Anda di halaman 1dari 5

MEMAKNAI PEROLEHAN DAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK SESAT

Oleh : Prof Dr Muhammad Yamin Lubis,SH,MS

(Dosen pada Hukum Agraria FH USU)

Salah Arti Membuat Salah Makna

Masih terjadi di masyarakat dicampur adukkan beberapa istilah yang bermakna berbeda dan dijadikan
satu pengertian yang nyata-nayata dapat salah menurut ketentuan hukumnya. Jangankan dalam
pengertian semantiknya atau juga gramatikalnya.istilah yang satu kata saja dapat dimaknai berbeda.
Maka arti dalam makna kata ini harus hati hati digunakan sehingga tidak menyesatkan orang banyak.
Dalam hukum, terminology (rechts term) itu sangat penting karena bisa menjadi makna yang lain atau
tidak tepat lagi. Apalagi dijadikan sumber rujukan kalimat hukum tentu harus sesuai dengan tafsiran
maknanya sebagaimana biasanya disebutkan dalam ketentuan umum yang terumus dalam pasal satu
setiap undang-undangnya. Maka dengan demikian istilah dalam satu kalimat sajapun masih bisa
mengandung arti yang dibuat berbeda. Dan istilah yang memang harus sama pula sering dibuat berbeda
keinginan maknanya jika tidak dibuat tafsirnya oelh pembuat kata itu ditempatkan dalam aturan. Jika
sebenarnya undang-undang tidak membuat makna kata, tentulah memang akan dapat seorang ahli yang
memberikan makna sesuai keahliannya, untuk diakui sebagai sumber kebenaran. Sayangnya saat ini
yang sering terjadi itu adalah manusia yang tidak diakui legalitasnya sebagai ahlipun selalu memberikan
pernyataan, dan dibenar-benarkan pula oleh yang sering menggunakan bahasa itu,sehingga akhirnya
dianggab sebagai yang benar pula. Apalagi karena dibuat dalam istilah yang disebut-sebut oleh
seseorang yang dotokohkan dan dikembangkan di masyarakat lalu dinyatakan pula menjadi benar oleh
hukum.Akhirnya makin jauh dari kebenarnnya dan makin runyamlah persoalannya itu. Sebagaimana
disebutkan di atas, persoalan makna bahasa ini harus betul dulu dipahami dan memiliki dasar hukum
penyebutan yang benar sehingga itulah sebaik-baik terminologinya. Dan tidak perlu dibuat-buat lagi
menjadi istilah atau panggilan yang menurut saya, menurut Bapak ini dan menurut masyarakat, tapi
haruslah menurut hukum agar terwujud kepastian hukumnya. Maka untuk menjelaskan apa yang
dimaknai dalam judul di atas perlulah diletakkan agar berbagai kegiatan masyarakat diatas tanah atau
pada hak atas tanahnya tidak keliru dan tepat menurut hukumnya.Sehingga kepastian hukum terwujud
di atasnya, dan orang tidak lagi sewenang-wenang menggunakan istilah itu untuk kepentingan pribadi
yang terkadang di luar hukum.

