Anda di halaman 1dari 22

KARESIDENAN SURABAYA

DALAM LINTASAN KEKUASAAN

Awal Munculnya Kata Surabaya

Menurut seorang ahli geografi Belanda keturunan Portugis, kata


Surabaya berasal dari kata Portugis, yang berarti pelabuhan yang aman.
Keterangan mengenai arti nama yang disampaikan ini diragukan oleh
beberapa orang yang ahli mengenai Jawa. Orang Jawa menurut orang-orang
yang disebut belakangan ini pada umumnya mempunyai kebiasaan dalam
memberikan nama, entah itu nama orang atau nama tempat-tempat utama
yang merujuk pada Bahasa Sansekerta. Kata Surabaya, menurut mereka
adalah berasal dari kata sura (bahasa sansekerta) yang berarti keberanian
dan kesulitan.1 Berbeda dengan kedua pendapat di atas, orang Surabaya
pada umumnya mengartikan kata Surabaya bukan merujuk dari bahasa
Sansekerta. Menurutnya, nama ini adalah asli Jawa, yakni, Sura yang
menunjuk pada nama ikan Sura (Hiu) dan Baya yang menunjuk pada nama
binatang Buaya. Dengan demikian, arti Surabaya itu sendiri tidak lebih dari
satu simbol atau pelambang belaka. Mengenai makna dari simbol ini, terdapat
banyak interpretasi asli yang muncul.
L.C.R. Breman, seorang pemimpin Nutspaarbank di Surabaya pada
tahun 1918 menceritakan mengenai sekitar dongeng tentang pertarungan
antara ikan Sura dan Buaya sebagaimana dikutip oleh Faber berikut :2

“…. Dongeng itu (pertarungan antara ikan sura dan buaya) dapat mengungkapkan
suatu lambang tentang “pertarungan abadi“ antara laut dan daratan dengan
menampilkan binatang sebagai penguasa kedua wilayah masing-masing, yang di
Surabaya memang ditandai dengan mundurnya (garis pantai) laut oleh endapan pasir
dan lumpur di muara sungai-sungai kita. Laut pasang naik diibaratkan pelanggaran
terhadap wilayah daratan oleh ikan hiu, sedangkan laut pasang surut mengiaskan
direbutnya kembali wilayah tersebut oleh sang buaya.
Menarik sekali ialah, bahwa “sura” sering kita temukan dalam kata-kata gabungan.
Dalam kata-kata gabungan itu tentu kata “sura” tidak ada hubungannya dengan ikan
hiu, meskipun ikan hiu dinamakan juga ikan ”sura”. Di sini “sura” berarti: gagah berani,
pandai berkelahi, ganas.
Dengan “baya” demikian pula halnya. Berarti: pertarungan, pejuang, pahlawan,
pemberani. Menurut pengertian di atas maka “sura-westhi” berarti Ratu Pemberani
“sura-pringga” berarti Pahlawan Pemberani; “sura ing baya” Pejuang Pemberani.
Karena (ikan) “sura”, seekor binatang pemberani, banyak terdapat di lautan kita, jadi
sangat dikenal oleh penduduk, sedang demikian pula dapat dikatakan tentang “baya”
(buaya), maka pada hemat saya bukan mustahil orang telah memilih dongeng
pertarungan antara darat dan lautan, karena gambaran tersebut lebih menarik dan
dengan demikian tidak mudah dilupakan. Baik sifat maupun nama mereka, ternyata
“sura” dan “baya” cocok sekali untuk dongeng (legenda) tersebut.

1
Beberapa sejarawan, dengan menggunakan dukungan berbagai
sumber arkeologis menginterpretasikan simbol ini sebagai simbol dari
kemenangan pasukan Jawa melawan pasukan Mongol, yang diabadikan
dengan simbol pertarungan antara ikan Sura melawan Buaya. Dari
interpretasi ini dapat dikatakan bahwa ikan sura merupakan simbol dari
karakter orang Surabaya atau yang lebih dikenal arek Surabaya; sedang
buaya lebih menunjuk kepada keangkaramurkaan.
Mengenai kapan munculnya Surabaya dalam percaturan politik dan
ekonomi di Jawa, masih menjadi bahan kajian banyak sejarawan. Beberapa
pendapat mengatakan bahwa Surabaya dahulunya bernama Hujung Galuh,
sebuah nama kerajaan yang disebut-sebut dalam prasasti dan kronik-kronik
Cina.3 Studi toponimi berusaha melokalisir letaknya dan diperkirakan
sekarang adalah kampung Galuhan di sekitar jalan Pawiyatan yaitu antara
jalan Bubutan dan jalan Semarang di Surabaya. 4 G.H.von Faber berpendapat
bahwa Surabaya didirikan oleh Raja Kertanegara pada tahun 1272 M.
Pemukiman baru itu terletak di sebelah utara Glagah Arum, dengan batas
Kalimas disebelah Barat dan Kali Pegirian di sebelah Timur. 5 Terlepas dari
benar tidaknya hipotesis-hipotesis itu, yang jelas dalam sumber-sumber
tertulis nama Surabaya untuk yang sementara yang paling tua baru disebut
dalam prasasti Trowulan I, yang berangka tahun 1358 M.6
“… i trung, i kambangan cri, i tda, i gsang, i bukul, i curabhaya, muwuh
praharaning nadisira pradaca athananing anambangi i madansen …”

“…..(di) Terung, Kambangan Sri, Teda, Gesang, Bukul, Surabaya,


demikian pula halnya desa-desa tepian sungai tempat penyeberangan
(seperti) Madansen ….”

Sumber tertulis lain yang lebih muda yang menyebut nama Surabaya
adalah Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365 M.
Dalam tulisan ini, Prapanca menjelaskan panjang lebar tentang sebuah
perjalanan pesiar yang dilakukan oleh Raja Majapahit Hayam Wuruk (1352-
1389).7
“… Yan ring Janggala lot sabha nrpati ring Surabhaya manulus maring Buwun …”
“… dikunjungi jika di Jenggala tinggal di Surabaya terus ke Buwun (“Bawean”)…”

Beberapa sarjana Barat berkeyakinan bahwa cikal bakal Surabaya


sebagai satu kekuatan politik dan ekonomi adalah dimulai di kampung Ampel
tempat tinggal Raden Rahmad yang kelak dikemudian hari dikenal dengan
sebutan Sunan Ngampel Denta. Tempat ini letaknya menjorok di muara
Kalimas cabang muara bagian Utara Kali Brantas, dimana keamanan
pelabuhannya sangat berpengaruh besar terhadap majunya perekonomian di
daerah ini.8 Dalam legenda Jawa dikatakan bahwa Raden Rahmad atau
Sunan Ngampel Denta (wali “sembilan” yang tertua), di sana membangun

