Anda di halaman 1dari 8

OPTIMALISASI PERKADERAN DALAM MENEGASKAN CITA PERJUANGAN HMI

Oleh :

Arum Puspita Arini (Cabang Kabupaten Bandung)


Selly Silviani (Cabang Bekasi)
Yusril Buang (Cabang Ternate)

HMI merupakan suatu wadah yang didalamnya terhimpun paramahasiswa- mahasiswa


2

Islam yang terorientasi dan berkonsentrasi pada misi keumatan dan misi kebangsaan. Sebagaimana
dalam AD/ART HMI dijelaskan bahwa HMI adalah organisasi yang berfungsi sebagai organisasi
kader,maksudnya HMI hadir sebagai pencetak sumber daya manusia yang yang berkualitas insan
cita. Pembangunan Sumber Daya Manusia yang bersumber dari olah sikap, nalar, dan perilaku.
Proses kaderisasi HMI dengan menerapkan penanaman nilai-nilai moral dan kebenaran, baik aspek
keislaman, kebangsaan dan kemahasiswaan. Perkaderan HMI bertujuan agar terciptanya kader
muslim intelektual profesional yang berakhlakul karimah serta mampu mengemban amanah Allah
sebagai khalifah fil ardh dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Dalam perjalanannya, proses
perkaderan di HMI bukanlah proses yang benar-benar sempurna, tentulah dijumpai kekurangan
dan tantangan tersendiri bagi keberhasilan proses perkaderan tersebut. Bagi setiap lingkup cabang
HMI di seluruh Indonesia tentu memiliki kultur yang berbeda satu sama lain dalam proses
perkaderannya, hal itu disebabkan karena perbedaan lingkungan, kebudayaan dan gaya hidup di
tiap-tiap lingkungan cabang, namun bukan berarti sama sekali berbeda, karena HMI telah
merumuskan pedoman perkaderan bagi semua proses perkaderan di lingkup HMI itu sendiri.

HMI merupakan suatu wadah yang di dalamnya terhimpun para mahasiswa- mahasiswa
Islam yang terorientasi dan berkonsentrasi pada misi keumatan dan misi kebangsaan. Sebagaimana
yang tertuang dalam AD/ART HMI dijelaskan bahwa HMI merupakan organisasi yang berfungsi
sebagai organisasi kader, dalam hal ini HMI hadir sebagai pencetak sumber daya manusia yang
berkualitas insan cita. Pembangunan Sumber Daya Manusia melalui olah sikap, nalar, dan
perilaku. Proses pengkaderan HMI adalah dengan menerapkan proses internalisasi nilai-nilai
moral dan kebenaran, baik dalam nilai keislaman, kebangsaan dan kemahasiswaan. Dengan
demikian perkaderan HMI bertujuan agar terciptanya kader muslim intelektual profesional yang
berakhlakul karimah serta mampu mengemban amanah Allah sebagai khalifah fil ardh dalam
upaya mencapai tujuan organisasi. Dalam perjalanannya, proses perkaderan di HMI bukanlah
proses yang benar-benar sempurna, tentulah masih ada kekurangan dan tantangan tersendiri bagi
keberhasilan proses perkaderan tersebut. Bagi setiap lingkup cabang HMI di seluruh Indonesia
tentu berbeda satu sama lain dalam proses perkaderannya, itu disebabkan karena perbedaan
lingkungan, kebudayaan dan gaya hidup pada tiap-tiap lingkungan cabang, namun bukan berarti
sama sekali berbeda, karena HMI telah merumuskan pedoman perkaderan bagi semua proses
perkaderan di lingkup HMI itu sendiri.
Penyelenggaraan perkaderan di HMI dilaksanakan di berbagai jenjang training. Tetapi
yang paling inti dari tahapan perkaderan di HMI adalah Basic Training (Latihan Kader I) yang
menjadi awal mata air pembentukan dan pengembangan kader itu dimulai, atau sering diistilahkan
sebagai jantung organisasi. Komisariat adalah gambaran sederhana dari HMI. Melihat HMI secara
utuh cukuplah dengan melihat komisariat, sebab dari komisariat, mata air kehidupan itu di mulai.
Komisariat ibarat sebuah rahim yang setiap saat melahirkan/memproduksi generasi-generasi baru
yang nantinya menjadi mata air organisasi. Penyelenggaraan Basic Training merupakan titik
masuk mahasiswa dan mahasiswi muslim yang selanjutnya dikukuhkan menjadi anggota resmi
oleh pengurus cabang. Di ruang basic itu, para calon-calon kader di tempa, di didik dan dibentuk
pola pikir, pola sikap dan pola lakunya dalam rangka menciptakan kader yang berkualitas Insan
Cita.