Perolehan dan Peralihan hak atas tanah merupakan dua kata yang memang berbeda makna,yang bukan
saja dilihat dari pemohon dan pemberi haknya. Namun sering ketika memperoses kegiatan itu selalu
pula disatukan, apalagi persyaratan administrative untuk melakukan perolehan dan peralihan tanah
yang diperlakukan dalam satu ruangan yang sama, pada hal dalam ketentuan syarat normatifnya sangat
berbeda sungguhpun di dalam satu ruang pengurusan yang satu tadi. Pekerjaan melakukan perolehan
dan peralihan yang berbeda ini mengharuskan adanya persyaratan yang memang berbeda tersebut
harus dilaksanakan dan memang out put nya sudah pasti akan beda. Dalam hukum agraria makna kata
perolehan itu tidak ditemukan pada pasal khusus. Namun diketahui bahwa perolehan itu dapat
diwujudkan jika seseorang melakukan permohonan hak pada Negara. dimana diawali dengan seseorang
ingin memperoses hak atas tanahnya sehingga terdaftar atas nama pemohonnya. Bagi Negara sebagai
yang melakukan proses ini mereka sebut dengan Pemberian Hak atas Tanah. Dan jika peralihan, itu
memang memiliki syarat tertentu pula yang berbeda dengan perolehan hak tadi. Dengan kata
peralihan ini seseorang pemilik tanah yang sudah pernah tercatat dalam buku tanah,jika dilakukan
peralihan atas miliknya oleh subjeknya akan didasarkan pada adanya dulu perbuatan hukum atas
peralihan hak yang sudah tercatat itu, yang nanti ditandai dengan dibuatnya akta PPAT. Barulah bisa
dilakukan peralihan administrasi haknya dan inilah yang kemudian dicatatkan itu dalam buku tanah lagi.
Sebagaimana kegiatan ini disebut juga balik nama atau oleh Kantor Pertanahan bisa disebut dengan
Pendaftaran karena Peralihan Hak. Ini dapat terjadi misalnya karena jual beli terjadi atas tanah hak
tersebut,bisa dialihkan karena pewarisan,inbereng, hibah dan tukar menukar tanah itu. Inilah yang
sering rancu tersebut sehingga menjadi perhatian dalam uraian ini agar legalitasnya diakui dan
mendapat kepastian di jalur hukum yang benar. Artinya tidak menimbulkan sertipikat asli tapi palsu atau
sertipikat yang ganda dalam satu objek tanah. Kedua termonologi di atas akan dijelaskan menurut
PMNA/KBPN no 9 tahun 1999. Sehingga setiap orang yang mau mengurus administrasi hak atas
tanahnya tidak menggunakan istilah yang salah lagi dan secara persyaratan seseorang yang melakukan
kegiatan tersebut membawa syarat yang tepat, sehingga perbuatan hukum atasnya dan administrasi
dari pembuatan hukum itu dapat menghasilkan output yang benar tadi. Artinya dapat dibedakan mana
perbuatan hukum atas milik tanahnya dan mana kegiatan administrasi atasnya baik yang pertama sekali
maupun yang berkelanjutan atasnya.

