Anda di halaman 1dari 7

NAMA :PAUL JUNISU JETHRO TAMBUNAN

NIM :177005096
SEJARAH HUKUM
Dr. EDY IKHSAN

1. Pengertian “One can not understand the working of the present forms of legal life
Unless one has studied the process to some extent in organisms that are now defunct or
moribund “ ialah Seseorang tidak dapat Mengerti maksud dari bentuk kehidupan hukum
sekarang,Kecuali dirinya telah mempelajari proses hukum tersebut, sampai batas tertentu
dalam kehidupannya saat ini, hingga tidak berfungsi atau hampir mati.
Manusia adalah makhluk individu dan juga makhluk sosial. Sebagai individu, ia mempunyai
kemauan dan kehendak yang mendorongnya berbuat dan bertindak. Dari apa yang
diperbuatnya dan dari sikap hidupnya, orang dapat mengetahui pribadi seseorang. Sebagai
makhluk idividu, manusia ingin hidup senang dan bahagia, dan menghindar dari segala yang
menyusahkan. Untuk itu ia berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani
maupun kebutuhan rohani yang dapat membawa kesenangan dan kebahagiaan kepada
dirinya. Akibat dari hal itu, timbulah hak seseorang atas sesuatu, seperti hak milik atas
sesuatu benda, hak menuntut ilmu, hak menikmati kesenangan dan lain-lainnya. Hak itu tidak
boleh diganggu oleh orang lain. Akibatnya, orangpun merasa bahwa dialah yang berkuasa
atas haknya itu dan menyadari pula bahwa ia mempunyai rasa aku. Kesadaran ini
mendorongnya untuk bertindak sendiri, terlepas dari pengaruh orang lain. Hidup sebagai
makhluk individu semata-mata tidak mungkin tanpa juga sebagai makhluk sosial. Manusia
hanya dapat dengan sebaik-baiknya dan manusia hanya akan mempunyai arti apabila ia hidup
bersama-sama manusia lainnya di dalam masyarakat. Tidak dapat dibayangkan adanya
manusia yang hidup menyendiri tanpa berhubungan dan tanpa bergaul dengan sesama
manusia lainnya. Hanya dalam hidup bersama manusia dapat berkembang dengan wajar dan
sempurna. Hal ini ternyata bahwa sejak lahir sampai meninggal, manusia memerlukan
bantuan orang lain untuk kesempurnaan hidupnya. Bantuan ini tidak hanya bantuan untuk
memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi juga untuk kebutuhan rohani. Manusia sangat
memerlukan pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan dan tanggapan-tanggapan
emosional yang sangat penting artinya bagi pergaulan dan kelangsungan hidup yang sehat.
Inilah kodrat manusia, sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial. Tak ada
seorangpun yang dapat mengingkari hal ini, karena ternyata bahwa manusia baru dapat
disebut manusia dalam hubungannya dengan orang lain, bukan dalam kesendiriannya.

