ARKEOLOGI EKOLOGI
Oleh :
Nabilah Nur Yasinda (2010712022)
Nissy Yulia Putri (2010711002)
Qurata Aini (20107122006)
ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
A. Ekologi Pemukiman (Kota Sawahlunto dan Padang Lama)
Ekologi permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia serta mempunyai peran yang
sangat strategis dalam pembentukan kepribadian bangsa, maka perlu dibina dan
dikembangkan demi kelangsungan serta peningkatan kehidupan dan penghidupan
masyarakat. Pengelolaan lingkungan permukiman merupakan salah satu ekologi
permukiman. Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
ekologi permukiman, meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, seperti penghijauan,
pengelolaan limbah padat, IPAL, sampah, air bersih, dan sanitasi lingkungan. Hipotesis
penelitian diuji dengan menggunakan Chi-Square untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dan kualitas lingkungan permukiman. Data didapatkan melalui daftar pertanyaan,
pengamatan langsung dan wawancara mengenai kondisi fisik lingkungan permukiman.
Kota Sawahlunto dulunya merupakan kota tambang yang berkembang di sekitar kawasan
pertambangan batu bara dan berfungsi sebagai permukiman pekerja tambang, pemukiman
administrator dan pegawai perusahaan serta pusat pelayanan dan kegiatan kota.
Perkembangan Kota Sawahlunto mulai berubah sejak berakhirnya kegiatan tambang yang
dikelola oleh PTBA-UPO (Perusahaan Tambang Bukit Asam-Unit Produksi Ombilin) pada
penghujung tahun 2002. Kota Sawahlunto terus berupaya keras untuk tetap bertahan dari
perubahan-perubahan yang berdampak terhadap kehidupan sosial-budaya, kerusakan ekologi,
hambatan dan konflik ekonomi dengan melakukan berbagai terobosan-terobosan. Salah satu
terobosan yang dilakukan adalah dengan cara pengalihan visi Kota Sawahlunto pada 24
Desember 2002 dari ekonomi dan usaha tambang menjadi usaha pariwisata (dituangkan
kedalam Perda 6 tahun 2003). Dampak perubahan yang terjadi di Kota Sawahlunto juga
terasa sangat kental dengan adanya proses penataan fisik yang cukup signifikan sejak awal
tahun 2000an, salah satunya dalam kegiatan pelestarian lingkungan tua dan artefak
bersejarahnya. Proses penataan lingkungan berbasis pelestarian/konservasi tersebut
merupakan bagian dari upaya mendaur ulang (revitalisasi) Kota Sawahlunto yang hingga saat
ini memiliki sisa-sisa peninggalan kegiatan tambang. Salah satu fokus rencana
pengembangannya adalah pada kawasan kota Lama Sawahlunto, mengingat daerah kota lama
tersebut memiliki modal/potensi yang dinilai cukup kuat untuk meningkatkan daya tarik dan
daya pikat pengunjung. Meski kini mulai terdesak oleh kegiatan penataan yang dilakukan
selama ini, Kota Sawalunto masih memiliki situs pertambangan, instalasi pemrosesan dan
pengolahan batubara, sarana dan stasiun pengangkutan dan bangunan peninggalan zaman
kolonial, serta fasilitas kelengkapan kegiatan pertambangan lainnya, misalnya gedung
societeit, kantor PTBA-UPO, permukiman pekerja tambang, Gudang Ransoem, dll.
Pemanfaatan artefak tersebut dijadikan bagian dari dari strategi pengembangan kegiatan
wisata sejarah dan wisata budaya. Revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota adalah
proses yang mencakup perbaikan aspek fisik, aspek sosial/budaya serta aspek ekonomi dari
bangunan maupun ruang kota (urban space). Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka
pendek yang dimaksudkan untuk menciptakankeadaan yang kondusif untuk mendorong
terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Terkait dengan upaya revitalisasi.
Kawasan Kota Lama, berikut kegiatan-kegiatan penataan fisik yang dilakukan untuk
mendorong menumbuhkan pengembangan ekonomi kawasan dan memperkuat karakter
kawasan kota lama.