2
sebuah masjid pada pertengahan kedua abad ke-15, yang kemudian menjadi
pusat masyarakat pedagang Islam. Pendirian kerajaan ini diperkirakan tidak
lama setelah jatuhnya kerajaan Hindu Majapahit. Mengenai tahun yang tepat
munculnya Surabaya sangat tidak jelas. Orang Portugis pertama-tama
menyebutkan nama ini tahun 1521. Pada jurnal-jurnal VOC, awalnya juga
kadang-kadang menyebut nama Surabaya, tetapi tidak ada hal-hal khusus
yang disampaikan.9 Menurut de Graaf, raja-raja Surabaya menganggap diri
mereka sebagai keturunan Sunan Ngampel Denta.10
Sumber-sumber mengenai orang-orang terkemuka Surabaya maupun
para rajanya hampir tidak ada. Sumber Belanda hanya menyebut raja
Surabaya saja dan sumber tradisional Jawa hanya menyebut Adipati
Surabaya. Graaf mengidentifikasi istilah Adipati sebagai gelar lama bagi
seorang raja yang ada di Negara Demak yang oleh Tome Pires diterjemahkan
dengan kata Pate.11 Sumber Belanda lainnya menyebutkan bahwa pada abad
ke-17, orang-orang Belanda menghadap seorang raja Surabaya yang sudah
tua sekali dan buta. Raja ini diduga meninggal tidak lama setelah pertemuan
itu dan diganti oleh raja yang lebih muda yang memerintah sampai akhir
Kerajaan Surabaya. Raja yang disebut terakhir ini mempunyai putra yang
bernama Adipati Pekik. Dalam sumber tradisional Jawa lain disebut dengan
nama Ratu Pekik, dan ayahnya bernama Raden Jaya Lengkara, yang
diperkirakan sebagai raja Surabaya yang terakhir. Selanjutnya dalam sumber
ini juga disebutkan bahwa Raden Jaya Lengkara mempunyai dua istri, yang
pertama yaitu Ratu Mas dari Kediri dan istri kedua yang namanya tidak
disebutkan berasal dari Mojoagung (Wirasaba).12
Sebuah sumber tradisional lain yang ditemukan oleh de Graaf berupa
naskah kecil yang berjudul: “Punika Panjenengan ing Kabupaten Sura
Pringga” (Ini adalah para raja di Kabupaten Surabaya), menguatkan bahwa
mereka ini adalah keturunan Sunan Ngampel Denta serta meyakinkan bahwa
para raja dan pangeran Surabaya dimakamkan di sebelah Sunan Ngampel
Denta ini. Hal ini dikuatkan pula oleh adanya iring-iringan ziarah para
keturunan mereka ke makam-makam Ngampel Denta pada bulan September
1691.13
Pada awal tahun 1620-an, wilayah Surabaya meliputi daerah pesisir
yakni Gresik, Jortan, Sedayu, dan Bawean serta daerah pedalaman yakni
Japan (Mojokerta), Wirasaba (Mojoagung), dan Kediri. Di samping wilayah ini
terdapat pula daerah-daerah jajahan Surabaya yaitu Pasuruan, Blambangan,
dan sebagian kecil Kalimantan. Sumber penghidupan utama masyarakat
Surabaya pada masa ini terutama daerah pesisir adalah pelayaran dan
perdagangan. Coen menyebutkan bahwa perdagangan warga Surabaya
meliputi seluruh kepulauan nusantara, perahu-perahu mereka melintasi
Malaka, Maluku, Ambon, Banda, maupun Solor. Lebih lanjut Coen
menyatakan : “yang satu ke sini, yang lain ke sana dengan perahu-perahunya
untuk mencari nafkah”.14

3
Dengan demikian secara politik maupun ekonomi, Surabaya akhirnya
tumbuh sebagai pusat kerajaan di Jawa Timur, berdiri dan menyaingi
kekuasaan yang sedang tumbuh di Jawa Tengah, Mataram.15 Berkali-kali
Mataram melakukan serangan untuk sedapat-dapatnya menguasai Surabaya.
Serangan itu berturut-turut dilakukan pada tahun 1620, 1621, 1622, 1623,
1624 dan yang terakhir pada tahun 1625.
Dari lima kali serangan itu Surabaya masih mampu bertahan; tetapi
anehnya justru kekalahan Surabaya pada tahun 1625 bukan akibat dari suatu
pertempuran melainkan dengan menempuh cara damai. Menurut ceritera-
ceritera Jawa sebagaimana diungkapkan oleh Graaf,16 pasukan Mataram
bergerak maju melaui Japan (Mojokerto) ke Terres atau Terusan dan mereka
bertahan untuk beberapa waktu. Dari sini pasukan Mataram melakukan satu
teror dengan membendung sungai. Hanya sedikit air yang dialirkan. Air yang
mengalir sedikit ini dikotori dengan keranjang-keranjang yang berisi bangkai
dan buah aren, yang diikat pada tonggak-tonggak di dalam sungai. Karena
sumber air yang digunakan masyarakat Surabaya pada masa itu adalah
Kalimas, maka penduduk Surabaya banyak yang menderita penyakit perut,
gatal-gatal, demam, dan batuk-batuk. Akibat dari blokade, para pembesar
Surabaya akhirnya menempuh cara damai, yakni dengan mengirim utusan
yang dipimpin oleh Raden Pekik. Maksud kedatangan Raden Pekik ini di
sambut baik dan akhirnya sejak tahun ini Surabaya berada di bawah panji-
panji kerajaan Mataram hingga tahun 1743.

Dari Tangan Mataram ke Tangan Kompeni

Kondisi ekonomi dan politik Surabaya pada periode tahun 1600-1743


merupakan periode terburuk sepanjang sejarahnya. Sebagai akibat
peperangan terus menerus yang melanda daerah ini, aktivitas perekonomian
rakyat pun harus merasakan hal yang sama. Berhasilnya Mataram dalam
menguasai daerah ini pada tahun 1625, ternyata belum menjamin terjadinya
kestabilan politik dan ekonomi bagi Surabaya. Hal ini disebabkan terjadinya
suatu krisis dalam kerajaan tersebut. Raja Amangkurat I memerintah secara
sewenang-wenang dan menundukkan segalanya dengan kekuasaannya yang
mutlak. Akibat dari ulah raja ini, Kerajaan Mataram menjadi kacau balau.
Terhitung ada empat kekuatan utama telah bergabung untuk meruntuhkan
Mataram, yakni Trunojoyo (seorang pangeran dari Madura yang berkeinginan
mendirikan Kerajaan Jawa Timur); Laskar Makassar yang sejak runtuhnya
negara berkeliaran dan menawarkan jasa dalam setiap peperangan yang
dapat menghasilkan barang rampasan; Raden Kajoran di Jawa Tengah dan
putra raja sendiri Pangeran Adipati Anom. 17 Dalam keadaan tidak menentu ini
Surabaya dapat dikuasai oleh Trunojoyo.
Pada bulan Desember 1676, Kompeni mengutus Cornelis Speelman
untuk menjadi penengah antara Amangkurat I dengan vasal-vasalnya. Pada

4
tanggal 9 April 1667 armada kompeni di bawah pimpinan Speelman telah
berhasil mencapai Surabaya. Langkah pertama yang ditempuh Speelman
adalah melalui jalan damai, agar Trunojoyo mau menyerah dan tunduk
kembali di bawah panji-panji Kerajaan Mataram. Karena tidak mendapat
tanggapan yang serius, maka Speelman menggunakan aksi kekerasan
terhadap Trunojoyo. Pertempuran sengit terjadi dan Trunojoyo mengundurkan
diri ke Kediri.18 Tanpa disadari oleh Belanda ternyata pasukan Trunojoyo
dengan bantuan Raden Kajoran telah berhasil menduduki Mataram. Raja
Amangkurat I beserta para pengikutnya yang setia melarikan diri ke arah
barat dan meninggal di perjalanan. Namun demikian, sebelum meninggal,
Amangkurat I masih sempat mengangkat putranya Pangeran Adipati Anom
yang telah diampuni kesalahannya menjadi raja dan menasehati putranya
agar mencari pertolongan kepada Kompeni. Mendengar berita runtuhnya
Kerajaaan Mataram ini Speelman segera meninggalkan Surabaya dan
kembali ke Jepara. Dari sana akhirnya ia berhasil merebut kembali Kota
Semarang yang merupakan pintu gerbang menuju pedalaman Jawa Tengah.
Langkah berikutnya setelah menundukkan Adipati Anom sebagai raja dan
bergelar Amangkurat II, pada bulan Agustus 1678 pasukan Belanda menuju
Kediri, tempat kediaman Trunojoyo. Kediri berhasil dikuasai, tetapi Trunojoyo
telah terlebih dahulu meloloskan diri ke Malang. Baru pada tanggal 15 Januari
1682 keadaan pulau Jawa dapat dikatakan aman setelah beberapa tahun
dilanda peperangan. Untuk mencegah terulangnya kembali peristiwa
Trunojoyo dan gerombolan Makassar maka Kompeni merasa perlu untuk
menempatkan sejumlah pasukan di Surabaya.19
Keadaan tenang yang meliputi pantai timur Jawa yang berhasil
diciptakan oleh Belanda pada tahun 1682, kembali diguncang dengan
pemberontakan Untung Surapati yang menggegerkan.20 VOC berupaya
sekuat tenaga untuk melumpuhkan Surapati. Segala macam cara dilakukan,
termasuk memaksa raja Mataram untuk membunuh Surapati, namun
usahanya kurang mendapat dukungan dari penguasa Jawa. Dalam suatu
serangan terhadap kubu Surapati pada tanggal 8 Februari 1686, VOC bahkan
harus membayar mahal dengan tewasnya Kapten Tack. 21 Setelah berhasil
memperdaya VOC, Surapati pergi ke Pasuruan dan membentuk suatu daerah
kekuasaan yang merdeka. Dia dan anak cucunya akan memerintah sebagian
besar wilayah Jawa Timur di sebelah Selatan sungai Brantas selama lebih
dari dua dasawarsa dengan tetap memelihara kerjasama dengan para raja
Bali dan Mataram.
Perang suksesi Jawa I meletus dan dimenangkan oleh Pakubuwana I
atas dukungan VOC setelah terlebih dahulu mencapai persetujuan baru
berupa konsesi-konsesi yang memberatkan rakyat Jawa. Amangkurat III lari
ke arah Timur dan bergabung dengan Surapati. Pada tahun 1706, 1707, dan
1708 pasukan gabungan VOC, Madura, dan Kertasura melakukan serangan
besar-besaran di Jawa Timur. Pada tahun 1706 Surapati terbunuh di Bangil.