Gambaran tentang HMI di masa depan bisa dilacak cukup dengan melihat pola
perkaderannya di ranah komisariat. Perkaderan yang dilakukan secara sistematis dan diperhatikan
kualitasnya, sudah tentu akan menghasilkan kader-kader muda yang berpotensial dan berkualitas.
Sebaliknya, perkaderan jika disisipi selipan kepentingan, sudah tentu berpengaruh pada kualitas
kader yang dihasilkan. Kita berharap, dengan bertambahnya instruktur-instrutur di HMI mampu
mengatasi problem dasar itu sebagai tugas utama dalam rangka menciptakan masa depan HMI dan
Negara yang gemilang dalam menjawab tantangan zaman.

MASALAH PERKADERAN

Pelaksanaan perkaderan di HMI sudah dimulai pada tahun 1947 di Jakarta, yang digagas
oleh Ismail Hasan Matareum lalu dilanjutkan pada loka karya perkaderan pada tahun 1963 dan
berlangsung sampai sekarang. Di tengah usia perkaderan yang sudah terbilang matang masih saja
mendapatkan sejumlah masalah prinsip yang menghambat kelancaran mata air perkaderan. Hal
yang paling krusial terjadi adalah masalah di tingkat pengelola atau instruktur. Karena pada
realitanya, beberapa dari instruktur-instruktur HMI begitu acuh akan tanggung jawabnya sebagai
seorang instruktur manakala pasca training. Seperti halnya tatkala ada panggilan untuk mengelola
di training latihan kader I, tampak beberapa instruktur tidak memenuhi panggilan itu, hilang begitu
saja tanpa ada kabar ataupun konfirmasi bahwa tidak dapat memenuhi panggilan mengelola.
Lantas, faktor apa yang menjadi krisisnya tanggung jawab sebagai instruktur? Bukankah sepulang
dari training instruktur seharusnya mereka lebih semangat tatkala mendapatkan panggilan
mengelola karena dianggap masih fresh?

Penulis mencoba menelisik beberapa faktor yang menyebabkan adanya krisis tanggung
jawab instruktur HMI pasca training, di antaranya :

• Instruktur masih belum sepenuhnya siap secara mental untuk mengelola, dan butuh waktu
untuk memperdalam beberapa materi-materi
• Instruktur malas dan acuh
• Instruktur merasa tidak kompeten (insecure)
• Instruktur merasa tidak diapresiasi selama pasca training
• Instruktur merasa tidak dirangkul dengan instruktur lainnya, terkhusus para senior.
Dari beberapa poin di atas, kiranya menjadi faktor yang menyebabkan instruktur krisis akan
tanggung jawabnya pasca training. Memang, menjadi instruktur itu begitu berat akan beban dan
tanggung jawab yang diembannya, tantangan perjuangannya pun tentu berbeda-beda, sehingga
menjadi naif tatkala ada seorang instruktur yang merasa ‘paling berjuang’ di antara yang lainnya.
Misalkan, diantara instruktur itu ada yang pergi ke medan perjuangan dengan meninggalkan
urusan keluarganya, menghentikan aktivitas hobinya, menunda kegiatan studi atau pekerjaan,
menjadwalkan ulang kegiatan lainnya, terkadang pun berpura-pura tampak sehat padahal sedang
sakit, bahkan diam-diam meminjam uang untuk operasional keberangkatan.