Kota Sawahlunto memiliki artefak bangunan tua/bersejarah, tidak hanya berupa bangunan
kantor dan instalasi pertambangan, tetapi juga berupa kelompok bangunan serta tapak dengan
nilai signifikansi kultural yang tinggi. Upaya pelestarian selama ini masih dalam lingkup
terbatas, namun telah didukung oleh mekanisme insentif berupa penyediaan sejumlah
bantuan dana terbatas untuk perbaikan fisik bangunan. Upaya ini masih terbatas pada
perbaikan fasad bangunan (surface rehabilitation) tetapi kedepannya perlu dipikirkan
bagaimana mekanisme tersebut bisa mencakup, perlindungan menyeluruh terhadap bangunan
yang dinilai bermakna. Berkaitan dengan hal ini perlu diperhatikan juga agar kegiatan
perbaikan fisik tidak mengurangi signifikansi bangunan yang dilestarikan. Untuk itu
penelusuran data bangunan menjadi hal mutlak dilakukan yang sebelum perbaikan fisik
bangunan bersejarah dimulai. Hingga kini telah terdapat upaya signifikan dalam hal
pelestarian/pemugaran bangunan bersejarah, seperti yang terjadi pada bangunan Societeit
(Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto) dan museum Goedang Ransoem. Termasuk juga isu
dan aspek pengendalian yang belum tergarap dengan baik pada rehabilitasi koridor komersial
di Jl. Achmad Yani. Bila dikaitkan dengan rencana Pemerintah Kota Sawahlunto tentang
kebijakan pengembangan Kota Sawahlunto sebagai Kota Tambang Berbudaya, dan dengan
pengembangan Wisata Budaya, memang pelestarian bangunan bersejarah perlu lebih eksplisit
terintegrasi dengan kebijakan pariwisata makro, misalnya penentuan destinasi perjalanan
wisata, penyediaan fasilitas, penginapan (homestay), restoran, fasilitas hiburan dll.
Melihat perkembangan kota pada awal abad 20, aktivitas Pemerintah Kota Pradja (Padang)
pada tahun 1906 terfokus hanya pada satu ruangan yaitu di Kantor Asisten Residen
(Kawasan Muaro Padang). Kapasitas ruangan tersebut tidak memadai sedangkan kegiatan
para abdi masyarakat pada saat itu sangat banyak sehingga timbul keinginan para anggota
dewan untuk membangun suatu gedung Balaikota (gemeente) yang lebih representatif.
Pembahasan para anggota dewan perwakilan rakyat tentang pembangunan gedung balaikota
terus bergulir. Kesepakatan untuk membangun gedung balaikota akhirnya muncul pada tahun
1910. Kebutuhan untuk membuat sebuah kantor baru sangat dimungkin karena Padang
menjadi pusat perdagangan dan industri Belanda. Kebijakan pemerintan Belanda waktu itu
mengarahkan perkembangan kota ke arah utara Muaro sekitar jalan Moh. Yamin dan Jalan
Sudirman (Belantung). Namun setelah dilakukan penghitungan anggaran biaya maka
pembangunan dapat dilaksanakan dengan anggaran sekitar 16.000 golden. Tingginya
anggaran biaya bangunan gedung balaikota yang tidak tertampung pada alokasi keuangan
Pemerintah Kota Pradja membuat rencana pembangunan tersebut tertunda. Pada tahun 1917,
keinginan untuk membangun gedung balaikota kembali muncul. Pemerintah Kota Praja
berencana membeli sebidang tanah untuk Kantor Balaikota dan Pasar Raya, namun rencana
ini kembali gagal karena keterbatasan dana anggaran.
Tahun 1928, Pemerintah Kota Praja pindah dari kantor Asisten Residen karena kondisi
gedung yang sudah tidak layak pakai. Untuk sementara Pemerintah Kota Praja menyewa
sebuah kantor di Sungai Bongweg atau yang saat ini berlokasi di sekitar jalan Imam Bonjol
disamping Masjid Nurul Iman. Pertengahan tahun 1928 Kota Padang mengalami depresi
yang berimbas kepada turunnya harga tanah. Kesempatan ini dijadikan sebagai motor
penggerak untuk merealisasikan pembangunan gedung balai kota. akhirnya kesepakatan
terwujud dan kawasan untuk pembangunan gedung sudah siap untuk dikerjakan. agar kualitas
bangunan cukup representatif maka pada saat itu para anggota dewan mengundang T.H.
