“…. Dongeng itu (pertarungan antara ikan sura dan buaya) dapat mengungkapkan
suatu lambang tentang “pertarungan abadi“ antara laut dan daratan dengan
menampilkan binatang sebagai penguasa kedua wilayah masing-masing, yang di
Surabaya memang ditandai dengan mundurnya (garis pantai) laut oleh endapan pasir
dan lumpur di muara sungai-sungai kita. Laut pasang naik diibaratkan pelanggaran
terhadap wilayah daratan oleh ikan hiu, sedangkan laut pasang surut mengiaskan
direbutnya kembali wilayah tersebut oleh sang buaya.
Menarik sekali ialah, bahwa “sura” sering kita temukan dalam kata-kata gabungan.
Dalam kata-kata gabungan itu tentu kata “sura” tidak ada hubungannya dengan ikan
hiu, meskipun ikan hiu dinamakan juga ikan ”sura”. Di sini “sura” berarti: gagah berani,
pandai berkelahi, ganas.
Dengan “baya” demikian pula halnya. Berarti: pertarungan, pejuang, pahlawan,
pemberani. Menurut pengertian di atas maka “sura-westhi” berarti Ratu Pemberani
“sura-pringga” berarti Pahlawan Pemberani; “sura ing baya” Pejuang Pemberani.
Karena (ikan) “sura”, seekor binatang pemberani, banyak terdapat di lautan kita, jadi
sangat dikenal oleh penduduk, sedang demikian pula dapat dikatakan tentang “baya”
(buaya), maka pada hemat saya bukan mustahil orang telah memilih dongeng
pertarungan antara darat dan lautan, karena gambaran tersebut lebih menarik dan
dengan demikian tidak mudah dilupakan. Baik sifat maupun nama mereka, ternyata
“sura” dan “baya” cocok sekali untuk dongeng (legenda) tersebut.
1
Beberapa sejarawan, dengan menggunakan dukungan berbagai
sumber arkeologis menginterpretasikan simbol ini sebagai simbol dari
kemenangan pasukan Jawa melawan pasukan Mongol, yang diabadikan
dengan simbol pertarungan antara ikan Sura melawan Buaya. Dari
interpretasi ini dapat dikatakan bahwa ikan sura merupakan simbol dari
karakter orang Surabaya atau yang lebih dikenal arek Surabaya; sedang
buaya lebih menunjuk kepada keangkaramurkaan.
Mengenai kapan munculnya Surabaya dalam percaturan politik dan
ekonomi di Jawa, masih menjadi bahan kajian banyak sejarawan. Beberapa
pendapat mengatakan bahwa Surabaya dahulunya bernama Hujung Galuh,
sebuah nama kerajaan yang disebut-sebut dalam prasasti dan kronik-kronik
Cina.3 Studi toponimi berusaha melokalisir letaknya dan diperkirakan
sekarang adalah kampung Galuhan di sekitar jalan Pawiyatan yaitu antara
jalan Bubutan dan jalan Semarang di Surabaya. 4 G.H.von Faber berpendapat
bahwa Surabaya didirikan oleh Raja Kertanegara pada tahun 1272 M.
Pemukiman baru itu terletak di sebelah utara Glagah Arum, dengan batas
Kalimas disebelah Barat dan Kali Pegirian di sebelah Timur. 5 Terlepas dari
benar tidaknya hipotesis-hipotesis itu, yang jelas dalam sumber-sumber
tertulis nama Surabaya untuk yang sementara yang paling tua baru disebut
dalam prasasti Trowulan I, yang berangka tahun 1358 M.6
“… i trung, i kambangan cri, i tda, i gsang, i bukul, i curabhaya, muwuh
praharaning nadisira pradaca athananing anambangi i madansen …”
Sumber tertulis lain yang lebih muda yang menyebut nama Surabaya
adalah Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365 M.
