Anda di halaman 1dari 10

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA


STKIP PGRI SUMENEP
Jalan Trunojoyo, Desa Gedungan, Kecamatan Batuan, Kabupaten Sumenep, Kode Pos 69451
Telepon (0328) 664094 – 671732, Faksimile 664094, Website: www.stkippgrisumenep.ac.id

HARI / TANGGAL : Kamis, 25 Mei 2023


WAKTU : 07.00 – 08.40 WIB
MATA KULIAH : Hukum Adat
KELAS :A
SEMESTER / SKS : 4 (Empat) / 2 (Dua)
DOSEN PENGAMPU : Alfian Nur Salsabila, S.H., M.Kn.
P

BAHAN AJAR HUKUM ADAT IX

B. Transaksi Tanah

Filosofi adat tentang tanah, yaitu asas-asas pokok yang merupakan pandangan

hidup masyarakat Indonesia tentang tanah. Pandangan hidup itu bila didefinisikan

dapat menjadi dasar-dasar pokok pandangan hidup yang bersumber pada tradisi

dan kebiasaan yang masih dipatuhi masyarakat tentang yang patut dan adil

dalam hubungan pengguna serta pemilikan tanah. Dari rumusan ini tampak bahwa

hakikat dari pandangan hidup ini, yakni pada arti dan makna “hubungan” antara

manusia dengan tanahnya. Dalam hal ini hubungan merupakan sesuatu yang tetap

bahkan dipandang abadi, sedangkan pengguna, pemanfaatan, penguasa dan

pemilikan atas tanah merupakan hal yang berubah-ubah dan dapat dilembagakan

sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat.

Konsep adat didasarkan pada hubungan antara manusia dengan tanah yang

keduanya dipandang sama-sama berjiwa. Tanah meskipun bukan merupakan

makhluk hidup, namun ia berjiwa. Dalam suasana seperti ini, hubungan manusia

dengan tanah dipahamkan sama dengan hubungan pergaulan hidup dalam

masyarakat, di mana masyarakat tidak hanya terdiri dari kumpulan orang-orang

sebagai manusia saja, akan tetapi juga makhluk-makhluk gaib. Maka hubungan dan

pertalian di antara manusia dengan tanah diyakini sama dengan hubungan dan

pertalian antara diri pribadi yang setara dan sederajat.

Hubungan hukum (rechtsverhouding/rechtsbetrekking) merupakan

hubungan yang terjadi dalam masyarakat, baik antara subjek hukum dan subjek

hukum, maupun subjek dengan benda yang diatur oleh hukum dan menimbulkan

akibat hukum, yakni hak dan kewajiban. Hubungan antara tanah dan masyarakat yang

ada di atasnya, senantiasa terjalin dalam berbagai kepentingan. Sebagai sumber

1
kehidupan tanah dijadikan lahan produksi makanan maupun minuman. Sebagai tempat

berkumpul dengan sesama, tempat pemukiman dan sebagai tempat memperoleh

ketentraman batin, tanah dijadikan tempat beribadah. Terdapat 2 (dua) macam

transaksi tanah yang dikenal dalam hukum adat, yaitu:

1. Merupakan Perbuatan Hukum Sepihak

a. Pendirian Desa

Dalam hal ini dimaksudkan terdapat sekelompok orang yang mendiami

suatu tempat, membuat perkampungan di atas tanah itu, membuka tanah

pertanian, mengubur orang yang meninggal sehingga menjadi desa. Ada

hubungan religio magis desa dan tanah, tumbuh hak persekutuan, yaitu hak

ulayat.

b. Pembukaan Lahan oleh Warga Persekutuan

Misalnya, A membuka tanah di wilayah persekutuan, ia menggarap tanah

tersebut berarti ada hubungan religio magis antara tanah dengan A.