Karsten seorang ahli tata kota untuk perencanaan gedung tersebut. Pada tahun 1936, Gedung
Balaikota atau Gemeete selesai dibangun dan siap untuk ditempati. Semula wajah kota
Padang terletak disepanjang sungai Batang Arau. Dengan kebutuhan dan pengembangan kota
maka perkembangan kota diarahkan ke Jalan Belantung (Sudirman) dan Jl, Mohammad
Yamin sekarang .
Pada dekade 1980 kita bisa melihat sebuah tata perkotaan yang apik di Kota Padang.
Pemerintah Belanda membuat kawasan Balai Kota Padang ini dengan sarana dan prasana
kota. Balai kota sebagai sentral kota dengan didukung oleh Pasar, Kebun Binatang dan
lapangan sepakbola (alun-alun). Masyarakat Padang pada masa itu menjadikan Balaikota
sebagai tempat pertemuan atau sarana rekreasi. Sarana rekreasi tidak sebanyak sekarang tapi
dengan kita ke kawasan Balaikota. Masyarakat bisa menikmati kebun binatang, pasar dan
alun-alun sebagai tempat bersilaturahmi.
Arsitektur kolonial memberikan bentuk bangunan yang megah dan harmonisasi dengan
alam karena bahan dasar dan ornamen yang ada berbentuk arsitektur klasik dengan
mengangkat arsitektur klasik eropa zaman romawi dan yunani. Ornamen-ornamen bangunan
mereka gali dari ciri-ciri bangunan zaman romawi dan yunani, seperti mengutamakan pilar-
pilar Ionic. Doric dan Tuscan. Gedung Balaikota berdinding permanen dengan lantai ubin dan
genteng. Secara keseluruhan memperlihatkan ciri bagunan arsitektur kolonial dengan gaya
art-deco. Ini ditandai dengan bentuk ventilasi, jendela, dan dinding yang memiliki ornamen.
Di sudut bangunan yang berbentuk siku terdapat sebuah menara segi empat yang di ketiga
sisinya yang terlihat terdapat masing-masing sebuah jam dinding.
Pada sudut barat daya terdapat sebuah bangunan menara yang pada ketiga sisinya terdapat
jam dinding. Jendela pada dinding lantai atas berderet secara vertikal sehingga memberikan
kesan bangunan tinggi. Pintu masuk berada di sayap selatan bangunan. Bangunan ini terdiri
dari dua lantai dan dilengkapi dengan jendela berventilasi di sekeliling-nya. Pada dasar lantai
bawah sisi selatan di buat menjorok kedepan sehingga membagi bangunan menjadi dua
bagian dengan pintu menuju ke teras lantai atas. Secara keseluruhan bangunan ini belum
mengalami perombakan yang mengubah bentuk dasar dan arsitektur bangunan. Perombakan
hanya di bagian dalam untuk menambah jumlah ruangan.
2. China Town
Candi Muara Takus ditemukan di hutan tropis yang dikelilingi oleh perbukitan yang hijau.
Selain hutan tropis, candi ini juga dikelilingi oleh kebun sawit. Situs Candi Muara Takus
merupakan sebuah situs candi Buddha yang terletak di di desa Muara Takus, Disktrik XIII
Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini tidak berdekatan kurang lebih 135
kilometer dari Kota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok mempunyai ukuran 74 x 74 meter, yang
terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok
tanah mempunyai ukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir
Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang
dinamakan dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka. Candi ini
dibuat dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Berbeda dengan candi yang di Jawa, yang
diciptakan dari batu andesit yang diambil dari pegunungan. Bahan pembuat Candi Muara
Takus, khususnya tanah liat, diambil dari sebuah desa yang bernama Pongkai, terletak kurang
lebih 6 km di sebelah hilir situs Candi Muara Takus. Nama Pongkai probabilitas bermula dari
Bahasa Tionghoa, Pong berati lubang dan Kai gunanya tanah, sehingga mampu bermaksud
lubang tanah, yang disebabkan oleh penggalian dalam pembuatan Candi Muara Takus
tersebut. Bekas lubang galian itu kini sudah tenggelam oleh genangan waduk PLTA Koto
Panjang. Namun dalam Bahasa Siam, kata Pongkai ini mirip dengan Pangkali yang mampu
gunanya sungai, dan situs candi ini memang terletak pada tepian sungai.
