Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Kasus Kematian Marsinah : Tinjauan


Terhadap Pelanggaran HAM dan Tantangan
Demokrasi di Indonesia

DISUSUN OLEH:

Anngota : Aliqa Puteri Tsaqifa


Ana Safitri
Arin Agista
Fiki Azimatul Khusna
Leni Noviatun Nabilah
Minahussania
Silvia Maulida
Sofi Apriliati

KELAS XI MIPA 2

MA SALAFIYAH SIMBANG KULON


DAFTAR ISI

Daftar isi ................................................................................................................


BAB I PENDAHULUAN .................................................................................
1.1 Latar Belakang ......................................................................................
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Pennulisan
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................
2.1 Kasus Kematian Marsinah ..............................................................
2.1.1 Marsinah.............................................................................
2.1.2 Kronologi Kejadian ..................................................................
2.1.3 Hasil Autopsi ............................................................................
2.1.4 Kejanggalan Kasus Marsinah
2.2 Rangkuman Kasus Kematian Marsinah .............................................
2.3 Jenis Pelanggaran HAM……………………………….......................
2.4 Lembaga yang Menanggulangi………………………………….....
2.5 Intrumen yang Mengatur Pelanggaran HAM Kasus Marsinah.................
2.6 Masa Kepemimpinan saat terjadinya peristiwa….............................
2.6.1 Demokrasi pada Masa Pemerintahan Soeharto………
2.6.2 Tanggapan Soeharto…………………………………
BAB III PENUTUP .........................................................................................
3.1
Kesimpulan ................................................
..........................................
3.2 Saran
...................................................................
.................................
Daftar Pustaka ...............................................................................................
Kata Pengantar

Assalamua’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Pertama-Tama kami panjatkan


puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho
Allah SWT. yang karena karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan selesai tepat waktu tanpa
suatu halangan berarti. Sholawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda kita tercinta Nabi Muhammad
SAW yang sangat kita nanti-nantikan
syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Ibu Maghfiroh
S.Sos selaku guru pengampu mata pelajaran Ppkn yang membimbing kami dalam
pengerjaan makalah ini serta telah memberi keringanan waktu bagi kami untuk
menyelesaikan makalah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih pada teman-
teman kelompok 5 yang selalu setia membantu mengumpulkan data dan
menyusun dalam pembuatan makalah ini. Adapun maklah kami menjelaskan
tentang kasus pelanggaran HAM.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari Ibu Maghfirah serta teman-teman pembaca
untuk pertimbangam perbaikan makalah di masa medatang

Pekalonagn, 1 Oktober 2023


Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia
itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan
kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat
hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia
manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak
asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain,
atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.

Salah satu hak asasi manusia adalah kebebasan menyuarakan pendapat.


masyarakat dalam negara yang bentuk pemerintahannya demokrasi, sangat
berhak menyuarakan aspirasinya sebagai rakyat. Demokrasi menurut Haris
Soche adalah bentuk pemerintahan rakyat, karenanya dalam kekuasaan
pemerintahan terdapat porsi bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur,
mempertahankan dan melindungi dirinya dari paksaan orang lain atau badan
yang bertanggung jawab memerintah.

Salah satu kasus yang mencoreng latar belakang Indonesia dalam hal
HAM dan demokrasi adalah kematian seorang pekerja perempuan bernama
Marsinah pada tahun 1993. Kasus Kematian Marsinah yang akan kami kaji tidak
lepas dari perkara hak asasi manusia dan hak demokrasi. Kasus ini
mencerminkan tantangan serius yang dihadapi oleh negara dalam menjaga HAM
dan demokrasi di tengah perjalanan demokrasi yang masih muda.

Alasan kami memilih kasus ini untuk dikaji atau diulas karena kasus
Marsinah menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang belum
terpecahkan. Kasus ini telah disebut dalam kajian lembaga International Labour
Organization. Marsinah juga mendapat penghargaan karena peruangannya dalam
membela hak-hak pekerja (buruh). Kasus ini terbilang menarik karena terjadi
pada masa kepemimpinan Soeharto yang terkenal dengan sistem
pemerintahannya yang otoriter.

