Basic
Sebagai pengantar pembahasan Harga Pokok Penjualan (Cost Of Goods Sold) kita akan mulai
dasar-dasarnya terlebih dahulu, gambaran umum mengenai Harga Pokok Penjualan. Dengan
pengetahuan dasar ini, saya berharap anda bisa memperoleh fundament yang cukup untuk melangkah
ke pembahasan dan kasus yang lebih berkembang. Sehingga di akhir serie nanti anda bisa mendapatkan
gambaran yang utuh dan penuh mengenai Harga Pokok Penjualan dan Harga Pokok Produksi.
Sehingga tidak akan pernah bingung lagi walau dibolak balik bagaimanapun juga kasus-nya, berhadapan
dengan jenis usaha apapun, dengan elemen cost yang bermacam-macam, anda akan tetap bisa
memperlakukannya dengan benar dan akurat.
Pada dasarnya Harga Pokok Penjualan (istilah yang dipakai IAI) adalah segala cost yang timbul dalam
rangka membuat suatu produk menjadi siap untuk dijual. Atau dengan kalimat lain, Harga Pokok
penjualan adalah cost yang terlibat dalam proses pembuatan barang atau yang bisa dihubungkan
langsung dengan proses yang membawa barang dagangan siap untuk dijual.
Dengan difinisi di atas, dapat kita peroleh struktur dasar harga pokok penjualan. Harga pokok Penjualan
pada dasarnya terdiri dari dari 3 (tiga) element besar saja:
Persediaan
Untuk peruhaan dagang, elemen persediaan hanya terdiri dari “Persediaan Barang Jadi” saja, atau
yang dikenal dengan “Inventory”.
Elemen “Persediaan” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah besarnya “Persediaan Terjual”. Dan untuk
mengetahui nilai persediaan yang terjual maka perlu mengetahui unsur-unsur dibawah ini terlebih
dahulu :
Persediaan Awal:
Adalah besarnya (nilai) persediaan yang sudah kita miliki sebelum proses di periode ini dimulai. Artinya,
persediaan tersebut telah ada sebelum aktivitas periode ini dimulai.
Pembeliaan:
Jangan lupa yang kita akui adalah “cost yang terjadi”, sehingga besarnya nilai pembelian yang kita akui
hanya sebesar cost yang timbul saja, yang diwujudkan dengan “Pengeluaran Kas (cash disbursement)”
atau pengakuan “Utang Dagang”. Sehingga nilai pembelian yang kita akui adalah sebesar nilai bersihnya
(net purchase) saja. Hal ini perlu ditegaskan karena dalam praktek bisnis, seringkali sebagai perusahaan
sebagai pembeli, baik itu pembelian barang jadi (untuk perusahaan dagang) maupun pembelian bahan
baku (perusahaan manufaktur) memperoleh potongan harga (discount), bisa juga terjadi pengembalian
barang kepada pihak penjual (Return). Untuk memperoleh nilai net purchase, maka kita perlu struktur
menjadi:
[-]. Gross Purchase (biasa ditulis “Purchase” saja)
[-]. Discount
[-]. Return
[-]. Net Purchase
Persediaan Akhir:
Adalah besarnya persediaan yang kita bukukan sebagai “persediaan” diakhir periode.
Direct Labor Cost adalah upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja yang langsung terlibat pada proses
pengolahan barang dagangan. Dikatakan Direct Labor Cost hanya jika besarnya upah yang dibayarkan
tergantung pada jumlah output product yang dihasilkan.
Yang termasuk ke dalam kelompok tenaga kerja langsung adalah tenaga kerja yang dibayar
berdasarkan: “Upah Satuan” atau “Upah Harian/Jam”.
Dalam hal tenaga kerja dibayar dengan upah satuan, tentu dengan jelas bisa kita lihat bahwa upah
tenaga kerja tersebut dapat dibebankan langsung pada product yang dihasilkan.
Jika upah yang dibayarkan berdasarkan jumlah jam kerja, maka biasanya perusahaan telah menentukan
jumlah (satuan) yang harus dihasilkan untuk tengang waktu tertentu (per jam atau perhari). Sehingga
pada akhir perhitungan, dapat diketahui berapa direct labor cost yang akan di bebankan untuk 1 satu unit
product, dan total direct labor cost untuk akumulasi product yang dihasilkan.
Pada perusahaan pedagang kecil (small wholesaler atau retailer), direct labor cost sulit untuk bisa di
alokasikan dengan semestinya. Sehingga Direct Labor Cost hanya bisa kita temukan pada perusahaan-
perusahaan manufaktur atau pertambangan.
Overhead Cost
Adalah cost yang timbul selain dari ketiga kedua elemen tersebut diatas, yang biasanya disebut dengan
indirect cost, jenisnya tentu saja bervariasi, tergantung jenis usaha, sekala usaha dan jenis sumberdaya
yang dipakai oleh perusahaan. Yang jamak kita temui pada usaha manufaktur atau dagang adalah :
Inventory
Inventory (yang tercantum di dalam neraca pada periode sebelumnya), akan menjadi persediaan awal
pada periode sekarang (current period). Jika persediaan tersebut terjual pada periode ini, maka
persediaan tersebut di biayakan (expensed) dan diakui sebagai Harga Pokok Penjualan.
Proses pembebanan inventory dilakukan pada saat barang terjual (diserahkan) dengan jurnal:
Catatan: untuk membebankan inventory terjual ke dalam harga pokok penjualan, jurnal di atas:
Sisi debit akan menambah harga pokok penjualan pada laporan laba rugi
Sisi kredit akan mengurangi nilai inventory pada neraca di akhir periode nanti
Jika pada periode yang sama terjadi penambahan inventory akibat pembelian barang dagangan, maka
pembelian tersebut akan menambah nilai persediaan barang dagangan (inventory), atas pembelian
tersebut di jurnal dengan:
[Debit]. Inventory
[Credit]. Cash (atau Utang Dagang)
Selanjutnya jika sebagaian dari barang tersebut laku terjual maka bagian yang laku terjual tersebut akan
dibebankan ke dalam harga pokok penjualan seperti pada alur pertama tadi, dengan jurnal yang sama
(tentu saja dengan nilai yang sesuai)
Untuk perusahaan manufaktur, disamping persediaan barang jadi, juga terdapat persediaan barang
dalam proses (work in process) dan persediaan bahan baku.
Persediaan barang dalam proses & bahan baku pada neraca periode sebelumnya akan menjadi
persediaan awal pada periode berjalan. Jika terpakai dalam proses produksi periode berjalan maka
persediaan yang terpakai dibebankan ke dalam harga pokok penjualan dengan jurnal :
[Debit]. Inventory
[Credit]. Persediaan Barang Dalam Proses
Jika terjadi pembelian bahan baku, maka nilai pembelian tersebut akan menambah persediaan bahan
baku pada neraca, atas pembelian bahan baku tersebut di jurnal:
Selanjutnya jika sebagian dari bahan baku yang dibeli tersebut dipakai, maka dilakukan penjurnalan
seperti saat pembebanan persediaan bahan baku ke dalam Persediaan Work In Process di atas.
Direct Labor Cost aiakumulasikan dengan Raw Material Usage dan Work In Process Usage akan
menghasilkan HARGA POKOK PRODUKSI, selanjutnya Harga Pokok Produksi dan Inventory akan
membentuk Harga Pokok Penjualan.
Jika kita buatkan formulasi dasar maka perhitungan Harga Pokok Penjualan dapat dirumuskan dengan:
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dan pencatatan Cost Of Goods Sold terkait
dengan perpajakan, yaitu:
Jika pembelian dilakukan dengan cara meng-import, maka akan dikenakan PPn Import, dan atas
pembayaran PPN tersebut tentunya anda akan menerima bukti potong PPN yang dipungut oleh pihak
Ditjend Bea Cukai (DJBC).
Jika pembelian dilakukan di dalam negeri, dimana supplier (pemasok barang) sudah PKP maka
pembelian tersebut akan akan disertai PPN juga, dan sebagai pihak yang dipotong tentu anda akan
menerima bukti potong yang akan anda sebut sebagai “PPN Masukan” (bagi supplier itu adalah PPN
keluaran).
Misalnya:
Nilai pembelian lokal anda adalah Rp 1,000,000, atas pembelian tersebut anda dipungut PPN Rp
100,000. Walaupun anda membayar (mengakui hutang) sebesar Rp 1,100,000, nilai Inventory/Raw
Material yang anda akui adalah sebesar nilai barangnya saja (tidak termasuk PPN-nya)
Jurnalnya:
Atas PPN Rp 100,000 yang dipungut oleh supplier (yang sudah PKP), nantinya bisa anda
kompensasikan (kreditkan) dengan PPN keluaran nantinya jika sudah terjadi penjualan. Lebih mendalam
mengenai PPN kita akan bahas dikesempatan lain. Sekarang focus pada pengakuan Inventory/Raw
Material saja dahulu.
Jika pembelian raw material/inventory disertai oleh bea angkut (inbound freight), maka inbound freight
adalah element dari inventory (otomatis akan menjadi element COGS).
Misalnya:
Dilakukan pembelian Rp 1,000,000 dan atas pembelian tersebut anda menanggung bea angkut sebesar
Rp 50,000, maka jurnalnya:
Bisa juga bea angkut tidak dicatat dengan rekening terpisah, misalnya: rekeningnya di sebut “Bea
Angkut”, hanya saja bea angkut tersebut dikelompokkan ke dalam Cost Of Goods Sold.
Tidak menutup kemungkinan sejumlah tertentu dari raw materials atau inventory dipergunakan tidak
untuk aktivitas yang berhubungan dengan produksi dan penjualan. Misalnya: Disumbangkan (charity),
dipergunakan untuk keperluan pribadi (personal use), atau diserahkan kepada pihak tertentu
yang bukan untuk maksud dijual.
Penggunaan Inventory/Raw material yang tidak dimaksudkan untuk berproduksi dan dijual, tidak
boleh diakui sebagai Cost.
Pertanyaan: Kenyataannya inventory atau raw material berkurang, sementara pengurangan atas
inventory/raw material tersebut tidak boleh diakui sebagai cost, lalu diakui sebagai apa dan bagaimana
mencatatnya?.
Berkurangnya inventory/raw material tersebut dicatat sesuai maksudnya, jika di sumbangkan, catat
sebagai biaya sumbangan (charity), jika dipergunakan untuk keperluan pribadi (personal use) maka
dicatat sebagai piutang dagang atau jenis debit tertentu (mungkin: employee advance, atau director
advance atau yang sejenisnya). Dan dijurnal:
Catatan: Pada buku Laporan Keuangan komersial, charity dikelompokkan ke dalam expenses (biaya
operasional). Sedangkan bagi Ditjend pajak, sumbangan (charity) tidak diakui sebagai biaya/cost, dan
akan menjadi koreksi fiskal atas laporan komersial yang mengakui adanya sumbangan (charity).