2. Merupakan Perbuatan Hukum Dua Pihak

Berbeda halnya dengan transaksi tanah yang merupakan perbuatan hukum

dua pihak. Di mana inti transaksi, yakni pengoperan/penyerahan dengan

disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga. Penyerahan

benda (sebagai prestasi), perbuatan “menyerahkan” itu dinyatakan dengan “jual”

(Indonesia), “Adol, sade” (Jawa). Transaksi jual ada tiga jenis, yaitu:

a. Transaksi Jual Gadai

Peristilahan jual gadai pada orang Minangkabau disebut “Manggadai”,

pada orang Jawa disebut “adol sende”, pada orang Sunda disebut “ngajual

akad” atau “gade”, pada orang Batak disebut “dondon” atau “sindor”. Istilah-

istilah dahulu oleh orang Belanda diterjemahkan dengan istilah “verkoopmet

beding van werder inkoop” (menjual dengan syarat untuk membeli kembali),

istilah ini muncul karena salah pengertian tentang istilah jual dalam kata jual

gadai menurut hukum adat. Perkataan jual menurut hukum adat berarti

menyerahkan (over dragen) jadi tidak identik dengan dengan perkataan verkoop

dalam bahasa Belanda. Dalam perkataan verkoop tersinggung pengertian

berpindahnya hak milik. Di lain pihak, istilah verkoop seolah-olah pihak

pertama terikat pada suatu jangka waktu, yang berarti bilamana jangka waktu

2
telah lewat, maka pihak kedua menjadi pemilik tanah yang bersangkutan,

sedangkan dalam lembaga jual gadai tidaklah demikian halnya. Jual gadai tidak

identik dengan dengan verkoop, Cornelis van Vollenhoven

menerjemahkannya dengan gronvervading.

UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan hak

gadai (gadai tanah). Untuk memperoleh pemahaman tentang pengertian gadai

tanah, Boedi Harsono berpendapat bahwa, “Gadai Tanah adalah hubungan

hukum seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima

uang gadai dari padanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah

tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu, hasil tanah seluruhnya

menjadi hak pemegang gadai. Pengembalian uang gadai atau yang lazim

disebut penebusan, tergantung pada kemauan dan kemampuan pemilik tanah

yang menggadaikan, banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun bahkan

sampai puluhan tahun, karena pemilik tanah belum mampu melakukan

penebusan”.

Transaksi menjual atau jual gadai, yaitu menyerahkan tanah untuk

menerima pembayaran sejumlah uang secara tunai dengan ketentuan si penjual

(pemilik tanah) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan

menebusnya kembali (pembayaran uang yang sama jumlahnya). Atau dapat

diartikan sebagai penyerahan sebidang tanah milik seseorang kepada orang

lain untuk sementara waktu, yang sekaligus diikuti dengan penyerahan

sejumlah uang secara tunai sebagai uang gadai dengan ketentuan bahwa

tanah baru kembali pada pemilik tanah, apabila dilakukan penebusan

dengan sejumlah uang yang sama dengan kepada pemegang gadai.

Soepomo menyebutkan bahwa unsur mutlak dari gadai tanah ialah

bahwa si pemegang gadai mendapat kekuasaan sepenuhnya mengenai

tanah seolah-olah itu miliknya. Jika sudah ditebus, kekuasaan itu

berpindah lagi kepada milik tanah. Di samping itu, penyerahan hak gadai

kepada pihak ketiga (pindah gadai) dapat dilakukan oleh si penggadai

maupun oleh si pemegang gadai. Jika dilakukan oleh si pemegang gadai,

harus diketahui oleh si penggadai. Perjanjian seperti ini dalam kepustakaan

3
dikenal dengan pindah gadai, pindah akad, pindah gade, limpah gade, ganti

gade atau ganti sanda.

