Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN TA 2012

KAJIAN PENGEMBANGAN KOMODITAS STRATEGIS


BERBASIS KAWASAN

Oleh :
Adi Setiyanto
Rudy S. Rivai
Jefferson Situmorang
Miftahul Aziz
Yonas H. Saputra

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2012
RINGKASAN EKSEKUTIF

Latar Belakang
1. Pencapaian empat target sukses dilaksanakan dalam bentuk kebijakan
operasional yang akan dilaksanakan melalui pengembangan kawasan
pertanian untuk memproduksi komoditas unggulan yang berbasis klaster.
Pendekatan ini dimaksudkan untuk memadukan serangkaian program dan
kegiatan pembangunan pertanian menjadi suatu kesatuan yang utuh baik
dalam perspektif sistem maupun kewilayahan, sehingga dapat mendorong
peningkatan daya saing komoditas, wilayah serta pada gilirannya
kesejahteraan petani sebagai pelaku usaha tani. Peraturan Menteri Pertanian
No 50 Tahun 2012 merupakan upaya untuk mewujudkan pengembangan
komoditas strategis berbasis kawasan secara berkelanjutan yang
membutuhkan perencanaan kinerja pengembangan komoditas yang dapat
mengakselerasi potensi daya saing komoditas dan wilayah melalui
optimalisasi sinergitas pengembangan komoditas (multiple cropping system
dan crop livestock system), keterpaduan lokasi kegiatan dan keterpaduan
sumber pembiayaan. Keterpaduan pengembangan komoditas yang didukung
secara horisontal dan vertikal oleh segenap pelaku dan pemangku
kepentingan dalam suatu hamparan kawasan sentra produksi yang berskala
ekonomis mensyaratkan suatu pendekatan yang berbentuk klaster (cluster).
Mengingat kajian model operasional pengembangan komoditas strategis
berbasis kawasan masih sangat terbatas kalaupun tidak dapat dikatakan
masih relatif belum ada, maka kajian pengembangan komoditas strategis
berbasis kawasan perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian
2. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menyusun model
pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan. Sedangkan secara
khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi dan menentukan
kawasan pengembangan komoditas strategis prioritas; (2) Mengidentifikasi
dan mengalisis kriteria, indikator dan faktor-faktor strategis apa saja yang
menjadi penentu keberhasilan pengembangan komoditas strategis yang
diprioritaskan pada kawasan terpilih; dan (3) Merumuskan alternatif model
pengembangan kawasan termasuk sistem pendampingannya.

3. Secara umum keluaran yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
rumusan tentang model pengembangan kawasan strategis berbasis
kawasan. Secara khusus keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
(1) Prioritas kawasan pengembangan komoditas strategis; (2) Bobot prioritas
atau nilai skor kriteria, indikator dan faktor-faktor strategis yang menjadi
penentu keberhasilan pengembangan komoditas strategis pada kawasan
prioritas tersebut; dan (3) Rumusan alternatif model pengembangan
komoditas strategis berbasis kawasan termasuk sistem pendampingannya.
Keluaran yang diharapkan memberikan manfaat bagi Kementerian Pertanian,
khususnya Eselon I Terkait untuk menentukan prioritas kawasan
pengembangan komoditas strategis; menentukan bobot prioritas atau nilai
skor kriteria, indikator dan faktor-faktor strategis yang menjadi penentu
keberhasilan pengembangan komoditas strategis pada kawasan prioritas
tersebut dan rumusan alternatif model pengembangan komoditas strategis
berbasis kawasan termasuk sistem pendampingannya dalam rangka
pengembangan komoditas strategis.

4. Komoditas strategis yang diteliti mencakup padi, jagung, kedelai, tebu dan
sapi potong dengan unit analisis kabupaten/kota yang mencakup 497
kabupaten/kota di Indonesia. Identifikasi dan analisis faktor-faktor strategis
kunci pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu berdasarkan kriteria dan indikator penentuan
kawasan komoditas strategis dan berdasarkan kerangka sistem agribisnis.

Metoda Penelitian
5. Penelitian ini mencakup lima komoditas strategis yaitu padi, jagung, kedelai,
tebu dan sapi potong dengan unit analisis kabupaten/kota yang mencakup
497 kabupaten/kota di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dalam bentuk studi
lapangan dan studi literatur. Data dan informasi yang dianalisis dalam
penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder yang
dikumpulkan bersumber dari berbagai instansi tingkat pusat, tingkat propinsi,
dan tingkat kabupaten. Data primer dikumpulkan dengan melakukan
kunjungan (survei), Focus Group Discussion (FGD), dan wawancara,
terhadap perseorangan atau kelompok, baik dengan para petani maupun
aparat dari instansi terkait di tingkat propinsi, kabupaten, dan kecamatan
lokasi terpilih. Kabupaten contoh penelitian terdiri dari Lampung Tengah dan
Lampung Utara untuk Propinsi Lampung, Garut dan Tasikmalaya untuk
Propinsi Jawa Barat, Blitar dan Malang untuk Propinsi Jawa Timur, Gorontalo
dan Pohuwato untuk Propinsi Gorontalo, Sambas dan Bengkayang untuk
Propinsi Kalimantan Barat, dan Kutai Kertanegara dan Bulungan untuk
Propinsi Kalimantan Timur. Jumlah responden penelitian ini adalah 210
dengan rincian tingkat pusat atau DKI Jakarta 17, Lampung 30, Jawa Barat
29, Jawa Timur 35, Gorontalo 34, Kalimantan Barat 31 dan Kalimantan Timur
34 responden. Berdasarkan profesinya jumlah responden pengambil
kebijakan 29, pakar atau peneliti dan praktisi 21, pembimbing atau penyuluh
dan pendamping 21, lembaga keuangan 8, pengolah dan pemasar hasil 16,
distributor dan pedagang input 12, kelompok tani dan gabungan kelompok
tani 24, dan petani, peternak dan pengusaha agibisnis dibidang budidaya
atau usahatani skala kecil 74 responden.

6. Pendekatan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis


Hirarki Proses (AHP) lengkap dengan analisis pendukung yang dibutuhkan
untuk memperingkat seluruh kabupaten/kota dalam pengembangan
komoditas strategis berbasis kawasan. Data dan informasi primer yang
dikumpulkan merupakan data persepsi expert dalam penyusunan matriks
perbandingan berpasangan dalam penentuan bobot prioritas dalam
pendekatan analisis AHP, pengumpulan data dan informasi evaluasi kriteria
dan faktor kunci strategis pengembangan kawasan, dan penyusunan model
(tentatif) pengembangan kawasan komoditas strategis dan sistem

ii
pendampingan pengembangan kawasan komoditas strategis. Disamping
peringkat kabupaten/kota secara nasional sebagai hasil analisis penelitian ini,
juga dilakukan analisis perbandingan dengan daftar kabupaten kota pada
Lampiran Permentan No. 50 Tahun 2012 dan pembuatan peta potensi dan
peringkat nasional masing-masing kabupaten/kota dalam pengembangan
komoditas strategis.

HASIL PENELITIAN

Prioritas Kawasan Pengembangan Komoditas Strategis


7. Jumlah kabupaten/kota yang dinilai memenuhi persyaratan sesuai Peraturan
Menteri Pertanian no 50 tahun 2012 masing-masing calon lokasi kawasan
Padi adalah 245, dimana jika dibedakan anatara padi sawah dan padi ladang
masih-masing adalah 247 kabupaten/kota dan 235 kabupaten/kota; kawasan
jagung 212 kabupaten/kota, kawasan kedelai 194 kabupaten kota, kawasan
tebu 161 kabupaten/kota dan kawasan sapi potong 243 kabupaten/kota.
Jumlah tersebut menunjukkan daftar kabupaten/kota dari peringkat pertama
hingga jumlah masing-masing komoditas. Dalam rangka implementasi,
apabila terdapat keterbatasan anggaran maka kabupaten/kota yang dapat
dipilih berdasarkan urutan peringkat masing-masing sesuai dengan
komoditasnya.

8. Ada perbedaan antara hasil analisis pada penelitian ini dengan daftar yang
dicantumkan pada Lampiran Peraturan Menteri Pertanian No. 50 tahun 2012,
yang diduga daftar pada lampiran tersebut tidak didasarkan atas analisis
yang seharusnya sesuai persyaratan yang diminta dalam Pedoman Umum
Pengembangan Kawasan Pertanian Peraturan Menteri Pertanian No. 50
tahun 2012. Kecuali tebu, banyak kabupaten/kota dalam dalam daftar
pedoman tersebut tidak memiliki luas lahan atau populasi eksisting dan
potensi pengembangannya seperti arahan dan persyaratan yang diminta
dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 50 Tahun 2012.

9. Pada kabupaten yang tercatat dalam daftar peraturan tersebut, akan tetapi
tidak memenuhi persyaratan, maka diperlukan pendekatan khusus dalam
pengembangannya diantaranya dengan cara: (1) Mengembangkan
keterkaitan secara struktural dan fungsional dengan kabupaten/kota
disekitarnya merupakan salah satu solusi alternatif, agar kabupaten/ kota
yang tidak memenuhi syarat luasan tetap dapat dijadikan kawasan pertanian,
dimana wilayah tersebut dijadikan pusat atau bagian dari kawasan pertanian
secara lintas kabupaten; (2). Menjadikan lokasi tersebut sebagai bagian dari
pengembangan kawasan sektor lainnya, misalnya agrowisata atau lokasi
wisata ilmiah dan tempat pembelajaran atau laboratorium lapang penelitian
dan pengembangan; (3) Mengembangkan kawasan komoditas strategis
dikaitan dengan pengembangan kawasan pariwisata, apabila lokasinya
berada pada daerah tujuan dan kawasan wisata; (4) Menerapkan strategi
dengan memberikan perhatian khusus pada wilayah-wilayah terpencil seperti
pulau-pulau di Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara,
Maluku, Maluku utara, dan Papua atau Papua Barat, pengembangan

iii
kawasan komoditas strategis perlu dikaitkan dengan peningkatan ketahanan
pangan di wilayah itu, karena pada umumnya wilayah tersebut merupakan
willayah yang sulit terjangkau sehingga merupakan wilayah yang memiliki
tingkat kerawanan pangan yang tinggi, sehingga pengembangan kawasan
pertanian komoditas strategis khusus pangan utama perlu dikaitkan dengan
pengembangan ketahanan pangan pada wilayah-wilayah terpencil; (5)
Mengaitkan pengembangan kawasan pertanian dikaitkan dengan
pengembangan wilayah perbatasan antar negara pada beberapa kabupaten
di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua yang berada di
wilayah perbatasan antar negara. Kawasan perbatasan memerlukan
perhatian khusus dalam pembangunan pertanian karena wilayah itu sebagai
halaman terdepan negara, sekalipun dari segi persyaratan area saat ini
belum memadai.

Faktor-Faktor Strategis Penentu Keberhasilan Kawasan Pengembangan


Komoditas Strategis Berbasis Kawasan

Gambaran Umum Kriteria Pengembangan Komoditas Strategis Berbasis


Kawasan Peluang Pencapaian Empat Target Sukses Kementan

P otensi Sum berdaya Lahan dan K esesuaian Agroekosistem


10. Indonesia memiliki potensi sumberdaya lahan dan kesesuaian agroekosistem
untuk tanaman dan ternak, yang cukup besar. Pada tahun 2010, lahan
sawah Indonesia untuk pengembangan komoditi strategis seluas 8.06 juta
hektar dan lahan non sawah atau lahan kering 17.21 juta hektar. Untuk
wilayah kabupaten, terluas di Kabupaten Sambas 63.68 ribu hektar dan
terkecil di Kabupaten Pohuwato 3.55 ribu hektar. Terdapat lahan sawah yang
tidak diusahakan seluas 1.48 juta hektar, terluas di Kabupaten Kutai
kartanegara 296.33 ribu hektar dan terkecil di Kabupaten Malang 0 hektar.
Disamping lahan tersebut, Indonesia secara indikatif memiliki potensi
sumbedaya lahan untuk pertanian yang tersedia seluas 60.04 juta hektar di
seluruh provinsi di Indonesia. Luas areal yang sesuai secara indikatif untuk
pengembangan komoditas strategis adalah 31.47 juta Ha. Potensi perluasan
yang dapat dibangun atau dicetak menjadi lahan sawah adalah 22.82 juta
hektar, dimana 16.77 juta hektar merupakan lahan basah (rawa, lebak,
pasang surut) dan sisanya sekitar 6.05 juta hektar merupakan lahan kering
yang berpotensi untuk dikonversi menjadi lahan sawah. Hasil analisis pada
kabupaten contoh, kabupaten yang secara indikatif memiliki potensi terluas
adalah Kutaikertanegara 321.21 ribu hektar terkecil di Lampung Utara 18.41
ribu hektar, rata-rata luas potensi lahan sawah pada kabupaten contoh
adalah 78.58 ribu hektar. Berdasarkan data tersebut, Indonesia memiliki
potensi sumberdaya lahan yang sangat luas. Hal ini berarti bahwa upaya
peningkatan produksi padi melalui perluasan areal atau ekstensifikasi melalui
pengembangan kawasan masih sangat memungkinkan untuk dilakukan di
Indonesia.

iv
P eluang P eningkatan P roduktivitas, Luas Areal Tanam dan P roduksi
11. Berdasarkan asumsi bahwa seluruh potensi yang tersedia saat ini
dimanfaatkan secara maksimal untuk peningkatan produksi, diperoleh hasil
analisis bahwa pada kabupaten/kota yang tercantum dalam Lampiran
Permentan No. 50 Tahun 2012 (391 kabupaten/kota) terdapat peluang
peningkatan produktivitas 31.73 persen dari yang dicapai saat ini,
peningkatan areal 15.24 juta ha, peningkatan produksi 30.84 juta ton GKG
dan peningkatan produksi 47.69 persen dari produksi yang dicapai saat ini.
Sedangkan pada kabupaten berdasarkan hasil analisis penelitian ini (245
kabupaten/kota) terdapat peluang peningkatan produktivitas 28.67 persen
dari yang dicapai saat, luas areal 16.58 juta Ha, peningkatan produksi 29.41
juta ton GKG dan peningkatan produksi 50.77 persen. Secara nasional
terdapat peluang peningkatan produktivitas 23.51 persen dari yang dicapai
saat ini, luas areal 31.23 juta Ha atau peningkatan produksi 52.85 jta ton
GKG atau 80.91 persen dari produksi yang dicapai saat ini. Pada kabupaten
contoh diperoleh gambaran bahwa secara persentase pada kabupaten
contoh di Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki peluang peningkatan
produktivitas, luas areal dan produksi relatif lebih rendah dibandingkan
Provinsi Lampung, Gorontalo, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur,
dimana diantara keempat provinsi tersebut Lampung dan Gorontalo relatif
lebih rendah dibandingkan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Hal ini
menunjukkan bahwa pada wilayah-wilayah sentra lama penekanan
pengembangan lebih fokus pada upaya intensifikasi untuk mempertahankan
produksi, sedangkan pada kabupaten sentra baru perlu ditekankan dua hal
yaitu intensifikasi dan perluasan areal.

12. Peluang peningkatan produktivitas jagung pada kabupaten Lampiran


Permentan No. 50 Tahun 2012 (229 kabupaten kota) adalah 45.10 persen
dengan peluang peningkatan areal 18.77 juta hektar, produksi 29.38 juta ton
jagung pipilan kering atau 233.34 persen dari produksi jagung saat ini. Pada
kabupaten hasil analisis (212 Kabupaten kota) terdapat peluang peningkatan
produktivitas 70.84 persen, luas areal 22.80 juta hektar, peluang
peningkatan produksi 52,54 juta ton atau 410,54 persen. Sedangkan secara
nasional terdapat peluang peningkatan produktivitas 85.75 persen, luas areal
36.87 juta hektar dan produksi 89.58 juta ton jagung pipilan kering atau
473.52 persen. Apabila seluruh potensi ini dapat dimanfaatkan dengan baik
maka disamping swasembada jagung dapat tercapai, penyediaan bahan
baku industri pengolahan jagung dan ekspor jagung juga dapat ditingkatkan.

13. Peluang peningkatan produktivitas kedelai pada kabupaten Lampiran


Permentan No. 50 Tahun 2012 (194 kabupaten kota) adalah 42.10 persen
dengan peluang peningkatan areal 10.82 juta hektar, produksi 5.69 juta ton
kedelai ose kering atau 535.14 persen dari produksi saat ini. Pada kabupaten
hasil analisis (190 kabupaten/kota) terdapat peluang peningkatan
produktivitas 44.45 persen, luas areal 16.11 juta hektar, peluang
peningkatan produksi 8.83 juta ton atau 818 persen. Sedangkan secara
nasional terdapat peluang peningkatan produktivitas 44.61 persen, luas areal

v
22.13 juta hektar dan produksi 11.68 juta ton kedelai ose kering atau 984.27
persen dari produksi saat ini.