Catatan: Employee advance, bukan bagian dari “Nominal account” akan tetapi merupakan “Real
Account” yaitu pada kelompok "Current Asset", yang nantinya (pada saat tertentu) harus di offset dengan
rekening lain.
Misalnya:
Direktur mengambil beberapa unit inventory/raw material senilai Rp 500,000 untuk dipakai pribadi, atas
pengambilan inventory tersebut dicatat:
Atas penggunaan pribadi inventory/raw material tersebut, akan dipotongkan pada gaji yang akan diterima
oleh director pada bulan depannya, saat pembayaran gaji director dicatat:
Dengan jurnal ini, maka director advance menjadi nol, biaya gaji tetap sebagaimana seharusnya, dan
cash yang dikeluarkan lebih kecil dari jumlah gajinya, karena sebagian gaji sudah diambil dalam bentuk
inventory/raw material bulan lalunya.
Dengan posting ini ( Cost Of Goods Sold & Pajak (Taxation Notes) ), saya rasa series Cost of Goods
Sold (Harga Pokok Penjualan) sudah cukup. Tapi jangan khawatir, nanti akan ditambahkan dengan
kasus-kasus yang agak controversial, aneh, ajaib, lebih insightful dan pernak-pernik yang berhubungan
dengan Cost Of Goods Sold, termasuk: inventory analysis, Cost of Goods Analysis dan cost ratio yang
terkait, agar menjadi lebih kaya dan lebih advance tentunya.
COST OF GOODS SOLD (COGS/HPP) - MANUFAKTUR
(The Alure)
Setelah Standard Cost & Variance dibahas, sekarang lanjut lagi mengenai Harga Pokok Penjualan
(HPP/COGS) perusahaan manufaktur. Yang sering menjadi sumber kesulitan dalam memahami Harga
Pokok Produksi dan Harga Pokok Penjualan perusahaan manufaktur adalah alur dan jurnalnya.
Sekarang akan dibahas khusus alur dan jurnalnya.
Beberapa bulan yang lalu, friend’s of my friend mengalami kesulitan mengenai alur dan jurnal harga
pokok produksi dan harga pokok penjualan, padahal dia sudah pernah menangani accounting sebuah
pabrik sebelumnya. Hanya saja sebelumnya, pabrik yang ditangani tidak mengakui adanya persediaan
barang dalam proses, sementara perusahaannya yang sekarang mengakui.
Sebenarnya alur harga pokok produksi sebagian sudah saya bahas di Standard Cost, hanya saja, karena
di topic itu focus pada standard cost & variance, maka pembicaraan lebih banyak di sekitar bagaimana
penentuan standard cost, terjadinya variance, perlakuan dan approach yang dipergunakan. Sehingga
alurnya kurang difocuskan. Sekarang saya akan berfocus pada alur dan jurnalnya hingga terbentuknya
Harga Pokok Penjualan (tanpa memperhitungkan adanya standard cost maupun variance).
Masih memakai kasus PT. Royal Bali Cemerlang, produsen produk dasi, dimana perusahaan menerima
pesanan product dasi sebanyak 20,000 pcs. Pada neraca periode sebelumnya diketahui saldo akhir
persediaan sebagai berikut:
Untuk memenuhi pesanan, pada tanggal 01 April, PT, Royal Bali Cemerlang membeli kain sebanyak
3000 meters, dengan harga satuan Rp 25,000/meter secara kredit. Atas pembelian tersebut dicatat
dengan jurnal:
Jurnal di atas, akan membuat nilai raw material di gudang penyimpanan bahan baku bertambah
sebanyak Rp 75,000,000.
Tanggal 05 April, raw material (kain) di keluarkan dari gudang penyimpanan bahan baku sebanyak 2800
meters, atas pengeluaran kain tersebut dicatat dengan jurnal:
Jurnal pengeluaran raw material di atas akan membuat nilai raw material di gudang penyimpanan
berkurang sebanyak Rp 70,000,000
Dari kedua jurnal di atas, Buku Besar “Raw Material” akan menjadi sebagai berikut:
Pada tanggal 10 April dibayar ongkos perbaikan mesin produksi sebesar Rp 1,000,000 secara tunai,
dicatat dengan jurnal:
Pada tanggal 16 April dibayar listrik untuk pabrik sebesar Rp 850,000, untuk itu dicatat denga jurnal :
Pada tanggal 29 April dibayarkan upah buruh sebesar Rp 27,000,000 secara tunai. Atas pembayaran
upah tersebut dicatat dengan jurnal:
[Debit]. WIP – Direct Labour Cost = Rp 27,000,000
[Credit]. Cash = Rp 27,000,000
Ketiga transaksi di atas, akan membuat Buku Besar “Work In Process” berubah menjadi sebagai
berikut:
Keseluruhan Cost yang masuk ke Work In Process (WIP) di ataslah disebut dengan HARGA POKOK
PRODUKSI (Manufacturing Cost), yaitu sebesar Rp 70,000,000 + Rp 1,000,000 + Rp 850,000 + Rp
27,000,000 = Rp 98,850,000. Sehingga Harga Pokok Produksi untuk setiap unit product dasi adalah
sebesar 98,850,000/20000 = Rp 4,943
Pada tanggal 30 April, barang sebanyak 15000 pcs telah dirampungkan dan diserahkan ke gudang
penyimpanan barang jadi. Atas pemasukan barang jadi ke gudang penyimpanan di catat dengan jurnal:
[Debit]. Inventory = ?
[Credit]. WIP – Raw material = ?
[Credit]. WIP – Overhead Cost = ?
[Credit]. WIP – Overhead Cost = ?
[Credit]. WIP – Direct Labor Cost = ?
Inventory = Total Unit Barang Jadi yang dihasilkan x Harga Pokok Produksi
Inventory = 15000 x Rp 4,943 = Rp 74,137,500
Demikian juga dengan WIP yang diconvert menjadi inventory dihitung dengan cara yang sama. Sehingga
jurnal-nya menjadi seperti dibawah ini:
Sampai pada tanggal 30 April barang yang sudah laku terjual baru sebanyak 14950 pcs dengan unit price
Rp 12,000/pc. Atas penjualan tersebut dicatat dengan jurnal:
Pada dasarnya, tidak satupun perusahaan bermaksud dan merencanakan untuk menjual aktiva tetapnya,
karena aktiva tetap dibeli dimaksudkan untuk dipergunakan selama umur ekonomisnya untuk menjaga
kelangsungan usaha (entah untuk berproduksi, dijadikan tempat usaha, dijadikan peralatan kerja, dan
lain sebagainya).
Akan tetapi ada kondisi-kondisi (read: reason) tertentu yang menyebabkan perusahaan menjual
aktivatetapnya, antara lain:
[-]. Karena perusahaan kekurangan supply dana, sehingga perusahaan dengan terpaksa menjual
aktiva tetap-nya untuk memperoleh tambahan dana entah untuk modal kerja, atau untuk memenuhi
kewajiban (bayar hutang) jangka pendek/panjang-nya.
[-]. Karena perusahaan berganti jenis product, sehingga mesin-mesin dan perlatan tertentu tidak
diperlukan lagi (tidak memberi manfaat lagi). Hal ini biasanya terjadi pada perusahaan-perusahaan
manufaktur yang memproduksi “fast moving product”, misalnya: Perusahaan Apparel, perubahan trend
mode akan membuat perusahaan tidak mempergunakan mesin untuk jenis pengerjaan bagian tertentu
lagi.
[-]. Karena perusahaan berganti technology, misalnya: perusahaan menjual semua computer ber
spesifikasi Pentium III, karena perusahaan akan membeli computer yang berspefisifikasi Pentium IV.
Atau perusahaan menjual monitor non-flat karena akan menggunakan flat-monitor.
[-]. Karena perusahaan akan ditutup (berhenti beroperasi) karena alasan tertentu.
Pada garis besarnya prosedur dan jurnal penjualan aktiva tetap hanya terdiri dari 2 (dua) langkah saja,
yaitu:
Tentu saja ada beberapa langkah detail dari masing-masing langkah di atas
Contoh Kasus:
Pada tanggal 18 April 2008, PT. ROYAL BALI CEMERLANG menjual salah satu mesin produksinya
sehargaRp 15,000,000. Dahulunya dibeli pada tanggal 22 February 2005 dengan harga perolehan
sebesar Rp 25,000,000.
Catatan:
PT. Royal Bali Cemerlang menggunakan metode garis lurus untuk menghitung penyusutan aktiva
tetapnya,tanpa “Salvage Value (nilai residu)”, umur ekonomis (life time) mesin diperkirakan 8
Tahun. Posisi Aktiva Tetap Mesin PT. Royal Bali Cemerlang per 31 Des 2007 adalah sebagai berikut:
Perolehan = Rp 25,000,000
Accum Deprec = (Rp 8,854,167)
----------------------------------------
Nilai Buku = Rp 16,145,833
Karena mesin dijual pada tanggal 18 April 2008, dimana tanggal 18 sudah melewati tengah bulan, oleh
karenanya untuk bulan April dianggap mesin telah dipergunakan selama satu bulan penuh (jika dibawah
tanggal 15 maka dianggap belum dipergunakan), maka.
Catatan: Jurnal di atas akan menambah "Depreciation Cost" dan menambah "Accum Deprec" mesin
sebesar Rp 1,041,667
Dan nilai "Buku Aktiva Tetap Mesin" per 18 April 2008 adalah:
Catatan:
(-). Menghapus Aktiva Tetap Mesin dan Akumulasi penyusutannya. Penghapusan terjadi karena
posting Aktiva Tetap Mesin di masukkan di credit (berlawanan dengan perolehan aktiva tetap mesin yang
berada di debit) dan Deprec Accum di masukkan ke sisi Debit (berlawanan dengan saldonya yang berada
di sisi credit).
(-). Mencatat Kas masuk atau mengakui piutang sebesar nilai penjualan
(-). Mengakui Rugi Penjualan Aktiva Tetap sebesar selisih antara harga perolehan dengan (Kas+
Accum Deprec), dengan kata lain selisih antara nilai buku aktiva tetap setelah di-update dengan nilai
penjualan.
Jurnalnya:
Catatan: terjadi Laba dan diakui sebagai Laba Penjualan Aktiva Tetap sebesar Rp 895,833, yang
dihitung dengan cara mencari selisih antara Nilai Buku Aktiva Tetap Mesin dengan Nilai Penjualan (Rp
6,000,000 - Rp 15,104,167).