Dalam gadai (gadai tanah) terdapat 2 (dua) pihak, yaitu pihak pemilik

tanah pertanian tersebut sebagai pemberi gadai dan pihak yang menyerahkan

uang kepada pemberi gadai disebut penerima (pemegang) gadai. Pada

umumnya, pemberi gadai berasal dari golongan masyarakat yang

berpenghasilan rendah, sebaliknya penerima (pemegang) gadai berasal dari

golongan masyarakat yang mampu (kaya). Hak gadai (gadai tanah) pertanian

bagi masyarakat Indonesia, khususnya petani bukanlah hal yang baru.

Semula lembaga ini diatur atau tunduk pada hukum adat tentang

tanah dan pada umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan

sistem dan cara berfikir hukum adat yang sifatnya sangat sederhana. Hak gadai

(gadai tanah) dalam hukum adat harus dilakukan di depan kepala desa atau

kepala adat selaku kepala masyarakat. Hukum adat mempunyai wewenang

untuk menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah

yang terjadi dalam lingkungan wilayah kekuasaannya. Dalam praktiknya, hak

gadai (gadai tanah) pada umumnya dilakukan tanpa sepengetahuan kepala

desa atau kepala adat. Hak gadai (gadai tanah) hanya dilakukan oleh pemilik

tanah dan pihak yang memberikan uang gadai dan dilakukan secara tidak

tertulis.

Pemberi gadai dikenal juga dengan pemilik tanah atau penjual gadai,

sedangkan pemegang gadai dikenal dengan pemilik uang atau pembeli gadai.

Pemegang gadai tidak dapat memaksa pemberi gadai untuk menebus tanahnya.

Bila pemegang gadai membutuhkan uang, ia diizinkan untuk mengoperkan

gadai (doorverpanden) dan menggandakan kembali atau menganak gadai

(onderverpanden). Yang perlu diperhatikan bahwa gadai tanah merupakan

perjanjian penggarap tanah, bukan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan

tanah sebagai jaminan utang. Gadai tanah tidak terdiri dari dua perjanjian,

namun satu perbuatan hukum, yaitu “Perjanjian Penggarapan Tanah”. Tidak

mengenal “wanprestatie” atau ingkar janji, jadi bila janji menebus sudah terakhir

tidak ditebus oleh pemberi gadai, sedang pemegang gadai perlu uang, maka

4
pemegang gadai dapat diberi izin oleh pemberi gadai untuk mengoperkan

kepada orang lain.

Suatu transaksi jual gadai dikatakan sah apabila perjanjian tersebut

dibuat atas kesepakatan kedua belah pihak, antara penggadai dan pembeli

gadai, disaksikan kepala adat atau persekutuan hukum atau kampung atau

desa. Kehadiran pejabat ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan

hukum terutama kepada si penggadai dan juga untuk mengurangi risiko

pemegang gadai atau pembeli gadai jika di kemudian hari ada sanggahan. Di

Minangkabau, melakukan transaksi jual gadai sangat diperlukan kesaksian dari

tua-tua adat (penghulu), terutama jual tanah pusak (milik kerabat atau kaum).

Perbedaan antara hak gadai (gadai tanah) dan gadai menurut hukum

perdata barat (pand), yakni pada hak gadai (gadai tanah) terdapat satu

perbuatan hukum yang berupa perjanjian penggarapan tanah pertanian

oleh orang yang memberikan uang gadai, sedangkan gadai menurut hukum

perdata barat (pand) terdapat dua perbuatan hukum yang berupa perjanjian

pinjam-meminjam uang sebagai perjanjian pokok dan penyerahan.

Persamaan antara pand dan gadai tanah dalam hukum adat adalah sama-sama

merupakan perutangan yang timbul dari perjanjian timbal balik di lapangan

hukum harta kekayaan. Benda perjanjian harus diserahkan ke dalam kekuasaan

si pemegang gadai atau pand (pola inbezitstelling).