14. Pada komoditas tebu, pada kabupaten/kota yang tercantum dalam Lampiran
Permentan No. 50 Tahun 2012 (76 kabupaten/kota) terdapat peluang
peningkatan produktivitas 75.69 persen dari kondisi saat ini, peluang
perluasan areal 3.37 juta hektar, peluang peningkatan produksi 7.26 juta ton
atau 287.56 persen dari produksi saat ini. Pada kabupaten hasil analisis dan
Indonesia terdapat peluang peningkatan produktivitas 88.66 persen dari
produktivitas sekarang, peningkatan areal 28.36 juta hektar, peluang
peningkatan produksi 11.14 juta ton atau 371.09 persen dari produksi
sekarang.

15. Limbah pertanian dan rumput merupakan sumber pakan bagi sapi potong.
Potensi pakan yang dihasilkan untuk sapi potong dapat dihitung berdasarkan
besarnya potensi dari sumberdaya lahan baik dari lahan sawah, lahan kering
maupun lahan pertanian yang sementara tidak diusahakan, untuk
menghitung daya tampung ternak. Pada tahun 2010, lahan sawah Indonesia
untuk pengembangan komoditi strategis seluas 8.06 juta hektar dan lahan
non sawah atau lahan kering 17.21 juta hektar. Untuk wilayah Kabupaten,
terluas di Kabupaten Sambas 63.68 ribu hektar dan terkecil di Kabupaten
Pohuwato 3.55 ribu hektar. Terdapat lahan sawah yang tidak diusahakan
seluas 1.48 juta hektar, terluas di kabupaten Kutai Kartanegara 296.33 ribu
hektar dan terkecil di kabupaten Malang 0 hektar. Populasi eksisting sapi
potong di Indonesia sebanyak 16.73 juta ekor, terbanyak di Malang 318 ribu
ekor, dan terkecil di Bulungan sekitar 5 ribu ekor. Dilihat dari daya dukung
lingkungan, Indonesia dapat mengusahakan 68.81 juta ekor, terendah di
Kabupaten Garut 148 ribu ekor dan tertinggi di Kabupaten Lampung Tengah
349 ribu ekor.

16. Pada komoditas daging sapi, pada kabupaten/kota yang tercantum dalam
Lampiran Permentan No. 50 Tahun 2012 (298 kabupaten/kota) memiliki
peluang peningkatan populasi 236.89 persen dari populasi sekarang dengan
peluang peningkatan produksi daging 6,62 juta ton atau 144,06 persen dari
produksi sekarang. Sedangkan kabupaten analisis (243 kabupaten/kota)
memiliki peluang peningkatan populasi 232.71 persen dan produksi daging
6.24 juta ton atau 152.06 persen dari populasi dan produksi sekarang.
Secara nasional peluang peningkatan populasi mencapai 311.37 persen dari
populasi sekarang dengan produksi 9.23 juta ton atau 190.27 persen dari
potensi produksi sekarang.

17. Besarnya peluang peningkatan produktivitas, perluasan area, populasi


maupun produksi komoditas strategis sangat besar, namun demikian
memanfaatkan peluang tersebut tidaklah mudah karena banyak sekali
kendala-kendala yang dihadapi. Salah satu contohnya adalah bahwa hal
yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa sekalipun secara indikatif
potensi sumberdaya lahan tersedia, verifikasi dan penetapan kepastian
ketersediaan lahan pertanian sangat diperlukan. Hasil pengumpulan data dan

vi
informasi di Kalimatan Barat dan Kalimantan Timur menunjukkan bahwa
pada sebagian besar lahan pertanian yang seharusnya dapat dimanfaatkan
untuk perluasan areal pertanian tidak dapat dipakai karena lahan-lahan
tersebut telah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan-perusahaan
tertentu. Pengalihan atau pencabutan HGU membutuhkan proses dan waktu
yang tidak singkat dan koordinasi seluruh lembaga yang berwenang, selain
kepastian hukum baik dari kementerian yang berwenang maupun dari
Gubernur dan Bupati. Diduga salah satu hambatan utama perluasan areal
pertanian khususnya untuk tanaman pangan dan peternakan, disamping
biaya pembukaan dan pencetakan lahan pertanian yang relatif mahal adalah
masalah penguasaan oleh perusahaan-perusahaan pemegang HGU atas
lahan potensial tersebut, sekalipun pada saat ini kondisi lahan tersebut
terlantar atau sementara tidak diusahakan, namun sulit untuk dipindah
pengelolaannya.

Dukungan P rasarana dan Sarana P engem bangan


18. Pengembangan komoditas strategis baik tanaman maupun ternak,
membutuhkan dukungan sarana dan prasana yang memadai, sehingga
dapat menjalankan usaha agribisnisnya dengan baik. Jumlah unit usaha
pengadaan dan distribusi input untuk pengembangan komoditas strategis
tanaman pangan di seluruh Indonesia sebanyak 40 ribu unit, terbanyak
dikabupaten contoh adalah Lampung Tengah 452 unit, dan terendah di Kutai
Kertanegara hanya sekitar 22 unit. Prasarana pengairan (pompa air) dan
sarana pengolahan tanah (traktor) di Indonesia sebanyak 395.41 ribu unit,
terbanyak di Kabupaten Lampung Tengah sebanyak 5.61 ribu unit dan
terendah di Kabupaten Sambas hanya 156 unit. Di Indonesia penggunaan
pupuk anorganik pada tanaman padi, jagung, kedelai di Indonesia secara
umum rata-rata telah melebihi 91 persen.

19. Keberadaan alat pengolahan hasil tanaman pangan sangat dibutuhkan dalam
menangani pasca panen dan pengolahan hasil panen. Jumlah kebutuhannya
tergantung pada luas atau produksi dari hasil tanaman pangan itu sendiri,
lauas areal tanam, maka akan semakin besar potensi produksinya dan
semakin banyak jumlah peralatan pengolahan hasil yang dibutuhkan. Di
seluruh Indonesia, terdapat 329.94 ribu unit pengolahan hasil tanaman
pangan strategis, terbanyak di Lampung Tengah 3.94 ribu unit, terendah di
Sambas, hanya 99 unit. Demikian pula keberadaan lembaga pemasaran
hasil, di seluruh Indonesia, terdapat 25.72 ribu unit lembaga pemasaran
hasil, terbanyak di Malang 137 dan terendah di Pohuwato hanya 21 unit.

20. Di seluruh Indonesia rata-rata sekitar 89.38 persen desa dapat dijangkau
dengan kendaraan roda 4 atau motor air. Di Kabupaten Blitar dan Malang
sudah seluruh desa dapat di akses, sedangkan di Kabupaten Sambas dan
Bengkayang baru 76.63 persen dan 61.29 persen yang dapat diakses. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam rangka pengembangan kawasan, peningkatan
aksesibilitas lokasi atau pembangunan dan pengembangan prsarana
transportasi sangat dibutuhkan. Selain prasarana transportasi,
pengembangan komoditas strategis membutuhkan modal usaha, sumber

vii
permodalan di kabupaten contoh sangat terbatas, masing-masing kabupaten
hanya terdapat dua jenis permodalan yang dapat diakses petani, padahal
diseluruh Indonesia ada 888 jenis permodalan yang dapat dikases petani.

21. Pengembangan agribisnis komoditas strategis membutuhkan jaringan irigasi


yang baik. Di seluruh Indonesia rata-rata sebanyak 28.38 persen jaringan
irigasi rusak berat hingga ringan, dimana 52 persen lebih merupakan
wewenang pusat dan selebihnya merupakan wewenang propinsi dan
kabupaten. Pada kabupaten contoh jaringan irigasi rusak terbanyak terjadi di
Lampung Tengah dan Lampung Utara sekitar 69 persen dan terendah di
Bulungan hanya 1.53 persen (tidak memiliki jaringan irgasi teknis),
sedangkan rata-rata kabupaten contoh 33.74 persen.

22. Peningkatan produksi sangat ditentukan oleh penggunaan benih unggul,


diseluruh Indonesia, hanya 66.17 persen yang menggunakan benih padi
varietas produktivitas tinggi, sisanya masih menggunakan benih padi dengan
produktivitas rendah. Kabupaten terbanyak menggunakan benih padi potensi
produktivitas tinggi adalah adalah Tasikmalaya (81.21 persen) dan terendah
adalah Kutai Kertanegara 55.28 persen dan rata-rata kabupaten contoh
67.15 persen. Angka yang relatif sama terjadi pada penggunaan varietas
menurut luas tanam kedelai dan jagung, dimana penggunaan varietas
produktivitas sedang dan tinggi di Indonesia sudah cukup memadai, sekitar
85 persen. Pada kabupaten contoh, di kabupaten Pohuwato, Gorontalo dan
Sambas sudah seluruh petani kedelai menggunakan benih unggul, terendah
yang menggunakan benih unggul kedelai adalah Garut. Rata-rata kabupaten
yang menggunakan benih varietas produktitas tinggi dan sedang sekitar 88
persen. Pada komoditas tebu, penggunaan bibit varietas tebu dengan
produktivitas tinggi di Indonesia sudah cukup baik, mencapai 89.25 persen,
tertinggi di Malang mencapai 95.60 persen dan Sambas, 95.31 persen,
terendah di Garut, hanya 84.74 persen, sedangkan rata-rata kabupaten
contoh 90.15 persen.

23. Tingkat kehilangan hasil komoditas strategis sangat tinggi. Kehilangan hasil
padi mulai dari panen dan pasca panen masih cukup tinggi yaitu sekitar
18.20 persen, tertinggi kehilangan hasil di Pohuwato dan Gorontalo,
terendah di Kutaikertanegara dan Bulungan. Pengembangan kawasan padi
memerlukan perhatian karena tingkat kehilangan hasil baik pada proses
budidaya dan penanganan panen dan pasca panen cukup tinggi. Angka yang
relatif sama juga terjadi untuk jagung dan kedelai, sedangkan pada
komoditas tebu, kehilangan hasil saat panen dan pasca panen tebu di
Indonesia mencapai sekitar 16,89 persen, tertinggi di Malang mencapai
20.12 persen dan terendah di Garut, hanya 15.83 persen, sedangkan rata-
rata kabupaten contoh 17.51 persen. Serangan hama dan penyakit, bencana
kekeringan dan banjir merupakan faktor utama penyebab kehilangan hasil
pada tingkat budidaya, sedangkan penanganan pasca panen, pengangkutan,
dan peralatan yang digunakan menjadi faktor penyebab tingginya kehilangan
hasil pada off farm.

viii
24. Pada komoditas sapi potong, tercatat di Indonesia ketersediaan lembaga
pengadaan dan distribusi input untuk pengusahaan sapi potong sebanyak
19.67 ribu unit, tertinggi di Malang mencapai 132 unit, dan terendah di
Bulungan hanya 6 unit. Lembaga pengolahan hasil sangat diperlukan untuk
keberlangsungan usaha sapi potong, di Indonesia terdapat 24.71 ribu unit
pengolahan hasil, tertinggi di Malang ada 217 unit dan terendah di
Pohuwato, 21 unit. Lembaga pemasaran sangat diperlukan dalam sistim
agribisnis pengusahaan sapi potong, di Indonesia terdapat 27.87 unit,
tertinggi garut 165 unit dan terendah di Pohuwato hanya 21 unit.
Pengusahaan sapi potong memerlukan modal usaha yang cukup tinggi, di
Indonesia lembaga permodalan yang dapat membantui usaha sapi potong ini
ada 2229 unit, tertinggi di Tasikmalaya dan Garut masing-masing mencapai
13 unit dan 12 unit, sedangkan terendah di Lampung Utara dan Sambas
masing-masing hanya 2 unit dan 3 unit.

Dukungan Layanan P engem bangan K om oditas Strategis


25. Pada potensi dukungan layangan pengembangan kawasan komoditas
strategis, jumlah Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) di Indonesia adalah
59.17 ribu orang yang tersebar di seluruh Indonesia, terbanyak di Garut 689
orang, dan terendah di Bulungan dan Bengkayang masing-masing 81 dan 87
orang. Pada semua kelompok tani/ternak yang dapat/biasa mempunyai
akses terhadap litbang dan teknologi sekitar 70 persen, tertinggi di
kabupaten Garut, Tasikmalaya, Blitar dan Malang sekitar 96 persen),
sedangkan terendah di Bulungan (hanya 17.36 persen). Terdapat 2.16 ribu
paket kegiatan pendidikan dan pelatihan terkait komoditas padi di seluruh
Indonesia, terbanyak di Blitar mencapai 26 kegiatan dan terendah di
Bulungan dan Pohuwato masing-masing hanya dua paket pendidikan dan
pelatihan.

26. Tingkat akses kelompok tani terhadap litbang dan teknologi rata-rata untuk
komoditas padi, jagung, kedelai dan tebu mencapai sekitar 70 persen,
tertinggi di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Blitar dan Malang (sekitar 96
persen), sedangkan terendah di Bulungan hanya 17,36 persen. Terdapat
2160 paket kegiatan pendidikan dan pelatihan sektor pertanian di seluruh
Indonesia, terbanyak di Blitar mencapai 26 kegiatan dan terendah di
Bulungan dan Pohuwato masing-masing hanya dua paket pendidikan dan
pelatihan bagi petani dan kelompok tani.

27. Permodalan sangat diperlukan bagi petani dan peternak Indonesia yang
sangat terbatas modal usaha yang mereka miliki. Di seluruh Indonesia
terdapat 1187 kredit program yang dapat diakses untuk sektor pertanian
tanaman pangan dan perkebunan. Terbesar di Lampung Utara dan terendah
di Pohuwato dan Bulungan, masing-masing hanya dua jenis kredit program.
Jumlah kelompok tani di seluruh Indonesia sebanyak 134.21 ribu kelompok
tani. Pada kabupaten contoh jumlah kelompok tani terbanyak di Tasikmalaya
dan Garut, masing-masing 1425 dan 1396 kelompok, dan terendah di
Bulungan hanya 98 kelompok. Jumlah paket kegiatan pemberdayaan
kelompok tani di Indonesia adalah 2500 paket kegiatan dan terbanyak di

ix
Tasikmalaya dan Garut, masing-masing 15 dan 13 paket, dan terendah di
Pohuwato hanya tiga paket.

28. Dukungan layanan untuk pengembangan sektor peternakan, khususnya


pengusahaan sapi potong. Terdapat cukup banyak akses peternak terhadap
kegiatan penelitian dan pengembangan, termasuk pengembangan inovasi
teknologi peternakan, di seluruh Indonesia mencapai 3149 kegiatan.
Terbanyak di Tasikmalaya dan Garut masing-masing 15 dan 14 kegiatan, dan
terendah di Lampung Tengah, hanya tiga kegiatan. Permodalan yang sangat
diperlukan untuk pengembangan sektor peternakan, termasuk melalui kredit
program seluruh Indonesia terdapat 2474 kredit program. Terbanyak di
Tasikmalaya dan Garut masing-masing sebanyak 14 dan 13 kredit program
dan terendah di Lampung Tengah hanya dua kredit program.
Pengembangan kelompok ternak dapat juga difasilitasi oleh kegiatan
pemberdayaan masyarakat yang trersebar diberbagai sektor atau
Kementrian/Lembaga Pemerintah maupun Pemerintah Daerah, di seluruh
Indonesia tercatat ada 2160 paket kegiatan untuk pengembangan sektor
peternakan, terbanyak di Tasimalaya dan Garut masing-masing 13 dan 12
paket kegiatan dan terendah di Lampung Tengah hanya ada satu paket
kegiatan.

K ontribusi Terhadap P erekonom ian W ilayah


29. Besaran nilai tambah pengusahaan budidaya komoditas padi, jagung dan
kedelai rata-rata adalah sebesar Rp 11.42 juta per hektar, dimana nilai
tambah pengusahaan terbesar terbesar adalah di Kutai Kertanegara,
mencapai Rp 14.16 juta per hektar dan terendah di Garut hanya Rp 8.67 juta
per hektar. Usahatani padi dan palawija, cukup banyak menyerap tenaga
kerja, untuk seluruh Indonesia mencapai 25.90 juta orang, terbanyak di
Malang sebanyak 260 ribu orang dan terendah di Bulungan hanya 13 ribu
orang. Secara keseluruhan kontribusi ekonomi sektor pertanian terhadap
wilayah, dapat dinilai dari PDRB Pertanian, yang nilainya sebesar Rp 746.43
Trilyun. Sumbangan PDRB pertanian terbesar adalah di Kabupaten Garut,
dan terkecil Kabupaten Bulungan. Nilai PDRB tanaman pangan memberikan
kontribusi besar untuk perekonomian Indonesia, yaitu sebesar Rp 417.28
Trilyun, Kabupaten Garut juga memiliki nilai PDRB subsektor tanaman
pangan terbesar. Berdasarkan harga berlaku, sumbangan subsektor tanaman
pangan terhadap PDRB Indonesia cukup besar, yaitu rata-rata 17.50 persen
per kabupaten.