Laba atau Rugi Penjualan Aktiva Tetap di laporkan pada “Laporan Laba/Rugi” masuk dalam kelompok
“Pendapatan Lain-Lain” bernilai positif jika untung, dan bernilai negative jika rugi.
Terus terang saya masih belum bisa memahami (read: hard to understand) Undang-Undang PPN No
(Pasal) 16D, apakah penjualan aktiva tetap memang terhutang PPN? mengapa?, bukankah PPN adalah
Pajak Pertambahan Nilai?, apakah ada value-added (nilai yang ditambahkan) atas penggunaan aktiva
sehingga nilai aktiva menjadi meningkat? yang ada nilai aktiva menurun karena haus akibat penggunaan-
nya. So... again, it is still my big question.
Sekiranya ada yang lebih bisa memahami tentang hal ini, mungkin ada bapak-bapak petugas pajak atau
konsultan pajak kebetulan singgah dan membaca posting saya ini, mohon agar dapat diberikan
pencerahan (jawaban) atas pertanyaan-pertanyaan saya di atas, Terimakasih.
Laba/Rugi atas PENJUALAN AKTIVA TETAP adalah Obyek pajak PPh Badan, sehingga
dalam Laporan Laba/Rugi Fiskal, Laba/Rugi Penjualan Aktiva Tetap juga masuk ke dalam pendapatan
lain-lain, bernilai positif jika untung, dan bernilai negative jika rugi. Sedangkan pada SPT PPh Badan
(Pasal 29), Laba/Rugi atas PENJUALAN AKTIVA TETAP di masukkan pada kelompok “Laba/Rugi
Penjualan Aktiva".
Penyusutan (Depreciation) merupakan salah satu konsekwensi atas penggunaan aktiva tetap, dimana
aktiva tetap akan mengalami ke-aus-an atau penurunan fungsi.
Penyusutan (Depreciation) merupakan cadangan yang nantinya digunakan untuk membeli aktiva baru
untuk menggantikan aktiva lama yang sudah tidak produktif lagi .
Logika Akuntansi :
Penyusutan (Depreciation) adalah Harga Perolehan Aktiva Tetap yang di alokasikan ke dalam Harga
Pokok Produksi atau Biaya Operasional akibat penggunaan aktiva tetap tersebut.
atau ;
Cost/Exepenses yang diperhitungkan (dibebankan) dalam Harga Pokok produksi atau biaya operasional
akibat pengunaan aktiva di dalam proses produksi dan operasional perusahaan secara umum.
Bentuk Jurnalnya :
[-Debit-]. Depreciation = xxxx
[-Credit-]. Accumulated Depreciation = xxxx
Saat pencatatan :
Biasanya dicatat (dibukukan) pada saat penutupan buku (entah : akhir bulan, akhir kwartal, akhir tahun
buku).
Besar-nya :
Dicatat sebesar nilai penyusutannya, tergantung berbagai faktor (lebih rincinya, lanjutkan ke sub pokok
bahasan berikut ini…).
Harga Perolehan adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap biaya penyusutan. Mengenai "Harga
Perolehan" telah kita bahas secara rinci pada artikel sebelumnya, yang belum membaca, silahkan [-
baca-]
Merupakan taksiran nilai atau potensi arus kas masuk apabila aktiva tersebut dijual pada saat
penarikan/penghentian (retirement) aktiva. Nilai residu tidak selalu ada, ada kalanya suatu aktiva tidak
memiliki nilai residu karena aktiva tersebut tidak dijual pada masa penarikannya alias di jadikan besi tua,
hingga habis terkorosi. Tentu saja ini tidak dianjurkan, alangkah bagusnya jika di daur ulang.
Umur fisik : Umur yang dikaitkan dengan kondisi fisik suatu aktiva. Suatu aktiva dikatakan masih
memiliki umur fisik apabila secara fisik aktiva tersebut masih dalam kondisi baik (walaupun mungkin
sudah menurun fungsinya).
Dalam penentuan beban penyusutan, yang dijadikan bahan perhitungan adalah umur fungsional yang
biasa dikenal dengan umur ekonomis.
Pola penggunaan aktiva berpengaruh terhadap tingkat ke-aus-an aktiva, yang mana untuk
mengakomodasi situasi ini biasanya dipergunakan metode penyusutan yang paling sesuai.
Berikut adalah 2 metode penyusutan yang paling banyak dipergunakan, karena paling mudah dan paling
relevan dengan perlakuan akuntansi.
Konsep dasarnya :
Metode ini menganggap aktiva tetap akan memberikan kontribusi yang merata (tanpa fluktuasi)
disepanjang masa penggunaannya, sehingga aktiva tetap akan mengalami tingkat penurunan fungsi
yang sama dari periode ke periode hingga aktiva diarik dari penggunaannya.
Metode ini termasuk yang paling luas dipakai. Untuk penerapan “Matching Cost Principle”, metode garis
lurus dipergunakan untuk menyusutkan aktiva-aktiva yang fungsionalnya tidak terpengaruh oleh besar
kecilnya volume produk/jasa yang dihasilkan. Misalnya : bangunan, peralatan kantor.
Formula :
Sebuah mesin diperoleh pada tanggal 1 Januari 2007 dengan harga Rp 8,000,000 ditaksir memiliki umur
ekonomis 8 tahun, dan apabila nanti ditarik diperkirakan besi tuanya dapat dijual seharga Rp 150,000.
Tambahan informasi : Perusahaan menggunakan metode garis lurus.
Jika aktiva tetap tersebut diperoleh pada tanggal 05 Pebruari 2007, maka dihitung dengan cara = 11/12 x
[(Rp 8,000,000 – 150,000) : 8]
Jika diperoleh pada tanggal 20 Pebruari 2007, maka dihitung 10/12 x [(Rp 8,000,000 – 150,000) : 8]
…….dan seterusnya
Jika tanpa nilai residu, maka variable nilai residu tidak diperhitungkan (lihat formula di atas).
Jika aktiva tersebut diperoleh di awal tahun (01~14 Januari), maka tabel “Jadwal Penyusutan Aktiva ”
selama umur ekonomisnya, akan menjadi sebagai berikut :
Bandingkan kedua tabel di atas : Bagian mana yang berbeda ?.
Pada tabel pertama (dengan memperkirakan adanya salvage value), di akhir tahun ke-8, terlihat masih
ada NILAI BUKU (Book Value) aktiva sebesar Rp 150,000, INILAH YANG DISEBUT NILAI RESIDU
(Salvage Value) dimana jika aktiva tersebut dijual pada akhir penggunaannya nanti diperkirakan akan
laku seharga Rp 150,000,-. Di sisi lainnya, biaya penyusutan yang dibebankan tidak sepenuhnya Rp
1,000,000 per tahunnya.
Pada tabel kedua (dengan tidak memperkirakan adanya salvage value), pada akhir tahun ke-8, NILAI
BUKU (Book Value) benar-benar Nihil (nol), artinya : perusahaan memperkirakan aktiva tersebut tidak
akan menghasilkan arus kas (tidak bisa dijual) pada akhir masa penggunaannya nanti. Di sisi lain,
penyusutan dibebankan sepenuhnya Rp 1,000,000 setiap tahunnya.
Konsep Dasarnya :
Aktiva tetap dianggap akan memberikan kontribusi terbesar pada periode diawal-awal masa
penggunaanya, dan akan mengalami tingkat penurunan fungsi yang semakin besar di periode berikutnya
seiring dengan semakin berkurangnya umur ekonomis atas aktiva tersebut.
Metode ini sesuai jika dipergunakan untuk jenis aktiva tetap yang tingkat kehausannya tergantung dari
volume produk yang dihasilkan, yaitu jenis aktiva mesin produksi.
Formula :
Contoh Kasus :
Dengan menggunakan rate di atas, yaitu sebesar 39%, “Jadwal Penyusutan” menggunakan Declining
Balance Method dapat dibuat, seperti dibawah :
Memperhatikan table di atas, dapat dilihat bahwa dengan menggunakan Metode Saldo menurun
(Declining Balance Method), salvage value di akhir tahun ke delapanpun hasilnya kurang lebih sama
dengan jika menggunakan Metode Garis Lurus (Straight Line Method) yaitu Rp 150,000. Hanya saja, jika
kita perhatikan pada kolom “Depreciation (penyusutan) nampak bahwa dengan menggunakan metode
Saldo Menurun, harga perolehan yang dialokasikan ke dalam penyusutan (dibebankan pada Harga
Pokok Penjualan) dialokasikan sebagian besar pada awal-awal penggunaan aktiva tersebut. Hal ini
didasari oleh konsep yang dianut oleh metode ini, dimana suatu aktiva (khusunya mesin produksi)
dianggap memberikan best performance diawal-awal penggunaannya.
Jurnal pembebanan penyusutan pada methode ini sama saja dengan metode garis lurus.
Catatan Penting :
Dimungkinkan untuk menggunakan metode yang manapun untuk jenis aktiva yang manapun,
yang terpenting :
(-). Jika perusahaan mengganggap perlu melakukan perubahan atas metode penyusutan yang
diterapkan, hendaknya dicantumkan dalam penjelasan atas sistem akuntansi yang dipergunakan pada
laporan keuangan, disertai dengan alasannya.
MEMBUAT REKONSILIASI BANK [-The Basic : Step by
step-]
Author’s Notes :
Artikel ini bukan artikel yang akan memberikan apa itu difinisi rekonsiliasi bank, maupun kajian
teorinya. Melainkan akan memberitahukan cara melakukan rekonsiliasi bank selangkah demi
selangkah.
Artikel ini didedikasikan untuk mereka yang belum tahu bagaimana melakukan rekonsiliasi bank
(seorang book keeper, atau staff accounting lainnya yang bertugas melakukan pencatatan dan
mengurusi transaksi yang terkait dengan kas bank, untuk mempermudah ilustrasi selanjutnya kita
sebut “book keeper” saja), sebagai tips agar bisa melakukan REKONSILIASI BANK DENGAN
CEPAT DAN EFEKTIF.
Sebelum masuk ke langkah-langkahnya, perlu dipahami logika dasarnya terlebih dahulu, yang
selanjutnya menuju ke step by step proses rekonsiliasi, tampil dalam bentuk pertanyaan dan
jawaban.
[-Pertanyaan-]
Mengapa rekonsiliasi ?.
[-Jawaban-]
Karena pihak internal perusahaan (manajemen) perlu mendapat keyakinan, bahwa :
(a). Perusahaan telah melakukan pencatatan yang benar (sesuai dengan kedaan sesungguhnya) untuk
setiap dana keluar maupun yang masuk, yang tercermin di dalam buku catatan kas bank (selanjutnya kita
sebut “Check Register”).