Untuk dapat menggugah dan mendobrak para instruktur yang dengan krisis tanggung
jawabnya itu pasca training, sudah seharusnya tiap-tiap dari instruktur selalu menyadari dan
menanamkan pada dirinya bahwa dunia ke-instruktur-an dapat memberikan ruang terima kasih
yang begitu dalam. Dimana instruktur dapat menemukan kebahagiaan-kebahagiaan dalam hati
nurani tatkala bisa berbagi manfaat terhadap sesama. Seorang instruktur harus siap siaga untuk
kemaslahatan umat dan menjaga jantung perkaderan HMI kapanpun, di manapun dalam kondisi
apapun. Sudah bukan sepantasnya juga, ketika masih ada instruktur yang bermalas-malasan juga
tidak mau selalu meng-upgrade dirinya untuk menjadi uswah yang baik. Selain dari pada itu, peran
dan support dari para instruktur lain juga para senior sangat dibutuhkan oleh instruktur pasca
training. Instruktur baru hendaknya lebih diperhatikan, dirangkul juga senantiasa di-support untuk
terus aktif dan siap siaga menjalankan tugas-tugas ke-instruktur-an. Nilai-nilai kekeluargaan dari
para instruktur harus lebih dieratkan lagi, tanpa ada rasa superiotas pun senioritas.

Manusia dianugerahi akal dan bentuk yang sempurna jika dibandingkan dengan makhluk
lain. Kelebihan manusia dari makhluk lain tersebut janganlah dijadikan sebagai cara pandang
untuk membanggakan diri. Manusia sebaiknya sadar juga akan keterbatasannya untuk menjadi
khalifah di bumi ini. Manusia membutuhkan proses regenerasi untuk memimpin bumi ini. Manusia
dibatasi oleh umur dan kelak pada hari kemudian akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap
apa yang sudah dilakukannya di muka bumi ini.
Proses regenerasi inilah yang dapat disebut juga sebagai proses perkaderan. HMI sebagai
organisasi perkaderan memiliki tujuan yang berbunyi “Terbinanya insan akademis pencipta
pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil
makmur yang diridhoi Allah SWT” . Proses perkaderan pada HMI mengedepankan pada
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan Cita .


2 2 2 2 2 2

Melihat keadaan seperti ini, HMI harus tetap melanjutkan perannya sebagai organisasi
payung. Sebagai organisasi keanggotaan, setiap langkah organisasi harus dilakukan secara tidak
langsung untuk memberdayakan anggota kadernya. Investigasi internal menyeluruh terhadap
organisasi diperlukan untuk memperkuat pemahaman tentang kerangka HMI. Pada saat yang
sama, organisasi bertanggung jawab untuk memahami anggotanya. Secara fungsional, orang-
orang yang dipercaya sebagai pengelola sistem di tingkat manapun (komisariat, Korkom, kantor
cabang, Badko atau pimpinan umum) harus memenuhi peran tersebut dalam organisasi. “Kader
adalah sekelompok kecil orang yang dipilih dan dilatih secara khusus untuk tujuan tertentu” (AS
Hornby). Model rekruitmen keanggotaan dilaksanakan dengan mengedepankan kualitas tanpa
memerincinya. Di perguruan tinggi atau lembaga pendidikan sejenis, perekrutan tenaga kerja
merupakan hal yang sangat penting. Kader HMI diseleksi dan dilatih melalui berbagai tahapan
mulai dari pelatihan dasar (pelatihan Kader I), pelatihan menengah (pelatihan Kader II) dan
pelatihan lanjutan (pelatihan Kader III). Setiap tahapan mempunyai tujuan yang ingin dicapai.
Kabinet HMI saat ini tidak berjalan mulus dan tanpa kendala. Masalah-masalah ini secara optimis
dipandang sebagai tantangan personel. Tantangan-tantangan tersebut datang baik dari dalam
maupun luar organisasi. Terkadang tantangan ini bahkan terjadi secara bersamaan. Sehingga
dibutuhkan kematangan mental dan fisik untuk menyelesaikan tantangan-tantangan tersebut.