30. Pada tahun 2011 produksi padi seluruh Indonesia menghasilkan 65.32 juta
ton gabah kering giling (GKG), penghasil padi terbesar di kabupaten contoh
adalah Tasikmalaya, Garut dan Lampung Tengah, terkecil adalah Bulungan,
Pohuwato dan Bengkayang. Rata-rata nilai penerimaan usahatani padi di
Indonesia adalah Rp 15.56 juta per hektar, tertinggi di Garut dan terendah di
Pohuwato. Rata-rata pengusahaan padi di Indonesia sekitar 0.51
ha/orang/tahun, tertinggi di Kutai Kertanegara dan terendah di Malang.

x
31. Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 13.92 juta ton,
masih perlu ditingkatkan, karena belum memenuhi kebutuhan dalam negeri
dan masih impor. Produksi terbesar di kabupaten contoh adalah Lampung
Tengah dan Blitar, terendah di Kabupaten Tasikmalaya, Sambas dan
Bulungan. Secara finansial usaha jagung cukup prospektif dengan rata-rata
nilai penerimaan usahatani jagung rata-rata mencapai Rp 15.56 juta per
hektar. Nilai penerimaan usahatani tertinggi tertinggi di Kabupaten Sambas,
tetapi produksinya terbatas, terendah di Blitar, Pohuwato dan Kutai
Kertanegara. Skala usahatani jagung di Indonesia masih relatif kecil, rata-
rata pengusahaan jagung baru 0.58 per orang per hektar per tahun, tertinggi
pengusahaan jagung di Bengkayang dan Pohuwato, terendah di Bulungan
dan Kutaikertanegara. Sementara itu, produksi kedelai Indonesia mencapai
1.19 juta ton, dan tertinggi produksi kedelai Garut dan Blitar yang termasuk
sentra produksi kedelai dimasing-masing wilayah. Pengusahaan kedelai di
Indonesia masih relatif kecil yaitu 0.03 hektar per orang per tahun, relatif
besar pengusahaan di Pohuwato, Blitar dan Garut.

32. Produksi tebu Indonesia baru sekitar 3 juta ton, masih belum memenuhi
kebutuhan dalam negeri, sehingga sampai saat ini masih impor dari berbagai
Negara. Dari kabupaten contoh belum semua menghasilkan tebu/gula,
karena pengembangan tanaman tebu harus difasilitasi dengan adanya pabrik
pengolahan gula. Wilayah yang tersedia pabrik pengolahan gula, yaitu
Lampung, sekitar Malang, dan Gorontalo. Nilai finansial usahatani tebu relatif
tinggi, walaupun tanaman ini diusahakan hampir satu tahun penuh, rata-rata
Indonesia nilai penerimaan usahatani mencapai Rp 40 juta/ha. Luas rata-rata
pengusahaan tanaman tebu Indonesia cukup tinggi, yaitu 0.58 hektar per
orang, tertinggi di Gorontalo sekitar 1.41 hektar per orang dan Lampung
Tengah 0.86 hektar per orang.

33. Komoditas strategis sapi potong perlu terus ditingkatkan untuk substitusi
impor yang terus meningkat setiap tahunnya, produksi ternak sapi siap
potong Indonesia rata-rata baru mencapai 4850 ribu ekor per tahun, masih
dibawah kebutuhan nasional. Produksi sapi potong terbesar di Blitar dan
Malang, terendah di Tasikmalaya, Lampung Utara dan Garut. Rata-rata nilai
tambah pengusahaan ternak Indonesia sekitar Rp 15.42 juta per ekor yang
variasinya cukup beragam antar daerah. Di Kutai kertanegara, Bulungan dan
Garut sangat tinggi, dibanding kabupaten contoh lainnya, terendah di
Gorontalo, hanya Rp 9.13 juta per ekor. Secara keseluruhan usaha sapi
potong dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 10.57 juta orang, jumlah
yang cukup besar untuk perekonomian Indonesia, sehingga dengan
memajukan usaha ternak sapi potong dapat meningkatkan kesejahteraan
banyak peternak. Di kabupaten contoh yang banyak menyerap tenaga kerja
peternak adalah di Lampung Tengah dan Blitar, terkecil di Tasikmalaya,
Pohuwato dan Bengkayang. Volume perdagangan sapi potong Indonesia
mencapai 2.2 juta ekor lebih tersebar di sentra-sentra produksi sapi potong.

34. Pengusaha peternakan yang ada di Indonesia cukup banyak, sekitar satu
juta lebih di kabupaten contoh terbanyak di Malang dan Blitar. Sumbangan

xi
PDRB peternakan terhadap total PDRB pertanian nasional cukup besar, yaitu
5.42 % dari Rp 746 Trilyun. Sumbangan peternakan yang cukup besar di
kabupaten contoh adalah Lampung Utara dan Bengkayang. Nilai penerimaan
usaha ternak sapi potong terus meningkat setiap tahunnya, saat ini nilai
penerimaan sapi potong mencapai Rp 16.67 juta/ekor, nillai tinggi di
kabupaten contoh adalah malang dan Gorontalo, sedangkan terendah di
Bengkayang, Pohuwato dan Tasikmalaya. Terdapat 4601 paket kegiatan
yang terkait dengan kawasan lain, terbanyak di Kutaikertanegara, Bulungan
dan Garut. Bila dihitung jumlah tenaga kerja di usaha sapi potong dan
jumlah ternak yang dapat diusahakannya, rata-rata Indonesia sebanyak 1.58
ekor per orang, terbesar di Lampung Tengah dan Lampung Utara.

P eluang P encapaian Em pat Target Suk ses K em enterian P ertanian


35. Peluang pencapaian empat target sukses kementan diukur dari peluang
peningkatan nilai tambah subsistem hulu dan usahatani, peluang
peningkatan nilai tambah pada subsistem pengolahan dan pemasaran
(subsistem hilir), peluang peningkatan penyerapan tenaga kerja, peluang
pengurangan jumlah penduduk miskin, peluang peningkatan pendapatan per
kapita, dan peluang surplus produksi dalam rangka swasembada dan
swasembada berkelanjutan. Perhitungan didasarkan atas seluruh potensi
yang tersedia, berdasarkan hasil analisis pengembangan kawasan dengan
memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya yang tersebut pengembangan
kawasan komoditas padi secara nasional memiliki potensi untuk peningkatan
nilai tambah Rp. 168.43 Trilyun pada subsistem on farm, nilai tambah
pengolahan hasil atau off farm Rp. 68.10 Trilyun, peningkatan penyerapan
tenaga kerja 47.69 juta orang, pengurangan jumlah penduduk miskin 18.03
juta orang, menambah pendapatan per kapita Rp. 2.10 juta per kapita dan
menambah surplus padi 28.73 juta ton GKG.

36. Pada komoditas jagung, berdasarkan asumsi bahwa seluruh potensi


sumberdaya yang tersedia dimanfaatkan, pengembangan kawasan jagung
dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan nilai tambah
pengusahaan pada Kabupaten Dalam Lampiran Peraturan Menteri Pertanian
No. 50 Tahun 2012 sebesar (pada 229 kabupaten/kota) Rp. 208.65 Trilyun,
pengolahan hasil Rp. 86.94 Trilyun, penyerapan tenaga kerja 14.77 juta
orang, pengurangan jumlah penduduk miskin 5.62 juta orang, peningkatan
pendapatan per kapita Rp. 4.54 juta per kapita per tahun dan surplus
produksi nasional 35.37 juta ton. Pada hasil kabupaten analisis penelitian ini
(pada 212 kabupaten/kota) sebesar Rp. 251.93 Trilyun, pengolahan hasil Rp.
100.78 Trilyun, penyerapan tenaga kerja 19.77 juta orang, pengurangan
jumlah penduduk miskin 7.55 juta orang, peningkatan pendapatan per kapita
Rp. 3.99 juta per kapita per tahun dan surplus produksi nasional 60.37 juta
ton. Secara nasional kontribusi terhadap peningkatan nilai tambah
pengusahaan pada hasil analisis sebesar Rp. 420.83 Trilyun, pengolahan
hasil Rp. 538.81 Trilyun, penyerapan tenaga kerja 37.34 juta orang,
pengurangan jumlah penduduk miskin 14.10 juta orang, peningkatan
pendapatan per kapita Rp. 3.36 juta per kapita per tahun dan surplus
produksi nasional 91.89 juta ton.

xii
37. Pada pengembangan komoditas kedelai, potensi peningkatan nilai tambah
pada kabupaten/kota Lampiran Peraturan Menteri Pertanian No. 50 Tahun
2012 (pada 194 kabupaten/kota) adalah 119.50 trilyun, nilai tambah
pengolahan 48.36 trilyun, peningkatan penyerapan tenaga kerja 14.40 juta
orang, pengurangan penduduk miskin 16.11 juta orang, peningkatan
pendapatan per kapita 1.71 juta per kapita per tahun dan surplus kedelai
3.69 juta ton. Pada pada kabupaten hasil analisis (pada 190 kabupaten/kota)
potensi peningkatan nilai tambah adalah Rp. 178.79 trilyun, nilai tambah
pengolahan Rp. 75.19 trilyun, penyerapan tenaga kerja 21.69 juta orang,
pengurangan penduduk miskin 27.31 juta orang, peningkatan pendapatan
per kapita 1.54 juta per kapita per tahun dan surplus kedelai 6.82 juta ton.
Secara nasional pengembangan kawasan kedelai akan memberikan dampak
pada peningkatan nilai tambah 252.73 Trilyun, nilai pengolahan 323.80
trilyun, penyerapan tenaga kerja 15.84 juta orang, pengurangan penduduk
miskin 17.33 juta orang, pendapatan perkapita Rp. 1.10 per kapita per tahun
dan surplus produksi 8.03 ton.

38. Peluang peningkatan kontribusi terhadap perekonomian wilayah dan nasional


pengembangan kawasan jagung, kedelai dan tebu juga relatif tinggi.
Peluang peningkatan peranan pengembangan kawasan komoditas tebu
menunjukkan bahwa pengembangan kawasan memilik potensi dan peluang
pencapaian empat target kementerian pertanian cukup tinggi, baik bagi
kabupaten yang terdaftar dalam Lampiran Lampiran Peraturan Menteri
Pertanian No. 50 Tahun 2012 maupun hasil analisis. Peningkatan nilai
tambah subsektor hulu dan usahatani Rp. 559.66 trilyun, pengolahan dan
pemasaran Rp. 584.06 Trilyun, penyerapan tenaga kerja 5.85 juta orang,
pengurangan jumlah penduduk miskin 4.87 juta orang, peningkatan
pendapatan per kapita 6.88 juta per kapita per tahun, dan surplus produksi
gula 12.71 juta ton.

Dukungan Stakeholder Dalam P engem bangan K aw asan


39. Dukungan stakeholder ditunjukkan oleh besaran alokasi pembiayaan oleh
pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten baik untuk sektor pertanian
maupun sektor terkait dan investasi swasta dan masyarakat dalam
pengembangan pertanian. Dukungan stakeholders terhadap pengembangan
komoditas strategis berbasis kawasan sangat penting untuk memfasilitasi
dan mendorong berkembangnya kawasan yang diharapkan. Dukungan dari
Kementrian Pertanian mencapai nilai Rp 5.70 trilyun sumber dana APBN
(sekitar 0.27 %). Di Kabupaten contoh, Garut memberikan dukungan
terbesar kemudian diikuti oleh Tasikmalaya, Pohuwato, Kutai Kertanegara
dan Bulungan. Dukungan dari pemerintah kabupaten (dicerminkan oleh
anggaran APBD II) sebesar Rp 8.42 Trilyun. Di kabupaten contoh dukungan
tinggi diberikan oleh kabupaten Kutai Kertanegara (tertinggi), kemudian
Garut, Malang, Blitar, dan Pohuwato. Dukungan dari APBN terkait pertanian
pusat mencapai lebih dari Rp 231 trilyun dan dari APBD terkait
kabupaten/kota Rp 62 trilyun. Sedangkan dukungan dari swasta dan
masyarakat luas hingga mencapai Rp 192 trilyun.

xiii
Gam baran Um um P enerim aan M asyarakat
40. Trend atau perkembangan pengusahaan menjadi indikator penerimaan
masyarakat disamping perkembangan investasi, serangan hama dan
penyakit, bencana alam dan kerawanan sosial atau kriminalitas di wilayah
itu. Pada komoditas padi terjadi penurunan luas tanam padi sebanyak 1.23
per tahun, penurunan terluas terjadi di kabupaten Sambas dan Bengkayang,
peningkatan luas tanam tertinggi di Kutaikertanegara dan Bulungan, secara
rata-rata kabupaten contoh terjadi peningkatan luas tanam 0.54 persen per
tahun. Berbeda dengan laju perkembangan luas tanam, produksi padi
meningkat sebesar 1.42 per tahun, tertinggi laju peningkatan produksi padi
pada kabupaten Bengkayang dan Bulungan, tercatat laju penurunan produksi
padi di kabupaten Garut, Tasikmalaya, Blitar, Malang, dan Gorontalo. Rata-
rata laju peningkatan produksi padi kabupaten contoh sekitar 2.83 persen
per tahun. Secara keseluruhan telah terjadi peningkatan produktivitas padi
0.32 per tahun tahun, laju peningkatan tertinggi di Bengkayang dan
Lampung Tengah. Penurunan laju produktivitas terjadi di Blitar sampai -4.03
persen per tahun. Laju peningkatan produksi padi Indonesia sedikit lebih
rendah dari laju peningkatan jumlah penduduk, hal ini menunjukkan bahwa
selama ini laju peningkatan produksi besar lebih rendah dari laju
pertumbuhan konsumsi dan jumlah penduduk.

41. Laju peningkatan luas tanam jagung Indonesia menurun 1.23 per tahun
tahun, di kabupaten contoh yang menurun luas tanamnya hanya beberapa
kabupaten saja, lainnya malah meningkat. Penurunan luas tanam itu tidak
disertai dengan menurunnya produksi, tetapi malah terjadi laju peningkatan
produksi sebesar 1.42 persen per tahun, walaupun ada beberapa kabupaten
contoh mengalami juga penurunan laju produksi. Terbukti secara
keseluruhan terjadi peningkatan laju produktivitas jagung, walaupun hanya
0.32 per tahun dan dibeberapa kabupaten contoh juga terjadi penurunan
laju produktivitas. Pengolahan hasil mengalami laju peningkatan 7.41 persen
per tahun, sementara itu perdagangan jagung meningkat 4.39 persen per
tahun, terjadi laju peningkatan perdagangan komoditas tertingi di Sambas
dan terendah di Malang. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan
permintaan atau pasar komoditas padi lebih tinggi dari laju pertumbuhan
produksi. Laju peningkatan investasi pada kegiatan produksi komoditas
pertanian dan terkait dengannya mencapai 5.82 persen per tahun, laju
peningkatan investasi tertinggi pada kabupaten Kertanegara terendah di
Lampung utara.

42. Pada komoditas komoditas kedelai laju peningkatan luas tanam mencapai
3.44 persen per tahun, produksi 2.90 persen per tahun, produktivitas
menurun 0.85 persen per tahun, dimana peningkatan luas tanam dan
produksi tertinggi di Kabupaten contoh Pohuwato dan Bengkayang dan
terendah di Blitar. Pada komoditas tebu menunjukkan berbeda dengan
komoditas strategis lainnya, komoditi tebu mengalami laju yang menurun
untuk luas tanam, produksi maupun produktivitas, yang masing-masing
sebesar -6.91 persen tahun, -5.83 persen per tahun dan -6.74 persen tahun.
Penurunan laju luas tanam, produksi dan produktivitas tebu tersebut terjadi

xiv
di semua lokasi kabupaten contoh (yang memproduksi tebu). Laju
penurunan luas tanam, produksi dan produktivitas terbesar, terjadi di
kabupaten Lampung Tengah, Lampung Utara dan Garut sekitar 30 persen
per tahun.