5
Pada tahun 1707 Pasuruan berhasil ditaklukkan, sedangkan Amangkurat III
beserta putra-putra Surapati melarikan diri ke Malang. 22 Konsesi-konsesi yang
diberikan Istana Kertasura kepada VOC menyebabkan kebencian rakyat di
mana-mana. Pada tahun 1717, Surabaya bersekutu dengan prajurit-prajurit
Bali memberontak. Pemberontakan ini bisa dipadamkan oleh VOC pada tahun
1718, tetapi tidak seluruh pasukan pemberontak dapat dihancurkan.
Pemberontakan ini segera disusul dengan pemberontakan-pemberontakan
lain seperti di Ponorogo, Madiun, Magetan, dan Jogorogo. Pangeran
Dipanegara yang dikirim untuk menghentikan pemberontakan justru malah
berbalik ikut memberontak.
Di tengah-tengah hancurnya Surabaya dan bagian lain kerajaan yang
ada di Timur sebagai akibat pemberontakan ini, VOC kembali disibukkan
dengan adanya perang suksesi Jawa II. Pada tahun 1748, dengan berhasil
dipulihkannya kembali perang suksesi Jawa II, VOC memperoleh konsesi
baru dari raja Pakubuwono II. Konsesi itu antara lain adalah diserahkannya
kedaulatan penuh kepada VOC atas Madura Barat, Surabaya, Rembang,
Jepara, serta Ujung Timur.23 Dengan demikian secara resmi sejak tahun 1743
Surabaya langsung berada di bawah kekuasaan Kompeni.

Dari Kompeni ke Pemerintah Belanda

Di bawah Kompeni, Surabaya diletakkan di dalam kekuasaan Jawa


bagian Timur dan Surabaya dijadikan sebagai ibu kotanya.24 Selama periode
1743-1830 telah terjadi lima kali pergantian kekuasaan atas Surabaya. Sejak
VOC dinyatakan pailit pada tahun 1799, maka pada tahun 1800
pemerintah Belanda langsung mengambil alih kekuasaan. Sampai
dengan tahun 1808, walaupun keadaan politik terkendali, namun hanya
sedikit perubahan di bidang ekonomi. Pada awal masa pengambilalihan
kekuasaan, pemerintah Belanda masih mempraktekkan cara yang
dilakukan oleh Kompeni. Pada tahun 1808 sebagai akibat
ditaklukkannya Belanda oleh Perancis dalam perang Napoleon di
daratan Eropa, menyebabkan pergantian penguasa atas wilayah Sura-
baya. Herman Willem Daendels oleh pemerintahan "boneka" Perancis
dikirim ke Hindia-Belanda sebagai gubernur jendral.
Pada masa pemerintahan Daendels, Kota Surabaya dijadikan sebagai
pusat pertahanan terhadap kemungkinan serangan bangsa asing
(Inggris). Untuk ini di Surabaya dibangun pabrik senjata (altellerie constructie
winkel), serta benteng Lodewijk.25 Pembangunan jalan raya dari Anyer-
Panarukan, membuat Surabaya terhubung dengan kota-kota pantai pulau
Jawa.
Pada masa pemerintahan Daendels (1808-1811), banyak terjadi
perubahan dalam bidang politik dan ekonomi yang terjadi di Surabaya.
Ia antara lain menghapus secara sepihak dan mengurangi kekuasaan

6
para bupati; namun karena masih kuatnya ikatan feodal maka usaha
Daendels pun gagal. Untuk mengisi kekosongan kas negara. Daendels
memilih jalan pintas dengan melakukan penjualan secara teratur tanah-
tanah di Surabaya kepada swasta sebagai hak milik. Sejak tahun 1809,
sebagian kota dan pedalaman kota Surabaya oleh Daendels dialihkan
ke tangan swasta, lewat penjualan dan pemberian hadiah. 26
Usaha-usaha Daendels untuk mempertahankan Surabaya dari
bangsa Inggris tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pada tahun 1811,
Inggris masuk ke Surabaya tanpa ada perlawanan. 27 Pada tahun 1811
Jawa termasuk Surabaya dinyatakan ditaklukkan oleh Inggris.
Penaklukkan ini bukan hanya atas penduduk pribumi melainkan juga
atas pemilikan tanah. Atas dasar ini, pemerintah Inggris kemudian
menetapkan peraturan pajak bagi para pemakai tanah. 28 Bukan hanya
itu, reformasi di bidang politik juga dilakukan yakni dengan menjadikan
para kepala pribumi sebagai pegawai biasa. Untuk mencari sumber-
sumber keuangan yang lain, pemerintah Inggris juga melakukan
penjualan atau penyewaan terhadap sejumlah tanah yang ada di
Surabaya kepada pihak swasta.
Penjualan atau pemberian hadiah kepada pihak swasta pada
masa Daendels (1808-1811) dan Raffles (Inggris) 1811-1816, bisa
dilihat pada tabel berikut ini.

Luas dan Harga Penjualan Tanah-tanah yang Dialih Tangan &


Dihadiahkan kepada Swasta

Masa Tanah Kota Tanah Negara Ommelanden Jumlah


Pemerintah (dalam roed 2 ) (dalam roed 2 ) (dalam morgen) Penjualan
Daendels 14.835 ¼ 62.249 ¼ 1363 Rdl. 228.073
Raffles 14.066 ¼ 39.438 2886 Rdl. 309.306

Sumber: Hageman, “Bidrage tot de Kennis van Residentie Soerabaja”, dalam:


T. v. N. I., 1859, jilid I, hlm. 31

Demikianlah bahwa penjualan tanah kepada pihak swasta pada masa


pemerintahan Inggris lebih banyak dilakukan daripada masa Daendels. Masa
pemerintahan Inggris di Hindia Belanda berakhir dengan penyerahan kembali
daerah ini pada tahun 1816 kepada pemerintah Belanda. Setelah Hindia
Belanda kembali berada di bawah pemerintahan Belanda, kebijakan liberal
Raffles ini dilanjutkan oleh triumvirat komisariat jenderal yang mengambil alih
tanggung jawab pemerintahan dan juga oleh Gubernur Jenderal berikutnya
van der Capellen. Segala upaya telah ditempuh, namun anggaran belanja

7
pemerintah kolonial Belanda sampai dengan tahun 1880 senantiasa
mengalami defisit.

Geografi Karesidenan Surabaya

Karesidenan Surabaya memiliki batas-batas wilayah administrasi yang


berubah-ubah. Pada masa kompeni wilayah Surabaya termasuk ujung timur
Jawa dan Kota Surabaya menjadi Ibu kota serta kedudukan penguasa
wilayah ini. Sebelum dianeksasi oleh kompeni, Surabaya masuk dalam
wilayah kekuasaan Mataram (1625-1743). Dari sudut etnologi Surabaya
masih lebih mendekati Jawa murni, sementara unsur-unsur Madura mulai
tampak semakin ke Timur. Ikatan dengan Pulau Madura hanya ada sebatas
pada pembagian wilayah administrasi. Pada masa Pemerintahan Inggris,
bagian Barat Madura masuk dalam wilayah Karesidenan Surabaya,
sedangkan bagian Timur Madura menjadi Karesidenan Sumenep dan bagian
utara Surabaya menjadi Karesidenan Gresik. Pada tahun 1817 wilayah
administratif Karesidenan Surabaya mengalami perubahan yakni lepasnya
daerah Madura Barat yang menjadi satu karesidenan dengan nama Kareside-
nan Madura dan Sumenep.29 Pada tahun 1826 wilayah Karesidenan
Surabaya terjadi perubahan lagi, Gresik yang tadinya berdiri sendiri sebagai
sebuah karesidenan, pada. tahun 1826, sebagai langkah penghematan oleh
Komisaris Du Bus digabungkan dengan Karesidenan Surabaya. 30 Satu tahun
berikutnya (1827), Madura dan Sumenep kembali digabung masuk dalam
Afdeeling Surabaya sampai tahun 1856. Bawean yang semula menjadi bagian
dari Karesidenan Gresik, masuk ke dalam bagian Surabaya, ketika Gresik
dilebur menjadi satu Karesidenan dengan Surabaya sampai tahun 1870.31
Sampai tahun 1856, wilayah Karesidenan Surabaya terdiri atas lima
kabupaten, yakni: Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, dan Mojokerto. Luas
karesidenan ini tanpa pulau Baweaan dan pulau Madura adalah 2.428 Paal
Persegi. Batas-batas wilayah karesidenan Surabaya pada masa ini, sebelah
utara dibatasi dengan laut Jawa, sebelah timur oleh Selat Madura, sebelah
selatan oleh Pasuruan, sebelah Barat Daya oleh Kediri dan Barat Laut oleh
Rembang.32 Pada tahun 1856 wilayah Karesidenan Surabaya dibagi menjadi
enam kabupaten yaitu: Sedayu di Utara berbatasan dengan laut Jawa;
Lamongan di sebelah Barat berbatasan dengan Rembang dan Kediri;
Surabaya dan Sidoarjo di sebelah Timur di sepanjang Selat Madura;
sedangkan Mojokerto33 di sebelah Selatan berbatasan dengan Kediri dan
Pasuruan. Enam kabupaten yang tergabung dalam Karesidenan Surabaya,
masih dibagi-bagi lagi ke dalam beberapa afdeeling dan untuk Kabupaten
Surabaya masih ditambah lagi dengan satu afdeeling yakni pulau Bawean
yang merupakan afdeeling ketujuh. Letak Pulau Bawean adalah tepat pada
jalan masuk selat Madura dengan jarak 20 mil.

