ini disebabkan karena keempat isolat berasal dari rizosfer yang berbeda sehingga
luasnya zona bening juga berbeda. Isolat dari rizosfer kelapa sawit mempunyai luas zona bening
yang paling luas yaitu 2,70 mm Hal ini diduga karena T-ks merupakan isolat yang baru diisolasi
sehingga pertumbuhan koloni lebih cepat. Isolat T-ks mampu menggunakan substrat lebih cepat
yang berfungsi sebagai nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Trichoderma sp untuk
pertumbuhan dan perkembangannya membutuhkan selulosa sebagai sumber C dan energi yang
terdapat pada medium.(Martin, 1977).
Gambar 1. Diameter zona bening (mm)

Keterangan: T-ks = Trichoderma dari rizosfir kelapa sawit T-sa = Trichoderma dari rizosfir sawi
T-ak = Trichoderma dari rizosfir akasia dan T-k = Trichoderma dari rizosfir karet

2. Masa Inkubasi (hari)

Hasil pengamatan rata-rata masa inkubasi dengan pemberian beberapa dosis


TrichoAzolla setelah di analisis ragam menunjukkan berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut
DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-Rata Masa Inkubasi pada Pemberian Berbagai Dosis TrichoAzolla

Dosis Tricho-Azolla Rata-rata Masa Inkubasi

T0 = dosis 0 g TrichoAzolla/polybag 44,87 ± 1,616 a

T1 = dosis 20 g TrichoAzolla/polybag 51,13 ± 2,343 b

T2 = dosis 30 g TrichoAzolla/polybag 49.5 3 ± 0,382 b

T3 = dosis 40 g TrichoAzolla/polybag 56,47 ± 1,205 c

T4 = dosis 50 g TrichoAzolla/polybag 67,27 ± 8,046 d

Angka pada kolom yang didikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT
5%.

Hasil pengamatan rata-rata masa inkubasi dengan pemberian berbagai dosis Tricho-
Azolla (Tabel 2) menunjukkan bahwa pemberian dosis 20g/polibag berbeda tidak nyata dengan
dosis 30g/polybag Tricho-Azolla dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Berbeda tidak
nyatanya aplikasi tanpa pemberian Tricho-Azolla dengan dosis 20g/polybag dengan perlakuan
lainnya diduga karena jumlah propagul yang sedikit pada dosis tersebut sehingga agen antagonis
belum mampu menekan jumlah propagul G. boninense. Pemberian TrichoAzolla pada dosis 50
g/polibag terlihat berbeda nyata dengan semua perlakuan yang diuji dan merupakan muncul
gejala serangan pertama lebih lama dibandingkan dengan dosis 0 g/polibag , 20g/polybag dan
30g/polybag. Hal ini diduga karena pemberian dosis Tricho-Azolla yang tinggi akan
menyebabkan jumlah propagul T. pseudokoningii pada medium semakin banyak sehingga T.
pseudokoningii dapat mengkolonisasi perakaran bibit kelapa sawit dan mampu menekan jamur
G. boniense. Tingginya jumlah propagul Trichoderma pseudokoningii menyebabkan
terhambatnya jamur G.boninese melalui mekanisme kompetisi ruang, mikoparasit dan antibiosis
sehingga Ganoderma terhambat pertumbuhannya dan memperlambat masa inkubasi. Hasil ini
menunjukkan bahwa peningkatan pemberian dosis Tricho-Azolla dapat memperlambat masa
inkubasi. Hal ini diperkuat oleh pendapat Cook and Baker (1983 ) cit Murni (1995 ) bahwa salah
satu faktor yang menentukan keberhasilan penggunaan jamur antagonis dalam pengendalian
biologis adalah banyaknya propagul yang terdapat dalam tanah serta agens antagonis saprofit
mempunyai kelebihan dari parasit yaitu tidak merugikan tanaman, lebih dapat beradaptasi
dengan lingkungan dan juga dapat menggunakan nutrisi dengan variasi yang beragam sehingga
akhirnya mampu melindungi akar bibit kelapa sawit. Tricho-Azolla mampu menghasilkan
enzim endokitinase yang dapat menghambat pertumbuhan jamur patogen (Clavijo & Cotes
(1998).