43. Pengembangan komoditas sapi potong cukup memberikan harapan akan


terwujudnya swasembada daging sapi. Laju peningkatan populasi sapi
Indonesia sebesar 6.23 persen per tahun, di kabupaten contoh peningkatan
laju populasi sapi terbesar di Tasikmalaya, Pohuwato dan Bengkayang, tetapi
di kabupaten Lampung Utara malah terjadi laju penurunan sebesar -17.52
persen tahun. Laju peningkatan populasi terendah terjadi di Malang,
Gorontalo dan Kutai Kertanegara. Rata-rata laju peningkatan populasi sapi
potong kabupaten contoh 4.53 persen per tahun. Sejalan dengan laju
peningkatan populasi, laju peningkatan pemotongan sapi potong Indonesia
juga mengalami peningkatan 5.84 persen per tahun. Dibeberapa kabupaten
contoh terjadi penurunan laju pemotongan sapi potong, yaitu di Lampung
Tengah, Lampung Utara, Gorontalo dan Kutaikertanegara. Laju peningkatan
pemotongan sapi potong terbesar di kabupaten Tasikmalaya, Bengkayang
dan Bulungan. Laju peningkatan produksi daging relatif lebih besar
disbanding laju peningkatan populasi dan pemotongan sapi potong
Indonesia, yaitu sebesar 7.77 persen per tahun. Hanya terdapat satu
kabupaten contoh yang mengalami laju penurunan produksi daging, yaitu
Lampung Utara, kabupaten lainnya mengalami kenaikan, tertinggi adalah
kabupaten Garut, Tasikmalaya, Pohuwato dan Bengkayang (diatas 10
persen), sehingga rata-rata kenaikan produksi daging kabupaten contoh 7.89
persen persen tahun. Demikian pula perkembangan pemasaran dan investasi
ternak sapi potong Indonesia mengalami laju peningkatan yang cukup
berarti, yaitu masing-masing 4.39 persen per tahun dan 5.82 persen tahun.

P otensi K eberlanjutan P engem bangan K aw asan


44. Pembangunan kawasan komoditas strategis harus pula dipikirkan potensi
keberlanjutannya, pembangunan yang tidak berpotensi keberlanjutan, akan
tidak dapat berkembang dan lestari sesuai dengan harapan. Ukuran yang
digunakan adalah kesesuaian terhadap Program MP3EI, Renstra Kementrian
Pertanian, dan kesesuaian dengan Rencana tata Ruang Wilayah
(RTRW/RUTR) kabupaten/kota, dampak perkembangan sektor lain yang
ditunjukkan oleh indikator konversi lahan dan potensi dampak positif
terhadap output pengembangan kawasan. Berdasarkan skor kesesuaian 1 –
9, kesesuaian pengembangan komoditas padi, padi, jagung, kedelai dan tebu
terhadap Program MP3EI untuk rata-rata kabupaten di Indonesia
menunjukkan sesuai cukup sesuai dengan skor 5, kurang sesuai untuk
pencapaian target sesuai Renstra Kementan dengan skor 3, cukup sesuai
untuk kesesuaian terhadap target Renstra Propinsi dengan skor 4, lebih dari
sesuai untuk kesesuaian terhadap target Renstra Kabupaten Kota dengan
skor 6, sesuai untuk kesesuaian terhadap RTRW Propinsi dan
Kabupaten/Kota dengan skor masing 5 dan lebih dari sesuai untuk potensi
replikasi model pengembangan dan keterkaitan dengan dengan kawasan
kawasan lain dengan skor 6. Kondisi yang relatif sama untuk kabupaten

xv
contoh dengan sedikit perbedaan nilai pada masing-masing komoditas,
dimana beberapa kabupaten menjukkan angka kurang sesuai dengan target
renstra kementan contohnya adalah Kutai Kertanegara dan Bulungan yang
tidak sesuai untuk komoditas jagung, tebu dan kedelai. Sedangkan
pengembangan kawasan sapi potong menunjukkan skor kesesuai yang sama
untuk kesesuaian dengan MP3EI dan juga skor 4 untuk kesesuain target
Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Pertanian, namun kurang sesuai
untuk indikator lainnnya yaitu dengan skor 3. Kesesuaian pengembangan
sapi potong dengan RTRW kabupaten/kota belum sesuai (diperoleh nilai skor
3), demikian pula dengan beberapa kabupaten contoh yang belum sesuai
dengan RTRW kabupaten/kota adalah Gorontalo dan Pohuwato.

45. Antispasi terhadap alih fugsi lahan dan desakan perkembangan komoditas,
subsektor dan sekor lain dalam upaya mempertahankan swasembada
pangan sangat diperlukan. Kondisi ini menyebabkan penurunan produksi
akibat dari alih fungsi lahan. Hasil analisis menunjukan penurunan lahan
sebesar 10 persen akibat alih fungsi menyebabkan penurunan output (PDRB)
sebesar 20 persen lebih. Penurunan output yang cukup besar terjadi di Jawa
dan Luar Jawa, sebagai contoh di kabupaten Lampung Tengah, Lampung
Utara dan Gorontalo merupakan wilayah yang paling besar potensi turunnya
output (sekitar 30 persen). Rata-rata potensi penurunan output di kabupaten
contoh adalah 25 persen. Tingginya pengaruh ini disebabkan sektor
pertanian masih memberikan kontribusi yang tinggi pada perekonomian
daerah. Namun demikian, dilain pihak potensi peningkatan output akibat
pengembangan kawasan komoditas strategis tanaman pangan, dapat
meningkatkan output rata-rata untuk seluruh kabupaten kota di Indonesia
Indonesia sampai 11 persen. Peningkatan output yang cukup besar
diperkirakan terjadi dikabupaten contoh adalah di Lampung Tengah,
Lampung Utara, Gorontalo dan Pohuwato.

Faktor-Faktor Strategis Kunci Berdasarkan Kriteria dan Indikator


Penentuan Pengembangan Kawasan Komoditas Strategis

K om oditas P adi
46. Berdasarkan kriteria pengembangan kawasan, faktor-faktor yang menjadi
pendukung pengembangan kawasan padi pada 245 Kabupaten/Kota calon
lokasi yang terpilih untuk pengembangan kawasan adalah terdiri dari
potensi keberlanjutan, kesesuaian lahan dan agroekosistem, kontribusi
terhadap perekonomian wilayah, dukungan layanan untuk pengembangan
kawasan dan penerimaan masyarakat atau kesesuaian terhadap sosial
budaya setempat. Sementara itu, faktor yang menjadi penghambat
pengembangan kawasan berbasis komoditas padi terdiri dari kriteria
kurangnya dukungan prasarana dan sarana pengembangan dan dukungan
stakeholder terkait dalam pengembangan komoditas padi. Sementara itu,
pada 391 kabupaten/kota yang tercatat pada Lampiran Permentan No 50
Tahun 2012, faktor-faktor yang menjadi pendukung adalah kesesuaian
lahan dan agroekosistem, dukungan layanan pengembangan, potensi
keberlanjutan, dukungan stakeholder, dukungan prasarana dan sarana,

xvi
dukungan layanan pengembangan, dan faktor yang menjadi penghambat
adalah penerimaan masyarakat.

47. Berdasarkan indikator dari kriteria pengembangan kawasan, faktor


pendukung pengembangan kawasan padi, terdiri dari indikator kesesuaian
terhadap RTRW Provinsi dan Kabupaten/kota, indikator keadaan ekisting
luas tanam dan indikator dampak peningkatan pendapatan petani padi,
indikator akses dukungan layanan pengembangan dan indikator dukungan
stakeholder terkait. Faktor penghambat pada kriteria dukungan prasarana
dan sarana terdiri dari indikator koordinasi dan integrasi, keterkaitan
dengan kawasan lain, alokasi anggaran untuk pengembangan kawasan
berbasis komoditas padi menjadi indikator yang bisa menghambat
pengembangan kawasan berbasis padi.

48. Analisis faktor strategis kunci pengembangan kawasan berbasis komoditas


padi dilakukan juga pada lokasi kabupaten contoh. Pada 12 kabupaten dari
6 provinsi secara umum adalah kriteria kesesuaian agroekologi,
ketersediaan infrastruktur, penerimaan sosial dan potensi keberlanjutan
menjadi faktor pendorong pengembangan kawasan padi. Sedangkan
kriteria yang menjadi faktor penghambat ada pada kriteria dukungan
layanan pengembangan dan kontribusi perekonomian wilayah yang
ditunjukan pada Kabupaten Pohuwato dan Bengkayang dan kriteria
dukungan stakeholeder, yang menjadi temuan di kabupaten Lampung
Tengah, Tasikmalaya, Blitar, Malang dan Kabupaten Sambas. Indikator
dari kriteria yang penghambat pengembangan kawasan terdiri dari
dukungan layanan ditunjukan oleh kurangnya akses petani padi terhadap
program-program pengembangan SDM yang diadakan, akses petani
terhadap pengendalian HPT, akses petani padi terhadap kebijakan dan
program-program yang diadakan pemerintah dan program operasional
pemberdayaan masyarakat. Sedangkan indikator penghambat pada kriteria
dukungan stakeholder secara umum ada pada indikator kurangnya
dukungan alokasi anggaran baik dari pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten/kota dan yang terkait di sektor tanaman pangan untuk
komoditas padi.

Komoditas Jagung
49. Berdasarkan kriteria pengembangan kawasan, faktor pendukung pada 212
Kabupaten/kota hasil analisis calon lokasi pengembangan kawasan jagung
terdiri dari kriteria potensi keberlanjutan, kontribusi terhadap
perekonomian, kesesuaian lahan dan agroekosistem, penerimaan
masyarakat dan dukungan layanan pengembangan. Sedangkan kriteria
yang menjadi faktor penghambat pengembangan kawasan jagung adalah
ketersediaan prasarana dan sarana serta dukungan stakeholder. Sementara
itu hasil analisis pada 229 Kabupaten/kota lokasi pengembangan kawasan
jagung yang tercatat Peraturan Menteri Pertanian No 50 Tahun 2012,
kriteria yang menjadi faktor pendukung dan penghambat ditunjukan sama
dengan hasil analisis pada penelitian ini hanya saja besarannya yang
berbeda.

xvii
50. Berdasarkan indikator dari masing-masing kriteria yang menjadi faktor
pendukung pengembangan kawasan jagung adalah indikator tingginya
akses penelitian pengembangan pada komoditas jagung, indikator
menimbulkan dampak positif pengembangan wilayah, tingginya trend
produktivitas yang berarti bahwa peningkatan produktivitas dalam
pengembangan kawasan jagung diterima dengan baik oleh masyarakat,
kesesuaian lahan dan agroekosistem, bertambahnya pengolahan hasil dan
peningkatan pendapatan petani. Sedangkan yang menjadi faktor
penghambat pengembangan kawasan jagung adalah kurangnya dukungan
prasarana dan sarana pada modal serta kurangnya alokasi anggaran
pemerintah provinsi pada pengembangan komoditas jagung.

51. Hampir semua kriteria menjadi faktor strategis pendukung pada lokasi
kabupaten contoh pengembangan kawasan berbasis komoditas jagung,
kecuali di Kabupaten Bulungan untuk kriteria dukungan layanan
pengembangan dan penerimaan sosial masyarakat terhadap
pengembangan komoditas jagung. Kriteria dukungan layanan
pengembangan juga menjadi faktor penghambat di Kabupaten Lampung
Tengah, Garut, Tasikmalaya, Blitar, Malang dan Sambas. Indikator dari
faktor strategis kunci yang menjadi faktor penghambat tersebut adalah
kurangnya dukungan petani dalam mengakses hasil-hasil penelitian dan
Iteknologi serta akses pada program-program pengembangan SDM.
indikator jumlah penduduk miskin rawan pangan menjadi indikator dari
faktor penghambat pada kriteria kontribusi perekonomian wilayah.
Sedangkan indikator pada kriteria dukungan stakeholder ditunjukan oleh
indikator keberpihakan dukungan alokasi anggaran baik dari pemerintah
pusat, provinsi, kabupaten/kota dan yang terkait di sektor tanaman pangan
untuk komoditas Jagung.

K om oditas K edelai
52. Secara umum faktor yang menjadi pendukung pengembangan kawasan
berbasis komoditas kedelai pada 190 kabupaten/kota terpilih ditentukan
berturut-turut oleh terdiri dari kriteria potensi keberlanjutan, penerimaan
masyarakat, kesesuaian lahan dan agroekosistem, kontribusi terhadap
perekonomian serta dukungan layanan pengembangan. Sedangkan yang
menjadi faktor penghambat pengembangan kawasan adalah pada kriteria
ketersediaan prasarana dan sarana serta dukungan stakeholder. Sementara
itu, pada 194 lokasi pengembangan kawasan yang tercatat Lampiran
Permentan No 50 Tahun 2012, factor-faktor yang menjadi pendukung
terdiri dari kriteria potensi keberlanjutan, kesesuaian lahan dan agroekologi,
kontribusi terhadap pertanian dan kriteria penerimaan masyarakat.
Sedangkan yang menjadi faktor penghambat adalah kriteria dukungan
layanan pengembangan, dukungan prasarana dan sarana serta dukungan
stakeholder.

53. Hasil analisis indikator dari kriteria pengembangan kawasan kedelai,


menunjukkan bahwa 42 indikator dari 60 indikator yang digunakan dalam
analisis menjadi faktor pendukung pengembangan. Indikator dari kriteria

xviii
tersebuta diantaranya adalah dampak positif pengembangan kawasan,
akses penelitian dan pengembangan, dukungan stake holder dalam
pengembangan kawasan yang berbasis komoditas kedelai. Indikator lainnya
menjadi faktor penghambat diantaranya kurang koordinasi dan integrasi
dalam pengembangan kawasan, kurangnya prasarana dan sarana modal,
kebijakan dan peraturan terkait serta alokasi anggaran yang tidak berpihak
pada pengembangan komoditas kedelai.

54. Pada kabupaten contoh, kriteria dukungan stakeholder memegang peranan


penting dalam pengembangan kawasan berbasis komoditas kedelai, kriteria
tersebut ternyata menjadi faktor penghambat pada lokasi di Kabupaten
Lampung Tengah, Garut, Tasikmalaya, Blitar dan Malang. Hal tersebut
ditunjukan oleh indikator kurangnya ataupun keberpihakan alokasi
anggaran baik dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan instansi
lain yang terkait di sektor tanaman pangan untuk komoditas kedelai. Di sisi
lain kriteria kesesuaian agroekologi, dukungan infrastruktur, besarnya
dukungan layanan pengembangan, kontribusi perekonomian wilayah yang
didukung oleh penerimaan sosial masyarakat dan potensi keberlanjutan
menjadi faktor pendukung pengembangan kawasan berbasis kedelai.

K om oditas Tebu
55. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada pengembangan kawasan
komoditas tebu kriteria potensi keberlanjutan, potensi dukungan prasarana
dan sarana dan kriteria penerimaan masyarakat menjadi faktor pendukung
dalam mengembangkan kawasan tebu. Sedangkan kriteria lainnya yaitu
kesesuaian lahan dan agroekosistem, kontribusi terhadap perekonomian,
dukungan layanan pengembangan dan dukungan stakeholder menjadi
faktor penghambat pengembangan kawasan tebu pada 161
Kabupaten/Kota hasil analisis. Sedangkan pada lokasi 76 Kabupaten/Kota
yang tercatat pada Lampiran Permentan No. 50 Tahun 2012 kriteria faktor
yang pendukung dan penghambat adalah sama dengan kabupaten hasil
analisis, dengan nilai yang berbeda.

56. Hasil analisis indikator dari masing-masing kriteria menunjukkan bahwa 30


indikator merupakan faktor pedukung pengembangan kawasan tebu
diantaranya ketersediaan prasarana dan sarana baik itu teknologi
pengolahan hasil dalam hal ini pabrik gula, trend produksi tebu yang tinggi
yang menunjukan penerimaan masyarakat untuk mengembangkan
komoditas tebu. Disamping itu, dukungan prasarana dan sarana modal dari
sisi petani tebu dan sudah baiknya indikator dukungan kebijakan dan
peraturan terkait untuk pengembangan tebu. Sedangkan untuk 30 indikator
lainnya yang termasuk faktor penghambat pengembangan kawasan yaitu
indikator pendapatan pada kriteria konrtibusi terhadap perekonomian
daerah yang masih rendah, akses community development yang masih
kurang, akses diklat dan SDM yang masih rendah pada kriteria dukungan
layanan pengembangan, dan kurangnya keterkaitan antar daerah
pengembangan kawasan tebu pada kriteria lainnya.

xix
57. Pengembangan kawasan berbasis komoditas tebu pada kabupaten contoh
menunjukkan bahwa faktor penghambat pengembangan kawasan secara
umum muncul di sebagian besar kriteria, seperti kriteria kesesuaian
agroekologi menjadi penghambat pada kabupaten Tasikmalaya dan
Pohuwato, minimnya dukungan stakeholder dan penerimaan masyarakat
yang rendah dalam pengembangan kawasan komoditas tebu. Pada
kabupaten contoh Kabupaten Lampung Tengah, Garut, Tasikmalaya, Blitar,
Malang dan Kabupaten Sambas faktor penghambat pengembangan
kawasan tebu terdiri dari indikator alokasi anggaran pusat dan daerah
terhadap pengembangan komoditas tebu. Penerimaan sosial masyarakat
juga menjadi faktor penghambat, hal ini ditunjukan dengan indikator
kriteria yang semakin menurun pada perkembangan luas areal tanam,
produksi, produktivitas, volume pengolahan hasil, volume pemasaran hasil
dan perkembangan investasi.