(b). Bank telah melakukan transaksi atas uang perusahaan sesuai dengan perintah perusahaan, telah
mencatat dan memberikan pengakuan yang sesuai, yang biasanya dinyatakan dalam bentuk print-out
rekening koran (selanjutnya kita sebut “Bank Statement”).
[-Pertanyaan-]
Bagaimana manajemen memperoleh keyakinan yang dimaksudkan diatas ?.
[-Jawaban-]
Kesesuain check register dengan bank statement. Adanya penjelasan yang memedai mengenai
perbedaan-perbedaan (jika ada).
[-Pertanyaan-]
Mengapa ada perbedaan ?.
[-Jawaban-]
Ada 5 kemungkinan penyebab :
1. Mungkin book keeper perusahaan salah melakukan pencatatan atau pengakuan (disengaja atau tidak).
2. Mungkin Bank salah melakukan pencatatan atau pengakuan (disengaja atau tidak).
4. Mungkin ada pengeluaran/pemasukan yang karena tidak diketahui, perusahaan tidak melakukan
pencatatan atas pengeluaran/pemasukan tersebut.
5. Mungkin karena alas an tertentu bank menolak pencairan check perusahaan ( selanjutnya kita sebut
“Void Check”
[-Pertanyaan-]
Bagaimana jika ada perbedaan ? Apakah itu salah ?.
[-Jawaban-]
Perlu dijelaskan mengapa berbeda.
[-Pertanyaan-]
Bagaimana menjelaskannya ?
[-Jawaban-]
REKONSILIASI BANK !
[-Pertanyaan-]
Caranya ?. darimana memulainya ?
[-Jawaban-]
Mulai dari perbedaan yang paling kentara
Kenali dan biasakanlah diri terhadap biaya-biaya yang dikenakan oleh bank terhadap perusahaan, yang
dilakukan oleh bank dengan cara melakukan pemotongan langsung (debit langsung) terhadap saldo bank
tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Kenali juga pendapatan-pendapatan jasa yang diberikan oleh
bank dengan cara menambahkan (mengkredit) pendapatan tersebut ke saldo perusahaan tanpa memberi
tahukan terlebih dahulu.
[-Notes-]
Jika perusahaan menggunakan accounting software, update general ledger !. sebab jika belum updated,
adjustment belum nampak.
[-Next-]
Transaksi lain yang biasanya dibukukan oleh bank tetapi tidak belum dicatat oleh perusahaan adalah
pembayaran-pembayaran yang menggunakan auto-debit , yang biasanya recurring transaction yang telah
diset oleh perusahaan dari sebelumnya, hanya saja nilai dan tanggal pen-debit-annya belum diketahui.
Masukkan transaksi-transaksi tersebut ke account yang sesuai. Jika menggunakan accounting software,
input dengan manual check entry. Lalu update !
Jika sudah…..
Saat ini seharusnya saldo check register (catatan perusahaan) sudah mendekati saldo di bank
statement…..
[-NEXT-]
Perhatikan Bank Statement, pusatkan perhatian pada transaksi pada awal-awal bulan………Biasanya
akan ditemukan nomor-nomor check keluar yang muncul, tetapi tidak ada di catatan perusahaan di bulan
yang sama. Dan juga akan ditemukan uang masuk tetapi tidak ada di catatan perusahaan.
[-Pertanyaan-]
Darimana datangnya check-check tersebut ?
[-Jawaban-]
Bukalah rekonsiliasi bank pada bulan lalu……transaksi di akhir-akhir bulan.
Check-check keluar tersebut bisa ditemukan di dalam kelompok “CHECK DALAM PERJALANAN”, dan
uang-uang masuk tersebut ada dalam kelompok “DEPOSIT DALAM PERJALANAN”.
[-Pertanyaan-]
Apa yang harus dilakukan atas check keluar dan uang masuk tersebut ?. Apa perlu di sesuaikan ? di
jurnal ?.
[-Jawaban-]
Tidak.
[-NEXT-]
Sekarang ambil bonggol check bulan ini….
Perhatikan bonggol check di akhir-akhir bulan, antara tanggal 20 – 31, lalu bandingkan dengan Bank
Statement….
Akan ditemukan beberapa check yang sudah disobek dan sudah dicatat di dalam check register (buku
perusahaan) akan tetapi tidak ditemukan di bank statement. Kelompokkan check-check tersebut, berilah
nama “CHECK DALAM PERJALANAN”, lalu jumlahkan. Sebut hasil penjumlahan tersebut sebagai
“TOTAL CHECK DALAM PERJALANAN”
Juga perhatikan catatan uang masuk yang ada di akhir akhir bulan. Mungkin akan ditemukan catatan
uang masuk, akan tetapi tidak ditemukan pada Bank Statement. Jika ada, kelompokkan uang masuk
tersebut dan beri nama “DEPOSIT DALAM PERJALANAN”, lalu jumlahkan. Sebut penjumlahan tersebut
sebagai “TOTAL DEPOSIT DALAM PERJALANAN”.
[-NEXT-]
Bandingkan dengan :
[-Pertanyaan-]
Bagaimana jika tidak sama ?. Kenapa tidak sama ?
[-Jawaban-]
Ada 2 kemungkinan penyebabnya :
Mungkin ada check yang bernomor sama tetapi nilainya berbeda antara yang dicatat oleh perusahaan
dengan yang dicatat oleh bank.
ATAU
Mungkin ada satu atau beberapa check yang tidak atau lupa dicatat oleh perusahaan
[-Pertanyaan-]
Apa yang harus dilakukan ?.
[-Jawaban-]
Bandingkan antara catatan dengan bonggol check :
Jika ada salah satu check/lebih yang tidak sama nilainya antara yang dicatatan dengan yang dibonggol
check ATAU ada satu/lebih check yang lupa tidak dicatat.
[-NEXT-]
Buat laporan ke Financial Controller (atau atasan yang berwenang), minta persetujuan untuk melakukan
adjustment. Sertakan bukti-bukti transaksi atas check yang nilainya berbeda atau lupa dicatat.
Jika catatan sama persis dengan bonggol check, maka hubungilah pihak bank, minta penjelasan
mengenai “mengapa berbeda”. Jika Bank telah mengakui kesalahan ada dipencatatan bank, maka
mintalah supaya bank statement di revisi dan dikirimkan revisinya kepada perusahaan.
CATATAN PENTING :
Jika kasus pertama yang terjadi, jangan panik. Jangan lari dari masalah. DON’T SKIP but DEAL WITH
IT :)
Jangan khawatir, sepanjang itu tidak disengaja. Ambil lah sebagai pelajaran yang berarti, agar tidak
terulang lagi di periode berikutnya. Jikapun anda harus menerima “Surat Teguran”, terimalah itu sebagai
realita kerja, agar bisa lebih cermat dalam bekerja, dan bisa lebih berprestasi lagi.
[Q]. Siapa yang wajib bertindak selaku pemotong PPh Pasal 23?
[A]. Pemotong PPh Pasal 23: badan pemerintah,Wajib Pajak badan dalam negeri, penyelenggaraan
kegiatan, bentuk usaha tetap (BUT), perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, Wajib Pajak Orang
pribadi dalam negeri tertentu yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
[Q]. Siapa penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23?
[A]. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23: WP dalam negeri, BUT
15 % dari jumlah bruto atas: dividen, bunga, dan royalti, hadiah dan penghargaan selain yang telah
dipotong PPh pasal 21.
15 % dari jumlah bruto dan final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, yang jumlahnya
melebihi Rp. 240.000,00 setiap bulan.
15% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta. Tarif, perkiraan penghasilan neto, dan objeknya adalah: 15 % x 20 % dari jumlah bruto atas sewa
penggunaan harta khusus kendaraan angkutan darat, 15 % x 40 % dari jumlah bruto atas sewa lainnya
(tidak termasuk sewa tanah dan bangunan).
[Q]. Imbalan jasa lainnya, jasa apa saja yang dimaksudkan jasa lainnya?
[A]. Dibagi menjadi 5 (lima) kelompok besar berdasarkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)-nya, yaitu:
b). Jasa perancang / desain : Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan, Jasa perancang
mesin dan jasa perancang peralatan, Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan, Jasa perancang
iklan/logo, Jasa perancang alat kemasan.
c). Jasa instalasi/pemasangan : Jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik / telepon / air / gas / AC / TV
Kabel, kecuali dilakukan Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dan
mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi, Jasa instalasi/pemasangan peralatan,
d). Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan, Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan mesin, listrik /
telepon / air / gas / AC / TV kabel, Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan peralatan, Jasa
perawatan / pemeliharaan / perbaikan alat-alat transportasi / kendaraan, Jasa perawatan / pemeliharaan /
perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin / sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
e). Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang
dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
g). Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas.
h). Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara.
n). Jasa dibidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang dilakukan oleh BEJ, BES, KSEI dan
KPEI.
o). Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan KSEI dan tidak termasuk sewa
gudang yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996
s). Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.
Eit…. Pasti ada yang mau tanya….”Apa bedanya PPh Pasal 23 dengan PPh Pasal 4(2)?" Smart
question! Tetapi jawabannya saya pending dahulu, nanti kita bicarakan di pembahasan pembahasan PPh
Pasal 4(2).
BUT = Acronym dari Badan Usaha Tetap = Representative Office = Perwakilan perusahaan asing yang
berkedudukan di Indonesia.
Jumlah Bruto/Penghasilan Bruto/Nilai Bruto = Total nilai transaksi persewaan = Penghasilan yang
diterima atas persewaan sebelum memperhitungkan adanya perkiraan cost/expense yang timbul guna
memperoleh penghasilan tersebut.
Jumlah Neto/Penghasilan Neto/Nilai Neto = Total Nilai transaksi persewaan [dikurangi] perkiraan
cost/expense yang timbul guna memperoleh penghasilan persewaan tersebut.
DPP = Dasar Pengenaan Pajak = Nilai Neto/Penghasilan Neto = Penghasilan setelah dikurangi perkiraan
expense/cost.
Pemotong = Pihak yang melakukan pemotongan atas obyek PPh Pasal 23 (silahkan baca kembali FAQ).
Terpotong = Pihak penerima penghasilan atas obyek PPh Pasal 23 (silahkan baca kembali FAQ).
Kalau kita summarized dari FAQ tadi, maka obyek pajak dan tarifnya dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar, yaitu:
[-]. Obyek pajak yang PPH Pasal 23 menggunakan “Jumlah Bruto” sebagai DPP (Dasar Pengenaan
Pajak).
Contoh Kasus-1:
Pada tanggal 10 May 2008, PT. Sukses Gemilang, membagikan dividen masing-masing Rp 10,000,000
kepada 20 pemegang sahamnya. Atas dividen yang dibagikan, PT. Sukses Gemilang wajib memungut
PPh Pasal 23.
Read on….