Dalam tulisan ini, Prapanca menjelaskan panjang lebar tentang sebuah
perjalanan pesiar yang dilakukan oleh Raja Majapahit Hayam Wuruk (1352-
1389).7
“… Yan ring Janggala lot sabha nrpati ring Surabhaya manulus maring Buwun …”
“… dikunjungi jika di Jenggala tinggal di Surabaya terus ke Buwun (“Bawean”)…”
2
sebuah masjid pada pertengahan kedua abad ke-15, yang kemudian menjadi
pusat masyarakat pedagang Islam. Pendirian kerajaan ini diperkirakan tidak
lama setelah jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit. Mengenai tahun yang tepat
munculnya Surabaya sangat tidak jelas. Orang Portugis pertama-tama
menyebutkan nama ini tahun 1521. Pada jurnal-jurnal VOC, awalnya juga
kadang-kadang menyebut nama Surabaya, tetapi tidak ada hal-hal khusus
yang disampaikan.9 Menurut de Graaf, raja-raja Surabaya menganggap diri
mereka sebagai keturunan Sunan Ngampel Denta.10
Sumber-sumber mengenai orang-orang terkemuka Surabaya maupun
para rajanya hampir tidak ada. Sumber Belanda hanya menyebut raja
Surabaya saja dan sumber tradisional Jawa hanya menyebut Adipati
Surabaya. Graaf mengidentifikasi istilah Adipati sebagai gelar lama bagi
seorang raja yang ada di Negara Demak yang oleh Tome Pires diterjemahkan
dengan kata Pate.11 Sumber Belanda lainnya menyebutkan bahwa pada abad
ke-17, orang-orang Belanda menghadap seorang raja Surabaya yang sudah
tua sekali dan buta. Raja ini diduga meninggal tidak lama setelah pertemuan
itu dan diganti oleh raja yang lebih muda yang memerintah sampai akhir
Kerajaan Surabaya. Raja yang disebut terakhir ini mempunyai putra yang
bernama Adipati Pekik. Dalam sumber tradisional Jawa lain disebut dengan
nama Ratu Pekik, dan ayahnya bernama Raden Jaya Lengkara, yang
diperkirakan sebagai raja Surabaya yang terakhir. Selanjutnya dalam sumber
ini juga disebutkan bahwa Raden Jaya Lengkara mempunyai dua istri, yang
pertama yaitu Ratu Mas dari Kediri dan istri kedua yang namanya tidak
disebutkan berasal dari Mojoagung (Wirasaba).12
Sebuah sumber tradisional lain yang ditemukan oleh de Graaf berupa
naskah kecil yang berjudul: “Punika Panjenengan ing Kabupaten Sura
Pringga” (Ini adalah para raja di Kabupaten Surabaya), menguatkan bahwa
mereka ini adalah keturunan Sunan Ngampel Denta serta meyakinkan bahwa
para raja dan pangeran Surabaya dimakamkan di sebelah Sunan Ngampel
Denta ini. Hal ini dikuatkan pula oleh adanya iring-iringan ziarah para
keturunan mereka ke makam-makam Ngampel Denta pada bulan September
1691.13
Pada awal tahun 1620-an, wilayah Surabaya meliputi daerah pesisir
yakni Gresik, Jortan, Sedayu, dan Bawean serta daerah pedalaman yakni
Japan (Mojokerta), Wirasaba (Mojoagung), dan Kediri. Di samping wilayah ini
terdapat pula daerah-daerah jajahan Surabaya yaitu Pasuruan, Blambangan,
dan sebagian kecil Kalimantan. Sumber penghidupan utama masyarakat
Surabaya pada masa ini terutama daerah pesisir adalah pelayaran dan
perdagangan. Coen menyebutkan bahwa perdagangan warga Surabaya
meliputi seluruh kepulauan nusantara, perahu-perahu mereka melintasi
Malaka, Maluku, Ambon, Banda, maupun Solor. Lebih lanjut Coen
menyatakan : “yang satu ke sini, yang lain ke sana dengan perahu-perahunya
untuk mencari nafkah”.14
3
Dengan demikian secara politik maupun ekonomi, Surabaya akhirnya
tumbuh sebagai pusat kerajaan di Jawa Timur, berdiri dan menyaingi
kekuasaan yang sedang tumbuh di Jawa Tengah, Mataram.15 Berkali-kali
Mataram melakukan serangan untuk sedapat-dapatnya menguasai Surabaya.
Serangan itu berturut-turut dilakukan pada tahun 1620, 1621, 1622, 1623,
1624 dan yang terakhir pada tahun 1625.
