Anda di halaman 1dari 9

Nama: Yustinus Stevanus Yanubi

NIM: 1369320004
Kelas B
Mata Kuliah: Hak-Hak Keperdataan

Pendahuluan

Istilah hukum adat terdiri dari dua suku kata yaitu hukum dan adat. Istilah “hukum”

mengandung pengertian kalau dilanggar akan menimbulkan akibat-akibat hukum

atau sanksi. Hukum pada umumnya diartikan sebagai: aturan tingkah laku dan

perbuatan manusia yang bersifat memaksa dan memberikan sanksi yang tegas dan

nyata kepada barang siapa yang melanggarnya. Istilah “adat” berarti kebiasaan atau

adat istiadat, yang biasanya merupakan sikap hidup atau tingkah laku manusia yang

dilakukan secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer (teori keputusan),

mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang

menjelma didalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai

kewibawaan dan pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta

dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut.

Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil

berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga

menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.

1
Dalam perkembangannya, Van Vollenhoven merupakan orang pertama yang telah

menjadikan hukum adat sebagai ilmu pengetahuan. Sehingga hukum adat menjadi

sejajar dengan hukum dan ilmu hukum yang lain. Van Vollenhoven menyatakan

pengertian hukum adat dijelaskan sebagai aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi

orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai

sanksi (maka dikatakan hukum) dan dilain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan

adat).

Indonesia menjadi salah satu negara yang di dalamnya terdapat ragam budaya adat

istiadat, oleh karena itu negara mengakomodir seluruh hak dari masyarakat hukum

adat yang tertuang dalam konstitusi negara yaitu Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-

hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

undang-undang”.

Kesatuan masyarakat hukum adat yang ada dan diakui salah satunya adalah kesatuan

masyarakat hukum adat di Maluku. Maluku merupakan sebuah provinsi di timur

Indonesia yang dijuluki sebagai negeri raja-raja karena di dalamnya terdapat banyak

sekali kesatuan masyarakat hukum adat dimana pada setiap wilayah kekuasaan

dipimpin oleh seorang raja sebagi penguasanya. Hal itu dapat dilihat pada wilayah

2
Kota Ambon dan Pulau-Pulau Lease dimana wilayah pemerintahan adat itu disebut

sebagai “Negri”.

Pada setiap negeri terdapat wilayah hak petuanan dari masyarakat hukum adat atau

dikenal pula sebagai hak ulayat yang salah satunya meliputi tanah sebagai kesatuan

hak tersebut. Penguasaan hak ulayat khususnya ha katas tanah tersebut diatur dan

dikuasi baik secara komunal, dan biasanya dikuasai oleh para pemilik tanah atau

yang disebut dengan tuan tanah baik yang berada dalam suatu marga maupun

matarumah. Tidak dapat disangkal bahwa penguasaan hak atas tanah adat ini kerap

menimbulkan banyak sekali persoalan baik internal yaitu antara sesama masyarakat

di dalam wilayah itu maupun secara eksternal di luar dari masyarakat itu sendiri.

Berkaitan dengan materi transaksi yang berhubungan dengan tanah adat antara lain

transaksi bagi hasil, sewa, tanggungan, kombinasi bagi hasil, sewa dan gadai, serta

numpang atau magersari maka penulis akan memaparkan salah satu poin yaitu

transaksi atau hak numpang atau magersari yang juga dilakukan oleh masyarakat

hukum adat di wilayah Maluku. Contoh kasus ini merupakan kejadian real yang

diketahui oleh penulis sendiri, oleh karena itu menjaga kerahasiaan dari pada para

pihak maka penulis akan menyamarkan nama dari para pihak yang bersengketa.

Kronologis Kasus

Sebelumnya masuk pada pemaparan kronologis terdapat sedikit penjelasan

mengenai hak numpang yang dijelaskan dalam beberapat literatur dan penulis kutip

3
dimana disebutkan bahwa hak numpang merupakan kesempatan yang diberikan

kepada masyarakat yang belum memiliki rumah atau ladang dan/atau tanah

pertanian maka padanya diberikan kesempatan untuk tinggal dan mengelola tanah

yang belum ditempati dan atau dikelola oleh pemiliknya. Biasanya hak numpang

terjadi pada saat pemiliknya sedang tidak tinggal ditempat tersebut. Hak numpang

terjadi atas permintaan dari pemilik rumah (untuk ditinggali dan dijaga) dan/atau

pemilik kebun/lahan pertanian/perladangan untuk dijaga dan dikelola sampai pada

batas waktu perjanjian para pihak yang telah disepakati bersama. Pengelolaan tanah

dari hak numpang ini hanya berlaku untuk menanami tanaman-tanaman musiman

dan tidak diperbolehkan untuk menanam tanaman tahunan atau tanaman umur

panjang.