K om oditas Sapi P otong


58. Hasil analisis faktor pendukung dan penghambat pengembangan kawasan
berbasis Sapi Potong pada 243 Kabupaten/Kota semua kriteria yang ada
masuk menjadi faktor pendukung. Hal yang sama juga terjadi pada 298
Kabupaten/Kota yang tercatat pada lampiran Permentan No. 50 Tahun
2012. Kriteria menunjukan dukungan stakeholder yang tinggi, kontribusi
terhadap perekonomian daerah yang tinggi, dukungan potensi prasarana
dan sarana, dukungan layanan pengembangan, Kesesuaian lahan dan
agroekosistem yang cocok serta didukung potensi keberlanjutan dan
kriteria penerimaan masyarakat yang baik terhadap program
pengembangan kawasan berbasis sapi potong. Hasil analisis terhadap
indikator dari kriteria menunjukan berbeda, dimana terdapat 6 indikator
yang menjadi faktor penghambat pengembangan kawasan sapi potong
yaitu tingginya serangan penyakit terhadap ternak, akses community
development peternak yang masih rendah, keterkaitan kawasan sapi
potong antar daerah yang masih kurang, dan indikator potensi replikasi
dengan daerah lain yang masih belum merata.

59. Hasil analisis pada kabupaten contoh seperti di Kabupaten Sambas dan
Bengkayang kriteria kontribusi pengembangan kawasan terhadap kontribusi
perekonomian wilayah menjadi faktor penghambat, ini ditunjukan oleh
indikator jumlah penduduk miskin dan rantai nilai komoditas yang rendah di
usahatani sapi potong; untuk faktor penghambat kriteria dukungan
stakeholder pada Kabupaten Lampung Tengah, Garut, Tasikmalaya, Blitar
dan Malang ditunjukan melalui indikator kurang keberpihakan alokasi
anggaran pusat dan daerah terhadap pengembangan komoditas sapi
potong; sedangkan untuk kriteria faktor penerimaan sosial masyarakat
yang masih rendah ditunjukan di Kabupaten Lampung Utara.

xx
Faktor Strategis Kunci Berdasarkan Kerangka Subsistem Agribisnis
(Rantai Nilai Komoditas) dan Faktor Kunci Pengembangan Kawasan

K om oditas P adi
60. Faktor strategis kunci yang menjadi penghambat pengembangan kawasan
komoditas padi secara rata-rata pada seluruh subsistem adalah akses
modal dan pembiayaan; pengadaan dan distribusi input dan kebijakan dan
peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif.
Pada pada akses modal dan pembiayaan menjadi faktor Strategis Kunci
yang menghambat dan cenderung terjadi pada seluruh kabupaten kota
pada seluruh sub sistem, hal yang sama juga terjadi pada kebijakan dan
peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif.
Sedangkan untuk pengadaan dan distribusi sarana produksi atau input
menjadi faktor strategis kunci yang menghambat pada subsistem ushatani
dan terjadi pada seluruh kabupaten contoh, serta subsistem tertentu
tehadap kabupaten kota. Pada faktor strategis kunci lainnya, terjadi
hambatan di kabupaten tertentu dan pada subsistem tertentu. Hal ini
menunjukkan bahwa evaluasi secara detail terhadap masing-masing
kabupaten kota sangatlah diperlukan karena kondisinya sangat bervariasi
antar kabupaten. Secara rata-rata faktor strategis kunci menjadi hambatan
dalam pengembangan kawasan padi, namun demikian apabila dilihat pada
masing-masing kabupaten cenderung tidak terjadi hambatan pada masing-
masing subsistem, kecuali pada subsistem agribisnis hulu pada Kabupaten
Garut dan Sambas, dan subsistem penunjang pada Kabupaten Bulungan.

K om oditas Jagung
61. Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat faktor strategis kunci yang
menghambat dalam pengembangan kawasan jagung, kecuali pada faktor
strategis kunci akses modal dan pembiayaan dalam pengembangan
kawasan komoditas jagung secara rata-rata pada seluruh subsistem. Pada
pada akses modal dan pembiayaan menjadi faktor strategis kunci yang
menghambat dan cenderung terjadi pada seluruh kabupaten kota pada
seluruh sub sistem. Pada faktor strategis kunci kebijakan yang mendorong
terjadinya iklim usaha, hampir menjadi hambatan pada seluruh kabupaten
dan subsistem. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara
kondisi komoditas jagung dan padi, sehingga evaluasi secara detail
terhadap masing-masing kabupaten kota sangatlah diperlukan karena
kondisinya sangat bervariasi antar kabupaten. Secara rata-rata faktor
strategis kunci tidak menjadi hambatan dalam pengembangan kawasan
jagung, namun demikian apabila dilihat pada masing-masing kabupaten
terjadi kecenderung hambatan pada faktor strategis kunci SDM, input,
pasar, prasarana dan sarana. Secara rata-rata tidak terjadi hambatan pada
masing-masing subsistem, kecuali pada subsistem agribisnis hulu dan
subsistem usahatani pada kabupaten, dan subsistem hulu dan usahatani
pada Kabupaten Kutaikertanegara.

xxi
K om oditas K edelai
62. Faktor strategis kunci yang menjadi penghambat pengembangan kawasan
komoditas kedelai secara rata-rata pada seluruh subsistem adalah akses
modal dan pembiayaan; pengadaan dan distribusi input dan kebijakan dan
peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif.
Pada pada akses modal dan pembiayaan menjadi faktor strategis kunci
yang menghambat dan cenderung terjadi pada seluruh kabupaten kota
pada seluruh sub sistem, hal yang sama juga terjadi pada kebijakan dan
peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif.
Sedangkan untuk pengadaan dan distribusi sarana produksi atau input
menjadi faktor strategis kunci yang menghambat pada subsistem usahatani
dan terjadi pada seluruh kabupaten contoh, serta subsistem tertentu
tehadap kabupaten/kota. Pada faktor strategis kunci lainnya, terjadi
hambatan di kabupaten tertentu dan pada subsistem tertentu. Hal ini
menunjukkan bahwa evaluasi secara detail terhadap masing-masing
kabupaten kota sangatlah diperlukan karena kondisinya sangat bervariasi
antar kabupaten. Secara rata-rata faktor strategis kunci menjadi hambatan
dalam pengembangan kawasan kedelai, namun demikian apabila dilihat
pada masing-masing kabupaten cenderung tidak terjadi hambatan pada
masing-masing subsistem, kecuali pada subsistem agribisnis hulu pada
pada seluruh kabupaten contoh, kecuali Kabupaten Kutaikertanegara.

K om oditas Tebu
63. Faktor Strategis Kunci yang menjadi penghambat pengembangan kawasan
komoditas tebu secara rata-rata pada seluruh subsistem adalah akses
modal dan pembiayaan; pengadaan dan distribusi input dan kebijakan dan
peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif.
Pada pada akses modal dan pembiayaan menjadi faktor strategis kunci
yang menghambat dan cenderung terjadi pada seluruh kabupaten kota
pada seluruh sub sistem, hal yang sama juga terjadi pada kebijakan dan
peraturan perintah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif.
Sedangkan untuk pengadaan dan distribusi sarana produksi atau input
menjadi faktor strategis kunci yang menghambat pada subsistem usahatani
dan terjadi pada seluruh kabupaten contoh, serta sbsistem tertentu
tehadap kabupaten kota. Pada faktor strategis kunci lainnya, terjadi
hambatan di kabupaten tertentu dan pada subsistem tertentu. Hal ini
menunjukkan bahwa evaluasi secara detail terhadap masing-masing
kabupaten kota sangatlah diperlukan karena kondisinya sangat bervariasi
antar kabupaten. Secara rata-rata faktor strategis kunci menjadi hambatan
dalam pengembangan kawasan Tebu, namun demikian apabila dilihat pada
masing-masing kabupaten cenderung tidak terjadi hambatan pada masing-
masing subsistem, kecuali di Kabupaten Garut, Sambas, Bengkayang dan
Kabupaten Kutaikertanegara dan pada subsistem agribisnis hilir pada
Kabupaten Tasikmalaya. Hambatan cenderung terjadi pada wilayah-
wilayah yang tidak terdapat pabrik gula di Kabupaten contoh atau
kabupaten yang terdekat dengan kabupaten contoh.

xxii
K om oditas Sapi P otong
64. Faktor strategis kunci yang menjadi penghambat pengembangan kawasan
komoditas sapi potong secara rata-rata pada seluruh subsistem adalah
akses modal dan pembiayaan, dan cenderung terjadi pada seluruh
kabupaten kota pada seluruh sub sistem. Sedangkan untuk sumberdaya
manusia cenderung menjadi penghambat pada kabupaten contoh
Tasikmalaya, Sambas, Bengkayang, Kutaikertenagara dan Bulungan. Pada
subsistem pengadaan dan distribusi sarana produksi atau input menjadi
faktor strategis sunci yang menghambat pada subsistem usahatani dan
cenderung untuk seluruh subsistem pada Kabupaten Gorontalo, Pohuwato,
Sambas, Bengkayang, Kutaikertanegara, Bulungan. Pada faktor strategis
kunci kebijakan dan peraturan yang mendorong terciptanyaiklim usaha
yang kondusif, hambatan untuk seluruh subsistem cenderung terjadi pada
Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Utara, Sambas dan Bengkayang.
Pada faktor strategis kunci koordinasi dan integrasi, cenderung menjadi
penghambat untuk seluruh subsistem pada Kabupaten Garut, Sambas dan
Bengkayang dan pada subsistem tertentu pada kabupaten lainnya. Pada
faktor strategis kunci lainnya, terjadi hambatan di kabupaten tertentu dan
pada subsistem tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa evaluasi secara detail
terhadap masing-masing kabupaten kota sangatlah diperlukan karena
kondisinya sangat bervariasi antar kabupaten. Secara rata-rata faktor
strategis lunci menjadi hambatan dalam pengembangan kawasan sapi
potong, namun demikian apabila dilihat pada masing-masing kabupaten
cenderung tidak terjadi hambatan pada masing-masing subsistem, kecuali
di Kabupaten Sambas, Bengkayang dan Kabupaten Kutaikertanegara dan
pada subsistem jasa penunjang pada Kabupaten Gorontalo dan Pohuwato,
dan subsistem hilir dan jasa penunjang pada Kabupaten Kutai Kertanegara.

Intisari Faktor Strategis Kunci Pengembangan Kawasan


65. Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor strategis kunci baik berdasarkan
kriteria (7 kriteria) dan indikator dari masing-masing kriteria (60 indikator)
maupun berdasarkan rantai nilai komoditas strategis dapat disarikan bahwa
faktor-faktor strategis kunci keberhasilan pengembangan kawasan komoditas
strategis harus memiliki kesinambungan, ketersediaan, keterkaitan dan
keterpaduan pada seluruh faktor kunci dan subsistem agribisnis yang
merupakan komponen yang tak terpisahkan satu sama lainnya. Rincian
intisari faktor strategis dimaksud adalah diantaranya adalah: (1).
Perencanaan dan gerakan nasional pengembangan secara konsisten mulai
dari pusat hingga lokasi dalam jangka panjang; (2). Ketepatan dalam
penyediaan sumberdaya, prasarana dan sarana agribisnis hulu hingga hilir
dengan subsistemnya hingga lokasi (tepat jenis, tepat tempat, tepat guna;
tepat waktu; tepat jumlah; tepat mutu; tepat penerima; tepat pengelola);
(3). Ketepatan dalam intervensi, yaitu pada tahapan mana dan program dan
kegiatan apa saja calon lokasi kawasan ditetapkan dan dibangun atau
dikembangkan sebagai kawasan produksi komoditas strategis; (4). Kapasitas
lembaga pengelola dan penanggungjawab pembangunan atau
pengembangan kawasan dari pusat hingga lokasi secara memadai; (5).
Kemauan kuat dan dukungan penuh dari kepala pemerintahan pusat hingga

xxiii
unit kecamatan bahkan desa; (6). Dukungan kuat dari seluruh stakeholder
terkait; (7) Penyiapan sumberdaya, prasarana dan sarana modal, informasi,
pasar, sumberdaya manusia, teknologi dan kelembagaan sesuai kebutuhan;
dan (8). Koordinasi, sinkronisasi, integrasi dan keterpaduan baik dalam
lingkup eselon I Kementan, antara Kementerian atau Lembaga terkait dari
pusat hingga daerah.

Persepsi Mengenai Fokus Upaya Pencapaian Empat Target Sukses


Kementerian Pertanian
66. Responden para pengambil kebijakan dan pakar/peneliti pusat menempatkan
kontribusi terhadap perekonomian sebagai prioritas pertama kemudian diikuti
kelestarian sumberdaya dan lingkungan hidup dan kesesuaian terhadap
sosial budaya setempat pada penentuan kawasan komoditas strategis
tanaman dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup kemudian
diikuti oleh kontribusi terhadap perekonomian wilayah dan kesesuaian
terhadap sosial budaya setempat untuk kriteria penentuan kawasan ternak.
Namun demikian persepsi para pengambil kebijakan dan para pakar dan
peneliti di enam propinsi contoh nampaknya menunjukkan indikasi yang
berbeda dimana kesesuaian terhadap sosial budaya menjadi prioritas
pertama di Propinsi Lampung, untuk pengembangan kawasan tanaman dan
ternak, dan Propinsi Kalimantan Timur untuk pengembangan kawasan
tanaman. Pada propinsi lainnya kontribusi perekonomian wilayah menjadi
prioritas pertama dan kelestarian lingkungan hidup menjadi prioritas terakhir
baik untuk tanaman maupun ternak.

67. Pada persepsi mengenai orientasi pembangunan pertanian, diperoleh


gambaran bahwa penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha
menjadi prioritas pertama menurut responden pusat dan propinsi contoh
kecuali Propinsi Jawa Barat. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,
pengentasan kemiskinan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara ramah
lingkungan pada prioritas berikutnya kecuali di Propinsi Jawa Barat untuk
tanaman dan ternak dan Jawa Timur untuk ternak yang menempatkan
pertumbuhan ekonomi pada prioritas tinggi. Secara umum kecuali di kedua
Propinsi tersebut, pertumbuhan ekonomi menjadi pilihan terkahir pada
orientasi pembangunan pertanian.

68. Pada persepsi responden mengenai pencapaian empat target sukses


Kementan diperoleh gambaran bahwa peningkatan nilai tambah, daya saing
dan ekspor merupakan prioritas tertinggi pada tingkat pusat dan Propinsi
Lampung. Pada lima propinsi lainnya yaitu Jawa Barat, Jawa Timur,
Gorontalo, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur pencapaian swasembada
dan swasembada berkelanjutan untuk tanaman menempati prioritas pertama
dari persepsi responden. Untuk komoditas ternak peningkatan nilai tambah,
daya saing dan ekspor menempati prioritas pertama. Peningkatan
pendapatan petani menempati urutan terakhir di Pusat dan Lampung dan
Kalimantan Timur untuk ternak. Secara keseluruhan hasil analisis persepsi
ini menunjukkan bahwa pencapaian swasembada dan swasembada
berkelanjutan, peningkatan diversifikasi pangan dan gizi dan peningkatan

xxiv
pendapatan dan kesejahteraan petani tidak menjadi prioritas utama dalam
pengembangan kawasan komoditas strategis. Mengingat pengembangan
komoditas strategis harus berorientasi pada ketiga hal tersebut memiliki
prioritas utama ketiga hal tersebut maka dalam pengembangan komoditas
strategis perlu memiliki orientasi peningkatan nilai tambah, daya saing dan
ekspor sebagai prioritas tujuan pengembangan. Kemampuan bersaing harus
pula menjadi ciri yang khas bagi pengembangan komoditas strategis. Secara
keseluruhan pengembangan kawasan mengarah pada pencapaian empat
target sukses Kementan dan hal itu memerlukan pemahaman yang relatif
sama dari stakeholder yang harus dilibatkan dan berpartisipasi dalam
pembangunan pertanian. Mengingat pemahaman mengenai empat target
sukses Kementan masih sangat beragam, maka sosialisasi dan advokasi yang
intensif mengenai pencapaian empat target sukses Kementan masih sangat
diperlukan, padahal Renstra sudah berjalan selama 3 tahun.