Dari lima kali serangan itu Surabaya masih mampu bertahan; tetapi
anehnya justru kekalahan Surabaya pada tahun 1625 bukan akibat dari suatu
pertempuran melainkan dengan menempuh cara damai. Menurut ceritera-
ceritera Jawa sebagaimana diungkapkan oleh Graaf,16 pasukan Mataram
bergerak maju melaui Japan (Mojokerto) ke Terres atau Terusan dan mereka
bertahan untuk beberapa waktu. Dari sini pasukan Mataram melakukan satu
teror dengan membendung sungai. Hanya sedikit air yang dialirkan. Air yang
mengalir sedikit ini dikotori dengan keranjang-keranjang yang berisi bangkai
dan buah aren, yang diikat pada tonggak-tonggak di dalam sungai. Karena
sumber air yang digunakan masyarakat Surabaya pada masa itu adalah
Kalimas, maka penduduk Surabaya banyak yang menderita penyakit perut,
gatal-gatal, demam, dan batuk-batuk. Akibat dari blokade, para pembesar
Surabaya akhirnya menempuh cara damai, yakni dengan mengirim utusan
yang dipimpin oleh Raden Pekik. Maksud kedatangan Raden Pekik ini di
sambut baik dan akhirnya sejak tahun ini Surabaya berada di bawah panji-
panji kerajaan Mataram hingga tahun 1743.
4
tanggal 9 April 1667 armada kompeni di bawah pimpinan Speelman telah
berhasil mencapai Surabaya. Langkah pertama yang ditempuh Speelman
adalah melalui jalan damai, agar Trunojoyo mau menyerah dan tunduk
kembali di bawah panji-panji Kerajaan Mataram. Karena tidak mendapat
tanggapan yang serius, maka Speelman menggunakan aksi kekerasan
terhadap Trunojoyo. Pertempuran sengit terjadi dan Trunojoyo mengundurkan
diri ke Kediri.18 Tanpa disadari oleh Belanda ternyata pasukan Trunojoyo
dengan bantuan Raden Kajoran telah berhasil menduduki Mataram. Raja
Amangkurat I beserta para pengikutnya yang setia melarikan diri ke arah
barat dan meninggal di perjalanan. Namun demikian, sebelum meninggal,
Amangkurat I masih sempat mengangkat putranya Pangeran Adipati Anom
yang telah diampuni kesalahannya menjadi raja dan menasehati putranya
agar mencari pertolongan kepada Kompeni. Mendengar berita runtuhnya
Kerajaaan Mataram ini Speelman segera meninggalkan Surabaya dan
kembali ke Jepara. Dari sana akhirnya ia berhasil merebut kembali Kota
Semarang yang merupakan pintu gerbang menuju pedalaman Jawa Tengah.
Langkah berikutnya setelah menundukkan Adipati Anom sebagai raja dan
bergelar Amangkurat II, pada bulan Agustus 1678 pasukan Belanda menuju
Kediri, tempat kediaman Trunojoyo. Kediri berhasil dikuasai, tetapi Trunojoyo
telah terlebih dahulu meloloskan diri ke Malang. Baru pada tanggal 15 Januari
1682 keadaan pulau Jawa dapat dikatakan aman setelah beberapa tahun
dilanda peperangan. Untuk mencegah terulangnya kembali peristiwa
Trunojoyo dan gerombolan Makassar maka Kompeni merasa perlu untuk
menempatkan sejumlah pasukan di Surabaya.19
Keadaan tenang yang meliputi pantai timur Jawa yang berhasil
diciptakan oleh Belanda pada tahun 1682, kembali diguncang dengan
pemberontakan Untung Surapati yang menggegerkan.20 VOC berupaya
sekuat tenaga untuk melumpuhkan Surapati. Segala macam cara dilakukan,
termasuk memaksa raja Mataram untuk membunuh Surapati, namun
usahanya kurang mendapat dukungan dari penguasa Jawa. Dalam suatu
serangan terhadap kubu Surapati pada tanggal 8 Februari 1686, VOC bahkan
harus membayar mahal dengan tewasnya Kapten Tack. 21 Setelah berhasil
memperdaya VOC, Surapati pergi ke Pasuruan dan membentuk suatu daerah
kekuasaan yang merdeka. Dia dan anak cucunya akan memerintah sebagian
besar wilayah Jawa Timur di sebelah Selatan sungai Brantas selama lebih
dari dua dasawarsa dengan tetap memelihara kerjasama dengan para raja
Bali dan Mataram.
Perang suksesi Jawa I meletus dan dimenangkan oleh Pakubuwana I
atas dukungan VOC setelah terlebih dahulu mencapai persetujuan baru
berupa konsesi-konsesi yang memberatkan rakyat Jawa. Amangkurat III lari
ke arah Timur dan bergabung dengan Surapati. Pada tahun 1706, 1707, dan
1708 pasukan gabungan VOC, Madura, dan Kertasura melakukan serangan
besar-besaran di Jawa Timur. Pada tahun 1706 Surapati terbunuh di Bangil.