2. Pemicu hilangnya hak- hak tanah Komunal Orang Melayu deli di Sumatera
Timur, disebabkan oleh 5 hal yaitu:
a. Robert van De Waal dalam disertasinya menyebutkan bahwa de landbouw
concessie is een persoonlijk recht, berustend op een overeenkomst tussen de
Sultan en de concessionaris (Konsesi perkebunan adalah hak perseorangan yang
bersandar kepada perjanjian antara Sultan dan pemegang konsesi). Dan dalam
tulisan tersebut juga ditunjukkan fakta bahwa di Kesultanan Deli, Serdang dan
langkat yang mencakup 5493 perkebunan, tidak ada satupun yang berbentuk hak
erfpacht (yang setelah tahun 1960 melalui UU Pokok Agraria No.5/1960
dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU)), melainkan hanyalah apa yang sejak
awal dituliskan dalam banyak bukti tertulis sebagai sebuah perjanjian Konsesi.
Dengan demikian jelaslah bahwa konversi konsesi menjadi HGU pada
nasionalisasi tahun 1958 tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dalam
mengambil dan menyatakan bahwa tanah-tanah eks konsesi adalah dibawah
kepemilikan Pemerintah Indonesia
b. Di dalam hukum perdata internasional dikenal azas yang berbunyi “Lex rei sitae”.
Menurut kaedah ini maka tercipta dan hapusnya dan karenanya juga beralihnya,
hak-hak dan hak-hak atas benda-benda di atur oleh hukum daripada tempat
dimana hak atau benda bersangkutan terletak. Kaedah tentang “lex situs” ini
berlaku baik untuk benda-benda bergerak dan tidak bergerak. Lex situs ini juga
dapat diperlakukan berkenaan dengan peralihan hak-hak benda yang didasarkan
atas nasionalisasi. Negara didalam wilayah mana terletak benda yang terkena oleh
nasionalisasi adalah yang akan memutuskan apakah suatu perundang-undangan
nasionalisasi secara effektif telah mengalihkan hak milik kepada fihak negara.
Martin Wolff telah mengaskan hal ini. Penulis ini menetapkan lebih jauh bahwa
sepanjang dekrit konfiskasi bersangkutan berkenaan dengan benda-benda yang
terletak di dalam wilayah negara yang melakukan konfiskasi itu, maka akibatnya
ialah peralihan titel hak milik kepada negara yang bersangkutan dan ini akan
diakui dimana-manapun (this will be respected everywhere) juga dalam hal bahwa
benda-benda yang dikonfiskasi adalah kepunyaan daripada seorang asing dan
bukan dari warganegara negara yang melakukan konfiskasi
c. Pasal 1 UU No.86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik
Belanda menyatakan bahwa: “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada
di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas
negara Republik Indonesia. Dalam pasal 1 PP No.2/1959 tentang Pokok-Pokok
Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda (LN 1959, No.5)
dinyatakan yang dikenakan nasionalisasi adalah seluruh kekayaan dan harta
cadangan baik yang berwujud barang tetap atau barang bergerak maupun yang
merupakan hak atau piutang. Norma hukum yang sangat jelas ini membimbing
kita kepada sebuah kesimpulan bahwa harta/kekayaan atau apapun yang melekat
pada perusahaan Belanda tersebut, namun bukan merupakan kekayaannya, seperti
tanah konsesi dan hak-hak yang melekat pada pemilik sah yakni Kesultanan Deli
dan kesultanan-kesultanan lainnya pada masa itu dengan pasti dan sah tidak bisa
dinasionalisasikan menjadi milik Republik Indonesia
d. Setiap negara berhak melakukan nasionalisasi terhadap hak milik orang asing,
tetapi nasionalisasi itu harus disertai dengan prompt, adequate and effective
compensation. “It is an accepted rule that – provided there is no discrimination –
every stated is entitled to nasionalise propoerty located on its territory, even
where it belongs to aliens, provided such nasionalisation is accompanied by
promt, adequate and effectife compensation.” Pernyataan Prof.Kollowijn, Guru
Besar Hukum berkebangsaan Belanda dan mempunyai reputasi internasional itu
memberi petunjuk yang jelas akan kompensasi atas perbuatan nasionalisasi. Yang
hendak dikatakan dalam hal ini adalah, jika seandainyapun nasionalisasi yang
dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia itu dinyatakan sah dan benar atas
hak atas tanah yang dimiliki oleh Kesultanan dan Masyarakat adatnya, namun
kenyataannya kepada mereka sampai hari ini tidak ada pernah kompensasi itu
terjadi apalagi yang bersifat prompt, adequate and effective (layak/cocok,
memadai dan effektif).
e. Dalam Gugatan NV Vereningde Deli Maatschappij dan NV Senembah
Maatschappij terhadap pemerintah Indonesia atas kepemilikan 3871 bal tembakau
yang berasal dari eks perkebunan Deli Maatschappij dan 1318 bal tembakau eks
perkebunan Senembah, hasil panen tahun 1958, yang telah tiba di Bremen pada
tahun yang bersamaan para pengacara Indonesia yang merupakan representatif
(aperwakilan) pemerintah Indonesia memberikan pembelaan bahwa:
 Terkait dengan siapa yang menjadi pemilik tembakau tersebut dikatakan
bahwa tanah-tanah konsesi perkebunan ini merupakan tanah-tanah yang
termasuk domein swapraja (zelfbestuur) Sultan Deli dalam rangka susunan
tata kenegaraan yang berlaku tatkala diciptakan hak-hak tersebut. Tanah-tanah
