Anda di halaman 1dari 5

HUKUM, UU, DAN ETIKA PERS

URAIAN ETIKA JURNALIS

Disusun oleh :

M Afdhal D1E021089

Ilmu komunikasi A

Dosen Pengampu :
Dwi Aji Budiman, S.Sos,M.A

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BENGKULU
2023
1. Mengapa jurnalis memerlukan etika?
Etika jurnalisme ini merupakan kunci bagi jurnalis atau media massa untuk tetap
menjaga kepercayaan publik. Kode etik ini juga menjadi pembeda utama jurnalisme
profesional dengan jurnalisme warga yang kini marak di internet (netizen journalism).
Karenanya, kode etik kian penting dari era sebelumnya.

Pembeda utama wartawan dan warganet adalah kode etik. Cara kerja, format, dan media
jurnalistik bisa berubah. Namun, yang tidak boleh berubah dalam jurnalisme adalah kode etik.
Etika jurnalisme ini merupakan kunci bagi jurnalis atau media massa untuk tetap menjaga
kepercayaan publik. Kode etik ini juga menjadi pembeda utama jurnalisme profesional dengan
jurnalisme warga yang kini marak di internet (netizen journalism).

Karenanya, kode etik kian penting dari era sebelumnya. Wartawan atau insan media
harus refreshing dan upgrading pemahaman dan kepatuhan pada kode etik jurnalistik baik
wartawan media cetak, jurnalis media penyiaran, maupun wartawan media online. Kode etik
jurnalistik adalah etika profesi wartawan. Ciri utama wartawan profesional yaitu menaati kode
etik, sebagaimana halnya dokter, pengacara, dan kaum profesional lain yang memiliki dan
menaati kode etik.

Etika profesi bertujuan untuk meningkatkan keterampilan intelek dalam berpikir dan
juga membuat para profesional dapat bertindak dengan cara yang diinginkan secara moral
untuk menuju komitmen moral dan perilaku bertanggung jawab. Memeriksa fakta secara
cermat atau akurasi, memiliki sumber pertama, memeriksa tata bahasa, tanda baca dan ejaan,
serta validasi materi pemberitaan adalah semua etika utama dalam jurnalisme yang tidak boleh
diabaikan.
Wartawan kadang-kadang terburu-buru untuk mengeluarkan cerita mereka terlebih
dahulu, menulis dan memposting berita yang dapat mengakibatkan etika diabaikan.
Jurnalisme digital atau jurnalistik online, yang sebagian terdiri dari blog online, pembaruan
berita instan, umpan langsung, dan diskusi telah mengaburkan batas antara jurnalisme etis dan
tidak etis, membuat konsumen tidak puas dan skeptis. Konsumen berita sekarang perlu
menggunakan pemikiran kritis untuk membandingkan sumber yang kredibel dan
mencengangkan.
Seperti yang dicatat oleh kolumnis Linda Bowles, “Sayangnya, media mengalami
kesulitan membedakan antara sains nyata dan propaganda yang disamarkan sebagai sains.”
Kemungkinan dunia memiliki Internet di ujung jarinya, membuka jalan bagi setiap individu
untuk dapat menulis artikel dan mempostingnya di website. Penggunaan Internet secara massal
telah mendistorsi definisi jurnalisme. Di dunia seperti itu, etika sama pentingnya.

Seorang jurnalis memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat untuk memberikan


informasi yang jujur, seimbang, faktual, dan "objektif" sambil menghindari konflik
kepentingan dan mempertimbangkan privasi masyarakat. Dengan kekuatan pena dalam
pemberitaan yang bisa menyentuh pada pengungkapan kekurangan orang lain, muncul
tanggung jawab yang melekat untuk bertindak jujur dan etis.

Wartawan memiliki kekuatan untuk memengaruhi apa yang diyakini dan seharusnya
diyakini oleh masyarakat, sebagai hasilnya memberikan informasi yang objektif yang
memungkinkan masyarakat untuk menafsirkan apa yang dikatakan dan dilakukan dengan
menggunakan kebijaksanaan mereka sendiri. Konsumen atau publik berhak atas informasi
yang benar dan faktual. Tanpa ini profesi jurnalistik tidak akan ada.

“Wartawan yang sering mengemban tugas tanpa pamrih dalam mengembangkan


pedoman harus mengabaikan para skeptis dan melanjutkan penemuan kembali etika jurnalisme
yang luar biasa ini. Masa depan jurnalisme yang bertanggung jawab bergantung padanya,” tulis
Stephen Ward, direktur pendiri Center for Journalism Ethics.

2. menciptakan diri yang beretika, baik diri sendiri mau pun sebagai jurnalis

Kode etik jurnalistik menjadi pedoman para jurnalis dan wartawan dalam
melaksanakan tanggung jawabnya. Kode etik ini menentukan hal-hal yang boleh dan tidak
boleh dilakukan ketika menjalankan tugas sebagai jurnalis.