1.3 RUMUSAN MASALAH

1. Siapa Marsinah?

2. Hak-hak Marsinah apa saja yang dilanggar?

3. Kasus Marsinah terjadi pada masa demokrasi siapa?

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Selain untuk memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Pancasila


Marsinah serta keterkaitannya dengan pelanggaran HAM dan tantangan
demokrasi di Indonesia. Harapannya agar kami tidak hanya dapat mememahami
materi tentang hak asasi manusia dan demokrasi secara mendalam, namun juga
dapat menginterpretasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Kasus Kematian Marsinah

2.1.1 Marsinah

Marsinah (10 April 1969 – 8 Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh
pabrik pada masa Orde Baru, bekerja pada PT Catur Putra Surya
(CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan
terbunuh pada 8 Mei 1993, setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya
ditemukan di hutan yang berada di Wilangan dengan tanda-tanda bekas
penyiksaan berat.

Marsinah adalah seorang buruh pabrik yang bekerja di PT. Catur Putra Surya
Porong, Sidoarjo dan juga aktivis pada Zaman Pemerintahan Orde Baru. Beliau
bernama lengkap Marsinah, wanita kelahiran Nganjuk Jawa Timur 10 April 1969.
Sejak usianya menginjak 3 tahun, ibu Marsinah meninggal dunia sehingga ia
diasuh oleh neneknya yang bernama Pu'irah dan tinggal bersama bibinya yang
bernama Sini di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur. Marsinah menempuh
pendidikan sekolah dasarnya di SD Karangasem 189 melanjutkan pendidikannya
di SMPN 5 Nganjuk dengan mondok di SMA Muhammadiyah Kota Nganjuk.
Menginjak dewasa di akhir hidupnya Marsinah sedang bekerja sebagai buruh
pabrik di PT. Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo dan juga aktivis pada Zaman
Pemerintahan Orde Baru. Marsinah diculik dan kemudian ditemukan sudah
terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 setelah 3 hari menghilang. Mayatnya
ditemukan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
2.1.2 Kronologi Kejadian

1. Pada tanggal 2 Mei, Marsinah dan aktivis buruh lainnya mengadakan


rapat untuk melaksanakan pemogokan kerja demi menuntut kenaikan upah sesuai
dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur.

2. Pada tanggal 3 Mei 1993, buruh PT Catur Putra Surya shift 1 sampai
dengan shift 3 mogok kerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun
tangan mencegah aksi buruh.

3. Pada tanggal 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12
tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per
hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan
bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

4. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama


rekan- rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan.
Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan buruh yang melakukan
perundingan dengan pihak perusahaan.

5. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap


menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di
tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah
menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan
sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-
rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10
malam, Marsinah lenyap.

6. Mulai tanggal 6, 7, 8 Mei keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh


rekan- rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8
Mei 1993. Anehnya, pihak Kodim kemudian menangkap, menyiksa, dan
menjatuhkan vonis terhadap sejumlah management PT Catur Putra Surya dan
seorang di antaranya dalam keadaan hamil muda, atas tuduhan telah membunuh
Marsinah. Pada tahun 1993, dibentuk Komite Solidaritas Untuk Marsinah
(KSUM) yang didirikan oleh beberapa LSM dan serikat buruh untuk
menginvestigasi dan mengadvokasi pembunuhan Marsinah oleh Aparat Militer.
Sampai saat ini matinya Marsinah merupakan peristiwa gelap yang belum dapat
diketahui siapa pelaku pembunuhnya. Runyamnya, pada tahun 2012 kasus
Marsinah ditutup karena dianggap telah mencapai batas waktu peradilan.

2.1.3 Hasil Autopsi

Hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur


sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri
lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut. Di dalam
tubuhnya ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur.
Selain itu, selaput dara Marsinah robek. Kandung kencing dan usus bagian
bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu
liter. Setelah dimakamkan, tubuh Marsinah diotopsi kembali. Visum kedua
dilakukan tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum,
tulang panggul bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-
keping. Tulang kemaluan kanan patah. Tulang usus kanan patah sampai terpisah.
Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada
serpihan tulang. Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter.
Juga pendarahan di dalam rongga perut.