Ciri yang menunjukkan bangunan suci tersebut adalah bangunan agama Budha yaitu stupa.
Muara Takus memiliki stupa yang berdiri sendiri atau berkelompok tapi masing-masing
sebagai bangunan lengkap. Arsitektur bangunan stupa Candi Muara Takus sendiri sangatlah
unik karena tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia. Wujud candi ini mempunyai
kesamaan dengan stupa Budha di Myanmar, stupa di Vietnam, Sri Lanka atau stupa kuno di
India pada periode Ashoka, yaitu stupa yang mempunyai ornamen sebuah roda dan kepala
singa, hampir sama dengan arca yang ditemukan di kompleks Candi Muara Takus.
Kondisi geografis wilayah Sumatera yang mempunyai arus sungai yang agung sangat
mendukung pemikiran dari kebudayaan India tersebut. Arus sungai di Sumatera pada saat
lampau adalah jalur transportasi bagi perdagangan. Pada awal mulanya jumlah pedagang
yang datang sedikit. Namun lama kelamaan karena menunggu waktu yang tepat bagi berlayar
karenanya mereka bermukim di sekitar kawasan tersebut. Karenanya diperlukanlah tempat
peribadatan bagi umat beragama, dan didirikanlah bangunan suci. Karena tidak mungkin
berdirinya suatu bangunan sakral atau candi tanpa didukung masyarakat pendirinya demi
kelangsungan hidup bangunan suci tersebut. Karenanya seirama dengan tumbuh dan pesatnya
perdagangan di suatu tempat biasanya akan muncul pula bangunan-bangunan suci atau candi
bagi digunakan sebagai tempat menjalankan upacara ritual oleh para pelaku ekonomi tersebut
yang telah mengenal magis terhadap bangunan candi, bertindak dalam fungsi perkembangan
sosial/ekonomi dan perdagangan.Faktor kekuasaan juga berpengaruh dalam pembangunan
suatu candi. Suatu kerajaan yang berhasil menaklukkan suatu wilayah, tentunya terdapat
tinggalan yang mampu menggambarkan ciri khas suatu kerajaan tersebut. Tinggalan tersebut
mampu berupa prasasti maupun candi.
Di komplek Candi Muaro Jambi terdapat berbagai jenis pohon hutan. Kompleks Candi
Muaro Jambi, terdiri dari 8 lokasi, yaitu Candi Koto Mahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong
Satu,Candi Gedong Dua, Candi Candi Gumpung, Candi Tinggi Telago Rajo, Candi Kembar
Batu dan Candi Astano. Di Candi Koto Mahligai terdapat 30 jenis pohon dengan areal
resapan air dan 17 suku pepohonan yang berada di dalam komplek Candi.
Situs Purbakala Kompleks Percandian Muaro Jambi merupakan sebuah kompleks
percandian agama Hindu-Buddha terluas di Indonesia yang vprobabilitas luhur merupakan
peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Kompleks percandian ini terletak di
Kecamatan Muaro Sebo, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Indonesia, tepatnya di tepi Batang
Hari, semakin kurang 26 kilometer arah timur Kota Jambi. Candi tersebut diperkirakakn
berasal dari zaman ke-11 M. Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi yang terbesar
dan yang paling terawat di pulau Sumatera. Kompleks percandian Muaro Jambi pertama kali
dilaporkan pada tahun 1824 oleh seorang letnan Inggris bernama S.C. Crooke yang
memainkan pemetaan daerah arus sungai bagi keperluan militer. Baru tahun 1975,
pemerintah Indonesia mulai memainkan pemugaran yang serius yang dipimpin R. Soekmono.