5
Pada tahun 1707 Pasuruan berhasil ditaklukkan, sedangkan Amangkurat III
beserta putra-putra Surapati melarikan diri ke Malang. 22 Konsesi-konsesi yang
diberikan Istana Kertasura kepada VOC menyebabkan kebencian rakyat di
mana-mana. Pada tahun 1717, Surabaya bersekutu dengan prajurit-prajurit
Bali memberontak. Pemberontakan ini bisa dipadamkan oleh VOC pada tahun
1718, tetapi tidak seluruh pasukan pemberontak dapat dihancurkan.
Pemberontakan ini segera disusul dengan pemberontakan-pemberontakan
lain seperti di Ponorogo, Madiun, Magetan, dan Jogorogo. Pangeran
Dipanegara yang dikirim untuk menghentikan pemberontakan justru malah
berbalik ikut memberontak.
Di tengah-tengah hancurnya Surabaya dan bagian lain kerajaan yang
ada di Timur sebagai akibat pemberontakan ini, VOC kembali disibukkan
dengan adanya perang suksesi Jawa II. Pada tahun 1748, dengan berhasil
dipulihkannya kembali perang suksesi Jawa II, VOC memperoleh konsesi
baru dari raja Pakubuwono II. Konsesi itu antara lain adalah diserahkannya
kedaulatan penuh kepada VOC atas Madura Barat, Surabaya, Rembang,
Jepara, serta Ujung Timur.23 Dengan demikian secara resmi sejak tahun 1743
Surabaya langsung berada di bawah kekuasaan Kompeni.
6
para bupati; namun karena masih kuatnya ikatan feodal maka usaha
Daendels pun gagal. Untuk mengisi kekosongan kas negara. Daendels
memilih jalan pintas dengan melakukan penjualan secara teratur tanah-
tanah di Surabaya kepada swasta sebagai hak milik. Sejak tahun 1809,
sebagian kota dan pedalaman kota Surabaya oleh Daendels dialihkan
ke tangan swasta, lewat penjualan dan pemberian hadiah. 26
Usaha-usaha Daendels untuk mempertahankan Surabaya dari
bangsa Inggris tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pada tahun 1811,
Inggris masuk ke Surabaya tanpa ada perlawanan. 27 Pada tahun 1811
Jawa termasuk Surabaya dinyatakan ditaklukkan oleh Inggris.
Penaklukkan ini bukan hanya atas penduduk pribumi melainkan juga
atas pemilikan tanah. Atas dasar ini, pemerintah Inggris kemudian
menetapkan peraturan pajak bagi para pemakai tanah. 28 Bukan hanya
itu, reformasi di bidang politik juga dilakukan yakni dengan menjadikan
para kepala pribumi sebagai pegawai biasa. Untuk mencari sumber-
sumber keuangan yang lain, pemerintah Inggris juga melakukan
penjualan atau penyewaan terhadap sejumlah tanah yang ada di
Surabaya kepada pihak swasta.
Penjualan atau pemberian hadiah kepada pihak swasta pada
masa Daendels (1808-1811) dan Raffles (Inggris) 1811-1816, bisa
dilihat pada tabel berikut ini.
7
pemerintah kolonial Belanda sampai dengan tahun 1880 senantiasa
mengalami defisit.
8
Latar belakang geografi Karesidenan Surabaya masing-masing
kabupaten adalah sebagai berikut:
Kabupaten Surabaya
9
lebih kecil terbentuk dari genangan air Kedungsoro, Gedeg, dan Mlirit dalam
jarak 70.027 meter. Arus air memisahkan Delta Surabaya dari daerah kapur.
Dari dua cabang aliran utama sungai ini, cabang selatan mengaliri 20.851 bau
sawah dan cabang utara mengaliri 33.127 bau di Delta. Daratan di seluruh
Delta ini umumnya rata, perbukitan hanya sedikit dijumpai di tepi sungai di
dekat taman di Jenggala I.36
Afdeeling Bawean
10
kedudukan para raja ulama yang hanya diungguli oleh kekuasaan raja–raja
Mataram dan akhirnya dihancurkan pada tahun 1623.40 Nama Gresik berarti
tanah yang kuat. Nama ini bisa ditafsirkan bahwa di tengah daerah rawa
pantai, sebuah tanah berpasir yang keras dipilih untuk membangun tempat ini.