8
Latar belakang geografi Karesidenan Surabaya masing-masing
kabupaten adalah sebagai berikut:

Kabupaten Surabaya

Kabupaten Surabaya secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga


bagian. Pertama, sebelah Timur Laut Delta, daerah ini memuat distrik-distrik
seperti Jabakota, Kota dan Sememi. Genangan air terdapat di sepanjang
ujung Barat-Timur Laut Surabaya yang meliputi daerah Medoan, Bokor,
Jeblokan, Ploso di distrik Jabakota; Mrutu, Sape, Genteng, Kalimas,
Krembangan, dan Dupak di Distrik Kota; serta Greges dan Manukan di
Distrik Sememi. Distrik Jabakota tanahnya sangat subur, penduduknya padat
dan seluruh tanah digarap. Bagian barat Distrik Semeni umumnya memiliki
tanah yang berawa dan berpenduduk sedikit. Berdasarkan perhitungan tahun
1832, luas daerah ini adalah 106 Pall persegi. Kedua, bagian tengah Delta.
Bagian tengah Delta ini mencakup Distrik Jengggala I, II, II dan, IV. Sejumlah
besar sungai mengalir pada daerahnya yang berpenduduk padat, dan daerah
ini merupakan salah satu daerah yang subur di Jawa. Cabang sungai
Surabaya ini mengalir melalui saluran untuk mengairi sawah–sawah mulai
dari sebelah utara mengalir melalui Jenggala menuju laut. Ketiga, bagian
Selatan Delta. Bagian ini mencakup distrik–distrik dari dataran rendah yang
dahulu merupakan daerah berawa. Baru pada awal ke-19 setelah dilakukan
penggalian dan pemisahan air sungai, daerah ini cocok untuk pertanian.
Bagian selatan Delta ini adalah mencakup daerah Rawapulo. Daerah ini
terletak dalam jarak 30 paal dari Sungai Porong. Lebar Utara dan Selatan
adalah 5 paal.34
Distrik kota daerahnya membentang sampai 22 paal ke Selatan dan 6
paal ke Timur, 12 paal ke Barat dan 33 paal ke Barat Daya. Di antara bagian-
bagian wilayah tersebut, Delta Sungai Brantas adalah yang paling subur.
Lebar dari Timur ke Barat adalah 32 paal atau pada posisis 0 o 24’, panjang
dari Selatan ke Utara 23 paal atau pada posisi 0 o 20’, segitiga ini dibentuk
oleh kedua cabang Sungai Brantas dengan banyak muara kecil. Ujung paling
utara adalah distrik kota Surabaya dengan sebuah pelabuhan utama yang
terletak pada posisi 7o 15’ Lintang Selatan; 112o 45’ 46” Bujur Timur. Titik
paling selatan jalan raya berbatasan dengan Pasuruan; Porong yang terletak
pada posisi 7o 36’ Lintang Selatan; 112o 43’ 30” Bujur Timur dan paling barat
adalah Mojokerto dan paling timur adalah Bangil.35
Daerah Kabupaten Surabaya terbentuk melalui pemisahan Sungai
Kediri atau Brantas yang mengeluarkan dua cabang di Kedungsoro, Gedeg,
dan Mlirit. Ujung Barat Delta adalah Kedungsoro yang berjarak 78.089 meter
dari Ngoro dan 24.312 meter dari Pelabuhan Surabaya. Cabang utama
mengalir ke timur memisahkan Surabaya dari Mojokerto dan Bangil yang
mengalir dari ujung Tenggara Delta ke laut di Selat Madura. Cabang yang

9
lebih kecil terbentuk dari genangan air Kedungsoro, Gedeg, dan Mlirit dalam
jarak 70.027 meter. Arus air memisahkan Delta Surabaya dari daerah kapur.
Dari dua cabang aliran utama sungai ini, cabang selatan mengaliri 20.851 bau
sawah dan cabang utara mengaliri 33.127 bau di Delta. Daratan di seluruh
Delta ini umumnya rata, perbukitan hanya sedikit dijumpai di tepi sungai di
dekat taman di Jenggala I.36

Afdeeling Bawean

Bawean merupakan pulau yang terletak di Laut Jawa yang berada


pada posisi antara 5o 34’ dan 5o 52’ Lintang Selatan; dan 112o 34’ dan 112o
44’ Bujur Timur.37 Luas pulau ini adalah 3,6 mil persegi atau 87 paal. Dulu
wilayah itu berada di bawah Mataram, tetapi sejak 1743 wilayah ini beserta
semua Distrik di bawahnya oleh susuhunan diserahkan kepada Kompeni.
Pulau ini dibagi menjadi dua distrik, yakni Distrik Tambak dan Sangkapura
yang juga merupakan ibu kota Bawean. Sangkapura terletak di sisi selatan
pulau itu dengan jarak 84 mil Inggris atau 13 jam berlayar dari Surabaya.
Pulau ini juga memiliki sarana jalan yang baik. Jarak Sangkapura dengan
pantai Timur adalah 3,5 paal, kemudian dari sana ke pantai Utara menuju
Tambak sejauh 14,5 paal. Selain jalan alternatif ini, terdapat juga jalan yang
menghubungkan langsung antara Sangkapura dan Tambak sejauh 12 paal.38
Pada umumnya pulau itu tinggi dan berhutan meskipun puncak–
puncak gunungnya yakni Gunung Tinggi dan Gunung Raja tidak jauh melebihi
600 M dari permukan laut. Tiga kekayaan pulau itu yang berharga adalah
bahan mineral, batu bara yang berwarna biru dan pasir kwarsa yang
berwarna putih yang dikapalkan dalam jumlah besar dari Bawean ke
Surabaya. Di pulau ini dijumpai pula bahan yang sangat cocok untuk
membungkus tungku yang sangat berbau. Di bidang flora, perkembangan
pesat Kayu Camplong dan pohon Kayu Putih sangat menarik sebagai
kekayaan utama daerah–daerah di pulau ini. Penduduk setempat
menggunakan daun dan buahnya sebagai obat karena tidak memahami cara
membuat minyak kayu putih. Di bidang fauna, di pulau ini banyak terdapat
jenis rusa dan kuda jenis kecil tapi kuat. 39 Selain pertanian sebagai mata
pencaharian utama, penduduk setempat juga memiliki semangat yang besar
sebagai nelayan dan pedagang.
.
Kabupaten Gresik

Dalam sejarah Jawa Kuno, Gresik memegang peran utama yakni


menjadi tempat perdagangan yang penting pada masa Majapahit. Gresik
menjadi lebih terkenal terutama pada saat masuknya Islam di Jawa. Daerah
ini merupakan tempat tinggal wali terkenal sebagai pusat penyebaran agama
Islam. Sebagai akibatnya Gresik dalam waktu yang lama tetap menjadi