Pada perlakuan tanpa TrichoAzolla (0 g TrichoAzolla/polibag) mempercepat masa


inkubasi. Hal ini diduga tidak terdapatnya TrichoAzolla yang mengehambat pertumbuhan G.
boninese. Menurut Sastrahidayat (1992), pada tanah steril yang diinokulasikan dengan jamur
patogen maka jamur akan menyebar lebih cepat dengan serangan yang lebih hebat, ini
disebbakan karena tidak atau sedikitnya propagul yang terdapat di dalam tanah. karena tanah
telah disterilkan terlebih dahulu.
Intensitas serangan (%)

Hasil pengamatan rata-rata masa inkubasi dengan pemberian beberapa dosis


Tricho-Azolla setelah di analisis ragam menunjukkan berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut
DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3. Rata-Rata Intensitas Serangan pada Pemberian Berbagai Dosis TrichoAzolla

Dosis Tricho-Azolla Rata-rata Intensitas Serangan

T0 = dosis 0 g TrichoAzolla/polybag 51,32 ± 7,737 a

T1 = dosis 20 g TrichoAzolla/polybag 33,55 ± 2,363 b

T2 = dosis 30 g TrichoAzolla/polybag 22,97 ± 2,185 c

T3 = dosis 40 g TrichoAzolla/polybag 20,03 ± 2,729 cd

T4 = dosis 50 g TrichoAzolla/polybag 13,08 ± 0,721 d

Angka pada kolom yang didikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji
DNMRT 5%.

Pengamatan rata-rata intensitas serangan G. boninense pada pemberian berbagai


dosis Tricho-Azolla (Tabel 3 dan gambar 2) menunjukkan bahwa pemberian Tricho-Azolla
pada dosis 40 g /polybag dan 50 g/polybag mampu menurunkan intensitas serangan sebesar
79,97 % dan 86,92%. Dan berbeda nyata dengan 0g/polibag, 20 g/polibag dan 30
g/polibag. Penurunan intensitas serangan diduga berhubungan erat dengan masa inkubasi
sehingga terjadi penundaan gejala penyakit yang akan mempengaruhi perkembangan gejala
penyakit. Hal ini disebabkan semakin tinggi dosis Tricho-Azolla yang diberikan maka
terjadi peningkatan jumlah propagul T. pseudokoningii menyebabkan senyawa toksin dan
enzim yang dihasilkan lebih banyak sehingga mampu menurunkan intensitas serangan.
Gambar 2. Gejala serangan Ganoderma boninese pada akar bibit sawit

Sejalan dengan penelitian Melisa (2009) dan Gusmiati (2010) menyatakan bahwa
Trichoderma pseudokoningii mampu menghasilkan berbagai macam metabolik sekunder
yaitu toksin seperti antibiotik atau enzim kitinase yang dapat menghambat pertumbuhan G.
boninense. Kondisi yang abnormal pada hifa G. boninense yang disebabkan karena metabolik
sekunder. Kondisi tersebut menyebabkan hifa memiliki septa yang pendek, mengalami
pembengkakan badan hifa dan adanya percabangan, badan hifa yang transparan dan ada
kerusakan berupa bulatan-bulatan yang semakin lamamembesar serta ujung hifa yang
meruncing karena nekrosis akibat terjadinya kematian. Pengujian metabolit sekunder yang
berupa enzim kitinase, didapatkan hasilbahwa metabolit tersebut mengandung enzim kitinase
dan terbukti adanya aktivitas kitinase dengan terjadinya pengurangan kitin yang ada.Selanjutnya
Menurut Wilson & Gaouth (1995) bahwa beberapa jamur antagonis terutama Trichoderma dan
Gliocladium mampu menghidrolisis dinding sel jamur seperti β-1,3 glukanase. Diperkuat oleh
pendapat Weller & Thomashow (1993), enzim-enzim kitinase, β- glukanase, selulase dan
protease merupakan enzim yang paling sering berperan dalam pengendalian hayati.
Di samping itu peningkatan pemberian Tricho-Azolla dapat meningkatkan
ketersediaan unsur K yang berfungsi untuk meningkatkan ketahanan tanaman dari
serangan penyakit. Hasil analisis nutrisi TrichoAlgae diperoleh bahwa pada dosis Tricho-
Algae yang lebih tinggi kandungan unsur K meningkat yaitu 2.17 %
(Puspita et al.2010).

Hasil penelitian Puspita et al 2010 diperoleh pemberian TrichoAlgae pada dosis


40 g/polybag mampu menurunkan intensitas serangan G. boninese sebesar
75.74% pada pembibitan kelapa sawit.