Menurut Boedi Harsono, sifat-sifat dan ciri-ciri hak gadai (gadai

tanah), yakni sebagai berikut:

1) Hak gadai (gadai tanah) jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu

waktu akan hapus. Hak gadai (gadai tanah) berakhir jika dilakukan

penebusan oleh yang menggadaikan. Penebusan kembali tanah yang

digadaikan tergantung pada kemauan dan kemampuan pemiliknya, artinya ia

tidak dapat dipaksa untuk menebusnya. Hak untuk menebus itu tidak hilang

karena lampaunya waktu atau meninggalnya si pemilik tanah. Jika pemilik

tanah meninggal dunia, hak untuk menebus beralih kepada ahli waris;

2) Hak gadai (gadai tanah) tidak berakhir dengan meninggalnya pemegang

gadai. Jika, pemegang gadai meninggal dunia, maka hak tersebut berpindah

kepada ahli warisnya;

5
3) Hak gadai (gadai tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah yang

lain. Pemegang gadai berwenang untuk menyewakan atau membagi

hasilkan tanahnya kepada pihak lain. Pihak lain itu bisa pihak ketiga, tetapi

dapat juga pemilik tanah sendiri. Pemegang gadai bahkan berwenang juga

untuk menggadaikan tanahnya itu kepada pihak ketiga tanpa perlu meminta

izin atau memberitahukannya kepada pemilik tanah (menganak gadaikan

atau onderverpanden). Perbuatan ini tidak mengakibatkan terputusnya

hubungan gadai dengan pemilik tanah. dengan demikian, tanah yang

bersangkutan terikat pada hubungan gadai;

4) Hak gadai (gadai tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat

“dialihkan” kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa hubungan gadai yang

semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang baru

antara pemilik dan pihak ketiga itu (memindahkan gadai atau

doorverpanden);

5) Hak gadai (gadai tanah) tidak menjadi hapus, jika hak atas tanahnya

dialihkan kepada pihak lain;

6) Selama hak gadai (gadai tanah)-nya berlangsung, maka atas

persetujuan kedua belah pihak, uang gadainya dapat ditambah

(mendalami gadai); dan

7) Sebagai lembaga, hak gadai (gadai tanah) pada waktunya akan dihapus.

Biasanya orang menggadaikan tanahnya hanya bila ia berada dalam

keadaan yang sangat mendesak. Jika tidak mendesak kebutuhannya, maka

biasanya orang lebih suka menyewakan tanahnya. Berdasarkan hal tersebut di

atas, maka kebanyakan gadai diadakan dengan imbangan yang sangat

merugikan penggadai dan sangat menguntungkan pihak pelepas uang. Dengan

demikian, maka teranglah bahwa gadai itu menunjukkan praktik-praktik

pemerasan, hal mana bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia. Oleh

karena itu, maka di dalam UUPA, hak gadai dimasukkan dalam golongan

hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara. Yang harus diusahakan supaya

pada waktunya dihapuskan. Namun hingga sekarang, praktik gadai tanah

tersebut masih ada di masyarakat. Sementara belum dapat dihapuskan, maka

hak gadai harus diatur agar dihilangkan unsur-unsurnya yang bersifat

6
pemerasan (vide Pasal 53 UUPA). Hak gadai itu baru dapat dihapuskan (artinya

dilarang), jika sudah dapat disediakan kredit yang mencukupi keperluan para

petani.

Gadai tanah termasuk hak-hak tanah yang bersifat sementara, karena

menurut ketentuan dalam UUPA, dalam waktu singkat akan dihapus karena

terdapat sifat pemerasan. Pasca UUPA berlaku, gadai diatur dalam

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian menyebutkan bahwa, “Hak gadai

sifatnya sementara, artinya dalam waktu yang akan datang akan diusahakan

dihapuskan”. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tersebut

berisi pembatasan terhadap lamanya waktu menggadaikan tanah dan

bermaksud memberantas unsur-unsur pemerasan yang terdapat dalam

transaksi gadai tersebut. Praktik menunjukkan bahwa hasil yang dinikmati

pembeli gadai setiap tahunnya ternyata jauh lebih besar dari pada bunga yang

pantas dari uang pembeli gadai dahulu. Dalam ketentuan Pasal 7 Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian disebutkan bahwa:

(1) “Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak-gadai yang


pada mulai berlakunya Peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun
atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam
waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan
tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.
(2) Mengenai hak-gadai yang pada mulai berlakunya. Peraturan ini
belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk
memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai
dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung
menurut rumus:
(7 + 1/2) - waktu berlangsungnya hak-gadai 7 x uang gadai, 7
dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak-gadai itu telah
berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan
tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu
sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen.
(3) Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini berlaku juga terhadap hak-gadai
yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan ini.”