Rumusan Alternatif Model Pengembangan dan Sistem Pedampingan

Alaternatif Model Pengembangan Komoditas Strategis Berbasis


Kawasan
69. Pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan, akan memiliki model-
model spesifik yang mengintegrasikan model-model pengembangan kawasan
yang sudah ada, disesuaikan dengan kondisi spesifik dan karakteristik
wilayah masing-masing, sehingga dengan demikian adanya perbedaan
antara hasil analisis dalam penelitian ini dengan Lampiran Permentan No. 50
Tahun 2012 merupakan suatu modal dasar awal untuk nantinya
mengelompokkan setiap kabupaten/kota berdasarkan kondisi spesifik
masing-masing. Terdapat kabupaten kota yang merupakan kawasan
komoditas strategis khusus, namun terdapat pula kabupaten kota yang
ditempatkan sebagai bagian dari kawasan lain yang wewenang penetapan
dan pengelolaannya berada di bawah lembaga lain di luar Kementan. Pada
kabupaten yang memiliki karakteristik demikian perlu tetap menjadi
perhatian Kementan karena kabupaten/kota tersebut merupakan
kabupaten/kota yang memproduksi komoditas strategis.

70. Penetapan kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam Kawasan Pertanian


komoditas strategis sangat diperlukan untuk menentukan apakah kawasan
tersebut hanya mencakup satu kabupaten/kota saja ataukah harus
mencakup lintas kabupaten/kota yang dihubungkan oleh keterkaitan lokasi,
keterkaitan struktural maupun keterkaitan fungsional pengembangan
kawasan komoditas strategis. Penemuan kompetensi inti masing-masing
kabupaten/kota terhadap komoditas strategis yang dikembangkan pada
kawasan yang ada dalam wilayahnya menjadi salah faktor yang penting
untuk diperhatikan dalam penentuan arah pengembangan kawasan
komoditas strategis ke depan. Dalam pengembangan kawasan komoditas
strategis, setiap kabupaten kota perlu memiliki kompetensi inti dan arah ke
depan pengembangan komoditas strategis baik yang bersumber dari
keunggulan komparatif wilayah masing-masing, keunggulan kompetitif,
keunggulan sumberdaya manusia maupun keunggulan lainnya yang dimiliki

xxv
oleh wilayahnya sehingga kawasan komoditas strategis pada masing-masing
kabupaten kota memiliki penciri khusus. Karakterisktik dan ciri-ciri spesifik
lokal, kapasitas dan kemampuan sumberdaya petani dan para pelaku usaha
didalamnya serta dukungan kemauan politik pemerintah daerah yang kuat
menjadikan suatu wilayah memiliki keunggulan spesifik yang sulit disaingi
oleh wilayah lain.

71. Disamping prioritas anggaran dan penentuan spesialisasi wilayah dan


kompetensi inti, serta keterkaitan dengan pengembangan sektor dan
kawasan lain, kajian penetapan masing-masing dalam satuan kecamatan
pada masing-masing kabupaten/kota akan berguna dalam memberikan fokus
dan penajaman kegiatan operasional pengembangan kawasan, karena lebih
rinci, lebih detil dan akan memeberikan arah dalam penggunaan anggaran
pembangunan lebih tepat sasaran dan tujuan pengembangan kawasan
termasuk penetapan jenis-jenis program dan kegiatan termasuk infrastruktur
pendukung pengembangan dan batasan skala dan wilayah
pengembangannya.

72. Berkaitan erat dengan faktor-faktor kunci strategis pengembangan kawasan


komoditas strategis dapat dirumuskan model kawasan komoditas strategis
memiliki cakupan persyaratan sebagai berikut: (1) setiap kawasan harus
memiliki spesialisasi dan kompetensi inti dalam pengembangan komoditas
unggulan masing-masing; (2) terdapat kegiatan subsektor hulu dan hilir yang
dapat menjadi pendorong pengembangan komoditas memiliki untuk
kemampuan daya saing; (3) mempunyai keterkaitan antara pengembangan
subsistem usahatani komoditas dengan subsistem pendorong (hulu dan
hilir); (4) memiliki fokus pengembangan kepada produk yang memiliki nilai
tambah dan kontribusi yang tinggi dalam peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan petani; (5) memiliki fokus pengembangan kepada produk
yang berdaya saing dan berorientasi pada pasar regional, nasional dan
ekspor; (6) memiliki sinergitas antar program dan antar kawasan; (7)
perlunya peran pemerintah sebagai katalisator dan fasilitator. Berdasarkan
hal ini, maka model pengembangan kawasan komoditas strategis merupakan
penggabungan berbagai pola menjadi satu kesatuan model ini dikembangkan
mengingat setiap kabupaten/kota dan calon lokasi yang akan dikembangkan
memiliki tingkatan perkembangan yang berbeda-beda.

73. Pengembangan kawasan komoditas strategis merupakan bagian tak


terpisahkan dengan pengembangan kawasan andalan berdasarkan Peraturan
Pemerintah No 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional pada
masing-masing kabupaten/kota. Kawasan komoditas strategis yang
dikembangkan harus terintegrasi dengan kawasan-kawasan lain yang ada
didalam Peraturan Pemerintah tersebut dan komoditas strategis yang
dikembangkan merupakan komoditas yang terpilih pada sektor unggulan
masing-masing kabupaten/kota dalam kawasan andalan dimaksud,
khususnya untuk komoditas sektor unggulan pertanian dan perkebunan.

xxvi
74. Upaya untuk menciptakan suatu kawasan pengembangan komoditas
unggulan tertentu sebagai kompetensi inti dari dari suatu wilayah
memerlukan keterkaitan erat antar kawasan sebagai penyedia sarana
produksi, penyedia bahan baku utama agroindustri, pusat-pusat yang
ditetapkan sebagai pusat promosi dan pemasaran serta layanan bisnis
sebagai kawasan inti atau pusat pengembangan dan wilayah-wilayah sumber
bahan baku dan penolong dari produk-produk hasil industri seperti pupuk,
benih/bibit, kemasan, Bahan Bakar Minyak (BBM) dan alat dan mesin
pertanian dan pengolahan hasil pertanian serta layanan usaha lainnya.

75. Pengembangan kawasan komoditas strategis memerlukan upaya sebagai


berikut: (1). Mendorong konsep pengembangan satu kawasan satu
komoditas strategis unggulan utama (satu kawasan satu komptensi
inti/komoditas strategis). Dalam hal ini bukan berarti hanya satu komoditas
saja yang dikembangkan namun demikian perlu ditetapkan satu komoditas
utama tanpa harus meninggalkan komoditas lainnya; (2). Penetapan pusat
pengembangan kawasan yang dijadi pusat layanan pengembangan,
selanjutnya sentra-sentra disekitarnya digabungkan menjadi bagian sebuah
satu kesatuan kawasan yang utuh dengan wilayah yang lebih luas; (3).
Mendorong keterkaitan usaha pengembangan komoditas strategis pada
setiap sentra dalam kawasan dengan pusat distribusi bahan baku dan
penolong serta kebutuhan sarana lainnya; (4). Mengembangkan pusat-pusat
pertumbuhan di setiap kawasan inti dalam pola klaster pengembangan yang
akan diposisikan sebagai simpul pengolahan dan pemasaran komoditas
strategis dari setiap sentra; (5). Meningkatkan aksesibilitas dan jaringan
interaksi: informasi, transportasi, telekomunikasi dan jaringan kemitraan dan
aliran produk antara pusat pengembangan kawasan degan sentra atau zona
kawasan pendukung; (6). Disamping dilakukan upaya perbaikan infrastruktur
jalan, jembatan, terminal, pusat promosi dan pasar serta infrsatruktur
lainnya seperti jaringan air dan listrik, diperlukan infrastruktur lainnya yaitu
Pusat Layanan Agribisnis (stasiun penelitian dan pengembangan, pusat
konsultasi bisnis, balai diklat komoditas, bimbingan dan penyuluhunan,
Lembaga Keuangan yang melayani agribisnis dan agroindustri pedesaan,
show room dan workshop agroindustri (promotion centre) dilengkapi dengan
UPT yang memberikan bantuan teknis layanan mutu, sertifikasi produk,
kemasan dan merk termasuk perijinan usaha jika diperlukan; (7).
Pengembangan infrastruktur dalam rangka pengembangan komoditas
strategis harus dilakukan secara terpadu sehingga mampu mengurangi
disparitas pertumbuhan antar kawasan inti dilakukan upaya untuk
mendorong pola perkembangan yang lebih seimbang dan serasi antar sentra.
Hal ini berarti bahwa dalam upaya peningkatan daya saing dan nilai tambah
komoditas strategis melalui pengembangan spesialiasi dan kompetensi inti
dapat dilakukan melalui pengutuhan sistem agribisnis dengan pendorong
utama atau lokomotif pengembangan adalah pengembangan agroindustri
dan pemasaran hasil yang didukung oleh subsistem hulu dan penunjangnya.

76. Dalam rangka pencapaian empat target sukses Kementan diperlukan suatu
penataan secara nasional tanpa meninggalkan semangat otonomi daerah,

xxvii
sehingga pusat pengembangan kawasan komoditas strategis dilakukan
dalam lingkup satu kabupaten atau beberapa kecamatan dalam kabupaten.
Sementara itu dalam menjaga jaringan kerjasama antar wilayah kabupaten
dan sesuai dengan penetapan kawasan andalan penetapan kawasan,
Peraturan Menteri Pertanian No. 50 Tahun 2012 dan dan formasi Pusat
Penelitian komoditas, Balai Penelitian Komoitas, Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) atau UPT di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian dan Badan Sumberdaya Manusia Pertanian dan Eseslon I serta
instansi lainnya maka keterkaitan antar kawasan sentra kabupaten satu
dengan lainnya dengan dalam satu kawasan andalan atau antara kawasan
andalan dengan lainnya perlu dibangun. Rancangan model pengembangan
komoditas strategis berbasis kawasan, selain harus memperhatikan
hubungan pusat dan daerah, upaya pengembangan kawasan komoditas
strategis perlu dilakukan dalam kerangka kerjasama antar pusat
pengembangan kawasan (Kawasan Inti) dan antara kawasan andalan dalam
upaya menjaga keseimbangan pembangunan antar wilayah dan upaya untuk
mengembangkan jaringan pasar, lokal, regional dan nasional hingga
internasional.

77. Pengembangan kawasan strategis tidak semata-mata mencapai swasembada


dan swasembada berkelanjutan tetapi seluruh empat target sukses
Kementan dengan menempatkan nilai tambah, daya saing dan ekspor
menjadi urutan pertama, baru selanjutnya diikuti oleh target yang lainnya
maka secara umum model pengembangan komoditas strategis berbasis
kawasan adalah sebagai berikut: (1). Pengembangan kegiatan ekonomi dan
produk dari komoditas strategis pada pada kawasan dilakukan dengan
pendekatan pengembangan ekonomi yang terkait dengan permintaan
komoditas utama dalam rangka memenuhi permintaan lokal, regional,
nasional dan ekspor (market based oriented); (2). Upaya peningkatan
produksi, nilai tambah dan daya saing dan pendapatan petani dilakukan
dengan mendorong pengembangan kompetensi inti dan komoditas strategis
yang unik dan spesifik sebagai sumber kekuatan daya saing wilayah dalam
konteks regional dan global/international. Sebagai contoh adalah beras
organik di Kabupaten Tasikmalaya dan berah merah di Bulungan akan sulit
ditiru oleh kabupaten lain; (3). Upaya peningkatan produksi, nilai tambah,
daya saing dan pendapatan petani yang dikaitkan dengan kerjasama antar
kawasan dalam upaya menjaga keseimbangan pembangunan antar wilayah
dan upaya untuk mengembangkan jaringan pasar hingga internasional
memerlukan penetapan salah satu kawasan sebagai pusat yang diposisikan
sebagai “pusat pemasaran yang strategis” dalam upaya untuk menembus
pasar luar daerah, domestik dan internasional; (4). Upaya peningkatan
produksi, nilai tambah dan pendapatan petani pada kawasan satu perlu
didukung oleh upaya peningkatan aksesibilitas dan jaringan interaksi,
pemasaran, distribusi, informasi, transportasi, telekomunikasi antara
kawasan satu dengan kawasan lainnya dan satu kawasan dengan lokasi
‘strategic marketing node’ dalam satu kawasan; (5). Fasilitasi, mediasi dan
advokasi dalam kaitannya dengan teknologi, mutu, informasi, pasar dan
permodalan serta sarana dan prasarana produksi untuk mendorong

xxviii
kerjasama yang saling menguntungkan antar kasawan inti untuk mendorong
terbentuknya “synergic networking” antara kawasan dengan wilayah lainnya
terutama di tingkat kabupaten, propinsi, antar pulau, nasional, maupun
internasional serta antara pelaku usaha dengan jaringan eksportir dalam
negeri dan importir luar negeri perlu dilakukan; (6). Berdasarkan kerangka
model ini dapat ditemukan suatu benang merah dimana disamping
pentingnya kerjasama antar kawasan, kapasitas dan kemampuan lembaga
yang berperan sebagai fasilitator, mediator dan advokasi serta bimbingan
teknis dan teknologis secara kontinyu, ciri khas produk dan citarasa yang
dapat ditingkatkan melalui inovasi teknologi, konsistensi mutu dan
kontinuitas produksi merupakan faktor kunci keberhasilan pengembangan
komoditas strategis berbasis kawasan; (7). Pemerintah perlu membantu para
petani, pengusaha dan pelaku agribisnis didaerah untuk mempercepat
keberhasilan usaha komoditas strategis. Usulan ini merupakan konsekuensi
logis dari model pengembangan usaha dalam format klaster agribisnis.
Klaster agribisnis yang berpijak pada pengelompokan sejumlah usaha yang
mempunyai misi dan tujuan yang sama ini saling bekerjasama dan
berkolaborasi untuk mencapai keberhasilan yang lebih tinggi. Untuk
keperluan tersebut, suatu organisasi antar instansi perlu dibentuk dengan
satu tujuan, yaitu mengawal berbagai instrumen kebijakan pengembangan
komoditas strategis. Dalam usaha komoditas strategis terdapat sejumlah
pihak yang berkaitan dan berkepentingan (stakeholders) yang kontribusinya
sangat penting dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan.

78. Pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan harus dilandasi visi


untuk memperbaiki sektor ekonomi makro dan masyarakat. Visi yang
seyogianya dicapai dari level komunitas adalah tercapainya stabilisasi
perekonomian masyarakat yang aktif dan produktif, stabilisasi kehidupan
berpolitik masyarakat, peningkatan kesadaran sosial dan lingkungan, serta
pemberdayaan pertanian di pedesaan sebagai basis perekonomian yang lebih
produktif, sehingga dapat dikomersialisasikan dan didiversifikasi baik secara
vertikal maupun horisontal. Keputusan untuk pembentukan organisasi dari
pusat hingga lokasi menjadi penting adanya, karena pengembangan
komoditas strategis memiliki peringkat kepentingan yang sangat tinggi yaitu
hajat hidup orang banyak dan kerangka keutuhan dan stabilitas ekonomi,
ideologi, politik dan sosial budaya bahkan pertahanan dan keamanan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Maka wajar apabila lembaga atau organisasi
yang menjadi pengembang atau pembangun kawasan dipimpin oleh seorang
kepala negara dan kesuseksan seorang kepala daerah baik itu Gubernur,
Bupati, Walikota, Camat bahkan lurah atau kepala desa diukur dari
keberhasilannya mengembangkan komoditas strategis berbasis kawasan ini.
Perencanaan dan gerakan nasional pengembangan komoditas strategis
berbasis kawasan dalam jangka panjang menjadi tanggungjawab utama
setiap level pemerintahan, sekalipun dalam operasionalnya berada
dilimpahkan kepada Menteri Pertanian.

xxix
Alaternatif Pola dan Sistem Pendampingan Pengembangan Komoditas
Strategis Berbasis Kawasan

P ola dan Sistem P endam pingan


79. Sistem pendampingan kawasan perlu mengacu pada :(1). Perencanaan dan
Gerakan Nasional Pengembangan secara konsisten mulai dari pusat hingga
lokasi dalam jangka panjang; (2). Ketepatan dalam penyediaan sumberdaya,
prasarana dan sarana agribisnis hulu hingga hilir dengan subsistemnya
hingga lokasi (tepat jenis, tepat tempat, tepat guna; tepat waktu; tepat
jumlah; tepat mutu; tepat penerima; tepat pengelola); (3). Ketepatan dalam
intervensi, yaitu pada tahapan mana dan program dan kegiatan apa saja
calon lokasi kawasan ditetapkan dan dibangun atau dikembangkan sebagai
kawasan produksi komoditas strategis; (4). Kapasitas lembaga pengelola dan
penanggungjawab pembangunan atau pengembangan kawasan dari pusat
hingga lokasi secara memadai; (5). Kemauan kuat dan dukungan penuh dari
kepala pemerintahan pusat hingga unit kecamatan bahkan desa; (6).
Dukungan kuat dari seluruh stakeholder terkait; (7) penyiapan sumberdaya
dan kelembagaan sesuai kebutuhan; dan (8). Koordinasi, sinkronisasi,
integrasi dan keterpaduan baik dalam lingkup eselon I Kementan, antara
Kementerian atau Lembaga terkait dari pusat hingga daerah.