3. Tinggi Bibit Kelapa Sawit


Hasil analisis ragam pemberian beberapa dosis TrichoAzolla berpengaruh nyata
terhadap tinggi bibit kelapa sawit. Uji lanjut DNMRT dilakukan pada taraf 5%.

Tabel 4. Rata-rata tinggi bibit kelapa sawit (cm) pada pemberian berbagai dosis
TrichoAzolla
Dosis Stater TrichoAlgae Tinggi Bibit (cm)
T0 = dosis 0 g TrichoAzolla/polybag 32,81 ± 0,631 a
T1 = dosis 20 g TrichoAzolla/polybag 35,92 ± 0,314 b
T2 = dosis 30 g TrichoAzolla/polybag 36,16 ± 0,185 b
T3 = dosis 40 g TrichoAzolla/polybag 38,92 ± 0,163 c
T4 = dosis 50 g TrichoAzolla/polybag 45,27 ± 0,113 d
Angka pada kolom yang didikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji
DNMRT 5%.
Pengamatan tinggi bibit kelapa sawit pada pemberian berbagai dosis TrichoAzolla
(Tabel 4 gambar 2) menunjukkkan bahwa pemberian TrichoAzolla dengan dosis yang
berbeda memberikan pengaruh yang berbeda terhadap tinggi bibit. Pada dosis 50 g
TrichoAzolla /polibag menunjukan tinggi bibit kelapa sawit yang paling tinggi (45,27)
dibandingkan dengan perlakukan lainnya. Hal ini diduga karena semakin tinggi dosis
TrichoAzolla yang diberikan dapat meningkatkan ketersediaan unsur N dan P yang
tersedia di dalam tanah guna menunjang ketersediaan hara sampai bibit dalam
menyelesaikan siklusnya. Hal ini didukung dengan kandungan nutrisi pada TrichoAzolla
dimana kandungan N total 2,68 % dan Ktotal sebesar 2.54 % Dwidjosapoetro (1985)
melaporkan bahwa tanaman akan tumbuh baik dan subur apabila unsur hara yang
dibutuhkan oleh tanaman tersedia dalam jumlah yang cukup dan dalam bentuk yang
sesuai untuk diserap tanaman. Pendapat ini dikuatkan oleh Chang et al (1986) bahwa
pemberian kompos Trichoderma secara soil treatment ke dalam tanah dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman sayuran, mempercepat perkecambahan dan
pembungaan, meningkatkan tinggi tanaman.

Gambar 3. Tinggi bibit kelapa sawit dengan pemberian Tricho-Azolla

4. Jumlah Daun (helai)


Hasil analisis ragam pemberian beberapa dosis TrichoAzolla berpengaruh nyata
terhadap parameter jumlah daun. Hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat
pada tabel 5
Tabel 5. Rata-rata Jumlah Daun(helai) pada pemberian berbagai dosis TrichoAzolla
Dosis TrichoAlgae Rata-rata Jumlah Daun
T0 = dosis 0 g TrichoAzolla/polybag 7,40 ± 0.529 a
T1 = dosis 20 g TrichoAzolla/polybag 7,67 ± 0.115 a
T2 = dosis 30 g TrichoAzolla/polybag 8,40 ±0,200 b
T3 = dosis 40 g TrichoAzolla/polybag 8,40 ± 0,200 b
T4 = dosis 50 g TrichoAzolla/polybag 8,40 ± 0,200 b
Angka pada kolom yang didikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji
DNMRT 5%,