10
kedudukan para raja ulama yang hanya diungguli oleh kekuasaan raja–raja
Mataram dan akhirnya dihancurkan pada tahun 1623.40 Nama Gresik berarti
tanah yang kuat. Nama ini bisa ditafsirkan bahwa di tengah daerah rawa
pantai, sebuah tanah berpasir yang keras dipilih untuk membangun tempat ini.
Pada abad ke-16, Gresik banyak disinggahi oleh kapal–kapal Portugal.
Secara geografis, Gresik memiliki letak yang menguntungkan. Dataran
ini terletak menjulang pada pada Ujung Timur Laut dari Selat Madura. Karena
letaknya ini Gresik mempunyai daerah pelabuhan yang aman, dan terutama
menarik bagi kapal–kapal pribumi, kapal–kapal Eropa dan USA untuk
singgah. Banyak orang mencari peluang untuk membuat kapal pada galangan
kapal yang ada disini. Pelabuhan Gresik lama–kelamaan menjadi kurang
berarti dan digeser oleh pelabuhan Surabaya karena pantainya semakin
banyak mengalami penimbunan lumpur, sehingga kapal yang seharusnya
bisa bongkar muat dari waktu ke waktu dekat dengan daratan, kini harus
mencapai ratusan kaki di laut. Daerah Gresik umumnya terdiri atas sederetan
batuan kapur yang menjulang di tengah deretan pantai yang luas, oleh karena
itu tanah di Gresik umumnya tidak subur.41

Kabupaten Sedayu

Pada abad ke-17, Sedayu dikenal sebagai pelabuhan laut yang


penting. Menurut Valentijn letaknya tidak jauh dari Kabupaten Rembang, yaitu
antara Logung dan Brondong. Letak Sedayu lebih baik bagi perdagangan
serta banyak dikunjungi oleh perahu–perahu pribumi. Daratan Sedayu
umumnya terdiri atas banyak bukit dan berhawa agak panas. Wilayah ini
sebagian besar ditumbuhi dengan kayu jati. Selain itu terdapat juga pohon
Akasia dan beberapa tanaman jenis Lontar yang besar. Air di wilayah ini
dapat dikatakan sangat langka tetapi di sana banyak terdapat sejumlah desa
seperti Prambo, Sedayu Lawas, Brondong, atau Blimbing, Genting, Sentul,
dan Wadon. Di Brondong banyak terdapat perahu nelayan yang tinggal di
sana, mayoritas mata pencaharian hidupnya adalah nelayan. Bleeker
berpendapat bahwa potensi alam Sedayu tidak menguntungkan.42
Sungai di Kabupaten Sedayu mengalir dari Babat yang memisahkan
diri di Ngawen. Dalam arusnya yang berkelok-kelok, sungai ini mengaliri lahan
yang luas, daratan yang sebagian penuh dengan rawa yang sebagian besar
terdapat di Distrik Prijek dan Kedokan, ibu kota kedua distrik itu terletak di
sebelah kiri aliran. Luapan air sungai umumnya muncul akibat dari dorongan
air laut. Persawahan, rawa-rawa, tambak ikan di Sedayu tersebar sepanjang 4
paal antara Kali Ngawen dan Kali Utama. Setengah paal sebelum mencapai
Sungai Solo terletak Bungah, ibukota Distrik Bengawan Jero. Di Bungah
terdapat galangan untuk membuat kapal, dan sampai tahun 1867 menjadi
tempat penimbunan kayu-kayu yang ditebang untuk kepentingan pemerintah

11
kolonial. Perbukitan kapur yang ditumbuhi oleh sisa–sisa hutan Jati menutup
bagian Selatan Kabupaten Sedayu.43

Kabupaten Lamongan

Kabupaten Lamongan secara umum kurang subur. Sebagian besar


tanah pertanian di kabupaten ini adalah tanah tadah hujan. Kelangkaan air
hampir terasa di mana-mana. Dengan demikian, dimana-mana sering
dijumpai kubangan air. Untuk memenuhi kebutuhan air, baik air untuk minum
maupun mandi, penduduk di sejumlah tempat yang terpisah dari Sungan Solo
menggali kubangan–kubangan di dataran yang rendah dengan keteduhan
yang baik. Air dalam kolam ini berfungsi sebagai bak air bagi masyarakat.
Kondisi tanah di Kabupaten Lamongan yang berupa tanah liat, sehingga
cocok untuk bertambak ikan, karena dengan keadaan tanah seperti ini air
tidak mudah mengalir. Pada musim hujan tanah–tanah di Lamongan menjadi
sangat licin seperti sabun, sedangkan di musim kemarau pecah–pecah dan
mengalami keretakan.
Di selatan distrik Lingkir dan Mantup masih dijumpai hutan jati yang
luas dengan perbatasan Mojokerto dan seluruhnya membentuk rangkaian
sejauh 260 km. Di hutan Lingkir penebangan besar–besaran terjadi antara
tahun 1854–1864.44 Di bagian Lamongan ini tidak ada yang kekurangan air
sama sekali. Beberapa petak hutan yang saat itu telah ditebang diganti
dengan persawahan. Di bagian ini mengalir Sungai Lamong kidul yang
walaupun tidak dalam dan tidak bisa dilayari, tetapi mempunyai fungsi yang
sangat baik untuk mengangkut balok-balok jati.45

Kabupaten Mojokerto

Kabupaten Mojokerto terletak di bagian selatan Karesidenan Surabaya.


Menurut keterangan resmi, luasnya adalah 800 paal persegi. Batas utara
seluruhnya dipisahkan oleh Kali Kediri. Sebelah barat dengan Kabupaten
Berbek; sebelah barat daya dengan Kabupaten Kediri; sebelah tenggara
dengan Kabupaten Malang dan sebelah Timur dengan Kabupaten Bangil.
Kabupaten Mojokerta terdiri atas Distrik Mojokerto, Modjosari, Mojoagung,
dan Mojorejo.
Wilayah Kabupaten Mojokerto membentang di sepanjang jalan menuju
Kediri, dengan jarak sekitar 30 paal. Jalan itu memotong Distrik Mojoagung
dan Mojorejo. Di Kabupaten Mojokerto masih dijumpai bekas reruntuhan
Kerajaan Majapahit. Reruntuhan ini terletak pada jarak 7–8 paal dari
Mojokerto di dekat jalan raya. Dari Mojokerto ke Kediri terbentang Desa
Pelem (paal 36), Kedaleman (paal 37), Jamrong (paal 38), Kedung Maling
dan Jumaan (paal 39), Jambuwoh (paal 40), Beluk dan Rumpit (paal 41), di
Jumaan lahan ini tandus dan terutama ditumbuhi pohon Jati, Bambu, dan

12
Biduri. Di Trowulan (paal 43), dan Penanggelan (paal 44), daratannya
ditumbuhi dengan hutan Jati. Desa Mojoagung yang pada masa sebelumnya
disebut juga Wirasaba terletak pada paal 53, desa Kauman (paal 46), Miantri
dan Terongan (paal 50), Mancus (paal 51), di desa banyak dijumpai lahan
tebu, dan Desa Lundo yang merupakan batas Di Distrik Mojoagung. Distrik
Mojorejo pada paal 53 terdapat beberapa sungai yang memotong jalan.
Distrik ini panjangnya 12 paal dan dipotong oleh jalan menuju Kediri, di sini
hanya sedikit dijumpai tanah Tebu. Dari Mojorejo selanjutnya pada paal 55
terdapat desa Jenar, setelah berbelok Ke Selatan - Barat Daya, dijumpai
Desa Trenggana pada paal 56, Tunggul pada paal 57, Tondowulan paal 58,
Palguna (paal 59), Tanggungan (paal 60), Plumpung (paal 61), Semolo (paal
62), Rodot (paal 63), Kadipura dengan sebuah pabrik gula yang dimiliki oleh
partikelir Banjar Jejer yang menyewa di sana pada pal 64, dan akhirnya
Banjar Jejer sendiri pada paal 65 yang juga sekaligus merupakan perbatasan
antara Karesidenan Surabaya dan Karesidenan Kediri.46
Wilayah administrasi Karesidenan Surabaya pada awal abad ke-20 an
mengalami beberapa perubahan lagi yakni dengan masuknya kabupaten
Jombang, leburnya kabupaten Sedayu ke dalam Gresik; Sidoarjo yang dulu
merupakan salah satu afdeeling dari kabupaten Surabaya berdiri sendiri
sebagai sebuah kabupaten, serta kabupaten Lamongan. Batas-batas
Karesidenan Surabaya pada masa ini di sebelah utara adalah Laut Jawa;
sebelah timur adalah Selat Madura; sebelah barat adalah Karesidenan Kediri
dan Rembang, serta batas sebelah selatan adalah Karesidenan Pasuruan.
Akhirnya di sebelah barat Karesidenan Surabaya ditutup dengan rangkaian
gunung berapi yakni Gunung Arjuna, Gunung Anjasmara, Gunung
Penanggungan, Gunung Welirang dan Gunung Kembar yang masih aktif.47
Pada dataran pegunungan itu terdapat hamparan tanah merah yang
mengandung batuan andesit yang kadang-kadang juga diselingi dengan lahar
yang menjadikan tanah di daerah itu menjadi subur. Dataran ini hampir
meliputi separuh dari Karesidenan Surabaya, yakni pada sebelah daerah
selatan kali brantas, cabang utara kali Surabaya, serta daerah antara Kali
Solo dan Kali Lamongan. Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Jombang,
tanahnya terdiri atas bahan yang mengandung pasir, bahan larva, sebagian
tanah liat yang berwarna kuning dan cokelat yang karena bercampur dengan
sisa tumbuh–tumbuhan lalu menjadi agak gelap; menjadikan kedua
kabupaten ini sangat subur.48
Dari uraian mengenai kondisi geografi, jelas Karesidenan Surabaya
cukup potensial bagi suatu perkembangan ekonomi daerah itu, karena di
samping memiliki pelabuhan yang aman, Karesidenan Surabaya juga daerah
pedalaman yang subur, terutama daerah Delta Surabaya, Mojokerto, dan
Jombang.