Hal itu tercatat dalam penelitian iyut Qurniasari dan 1.G. Krisnadi yang
termuat di Jurnal Publika Budaya Universitas Jember berjudul "Konspirasi
Politik dalam Kematian Marsinah di Porong Sidoarjo Tahun 1993-1995"
Sembilan terdakwa dibebaskan, tapi siapa pembunuh Marsinah hingga kini tak
pernah diungkap pengadilan. "Persidangan dimaksudkan untuk mengaburkan
militer tanggung jawab atas pembunuhan itu," tulis Amnesty Internasional dalam
laporannya, Indonesia: Kekuasaan dan Impunitas: Hak Asasi Manusia di bawah
Orde Baru. Trimoelja D Soerjadi, pengacara Marsinah, menuturkan, semua
terdakwa secara bengis disiksa dan dianiaya. Intervensi militer itu adalah
"Pengalaman yang getir, menyakitkan dan paling mengerikan serta menakutkan,"
kata Soerjadi saat menerima Yap Thiam Hien Award untuk Marsinah di Jakarta
pada 10 Desember 1994.

Di dalam kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat karena terdapat


unsur yang memunculkan pelanggaran HAM berat yakni pasal 9 UU No 26
Tahun 2000 unsur kejahatan manusia dan juga mengandung unsur pelanggaran
hak asasi manusia. Dasar hukum yang dilanggar pada sila ke-2 yaitu
"kemanusiaan yang adil dan beradab". Didalamnya terdapat tindak kejahatan
seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan. Dan penganiayaan
terhadap seseorang atau kelompok yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin yang telah diakui universal
sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

2.1.4 Kejanggalan Kasus Marsinah

Menurut Dr. Abdul Mun’im Idries, dokter ahli forensik Instalasi


Kedokteran Kehakiman (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
terdapat beberapa kejanggalan pada hasil visum Marsinah. Dalam persidangan ia
memaparkan kejanggalan barang bukti dan hasil visum yang hanya terdapat satu
halaman saja. Dia mencurigai barang bukti proses peradilan yang berupa balok.
Menurutnya ukuran balok tidak sesuai dengan ukuran luka pada alat vital
Marsinah. Ia menjelaskan bahwa pendarahan dalam rongga perut bukan
penyebab kematian Marsinah, dan bukan balok yang digunakan untuk menyodok
alat vital korban. Menurutnya senjata api lah yang digunakan dan menjadi
penyebab kematian Marsinah.
Selain itu hasil visum yang terlalu sederhana tidak melaporkan keadaan
kepala, leher, dan dada korban. Penyebab kematian Marsinah pun tidak terjawab
pada hasil visum, hanya mekanisme kematian yaitu pendarahan dalam rongga
perut. Fakta persidangan disebut ia ditusuk kemaluannya dalam waktu yang
berbeda, sementara hasil visum dikatakan hanya ada satu luka pada alat kelamin.
Hingga kini tidak ada yang tahu kejelasan kasus tragis ini. Bahkan tidak
disebutkan orang-orang yang harus mempertanggung jawabkan kematian
Marsinah.

2.2 Rangkuman Kasus Kematian Marsinah

Kasus Marsinah adalah peristiwa bersejarah yang terjadi di Indonesia pada


tahun 1993. Marsinah adalah seorang buruh perempuan yang bekerja di pabrik
garmen di Sidoarjo, Jawa Timur. Ia dikenal sebagai pejuang buruh yang berani
memperjuangkan hak-hak mereka. Aktivitasnya meliputi menjadi juru bicara
buruh dalam perundingan dengan pihak pengusaha dan mengungkap kasus
pelecehan seksual yang dialami oleh beberapa buruh perempuan di pabrik
tersebut.

Pada tanggal 8 Mei 1993, Marsinah tiba-tiba menghilang setelah pulang


dari pabrik. Dua minggu kemudian, mayatnya ditemukan dengan tanda-tanda
penyiksaan yang mengerikan. Kematian tragis Marsinah ini memicu kemarahan
dan protes luas di masyarakat. Meskipun pihak berwenang menuduhnya terlibat
dalam pengkhianatan, banyak yang yakin bahwa pembunuhan Marsinah terkait
dengan aktivitas buruhnya dan pengungkapan pelecehan seksual di tempat
kerjanya.

Kasus Marsinah memicu protes besar-besaran dan menjadi sorotan publik.


Demonstrasi digelar dan tuntutan untuk mengungkap kebenaran tentang
kematian Marsinah terus berlanjut. Meskipun ada beberapa tersangka yang
diadili, banyak pihak merasa bahwa keadilan tidak sepenuhnya tercapai dalam
kasus ini. Hingga saat ini, beberapa pertanyaan dan keraguan masih
mengelilingi kematian Marsinah. Kasus Marsinah menjadi simbol perjuangan
buruh di Indonesia dan mengingatkan akan pentingnya melindungi hak-hak
buruh serta menjalankan proses hukum yang adil.