Tabel 5 menunjukkan bahwa TrichoAzolla. Pada dosis 0 g TrichoAzolla/polybag


berbeda tidak nyata dengan dosisi 20 g TrichoAzolla/polybag Hal ini disebabkan dosis
yang diberikan sedikit sehingga tidak cukup memenuhi kebutuhan tanaman akan unsure
hara. Namun semakin tinggi dosis yang diberikan menunjukkan.kecenderungan
peningkatan jumlah daun. Hal ini disebabkan karena pada dosis TrichoAzolla 50
g/polybag pertambahan tinggi tanaman yang tertinggi sehingga jumlah daun semakin
banyak. Rata-rata jumkah daun pada dosis 50g TrichoAzolla/polybag adalah 8,4 helai.
Hal ini sesuai dengan standar marihat bahwa jumlah daun 8,6 pada umur bibit 6 bulan
(Lubis, 2008). Pertumbuhan jumlah daun sangat erat kaitannya dengan tinggi tanaman,
dimana meningkatnya tinggi tanaman tanpa diikuti dengan meningkatnya jumlah ruas
dan buku menyebabkan tidak meningkatnya jumlah daun tanaman. Batang tersusun
dari ruas yang merentang diantara buku-buku batang tempat melekatnya daun. Jumlah
buku dan ruas sama dengan jumlah daun, ketiganya mempunyai asal-usul yang sama.
Gardner, dkk (1991), mengatakan bahwa batang tanaman tersusun dari ruas yang
merentang diantara buku - buku batang tempat melekatnya daun, dan jumlah buku
sama dengan jumlah daun. Hal ini sesuai dengan standar PPKS bahwa bibit berumur 8
bulan mempunyai 7 – 8 daun yang telah membuka sempurna, dan 2- 3 daun yang belum
membuka sempurna (Lubis,1992). Disamping itu Trichoderma sp mampu
mempercepat pertumbuhan tanaman dan meningkatkan hasil produksi tanaman
disebut berperan sebagai “plant growth enhancer”(Balai Pengkajian dan Penerapan
Teknologi 2008)
5. Ratio Tajuk Akar
Hasil pengamatan rasio tajuk akar bibit kelapa sawit dengan pemberian beberapa
dosis TrichoAzolla berpengaruh tidak nyata terhadap parameter ratio tajuk akar. Hasil uji
lanjut DNMRT pada taraf 5 % dapat dilihat pada tabel 6

Tabel 6. Rata-rata Jumlah Daun(helai) pada pemberian berbagai dosis TrichoAzolla


Dosis TrichoAlzolla Rata-rata rasio tajuk akar
T0 = dosis 0 g TrichoAzolla/polybag 2,43 ± 0,117 a
T1 = dosis 20 g TrichoAzolla/polybag 2,44 ± 0,115 a
T2 = dosis 30 g TrichoAzolla/polybag 3,03 ± 1,609 a
T3 = dosis 40 g TrichoAzolla/polybag 3,31 ± 0,244 a
T4 = dosis 50 g TrichoAzolla/polybag 3,36 ± 0,225 a
Angka pada kolom yang didikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut uji
DNMRT 5%,

Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semua perlakuan yang diuji berbeda tidak
nyata. Tetapi pada dosis 50 g/polibag menunjukkan rasio tajuk akar cenderung lebih
tinggi yaitu 3,36. Hal ini diduga dengan semakin tingginya dosis TrichoAzolla yang
diberikan maka unsure hara P yang tersedia dapat meningkatkan pertumbuhan bibit
sehingga mempengaruhi berat kering bibit.. Berat kering tanaman yang besar
menggambarkan kemampuan tanaman menghasilkan asimilat yang besar pula.
Trichoderma spp selain sebagai agen biokontrol yang efektif terhadap jamur tular tanah
(Baker and Cook, 1974), juga diketahui berperan sebagai Plant Growth Promoting
Regulator (PGPR) yang dapat memacu pertumbuhan tanaman (Chang et al., 1986;
Windham et al., 1986; Harman et al., 1989). Menurut Harjadi (1993) pertumbuhan
dinyatakan pertambahan ukuran yang menggambarkan pertambahan protoplas yang
dicirikan pertambahan tajuk akar.Nilai RTA menggambarkan seberapa besar hasil
fotosintesis yang terakumulasi pada bagian-bagian tanaman. Nilai RTA menunjukkan
pertumbuhan ideal suatu tanaman. Hal ini dapat dilihat kenampakan fisik bibit kelapa
sawit yang diaplikasikan dengan TrichoAzolla mampu meningkatkan kualitas dan
kuantitas perakaran bibit dibandinngkan tanpa diberi. Hasil penelitian ini juga didukung
oleh Sivan and Chet (1989), yang membuktikan bahwa Trichoderma juga mempunyai
kemampuan kompetensi rizosfer yang cukup kuat, secara sinergis mendukung
pertumbuhan tanaman. Puspita et al. 2010 menjelaskan bahwa pemberian TrichoAlgae
pada dosis 50 g/polibag rasio tajuk akar bibit sawit di per-nursery sebesar 2,29

Gambar 4. Perbandingan Akar bibit kelapa sawit dengan pemberian TrichoAzolla

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Trichoderma pseudokoningii mempunyai luas zona bening yang terluas yaitu 2,71
2. TrichoAzolla dosis 50 g/polybag dapat menurunkan intensitas serangan sebesar 86,92 %,
meningkatkan tinggi, jumlah daun, dan ratio tajuk akar
Saran
1. Untuk mendapatkan bibit kelapa sawit yang berkualitas dapat menggunakan dosis 50
g/polybag
2. TrichoAzolla sebaiknya juga diaplikasikan pada tanaman kelapa sawit di lapangan.