Di Indonesia, kode etik jurnalistik yang berlaku dirumuskan oleh Dewan Pers Indonesia
yang memperoleh mandat dari UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers untuk menyusun dan
mengawasi pelaksanaan kode etik bagi wartawan. Dengan penjelasan tersebut di atas, untuk
melakukan sebuah penilaian terhadap tindakan jurnalis

(wartawan) tentu tidak sekedar apakah orang tersebut patuh dan taat pada Kode Etik Wartawan
Indonesia. Jika penilaian tersebut hanya berdasar kepatuhan pada kode etik, maka yang terjadi penilaian
hanya didasarkan pada aspek forma (bentuk) saja, bagaimana halnya dengan nilai-nilai esensial dan
ekspresi tindakan yang dilakukan?. Tentu semuanya harus dikaji secara kritis dengan melibatkan ketiga
lembaga (instansi) moral tersebut. Sebagai contoh adalah kasus wartawan asal Afrika Selatan Kevin
Carter, pemenang penghargaan fotografi Pulitzer Prize. Penghargaan tersebut diperoleh Carter
karena foto yang sangat menggunggah rasa kemanusiaan yaitu foto seorang anak dan burung bangkai
di Sudan pada tahun 1994.

Untuk menyederhanakan mengapa etika jurnalisme begitu penting, mari kita lihat
perbandingannya: otot manusia. Saat tidak berolahraga atau hanya digunakan, otot manusia
menjadi lemah, kurang terlihat dan malas. Namun, ketika berolahraga, otot manusia tumbuh,
menjadi kuat dan jauh lebih menonjol dan terlihat.

Ketika melihat jurnalisme yang tidak etis, artikel biasanya lemah, karena tidak memiliki
bukti, informasi, tata bahasa, dan fakta yang benar. Mereka ada, tetapi tidak begitu terlihat oleh
konsumen. Jurnalisme etis memerlukan informasi faktual, bukti kuat, opini dari semua pihak
yang terlibat, informasi objektif dijauhkan dari subjektivitas dan tata bahasa, ejaan, dan tanda
baca yang luar biasa.

Jurnalisme etis, seperti halnya otot yang terlatih, memiliki konten yang kuat, tahan
lama, dan tidak luput dari perhatian. Konsumen begitu kewalahan dengan konten tidak etis
yang disediakan oleh internet sehingga mereka mendambakan karya faktual yang bagus.
Wartawan tidak suka menjadi bagian dari cerita. Mereka lebih suka mengamati, meneliti fakta,
dan melakukan wawancara untuk melaporkan berita. Tetapi terkadang wartawan harus
melangkah maju dan berbicara tentang pekerjaan yang mereka lakukan dan bagaimana mereka
melakukannya.

Di Amerika Serikat, Masyarakat Jurnalis Profesional (Society of Professional


Journalist, SPJ) menggelar "Pekan Etika" (Ethics Week) tiap tahun. Hampir setiap tahun,
Pekan Etika berlalu tanpa pemberitahuan. Biasanya ada seminar dan lokakarya bagi jurnalis
untuk memperkuat standar etika dan membahas hal-hal barumasalah etika yang menuntut
diskusi. Tahun ini berbeda. Hari demi hari, beberapa pemimpin politik mengacaukan pelaporan
yang tidak nyaman dan tidak menyenangkan sebagai berita palsu. Pembaca harus memilah-
milah cerita yang saling bertentangan yang ditemukan di media sosial untuk menentukan apa
yang harus dipercaya. Etika jurnalisme telah berkembang dari waktu ke waktu menjadi
seperangkat standar untuk memastikan pelaporan yang adil dan dapat dipercaya.

SPJ juga menyusun kode etik bagi para anggotanya. Intinya tidak jauh berbeda dengan kode
etik jurnalistik di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Kode etik jurnalistik itu antara lain:


1. Carilah Kebenaran dan Laporkan

Jurnalisme etis harus akurat dan adil. Wartawan harus jujur dan berani mengumpulkan,
melaporkan, dan menafsirkan informasi. Wartawan harus bertanggung jawab atas keakuratan
pemberitaan. Verifikasi informasi sebelum merilisnya.

2. Identifikasi sumber dengan jelas.

Publik berhak atas informasi sebanyak mungkin untuk menilai keandalan dan motivasi sumber.
Pertimbangkan motif sumber sebelum menjanjikan anonimitas. Jelaskan mengapa anonimitas
diberikan.

3. Hindari stereotip.

Jurnalis harus memeriksa cara nilai dan pengalaman mereka dapat membentuk liputan mereka.
Jangan pernah dengan sengaja mendistorsi fakta atau konteks, termasuk informasi visual.

4. Minimalkan Bahaya

Jurnalisme etis memperlakukan sumber, subjek, kolega, dan anggota masyarakat sebagai
manusia yang patut dihormati.

Anda mungkin juga menyukai