swapraja ini adalah tanah-tanah yang takluk kepada hukum adat; Dan dalam
hubungannya dengan hasil panen, hukum adat mengenal, Wie zaait, die maait
(Siapa yang menanam dia yang memanen). Dan yang menanam tembakau-
tembakau yang diperkarakan itu adalah PPN baru.
 Pihak perusahaan Belanda mendalilkan bahwa konsesi perkebunan antara para
Sultan beserta orang-orang besarnya dan perusahaan-perusahaan Belanda
tersebut sebagai hak-hak kebendaan (zakelijke rechten) dengan kata lain
sebagai hak-hak erfpacht. Dengan demikian seorang erfpachter menikmati
segala hak yang terkandung dalam hak eigendom atas tanah ( De erfpachter
oefent alle de regten uit, welke aan de eigendom van het erf verknocht zijn).
Karena bersifat kebendaan, maka hak-mereka atas hasil tanaman dipandang
lebih teguh, karena mempunyai suatu vruchttrekkingsrecht), namun pihak
Indonesia membantah dan mengatakan ahwa sifat dari sebuah konsesi adalah
merupakan hak perseorangan (persoonlijkrecht) yang dikenal dalam sistem
hukum eropah.
Keputusan Oberlandesgericht di Jerman (yang menyidangkan kasus ini) adalah:
Perseroan-perseroan Belanda bersangkutan tidak dapat glaubhalft machen bahwa
hak-hak mereka ini adalah hak yang menyerupai eigendom (bersifat kebendaan).
Menurut keputusan-keputusan hakim di Indonesia dan bacaan-bacaan hukum,
sepanjang telah dipasrahkan oleh para pihak dalam proses ini, lebih beralasan
untuk menerima, bahwa pada hak-hak konsesi pertanian ini kita hanya berhadapan
dengan hak pribadi/perseorangan (persoonlijk, personliche rechte).
3. Pandangan Buffart mengenai Masyarakat Adat Melayu memiliki Tanah Adat
Komunalnya.
Buffart mengatakan “Orang lupa bahwa konsesi hanyalah sebuah perjanjian antara
dua pihak, pemerintahan swapraja dan pemegang konsesi. Penduduk dalam hal ini
bukan pihak-pihak (dalam perjanjian). Dan juga konsesi bukanlah pula, seperti hukum
Eropah menyebutnya, sebuah perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, yakni para
penduduk. Konsesi hanya mempengaruhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua
belah pihak yang ada dalam kontrak. Penduduk memang disebutkan di dalam kontrak
tersebut , tapi hanya bila menyentuh hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak-
pihak yang ada dalam kontrak atas hak-hak penduduk. Hak-hak penduduk oleh
karena itu hanya dituliskan secara insidentil dalam aturan-aturan konsesi dan oleh
karena itu mungkin bisa dihilangkan juga dari akte konsesi tersebut.
Buffart yang melihat ketidaksungguhan dari elite penguasa pada saat itu untuk
memasukkan hak-hak komunal adat sebagai elemen penting dalam penyusunan
kontrak. Sebaliknya, dengan logika yang lebih tendensius, bisa dikatakan bahwa
masuknya beberapa pengaturan tentang hak-hak tanah komunal memperjelas
terperangkapnya hak-hak tanah yang sediakala dimiliki masyarakat adat dalam logika
pengaturan positivistis akte konsesi yang ada. Dengan bahasa yang lain, kalaupun ada
pengaturan di sana-sini tentang hak-hak rakyat atas lahan konsesi dan sekitarnya, itu
hanyalah asesori belaka yang bertolakbelakang dari posisi penting rakyat sebagai
pemegang hak.
4. Apa yang dimaksud dengan WOESTE GRONDEN, dan mengapa WOESTE
GRONDEN menjadi persoalan setelah lahirnya Agrarisch 1870?
Menurut cara pandang “Barat” Woeste gronden ialah: sebagai tanah-tanah yang tidak
dibudidayakan atau tidak digarap oleh penduduk pribumi dan juga bukan milik
bersama atau tidak termasuk ke dalam kekuasaan pimpinan/kepala kampung
(gronden, niet door de inlanders ontgonnen, noch als gemeene weide of uit eenigen
anderen hoofde tot de dorpen behoorende).
Woeste gronden Juga disebut sebagai objek tanah dalam konsensi. Tanah hutan,
tanah liar, tanah tak terpakai, tanah kosong, tanah tak dibudidayakan atau apapun
namanya adalah jenis tanah yang dikonsesikan oleh Sultan-Sultan di Sumatera Timur
kepada pengusaha onderneming yang boleh jadi adalah tanah-tanah yang berada
dalam wilayah kampung dan susunan-susunan organisasi komunal di bawahnya.
WOESTE GRONDEN menjadi persoalan karena: Di tingkat kebijakan yang lebih
luas, tantangan terhadap eksistensi hak tanah adat (hak ulayat adat) sebenarnya mulai
jelas kelihatan tatkala Agrarisch Wet 1870 dengan pernyataan domein dalam pasal 1
Agrarische Besluit (Staatsblad No.118 tahun 1870) diberlakukan. Pasal 1-nya
menyatakan: “ dengan perkecualian atas tanah-tanah yang dicakup dalam paragraf 5
dan 6 dari pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting van Nederland Indie, semua tanah
yang tidak memiliki hak yang dapat dibuktikan maka ia menjadi milik negara. Aturan
ini bagaimanapun juga mendapat tantangan hebat dari para ahli hukum adat seperti,
Ter Haar, Van Vollenhoven dan Logemann. Menurut mereka, aturan tersebut berisi
maksud para perancang undang-undang untuk tidak mengecualikan tanah apapun
juga. Semua tanah hutan bila perlu sampai puncak-puncak gunung, jika masyarakat
mempunyai hak yang nyata maupun secara diam-diam diakui, tanah itu bukan tanah
negara.