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan pada UNIVERSITAS RIAU melalui dana DIPA yang telah membiayai
penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abadi A. L. 1987. Biologi Ganoderma boninense pat. Pada kelapa sawit (Elaeis giunensis jacq)
dan Pengaruh Beberapa Mikroba Tanah Antagonik Terhadap Pertumbuhannya. Disertasi
Doctor. Fakultas Pasca Sarjanan. Institute Pertanian Bogor. Bogor. 147 pp
Agrios, G. N. 1997. Plant Pathology. Fourth Edition. Academic Press. New York.
Allard R. W. 1992. Principle Of Plant Breeding. Terjemahan Manna. Rineka Cipta. Jakarta.
Anonim, 2003. Sekilas Tentang Pengembangan Tanaman Berdaun Lebar Kerja Sama
Pemerintah Propinsi Riau dengan Pemerintah Singapura. Pekanbaru.
Anonim, 2005. Luas Tanam dan Produksi Sayuran Ekspor Kerjasama Pemerintah Propinsi Riau
dengan Pemerintah Singapura. Pekanbaru.
Anonim. 2009. Cultivation of algae for biofertilizer: Indian experience with algal ponds
Bioconversion of organic residues for rural communities. Diakses pada 2 Maret 2009 dari
http://www.unu.edu/unupress/unupbooks/80434e/ 80434E0f.htm.
Anonim. 2000. Fisiologi Tumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Raja Grafindo. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Riau. 2008. Riau Dalam Angka. BPS. Pekanbaru
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. 2000. Pengomposan Jerami Padi dengan
Trichoderma harzianum. Departemen Pertanian. BPTP Sukarami. Padang. Buletin No.
03/Tan/YZ-RAY-SN/PAATP-SB/ 2000.
Balai Penelitian Tanah (BPT). 2006. Petunjuk Teknis Analisa Kimia Tanah, Air, Tanaman, Air,
Pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 136 Hal.
Baker R and Cook R.J. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. Am. Rev. Phytopath.
Soc.mSt. Paul, MN, 433 pp
Bambang Cahyono, 2003. Teknik dan Strategi Budi Daya Sawi Hijau (Pat-Tsai). Yayasan
Pustaka Nusatama..
Barnet, H. L. and B. B. Huanter. 1972. Illustrated General of Imferfect Fungi. Burgess
Publishing company. San Fransisco.
Bintoro, H, M,. M, Sudarman. 1996. Pemanfaatan Limbah Sagu Dengan Kotoran Sapi Sebagai
Media Pembibitan Kelapa Sawit. Prosiding Nasional Sagu III. Pekanbaru.
Calistru, C., M. Mc Lean and P. Berjak. 1997. In Vitro Studies on the Potential fo Biological
Control of A. flavus and F. moniliforme by Trichoderma sp. Mycopathologia 137: 115-124
Chang Y.C, Chang Y-C and Baker R. 1986. Increased Growth of Plant in Presence of The
Biological Control Agent Trichoderma harzianum. Plant. Dis. 70. 145 -148
Dams, K. H., W .Gaus., and Y. H. Anderson. 1980. Compendium of Soil Fungi. Vol. I. Academic
Press. London.
Darmono, T.W. 1998. Ganoderma in Oil Palm Indonesia: Current Status and Prospective Use of
Antibodies for Detection of Infection. In. Herman, G.E. & C.P. Kubice. (Eds) Trichoderma
and Gliocladium Volume 1: Enzymes, biological control and commercial applications.
Taylor & francis Ltd. UK.
Darus, A., Semen, I.A. & azahari, M. 2001. Spread Of Ganoderma Boninense And Vegetative
Compatibility Studies of Single Field Palm Isolate. Proc. 2001 PIPOC international palm
oil congress. Malaysia Palm Oil Board. Malaysia.
Desmawati, Jasis, Zianita, Medirena, R. Raga, I. Daryono, U. H. Issusulaningtyas. 2000.
Pengenalan Agen Hayati Tanaman Hortikultura. Direktorat Jendral Produksi Hortikultura
dan Aneka Tanaman. Direktorat Perlindungan tanaman. Jakarta. 49 hal.
Dinas Tanaman Pangan Propinsi Riau, 2002. Situasi Tanaman Pangan Provinsi Daerah Tingkat
I Riau. Pekanbaru.
Dwidjoseputro, D. 1985. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta.
Elad, Y. I. Chet and J. Katan. 1980. Trichoderma harzianum: A Biocontrol Agent Effective