Berdasarkan aksara Jawa Kuno[butuh rujukan] pada beberapa lempeng yang ditemukan,
pakar epigrafi Boechari menyimpulkan peninggalan itu berkisar dari zaman ke-9-12 Masehi.
Di situs ini baru sembilan yang didirikan yang sudah dipugar, dan kesemuanya merupakan
bercorak Buddhisme. Kesembilan candi tersebut merupakan Candi Kotomahligai, Kedaton,
Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi
Astano.
Kompleks percandian Muaro Jambi terletak pada tanggul dunia kuno Sungai Batanghari.
Situs ini mempunyai luas 12 km persegi, panjang bertambah dari 7 kilometer serta luas
sebesar 260 hektar yang membentang searah dengan jalur sungai. Situs ini mempunyai
pokoknya 61 candi yang beberapa luhur sedang berupa gundukan tanah (menapo) yang
belum dikupas (diokupasi). Dalam kompleks percandian ini terdapat pula beberapa yang
didirikan berpengaruh agama Hindu. Di dalam kompleks tersebut tidak hanya terdapat candi
tetapi juga ditemukan parit atau kanal kuno hasil pekerjaan manusia, kolam tempat
penampungan cairan serta gundukan tanah yang di dalamnya terdapat susunan bata kuno.
Dalam kompleks tersebut minimal terdapat 85 buah menapo yang ketika ini sedang dimiliki
oleh penduduk setempat. Selain tinggalan yang berupa yang didirikan, dalam kompleks
tersebut juga ditemukan arca prajnaparamita, dwarapala, gajahsimha, umpak batu,
lumpang/lesung batu. Gong perunggu dengan tulisan Cina, mantra Buddhis yang ditulis pada
kertas emas, keramik asing, tembikar, belanga luhur dari perunggu, mata uang Cina, manik-
manik, bata-bata bersurat, bergambar dan bertanda, fragmen pecahan arca batu, batu luhur
serta fragmen besi dan perunggu. Selain candi pada kompleks tersebut juga ditemukan
gundukan tanah (gunung kecil) yang juga hasil pekerjaan manusia. Oleh penduduk setempat
gunung kecil tersebut dikata sebagai Bukit Sengalo atau Candi Bukit Perak.
Kapan awalnya sebuah kota, seperti Padang sebagai kawasan yang menjadi titik kumpul
berbagai aktivitas kehidupan, yang menjadi kawasan tempat bertemunya berbagai etnis
dengan latar budaya, bahasa, dan agamanya; pada umumnya banyak ditemukan melalui
tulisan para ahli sejarah sejak berkuasanya VOC (1602-1799). Kira-kira abad ke-15 pada
zaman Kerajaan Minangkabau masa Adityawarman, saat itu Padang adalah pemukiman
nelayan. Dalam tambo Minangkabau Padang disebut sebagai daerah rantau. Orang yang
pertama kali datang berasal Kubung XIII Solok oleh Luhak Nan Tigo (Agam, Tanah Datar
dan Limo Puluh Kota). Namun ketika mereka sampai telah ada juga penduduk asli yang tidak
beberapa orang, yang mereka sebut dengan orang-orang Rupit dan Tirau. Namun dalam abad
yang sama, Kerajaan Aceh juga mulai mengembangkan wilayahnya terutama untuk perluasan
daerah perniagaan.
Para pedagang Aceh secara bertahap berhasil menaklukan Tiku, Pariaman dan Inderapura.
Padang menjadi daerah persinggahan sebelum bertolak ke Aceh. Padang sebelum abad ke-17
tidak begitu penting bagi Kerajaan Minangkabau yang hanya menganggap sebagai daerah
rantau, bagi Kerajaan Aceh karena lebih terkonsentrasi di Pariaman dengan menempatkan
seorang panglima yang diangkat oleh raja Aceh.