Pada abad ke-16, Gresik banyak disinggahi oleh kapal–kapal Portugal.
Secara geografis, Gresik memiliki letak yang menguntungkan. Dataran
ini terletak menjulang pada pada Ujung Timur Laut dari Selat Madura. Karena
letaknya ini Gresik mempunyai daerah pelabuhan yang aman, dan terutama
menarik bagi kapal–kapal pribumi, kapal–kapal Eropa dan USA untuk
singgah. Banyak orang mencari peluang untuk membuat kapal pada galangan
kapal yang ada disini. Pelabuhan Gresik lama–kelamaan menjadi kurang
berarti dan digeser oleh pelabuhan Surabaya karena pantainya semakin
banyak mengalami penimbunan lumpur, sehingga kapal yang seharusnya
bisa bongkar muat dari waktu ke waktu dekat dengan daratan, kini harus
mencapai ratusan kaki di laut. Daerah Gresik umumnya terdiri atas sederetan
batuan kapur yang menjulang di tengah deretan pantai yang luas, oleh karena
itu tanah di Gresik umumnya tidak subur.41
Kabupaten Sedayu
11
kolonial. Perbukitan kapur yang ditumbuhi oleh sisa–sisa hutan Jati menutup
bagian Selatan Kabupaten Sedayu.43
Kabupaten Lamongan
Kabupaten Mojokerto
12
Biduri. Di Trowulan (paal 43), dan Penanggelan (paal 44), daratannya
ditumbuhi dengan hutan Jati. Desa Mojoagung yang pada masa sebelumnya
disebut juga Wirasaba terletak pada paal 53, desa Kauman (paal 46), Miantri
dan Terongan (paal 50), Mancus (paal 51), di desa banyak dijumpai lahan
tebu, dan Desa Lundo yang merupakan batas Di Distrik Mojoagung. Distrik
Mojorejo pada paal 53 terdapat beberapa sungai yang memotong jalan.
Distrik ini panjangnya 12 paal dan dipotong oleh jalan menuju Kediri, di sini
hanya sedikit dijumpai tanah Tebu. Dari Mojorejo selanjutnya pada paal 55
terdapat desa Jenar, setelah berbelok Ke Selatan - Barat Daya, dijumpai
Desa Trenggana pada paal 56, Tunggul pada paal 57, Tondowulan paal 58,
Palguna (paal 59), Tanggungan (paal 60), Plumpung (paal 61), Semolo (paal
62), Rodot (paal 63), Kadipura dengan sebuah pabrik gula yang dimiliki oleh
partikelir Banjar Jejer yang menyewa di sana pada pal 64, dan akhirnya
Banjar Jejer sendiri pada paal 65 yang juga sekaligus merupakan perbatasan
antara Karesidenan Surabaya dan Karesidenan Kediri.46
Wilayah administrasi Karesidenan Surabaya pada awal abad ke-20 an
mengalami beberapa perubahan lagi yakni dengan masuknya kabupaten
Jombang, leburnya kabupaten Sedayu ke dalam Gresik; Sidoarjo yang dulu
merupakan salah satu afdeeling dari kabupaten Surabaya berdiri sendiri
sebagai sebuah kabupaten, serta kabupaten Lamongan. Batas-batas
Karesidenan Surabaya pada masa ini di sebelah utara adalah Laut Jawa;
sebelah timur adalah Selat Madura; sebelah barat adalah Karesidenan Kediri
dan Rembang, serta batas sebelah selatan adalah Karesidenan Pasuruan.
Akhirnya di sebelah barat Karesidenan Surabaya ditutup dengan rangkaian
gunung berapi yakni Gunung Arjuna, Gunung Anjasmara, Gunung
Penanggungan, Gunung Welirang dan Gunung Kembar yang masih aktif.47
Pada dataran pegunungan itu terdapat hamparan tanah merah yang
mengandung batuan andesit yang kadang-kadang juga diselingi dengan lahar
yang menjadikan tanah di daerah itu menjadi subur. Dataran ini hampir
meliputi separuh dari Karesidenan Surabaya, yakni pada sebelah daerah
selatan kali brantas, cabang utara kali Surabaya, serta daerah antara Kali
Solo dan Kali Lamongan. Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang,
tanahnya terdiri atas bahan yang mengandung pasir, bahan larva, sebagian
tanah liat yang berwarna kuning dan cokelat yang karena bercampur dengan
sisa tumbuh–tumbuhan lalu menjadi agak gelap; menjadikan kedua
kabupaten ini sangat subur.48
Dari uraian mengenai kondisi geografi, jelas Karesidenan Surabaya
cukup potensial bagi suatu perkembangan ekonomi daerah itu, karena di
samping memiliki pelabuhan yang aman, Karesidenan Surabaya juga daerah
pedalaman yang subur, terutama daerah Delta Surabaya, Mojokerto, dan
Jombang.