Against Sclerotium rolfsii and R. solani phytopathology 70:119-121
Elfina. Y. S dan Bactiar. A. 2001. Deteksi Senyawa Anti Mikroba Isolat Trichoderma sp.
Journal Pest Control Vol. I. No. I : 38 - 42.
Elfina Y. S. 2001. Studi Kemampuan Isolate Trichoderma spp. Yang Beredar di Sumatra Barat
untuk Pengendalian Jamur Pathogen Scleretium Rolfsii Saac. Pada Bibit Cabai. Tesis
Program Pasca Sarjana Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang. (tidak
dipublikasikan).
Elfina Y.S., Wardati dan Amalia, R.B. 2007. Aplikasi Trichoderma viride TNJ-63 dan dregs
Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Pada Medium Gambut di
Pembibitan Awal. Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan).
Gardner, F. P., R. B. Peearce, R. L, Mitchell, (1991). Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas
Indonesia. Jakarta.
Ghalib, D dan E. Kusumaningtyas. 2006. Penghambatan Pertumbuhan Fusarium moniliforme
oleh T. viridae. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner
Hakim, N. Y. Nyakpa. M. SE., Nugroho. M. C., M, R, Saul., M. A. DIHA., GO. B. Hong., H. H.
Bailey. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Harman G.E., Talylor A.Gm and Stazs T.E. 1989. Combining Effective Strains of Trichoderma
harzianum and Solid Matrix Priming to Improve Biological Seed Treatment. Plant. Dis.73;
631 - 637
Hartati, S. 1999. Analisis Aktivitas Amilase dan Lisozim Trichoderma spp LUPH, Trichoderma
spp TD12, Trichoderma spp UA5 dan Trichoderma spp UC4.
Hartinofajfi, 1996. Pengaruh Pemberian beberapa Jenis Bahan organik terhadap
Perkembangan Trichoderma harzianum untuk menentukan Serangan Sclerotium rolfsii
pada Tanaman Cabai. Tesis Sarjana Pertanian. UNAND. tidak Dipublikasikan.
Haryanto, E., T. Suhartini dan E. Rahayu., Hendro, S. 2003. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Hardar, Y. G. E. Harman and A. G. Taylor. 1984. Evaluation of Trichoderma koningii and
Trichoderma harzianum from New York Soil Biological Control of Seedrot Caused by
Phytium spp. Phytopatology. 70:1167-1172.
Hasnil, Z., F.Puspita dan Ardian. 2010. Aplikasi Beberapa Dosis Tricho Kompos untuk
Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Tanaman selada. Skripsi Fakultas Matematika
Dan Ilmu Pengetahuan Alam Unversiatas Riau, Pekanbaru. Tidak dipublikasikan
Howell, C.H. 2003. Mechanism Employed by Trichoderma sp. in Biologcal Control of Plant
Disease.Plant. Vol. 87; No. 1.
Horwitz, W. (Ed.). 2000. Official Methods of Analysis of AOAC International. 17th edition,
Volume I, Agricultural Chemicals, Contaminants, Drugs. AOAC International, Maryland
USA.
Ifriadi, R. 2005. Aplikasi Biokontrol Gliocladium sp TNJ73 dan Trichoderma harzianum TNC52
dalam Menanggulangi Penyakit Akar Putih Pada Bayam Merah (Amaranthus tricolor var
blitum rubrum). Skripsi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Unversiatas
Riau, Pekanbaru. (tidak dipublikasikan).
Jumin, H. B. 1992. Ekologi Tanaman. Rajawali Press. Jakarta.
Kamil, J. 1982. Teknologi Benih. Angkasa Raya. Bandung.
Lakitan, B. 1995. Dasar-Dasar Fisiologi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Lasmini. 2006. Aplikasi Beberapa Isolat Trichoderma spp. dari Pertanaman Sayuran dan
Pengaruhnya terhadap Fusarium oxysforum Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman
Sawi. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Riau, Pekanbaru. (tidak dipublikasikan).
Lewis J. A. and G. C. Papavizas. 1980. A New Approach to Stimulate Population Prolifertion of
Trichoderma species and Other Potential Biocontrol Fumgi Introduc intonatural Soil.
Phyopatology. 744: 1240-1244.
Lubis, A. U. 1992. Kelapa Sawit Di Indonesia. Pusat Penelitian Perkebunan Marihat Pematang