Tarif PPh Pasal 23 atas dividen adalah 15% (baca kembali FAQ), sehingga besarnya PPh Pasal 23
yang dipotong kepada masing-masing pemegang saham dihitung dengan formula:
1). Pada tanggal 10 May 2008, melakukan pencatatan atas pembagian dividen dan pemotongan PPh
Pasal 23, dengan jurnal:
2). Pada tanggal 10 May 2008, melakukan pemotongan dan menerbitkan bukti pemotongan PPh
Pasal 23 atas dividen yang diterima oleh pemegang saham masing-masing sebesar Rp 1,500,000
kepada keduapuluh penerima dividen.
3). Pada penutupan buku Tanggal 30 May nanti, di neraca PT. Sukses Gemilang akan muncul:
Dividen (pengurang retained earning) sebesar Rp 200,000,000 di sisi Pasiva, pada kelompok equity, dan
Utang PPh Pasal 23 sebesar Rp 30,000,000 di sisi aktiva lancar (current asset). Itulah disebut “saat
pengakuan PPh Pasal 23 terhutang” (baca kembali FAQ).
4). Pada tanggal 10 June 2008 (latest) menyetorkan PPh Pasal 23 (yang telah dipungut olehnya) ke
kas negara melalui bank persepsi (disebut “Saat penyetoran”), dan atas penyetoran tersebut dicatat
dengan jurnal:
Dengan jurnal di atas, maka Utang PPh pasal 23 menjadi nol, dan akumulasi cash-out adalah Rp
200,000,000 (sama dengan pengakuan dividen-nya: Rp 170,000,000 telah dicatat tanggal 10 May dan Rp
30,000,000 telah dicatat tanggal 10 June 2008).
5). Tanggal 10 June 2008 (latest), melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 disertai:
a). Daftar pemotongan
b). Bukti Pemotong masing-masing 1 copy
c). SSP atas setoran yang telah dilakukan melalui bank persepsi.
Apa pengaruhnya terhadap besarnya PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29 PT. Sukses Gemilang
(selaku pemotong)?, Jawabannya: Tidak ada pengaruhnya. PT. Sukses Gemilang telah mengakui
pembagian dividen sepenuhnya (Rp 200,000,000) dan pengakuan cash-out sejumlah yang sama. Dividen
bukanlah cost/expense. Hanya saja, atas pembagian dividen tersebut PT. Sukses Gemilang akan
memasukkan pembagian dividen tersebut pada SPT PPh Badan Tahunan-nya pada blanko 1771-V
(Bagian:B).
[Debit]. Cash = Rp 8,500,000 (Nilai neto setelah dipotong PPh Pasal 23)
[Debit]. PPh Pasal 23 = Rp 1,500,000
[Credit]. Pendapatan dividen = Rp 10,000,000
Pada tanggal 10 May 2008, menerima bukti pemotongan PPh Pasal 23 dari PT. Sukses Gemilang
dan mengarsipkannya.
Pada saat pembuatan SPT PPh Pasal 29 nantinya, PPh Pasal 23 tersebut dimasukkan ke dalam
blanko1770 S-1 (Bagian:B) dan akan menjadi kredit pajak (Blanko 1770-S Bagian:D), dengan
melampirkan bukti potong yang telah diterima dari PT. Sukses Gemilang.
Itulah prosedur dan perlakuan akuntansi atas PPh Pasal 23 pembagian dividen. Untuk obyek pajak yang
dihitung berdasarkan jumlah bruto lainnya, silahkan lihat kembali FAQ).
[-]. Obyek pajak yang PPH Pasal 23 yang menggunakan “Jumlah Neto” sebagai DPP.
Besarnya jumlah neto telah ditentukan oleh undang-undang dengan persentase tertentu dari jumlah
bruto-nya berdasarkan jenis jasa yang diserahkan (silahkan baca kembali FAQ).
(1). DPP-nya 30% dari jumlah bruto (tidak termasuk PPN): Jasa Konsultan Akuntansi
Contoh:
Pada tanggal yang sama (10 May 2008), PT. Sukses Gemilang menerima Debit Note dari “Asal-asalan
Solusindo Consultant” yang menangani pembukuannya sebesar Rp 5,500,000 (termasuk PPn). Untuk itu
PT. Sukses Gemilang wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebelum dilakukan pembayaran,
dengan perhitungan sebagai berikut:
Untuk prosedur pemotongan, penyetoran, pelaporan dan perlakuan akuntansinya, sama saja
dengan contoh sebelumnya. So, saya tidak perlu jelaskan hal yang sama lagi.
Dan contoh perhitungan atas obyek lainnya (tarif dan DPP lainnya), silahkan dikembangkan, get self-
exercised (baca FAQ dengan teliti kata demi kata, kalimat demi kalimat), saya yakin dengan 2 contoh di
atas, sudah lebih dari jelas.
Mengapa ada obyek PPh Pasal 23 yang menggunakan jumlah bruto sebagai DPP, sementara ada obyek
PPh Pasal 23 lainnya menggunakan jumlah neto sebagai DPP? Why?
Logically, bisa dilihat bahwa obyek yang dihitung berdasarkan bruto-nya, adalah obyek-obyek pajak yang
untuk memperoleh penghasilan tersebut sama sekali tidak ada cost/expense. Sementara obyek yang
menggunakan jumlah neto sebagai DPP adalah obyek-obyek (penyerahan jasa) yang obviously ada
pengorbanan ekonomis (cost/expense) untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Mengapa jasa Akuntansi jumlah neto-nya 30%, sementara jasa lainnya dengan % yang berbeda?.
Ada yang bisa membantu saya mencarikan logika atas pertanyaan itu?, rekan-rekan dari accounting?
Rekan-rekan dari manajemen?, atau bapak-bapak dari DJP? Bapak-bapak dosen dan konsultan
pajak?. Silahkan tulis komentar anda, saya akan senang berdiskusi mengenai masalah ini.
Prosedur perhitungan, pemotongan, pencatatan dan pelporan PPH Pasal 23, sesungguhnya tidak
sesulitperhitungan dan perlakuan PPh pasal 21 atau pajak lainnya, yang agak confusing adalah obyek
pajaknya (setidaknya itu menurut saya). Silahkan share juga pendapat anda mengenai hal ini.
Update: 12-May-2008 (Penting).
Hmmm... say abaru tahu ada tarif efektif PPh Pasal 23 terbaru 2007 (PER-70/PJ/2007), saya
ketinggalan, mengikuti tarif PPh pasal 23 yang berubah terus, what a confussion!. Untuk tarif silahkan
baca PER-70/PJ/2007, sedangkan untuk perlakuan masih berlaku hal yang sama seperti yang saya tulis
disini.
You may wanna say…..”no more talks, just show me the h*ll! Please :P”.
PPh Pasal 25 adalah UANG MUKA PPh BADAN, yang besarnya dihitung dengan cara membagi
PPh Badan Tahun lalu dengan jumlah bulan tahun takwim (12).
Misal:
PPh Badan Terhutang Tahun 2006 anda adalah Rp 3,000,000, maka PPh Pasal 25 yang harus anda
setorkan setiap bulannya di tahun 2007 adalah:
Rp 3,000,000/12 = Rp 250,000,-
Bapak-bapak kita di Kantor Pajak termasuk bapak-bapak konsultan pajak dan para pegiat pajak lainnya
menyebut istilah ini dengan LUNSUM (saya cari-cari di wikipedia tidak saya temukan kata lunsum,
lansum, lansam apalagi, entah bagaimana tulisannya yang benar, tapi saya rasa yang benar tulisannya
“Lun-Sum” mohon dikoreksi jika salah).
Misal:
PPh Pasal 25 bulan January dibayarkan paling lambat tanggal 10 February.
Ada yang belum tahu bagaimana caranya menjurnal PPh Pasal 25? Well in case kalau ada yang belum
tahu, basically seperti dibawah ini:
Mudah bukan?.
Kapan PPh Pasal 25 di jurnal? Tentunya saat dibayarkan. Misal: PPh Pasal 25 bulan January dibayar
tanggal 09 February (kebiasaan orang accounting “menagih hak/piutang secepat2nya, tetapi
membayarkan kewajiban/hutang selambat-lambatnya” untuk mewakili prinsip kehati-hatian :-P) maka
dicatat pada tanggal 09 February juga.
Tahu dari mana soal lun-sum dan Jurnal di atas? Itu Undang-undang Pajak nomor berapa tahun berapa?
Trus jurnal-nya itu dinyatakan dalam PSAK nomor berapa?
Mengenai undang-undang atau Surat Edaran DJP atau Keputusan Menteri Keuangan, silahkan baca di
situs resminya Ditjend Pajak saja (saya tidak mau bersaing dengan situsnya Ditjend Pajak atau blognya
bapak-bapak dari DJP) :P. Apalagi meng-copy paste Undang-undangnya ke blog saya, wah…. tidak
terimakasih. Lagipula saya lebih tertarik membicarakan tehnik dan practical-nya, serta logika-logika-nya
daripada membahas isi undang-undang.
Mengenai PSAK, saya juga tidak hafal, kalau anda perlu silahkan beli buku PSAK (harganya tidak mahal,
saya beli hanya Rp 175,000), biarlah itu menjadi bagian dari blognya bapak-bapak dosen saja.
Saya sudah melakukan dengan benar? Mengapa neraca saya menjadi tidak balance setelah membayar
PPh Pasal 29? Di mana letak salahnya?
Sudah benar? oh ya? Kalau jurnal dan alurnya sudah benar tidak mungkin tidak balance bukan?, okay
mari kita cari sama-sama dimana letak masalahnya…..
Contoh Kasus:
Sehingga di tahun 2007, setiap tanggal 09 bookkeeper PT. Royal Bali Cemerlang menjurnal pengeluaran
tersebut seperti dibawah ini:
Karena PPh Pasal 29 Tahun 2006 baru dibayarkan tanggal 20 March 2007, sehingga bulan January dan
February 2007 masih memakai lun-sum Tahun 2006 yang dihitung berdasarkan PPh Badan Tahun 2005.
Cukup jelas kan? (jika belum jelas, silahkan ulangi baca pelan-pelan saya yakin anda mengerti).
Jika diringkas Daftar PPh Pasal 25 PT. Royal Bali Cemerlang Tahun 2007 menjadi sebagai berikut:
Sehingga di akhir tahun, BUKU BESAR: “Uang Muka PPh” akan seperti dibawah ini:
Sedangkan BUKU BESAR: “Petty Cash” seperti dibawah ini:
Nantinya, pada penutupan buku 31 Desember 2007, “Uang Muka (PPh Pasal 25)” akan masuk ke Neraca
di sisi “Aktiva” pada kelompok “Aktiva Lancar” yang akan menjadi penyeimbang “Petty Cash” yang
berkurang sejumlah yang sama yaitu Rp 3,500,000.