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 810K/Sip/1970, disebutkan

bahwa ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang

menentukan bahwa gadai tanah pertanian yang telah berlangsung tujuh

7
tahun atau lebih harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa pembayaran

uang tebusan adalah bersifat memaksa dan tidak dapat dilunakkan hanya

karena telah diperjanjikan antara kedua belah pihak yang bersangkutan.

Apabila hak gadai belum berlangsung tujuh tahun, berdasarkan Pasal

7 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun

1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, maka pemilik tanahnya

berhak untuk meminta tanahnya kembali setiap waktu setelah tanaman

yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya

dihitung menurut rumus sebagai berikut:

(7 + 1⁄2) − 𝑊𝑎𝑘𝑡𝑢 𝐵𝑒𝑟𝑙𝑎𝑛𝑔𝑠𝑢𝑛𝑔𝑛𝑦𝑎 𝐺𝑎𝑑𝑎𝑖 (𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛) 𝑋 𝑈𝑎𝑛𝑔 𝐺𝑎𝑑𝑎𝑖


=
7

b. Transaksi Jual Lepas

Transaksi menjual atau jual lepas dikenal juga dengan istilah Adol Plas

(Pati atau Bogor), menjual lepas (Jambi atau Riau). Menurut Cornelis van

Vollenhoven, Jual Lepas adalah jual lepas sebidang tanah atau perairan ialah

penyerahan benda itu dihadapan orang-orang yang ditunjuk oleh hukum adat

dengan pembayaran sejumlah uang seketika atau kemudian. Soepomo

menyebut jual beli tanah menurut hukum adat ini sama dengan jual mutlak, jual

lepas, jual lepas mutlak, atau jual lepas tangan, yaitu merupakan penyerahan

tanah untuk selama-lamanya dengan menerima pembayaran sejummlah uang,

yaitu harga pembelian yang sepenuhnya atau sebagiannya dibayar tunai.

Penyerahan sebidang tanah milik seseorang kepada orang lain (sedesa) untuk

selama-lamanya, yang sekaligus diikuti dengan sejumlah uang secara tunai.

“Secara tunai” tidak harus diartikan “lunas”, walaupun harus dibayar sebagian

sudah dapat dikatakan tunai. 3 (tiga) unsur jual lepas yang dilakukan dalam satu

tahapan, yaitu:

1) Unsur perjanjian;

2) Unsur pembayaran; dan

3) Unsur pengalihan kebendaan.

Ketiga unsur ini berjalan seketika (dilakukan dalam satu tahap). Dan

semua benda langsung beralih seketika. Unsur perjanjian adalah riil, tunai,

kontan dan disaksikan oleh kepala adat. Dalam jual lepas, terdapat campur

8
tangan kepala adat, yang merupakan syarat mutlak, karena kepala adat atau

kepala hak ulayat mempunyai wewenang penuh mengatur perbuatan

hukum tentang tanah. Jual lepas dilakukan pada kepala adat dengan 2 (dua)

orang saksi. Di mana penjual menyatakan menyerahkan haknya kepada

pembeli yang diikuti pembayaran secara tunai.