Melihat perkembangan perkaderan pada level komisariat, saat ini perkaderan HMI yang ada
di Komisariat FAI juga mengalami beberapa kendala, baik dari segi kuantitas SDM sampai kepada
kualitas masing-masing kader. Salah satunya adalah hilangnya daya tarik HMI Komisariat, baik
untuk anggota dan pengurus untuk tetapk onsisten dan komitmen dalam menjalani serta
menggerakkan roda organisasi HMI Komisariat FAI. Dan juga Perkaderandalam HMI belum bisa
menyentuh ranah sosial kemasyarakatan. Kader-kader HMI kadang terjebak dalam
keeksklusifitasan intelektual. Kader-kader HMI masih banyak yang sibuk untuk mengurusi
internal organisasi. Kader-kader HMI sibuk untuk mengup-grade kapasitas intelektualnya ataupun
mengurusi internal organisasi, sehingga ranah pengabdian kepada masyarakat belum tergarap
dengan baik.

Watak perkaderan HMI lebih menitikberatkan kepada aspek pembinaan kepribadian anggota
HMI, dan itu pun dipersempit dengan pembinaan kerohanian dan intelektual anggota HMI. Kita
tidak melihat seberapa jauh anggota HMI dididik untuk berkiprah dan memimpin masyarakat.
Sehingga yang kita saksikan, para kader HMI agak sulit membaur dan bergaul dengan masyarakat
sekitarnya. Gejala ini sebetulnya terkait dengan corak perkaderan yang diterapkan. Corak
perkaderan yang diterapkan selama ini lebih menonjolkan pola kontra kultur yang sedang
berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Maka dari itu harus ada formulasi baru pola perkaderan
HMI yang mampu mengatasi semua problematika yang hari ini terjadi di lingkup HMI Komisariat.
Setidaknya ada tiga kebutuhan yang harus digalakkan agar stagnansi yang hari ini terjadi dapat
kita atasi bersama. tiga kebutuhan itu yakni; 1. Pengurus HMI Komisariat harus memiliki
kesadaran lebih dibanding anggota yang lain; kesadaran membaca, kesadaran berorganisasi,
kesadaran ber-HMI, 2. Merawat hubungan dan komunikasi ke-sesama Pengurus, anggota bahkan
senior HMI Komisariat FAI; hal ini mudah tapi dalam penerapan agak sedikit sulit, karna ada rasa
kecanggungan, tidak enakan dan lain sebagainya. maka dari itu pengurus harus interaktif dan
komunikatif dalam membangun hubungan emosional kepada seluruh tingkatan yang ada di
Komisariat. 3. Membuat agenda-agenda yang relevan dan inovatif dengan situasi yang hari ini
terjadi; karena mau bagaimanapun, kekayaan inovatif yang dihadirkan bersamaan dengan
semangat merawat serta keistiqomahan kader HMI FAI. Niscaya semua problematika akan dapat
di-counter.