3.1 Jenis Pelanggaran HAM

Dalam kasus ini merupakan pelanggaran HAM berat karena terdapat unsur
yang memunculkan pelanggaran HAM berat yakni pasal 9 UU No 26 Tahun
2000 unsur kejahatan manusia dan juga mengandung unsur pelanggaran hak
asasi manusia. Dasar hukum yang dilanggar pada sila ke-2 yaitu "kemanusiaan
yang adil dan beradab". Didalamnya terdapat tindak kejahatan seperti
pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan. Dan penganiayaan
terhadap seseorang atau kelompok yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin yang telah diakui universal
sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

3.2 Lembaga yang menanggulangi

Pembunuhan atas kasus buruh Marsinah tidak hanya menjadi perhatian


media dalam negeri, melainkan banyak disorot oleh media internasional. Perhatian
masyarakat internasional tersebut terjadi karena dianggap dalam kasus
pembunuhan Marsinah ini bukan hanya kasus HAM yang ringan saja. Citra buruk
Indonesia mengenai perburuhan yang telah melekat dikarenakan regulasi
pemerintah kini malah semakin mendapat kecaman akibat mutu kesejahteraan
buruh yang belum dinilai baik ditambah lagi dengan munculnya kasus
pembunuhan Marsinah. Hingga pada akhirnya dari beberapa organisasi buruh
internasional terdapat satu organisasi yaitu Federasi Buruh Amerika Serikat
yang menuntut pemerintahannya agar mencoret negara Indonesia dari daftar
yang memperoleh pelayanan bebas pajak komoditi.

Maka dari itu Tim United States Trade Representative (USTR), suatu
perkumpulan yang biasa menangani pelayanan GSP, tanggal 24 September
1993 berkunjung di Surabaya mengatakan turut prihatin karena penaggulangan
masalah tindak pidana Marsinah memakan waktu lama. Adanya tekanan itu
menimbulkan keresahan sehingga pemerintah kita membuat Tim Terpadu
dengan tujuan menyelidiki kematian buruh Marsinah. Tanggal 30 September
1993 Tim Terpadu berhasil ditetapkan dan dikepalai Kadit Serse Polda
Jawa Timur Kol Pol Drs. Engkesman R. Hillep. Satgas tersebut menyelidiki
142 saksi terhadap siapa saja yang tahu mengenai peristiwa besar ini.
Selanjutnya, pria berpangkat kolonel polisi mengungkapkan telah
memperoleh petunjuk sehingga dapat dipastikan beliau sudah bisa
menjaring para tersangka. Selanjutnya dari penjelasan 142 saksi, pelaku
pembunuhan diduga kuat merupakan orang yang mempunyai PT. CPS serta
kedelapan pekerjanya.

Peristiwa dalam sidang dalam kasus Marsinah telah dinilai banyak


ketidakbenaran fakta hingga akhirnya para tersangka dapat dihindarkan dari
segala tuduhan. Karena dua pengadilan di Surabaya yang menangani kasus ini
menyatakan semua terdakwa dijatuhi hukuman penjara dan hanya satu orang
saja yang dibebaskan yaitu pemilik PT. CPS. JPU menyatakan jika tidak
menerima apa yang telah diputuskan tersebut dan akhirnya diajukanlah
permohonan kesaksian terhadap MA. Selanjutnya, permohonan tersebut disusul
oleh delapan orang yang telah dinyatakan sebagai terdakwa dalam kasus
ini. Pada sidang terbuka 3 Mei 1995 MA mengumumkan bahwa kesembilan
terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah. MA menilai secara garis besar
PN Surabaya salah pada saat menerapkan hukum pembuktian. Saksi-saksi
yang terdakwa dalam masalah dengan dakwaan yang sama serta berkas
dakwaan mereka dipecah menjadi enam berkas, telah dinilai bertentangan
dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Selain itu, terdakwa mencabut keterangannya dalam berkas penyidikan kaena
mendapatkan tekanan psikis dan fisik. Para saksi di persidangan yang turut
dihadirkan belum memenuhi.
Pada saat kasus ini terjadi belum dibentuk lembaga perlindungan HAM
seperti Komnas HAM dan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap
Perempuan.