13
Di Karesidenan Surabaya dan karesidenan-karesidenan lain di Jawa
pada umumnya pasokan tenaga kerja per satuan lahan pada abad ke–19
dapat dikategorikan sebagai sangat tinggi.49 Data mengenai jumlah penduduk
Karesidenan Surabaya, pertama kali dapat diketahui setelah Raffles
melakukan penghitungan jumlah penduduk Jawa pada tahun 1815. Usaha ini
dilakukan oleh Raffles sebelum ia memberlakukan sebuah kebijakan ekonomi
baru yakni sistem pajak tanah. Dari hasil penghitungan penduduk yang
dilakukan oleh Raffles, jumlah penduduk Karesidenan Surabaya dan
karesidenan-karesidenan lain di Jawa pada tahun 1815 dapat dilihat dalam
tabel berikut ini.
14
Dari tabel tersebut tampak bahwa tingkat kepadatan penduduk
Karesidenan Surabaya pada tahun 1815 berada di atas rata–rata Jawa.
Setelah penghitungan penduduk yang dilakukan oleh Raffles pada tahun
1815, tahun–tahun setelah itu tidak lagi ditemukan usaha–usaha
penghitungan jumlah penduduk, baik Surabaya maupun Jawa. Baru pada
tahun 1839, dapat diketahui jumlah penduduk Surabaya dan karesidenan–
karesidenan lain di Jawa pada tahun 1826–1831 dalam sebuah artikel di
T.v.N.I yang berjudul Bevolking van Java en Madoera. Jumlah penduduk
Surabaya ada masa ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
15
1827-1828 naik 6,8%; tahun 1828-1829 naik 6,2 %; 1829-1830 angka
kenaikannya adalah 11% dan 1830-1831 naik 1,1%. Dengan demikian rata-
rata kenaikan penduduk Surabaya pada tahun 1826-1831, lebih tinggi dari
rata-rata Jawa.
Setelah penghitungan penduduk pada tahun 1832 seperti di atas,
sensus penduduk Surabaya atau Jawa pada periode berikutnya tidak pernah
dilakukan. Bleeker adalah orang berikutnya yang berjasa dalam mengetahui
jumlah penduduk Surabaya dan Jawa secara keseluruhan. Pada tahun 1845
ketika ia bepergian di Pulau Jawa, ia mengumpulkan data penduduk melalui
kepala-kepala lokal karena kantor pemerintah di Jakarta tidak ditemukan data
penduduk. Jumlah penduduk Karesidenan Surabaya pada tahun 1845
menurut hitungan Bleeker bisa dilihat pada tabel berikut ini.
16
Hasil perhitungan Bleeker menunjukkan bahwa angka–angka untuk
setiap karesidenan di Jawa sangat bervariasi, ada yang sangat tinggi dan
ada yang sangat rendah. Jumlah penduduk Surabaya pada tahun 1845
adalah yang paling tinggi di antara karesidenan-karesidenan lain di Jawa.
Mengingat pentingnya data mengenai perubahan dan jumlah penduduk
akhirnya pemerintah kolonial Belanda mulai tahun 1850 merasa perlu untuk
turut melakukan penghitungan. Sejak saat itu angka-angka mengenai jumlah
penduduk selalu dimuat dalam Koloniaal Verslag. Angka–angka jumlah
penduduk untuk Karesidenan Surabaya pada periode 1850-1930 bisa dilihat
pada tabel berikut.
17
Hasil penghitungan Raffles menunjukkan bahwa pertumbuhan
penduduk Surabaya pada tahun 1815 adalah 154.512 jiwa, pada tahun 1900
sudah mencapai 2.320.869 jiwa. Hal ini berarti rata–rata pertumbuhan
pertahunnya melebihi rata-rata Jawa yang hanya 2,2%.