HMI 76 tahun yang lalu adalah HMI yang berani keluar menancapkan taring perjuanganya
diatas panggung sosial-politik dalam rangka “Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan
Mempertinggi Derajat rakyat Indonesia serta Menegakkan dan mengembangkan Ajaran Agama
Islam.” Tujuan integratif itulah yang memantiq pemuka-pemuka Himpunan ini melepaskan pena,
dan mengangkat senjata melawan kolonialisme belanda. Sederhananya, suasana politik saat itu
telah membentuk nalar perjuangan para pendiri Himpunan ini menjadi sensitif dan responsif
dengan tema-tema kemerdekaan dan pemberontakan. HMI di 1996, adalah HMI yang secara sadar
mengepakkan sayap intelektualnya ditengah pergumulan ideology yang masih memanas. HMI
tampil dengan percaya diri, merekomendasikan proposal ide cemerlang tentang kenegaraan dan
keagamaan yang terus di pertentangkan. HMI melalui komando Nurcholis Madjid tampil
merumuskan wawasan titik temu yang menghubungkan antara agama dan agama sekaligus agama
dan Negara melalui kerangka epistemik yang jauh dari pengaruh-pengaruh ideologi. Ide
pembaharuan itu lahir bukan tanpa alasan, tapi kesemuanya lahir dikarenakan HMI di awal
pembentukanya sudah mendeklarasikan perjuangan untuk NKRI dan perjuangan untuk Islam
(agama) dalam satu tarikan nafas (keislaman dan keindonesiaan).

HMI saat ini berbeda dengan HMI sebelumnya, hal ini dikarenakan terus terjadinya
perubahan zaman yang begitu cepat sehingga mengharuskan HMI kembali merumuskan ulang
metode perjuanganya. kerangka perjuangan yang di butuhkan adalah kerangka yang relevan
dengan kondisi ummat dan bangsa saat ini. Problem kebangsaan merupakan masalah yang
kompleks, olehnya tidak cukup membacanya dengan satu perspektif saja. Selain itu, beragamnya
masalah kebangsaan saat ini mengharuskan HMI memetakkan masalah-masalah apa saja yang
harus diprioritaskan oleh HMI.

Secara global, hampir seluruh Negara dunia memiliki kesamaan masalah di bidang
lingkungan hidup. Hal ini bermula di tahun 1970-an, ketika terjadinya pemanasan global (global
warming) yang mengakibatkan rumah kaca sehingga membuat banyak Negara kwalahan dalam
mengelola lingkungan hidup. Isyu lingkungan ini kemudian menjadi perbincangan global yang
berujung pada berundingnya Negara-negara di seluruh dunia untuk membahas solusi bersama
menyelematkan bumi. Pada tahun 1972 diselenggarakanya Konferensi Stokcholm yang kemudian
menjadi tonggak bersejarah kesadaran lingkungan masyarakat dunia. Lalu pada tahun 1887
diselenggarakan deklarasi Tokyo yang mempopulerkan terminology pembangunan berkelanjutan.
Nanti pada konferensi Rio De Janeiro pada 1992 itulah yang meletakkan fondasi dasar segmen
lingkungan dan pembangunan.

Belakangan, muncul solusi dari Negara-negara adidaya untuk mengatasi emisi karbon yang
terus mengalami peningkatan dengan cara mengantikan kendaraan konvensional dengan
kendaraan listrik. Kendaraan listrik dianggap lebih ramah lingkungan untuk itu dijadikan sebagai
mega proyek global untuk di pakai di seluruh dunia. Kendaraan listrik tersebut bahan dasarnya
adalah nikel, sehingga dalam hal produksi dan penggunaan kendaraan listrik dibutuhkan stok nikel
yang banyak. Negara penghasil nikel terbanyak di dunia adalah Indonesia, sebaran cadangan nikel
itu ada di Sulawesi dan Maluku Utara. Di Maluku utara titiknya ada di Halmahera tengah,
Halmahera Timur dan Halmahera Selatan.

Pada tahun 2019, Jokowi meeneken PERPRES No 50 tahun 2019 tentang percepatan
penggunaan kendaraan listrik di Indonesia. Per 2020 kemarin, Kompas menginformasikan
sebanyak 60 ribu kendaraan listrik yang sudah mengaspal di Indonesia. Artinya bahwa, Maluku
utara disiapkan untuk menjawab kebutuhan global dalam hal ini mega proyek kendaraan listrik
yang di insiasi oleh Negara-negara adidaya. Hal ini secara nyata telah di buktikan dengan
pengoperasian Harita Group di Halsel, IWIP di halteng dan nantinya CBL di Haltim. Dalam
kacamata ekologi, ini merupakan ancaman besar yang nantinya merusak tatanan ekologis Maluku
utara. Bayangkan, jika kendaraan listrik ini berhasil menggusur produksi kendaraan berbahan
bakar fosil, Dipakai oleh milyaran penduduk china, amerika dan 270 juta penduduk Indonesia,
bisa di pastikan Maluku utara akan hilang dari peta Indonesia dan bisa jadi hilang selamanya.