Dalam kasus yang terjadi di salah satu negri di Wilayah Jazirah Leihitu, (sebut saja)

keluarga Rahmat memiliki sebidang tanah yang cukup luas yang tidak dijaga dan

dikelola oleh mereka, tanah tersebut terbengalai cukup lama namun tergolong

sebagai tanah produktif. Tidak jauh dari tanah itu terdapat keluarga Parman yang

kemudian membangun komunikasi serta meminta kepada keluarga Rahmat agar

mereka dapat mengelola serta menjaga tanah tersebut. Keluarga Rahmat menyambut

baik inisiatif itu dan kemudian mengijinkan keluarga Parman untuk mengelola dan

menjaga tanah mereka dengan syarat bahwa mereka hanya diperbolehkan menanam

tanah umur pendek yang dapat dipanen sesuai periodenya dan dilarang menaman

tanaman umur panjang.

4
Kesepakatan tersebut kemudian dibuat dan disaksikan dihadapan perangkat negri

yakni Raja serta staf perangkatnya, yang menandai dimulainya Hak Numpang oleh

keluarga Parman atas tanah dari keluarga Rahmat. Pengelolaan pun terjadi dan

berselang beberapa tahun pemilik tanah tersebut yaitu keluarga Rahmat

berkeinginan untuk turun dan mengecek kondisi tanah mereka, akan tetapi ternyata

didapati perbuatan yang menyimpang dari pada apa yang diperjanjikan yaitu bahwa

keluarga Parman ternyata menanam tanaman umur panjang seperti Kelapa dan

Coklat. Hal tersebut menimbulkan kekecewaan sekaligus amarah dari keluarga

Rahmat sehingga mereka kemudian melaporkan hal tersebut pada Raja negri serta

staf negri itu, hal itu ditindaklanjuti dengan dipanggilkan keluarga Parman untuk

dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka lakukan. Dilakukan beberapa

kali panggilang akan tetapi keluarga Parman tidak kunjung datang memberikan

penjelasan serta terkesan menghindari panggilan tersebut.

Sebagai respon terhadap itu maka keluarga Rahmat kemudian memakai jalan pintas

dengan memusnahkan tanaman umur panjang tersebut yang kemudian ditanggapi

kembali oleh keluarga Parman dengan berujung pada dilaporkannya keluarga

Rahmat pada pihak kepolisian sehingga hal tersebut kemudian memasuki ranah

hukum.

Analisis Kasus/ Pembahasan

5
Bila mengacu pada kasus hak numpang tersebut maka dapat dilihat bahwa kasus

tersebut mengandung unsur pidana, akan tetapi juga mengandung unsur perdata.

Dalam hal ini penulis akan melihat dalam kerangka hukum perdata khususnya

berkaitan dengan aturan-aturan hukum positif yang tertuang dalam KUHPerdata

serta dalam perspektif hukum adat. Terhadap kasus ini penulis berpandangan bahwa

apa yang dilakukan oleh keluarga Rahmat bukanlah suatu pelanggaran hukum tetapi

semata-mata merupakan upaya mempertahankan ha katas tanah mereka yang

diberikan dalam waktu sementara pada keluarga Parman.

Penulis mempunyai tiga pendapat besar untuk mendukung hal tersebut; Pertama,

Pendapat penulis ini mengacu pada salah satu asas hukum perjanjian yaitu asas pacta

sunt servanda yang mempunyai makna bahwa perjanjian yang dibuat secara sah

mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang- undang. Asas ini telah

diaplikasikan pada proses pembuatan kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan

oleh keluarga Rahmat dan keluarga Parman dihadapan pejabat yang berwenang

yaitu Raja negri dan stafnya. Dalam konteks kedua keluarga tersebut sebagai bagian

dari kesatuan masyarakat hukum adat maka perjanjian tersebut tidaklah dibuat

dalam bentuk tertulis dan hanya secara lisan akan tetapi bila mengacu pada pendapat

Ter Haar bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat serta

didukung dengan pendapat Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa hukum adat

adalah aturan perilaku serta tidak dikodifikasikan maka perjanjian hak numpang

yang dibuat itu adalah sah dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.