Rantau pesisir seperti Padang saat itu dianggap tidak begitu penting sebagai rute
perdagangan Minangkabau yang mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar yang
berasal dari daerah-daerah sekitar Gunung Merapi. Daerah ini telah lebih dulu menjadi pusat
pemukiman yaitu tempat beradanya Kerajaan Minangkabau. Diwaktu yang sama, Malaka
sebagai daerah pelabuhan karena selatnya yang luas pada tahun 1511 sudah tidak aman lagi
karena masuknya bangsa Protugis, disusul oleh Spanyol kemudian Inggris dan Belanda yang
ikut meramaikan Selat Malaka. Peristiwa peperangan dan pembajakan yang tiada hentinya
menyebabkan arus perdagangan menjadi tidak aman bagi Kerajaan Aceh maupun Kerajaan
Malaka sendiri.
Kawasan pesisir dipantai barat Sumatera kemudian menjadi pilihan terbaik dan teraman
karena para bangsa asing itu belum mengetahui persis kalau masih adanya daerah disamping
Malaka ini. Dan Malaka pun akhirnya mengambil alih kekuasaan yang sebelumnya dikuasai
oleh Kerajaan Aceh. Akibat pengalihan ini muara-muara disepanjang pantai barat tumbuh
menjadi pelabuhan dagang. Pelabuhan Tiku, daerah Pariaman, dan Pelabuhan Indrapura lebih
dulu berkembang karena dekat dengan sentral komoditi, yaitu lada dibagian utara dan emas di
selatan. Pada awalnya pelabuhan itu berada dibawah pengawasan dan kekuasan raja muda
yang diangkat Adityawarman di Pagaruyung. Namun karena pendekatan dagang orang Aceh
itu sejalan dengan mensiarkan ajaran agama Islam, maka secara berangsur raja-raja muda itu
mulai berpihak kepada Kerajaan Aceh dan melepaskan diri dari Kerajaan Pagaruyung. Pada
masa Aceh ini Padang dibagi atas tiga daerah yaitu Padang, Pauh dan Kotatengah. Pada tahun
1616, Belanda dan Inggeris juga sudah mulai mendarat di muara-muara pelabuhan tersebut,
kondisi ini mengharuskan Kerajaan Aceh untuk menempatkan wakilnya disemua pelabuhan
akan tetapi di Padang tidak dengan penguasaan penuh.
Pada tanggal 20 Mei 1784, untuk pertama kalinya Belanda menetapkan Kota Padang
sebagai pusat kedudukannya dan pusat perdagangan di Sumatera Barat. tahun 1793 kota ini
sempat dijarah dan dikuasai oleh seorang bajak laut dari Perancis yang bermarkas di
Mauritius bernama François Thomas Le Même, yang keberhasilannya diapresiasi oleh
pemerintah Perancis waktu itu dengan memberikannya penghargaan. Kemudian pada tahun
1795, Kota Padang kembali diambil alih oleh Inggris. Namun, setelah peperangan era
Napoleon, pada tahun 1819 Belanda mengklaim kembali kawasan ini yang kemudian
dikukuhkan melalui Traktat London, yang ditandatangani pada 17 Maret 1824. Pada tahun
1837, pemerintah Hindia-Belanda menjadikan Padang sebagai pusat pemerintahan wilayah
Pesisir Barat Sumatera (Sumatra's Westkust) yang wilayahnya meliputi Sumatera Barat dan
Tapanuli sekarang.
Sampai akhir abad ke-18 Kota Padang hanya sekitar Batang Arau, Kampung Cina,
Kampung Keling, Pasar Hilir, Pasar Mudik, Pulau Aia, Ranah Binuang, Alang Lawas dan
Seberang Padang. Ketika pemerintah Belanda melalui de Stuers (1788-1861) memimpin
Padang, kota ini diperluas ke utara, yaitu ke Nanggalo dan Ulak Karang ke selatan sampai ke
Teluk Bayur, ke timur sampai ke Lubuk Begalung, Marapalam dan Andalas. Pada masa itu
terjadi peralihan dimana wilayah dikepala oleh penghulu kemudian diganti dengan sistem
pemerintahan Wijk atau kampung. Penghulu wijk bukan lagi kepala pemerintahan atas kaum
atau suku, tetapi atas nama kampung atau wijk. Masing-masing wijk yang tercatat adalah :
Ketujuh distrik itu disebut juga Luhak yang dikepala oleh seorang Asisten Residen, tapi
dalam keseharian dikenal juga dengan nama Tuanku Luak. Disamping ketujuh distrik
tersebut, Kota Padang juga dibedakan atas dua bagian yaitu; Padang Kota, didalamnya
terdapat Distrik Tanah Tinggi, Batang Arau, dan Binuang dan, Padang Luar Kota yaitu
Distrik Koto Tengah, Pauh IX, Sungkai dan Pauh V.
Menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang pada 17 Maret 1942, Kota Padang telah
ditinggalkan begitu saja oleh Belanda karena kepanikan mereka. Pada saat bersamaan
Soekarno sempat tertahan di kota ini karena pihak Belanda waktu itu ingin membawanya
turut serta melarikan diri ke Australia. Kemudian panglima Angkatan Darat Jepang untuk
Sumatera menemuinya untuk merundingkan nasib Indonesia selanjutnya. Setelah Jepang
dapat mengendalikan situasi, kota ini kemudian dijadikan sebagai kota administratif untuk
urusan pembangunan dan pekerjaan umum.
Pulau Cingkuak berada di Kota Painan, Kabupaten Pesisir Selatan berjarak sekitar 78 Km
dari Padang. Pulau ini terhubung dengan jembatan Pantai Carocok, Painan. Jika dilihat dari
kejauhan, pulau ini terlihat seperti kapal perang, pasir putihnya kontras dengan warna biru
laut disekelilingnya. Pulai ini juga berisi batu karang dan situs arkeologi, yaitu Benteng
Portugis. Sejarah mencatat, bahwa Pulau Cingkuak adalah tempat berlabuh pertama bangsa
Portugis di Pantai Barat Sumatera. Pulau Cingkuak juga pernah menjadi lokasi perundingan
Raja Minangkabau dengan VOC.
Nama Pulau Cingkuk mulai tersebut sejak Painansch Traktaat pada tahun 1663. VOC
mendirikan loji di Pulau Cingkuk tahun 1669 sebagai Gudang. Di sini Thomas Van Kempen,
kepala dari Pantai Barat Sumatera tinggal. Dia sebagai Panglima yang mengendalikan Padang
dan pejabat untuk pertukaran lada. Lada diekspor dari Poulo Chinco dalam penamaan
Portugis ke India oleh VOC. Pulau Cingkuk juga rumah bagi hamba-hamba dan penjaga
rumah tentara bahkan juga terdapat kebun-kebun anggur. Pantai Barat Sumatera merupakan
pemasok utama lada. Awalnya VOC didirikan sebuah pos perdagangan, tetapi kedatangan
bangsa Eropa menyebabkan ketegangan dengan penduduk. Untuk mengantisipasi ketegangan
tersebut dibangun benteng pertahanan di bukit batu di tengah-tengah pulau dikelilingi oleh
Tiang kayu.
Pada tahun 1679 gudang batu dibangun dari batu dinding sepanjang 5 meter dan tebal 75
cm. Ada dua gerbang: di utara dan di sisi selatan, pulau ini sangat tidak sehat karena
menyebabkan kematian yang tinggi antara penduduk. Pulau Cingkuk benar-benar harus
menjadi cabang utama VOC di Pantai Barat Sumatera, Namun pada tahun 1818 dibangun
kembali pos perdagangan. Peninggalan-peninggalan arkeologi yang terdapat di Pulau
Cingkuk berupa sisa-sisa benteng yang yang tidak utuh hanya berupa tembok pagar sebelah
timur, pintu utama di bagian barat, dan dermaga di sebelah timur. Selain itu juga terdapat
Kherkof makam dari bahan batu marmer bertuliskan bahasa Portugis dan sebuah lubang
(sumuran).