Catatan: (Penting!)
Jika anda perhatikan kedua buku besar diatas, pencatatan dimulai dari tanggal 09 February 2007. dan di
bulan Desember 2007 ada pembayaran PPh Pasal 25 sebanyak 2 (dua) kali, yaitu pada tanggal 09
Desember dan 30 Desember 2007.
Mengapa?
Di sini lah kuncinya! Tetapi pertanyaan mengapanya akan saya jawab nanti secara khusus ;-)
Pada tanggal 31 December 2007, Laporan Laba/Rugi PT. Royal Bali cemerlang untuk periode 01 Januari
s/d. 31 December 2007, membukukan keuntungan Fiskal sebesar Rp 45,000,000 sehingga PPh
Badannya menjadi: 10% x Rp 45,000,000 = Rp 4,500,000.
Jurnalnya:
Catatan: PPh Badan (yang disisi debit) akan masuk ke Laporan Laba/Rugi dan akan menjadi faktor
pengurang Laba, dan Utang PPh Badan yang di sisi credit akan masuk ke neraca di sisi “Pasiva” pada
kelompok “Liabilities (Kewajiban)”.
Pada tanggal 19 Maret 2008, PT. Royal Bali Cemerlang menyetorkan PPh Pasal 29 ke kas negara
melalui bank persepsi sebesar Rp 1,000,000 saja yang dihitung dengan cara:
Selanjutnya, Lun-sum (PPh Pasal 25) PT. Royal Bali Cemerlang untuk tahun 2008 adalah sebesar: Rp
4,500,000/12 = Rp 375,000,- berlaku mulai masa bulan Maret yang akan dibayarkan bulan April 2008.
Menjawab pertanyaan “mengapa pencatatan Uang Muka (PPh Pasal 25) dimulai pada tanggal 09
february 2007, dan Pada Bulan Desember dilakukan pembayaran uang muka (PPh Pasal 25) dilakukan
duakali?”
Kebanyakan dari kita (termasuk saya dahulu di awal-awal kerja saya) selalu mengikuti arus, yaitu
membayarkan pajak menjelang akhir batas waktu (tanggal 09 bulan berikutnya). Misalnya: untuk Uang
Muka Pasal 25 (Lun-Sum) bulan January dibayarkan tanggal 09 February dan seterusnya.
Sebenarnya itu tidak masalah, hanya saja menjadi masalah ketika itu dilakukan di bulan
Desember. Mengapa?
Karena 31 Desember adalah penutupan buku, jika PPh Pasal 25 untuk bulan December 2007 baru kita
bayarkan tanggal 09 January 2008, maka Total Uang Muka PPh Pasal 25 yang kita bayarkan untuk
tahun 2007 hanya sebanyak 11 (sebelas) kali, sehingga kas yang keluar hanya sebanyak Rp
3,200,000 dengan rincian:
09 February + 09 March 2007 = Rp 250,000 x 2 = Rp 500,000
09 April ~ 09 Desember 2007 = Rp 300,000 x 9 = Rp 2,700,000
------------------------------------------------------------------
Total = Rp 3,200,000
==============================================
Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 3,200,000,- dan di rekening kas akan berkurang sebesar Rp 3,200,000
juga. Okay, Neraca Komersial sudah dalam kondisi balance, sampai...................
Pada tanggal 19 March 2008 (sesuai dengan contoh kasus) pada saat membayarkan PPh Badan
sebesar Rp 1,000,000 dijurnal:
Dengan jurnal di atas, jelas neraca tidak akan balance, Uang Muka PPh di neraca 31 Desember 2007
yang hanya Rp 3,200,000 anda hapuskan dengan jurnal sebesar Rp 3,500,000. jelas akan
menyisakan saldo minus sebesar Rp 300,000,-
Bagaimana jika pada saat pembayaran PPh Pasal 29, Uang Muka PPh (Pasal 25) dicatat di sisi credit
sebesar Rp 3,200,000 saja?
Boleh saja, tetapi resiko-nya anda harus membayar (mengeluarkan cash) sebesar Rp 1,300,000,- karena
Utang PPh Badannya Rp 4,500,000. Apakah anda mau membayar lebih sementara bukti SSP anda
menunjukkan bahwa anda telah membayar PPh Pasal 25 secara penuh dari January s/d. December?.
Jikapun anda (perusahaan) rela membayar lebih, saya sarankan: jangan lakukan itu, karena jika anda
lakukan itu, pada catatan di kantor pajak nantinya anda akan kelihatan lebih bayar (anda tahu resikonya
lebih bayar bukan?), Lunsump Desember akan tetap menjadi pengurang PPh Pasal 29 meskipun anda
baru bayarkan di bulan January, (anda tahu resikonya lebih bayar bukan?) category periksa!.
Lakukan seperti apa yang saya lakukan: Bayar Lun-Sump (PPh Pasal 25) bulan December anda pada
bulan December juga (paling lambat 30 December), jangan sampai jatuh ke bulan (tahun) berikutnya.
Dan jangan lupa Lun-sump Desember sudah anda bayar di bulan Desember, sehingga di bulan January
anda tidak perlu membayar PPh Pasal 25 lagi, SSP PPh Pasal 25 untuk Desember yang anda setorkan
tanggal 30 Desember setorkan ke kantor pajak SSP-nya pada bulan January (antara tanggal 01 s/d. 09),
sehingga di pembukuan anda transaksi tercatat tanggal 30 Desember, tetapi di kantor pajak anda tetap
kelihatan membayar di bulan January.
Sore Pak,
Saya mau bertanya lg nih... Langsung ke masalah kasusnya aja yah...(maklum saya lg bingung..?
Kasus I :
Tgl. 7 Nov '07 dibuat invoice untuk pengerjaan Project Indosat jumlahnya IDR 11,880,000 (termasuk PPN
10%). Ket : Untuk PPN dibagi 2 yaitu 55% dibebankan pada pihak Debitur sedangkan 45% perusahaan.
Pada tgl. 18 Des '07 diterima pembayaran invoice dari Debitur sebesar IDR 11,394,000
Dan pada tgl 5 Jan '08 dilakukan pembayaran PPN sebesar IDR 1,080,000
Gimana jurnalnya untuk tgl. 7 Nov'07, tgl. 18 Des'07 dan tgl. 5 Jan'08 ??
Kalo menurut saya untuk tgl 7 Nov'07 dicatat Piutang (Debet) IDR 11,880,000 Pendapatan (Kredit) IDR
10,800,000 Hutang PPN(Kredit) IDR 1,080,000 Benar tidak?
Lalu untuk mencatat tgl. 18 Des'07 & tgl 5 Jan'08 saya bingung ?!
Kasus II :
Di tgl. yg sama dibuat invoice untuk pengerjaan Project Telkomsel jumlahnya USD 121,000 (termasuk
PPN 10%).Pada tgl 18 Des jg diterima pembayaran invoice USD 109,975 yg telah dipotong Biaya transfer
USD 25 dan untuk PPN nya dibayar dengan IDR sebesar IDR 56,698,290.
Gimana ya jurnalnya untuk mencatat transaksi diatas?
Tolong bantu saya ya Pak.
Jawaban saya :
Saya setuju dengan penanya, supaya tidak membingungkan, kita langsung ke jawaban saja
Kasus-2 :
Bisa saya mengerti jika penanya bingung. Banyak angka yang tidak wajar (tidak matching), entah
penanya salah mengetik angka (salah menanyakan?), atau memang ada ketidak beresan dalam
transaksi yang sebenarnya?.
Tetapi Jika invoice-nya MEMANG BENAR-BENAR USD 121,000.00, maka jurnalnya seharusnya :
Sebaiknya diperiksa dengan teliti. Ketahui dengan pasti, yang mana yang benar ?, apakah invoice-nya
memang USD 121,000.00 atau Piutangnya memang hanya sebesar USD 110,000.00 saja ?. Jika
piutangnya memang hanya USD 110,000 saja berarti invoice-nya salah.
Catatan : pembayaran PPN-nya mengapa sangat kecil ?, kalaupun misal piutangnya memang hanya
USD 110,000 saja, pun utang PPN-nya mestinya masih lebih besar dibandingkan dengan pembayaran
PPN-nya.
PT. Royal Bali Cemerlang juga mengikut sertakan Hendry ke dalama program pensiun, untuk
itu perusahaan membayar premi pension untuk Hendry sebesar Rp 150,000 setiap bulannya,
sedangkan Hendry juga harus membayar Rp 100,000 setiap bulannya yang langsung di potongkan dari
Gajinya.
Selanjutnya kita mulai hitung PPh Pasal 21-nya. Maka akan kita peroleh perhitungan seperti dibawah ini :
Jurnal (Pencatatan) Akuntansi Atas Gaji dan PPh Pasal 21 nya
Atas kasus di atas, maka pada PT. Royal Bali Cemerlang melakukan pengakuan dengan melakukan
pencatatan pada buku perusahaan, yang terdiri dari tiga tahap yaitu : Pada saat pembayaran gaji, pada
saat menyetor PPh Pasal 21 melalui bank persepsi atau Kantor Post, kemudian pada saat pembayaran
JAMSOSTEK dan Dana Pensiun. Perhatikan jurnal di bawah ini :
Setelah Pembayaran Gaji, penyetoran PPh Pasal 21 ke bank persepsi, dan pembayaran Asuransi dan
dana pension, maka pada buku besar akan nampak sebagai berikut :
Mengapa pengeluaran PPh Pasal 21 nya tidak muncul pada buku besar PT. Royal Bali
Cemerlang ?
Karena PPh Pasal 21 adalah “with holding tax”, perusahaan hanya selaku mandatory, hanya bertindak
selaku pemotong, lalu menyetorkannya ke kas negara.
Dengan kata lain, kas yang dikeluarkan untuk pembayaran PPh Pasal 21 adalah titipan karyawan, bukan
kas perusahaan lagi, karena jumlah yang dibayarkan adalah dipotongkan dari gaji karyawan. Sedangkan
kas perusahaan hanya dikeluarkan sebesar Gaji Pokok dan Tunjangan-tunjangan yang ditanggung
perusahaan.
Untuk maksud itulah tulisan ini dibuat ("bapak-bapak auditor pajak atau praktisi perpajakan yang
terhormat....... ijinkanlah saya membagi pengetahuan ini untuk teman-teman pembaca blog ini, agar
mereka tidak tersesat seperti saya dahulu. Bukankah ini juga akan meringankan bapak-bapak dalam
melakukan pemeriksaan :-P :-P ?" ).