Penduduk dan Tenaga Kerja Periode 1830-1930

13
Di Karesidenan Surabaya dan karesidenan-karesidenan lain di Jawa
pada umumnya pasokan tenaga kerja per satuan lahan pada abad ke–19
dapat dikategorikan sebagai sangat tinggi.49 Data mengenai jumlah penduduk
Karesidenan Surabaya, pertama kali dapat diketahui setelah Raffles
melakukan penghitungan jumlah penduduk Jawa pada tahun 1815. Usaha ini
dilakukan oleh Raffles sebelum ia memberlakukan sebuah kebijakan ekonomi
baru yakni sistem pajak tanah. Dari hasil penghitungan penduduk yang
dilakukan oleh Raffles, jumlah penduduk Karesidenan Surabaya dan
karesidenan-karesidenan lain di Jawa pada tahun 1815 dapat dilihat dalam
tabel berikut ini.

Jumlah Penduduk Surabaya dan Karesidenan Lain


di Jawa pada Tahun 1815
Total Natives Square Estimated
Chinese
Divisions Popu- M F Statute Population
lation Total M F Total M F miles Per sq. mi.
Java
European
Provinces
Banten 231,604 106,100 125,504 230,976 111,988 118,988 628 352 276 3,428 67 ½
Batavia and 332,015 180,768 151,247 279,621 151,064 128,557 52,394 29,704 22,690
its Environs 2,411 169 ½
Buitenzorg 76,312 38,926 37,386 73,679 37,334 36,345 2,633 1,591 1,042
Priangan 243,628 120,649 122,979 243,268 120,289 122,979 180 86 94 10,002 24 ½
Reg.
Cheribon 216,001 105,451 110,550 213,658 99,837 113,821 2,343 1,193 1,150 1,334 162
Tegal 178,415 81,539 96,876 175,446 80,208 95,238 2,004 915 1,089 1,297 137 1/3
Pekalongan 155,442 53,187 62,255 113,396 52,007 61,389 2,046 1,180 866 607 190 1/6
Semarang 327,610 165,009 162,601 305,910 154,161 151,749 1,700 848 852 1,166, 281
Kedu 197,310 97,744 99,566 196,171 97,167 99,004 1,139 577 562 826 238 ¾
Grobogan & 66,522 31,693 34,829 66,109 31,423 34,686 403 223 180 1,219 54 1/3
Jipang
Jepara and 103,290 55,124 48,166 101,000 54,000 47,000 2,290 1,124 1,166 1,025 100 2/3
Juwana
Rembang 158,530 75,204 83,326 154,639 73,373 81,266 3,891 1,831 2,060 1,400 113
Gresik 115,442 58,981 56,461 115,078 58,807 56,271 364 174 190 778 148
Surabaya 154,512 77,260 77,252 152,052 76,038 75,987 2,047 1,010 1,037 1,218 126 ¾
Pasuruan 108,812 54,177 54,635 107,752 53,665 54,087 1,070 522 548 1,952 58 1/8
Probolinggo 104,359 50,503 53,856 102,927 49,797 53,130 1,430 706 724 2,854 36 ½
Banyuwangi 8,873 4,463 4,410 8,554 4,297 4,257 319 166 153 1,274 7
Native
Provinces
Sura-kerta 972,727 471,505 501,222 970,292 470,220 500,072 2,435 1,285 1,150 11,313 147 ½
Yogya-kerta 685,207 332,241 352,966 683,005 331,141 351,864 2,202 1,201 1,001
Madura
Bangkalan & 95,235 47,466 47,769 90,848 45,194 45,654 4,395 2,280 2,115 892 106 ¾
Pamekasan
Sumenep 123,424 60,190 63,234 114,896 55,826 59,070 8,528 4,364 4,164 728 146
Grand Total 4,615,270 2,268,180 2,347,090 4,499,250 2,207,836 2,291,414 94,441 51,332 43,109 45,724 100
Sumber: Thomas Stamford Raffles, The History of Java I. (London: Black, Parburry And Allen,
1817), hlm. 63.

14
Dari tabel tersebut tampak bahwa tingkat kepadatan penduduk
Karesidenan Surabaya pada tahun 1815 berada di atas rata–rata Jawa.
Setelah penghitungan penduduk yang dilakukan oleh Raffles pada tahun
1815, tahun–tahun setelah itu tidak lagi ditemukan usaha–usaha
penghitungan jumlah penduduk, baik Surabaya maupun Jawa. Baru pada
tahun 1839, dapat diketahui jumlah penduduk Surabaya dan karesidenan–
karesidenan lain di Jawa pada tahun 1826–1831 dalam sebuah artikel di
T.v.N.I yang berjudul Bevolking van Java en Madoera. Jumlah penduduk
Surabaya ada masa ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Jumlah Penduduk Karesidenan Surabaya


dan Karesidenan Lain di Jawa 1826-1831
Karesidenan 1826 1827 1828 1829 1830 1831
Bantam 230,431 245,751 270,876 298,860 337,169 337,169
Batavia 185,716 194,876 203,870 212,460 223,596 223,596
Butenzorg 127,423 154,380 181,790 216,840 240,812 240,812
Preanger Reg 341,473 370,882 406,281 433,862 471,928 471,928
Cheribon 310,780 339,898 363,785 396,852 429,576 429,576
Tagal 122,641 135,420 147,692 153,780 168,644 168,644
Pekalongang 170,863 183,767 205,988 225,756 249,897 249,897
Semarang 280,840 301,617 324,791 352,680 385,366 385,366
Kadoe 242,590 251,431 268,370 282,460 307,339 308,978
Bagaleen 280,860 302,677 329,270 348,461 379,382 441,653
Banjoemaas 280,671 310,842 342,791 380,640 421,554 421,554
Madion 197,827 212,504 231,472 248,361 268,130 268,130
Kedirie 111,718 126,803 138,971 150,216 167,183 167,183
Japara en Joanna 211,580 238,671 267,840 294,768 324,777 324,777
Rembang 301,670 321,580 356,471 381,670 413,334 413,334
Soerabaija, 438,168 470,201 503,840 528,961 560,792 560,792
Waaronder
Madoera en
Grissee
Passoeroeang 157,868 170,681 186,521 208,460 229,543 229,386
Bezoeki en 245,860 261,685 272,540 206,470 296,386 296,386
Banjoewangie
Total 4,301,552 4,661,096 5,074,688 5,387,037 5,954,853 6,018,000
Sumber : “Bevolking van en Madoera” dalam T.v.N.I., 1839, I, hlm.158

Tabel tersebut menunjukkan bahwa penduduk Karesidenan Surabaya


dari tahun 1826-1830 meningkat pesat. Tahun 1826 ke 1827 naik 7,3%; 1827-
1828 meningkat 7,15 %; 1828-1829 naik 5%; 1829-1830 naik 6 %; dan pada
tahun 1830-1831 tetap [sic]. Dengan demikian rata-rata peningkatannya
adalah 5,1 %. Angka kenaikan rata-rata untuk Jawa (di luar Surakarta dan
Yogyakarta) adalah sebagai berikut: tahun 1826-1827 meningkat 8,4 % tahun

15
1827-1828 naik 6,8%; tahun 1828-1829 naik 6,2 %; 1829-1830 angka
kenaikannya adalah 11% dan 1830-1831 naik 1,1%. Dengan demikian rata-
rata kenaikan penduduk Surabaya pada tahun 1826-1831, lebih tinggi dari
rata-rata Jawa.
Setelah penghitungan penduduk pada tahun 1832 seperti di atas,
sensus penduduk Surabaya atau Jawa pada periode berikutnya tidak pernah
dilakukan. Bleeker adalah orang berikutnya yang berjasa dalam mengetahui
jumlah penduduk Surabaya dan Jawa secara keseluruhan. Pada tahun 1845
ketika ia bepergian di Pulau Jawa, ia mengumpulkan data penduduk melalui
kepala-kepala lokal karena kantor pemerintah di Jakarta tidak ditemukan data
penduduk. Jumlah penduduk Karesidenan Surabaya pada tahun 1845
menurut hitungan Bleeker bisa dilihat pada tabel berikut ini.