Sebelah selatan sepanjang 37,50 meter dilengkapi pintu berukuran 2,90 meter (berjarak
9,50 meter dari ujung selatan tembok, disebut Gerbang I). Tebal tembok 0,90 meter dengan
tinggi 3,60 meter. Pada jarak 7,30 meter dari ujung utara tembok itu ada tembok lain ke arah
barat sepanjang 6,5 meter, termasuk pintu 1,50 meter (Gerbang II). Permukaan tanah di
bagian barat (dalam) tembok lebih tinggi sekitar 35 cm dibanding permukaan tanah di bagian
timur (luar) Gerbang I berhiaskan pelipit yang menegaskan keberadaannya sebagai gerbang.
Selanjutnya di bagian utara pulau. Berjarak 35 meter disebelah barat Gerbang I adalah
Gerbang III, pintu masuk ke areal lain Benteng Portugis Pulau Cingkuk. Strukturnya berupa
susunan bata berspesi. Batanya putih kecoklatan dan merah. Bata putih untuk bagian kaki
sampai badan gerbang, sedangkan bata merah pada bagian kaki, kepala, dan bagian pelipit.
Gerbang setinggi 3,45 meter itu berpuncak undakan persegi panjang berambang lengkung
setinggi 2,75 meter. Kedua sisi bagian akhir lengkungan dibatasi pelipit. Lebar gerbang 1,60
meter. Ini pintu masuk ke bagian pertapakan berisi reruntuhan bangunan yang dibatasi
tembok keliling dan Dinding/dinding penahan tanah. Tembok batu dan bata berspesi
membentang barattimur sepanjang 23,50 meter, menempel di sisi selatan Gerbang III. Di
ujung barat tembok membentang Dinding setinggi 2,50 meter hingga 3,30 meter ke arah
utara. Dinding itu adalah susunan/tumpukan batu alam berukuran besar (boulder), yang
berbelok ke arah utara sepanjang 15 meter. Keseluruhan Dinding dan tembok yang berawal
pada Gerbang III lebih berperan sebagai sarana mendapatkan permukaan datar yang lebih
tinggi dari lahan sekitarnya, terlebih bila dibandingkan dengan bagian utara dan timurnya.
Dataran itu membentuk denah dua empat persegi panjang yang digabungkan. Denah
pertama di selatan berukuran 30 meter x 23,50 meter, dan denah kedua di utara berukuran 15
meter x 12,50 meter. Di bagian lahan yang berdenah empat persegi panjang di utara dijumpai
dua lapis Dinding lain. Masingmasing Dinding yang berukuran lebih rendah dari Dinding
utama menempati bagian permukaan tanah yang lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Internet:
Dokumen Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP)
Sawahlunto
Center for Scientific Publication (its.ac.id)
https://p2k.unkris.ac.id
Situs Muarojambi Sedang Menyimpan Puluhan Candi. MediaIndonesia. Edisi daring 05-05-
2009.
"Batanghari dan Muarajambi", diakses 9 November 2006
"Pameran Situs Kuno Muarajambi", Koran Tempo, 7 November 2006
"Muarajambi Temple Compound" - UNESCO, Daftar tentatif warisan norma budaya
UNESCO.
Situs web resmi Kota Sawahlunto :https://portal.sawahluntokota.go.id/sejarah-kota-
sawahlunto/
Situs web resmi Kota Padang : https://padang.go.id/sejarah-kota-padang
cagar budaya.kemebdikbud.id
Pulau Cingkuk, Sisa Kejayaan Perdagangan Pantai Barat Sumatera - Balai Pelestarian Cagar
Budaya Sumatera Barat (kemdikbud.go.id)
Pulau Cingkuak, Snorkeling dan Wisata Sejarah ke Benteng Portugis (padangkita.com)
Jurnal Online :
https://www.researchgate.net/publication/
339173999_Exploration_of_Tree_Species_in_Muaro_Jambi_Temple_Complex_EKSPLOR
ASI_JENIS_POHON_DI_KOMPLEKS_CANDI_MUARO_JAMBI
Sumber Gambar:
https://www.ebay.com
koleksitempodoeloe.blogspot.com
Home - Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya (kemdikbud.go.id)
Direktorat Jenderal Kebudayaan - Ditjen Kebudayaan (kemdikbud.go.id)