Pada posisi ini, HMI Cabang Ternate harusnya mengambil peran strategis dalam menjaga
kelangsungan hidup masyarakat dan lingkungan hidup di Maluku utara. Kekuatan HMI harus di
arahkan pada ruang-ruang terpencil yang saat ini sudah dieksploitasi oleh perusahan. Kita harusnya
menangkap semangat konstitusi, yang secara hirarki menempatkan “HMI Sebagai Organisasi
Perjuangan pasal 8 AD HMI dan menempatkan “HMI Sebagai Organisasi Perkaderan di pasal 9
AD HMI. Bahwa secara konstitusional, “Perjuangan” diletakkan pada posisi paling atas dari
“perkaderan.” Walaupun sama-sama dibahas dalam Anggaran Dasar tapi bagi penulis, ada
semangat dan keinginan konstitusi menginstruksikan kepada jagad HMI untuk benar-benar terjun
ditengah hiruk-pikuk sosial-ekologis yang terus mengalami keterancaman.

KESIMPULAN

Kehebatan suatu organisasi dimulai dari kesadaran batin seluruh anggotanya. Kesadaran
untuk mengembangkan organisasi merupakan energi pertama dan terpenting yang harus dimiliki
oleh seluruh anggota. Jadi sangatlah tidak mungkin berkembangnya sebuah organisasi jika
kesadaran anggotanya sangat rendah. Pembinaan internalisasi organisasi yang dilakukan
merupakan bagi anter depan yang menjadi perhatian penting. Pembinaan yang dilakuan
berdasarkan pada konstitusi organisasi yang bersangkutan. Anggaran Dasar, Anggaran Rumah
Tangga, Pedoman Pokok Organisasi, dan Pedoman Perkaderan HMI merupakan Sebagian kecil
panduan yang menjadi rambu acuan organisasi. Hanya dengan tetap berpegang teguh dan
mengimplementasikannya, roda organisasi dapat berjalan dengan baik, lancar, dan
berkesinambungan. Itulah yang semestinya dilaksanakan seluruh aktivis HMI.
Poin penting perkaderan dalam HMI adalah bagaimana seorang kader dapat melakukan
perkaderan yang dimulai dari diri sendiri. Bagaimana seorang mampu mengkader orang lain,
namun belum dapat mengatur dirinya sendiri. Dibutuhkan kesadaran individu agar internalisasi
nilai-nilai HMI dapat masuk meresap ke dalam jiwa tiap individu kader HMI. Dari hal inilah
sebenarnya proses perkaderan dimulai. Perkaderan dimulai dari pribadi individu, kemudian baru
menyebar ke orang lain dan masyarakat luas. Itulah tantangan-tantangan yang harus dihadapi
dalam proses perkaderan di HMI, khususnya di cabang baru. Hanya dengan meningkatkan kualitas
kader, maka HMI dapat mengambil peran positif dalam pembangunan nasional menuju tatanan
masyarakat yang diridhoi Allah SWT melalui pembentukan mahasiswa Islam yang berkarakter
lima insan cita.