Perolehan Hak Atas tanah

Dalam pandangan hukum agraria, setiap tanah yang belum terdaftar diberi makna dengan tanah Negara
sungguhpun di atasnya sudah ada manusia yang mengerjakan tanah tersebut, membayar PBB dan serta
kewajiban lainnya. Tanah yang sudah diusahakan seseorang tersebut tadi sungguhpun sudah menjadi
miliknya namun sebelum didaftarkan menjadi hak milik atas tanah, belum disebut dengan Hak milik Atas
Tanah. (tetapi milik si pemilknya hanya hak keperdatan- yang kepemilikannya tumbuh/terjadi atau lahir
dapat secara originer dan atau derivative). Pemunyanya dalam menghaki itu masih disebut kepemilikan
yang mungkin ditumbuhkan nantinya haknya di atas tanah Negara atau tanah kosong sama sekali. Atau
sudah ada milik itu sebelum Negara ada yang diperoleh berdasarkan ketentuan hukum adat. Pada saat
seperti ini seseorang itu sudah jadi pemilik tanah, namun karena tanah yang sudah ada pemilik tersebut
belum pernah memohon ke Negara untuk diadministrasi oleh Negara sebagai hak seseorang maka
tanah tersebut masih disebut statusnya tanah negara. Tentu nama Haknya akan disebut HMN.yaitu
HMN tidak langsung, karena kepemilikan sudah tumbuh di atas tanah tersebut. Dengan kata lain, Jika
belum ada tumbuh kepemilikan tanah itu maka disebut tanah Negara dengan nama jenis haknya dalam
hukum agraria adalah HMN langsung. Ini terjadi sebenarnya karena pasal 2 UUPA memberi makna
setiap tanah di negara ini adalah dikuasai Negara atau di atas HMN sesuai dengan kewenangannya,
Negara bukan sebagai pemilik tanah. Dikenal dengan hak menguasai Negara langsung atau MHN tidak
langsung , yang berarti bisa belum ada hubungan hukum milik seseorang privat di atas tanah atau sudah
ada. Dengan seseorang melakukan hubungan kepemilikan namun belum didaftarkan miliknya pada
Negara atas tanah sebagai Hak milik atau tanah yang dikuasainya tersebut maka ini maknanya seseorang
tersebut belum mengokohkan milik atas tanahnya itu. Sebagaimana nantinya mengandung makna
kepemilikan yang bersifat kebendaan yang publisitas jika telah didaftarkan. Maka dalam hal demikian
miliknya telah ada namun belum diberikan status hukumnya karena harus didaftar dulu baru lahir status
hukum tersebut menjadi hak privat sebagaimana disebutkan dalam pasal 16 UUPA (dengan nama
HM,HGU,HGB,HP dan HS). Jadi pendaftaran inilah yang dimaknai sebagai perolehan hak dan dilakukan
seseorang dengan memohon hak tanah tersebut pada Negara. Karena Negaralah yang berwenang
memberikan status atas milik tanah seseorang dengan nama HM,HGU,HGB ,HP atau HPL bila subjeknya
Negara. Lalu Perolehan Hak itu oleh Negara disebut “pemberian Hak Atas Tanah” yakni setiap seseorang
memperoleh hak atas tanah dengan didaftarkannya milik tanah tersebut dengan membawa bukti ada
milik tanahnya yang dijadikan seseorang pemilik sebagai dasar penguasaan atas tanah tersebut. Bisa
berupa surat tertulis dan mungkin penguasaan fisik tanah dan ini harus dibuat surat kesaksian dari
kepala Desa di mana lokasi tanah berada. Sehingga diakui ada milik tanahnya. Kemudian dengan surat
surat inilah (alas Hak) inilah yang nantinya dimohon pemiliknya untuk didaftarkan ke Kantor
Pertanahan dengan membuat permohonan tertulis. Jika permohonan ini dikabulkan oleh Kantor
Pertanahan, maka saat pencatatan atau pengadministrasian inilah status tanah ini diberikan oleh
Negara menjadi Hak Milik, baik dengan nama Hak Milik, HGU, HGB, dan Hak Pakai. Sesuai dengan
peruntukan tanah itu dan sesuai dengan rencana tata ruangnya. Setelah didaftar oleh Negara
permohonan pemilik tanah itulah nantinya akan ditandai adanya pemberian sertipikat hak atas
tanahnya atau HPL. Sertipikat diberikan Negara kepada seseorang yang telah melakukan pencatatan
miliknya itu kepada Negara tadi dengan permohonan tadi. Maka saat pendaftaran adalah saat atau
moment ke dua, dengan disatuskan milik seseorang itu oleh Negara menjadi HM,HGB,HP,HGU karena
adanya pencatatan di buku tanah atau didaftarkan pada Kantor Pertanahan oleh Negara tadi diberikan
sertipikat sebagai tanda telah dilakukan pencatatannya. Penstatusan dan atau pendaftaran milik tanah
ini disebutlah tadi perolehan hak atas tanah atau dalam PMNA 9 tahun 1999 itu disebut Pemberian Hak
Atas Tanah,sebagaimana diutarakan sebelumnya. Dengan kata lain untuk bisa dicatatkan atau
didaftarkan tentulah seseorang harus “memiliki atau punya” tanah terlebih dahulu, dan dasar
penguasaan atas tanah harus dapat dibuktikan seseorang, bahwa itu tanah miliknya atau punyanya.
Dasar penguasaan milik tanah tadi masih disebut dengan alas hak. Dan dalam Hukum Agraria alas Hak
ini belum disebut sebagai bukti hak, karena bukti hak hanya ada jika tanah tersebut telah didaftarkan
dan diberikan status hukumnya tadi, sehingga keluarlah bukti haknya menjadi Sertipikat Hak Milik atas
tanah, HGB dan HGU serta HP tadi. Jadi sekalipun alas haknya itu surat yang dapat dijadikan sebagai
bukti di Pengadilan, namun posisi nya hanyalah bukti milik belum sebagai bukti Hak Milik. Karena seperti
disebutkan sebelumnya, untuk dijadikan bukti Hak milik tadi hanyalah sertipikat yakni jika seseorang
telah melakukan permohonan pendaftaran miliknya dan oleh Negara mencatatnya dalam buku tanah
dan sebagai tanda telah dicatatakan negara pada buku tanah diberikanlah olehnya sebagai tandanya
sertipikat hak kepada seseorang yang memohon Hak itu.( bisa berupa Sertipikat HM,HGB,HGU,HP dan
MH Atas satuan Rusun). Inilah kata pasal 19 UUPA dan PP 24 yang disebutkan dalam pasal 32 nya. Jadi
bagi pemohon disebut perolehan Hak dan oleh Negara sebagai pencatat hak itu disebut pemberian hak
atas tanah. Yang tata caranya sebagaimana disebutkan dalam PMNA 9 tahun 1999 tadi.yang meliputi
kegiatan Penetapan Pemerintah atas tanah Negara (belum pernah ada pencatatannya) dan juga
perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, termasuk juga perubahan haknya. Semua kegiatan
tersebut hanyalah kegiatan administrative atas milik seseorang. Dimana dengan adanya kegiatan
administrative ini akan mengokohkan milik seseorang tersebut menjadi milik terdaftar. Dan dengan
didaftarnya milik itu Negara pun akan memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukumnya serta
pihak ke tiga juga wajib menghormati keberadaan hak milik atas tanah tersebut dengan didaftarkannya
tadi. Jadi sertipikat tanah itu bukan memfungsikan dirinya seperti pemberian atas Surat Izin Mengemudi.
Yang jika seseorang tidak punya SIM tentu kewenangannya utuk mengemudi jelas tidak ada, jika pun
seseorang itu akan mengemudi akan disebut melanggar. Namun dalam sertipikat Hak atas Tanah ini
hanyalah pencatatan saja milik seseorang, artinya jikapun seseorang tidak melakukan pencatatan-
(tanahnya tidak atau belum bersertipikat)-tetaplah tanah tersebut miliknya. Namun kewenangannya
atas tanah miliknya itu tidak sepenuh atau seisi kewenangan milik yang sudah tercatat/terdaftar.
Contohnya seseorang pemilik itu tidak dapat menjadikan tanah itu sebagai objek jaminan Hutang
dengan Hak Tanggungan jika tanah miliknya itu belum bersetipikat HM atau Hak milik lainnya, karena
objek HT hanyalah tanah bersertipikat. Maka kewenangan seseorang pemilik itu hilang atau tidak dapat
digunakannya sebelum dia akan mendaftarkan miliknya tersebut. Maka disebut tidak sepenuh dari
tanah milik yang berstatus atau bersertipikat Hak Milik,HGB atau HP misalnya. Jadi perolehan Hak milik
ini atau pemberian sertipikat di atas milik seseorang ini sebenarnya bukan pemberian Hak Milik tetapi
hanya pemberian tanda bukti telah dilakukan pencatatan dan lalu diberikan sertipikatnya atas adanya
pencatatan tersebut.