Siantar.
Mardhiansyah, M. 2003. Skripsi Penambahan Trichodema spp Untuk Meningkatkan Kualitas
Kompos Sampah Organik sebagai Media Semai Tusam (Pinus merkusii jungh, et de
vriese). Tidak dipublikasikan.
Melisa, Y. Nuralita., F. Puspita. 2010. Penentuan Aktivitas Kitinase dan Selulase Beberapa
Trichoderma spp Galur Lokal Riau. Skripsi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan
Alam Unversiatas Riau, Pekanbaru. Tidak dipublikasikan
Murbandono, L. 2005. Membuat Kompos. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Nyakpa M. Y., A. M Lubis, M. A. Pulungan, A. Munawar, G. B. Hong dan N. Hakim. 1988.
Kesuburan Tanah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.
Novizan. 2001. Petunjuk Penggunaan Pupuk Yang Efektif. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Nurbailis, 1992. Pengendalian Hayati Slcerotium rolfsii sacc. Penyebab Busuk Kacang Tanah
dengan Kompos dan Cendawan Antagonis. Tesis. IPB Bogor. Tidak Diduplikasikan.
Nugroho, S. Darwis, H. S. dan T. Liwang. 2001. Uji Antogonisme beberapa Isolat Trichoderma
spp Terhadap Ustulina zonata Pada Media PDA. Prosiding Seminar Ilmiah XVI dan
Kongres Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bogor. Hal 365-368.
Ozbay N., S.E. Newman. 2004. Effect of Trichoderma harzianum strains to Colonize Tomato
Roots and to Improve Tranplants Growth. Pakistan Journal of Biology Science.7 (2): 253 -
257.
Prawiranata, Hassan dan Tjondronegoro. 1981. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan II. Fakultas
Pertanian IPB. Bogor.
Pracaya, 2002. Bertanam Sayuran Organik di Kebun, Pot dan Polybag. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Puspita F., Armaini., dan Rumondang. 2007. Pemberian Beberapa dosis Tricho- Kompos
terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Sawi Hijau. Laporan Penelitian (tidak
dipublikasikan)
Puspita F., Elfina Y.S. dan Hidayat. 2007. Aplikasi Beberapa Dosis Trichoderma harzianum dan
Berbagai Jenis Pupuk Kandang Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Sawi.
Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan)
Puspita F., Elfina Y.S., dan Imelda R. 2007. Aplikasi Dregs dan Trichoderma sp Terhadap
Perkembangan Penyakit Kelapa Sawit dan pada Medium Gambut di Pembibitan Utama.
Laporan Penelitian (tidak dipublikasikan).
Puspita, F., Y. Elfina. 2009. Aplikasi Beberapa Dosis Trichoderma pseudokoningii Untuk
Mengendalikan Ganoderma boninense Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Batang Pada
Kelapa Sawit di Pembibitan Awal. Laporan Research Grant, I-MHERE Project.
Universitas Riau. Pekanbaru
Puspita, F., F. Restuhadi. 2010. Inovasi Formula Baru TrichoAlgae sebagai Biofertilizer dan
Biokontrol Alami dalam meningkatkan Pertumbuhan dan Ketahanan Bibit Kelapa Sawit
Terhadap Serangan Jamur Ganoderma boninese pada Pemebibitan Kelapa Sawit. Laporan
Research Grant. I-MHERE Project.
Putra, Sinly Evan. 2009. Alga Laut sebagai Biotarget Industri. http://www.chem-is-
try.org/?sect=fokus&ext=24. Diakses 2 Februari 2009.
Resmawati, Rumondang. 2007. Aplikasi Beberapa Dosis TrichoKompos Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Sawi. Skripsi di bawah Bimbingan Ir. Armaini, MP.
Dan Ir. Fifi Puspita, MP. Fakultas Pertanian. Universitas Riau. Pekanbaru.
Rifai, M. A. 1969. A Revision of The Genus Trichoderma. Myco. Papers 116.
Rismunandar. 1984. Tanah dan Seluk Beluknya Bagi Pertanian. Sinar Baru. Bandung. 107 hal.
Rukmana. 1999. Bertanam Petsai dan Sawi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Rifai, M. A. 1969. A Revision of the Genus Trichoderma. Mycol. Papers. 116 : 15p
Sastrosaryono, S. 2003. Budidaya Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka. Jakarta