5. Pengertian Tanah Jaluran dan mengapa Masyarakat Melayu Deli menuntutnya


sampai sekarang sebagi tanah Adat mereka?
Tanah jaluran ialah tanah bekas tanaman tembakau yang diserahkan kepada
opgezetenen (rakyat penunggu) untuk ditanami padi dan atau jagung dalam satu
periode waktu tertentu (sekali dalam setahun, satu musim panen).
Karena menurut Mahadi “hak-hak adat orang Melayu atas tanah baik sebelum
maupun setelah konsesi memang ada. Apabila sebelum konsesi ruang lingkup dan isi
hak-hak itu bersifat samar-samar, maka di dalam akta-akta konsesi hak-hak itu
mendapat kodifikasi, memperoleh rumusan, mendapat pengukuhan dan pengakuan.”
Jadi seandainya ada Raja memandang semua tanah adalah kepunyaannya, namun di
dalam kenyataan, rakyat bebas membuka hutan, boleh berladang secara berpindah-
pindah, dimungkinkan membuka dan memelihara kebun seluas kesanggupan, boleh
kerja sendiri dengan bantuan anggota keluarga, boleh dengan memakai tenaga
upahan, dibenarkan mengambil kayu di hutan untuk bermacam-macam keperluan,
diizinkan mengambil hasil hutan tidak saja untuk keperluan sehari-hari tetapi untuk
diperniagakan kemudian setelah hubungan manusia dengan tanah yang didudukinya
sudah semakin kompleks sehingga terbuka pula kesempatan untuk memperoleh suatu
surat keterangan tentang hubungan yang sudah kontinu dan stabil itu, surat itu mula-
mula bernama surat kampung, kemudian surat Datuk dan seterusnya geran
(sertifikat), dengan alasan itulah kemudian Mahadi memberanikan diri untuk
menduga bahwa sejenis hak ulayat ada pada suku Melayu di Sumatera Timur dengan
persekutuan hukumnya ditingkatkan ke taraf Swapraja setelah Raja-Raja memperoleh
kedudukan yang kuat.
6. Apakah nasionalisasi perkebunan Belanda di Indonesia pada tahun 1958 yang
dilakukan Presiden Soekarno bisa menghapuskan perjanjian konsensi yang
telah dibuat oleh kesultanan Deli dan pengusaha asing berkebangsaan Belanda?
Kebijkaan nasionalisasi adalah keputusan politik negara yang semula dimaksudkan
untuk menjadikan negeri ini memiliki kekuatan ekonomi yang berbasis pada kekuatan
sendiri. Akan tetapi kebijakan itu telah menghilangkan hak-hak Masyarakat Adat Deli
sekaligus merupakan benih yang memicu timbulnya konflik pertanahan di wilayah
perkebunan yang berasal dari tanah konsesi tersebut. Kebijakan nasionalisasi yang
merupakan keputusan politik negara telag memperlihatkan kekeliruannya karena
menasionalkan hak-hak atas tanah milik masyarakat (bukan milik asing), padahal
pemaknaan nasionalisasi adalah menasionalkan apa yang bukan milik nasional.\
Konflik yang berlangsung hari ini adalah merupakan dampak dari kekeliruan pilihan
politik nasionalisasi yang dilakukan oleh negara. Kini, diatas lahan konsesi
Masyarakat Adat deli tersebut.

Anda mungkin juga menyukai