80. Sistem pendampingan perlu diarahkan diantaranya pada: (1) adanya jaminan
atau kepastian pasar dan pemasaran komoditas; (2) adanya sistem
penjaminan mutu dari produksi komoditas yang dihasilkan, baik segar
maupun olahan; (3) ketepatan dalam pemilihan komoditas komoditas
strategis pada kawasan pengembangannya; (4) potensi sumberdaya wilayah
berupa lahan, agroklimat, tenaga kerja, sarana dan prasarana sosial dan
ekonomi, serta kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat; (5) tingkat
ketersediaan dan aplikasi iptek yang mendukung pengembangan komoditas
unggulan dan agroindustri; (6) skala ekonomi usahatani yang secara teknis,
ekonomis dan lingkungan bersifat efisien serta mampu menjamin kontinuitas
produksi, distribusi dan pemasaran komoditas; (7) peran aktif
petani/pengusaha kecil dan tingkat kemampuan untuk mengakses seluruh
potensi sumberdaya (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi,
distribusi dan pemasaran, modal dan kelembagaan); (8) orientasi untuk
menciptakan usaha yang memiliki tingkat pemanfaatan sumberdaya secara
optimal dengan tingkat keuntungan yang optimal pula dan lestari atau
berkelanjutan; (9) kelembagaan spesifik komoditas dan lokasi yang kokoh
dalam pengembangan teknologi, permodalan, pemasaran, penyuluhan,
pelayanan dan peningkatan mutu, serta penanganan lingkungan; (10)
kemitraan antar stakeholder yang saling membutuhkan, tergantung, adil dan
menguntungkan; (11) faktor pendukung pengembangan sumberdaya
manusia, berbagai kebijakan untuk kemudahan dalam pelayanan teknologi,
perizinan investasi, perpajakan, permodalan, sarana produksi, distribusi,
insentif dan pening-katan mutu produk, perlindungan pasar, stabilitas
keamanan dan kepastian hukum; (12) political will dari pemerintah pusat
dan daerah yang ditunjukkan dalam bentuk operasionalisasi seluruh gerakan
pembangunan yang didukung oleh seluruh sektor terkait dalam kondisi clean

xxx
government dan good governance; dan (13) koordinasi dan sinkronisasi yang
harmonis antar instansi terkait dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi program pembangunan kawasan komoditas strategis secara
keseluruhan.

Organisasi P elak sana dan P engelola


81. Implementasi pengembangan kawasan komoditas strategis membutuhkan
sistem dan pola pendampingan untuk menjamin keberlanjutan implementasi
pengembangannya. Sebuah organisasi pelaksana perlu dibentuk dan
seyogyanya tidak bersifat ad-hoc melainkan persifat permanen. Organisasi
pelaksana dan pendampingan pengembangan kawasan komoditas strategis
memiliki tugas pokok dan fungsi, serta bertanggung jawab terhadap
keberhasilan pencapaian tujuan pengembangan kawasan pertanian.
Idealnya organisasi pelaksana ini memiliki otoritas khusus dalam
pengembangan kawasan pertanian yang ditetapkan mulai dari tingkat pusat
hingga kabupaten/kota sebagai lokasi kawasan pertanian. Sebuah lembaga,
badan atau otorita seyogyanya dibentuk mulai dari pusat hingga unit terkecil
dimana lokasi kawasan dalam lingkup wilayah kabupaten/kota tersebut
berada. Untuk mendukung keberhasilan kinerja organisasi pelaksana dalam
memfasilitasi proses manajemen pengembangan kawasan pertanian, maka
operasionalisasi organisasi pelaksana ini harus didukung dengan sumber
pembiayaan APBN/APBD Provinsi/APBD Kabupaten/Kota. Dukungan
pembiayaan dibutuhkan untuk melaksanakan proses koordinasi, supervisi,
pemantauan dan evaluasi kegiatan sebagaimana yang tertuang dalam
rancang bangun dan rencana aksi pengembangan kawasan yang telah
ditetapkan.

82. Organisasi pelaksana pengembangan kawasan yang diusulkan ini dapat


disebut Badan Pengembangan Kawasan Komoditas Strategis yang diketuai
oleh Menteri Pertanian dan Bertanggungjawab Langsung kepada Presiden.
Lembaga ini menjadi gudang pemikir dan pelaksana kebijakan di lapangan
serta bertanggungjawab terhadap keberhasilan maupun kegagalan
pelaksanaan kebijakan dimaksud. Lembaga ini diusulkan untuk dibentuk di
tingkat pusat dan daerah dengan kedudukan sekretariat sesuai dengan
kesepakatan antara pusat dan daerah. Di tingkat pusat akan berkedudukan
di Kementerian Pertanian, Jakarta, sementara sekretariat di tingkat provinsi
dan tingkat kabupaten akan berkedudukan di masing-masing kantor yang
disepakati. Dipahami bahwa insntasi terkait di daerah mempunyai nama
instansi/lembaga dan mandat yang berbeda, namun tupoksi untuk urusan
prasarana dan sarana, produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian
selalu ada di setiap daerah. Organisasi terdiri dari dua bidang yaitu teknis
dan kebijakan. Bidang Teknis ini bersifat periodik dan terikat serta kinerjanya
dapat dievaluasi setiap saat. Bidang Teknis harus dipimpin oleh seseorang
yang mempunyai dedikasi, kredibilitas, dan commitment, serta ditunjang
oleh bidang keahliannya membangun kawasan komoditas strategis setingkat
Eslon II. Bidang Kebijakan memiliki karakter yang lebih lentur karena berisi
para pemikir dan ahli-ahli yang diperlukan sesuai kebutuhan dalam
pengembangan. Bidang ini juga harus dipimpin oleh seseorang yang

xxxi
mempunyai dedikasi, kredibilitas, dan commitment, serta ditunjang oleh
bidang keahliannya membangun kawasan komoditas strategis setingkat
Eslon II. Format struktur organisasi adalah sama untuk setiap tingkatan (di
pusat/nasional maupun daerah/kabupaten). Di tingkat kecamatan dan desa,
sebuah unit pelayanan teknis (UPT) dibangun sebagai inti kelembagaan yang
melaksanakan kegiatan secara langsung bersama-sama para petani dan
pengusaha agribisnis. Untuk sementara UPT ini disebut UPT Kawasan
Komoditas Strategis. Setiap UPT dipimpin oleh seorang pemimpin, Kepala
UPT dan dibantu oleh beberapa tenaga keadministrasian dan tenaga teknis
(Sekretaris/Kepala Bagian/ Teknisi). Di setiap tingkatan, masing-masing UPT
memiliki seorang sekretaris yang mengendalikan semua urusan
keadministrasian, keuangan dan personalia. UPT memiliki tupoksi (mandate
dan deskripsi kerja) yang jelas dan terukur supaya kinerjanya dapat
dievaluasi. UPT sangat berperan untuk mencapai keberhasilan klaster
industri agroindustri dan oleh karena itu, akuntabilitas manajemen UPT harus
dapat diandalkan. Ini berarti bahwa pemilihan pelaksana, pengambilan
keputusan, dan manajemen operasional program pengembangan klaster
harus dilakukan dengan hati-hati dan mengikuti kaidah-kaidah
profesionalisme. Di dalam UPT ini para pemandu, pembimbing, penyuluh dan
teknisi termasuk pengkaji berada sehingga sangat dekat dengan petani dan
pengusaha agribisnis.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Tujuan Kebijakan
83. Peraturan Menteri Pertanian No. 50 Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum
Pengembangan Kawasan Pertanian membutuhkan dasar pelaksanaan dalam
rangka pencapaian Empat Target Sukses Kementan sesuai Renstra
Kementan Tahun 2010 - 2014. Operasionalisasi hal tersebut dilaksanakan
dalam bentuk pemeringkatan kabupaten/kota sebagai calon lokasi kawasan
pada masing-masing komoditas strategis yaitu padi, jagung, kedelai, tebu
dan sapi potong. Berdasarkan peringkat pada hasil analisis ini, maka dapat
diprioritaskan kabupaten/kota mana saja akan didahulukan mengingat
anggaran pembangunan pertanian relatif terbatas, sementara target sukses
Kementan harus tercapai.

Dasar Pertimbangan
84. Pengembangan komoditas strategis memiliki peringkat yang sangat tinggi
dalam hajat hidup orang banyak dan kerangka keutuhan dan stabilitas
ekonomi, ideologi, politik dan sosial budaya bahkan pertahanan dan
keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga pengembangnya
perlu dipimpin oleh kepala negara, dan kesuksesan seorang kepala daerah
baik itu Gubernur, Bupati, Walikota, Camat bahkan lurah atau kepala desa
diukur dari keberhasilannya mengembangkan komoditas strategis berbasis
kawasan ini. Perencanaan dan gerakan nasional pengembangan komoditas
strategis berbasis kawasan dalam jangka panjang menjadi tanggungjawab

xxxii
utama setiap level pemerintahan, sekalipun dalam operasionalnya berada
dilimpahkan kepada Menteri Pertanian dan intansi teknis pertanian di daerah.
Berdasarkan delapan faktor strategis kunci yang berhasil dirumuskan maka
sistem pendampingan yang diantaranya terdiri dari 13 persyaratan dimana
secara keseluruhan kerjasama antar pelaku usaha, antar pelaku usaha
dengan pemerintah dan antar intansi pemerintah mulai dari tingkat pusat
hingga daerah sangat diperlukan. Secara secara garis besar sistem
pendampingan pengembangan kawasan komoditas strategis mengarah pada
: (1) penguatan perencanaan pengembangan kawasan; (2) penguatan
kerjasama dan kemitraan; (3) penguatan sarana dan prasarana; (4)
penguatan sumber daya manusia; (5) penguatan kelembagaan; dan (6)
percepatan adopsi teknologi pengembangan industri hilir.

Isi Kebijakan
85. Dalam rangka implementasi, apabila terdapat keterbatasan anggaran maka
kabupaten/kota yang dapat dipilih berdasarkan urutan peringkat masing-
masing sesuai dengan komoditasnya. Pada kabupaten yang tercatat dalam
dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 50 Tahun 2012, akan tetapi tidak
memenuhi persyaratan luasan kawasan, maka diperlukan pendekatan khusus
dalam pengembangannya diantaranya melalui: (1). Pengembangan
keterkaitan secara struktural dan fungsional dengan kabupaten/kota
disekitarnya merupakan salah satu solusi alternatif, agar kabupaten/kota
yang tidak memenuhi syarat luasan tetap dapat dijadikan kawasan pertanian,
dimana wilayah tersebut dijadikan pusat atau bagian dari kawasan pertanian
secara lintas kabupaten; (2). Menetapkan kawasan tersebut bagian dari
pengembangan kawasan sektor lainnya, misalnya agrowisata atau lokasi
wisata ilmiah dan tempat pembelajaran atau laboratorium lapang penelitian
dan pengembangan; (3). Pada daerah tujuan dan kawasan wisata, maka
pengembangan kawasan komoditas strategis dikaitan dengan
pengembangan kawasan pariwisata; (4). Pada wilayah-wilayah terpencil di
Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, dan Papua atau Papua Barat,
pengembangan kawasan komoditas strategis perlu dikaitkan dengan
peningkatan ketahanan pangan di wilayah itu, karena pada umumnya
wilayah tersebut merupakan willayah yang sulit terjangkau sehingga
merupakan wilayah yang memiliki tingkat kerawanan pangan yang tinggi,
sehingga pengembangan kawasan pertanian komoditas strategis khusus
pangan utama perlu dikaitkan dengan pengembangan ketahanan pangan
pada wilayah-wilayah terpencil; (5). Pengembangan kawasan pertanian yang
dikaitkan dengan pengembangan wilayah perbatasan. Disamping umumnya
terpencil, kawasan perbatasan memerlukan perhatian khusus dalam
pembangunan pertanian karena wilayah itu sebagai halaman terdepan
negara, sekalipun dari segi persyaratan area saat ini belum memadai.

86. Melakukan kajian untuk penetapan lokasi dalam kabupaten/kota yang


meliputi kecamatan-kecamatan terpilih. Penetapan kecamatan-kecamatan
yang termasuk dalam Kawasan Pertanian komoditas strategis sangat
diperlukan untuk menentukan apakah kawasan tersebut hanya mencakup
satu kabupaten/kota saja ataukah harus mencakup lintas kabupaten/kota

xxxiii
yang dihubungkan oleh keterkaitan lokasi, keterkaitan struktural maupun
keterkaitan fungsional pengembangan kawasan komoditas strategis.

87. Mengupayakan penemuan kompetensi inti masing-masing kabupaten/kota


terhadap komoditas strategis yang dikembangkan pada kawasan yang ada
dalam wilayahnya menjadi salah faktor yang penting untuk diperhatikan
dalam penentuan arah pengembangan kawasan komoditas strategis ke
depan. Dalam pengembangan kawasan komoditas strategis, setiap
kabupaten kota perlu memiliki kompetensi inti dan arah ke depan
pengembangan komoditas strategis baik yang bersumber dari keunggulan
komparatif wilayah masing-masing, keunggulan kompetitif, keunggulan
sumberdaya manusia maupun keunggulan lainnya yang dimiliki oleh
wilayahnya sehingga kawasan komoditas strategis pada masing-masing
kabupaten kota memiliki penciri khusus. Karakterisktik dan ciri-ciri spesifik
lokal, kapasitas dan kemampuan sumberdaya petani dan para pelaku usaha
didalamnya serta dukungan kemauan politik pemerintah daerah yang kuat
menjadikan suatu wilayah memiliki keunggulan spesifik yang sulit disaingi
oleh wilayah lain.

88. Pengutuhan eksistensi sistem agribisnis dalam kawasan pengembangan


komoditas strategis tertentu sebagai kompetensi inti dari dari suatu wilayah
yang diiringan dengan peningkatan keterkaitan antar kawasan lain yang
berfungsi sebagai penyedia sarana produksi, penyedia bahan baku utama
agroindustri, pusat-pusat yang ditetapkan sebagai pusat promosi dan
pemasaran serta layanan bisnis sebagai kawasan inti atau pusat
pengembangan dan wilayah-wilayah sumber bahan baku dan penolong dari
produk-produk hasil industri seperti pupuk, benih/bibit, kemasan, Bahan
Bakar Minyak (BBM) dan alat dan mesin pertanian dan pengolahan hasil
pertanian serta layanan usaha lainnya.

89. Melakukan langkah operasional upaya pengembangan kawasan komoditas


strategis dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1). Mendorong konsep
pengembangan satu kawasan satu komoditas strategis unggulan utama
(satu kawasan satu komptensi inti/komoditas strategis). Dalam hal ini bukan
berarti hanya satu komoditas saja yang dikembangkan namun demikian
perlu ditetapkan satu komoditas utama tanpa harus meninggalkan komoditas
lainnya; (2). Menetapkan pusat pengembangan kawasan yang dijadi pusat
layanan pengembangan, selanjutnya sentra-sentra disekitarnya digabungkan
menjadi bagian sebuah satu kesatuan kawasan yang utuh dengan wilayah
yang lebih luas; (3). Mendorong keterkaitan usaha pengembangan
komoditas strategis pada setiap sentra dalam kawasan dengan pusat
distribusi bahan baku dan penolong serta kebutuhan sarana lainnya; (4).
Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan di setiap kawasan inti dalam pola
klaster pengembangan yang akan diposisikan sebagai simpul pengolahan
dan pemasaran komoditas strategis dari setiap sentra; (5). Meningkatkan
aksesibilitas dan jaringan interaksi: informasi, transportasi, telekomunikasi
dan jaringan kemitraan dan aliran produk antara pusat pengembangan
kawasan degan sentra atau zona kawasan pendukung; (6). Mendirikan Pusat

xxxiv
Layanan Agribisnis (stasiun penelitian dan pengembangan, pusat konsultasi
bisnis, balai diklat komoditas, bimbingan dan penyuluhunan, Lembaga
Keuangan yang melayani agribisnis dan agroindustri pedesaan, show room
dan workshop agroindustri (promotion centre) dilengkapi dengan UPT yang
memberikan bantuan teknis layanan mutu, sertifikasi produk, kemasan dan
merk termasuk perijinan usaha jika diperlukan; (7). Melakukan upaya
perbaikan infrastruktur jalan, jembatan, terminal, pusat promosi dan pasar
serta infrsatruktur lainnya seperti telekomunikasi, jaringan air dan listrik, dan
infrastruktur lainnya sesuai dengan kebutuhan; (8). Pengutuhan sistem
agribisnis dengan pendorong utama atau lokomotif pengembangan adalah
pengembangan agroindustri dan pemasaran hasil yang didukung oleh
subsistem hulu dan penunjangnya.