Jumlah Penduduk Karesidenan Surabaya dan Karesidenan Lain


di Jawa pada Tahun 1845

Karesidenan Total Penduduk


Besuki 503.175
Pasuruan 336.472
Surabaya 1.237.392
Kediri 235.243
Rembang 478.708
Madiun 314.979
Pacitan 89.788
Jepara 422.035
Semarang 757.831
Kedu 357.188
Pekalongan 236.620
Surakarta 505.193
Yogyakarta 349.166
Bagelen 615.105
Banyumas 401.840
Tegal 299.282
Cirebon 616.858
Priangan 728.021
Krawang 133.065
Bogor 260.311
Jakarta 283.517
Banten 389.556
Total Jawa 9.551.385
Sumber: P. Bleeker, ”Bridrage tot de Statisteik der Bevolking van Java “, dalam
T.v.N.I., 1847, IV, hlm.15.

16
Hasil perhitungan Bleeker menunjukkan bahwa angka–angka untuk
setiap karesidenan di Jawa sangat bervariasi, ada yang sangat tinggi dan
ada yang sangat rendah. Jumlah penduduk Surabaya pada tahun 1845
adalah yang paling tinggi di antara karesidenan-karesidenan lain di Jawa.
Mengingat pentingnya data mengenai perubahan dan jumlah penduduk
akhirnya pemerintah kolonial Belanda mulai tahun 1850 merasa perlu untuk
turut melakukan penghitungan. Sejak saat itu angka-angka mengenai jumlah
penduduk selalu dimuat dalam Koloniaal Verslag. Angka–angka jumlah
penduduk untuk Karesidenan Surabaya pada periode 1850-1930 bisa dilihat
pada tabel berikut.

Penduduk Karesidenan Surabaya 1850-1930


Tahun Jumlah Tahun Jumlah Tahun Jumlah Tahun Jumlah
1850 955.151 1871 1.453.552 1892 2.058.949 1924 2.405.696
1851 979.000 1872 1.478.864 1893 2.083.814 1925 2.471.903
1852 1.005.841 1873 1.507.367 1894 2.192.618 1926 2.476.743
1853 1.028.413 1874 1.524.714 1895 2.192.618 1927 2.486.485
1854 1.039.601 1875 1.551.691 1928 2.511.191
1855 1.052.449 1876 1.574.182 1900 2.320.839
1856 1.072.370 1877 1.596.943 1930 1.813.259
1857 1.097.330 1878 1.612.026 1905 2.395.618
1858 1.116.779 1879 1.638.396
1859 1.147.747 1880 1.692.913 1912 2.421.962
1860 1.169.563 1881 1.713.030 1913 2.409.248
1861 1.200.948 1882 1.178.675 1914 2.443.306
1862 1.218.519 1883 1.738.894 1915 2.443.517
1863 1.248.517 1884 1.768.329 1916 2.476.297
1864 1.261.271 1885 1.831.183 1917 2.464.638
1865 1.279.657 1886 1.863.668 1918 2.445.082
1866 1.302.536 1887 1.901.665 1919 2.430.910
1867 1.323.759 1888 1.934.425 1920 2.396.520
1868 1.347.935 1889 1.970.578 1921 2.385.973
1869 1.378.021 1890 2.063.412 1922 2.408.680
1970 1.419.207 1891 2.045.936 1923 2.420.088
Sumber: Koloniaal Verslag untuk tahun-tahun yang bersangkutan; Volkstelling 1930, Deel lII;
P. Boomgrard dan A.J. Gooszeen (eds.), Population Trends 1795-1942
(Amsterdam: Royal Tropical Institute, 1991), hlm. 108-121.

Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa selama kurun 1850-1928


penduduk di Karesidenan Surabaya mengalami kenaikan pesat. Pada periode
1929-1930 jumlah penduduk Karesidenan Surabaya mengalami penyusutan,
hal ini dikarenakan terjadi perubahan batas karesidenan. Pada masa ini
wilayah Karesidenan Surabaya meliputi dua kabupaten saja, yakni Kabupaten
Surabaya dan Kabupaten Gresik.

17
Hasil penghitungan Raffles menunjukkan bahwa pertumbuhan
penduduk Surabaya pada tahun 1815 adalah 154.512 jiwa, pada tahun 1900
sudah mencapai 2.320.869 jiwa. Hal ini berarti rata–rata pertumbuhan
pertahunnya melebihi rata-rata Jawa yang hanya 2,2%.
Rata-rata pertumbuhan penduduk 2,2% per tahun adalah satu angka
pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Oleh karena itu para ilmuwan
banyak yang meragukan keakuratan dari perhitungan yang dilakukan oleh
Raffles dan menganggapnya terlalu rendah. Di Eropa maupun di Asia belum
pernah dijumpai pertumbuhan penduduk secepat itu. “Revolusi Vital“ yang
dalam negara-negara maju pada awal perkembangan ekonominya
menunjukkan kecenderungan rata-rata tidak lebih 1 % per tahun.50 Rata-rata
pertumbuhan di negara-negara Asia Tenggara juga tidak secepat laju
pertumbuhan penduduk Jawa dan Surabaya. Burma pada awal abad ke-20
rata-rata pertumbuhan penduduknya adalah 1 % per tahun. 51 Di Philiphina
sebelum terjadinya krisis mortality pada abad ke-19 rata-rata pertumbuhan
penduduknya berkisar antara 1,2 - 1,5 % per tahun; antara tahun 1736 -1800
rata-rata pertumbuhan pertahunnya adalah 1 % dan pada periode 1736-1800
adalah 1,65%.52
Pada tahun 1963, Breman lewat sebuah artikelnya yang diberi judul
“The modern debate on Java’s population growth” berusaha untuk melakukan
penghitungan detail sebagai satu usaha awal dalam menggambarkan dan
mendiskusikan berbagai faktor yang berkenaan dengan pertumbuhan
penduduk. Dalam artikelnya ini ia sampai pada kesimpulan bahwa rata-rata
pertumbuhan penduduk Jawa per tahun adalah 1,6% pada abad ke-19
(1,4%). Pada paruh pertama dan 1,75% pada paroh abad kedua). Dua tahun
kemudian Hilde Wander menerbitkan buku mengenai hubungan antara
pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi Indonesia. Pada
dasarnya pendapat Wander mengenai rata-rata pertumbuhan penduduk Jawa
pada abad ke-19 tidak begitu berbeda jauh dengan Breman. Ia mengatakan
bahwa rata-rata pertumbuhan penduduk Jawa pada abad ke-19 berkisar
antara 1,6-1,7 % per tahun.53 Ilmuwan berikutnya yang masih melakukan
debat mengenai pertumbuhan penduduk Jawa pada abad ke-19 adalah Bram
Peper.54 Menurutnya pertumbuhan penduduk jawa pada awal abad ke-19
(1800-1850) adalah tidak lebih dari 1 % per tahun, yakni berkisar antara 0,5-1
%. Pada tahun 1989, Peter Boomgard menerbitkan sebuah monograf yang
didasarkan pada arsip-arsip, baik yang ada di Belanda maupun di Indonesia
dan menyimpulkan bahwa rata–rata pertumbuhan penduduk Jawa pada abad
ke-19 adalah 1,4 % per tahun (1,25 % pada periode 1800-1850 dan 1,6%
pada periode 1850-1900 %). Wijoyo Nitisastro dalam bukunya Population
Trend In Indonesia, menilai bahwa walaupun dibandingkan dengan data yang
dikemukakan oleh Radermacher dan Nedeburgh serta dengan informasi–
informasi lain yang sezaman, data Raffles dianggapnya lebih akurat.55

18
Terlepas dari tingkat keakuratan data, baik yang dilakukan Raffles
maupun Bleeker, para ilmuwan pada hakekatnya mengakui tingginya
pertumbuhan penduduk Jawa dan Surabaya di dalamnya adalah antara 1–2
%/ tahun. Dengan rata- rata pertumbuhan penduduk seperti itu, menunjukkan
bahwa Karesidenan Surabaya mempunyai kelebihan khusus dalam suplai
tenaga kerja.