Ekualisasi "PPh Pasal 21" dengan Pengakuan Biaya Gaji dan Upah Tenaga
Kerja Langsung pada "Laporan Laba Rugi"
Ini adalah Penyeimbangan antara Laporan PPh Pasal 21 dengan Ongkos Tenaga Kerja Langsung (Direct
Labour Cost) dan Biaya Gaji (Payroll Expenses)
Pada SPT PPh Pasal 21 –nya, wajib pajak (Perusahaan) melaporkan adanya Penghasilan Bruto
Karyawanhanya sebesar Rp 1,886,635,413 saja, sementara itu……..
Andai saja……….
Perusahaan menyadari bahwa antara Penghasilan Bruto pada Laporan PPh Pasal 21 dengan
pengakuanBiaya Gaji & Ongkos Tenaga Kerja Langsung pada Laporan Laba Rugi PPh Pasal
29, harus seimbang, tentu perusahaan akan membuat laporan sebagai berikut :
Temuan Penjualan sebesar Rp 8,593,213,094,- pada Laporan PPh Pasal 29, harus diikuti dengan
temuanpenjualan sejumlah yang kurang lebih sama pada Laporan PPn.
Karena Wajib Pajak hanya mengakui penjualan sebesar Rp 3,160,772,250 saja pada Laporan PPh Pasal
29 –nya, maka pemeriksa melakukan koreksi sebesar Rp 5,432,440,844. Pada PPn pun pemeriksa juga
melakukan koreksi yang kurang lebih sama dengan yang dilakukan pada PPh Pasal 29 –nya. Dengan
demikian maka Laporan PPn dengan Laporan PPh Pasal 29-nya sudah “equal” atau “Sesuai”atau
“berimbang”.
Baca juga artikel lain mengenai : Alur Proses Pembuatan Laporan Pajak [-baca-]
Short Description :
Artikel yang memberi pengetahuan praktis mengenai pehaman dan menavigasi laporan pajak, agar
laporan pajak anda menjadi lebih precisely antar satu halaman dengan lembar halaman yang
lain, penting untuk memuluskan proses pelaporan di kantor pajak [-baca-]
2). Dapat mengenali bahkan membuat laporan pajak dengan tingkat kesesuaian (persisi?) yang lebih
sempurna dan well matched antara satu lembar laporan dengan lembar laporan lain dalam satu jenis
laporan pajak.
3). Laporan yang memiliki tingkat kesesuaian yang sempurna akan membuat proses pelaporan di kantor
pajak menjadi cepat dan lancar.
4). Akan dapat mengarsipkan dokumen perpajakan dengan lebih sistematis, sehingga akan
mempermudah dalam proses pemeriksaan.
Laporan Utama : akan selalu berada di halaman paling muka. Semakin kebelakang jenis laporannya
akan semakin spesifik. Membutuhkan data-data yang semakin terperinci pula. Dan di halaman-halaman
akhir laporan disertai oleh lampiran-lampiran khusus.
Misalnya :
Jumlah (“Total Nilai”) dari masing-masing daftar, buku, dan bukti-bukti potong diatas, dipindahkan ke
blanko- blanko (forms) yang ada di lembar-lembar terakhir pada set laporan.
Selanjutnya, Total Nilai dari masing-masing halaman laporan (pada halaman-halaman terakhir),
dipindahkan ke halaman yang lebih di depannya, tentu saja tidak selalu ke halaman yang persis di
didepannya, bisa jadi jumping ke halaman paling depan (halaman utama). Ada petunjuk-petunjuk kecil
yang menginstruksikan nilai tersebut harus dibawa ke nlanko halaman berapa, baris ke berapa, kolom ke
berapa.
Walaupun topik ini bukan membahas mengenai cara mengarispkan laporan pajak, tidak ada salahnya
untuk diketahuai, bahwa cara pengarsipan yang benar susunan-nya seharusnya terurut dari paling depan
(atas) sampai ke lembar yang paling dibelakang (bawah) sebagai berikut :
2). Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ke-1, yang merupakan bukti pembayaran atas : uang muka pajak,
surat tagihan pajak (STP) yang sudah divalidasi oleh Bank Pembayar atau Kantor Post.
3). Slip setoran ke bank (Kantor Pajak) atas pembayaran pajak yang sesuai
4). Laporan Pajak (SPM PPn, SPT PPh 21 Masa, SPT PPh Pasal 29, SPT PPh Pasal 23, SPT PPh Pasal
4 (2), dan lain sebagainya).
5). Bukti Pemotongan ( Untuk jenis pajak yang bertype with holding : PPh Pasal 21, 23, 26, PPn).
6). Daftar-Daftar atau buku pembantu (Daftar aktiva & penyusutannya, daftar Piutang Dagang, daftar
Utang Dagang, Daftar Uang Muka ).
7). Laporan Keuangan atau laporan aktivitas tertentu dari perusahaan sehubungan dengan pajak yang
dilaporkan.
Bonus :
Konsultan Pajak dan…..Eghhhzzz... (silahkan dibaca saja)
Apakah anda memakai konsultan untuk mengurusi perpajakan?
Pernah kah anda memperhatikan susunan laporannya ?. Apakah in order seperti yang saya sebutkan
diatas ?. atau diacak (tidak tersusun seperti yang saya sebutkan) ?.
Kalau tidak pernah terurut, cobalah urutkan sendiri, lalu tanyakan kepada konsultannya, “mengapa
laporannya tidak tersusun seperti yang seharusnya ?”.
a). Dia tidak menjawab, akan tetapi dilaporan-laporan berikutnya, dia akan menyusunnya dengan benar.
Jika ini responnya, berarti si Bapak/Ibu Konsultan cuma ceroboh, atau terburu-buru.
b). Jangan kaget kalau anda mendapat jawaban : “Ada masalah dengan laporannya?, kan sudah rapi”.
Jika ini responnya… KICK HIM/HER OUT. Cari konsultan lain, atau mulai proceed in house, alias
tidak memakai konsultan :-) why not..?
Regardless, mau proses di dalam atau pakai konsultan yang lain, yang jelas…. Praktek konsultan seperti
itu tidak benar, berusaha menghalangi WP untuk memahami alur proses pembuatan laporan pajak.
Akan tetapi, mengingat Taxation merupakan salah satu aspek penting dalam praktek accounting dan
finance, saya pikir perlu juga disajikan artikel maupun tips yang terkait dengan masalah perpajakan.
Diusahakan untuk memberikan petunjuk yang benar, jelas, up to date dan mewakili praktek umum yang
terjadi di dalam perusahaan.
Jika anda perhatikan screen shoot, anda akan menemukan : Sisi kiri (Perhitungan PPh Pasal 21 -nya)
danSisi kanan ( Jurnal PPh Pasal 21 di buku Perusahaan ).
Dalam artikel ini, khusus akan membahas tentang
PPh Pasal 21 di lingkungan perusahaan (Corporate).
Untuk bisa memberikan gambaran yang jelas, pada sub-penialian atau penghitungan, akan langsung ke
contoh perhitungannya. Perhatikan 2 screen shoot.
Untuh Cara penghitungan kasus lain dan perlakuannya : Penghitungan Pajak Atas Bonus Akhir
Tahun,THR, Upah Satuan, Upah Borongan, Tenaga Ahli, pekerja part-timer, dan lain sebagainya, bisa
ditanyakan kepada saya by email atau kasi komentar di tulisan ini, nanti akan saya post-kan
jawabannya :)
Sekarang kita memasuki Harga Pokok Penjulana (COGS) untuk Usaha Dagang (Trading). Di artikel
ini akan dibahas mengenai alur, jurnal, perhitungan, dan pelaporan Harga Pokok Penjualan (COGS).
Inventory Valuation akan menjadi salah satu topic penting. Kajian perpajakan terkait dengan COGS akan
menjadi penutup artikel ini.
Seperti telah disebutkan pada artikel sebelumnya: Harga Pokok Penjualan (COGS) – Basic, bahwa
untuk usah dagang (trading), entah itu wholesaler maupun retailer, perhitungan harga pokok
penjualannya lebih sederhana dibandingkan dengan usaha manufaktur (Industry), namun demikian
usaha dagang memiliki characteristic yang khas, antara lain :
[-]. Tidak menggunakan mesin produksi, oleh karenanya tidak akan ada depreciation cost atas mesin.
Mungkin ada depreciation cost atas peralatan. Misal : peralatan vacuum untuk packing.
[-]. Tidak ada Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost), jikapun ada tenaga kerja yang terlibat dalam
membawa barang tersebut menjadi siap untuk dijual, cost-nya sulit untuk dialokasikan sebagai Upah
Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost), oleh karenanya upah tenaga kerja seperti ini biasanya
dibebankan sebagai bagian dari “Overhead Cost” i.e.: Ongkos packing.
[-]. Menjadi masalah tersendiri bagi perusahaan dagang yang menjual barang yang relative sama dalam
jenis, ukuran dan kwalitas, oleh karenanya diperlukan penerapan methode tertentu untuk menilai barang
persediaannya (Inventory Valuation) yang tentunya juga akan berpengaruh langsung terhadap
pembebanan inventory cost-nya.
Harga Pokok Penjualan usaha dagang terdiri dari 2 kelompok besar yaitu: Persediaan Barang
(Inventory ) dan Overhead saja.
A. Inventory :
Adalah persediaan barang dagangan yang diperoleh dari sisa persediaan periode sebelumnya yang
dalam akuntansi kita sebut sebagai saldo awal persediaan (opening balance) ditambah dengan
pembelian pada periode yang sama, dikurangi dengan sisa persediaan di akhir periode (Saldo Akhir =
Closing Balance), itulah inventory Cost yang dibebankan sebagai Harga Pokok Penjualan.
Jika kita konstruksi,maka struktur lengkap inventory-nya akan seperti dibawah ini:
A.2. Purchase:
A.2.a. Purchase
A.2.b. Freight In
A.2.c. Discount
A.2.d. Return
A.3. Sales
B. Overhead:
Elemen HPP (COGS) usaha dagang yang kedua adalah overhead, yaitu cost yang berpengaruh secara
tidak langsung terhadap harga pokok penjualan, berikut adalah overhead cost yang biasa muncul pada
usaha dagang:
B.1. Packing
B.2. Warehousing
B.3. Freight Out
Akumulasi semua element cost diatas itulah Total Harga Pokok Penjualan usaha dagang.
Detail dari masing-masing elemen di atas akan kita bahas pada sub-topic berikut ini.
Seperti telah disampaikan sebelumnya bahwa elemen COGS perusahaan dagang terdiri dari kelompok
besar yaitu: Inventory dan Overhead Cost.
Setiap proses akuntansi yang terkait dengan Neraca selalu berawal dari: Neraca berupa saldo awal
(Opening Balance), dilanjutkan dengan Current Activities (Transaksi Debit [minus] Transaksi Credit), yang
pada akhirnya akan bermuara ke Neraca kembali berupa saldo akhir (Closing Balance).