Rata-rata pertumbuhan penduduk 2,2% per tahun adalah satu angka
pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Oleh karena itu para ilmuwan
banyak yang meragukan keakuratan dari perhitungan yang dilakukan oleh
Raffles dan menganggapnya terlalu rendah. Di Eropa maupun di Asia belum
pernah dijumpai pertumbuhan penduduk secepat itu. “Revolusi Vital“ yang
dalam negara-negara maju pada awal perkembangan ekonominya
menunjukkan kecenderungan rata-rata tidak lebih 1 % per tahun.50 Rata-rata
pertumbuhan di negara-negara Asia Tenggara juga tidak secepat laju
pertumbuhan penduduk Jawa dan Surabaya. Burma pada awal abad ke-20
rata-rata pertumbuhan penduduknya adalah 1 % per tahun. 51 Di Philiphina
sebelum terjadinya krisis mortality pada abad ke-19 rata-rata pertumbuhan
penduduknya berkisar antara 1,2 - 1,5 % per tahun; antara tahun 1736 -1800
rata-rata pertumbuhan pertahunnya adalah 1 % dan pada periode 1736-1800
adalah 1,65%.52
Pada tahun 1963, Breman lewat sebuah artikelnya yang diberi judul
“The modern debate on Java’s population growth” berusaha untuk melakukan
penghitungan detail sebagai satu usaha awal dalam menggambarkan dan
mendiskusikan berbagai faktor yang berkenaan dengan pertumbuhan
penduduk. Dalam artikelnya ini ia sampai pada kesimpulan bahwa rata-rata
pertumbuhan penduduk Jawa per tahun adalah 1,6% pada abad ke-19
(1,4%). Pada paruh pertama dan 1,75% pada paroh abad kedua). Dua tahun
kemudian Hilde Wander menerbitkan buku mengenai hubungan antara
pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi Indonesia. Pada
dasarnya pendapat Wander mengenai rata-rata pertumbuhan penduduk Jawa
pada abad ke-19 tidak begitu berbeda jauh dengan Breman. Ia mengatakan
bahwa rata-rata pertumbuhan penduduk Jawa pada abad ke-19 berkisar
antara 1,6-1,7 % per tahun.53 Ilmuwan berikutnya yang masih melakukan
debat mengenai pertumbuhan penduduk Jawa pada abad ke-19 adalah Bram
Peper.54 Menurutnya pertumbuhan penduduk jawa pada awal abad ke-19
(1800-1850) adalah tidak lebih dari 1 % per tahun, yakni berkisar antara 0,5-1
%. Pada tahun 1989, Peter Boomgard menerbitkan sebuah monograf yang
didasarkan pada arsip-arsip, baik yang ada di Belanda maupun di Indonesia
dan menyimpulkan bahwa rata–rata pertumbuhan penduduk Jawa pada abad
ke-19 adalah 1,4 % per tahun (1,25 % pada periode 1800-1850 dan 1,6%
pada periode 1850-1900 %). Wijoyo Nitisastro dalam bukunya Population
Trend In Indonesia, menilai bahwa walaupun dibandingkan dengan data yang
dikemukakan oleh Radermacher dan Nedeburgh serta dengan informasi–
informasi lain yang sezaman, data Raffles dianggapnya lebih akurat.55
18
Terlepas dari tingkat keakuratan data, baik yang dilakukan Raffles
maupun Bleeker, para ilmuwan pada hakekatnya mengakui tingginya
pertumbuhan penduduk Jawa dan Surabaya di dalamnya adalah antara 1–2
%/ tahun. Dengan rata- rata pertumbuhan penduduk seperti itu, menunjukkan
bahwa Karesidenan Surabaya mempunyai kelebihan khusus dalam suplai
tenaga kerja.
Catatan Bab II
19
12. Ibid.
13. Ibid., hlm. 16-18
14. Ibid., hlm. 16-18.
15. H.J. de Graaf dan Th. D. Pigeaud, De Eerste Moslimse Vertendommen op Java
(‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1974), hlm. 150 dan 156.
16. H.J. de Graaf, “Puncak Kekuasaan Mataram”, op. cit., hlm. 96-97.
17. H.J. de Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack: Kemelut Di Kartasura Abad XVII
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 4.
18. Ibid., hlm. 5.
19. Ibid., hlm.7.
20. Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi Ing Taoen
1641, Jilid II (‘s-Gravenhage: M. Nijhoff, 1941), hlm. 208-216.