Catatan Bab II

1. P.J. Veth, Java: Geographisch, Ethnologisch, historisch (Harlem: De Erven F.


Bohn, 1882), hlm. 816.
2. G.H. von Faber, Oud Soerabaia, de Geschiedenis van Indie’s eerste Koopstad
van de Oudste Tijden tot de Instelling van Gemeenteraad 1906 (Soerabaia,
1931), hlm. 4-5.
3. Dalam kronik Cina tercatat mengenai misi Kerajaan Ho-ling pada masa dinasti
Tang. Prof. T. Tomio, mencoba menganalisa kata “Ho-ling” dengan melacak asal
tulisan dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. Dari analisanya akhirnya ia
berkesimpulan bahwa kata “Ho-ling” adalah pronaunsiasi orang Cina untuk
menyebut kata Sansekerta “Kalu” atau “Galuh”. Adapun letak dari Kerajaan ini
menurutnya adalah di sekitar Surabaya dan Gresik. Lihat T. Tomio, “A Study on
the Kingdom Galuh: By Analizing the Indonesia Social Structure” (Yogjakarta:
Second International Symposium on Humanities, Linguistics and Histoty, 1993).
4. Sunarto Timoer, Mitos Cura- Bhaya, Cerita rakyat sebagai sumber penelitian
Sejarah Surabaya (Jakarta : Balai Pustaka, 1983), hlm. 22- 29.
5. G.H. von Faber, op. cit. , hlm. 75-93.
6. Lihat Sunarto Timoer, op.cit. , hlm. 13 ; Heru Soekadri , “Dari Hujunggaluh Ke
Curabhaya (Menggali Tanggal Lahirnya Kota Surabaya )” (Surabaya : Laporan
penelitian Hari Jadi Kota Surabaya , 1997 ), hlm. 9.
7. Dikutip dalam Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di
Surabaya 1870- 1940 (Yogyakarta : Penerbit Andi , 1996), hlm.4.
8. P.J. Veth, op. cit., hlm. 845.
9. V. J. H. Houben, “A Tale of Two Cities: Yogyakarta and Surabaya: A Comparative
Approach” dalam: Bernard Dahm (ed.), Region and Regional Development in The
Malay-Indonesian World (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1992), hlm. 148
10. Perkiraan ini diperkuat oleh sumber tradisional setempat yakni oleh Babad Balai
Pustaka (Jilid IX, hlm. 63) dan oleh Serat Kandha (hlm. 852). Lihat H.J. de Graaf,
Puncak Kekuasaan: Politik Ekspansi Sultan Agung 1613 – 1645 (Jakarta: Grafiti
Press, 1986), hlm. 12.
11. Ibid.

19
12. Ibid.
13. Ibid., hlm. 16-18
14. Ibid., hlm. 16-18.
15. H.J. de Graaf dan Th. D. Pigeaud, De Eerste Moslimse Vertendommen op Java
(‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1974), hlm. 150 dan 156.
16. H.J. de Graaf, “Puncak Kekuasaan Mataram”, op. cit., hlm. 96-97.
17. H.J. de Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack: Kemelut Di Kartasura Abad XVII
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 4.
18. Ibid., hlm. 5.
19. Ibid., hlm.7.
20. Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi Ing Taoen
1641, Jilid II (‘s-Gravenhage: M. Nijhoff, 1941), hlm. 208-216.
21. Tewasnya Kapten Tack dalam pertempuran melawan Surapati menurutnya yang
paling bertanggung jawab adalah raja Mataram. Alasan de Graaf atas tuduhan ini
adalah karena bantuan penyerangan raja Mataram terhadap Untung Surapati
dinilai sebagai suatu pertempuran “pura-pura”, Tack yang berniat membantu
penyerangan tersebut akhirnya terjebak dan gugur dalam pertempuran dengan
luka sebanyak 20 tusukan. Penjelasan yang rinci mengenai proses tewasnya
Kapten Tack. Lihat, H.J. de Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack: …, loc. cit.
22. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1994), hlm. 130-131.
23. Ibid., hlm.141
24. P. J. Veth, op. cit., hlm. 847.
25. G.H. von Faber, op. cit., hlm. 35-40.
26. Ibid.
27. P. J. Veth, op. cit., hlm. 851.
28. Hageman, “Bidrage tot de Kennis van Residentie Soerabaja”, dalam: T. v. N. I.,
1859, Jilid I, hlm. 33.
29. Lihat Staatsblad Tahun 1817, No. 58.
30. Lihat Staatsblad Tahun 1826, No. 53.
31. P. J. Veth, op. cit., hlm. 817
32. “Reis Langs de Noordkust van Midden Java”, dalam: T.v.N.I., 1850, I, hlm. 104.
33. Mojokerto dulu bernama Japan, sedangkan nama Mojokerto baru muncul dalam
Surat Keputusan Pemerintah tanggal 11 September 1838. Lihat Veth, op. cit.,
h1m. 815.

20
34. Hageman, “Bidrage tot de Kennis van de ResidentieSoerabaja”, dalam T. v. N. I..
1859, hlm. 132-135
35. Ibid., hlm. 130.
36. Ibid.
37. Encyclopedia Van Nederlandsch Oost Indie, IV (Leiden: E..J. Brill, 1917), hlm.
211.
38. P.J.Veth, op, cit., hlm. 816.
39. Ibid., hlm. 818-819.
40. H.J de Graaf, ”Puncak Kekuasan Mataram….”, op.cit., hlm. 84.
41. Lihat P.J Veth, op.cit., hlm. 836-839.
42. Ibid., hlm.822
43. Ibid., hlm. 824.
44. Ibid., hlm. 832.
45. Ibid., hlm. 824.
46. ”Reis Door Binnenlanden Midden Java: hoofdstuk I: van Soerabaja Naar Kediri”,
dalam: T.v.N.l., 1850 I, hlm. 167-168.
47. T.v N. I. , 1850, I, hlm.104.
48. E.N.I. (Leiden : E. J. Brill, 1992), hlm. 29-30.
49. Anne Booth. “Perkembangan Angkatan Kerja Pertanian di Jawa dan Luar Jawa“,
dalam: Prisma, nomor 5, tahun 1989, hlm. 18.
50. Rata- rata pertumbuhan penduduk Jepang pada abad ke-19 adalah 0,8%, hal ini
sama seperti yang dialami Inggris dan Wales pada bagian akhir abad ke-18. Lihat
Mataji Umemura, “Pertanian dan Suplai Tenaga Kerja Pada Zaman Meiji “, dalam
: Kazushi Ohkawa et. Al., (eds) , Pertumbuhan Ekonomi dan Pertanian:
Pengalaman Jepang (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1983), hlm.199.
51. Judith Richell, “Determinants Of Demographic Change in Colonial Burma“
(London : Third World Economic History and Development Group London
Conference, 1988), hlm. 3.
52. Norman G. Owen, “The Paradox of Nineteenth–Century Population Growth in
Southeast Asia: Evidence From Java And Philippines”, Dalam : Journal of
Sooutheast Asian Studies vol XVIII, no .1 1987, hlm. 46.; lihat juga tulisan Peter
C. Smith , “Crisis Mortality in The Nineteenth Century Philippines: Data From
Paris Records“ (Hawaii: University Of Philippines and The East – Weast
Population Institute, 1976).
53. P. Boomgard Dan A. J Gooszen(eds) , Population Trends 1795 -1942
(Amsterdam : Royal Tropical Institute, 1991), hlm.10-11.

21
54. Bram Paper, “Population Growth In Java In The 19th Century “, dalam Population
Studies XXIV, 1970, hlm. 84.
55. Widjojo Nitisastro, Population Trends In Indinesia (Ithaca : Cornell University
Press, 1970), hlm. 26.

22

Anda mungkin juga menyukai