Kehadiran dan eksistensi HMI, selain berstatus sebagai organisasi mahasiswa, HMI juga
berfungsi sebagai organisasi kader, juga berperan sebagai organisasi perjuangan yang dengan
kesungguhan berjuang untuk melakukan perubahan terhadap segala tatanan yang tidak sesuai lagi
dengan tuntutan kontemporer. Maka sepanjang keberadaan HMI, tugasnya ialah untuk melakukan
perombakan, perubahan, perbaikan, penyempurnaan terhadap segala sesuatu untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk melakukan tugas-tugas mulia dan luhur
itulah diperlukan kerja yang terorganisir, sistematis, tekun, kerja keras, sungguh-sungguh dengan
niat Ikhlas tanpa pamrih, dan Amanah karena Allah semata.
Memposisikan diri sebagai organisasi kader dengan mindset keislaman, keindonesiaan, dan
kemahasiswaan, maka formulasi perkaderan HMI harus diarahkan untuk tetap memperhatikan
dinamika, tuntutan, dan perkembangan zaman, sehingga mampu mencetak perkaderan yang
berkualitas. Sebagai Upaya menjaga regenerasi, HMI senantiasa berkomitmen menjaga dan
mewariskan nilai dan pemikirannya melalui perkaderan HMI yang menjadi harta termahal dalam
himpunan ini. Baik perkaderan formal, informal baik itu dalam bentuk aktifitas yang sifatnya
membangun dan pengembangan karakter luhurpun keintelektualannya, yang masih terjaga hingga
saat ini. Maka harus kita sadari, bahwa hal tersebut tidak pernah terlepas dari peran strategis
instruktur HMI sebagai komponen penting dalam pelaksanaan training.
Dalam rangka mewujudkan perkaderan HMI yang berkualitas dan ideal tersebut, maka
instruktur HMI perlu dijaga dan senantiasa di-support untuk menjaga warisan luhur dan harta HMI
yang paling mahal. Oleh karena itu, perlu disiapkannya instruktur-instruktur yang handal dan
berintegritas dalam melaksanakan dan mewarisi keilmuan tentang training HMI, sekaligus
mewariskan nilai-nilai pada perkaderan HMI.
Dunia ke-instruktur-an merupakan suatu profesi dengan posisi sentral yang mengambil
peranan penting di perkaderan HMI. Instruktur juga memiliki daya tarik untuk mengarahkan para
kader dalam melaksanakan hal-hal positif dan kebenaran. Selainitu, instruktur juga dikenal sebagai
guru besar di HMI yang senantiasa mencurahkan dan mengabdikan diri sepenuhnya semata-mata
untuk kemajuan HMI. Hal ini menunjukkan bahwa seorang instruktur memerankan diri sebagai
seseorang yang layak menjadi panutan dalam bertindak. Inilah mengapa para instruktur kerap kali
disebut-sebut sebagai guru, penceramah, ustadz, ulama, dan pewaris nabi di HMI. Karena apa yang
dilakukan para instruktur harus mencerminkan nilai-nilai yang berbudi luhur, serta harus mampu
memberikan uswah yang baik kepada setiap orang khususnya kader HMI itu sendiri dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam setiap perkaderan HMI, seorang instruktur diharapkan mampu mengelola sebaik
mungkin dengan meluangkan kesempatan untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada para
peserta kader. Karena keberhasilan sebuah latihan kader itu semua tergantung kinerja tim
instruktur. Dimana titik keberhasilan seorang intruktur tidak hanya terletak dari seberapa banyak
kader yang dihasilkan melainkan sejauh mana para kader dapat terlihat mengalami perubahan yang
signifikan dari mulai sebelum tmasuk HMI hingga setelah dinobatkan menjadi kader HMI.
Memang secara idealnya, kita mengharapkan kader berkualitas tetapi di satusisi tidak menafikan
kuantitas sebagai regenerasi kader HMI untuk masa yang akan datang. Maka untuk menjadikan
kader HMI sebagaimana tertuang dalam pasal 4 Anggaran Dasar HMI yang menjadi tujuan HMI
yakni “Terbinannya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan
bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT" menjadi
amanah dan tugas besar seorang instruktur yang harus mampu membantu mewujudkan cita-cita
mulia HMI dengan menjadikan para instruktur sebagai nahkoda.

Anda mungkin juga menyukai