Demikian halnya dengan Inventory, Inventory adalah bagian dari Neraca. Maka alur inventory juga
berawal dari saldo awal inventory, selanjutnya:
Jika terjadi pembelian barang dagangan, maka saldo inventory akan bertambah juga.
Jurnalnya:
Dan jika terjadi penjualan barang dagangan , maka saldo inventory akan berkurang. Pada saat terjadi
penjualan inilah Inventory Cost diakui:
Jurnalnya:
Catatan: COGS adalah cost yang akan menjadi faktor pengurang Laba, seperti kita ketahui Laba adalah
element Neraca. Berkurangnya inventory pada aktiva di seimbangkan oleh berkurangnya laba pada
pasiva. Sehingga Neraca akan tetap dalam kondisi balance.
Karena ini transaksi penjualan, maka penjualan diakui di saat yang sama
Jurnalnya:
Jika kita gambarkan dalam bentuk diagram, maka alur transaksi harga pokok penjualan akan menjadi
seperti dibawah ini:
Inventory Cost :
Purchase:
Case:
UD. Sinar Kasih, pedagang kain di Pasar Tanah Abang , pada tanggal 01 Maret memiliki persediaan kain
dengan nilai Rp 1,000,000,- Selama bulan Maret UD. Sinar Kasih, untuk bisa melayani semua pesanan
dan penjualan, UD Sinar Kasih membeli kain dari Bandung senilai Rp 48,000,000 ditambah ongkos kirim
sebanyakRp 1,000,000. Selama bulan Maret UD Sinar kasih berhasil melakukan penjualan sebesar Rp
65,000,000.pada tanggal 31 Maret UD. Sinar Kasih membayar Listrik Rp 350,000, PAM Rp 50,000, Sewa
toko Rp 10,000,000, Gaji pegawai toko Rp 800,000 dan ongkos kirim barang ke pelanggan sebesar Rp
500,000.Setelah dihitung fisik kainnya, diketahui saldo akhir persediaan kain adalah Rp 300,000 saja.
Problems:
[1]. Berapa Harga Pokok Penjualan UD Sinar Kasih untuk periode Maret?
[2]. Berapa Laba Kotor UD. Sinar Kasih untuk Maret?
Solving:
Overhead Cost :
Apakah listrik termasuk? Tidak karena berapapun jumlah transaksi biaya listrik tetap
Apakah PAM termasuk? Tidak
Sewa Toko termasuk? Tidak
Gaji pegawai toko termasuk? Tidak
Ongkos kirim kain ke pelanggan? Termasuk, Rp 500,000
Mudah bukan?
Begitulah typically contoh kasus yang biasa kita jumpai, semudah itu.
Pernahkah berpikir: Darimana Saldo Akhir persediaan sebesar Rp 300,000 ribu di atas diperoleh?.
Ini kuncinya!
Gampangnya?
Kalau barang tersebut sifatnya unique (berbeda antara barang yang satu dengan yang lainnya, dari:
harganya, ukuran, kwalitas, warna, unit price) tentu mudah untuk kita manage, apalagi jika barangnya
sedikit. Tinggal pasang sticker/hanging tag pada masing-masing barang (per batch), isi specification &
unit price di masing-masing sticker. Trus di akhir periode lakukan PHYSICAL COUNT…. Bang ! dapat
sudah. Itu namanya menggunakan PHYSICAL COUNT METHOD.
Susahnya?
Bagaimana jika barangnya tunggal, dan tidak unique, fisiknya semua sama, warna sama, bentuk sama,
ukuran sama, kwalitas juga sama atau relative sama, yang dijual barang itu-itu saja dari periode ke
periode, tetapi harga belinya variatif, beda-beda, harga jualpun beda-beda tentunya. Bagaimana
menghitungnya? Begaimana menentukan Inventory-nya, Bagaimana menentukan Inventory Cost-nya?.
Bukankah harga beli diketahui, seharusnya bisa menentukan berapa inventory costnya. Tetapi kadang-
kadang sisa barang 2 hari yang lalu harganya Rp 5/biji sebanyak 5 biji, trus tadi beli sebanyak 10 biji
harganya Rp 6, sementara tadi laku 11 biji. Trus harga pokoknya dihitung berapa? Rp 5/biji atau Rp 6 per
biji?.
Okay, kita punya 3 pilihan methode untuk menentukan Harga Pokok sekaligus nilai persediaan di
akhir periode nanti, yaitu:
Case:
UD. Cahaya Murni adalah toko yang menjual gula tebu. Pada tanggal 01 Maret diketahui Jumlah
persediaan sebanyak 100 Kg, dengan nilai Rp 300,000. Dan dari buku catatan nampak transaksi seperti
dibawah ini:
Problem:
Berapa Inventory Cost UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?
Berapa Nilai Persediaan UD. Cahaya Murni di akhir periode Maret?
Berapa Laba Kotor UD. Cahaya Murni jika tidak ada Overhead Cost?
Seperti saya sebutkan di atas, bahwa persediaan type ini dapat kita ukur hitung dengan menggunakan 3
methode. Kita akan coba hitung dengan menggunakan masing-masing methode di atas:
Harga Pokok (Inventory Cost) Barang yang terjual per unit-nya ditentukan dengan menjumlahkan saldo
awal dengan nilai pembelian, lalu dibagi dengan Quantity saldo akhir ditambah dengan Quantity barang
yang dibeli. Formulasinya:
HPP/Unit = (Rp Saldo awal + Rp Pembelian) : (Qty Saldo Awal + Qty pembelian)
Jika saya teruskan semua transaksi maka tabelnya akan seperti dibawah ini:
Catatan : Perhatikan summary
COGS = Rp 396,565
Closing Balance = Rp 206,435
FIFO acronym dari “First In First Out” maksudnya, barang yang masuk duluanlah yang dijual terlebih
dahulu.
Transaksi 1 Maret:
Karena barang yang ada hanya saldo awal 100 kg, maka yang dijual sebanyak 40 kg menggunakan unit
cost saldo awalnya = 300,000 : 100 = Rp 3,000
Total HPP 1 Maret = Rp 3,000 x 40 kg = Rp 120,000
Closing Balance = Rp 300,000 – 120,000 = Rp 180,000
Transaksi 10 Mar:
Pembelian 30 kg seharga Rp 3,100/kg, total pembelian = Rp 93,000,-
Terjual 65 kg, menggunakan unit cost yang mana?
Karena tanggal 1 Mar sudah laku 40 kg, maka sisa barang yang menggunakan unit price sebelumnya
tinggal 60 kg, tidak cukup untuk menutup penjualan yang 65 kg, maka:
60 kg menggunakan unit price Rp 3,000
5 kg menggunakan unit price Rp 3,100
Total HPP 10 Maret:
60 x 3,000 = 180,000
5 x 3,100 = 15,500
----------------------- (+)
Total HPP = 195,500,-
Jika dimasukkan ke dalam table maka akan menjadi seperti dibawah ini:
LIFO stand for “Last In First Out”. Maksudnya “Barang yang masuk belakangan dijual terlebih dahulu”.
Kedengarannya aneh. Memang aneh karena cara ini akan membuat HPP menjadi tidak realistic. Pikirkan,
cost yang dibebankan menggunakan cost dari pembelian terakhir, tanpa memperhitungkan adanya
kemungkinan barang yang terjual tercampur antara persediaan yang menggunakan harga lama ditambah
dengan barang baru dengan harga baru. Di negara luar (misalnya USA) methode ini sangat tidak
dianjurkan, bahkan dianggap praktek illegal, jikapun ada yang mengguanakan methode ini, maka akan
diawasi sangat ketat oleh pemerintahnya.
Ok, kita coba hitung dengan methode ini seperti apa hasilnya?
Transaksi tanggal 01 maret bisa kita ketahui hasilnya akan sama dengan methode yang lainnya, so tidak
perlu kita coba.
Kesimpulan :
Kajian Perpajakan
COGS atau Harga Pokok Penjualan adalah vital dalam perhitungan pajak, tinggi rendahnya PPh sangat
dipengaruhi oleh Harga Pokok Penjualan. Untuk nilai penjualan yang sama, semakin tinggi Harga Pokok
Penjualannya, maka semakin rendahlah labanya, sudah tentu pajaknya juga akan makin rendah, and
vice versa.
[1]. Freight: freight adalah elemen COGS, pengakuan biaya freight harus sesuai.
Jika kita perhatikan dari kesimpulan di atas, jelas bisa kita lihat bahwa menggunakan LIFO method
akan menghasilkan COGS paling tinggi. Mengapa? Karena trend harga pembelian terus meningkat.
Ingat konsep LIFO, unit cost yang dipakai sebagai dasar penghitung HPP adalah harga pembelian yang
the most recent (terkini?). Kita tahu di negara kita tercinta ini Inflasi cenderung meningkat dari bulan ke
bulan and tahun ke tahun. Kejadian harga turun adalah langka. Menggunakan LIFO method akan
menghasilkan PPh paling rendah!
COGS tertinggi berikutnya adalah “Average Method”, hampir mendekati LIFO, hanya saja value yang
diambil adalah nilai tengahnya.
FIFO, adalah yang paling rendah COGS-nya. Sekaligus yang paling realistic.
Apapun methode yang anda gunakan boleh saja, sepanjang anda terapkan secara CONSITANT.
Apakah masih mau memakai LIFO? Untuk mengurangi PPh? Mau?.
Menggunakan LIFO, disatu sisi COGS anda saat ini akan menjadi tinggi, so anggaplah PPH menjadi
lebih rendah dibandingkan 2 method lainnya. Ingat formula COGS?
Saldo Akhir periode lalu adalah saldo awal periode sekarang, so….?
Saldo Akhir periode sekarang adalah saldo awal periode yang akan datang bukan?.
Jika COGS periode sekarang lebih tinggi, maka saldo akhir akan menjadi lebih rendah bukan?, then?
Artinya saldo awal periode yang akan datang menjadi lebih rendah dari yang seharusnya bukan?. Untuk
purchase yang sama, COGS yang sama, tetapi saldo awalnya lebih rendah dari yang seharusnya,
apakah yang akan terjadi?, COGS jadi lebih rendah juga!. So? COGS sekarang memang lebih tinggi,
tetapi tahun depan?. Lebih rendah dari yang seharusnya bukan? Bukan? Perlu pengujian yang lebih jauh
dan detail. Ada yang berminat untuk mengotak-atiknya selepas kerja? Daripada nonton sinetron… :P
Okay, kalau saya ada cukup waktu PASTI akan saya uji lebih jauh tentang hal ini.
Z`