21. Tewasnya Kapten Tack dalam pertempuran melawan Surapati menurutnya yang
paling bertanggung jawab adalah raja Mataram. Alasan de Graaf atas tuduhan ini
adalah karena bantuan penyerangan raja Mataram terhadap Untung Surapati
dinilai sebagai suatu pertempuran “pura-pura”, Tack yang berniat membantu
penyerangan tersebut akhirnya terjebak dan gugur dalam pertempuran dengan
luka sebanyak 20 tusukan. Penjelasan yang rinci mengenai proses tewasnya
Kapten Tack. Lihat, H.J. de Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack: …, loc. cit.
22. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1994), hlm. 130-131.
23. Ibid., hlm.141
24. P. J. Veth, op. cit., hlm. 847.
25. G.H. von Faber, op. cit., hlm. 35-40.
26. Ibid.
27. P. J. Veth, op. cit., hlm. 851.
28. Hageman, “Bidrage tot de Kennis van Residentie Soerabaja”, dalam: T. v. N. I.,
1859, Jilid I, hlm. 33.
29. Lihat Staatsblad Tahun 1817, No. 58.
30. Lihat Staatsblad Tahun 1826, No. 53.
31. P. J. Veth, op. cit., hlm. 817
32. “Reis Langs de Noordkust van Midden Java”, dalam: T.v.N.I., 1850, I, hlm. 104.
33. Mojokerto dulu bernama Japan, sedangkan nama Mojokerto baru muncul dalam
Surat Keputusan Pemerintah tanggal 11 September 1838. Lihat Veth, op. cit.,
h1m. 815.
20
34. Hageman, “Bidrage tot de Kennis van de ResidentieSoerabaja”, dalam T. v. N. I..
1859, hlm. 132-135
35. Ibid., hlm. 130.
36. Ibid.
37. Encyclopedia Van Nederlandsch Oost Indie, IV (Leiden: E..J. Brill, 1917), hlm.
211.
38. P.J.Veth, op, cit., hlm. 816.
39. Ibid., hlm. 818-819.
40. H.J de Graaf, ”Puncak Kekuasan Mataram….”, op.cit., hlm. 84.
41. Lihat P.J Veth, op.cit., hlm. 836-839.
42. Ibid., hlm.822
43. Ibid., hlm. 824.
44. Ibid., hlm. 832.
45. Ibid., hlm. 824.
46. ”Reis Door Binnenlanden Midden Java: hoofdstuk I: van Soerabaja Naar Kediri”,
dalam: T.v.N.l., 1850 I, hlm. 167-168.
47. T.v N. I. , 1850, I, hlm.104.
48. E.N.I. (Leiden : E. J. Brill, 1992), hlm. 29-30.
49. Anne Booth. “Perkembangan Angkatan Kerja Pertanian di Jawa dan Luar Jawa“,
dalam: Prisma, nomor 5, tahun 1989, hlm. 18.
50. Rata- rata pertumbuhan penduduk Jepang pada abad ke-19 adalah 0,8%, hal ini
sama seperti yang dialami Inggris dan Wales pada bagian akhir abad ke-18. Lihat
Mataji Umemura, “Pertanian dan Suplai Tenaga Kerja Pada Zaman Meiji “, dalam
: Kazushi Ohkawa et. Al., (eds) , Pertumbuhan Ekonomi dan Pertanian:
Pengalaman Jepang (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1983), hlm.199.
51. Judith Richell, “Determinants Of Demographic Change in Colonial Burma“
(London : Third World Economic History and Development Group London
Conference, 1988), hlm. 3.
52. Norman G. Owen, “The Paradox of Nineteenth–Century Population Growth in
Southeast Asia: Evidence From Java And Philippines”, Dalam : Journal of
Sooutheast Asian Studies vol XVIII, no .1 1987, hlm. 46.; lihat juga tulisan Peter
C. Smith , “Crisis Mortality in The Nineteenth Century Philippines: Data From
Paris Records“ (Hawaii: University Of Philippines and The East – Weast
Population Institute, 1976).
53. P. Boomgard Dan A. J Gooszen(eds) , Population Trends 1795 -1942
(Amsterdam : Royal Tropical Institute, 1991), hlm.10-11.
21
54. Bram Paper, “Population Growth In Java In The 19th Century “, dalam Population
Studies XXIV, 1970, hlm. 84.
55. Widjojo Nitisastro, Population Trends In Indinesia (Ithaca : Cornell University
Press, 1970), hlm. 26.
22