6
Kedua, telah secara jelas ditemukan bahwa perbuatan keluarga Parman yang

menanam tanaman umur panjang dan melanggar perjanjian tergolong sebagai

perbuatan melawan hukum (PMH) yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yaitu:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk

menggantikan kerugian tersebut.” Unsur dari Pasal tersebut antara lain: adanya

perbuatan melawan hukum; adanya kesalahan; ada hubungan sebab akibat antara

kerugian dan perbuatan; dan adanya kerugian.

Unsur PMH sebagaimana disebutkan di atas jelas telah dilanggar oleh keluarga

Parman yaitu Pertama, unsur perbuatan melawan hukum tercermin dalam

ketidaktaatan atas perjanjian lisan yang dibuat dihadapat Raja negri yang didasarkan

atas itikad baik dari pemilik tanah yakni keluarga Rahmat. Kedua, unsur kesalahan

dimana keluarga Parman membuat kesalahan dengan menanam tanaman umur

panjang yang sebelumnya telah dilarang pada saat perjanjian dibuat dan tidak

memberitahukan atau melaporkan kepada pemilik tanah maupun pejabat terkait

yaitu Raja negri dan stafnya. Ketiga, unsur sebab akibat antara kerugian dan

perbuatan dalam hal ini penulis melihat bahwa unsur perbuatan dilakukan oleh

keluarga Parman dengan melanggar perjanjian sedangkan unsur kerugian dirasakan

oleh keluarga Rahmat sebagai pemilik tanah karena apabila tanah umur panjang

tersebut dibiarkan tumbuh maka secara otomatis tanah yang diberikan hak numpang

tersebut akan dikuasai secara permanen.

7
Oleh karena itu, tindakan keluarga Rahmat yang melakukan pemusnahan tanaman

umur panjang merupakan bukan sebab melainkan akibat dari sebab yang

ditimbulkan oleh keluarga Parman. Keempat, unsur kerugian dari sudut ini seperti

yang telah dijelaskan oleh penulis tadi kerugian yang ditimbulkan atau dapat

dirasakan oleh keluarga Rahmat bukan hanya pada waktu sekarang melainkan pada

waktu yang akan datang dimana pada saat tanaman umur panjang tersebut telah

memulai waktu produksinya maka secara otomatis lahan tersebut akan dikuasai

secara terus-menerus dan turun-temurun oleh kerluarga Parman sehingga besar

kemungkinan keluarga Rahmat akan kehilangan ha katas tanahnya.

Ketiga, seperti yang telah dijelaskan oleh penulis bahwa dasar dari diberikannya hak

numpang pada keluarga Parman oleh keluarga Rahmat adalah itikad baik yang

kemudian tertuang dalam perjanjian lisan dihadapan Raja negri dan stafnya. Itikad

baik merupakan asas yang juga melandasi dibuatnya suatu perjanjian, maka dapat

dilihat bahwa keluarga Parman tidak mempunyai itikad baik dalam melaksanakan isi

perjanjian sebagaimana telah dibuat.

Penutup

Berdasarkan penjelasan penulis dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian hak

numpang sebagai suatu bagian dari transaksi yang berhubungan dengan tanah adat

yang dilakukan oleh keluarga Rahmat dan keluarga Parman mencerminkan

kehidupan masyarakat hukum adat di wilayah Indonesia khususnya Maluku yang

8
pada hakekatnya merupakan upaya-upaya dalam mempererat hubungan-hubungan

kekerabatan dalam masyarakat hukum adat tersebut serta menjaga keutuhan dari

masyarakat hukum adat terlebih dalam hal menjaga hak petuanan atau hak ulayat

mereka. Akan cara-cara memperoleh, mengolah, menjalankan serta melaksanakan

suatu perjanjian dalam hal ini hak numpang haruslah dilaksanakan berdasarkan

ketentuan hukum yang berlaku baik dalam bentuk consensus dalam hukum adat

maupun sesuai dengan aturan hukum positif yang ada.

Anda mungkin juga menyukai