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan Di Indonesia. Gajah Mada
Universyti Prees. Yogyakarta.
Sukamto dan M. Tombe. 1995. Antagonisme Trichoderma viride terhadap Fusarium oxysporum
f. Sp. Vanillae Secara in Vitro. Dalam prosiding seminar ilmiah XIII dan kongres nasional
perhimpunan fitopatoligi Indonesia. Mataram. Hal 600-604.
Susanto, P.S. Sudharto & R.Y. Purba 2005. Enhancing Biological Control of Basal Stem Rot
Disease (Ganoderma boninense) In Oil Palm Plantation. Indonesian Oil Palm Research
Institute.
Salisbury, F. B dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. ITB. Bandung.
Sarief. 1986. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung.
Schnung, E. 1990. Sulphur Nutrition and Quality Of Vegetable. Sulphur In Agr 14:3-6.
Siburian, J. 2006. Pengaruh Dosis Tricho Kompos Dengan Berbagai Bahan Dasar Terhadap
Pertumbuhan Dan Produksi Caisim (Brassica campestris var. Chinensis L). Skripsi
Mahasiswa. Universitas Riau. Pekanbaru.
Soedarmadji, S. B. Haryono dan Sihardi. 1997. Prosedur Analisis untuk Bahan Pangan dan
Pertanian. Liberty.Yogyakarta.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik Pemasyarakatan dan Pengembangannya.
Kanisis. Yogyakarta.
Sutejo, M. M,. 1988. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Sutarya, R., G. Gruben and H. Sutarno.1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran Rendah.
Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Titania J., Ali M., Ginting C., Wahyuningsi, Dahliawati A., Devi S., Sukmarisa Y. 2003. Isolasi
Dan Karakteristik Sebagian KitinaseTrichoderma viride TNJ53. Jurnal Natural Indonesia,
Volume 5 (2): 101-106.
Tombe, M dan P. Manohara. 1987. Uji Antagonistik 4 Isolat Trichoderma sp. Terhadap
Fusarium batatatis. Dalam Prosiding Seminar Ilmiah IX dan Kongres Nasional
Perhimpunan Fitopatoligi Indonesia. Surabaya. Hal 50-80.
Tombe. M. Retnowati. Mismar. R dan Purnowati. 1991. Pengaruh Pemberian Trichoderma
harzianum terhadap Pertumbuhan fusarium oxysporum Penyebab Penyakit Busuk Batang
Vanilla. Dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Bogor.
Tortora, Funke, Case. 2001. An Introduction Microbiology:. Addison Wesley Longman, Inc.
New York. 887 hlm
Turner P. D. 1981. Oil Palm Diseases And Disorders. Oxford University Press. Oxford.
Umarah dan Rosmini, 2004. Pembuatan Formula Trichoderma sp dalam Bentuk Tablet sebagai
Bio Pestisida dan Dekomposer dengan Menggunakan Dedak Gandum. Jurnal Agroland.
Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Tadaluko. Palu
Widyastuti S. M., Sumardi, Sulthoni A., Harjono. 1998. Pengendalian Hayati Penyakit Akar
Merah Pada Akasia dengan Trichoderma spp. Jurnal perlindungan tanaman Indonesia,
volume 4 (2): 65-72.
Widyastuti S. M., Sumardi dan Sumantoro P. 2001. Efektivitas Trichoderma spp. Sebagai
Pengendalian Hayati Terhadap Tiga Patogen Tular Tanah Pada Beberapa Jenis Tanaman
Kehutanan. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. Volume 7 (2): 98-107.
Widyastuti S.M, Sumardi, dan N. Estikasari. 2004. Perbaikan Kualitas Semai Tusam Pasca
Sapih Melalui Cara Aplikasi Trichoderma Formulasi, Pupuk Lambat Tersedia dan
Subtitusi Media Tumbuh. Jurnal Perlindungan Tanmaan Indonesia. Vol. 10, No.1: 23-32
Winarsih, S dan Syafrudin.2001. Pengaruh Pemberian T. viridae dan Sekam Padi Terhadap
Penyakit Rebah Kecambah di Persemaian Cabai. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia.
Vol. 3 No.1. Hal 49-55
Yanti F. dan A. Susanto. 2004. Cara Praktis Isolasi Tubuh Buah G. boninense pada Medium
Potato Dextrose Agar (PDA). www. google. Com. Diakses pada tanggal 10 September
2007.
.

Anda mungkin juga menyukai