Contoh, tanah dijual seharga Rp 5.000.000,- baru dibayar Rp 1.500.000,-

(sudah dikatakan tunai menurut hukum adat). Namun, jika dibayar Rp 100.000,-

ini disebut uang panjer atau tanda ikatan, atau dalam ilmu perikatan disebut

dengan uang uang panjar atau down payment. Jadi, harus dibedakan antara

tunai dan panjer, jika pembeli yang membatalkan jual lepas, uang panjer tidak

kembali, namun jika penjual yang membatalkan, maka uang panjer harus

dikembalikan.

Soepomo menyebutkan bahwa dalam transaksi jual mutlak (jual lepas),

perjanjian didahului oleh permufakatan antara kedua belah pihak untuk

membeli dan menjual. Permufakatan itu dapat diikat atau tidak diikat dengan

panjer, yaitu pembayaran sejumlah kecil oleh yang akan membeli kepada yang

akan menjual, untuk mewajibkan kedua pihak memenuhi janjinya, tetapi

permufakatan demikian itu masih belum merupakan tindakan hukum jual beli.

Permufakatan itu juga tidak memberikan hak menuntut penyerahan yang nyata

(pengosongan) dari pada tanah yang bersangkutan.

c. Transaksi Jual Tahunan

Transaksi menjual atau jual tahunan merupakan penyerahan

sebidang tanah milik seseorang kepada orang lain untuk sementara waktu

(1 atau 2 kali musim panen), dengan pembayaran sejumlah uang secara

tunai yang dibayar di muka, untuk jangka waktu tertentu sudah berakhir,

tanah dikembalikan kepada pemilik tanah. Jual tahunan dikenal dengan

istilah Adol Oyodan.

Dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah groonhurmer ooruit

betaalden huurchaf (sewa-menyewa tanah dengan pembayaran di muka).

Bentuk transaksi seperti ini di Jawa disebut adol tahunan, oyodan, trowongan,

kemplongan), di Mandailing dikenal dengan istilah dondon susut, artinya gadai

tanah dengan perjanjian uang gadai secara berangsur-angsur dari sebagian

9
hasil gadai. Bentuk ini mirip dengan ngajual tutung atau ngajual paeh duit di

Jawa Barat.

Dalam transaksi ini, penerima berhak untuk mengolah tanah,

menanami dan memetik hasil serta berbuat dengan tanah itu seakan-akan

milik sendiri. Lama transaksi tahunan biasanya 1 (satu) sampai 3 (tiga)

tahun, di mana batas waktunya ditentukan berdasarkan tahun, karena itu

dinamakan sewa tahunan. Cara seperti ini mirip dengan kebiasaan di Jawa,

yaitu dapat menyewa tanah 4 (empat) kali dalam setahun, dengan memberikan

sedikit hadiah. Misalnya, beberapa butir buah-buahan sebagai tanda pengakuan

kepada yang menyewakan. Ada juga yang dinamakan “menyewakan terus”

(doorverhuren) atau pengalihan sewa yang dalam bahasa Sunda disebut

ngajuel paeh duit atau ngajual tutung yang artinya sama dengan dondon susut.

Literatur dari: 1. Hajati et al, Sri, Buku Ajar Hukum Adat, (Jakarta: Prenadamedia Group,

2018), h. 145-162.

2. Pide, Suriyaman Mustari, Hukum Adat Dahulu, Kini dan Akan Datang,

(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2017), h. 145-150.

3. Utomo, Stefanus Laksanto, Hukum Adat, (Depok: RajaGrafindo

Persada, 2017), h. 31-78.

TUGAS!

- Alan Budi Pratama Putra menggadaikan tanah kepada Ismail Huzain selama 5

(lima) tahun dengan uang gadai sebesar Rp 280.000,- Berapa uang tebusan yang

harus dibayar oleh Alan Budi Pratama Putra pada Ismail Huzain pada akhir masa

gadai? Jelaskan!

- Tugas dikerjakan dan dikumpulkan dengan format portable document format (.pdf)

melalui media aplikasi WhatsApp Group kelas, terakhir pada Senin, 10 Mei 2021

dengan format penamaan: Nama_NPM.

10

Anda mungkin juga menyukai