3.3 Instrumen yang Mengatur Pelanggaran HAM Kasus Marsinah

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang


Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang Berat
5. Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional
Antikekerasan terhadap Perempuan.

3.4 Masa Kepemimpinan saat terjadinya peristiwa


Satu bulan sebelum Marsinah dibunuh, Presiden Soeharto menghadiri
pertemuan Hak Asasi Manusia di Thailand. Dalam forum itu, Soeharto
menyatakan RUU Hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB tidak bisa
diterapkan di negara-negara Asia. Jenderal tangan besi itu menjelaskan, di
Asia warga tak bisa bebas mengkritik pemimpinnya, beda dengan budaya
Barat. Soeharto juga menekankan bahwa warga negara wajib menunjukkan
rasa hormat pada pemimpin mereka, sebagaimana anggota keluarga pada
kepala keluarga. Hal itu diuraikan Leena Avonius and Damien Kingsbury
dalam “From Marsinah to Munir: Grounding Human Rights in Indonesia”
yang terbit tahun 2008.

Soeharto melakukan intervensi yang kuat untuk memonitor dan mengatur


protes buruh. Dia memiliki perangkat Surat Keputusan Bakorstanas
No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986.
Jika ada perselisihan antara buruh dengan pengusaha, maka yang berhak
memediasi adalah militer. Tak heran, para pekerja yang kritis dan mencolok harus
kuat menghadapi intimidasi dan penangkapan.

3.5 Tanggapan Soeharto


Seperti diberitakan Harian Kompas pada 10 November 1993, Presiden
Soeharto meminta agar kasus Marsinah diusut dengan tuntas. Soeharto juga
menekankan agar kasus pembunuhan Marsinah tidak ditutup-tutupi. "Masyarakat
jangan berprasangka dulu sebab pemerintah akan menuntaskan kasus ini. Dan,
biarkan petugas berwenang menangani kasus itu hingga selesai serta
memutuskannya sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku, serta
menghukum mereka yang bersalah," ujar Soeharto kala itu. Ketika itu, memang
muncul kerugiaan terhadap aparat terkait kasus pembunuhan Marsinah. Sebelum
pidato Soeharto, pada 30 September 1993, pemerintah telah membentuk Tim
Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur untuk menyelidiki kasus Marsinah.
Selanjutnya, delapan orang petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan
tanpa prosedur resmi. Salah satu orang yang ditangkap adalah Kepala Personalia
PT CPS, Mutiari, yang kala itu sedang hamil. Selain itu, pemilik PT CPS, Yudi
Susanto, juga turut ditangkap dan diinterogasi. Orang-orang yang ditanggap itu
diketahui menerima siksaan berat, baik secara fisik ataupun mental, serta diminta
mengakui telah merencanakan penculikan dan pembunuhan terhadap Marsinah.

Pada masa pemerintahan tangan besi Soeharto , Marsinah selalu berani


melawan penguasa. Ia tidak takut dengan perusahaannya yang selalu dilindungi
militer. Buruh perempuan pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) ini tidak
pernah gentar membela hak-hak pekerja yang dirampas oleh pemilik perusahaan.
Bagi petunggi-petinggi perusahaan, Marsinah bagaikan benalu yang pekerjaannya
selalu mengganggu. Ia provokator para buruh untuk buruh kerja. Ia juga pintar
dan jeli dengan mengetahui kebusukan-kebusukan perusahaan. Hadirnya
Marsinah selalu dianggap menghambat kemajuan dan produksi di perusahaan.
Tapi dia tidak pernah berniat menjatuhkan perusahaan. Ia hanya menanyakan apa
yang seharusnya menjadi hak para buruh.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Marsinah

https://www.researchgate.net/publication/
348547879_ANALISIS_PELANGGARAN_HAM_BERAT_STUDI_KA
SUS_PEMBUNUHAN_MARSINAH

https://bemu.umm.ac.id/id/berita/menolak-lupa-30-tahun-kematian-marsinah.html

Wikipedia Indonesia. 2007. Hak Asasi Manusia. id.wikipedia.Org/wiki/HakAsasi


Manusia- 26k.Diakses 02 Desember 2011

https://www.youtube.com/watch?v=GmOMxis2p2c

Anda mungkin juga menyukai