90. Mengembangkan dan menjaga keberlanjutan jaringan kerjasama antar


wilayah kabupaten dan sesuai dengan penetapan kawasan andalan,
Peraturan Menteri Pertanian No. 50 Tahun 2012 dan dan formasi Pusat
Penelitian komoditas, Balai Penelitian Komoitas, Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian (BPTP) atau UPT di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian dan Badan Sumberdaya Manusia Pertanian dan Eseslon I serta
instansi lainnya maka keterkaitan antar kawasan sentra kabupaten satu
dengan lainnya dengan dalam satu kawasan andalan atau antara kawasan
andalan dengan lainnya perlu dibangun.

91. Merancang model pengembangan komoditas strategis berbasis kawasan,


yang memperhatikan hubungan pusat dan daerah dan kerjasama antar pusat
pengembangan kawasan dan antara kawasan andalan dalam upaya menjaga
keseimbangan pembangunan antar wilayah dan upaya untuk
mengembangkan jaringan pasar, lokal, regional dan nasional hingga
internasional dengan sub komponen kebijakan : (1). Menetetapkan
pengembangan kawasan strategis tidak semata-mata mencapai swasembada
dan swasembada berkelanjutan tetapi seluruh empat target sukses
Kementan dengan menempatkan nilai tambah, daya saing dan ekspor
menjadi urutan pertama, baru selanjutnya diikuti oleh target yang lainnya;
(2). Mendorong pengembangan kegiatan ekonomi dan produk dari
komoditas strategis pada pada kawasan yang dilakukan dengan pendekatan
pengembangan ekonomi yang terkait dengan permintaan komoditas utama
dalam rangka memenuhi permintaan lokal, regional, nasional dan ekspor
(market based oriented); (3). Melakukan upaya peningkatan produksi, nilai
tambah dan daya saing dan pendapatan petani dilakukan dengan mendorong
pengembangan kompetensi inti dan komoditas strategis yang unik dan
spesifik sebagai sumber kekuatan daya saing wilayah dalam konteks regional
dan global/international; (4). Melakukan upaya peningkatan produksi, nilai
tambah, daya saing dan pendapatan petani yang dikaitkan dengan
kerjasama antar kawasan dalam upaya menjaga keseimbangan
pembangunan antar wilayah dan upaya untuk mengembangkan jaringan
pasar hingga internasional memerlukan penetapan salah satu kawasan
sebagai pusat yang diposisikan sebagai “pusat pemasaran yang strategis”
dalam upaya untuk menembus pasar luar daerah, domestik dan

xxxv
internasional; (5). Melakukan upaya peningkatan produksi, nilai tambah dan
pendapatan petani pada kawasan strategis melalui peningkatan aksesibilitas
dan jaringan interaksi, pemasaran, distribusi, informasi, transportasi,
telekomunikasi antara kawasan satu dengan kawasan lainnya dan antara
sentra satu dengan lokasi ‘strategic marketing node’ dalam satu kawasan
pengembangan komoditas strategis; (5). Melakukan fasilitasi, mediasi dan
advokasi dalam kaitannya dengan teknologi, mutu, informasi, pasar dan
permodalan serta sarana dan prasarana produksi untuk mendorong
kerjasama yang saling menguntungkan antar kasawan inti untuk mendorong
terbentuknya “synergic networking” antara kawasan satu dengan wilayah
lainnya terutama di tingkat kabupaten, propinsi, antar pulau, nasional,
maupun internasional serta antara pelaku usaha dengan jaringan eksportir
dalam negeri dan importir luar negeri; (6). Meningkatkan kerjasama antar
kawasan, melalui peningkatan kapasitas dan kemampuan lembaga yang
berperan sebagai fasilitator, mediator dan advokasi serta bimbingan teknis
dan teknologis secara kontinyu, ciri khas produk dan citarasa yang dapat
ditingkatkan melalui inovasi teknologi, konsistensi mutu dan kontinuitas
produksi merupakan faktor kunci keberhasilan pengembangan komoditas
strategis berbasis kawasan; (7). Membantu para petani, pengusaha dan
pelaku agribisnis didaerah untuk mempercepat keberhasilan usaha komoditas
strategis. Usulan ini merupakan konsekuensi logis dari model
pengembangan usaha dalam format klaster agribisnis. Klaster agribisnis yang
berpijak pada pengelompokan sejumlah usaha yang mempunyai misi dan
tujuan yang sama ini saling bekerjasama dan berkolaborasi untuk mencapai
keberhasilan yang lebih tinggi. Untuk keperluan tersebut, suatu organisasi
antar instansi perlu dibentuk dengan satu tujuan, yaitu mengawal berbagai
instrumen kebijakan pengembangan komoditas strategis. Dalam usaha
komoditas strategis terdapat sejumlah pihak yang berkaitan dan
berkepentingan (stakeholders) yang kontribusinya sangat penting dalam
pelaksanaan kebijakan pengembangan.

92. Menentukan visi dan misi yang dijadikan landasan pengembangan komoditas
strategis berbasis kawasan. Visi yang seyogianya dicapai dari level komunitas
adalah tercapainya stabilisasi perekonomian masyarakat yang aktif dan
produktif, stabilisasi kehidupan berpolitik masyarakat, peningkatan kesadaran
sosial dan lingkungan, serta pemberdayaan pertanian di pedesaan sebagai
basis perekonomian yang lebih produktif, sehingga dapat dikomersialisasikan
dan didiversifikasi baik secara vertikal maupun horisontal.

93. Membentuk sebuah organisasi pelaksana dan seyogyanya tidak bersifat ad-
hoc melainkan persifat permanen. Organisasi pelaksana dan pendampingan
pengembangan kawasan komoditas strategis memiliki tugas pokok dan
fungsi, serta bertanggung jawab terhadap keberhasilan pencapaian tujuan
pengembangan kawasan pertanian. Idealnya organisasi pelaksana ini
memiliki otoritas khusus dalam pengembangan kawasan pertanian yang
ditetapkan mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota sebagai lokasi
kawasan pertanian. Sebuah lembaga, badan atau otorita seyogyanya
dibentuk mulai dari pusat hingga unit terkecil dimana lokasi kawasan dalam

xxxvi
lingkup wilayah kabupaten/kota tersebut berada. Untuk mendukung
keberhasilan kinerja organisasi pelaksana dalam memfasilitasi proses
manajemen pengembangan kawasan pertanian, maka operasionalisasi
organisasi pelaksana ini harus didukung dengan sumber pembiayaan
APBN/APBD Provinsi/APBD Kabupaten/Kota. Dukungan pembiayaan
dibutuhkan untuk melaksanakan proses koordinasi, supervisi, pemantauan
dan evaluasi kegiatan sebagaimana yang tertuang dalam rancang bangun
dan rencana aksi pengembangan kawasan yang telah ditetapkan.

94. Merancang organisasi dan kelembagaan pengembangan komoditas strategis


berbasis kawasan yang dipimpin langsung oleh seorang Kepala Negara dan
dan kesusessan seorang kepala daerah baik itu Gubernur, Bupati, Walikota,
Camat bahkan lurah atau kepala desa diukur dari keberhasilannya
mengembangkan komoditas strategis berbasis kawasan ini. Keputusan
untuk pembentukan organisasi dari pusat hingga lokasi menjadi penting
adanya, karena pengembangan komoditas strategis memiliki peringkat
kepentingan yang sangat tinggi yaitu hajat hidup orang banyak dan
kerangka keutuhan dan stabilitas ekonomi, ideologi, politik dan sosial budaya
bahkan pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

95. Mendirikan organisasi pelaksana pengembangan kawasan yang diusulkan ini


dapat disebut sebagai Badan Pengembangan Kawasan Komoditas Strategis
yang diketuai oleh Menteri Pertanian dan Bertanggungjawab Langsung
kepada Presiden. Lembaga ini menjadi gudang pemikir dan pelaksana
kebijakan di lapangan serta bertanggungjawab terhadap keberhasilan
maupun kegagalan pelaksanaan kebijakan dimaksud. Lembaga ini diusulkan
untuk dibentuk di tingkat pusat dan daerah dengan kedudukan sekretariat
sesuai dengan kesepakatan antara pusat dan daerah. Di tingkat pusat akan
berkedudukan di Kementerian Pertanian, Jakarta, sementara sekretariat di
tingkat provinsi dan tingkat kabupaten akan berkedudukan di masing-masing
kantor yang disepakati.

96. Mengembangkan perangkat dan struktur organisasi yang dilandasi


pemahaman bahwa instansi terkait di daerah mempunyai nama
instansi/lembaga dan mandat yang berbeda, namun tupoksi untuk urusan
prasarana dan sarana, produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian
selalu ada di setiap daerah. Struktur organisasi dibuat ramping dan dapat
terdiri dari dua bidang yaitu teknis dan kebijakan. Bidang Teknis ini bersifat
periodik dan terikat serta kinerjanya dapat dievaluasi setiap saat. Bidang
Teknis harus dipimpin oleh seseorang yang mempunyai dedikasi, kredibilitas,
dan commitment, serta ditunjang oleh bidang keahliannya membangun
kawasan komoditas strategis setingkat Eslon II. Bidang Kebijakan memiliki
karakter yang lebih lentur karena berisi para pemikir dan ahli-ahli yang
diperlukan sesuai kebutuhan dalam pengembangan. Bidang ini juga harus
dipimpin oleh seseorang yang mempunyai dedikasi, kredibilitas, dan
commitment, serta ditunjang oleh bidang keahliannya membangun kawasan
komoditas strategis setingkat Eslon II. Format struktur organisasi adalah
sama untuk setiap tingkatan (di pusat/nasional maupun daerah/kabupaten).

xxxvii
Di tingkat kecamatan dan desa, sebuah unit pelayanan teknis (UPT)
dibangun sebagai inti kelembagaan yang melaksanakan kegiatan secara
langsung bersama-sama para petani dan pengusaha agribisnis. Untuk
sementara UPT ini disebut UPT Kawasan Komoditas Strategis. Setiap UPT
dipimpin oleh seorang pemimpin, Kepala UPT dan dibantu oleh beberapa
tenaga keadministrasian dan tenaga teknis (Sekretaris/Kepala Bagian/
Teknisi). Di setiap tingkatan, masing-masing UPT memiliki seorang
sekretaris yang mengendalikan semua urusan keadministrasian, keuangan
dan personalia. UPT memiliki tupoksi (mandate dan deskripsi kerja) yang
jelas dan terukur supaya kinerjanya dapat dievaluasi. UPT sangat berperan
untuk mencapai keberhasilan pengutuhan sistem agribisnis di tingkat lokasi
kawasan oleh karena itu, akuntabilitas manajemen UPT harus dapat
diandalkan. Ini berarti bahwa pemilihan pelaksana, pengambilan keputusan,
dan manajemen operasional program pengembangan klaster harus dilakukan
dengan hati-hati dan mengikuti kaidah-kaidah profesionalisme. Di dalam UPT
ini para pemandu, pembimbing, penyuluh, peneliti, konsultan atau tenaga-
tenaga ahli dan teknisi termasuk pengkaji berada sehingga sangat dekat
dengan petani dan pengusaha agribisnis.

97. Menyusun perencanaan dan melakukan gerakan nasional pengembangan


komoditas strategis berbasis kawasan dalam jangka panjang yang menjadi
tanggungjawab utama setiap level pemerintahan, sekalipun dalam
operasionalnya dilimpahkan kewenangannya dilimpahkan kepada Menteri
Pertanian dan seluruh jajarannya dari pusat hingga daerah.

98. Menyusun pola pendampingan kawasan yang mengacu pada :(1).


Perencanaan dan Gerakan Nasional Pengembangan secara konsisten mulai
dari pusat hingga lokasi dalam jangka panjang; (2). Ketepatan dalam
penyediaan sumberdaya, prasarana dan sarana agribisnis hulu hingga hilir
dengan subsistemnya hingga lokasi (tepat jenis, tepat tempat, tepat guna;
tepat waktu; tepat jumlah; tepat mutu; tepat penerima; tepat pengelola);
(3). Ketepatan dalam intervensi, yaitu pada tahapan mana dan program dan
kegiatan apa saja calon lokasi kawasan ditetapkan dan dibangun atau
dikembangkan sebagai kawasan produksi komoditas strategis; (4). Kapasitas
lembaga pengelola dan penanggungjawab pembangunan atau
pengembangan kawasan dari pusat hingga lokasi secara memadai; (5).
Kemauan kuat dan dukungan penuh dari kepala pemerintahan pusat hingga
unit kecamatan bahkan desa; (6). Dukungan kuat dari seluruh stakeholder
terkait; (7) penyiapan sumberdaya dan kelembagaan sesuai kebutuhan; dan
(8). Koordinasi, sinkronisasi, integrasi dan keterpaduan baik dalam lingkup
eselon I Kementan, antara Kementerian atau Lembaga terkait dari pusat
hingga daerah.

99. Melakukan sistem pendampingan yang diarahkan diantaranya pada : (1)


adanya jaminan atau kepastian pasar dan pemasaran komoditas; (2) adanya
sistem penjaminan mutu dari produksi komoditas yang dihasilkan, baik segar
maupun olahan; (3) ketepatan dalam pemilihan komoditas komoditas
strategis pada kawasan pengembangannya; (4) potensi sumberdaya wilayah

xxxviii
berupa lahan, agroklimat, tenaga kerja, sarana dan prasarana sosial dan
ekonomi, serta kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat; (5) tingkat
ketersediaan dan aplikasi iptek yang mendukung pengembangan komoditas
unggulan dan agroindustri; (6) skala ekonomi usahatani yang secara teknis,
ekonomis dan lingkungan bersifat efisien serta mampu menjamin kontinuitas
produksi, distribusi dan pemasaran komoditas; (7) peran aktif
petani/pengusaha kecil dan tingkat kemampuan untuk mengakses seluruh
potensi sumberdaya (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, teknologi,
distribusi dan pemasaran, modal dan kelembagaan); (8) orientasi untuk
menciptakan usaha yang memiliki tingkat pemanfaatan sumberdaya secara
optimal dengan tingkat keuntungan yang optimal pula dan lestari atau
berkelanjutan; (9) kelembagaan spesifik komoditas dan lokasi yang kokoh
dalam pengembangan teknologi, permodalan, pemasaran, penyuluhan,
pelayanan dan peningkatan mutu, serta penanganan lingkungan; (10)
kemitraan antar stakeholder yang saling membutuhkan, tergantung, adil dan
menguntungkan; (11) faktor pendukung pengembangan sumberdaya
manusia, berbagai kebijakan untuk kemudahan dalam pelayanan teknologi,
perizinan investasi, perpajakan, permodalan, sarana produksi, distribusi,
insentif dan pening-katan mutu produk, perlindungan pasar, stabilitas
keamanan dan kepastian hukum; (12) political will dari pemerintah pusat
dan daerah yang ditunjukkan dalam bentuk operasionalisasi seluruh gerakan
pembangunan yang didukung oleh seluruh sektor terkait dalam kondisi clean
government dan good governance; dan (13) koordinasi dan sinkronisasi yang
harmonis antar instansi terkait dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi program pembangunan kawasan komoditas strategis secara
keseluruhan.

100. Penelitian lanjutan yang disarankan untuk tahun-tahun mendatang


diantaranya adalah : (1). Studi detail desain perencanaan pengembangan
kawasan komoditas strategis pada masing-masing kabupaten/kota terpilih;
(2). Studi pembentukan organisasi pelaksana dan penanggungjawab
pengelolaan pengembangan kawasan komoditas strategis mulai dari pusat
hingga daerah; (3). Studi penyusunan perencanaan pengembangan kawasan
komoditas strategis nasional dalam jangka panjang dan gerakan nasional
pengembangannya; (4). Studi skala minimum efisien luasan kawasan
komoditas strategis; (5). Studi untuk komoditas strategis atau unggulan
lainnya; (6). Identifikasi dan verifikasi data-data dan informasi yang telah
disusun pada penelitian ini pada seluruh kabupaten kota dalam rangka
pengembangan sistem informasi dan bata base hingga unit analisis
kecamatan; dan (7). Penyusunan sistem aplikasi komputer penetapan
kawasan pengembangan komoditas strategis.

xxxix

Anda mungkin juga menyukai