Peralihan Hak

Pada pasal 37 PP 24 tahun1997 dan lebih dijelaskan lagi pada PP 37 tahun 1998 peralihan hak juga
harus dilakukan administrasi kembali atas tanah tersebut. Administrasi ini sangat perlu dipelihara oleh
kantor Pertanahan, karena tugas pencatatan ini juga sama pentingnya dengan pemberian hak baru tadi.
Pekerjaan ini disebut memelihara data pendaftaran. Maka begitu pentingnya lalu pasal 37 itu tegas
mengatakan Setiap peralihan atas tanah dan Hak milik atas satuan rumah susun melalui, jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya harus
didaftarkan. Dan untuk dapat didaftarkan harus seseorang itu membuat telah terjadi perbuatan
hukumnya dengan Akta PPAT. Kecuali yang tidak perlu dibuatkan akta PPAT-nya jika perolehan dan
peralihan tanah tersebut dipindahkan karena melalui Lelang atau diperoleh karena warisan cukup
dibuktikan dengan Surat keterangan waris saja. Pekerjaan pendaftaran atau pencatatan peralihan inilah
yang sering diistilahkan dengan pendaftaran Balik nama. Atau dalam ketentuan formalnya disebut juga
pendaftaran karena peralihan hak atas tanah. Peralihan ini juga disebut pemindahan subjeknya atau
mungkin juga pemindahan objeknya. Misalnya dari HGB yang peruntukannya untuk mendirikan
bangunan lalu dipindahkan jadi pembangunan rumah milik pribadi menjadi Hak Milik nantinya jika
memenuhi syarat tentunya.

Dengan demikian jika sudah dipahami apa makna kedua pengertian tersebut sebaiknya tidak lagi diarti
artikan tanpa sesuai kehendaknya. Sehingga setiap orang yang berurusan dengan tanah mulai dari
kegiatan memperoleh tanah dan apalagi melakukan peralihan tanah tidak salah lagi. Apalagi dalam
kedua tindakan tersebut dikenai pajak maka sekalipun dikenai pajak tidak dirasa sebagai beban karena
memang disayaratkan oleh Negara dalam dua tindakan itu hanya boleh dilaksanakan nanti pencatatanya
oleh pemilik kewenangan setelah dilakukan pembayaran pajak perolehan dan pajak peralihan tanah
tersebut. Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai