Anda di halaman 1dari 120

Machine Translated by Google

Universitas Erasmus Rotterdam

MSc Ekonomi Maritim dan Logistik

2014/2015

Evaluasi Efisiensi Terminal Kontainer


Kinerja di Indonesia: Investasi Masa Depan

oleh

Dwi Sukmawati Syafaaruddin

Hak Cipta © Dwi Sukmawati Syafaaruddin


Machine Translated by Google
Machine Translated by Google

Ucapan Terima Kasih

Akhirnya, inilah jawaban atas segala keraguan terhadap keputusan kuliah di luar negeri. Alhamdulillah, puji syukur
yang sebesar-besarnya kupanjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat-Nya, melalui tangan-tangan tak kasat
mata-Nya menuntunku hingga menemukan diriku berada pada titik di mana aku menyadari bahwa segala sesuatu
terjadi karena suatu alasan.

Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan dan bimbingan dari Kantor Ekonomi dan
Logistik Maritim, Universitas Erasmus Rotterdam, terutama pembimbing tesis saya Dr. Simme Veldman. Skripsi ini
tidak akan terwujud tanpa dorongan dan saran yang mendalam.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada kedua orang tua saya tercinta, Ayah, dan mertua
saya atas dukungannya selama saya kuliah di Rotterdam, karena saya yakin saya mampu melewati masa sulit ini
karena Allah mendengarkan doa mereka untuk saya.

Terima kasih khusus kepada suami saya, Lendy, tentu saja, atas dukungannya yang tiada henti, kesabarannya
mendengarkan semua cerita sedih saya, dan pengertiannya ketika saya berada dalam emosi labil selama studi saya.
Saya tidak akan pernah berada di sini tanpa pengorbanan dirinya yang tiada akhir.
Yang kedua, terima kasih khusus untukmu, bayi laki-lakiku, Dek Hisham, karena telah menjadi anak yang baik. Kamu
tidak pernah membuatku khawatir, selalu tunjukkan senyummu dan kata-katamu yang sederhana mengingatkanku
untuk terus berjuang dan belajar dengan baik di sini.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada keluarga saya atas kasih sayang dan doanya selama saya tinggal
di Rotterdam, Ika, Afi, Risky, Lutfi, Win, Lus, Putu dan Lerdy. Aku merasa kalian semua adalah anugerah dari Allah
untukku.

Saya berterima kasih secara khusus kepada teman-teman saya di Indonesia atas bantuan dan komentarnya yang
bijaksana terhadap tesis saya, Topik, atas diskusi panjang yang kami lakukan di perpustakaan Erasmus, Kevin dan
Bagus atas STATA, Ferdhi, Luh, dan Clara atas “penilaian ahli”
dan semua teman-teman yang membantu saya mengumpulkan data.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada perusahaan saya, Pelindo III, yang telah memberikan saya kesempatan
dan beasiswa untuk program master saya di Erasmus University Rotterdam.

Akhir kata saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua teman-teman MEL Kelas 2014/2015. Kami telah
menghabiskan saat-saat indah di Rotterdam melalui semua hal terburuk dan terbaik dalam perjalanan kami bersama.
Itu sangat berarti.

Dwi Sukmawati Syafaaruddin

20 Agustus 2015

aku aku aku


Machine Translated by Google
Machine Translated by Google

Abstrak

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dan letaknya yang strategis
antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menjadikan sektor maritim menjadi sangat penting.
Hal ini terlihat dari volume kargo peti kemas yang meningkat secara bertahap dengan laju sekitar
7,7% setiap tahunnya. Penerapan undang-undang dalam negeri No. 17/2008 tentang Pelayaran,
menghilangkan kekuatan monopoli Pelindo sebagai operator terminal utama dan memungkinkan
pendatang baru bersaing dalam bisnis pelabuhan.
Namun, untuk mempertahankan posisi kompetitifnya sebagai operator terminal utama, Pelindo harus
menjaga efisiensi karena hal tersebut merupakan salah satu faktor kunci keberhasilannya.
Penelitian ini menggunakan tiga jenis analisis: analisis permintaan, analisis pengukuran efisiensi,
dan analisis pasokan untuk 18 terminal peti kemas di Indonesia dengan menggunakan data time
series dan cross section. Analisis permintaan dilakukan dengan proyeksi throughput peti kemas
setiap 5 tahun menggunakan metode pengganda PDB, yang didasarkan pada throughput peti kemas
dan PDRB dari tahun 2009 hingga 2013.
Analisis pengukuran efisiensi menggunakan metode non parametrik yaitu Data Envelopment
Analysis (DEA) yang didasarkan pada kondisi tahun 2014. Model DEA Constant Return to Scale
(CRS) dengan versi input oriented digunakan untuk pengukuran kinerja efisiensi. menerapkan
perangkat lunak Stata. Tujuh masukan
Variabel yang diambil yaitu luas lapangan peti kemas, draft maksimum, panjang dermaga, indeks
quay crane, indeks penumpukan halaman, kendaraan, jumlah lajur pintu dan throughput sebagai
outputnya. Suatu pelabuhan dikategorikan efisien jika hasilnya sama dengan 1 dan tidak efisien jika
kurang dari 1.
Pasokan terminal peti kemas dievaluasi berdasarkan kapasitas dermaga dan kapasitas halaman.
Kapasitas dermaga dalam TEU/tahun dihitung dengan mengalikan panjang dermaga (m) dengan
kapasitas dermaga per meter panjang (TEU/m). Kapasitas dermaga per meter panjang dinilai
dengan mengalikan call size (pergerakan) dengan rasio hunian dermaga setiap pelabuhan dan
faktor Teu. Kapasitas halaman dalam TEU/tahun dihitung dengan mengalikan kapasitas halaman
kontainer (TEU) dengan pemanfaatan maksimum halaman (%) dibagi dengan faktor pemisahan (%),
faktor puncak (%) dan waktu tinggal (hari). Baik throughput sebagai permintaan maupun sebagai
kapasitas pasokan akan digabungkan untuk menilai waktu ketika terjadi kondisi kemacetan
terjadi.

Hasilnya menunjukkan bahwa total proyeksi throughput untuk tahun 2020, 2025, dan 2030 masing-
masing adalah 23 juta TEU/tahun, 37 juta TEU/tahun, dan 58 juta TEU/tahun. Dalam hal ini
penyumbang terbesar adalah Pelabuhan Tanjung Priok dan JICT (23% dan 26%).
Apalagi jika dilihat dari nilai efisiensinya yang bernilai 1, diketahui 7 dari 18 terminal sudah efisien,
yaitu Tanjung Priok, JICT, Tanjung Perak, TPS, BJTI, Pelabuhan Makassar, dan UTPM.

Selain itu, jika dilihat dari kapasitasnya, terlihat bahwa 12 dari 18 terminal peti kemas memenuhi
lebih dari 80% permintaan saat ini. Yang mengejutkan, Tanjung Perak memiliki rasio tertinggi, disusul
Tanjung Priok, JICT, KOJA, dan TPS.
Terakhir, analisis penawaran dan permintaan menilai waktu yang tepat untuk berinvestasi sebagai
indikator masalah kemacetan. Tampaknya 7 dari 18 terminal peti kemas tidak hanya teridentifikasi
sebagai terminal peti kemas yang efisien, namun juga terindikasi memiliki kondisi kemacetan
terburuk. Oleh karena itu, ke depan harus diatasi
mengatasi permasalahan kemacetan dan mempertimbangkan investasi infrastruktur untuk
mengurangi hambatan kemacetan ini.

ay
Machine Translated by Google
Machine Translated by Google

Daftar isi

Ucapan Terima Kasih ................................................. ................................................. .aku aku aku


Abstrak................................................. ................................................. ................ v

Daftar isi............................................... ................................................. ...vii

Daftar tabel............................................... ................................................. ..........ix

Daftar Gambar............................................... ................................................. ......... xi


Daftar Singkatan............................................... ................................................xiii

1. PERKENALAN................................................. ................................................1

1.1. Latar Belakang dan Relevansi Bisnis ........................................ ..........1 1.2. Pertanyaan dan

Tujuan Penelitian................................................ ................3 1.3. Ruang Lingkup dan Keterbatasan

Penelitian................................................ ............4 1.4. Metodologi

Penelitian ................................................ ................................5


2. TINJAUAN PUSTAKA.................................................. ........................................7

2.1. Kinerja Investasi dan Efisiensi Terminal Peti Kemas ............7


2.1.1. Terminal Kontainer Terkait Investasi Pelabuhan......................................7

2.1.2. Kinerja Efisiensi Terminal Peti Kemas......................................8 2.2. Indikator Pengukuran

Kinerja Efisiensi dan Benchmarking .........9


2.3. DEA untuk Pengukuran Kinerja Terminal Kontainer................................12

2.3.1. Pemrograman Linier DEA dan Orientasi Model................................16


2.4. Penelitian DEA untuk Terminal Kontainer ............................................. ......18

2.4.1. Penelitian DEA di Seluruh Dunia.................................................. .................18

2.4.2. Penerapan DEA Sebelumnya di Pelabuhan Indonesia ........................24


3. METODOLOGI................................................ ................................................27

3.1. Pengukuran Kinerja Efisiensi................................................ .......27 3.2. Perkiraan Permintaan

Menggunakan Pengganda PDB.................................. ......29


3.3. Data dan Pengumpulan................................................. ...................................30

3.3.1. Profil Pelabuhan Belawan.................................................. ...........................30

3.3.2. Profil Terminal Kontainer Internasional Belawan (BICT) ................31 3.3.3. Profil Pelabuhan

Tanjung Priok .................................................. ...............31 3.3.4. Profil Pelabuhan

Panjang ............................................... ........................33 3.3.5. Profil Pelabuhan

Palembang ........................................ ......................33


3.3.6. Profil Pelabuhan Pontianak ............................................ ........................34

3.3.7. Profil Pelabuhan Teluk Bayur .................................................. ......................34

vii
Machine Translated by Google

3.3.8. Profil Pelabuhan Jambi ........................................ ................................ 35

3.3.9. Profil Pelabuhan Tanjung Perak.................................................. .................. 35 Profil


3.3.10. Pelabuhan Banjarmasin................................ ................................... 36 Profil Terminal
3.3.11. Petikemas Semarang (TPKS)...... ........................ 36 Profil Terminal Petikemas
3.3.12. Surabaya (TPS) .................. ............... 37 Profil Berlian Jasa Terminal Indonesia
3.3.13. (BJTI).................. .... 37
3.3.14. Profil Pelabuhan Makassar................................................ ............... 38

3.3.15. Profil Pelabuhan Unit Terminal Petikemas Makassar (UTPM) ............... 38 Profil
3.3.16. Terminal Kontainer Bitung.................. ................................ 38
4. PENGOLAHAN DATA................................................ ........................................ 41

4.1. Hasil Peramalan Efek Pengganda.................................................. ............ 41 4.1.1. Pertumbuhan


ekonomi................................................ ............... 41 4.1.2. Throughput

Kontainer................................................ ...................... 44 4.1.3. Elastisitas Kontainer dan Hubungan

antara Throughput Kontainer dan PDRB .................................. ................................................. ............


46

4.1.4. Perkiraan Throughput Kontainer ............................................ ......... 50


4.2. Hasil DEA untuk Kondisi Awal............................................ ............... 51

4.2.1. Data Pengukuran Efisiensi Terminal Peti Kemas ............................ 52


4.2.2. Hasil DEA................................................. ........................................ 54

4.3. Analisis Kapasitas Terminal................................................ ...................... 58 4.3.1. Kapasitas

Tempat Berlabuh................................................. ................................. 58 4.3.2. Kapasitas

Halaman................................................ ................................... 64 5. Perbandingan Kapasitas dan

Throughput Pelabuhan Kontainer...... ................................ 67


6. Kesimpulan dan Rekomendasi ................................................ ............... 75

6.1. Kesimpulan................................................. ............................................ 75

6.2. Area untuk Penelitian Lebih Lanjut .................................................. ........................ 75

6.3. Rekomendasi................................................. ................................... 76

BIBLIOGRAFI................................................. ................................................. .77

LAMPIRAN................................................. ................................................. ..... 83

Lampiran 1 ................................................ ................................................. ...... 83 Lampiran

2 ......................................... ................................................. ............. 88 Lampiran

3 .................................. ................................................. .................... 89 Lampiran

4 ........................ ................................................. ........................... 90 Lampiran

5 .................... ................................................. ................................. 91 Lampiran

6 ............. ................................................. ................................. 92

viii
Machine Translated by Google

Daftar tabel

Tabel 1 Informasi Detail Kategori Pelabuhan................................................ ..................4


Tabel 2 Pengukuran Efisiensi dan Efektivitas Sektor Logistik Transportasi 9 Tabel 3
Indikator Kinerja ............... ................................................. ..............10 Tabel 4 Indikator
Kinerja Pelabuhan.................................. ..................................10 Tabel 5 Indikator
Pelabuhan Berdasarkan Terminal Produktivitas .................................11 Tabel 6
Ringkasan Studi DEA Industri Pelabuhan Terkait.................................19 Tabel 7 DEA
Tipe Model................................................. ......................................23 Tabel 8
Pengukuran Efisiensi Input dan Output oleh DEA .. ................................28 Tabel 9
Detil Sumber Data .......... ................................................. ........................30 Tabel 10
CAGR PDRB pada Harga Pasar Konstan tahun 2000.............. ...............42 Tabel 11
Perkiraan Tingkat Pertumbuhan PDB ........................ ......................................43 Tabel
12 CAGR PDRB menurut Provinsi pada Periode Sasaran .................................44
Tabel 13 Laju Pertumbuhan Kontainer.. ................................................. .....45 Tabel
14 Elastisitas Kontainer untuk 18 Pelabuhan.................................. ........................47
Tabel 15 Throughput dan PDRB tahun 2009 dan 2013.............. ................................47
Tabel 16 Elastisitas Kontainer Pelabuhan di Indonesia....... ..................................49
Tabel 17 Perkiraan Throughput Kontainer .. ................................................. .......50
Tabel 18 Definisi Variabel Input dan Output ........................ ....................51 Tabel 19
Input dan Output Data DEA.................. ............................................52 Tabel 20
Statistik Deskriptif tentang Data Input dan Output................................................54
Tabel 21 Korelasi Antar Variabel Masukan................................................ ........54
Tabel 22 Skor Efisiensi DEA 2014.................................. ................................57 Tabel
23 Referensi Rekan DMU Sasaran...... ................................................57 Tabel 24
Slack Input dan Output DEA................................................ ................................58
Tabel 25 Draft dan LOA Berdasarkan Ukuran
Kapal ................ .................................................59 Tabel 26 Rata-rata Ukuran Kapal
Berdasarkan Terminal Kontainer.................................. ..60 Tabel 27 Load Factor
Berdasarkan Rentang Throughput .................................. .......61 Tabel 28 Faktor
Beban Berdasarkan Terminal Kontainer................................ ......................62 Tabel 29
Pangsa Pasar Pelabuhan Menurut Provinsi ................... ...............................................63
Tabel 30 Kapasitas Tempat Berlabuh.. ................................................. ...................................64
Tabel 31 Kapasitas Yard........ ................................................. ................................66
Tabel 32 Rasio Permintaan dan Kapasitas Tempat
Berlabuh .......... ................................................69 Tabel 33 Rasio Permintaan dan Kapasitas Halaman ...

ix
Machine Translated by Google

X
Machine Translated by Google

Daftar Gambar

Gambar 1 Wilayah Kerja Pelabuhan Indonesia................................................ ...............2


Gambar 2 DMU dan Satuan Homogen.................. ............................................14 Gambar 3
Perbedaan BCC dan Model Aditif.. ................................................. ...16 Gambar 4 Tingkat
Pertumbuhan Tahunan Indonesia.................................. ................................41 Gambar 5
Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Belawan .............. ....................92 Gambar
6 Kapasitas Optimal Yard dan Tempat Berlabuh BICT ............... ............................93 Gambar
7 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Tanjung Priok ......... ..................94 Gambar
8 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga JICT...................... ...........................95 Gambar 9
Kapasitas Optimal Yard dan Tempat Berlabuh KOJA ............. ................................95 Gambar
10 Yard dan Tempat Berlabuh Kapasitas Optimal Pelabuhan Panjang ..... .............................96
Gambar 11 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Palembang .......... ...................97
Gambar 12 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Pontianak .................... ...........97
Gambar 13 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Teluk Bayur ........................ .98
Gambar 14 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Jambi.................................. 99
Gambar 15 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Tanjung Perak .......................
100 Gambar 16 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga BJTI...... ...................................... 101
Gambar 17 Yard dan Tempat Berlabuh Kapasitas Optimal TPS. ............................................
101 Gambar 18 Halaman dan Kapasitas Optimal Tempat Berlabuh Pelabuhan
Banjarmasin .................. 102 Gambar 19 Kapasitas Optimal Yard dan Tempat Berlabuh
TPKS ......... ................................ 103 Gambar 20 Yard dan Tempat Berlabuh Kapasitas
Optimal Pelabuhan Makassar..... ................................ 104 Gambar 21 Kapasitas Optimal Yard
dan Dermaga UTPM ............... ........................... 104 Gambar 22 Yard dan Dermaga Kapasitas Optimal BCT ........

xi
Machine Translated by Google
Machine Translated by Google

Daftar Singkatan

CAGR Tingkat Pertumbuhan Tahunan Majemuk


PPP Kemitraan Pemerintah Swasta
SMK Bankir, Charnes dan Cooper
CCR Charnes, Cooper dan Rhodes
CRS Pengembalian Konstan ke Skala

Dea Analisis Amplop Data


DMU Unit Pengambil Keputusan, Terminologi DMU sendiri mengambil

dari penelitian Charnes, Cooper dan Rhodes pada tahun 1997


1978

GLC Derek Gantry Luffing


RDEA Analisis Envelopment Data Rekursif
RMGC Derek Gantry yang Dipasang di Rel
RTGC Derek Gantry Ban Karet
TEU Dua Puluh Satuan Setara
UNCTAD Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan
VRS Variabel Kembali ke Skala

PDB Pertumbuhan Produk Dalam Negeri

PDRB Produk Domestik Regional Bruto


bor Rasio Keterisian Tempat Berlabuh

YOR Rasio Penghunian Halaman

xiii
Machine Translated by Google
Machine Translated by Google

1. PERKENALAN
1.1. Latar Belakang dan Relevansi Bisnis
Transportasi menjadi sangat diperlukan seiring dengan semakin maraknya globalisasi perekonomian.
Produksi barang setengah jadi sebagai bahan baku barang akhir cenderung dilakukan di lokasi dan/atau
negara yang berbeda karena alasan ekonomi. Upah buruh yang lebih rendah, pajak yang lebih rendah,
politik, biaya material yang murah, misalnya, menjadikan permintaan transportasi menjadi permintaan
turunan (derived demand). Sejalan dengan tren tersebut, angkutan peti kemas pun tumbuh semakin
pesat karena menawarkan berbagai keunggulan dibandingkan alat angkutan tradisional. Fakta bahwa
terminal peti kemas mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai penghubung antara laut dan
daerah pedalaman, menunjukkan bahwa kualitas produksi dan pelayanannya tidak dapat diabaikan.

Terkait dengan keluaran peti kemas global, berdasarkan proyeksi manufaktur pelabuhan dan ekspor
internasional (IMEX), keluaran diperkirakan sebesar 985 juta TEU pada tahun 2020 dari 650 juta TEU
pada tahun 2013 (Schäfer, 2015). Tingkat pertumbuhan throughput mencapai tingkat pertumbuhan
tahunan gabungan (CAGR) sebesar 6,1% (Schäfer, 2015). Jika dilihat dari dekat, Asia diperkirakan
memiliki pangsa sebesar 65% dari volume pengiriman global dan lalu lintas transshipment sebesar 32%
dari total volume pada tahun 2020, bukan 56% dan 22,5% pada tahun 2013 (World Cargo News, 2015).
Pada tahun 2002, studi tentang Bangsa (2005)
menunjukkan bahwa Asia menghasilkan 55% dari total perdagangan dan diperkirakan akan meningkat
menjadi 64% pada tahun 2015. Perkiraan dan fakta menunjukkan persentase pangsa yang wajar,
dimana pada tahun 2013 Asia mengambil 56% pangsa dan pada tahun 2015 diperkirakan meningkat
menjadi 64 %. Selain itu, peti kemas telah menghabiskan dua pertiga total kargo umum dalam
perdagangan laut. Dengan demikian, tren peti kemas akan memaksa pelabuhan untuk meningkatkan
kinerjanya karena kemampuannya mempertahankan pasar dan juga menangkap pasar baru.

Investasi baik infrastruktur maupun suprastruktur dapat menjadi salah satu langkah yang diambil
pelabuhan untuk menghadapi tren pertumbuhan pasar peti kemas. Diharapkan dapat mengusulkan
efisiensi yang lebih baik dalam penanganan kargo yang akan meningkatkan pengurangan biaya dan
meningkatkan kinerja karena pelabuhan memainkan peran penting dalam rantai logistik. Pada akhirnya,
hal ini akan memungkinkan pelabuhan untuk menangkap pasar kontainer yang lebih besar yang berarti
menambah keuntungan dan mendapatkan keuntungan ekonomi bagi pelabuhan itu sendiri dan juga pemegang sahamnya.
Investasi infrastruktur dan suprastruktur yang agresif telah dilakukan oleh pelabuhan gerbang utama,
seperti Pelabuhan Rotterdam, melalui otomatisasi terminal peti kemas di Maasvlakte II. Meskipun
biayanya sangat besar, pelabuhan mengalami peningkatan substansial dalam kapasitasnya untuk
membenarkan investasi tersebut, baik dengan menurunkan biaya operasional untuk menarik pasar atau
pesaing mereka atau meningkatkan kinerjanya.
Otomatisasi port memungkinkan pembuatan produk yang stabil dengan kinerja yang konsisten dan andal
sepanjang waktu.

Pelabuhan niaga di Indonesia mempunyai peranan penting dalam distribusi logistik nasional dan
internasional. Pelabuhan tidak lagi hanya sebagai pintu gerbang kargo tetapi juga menjadi pusat logistik
(Pettit & Beresford, 2009). Terlebih lagi, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar yang 70% luas
wilayahnya ditutupi lautan dan karena letaknya yang strategis antara Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik, menjadi penggerak utama bisnis maritim. Dari 5 tahun terakhir, perdagangan antar pulau di
Indonesia mengalami peningkatan hingga 37% dan diperkirakan akan terus meningkat dalam waktu
dekat, seiring dengan pertumbuhan PDB Indonesia (Susantono, 2012). Laju pertumbuhan PDB tahunan
Indonesia pada awalnya mencapai 4,71%.

1
Machine Translated by Google

kuartal tahun 2015 dibandingkan kuartal pertama tahun 2014 (Trading Economic, 2015). Selain
itu, pada bulan Juni 2015 dilaporkan Indonesia mengalami surplus perdagangan sebesar USD
477,7 juta, beralih dibandingkan tahun sebelumnya dimana Indonesia mengalami defisit
perdagangan. Menurut Drewry (2012), kargo dalam peti kemas rata-rata meningkat sebesar 8,4%
setiap tahun dan throughput juga tumbuh sekitar 7,7% per tahun.

Sejalan dengan perkembangan perekonomian Indonesia yang menangani dua pertiga


perdagangan internasional dan lalu lintas peti kemas di Indonesia, pembangunan infrastruktur
harus ditetapkan sebagai pendorong utama bisnis pelabuhan yang berkelanjutan (Maritime Insight, 2014).
Saat ini, Indonesia memiliki skor infrastruktur pelabuhan yang lebih rendah di antara negara-
negara ASEAN+6, hal ini menunjukkan kinerja kualitas infrastruktur yang buruk (OECD, 2012).

Pelabuhan Indonesia dikelola oleh 4 (empat) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbeda yang
dibagi berdasarkan wilayah kerjanya. Masing-masing Badan Usaha Milik Negara mempunyai
jumlah cabang yang berbeda-beda, PT Pelabuhan Indonesia I (Persero) atau Perusahaan
Pelabuhan Indonesia Wilayah I atau Pelindo I hadir dengan 16 cabang, PT Pelabuhan Indonesia
II (Persero) atau Perusahaan Pelabuhan Indonesia Wilayah II atau Pelindo II memegang 12
cabang, PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) atau Perusahaan Pelabuhan Indonesia Wilayah IV
atau Pelindo I hadir beserta 17 cabang dan PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero) atau Perusahaan
Pelabuhan Indonesia Wilayah IV atau Pelindo IV memiliki 22 cabang.
Untuk lebih jelasnya wilayah kerja masing-masing Pelindo yang dikerahkan
pada Gambar 1 dibawah ini:

Sumber : Suryanto (2015)

Gambar 1 Wilayah Kerja Pelabuhan Indonesia

Perubahan signifikan terjadi pada tahun 2008 ketika Indonesia memberlakukan undang-undang
dalam negeri No. 17/2008 tentang Pelayaran. Ketentuan ini membagi fungsi regulator dan operator
di sepanjang pelabuhan, sehingga diharapkan akan muncul otoritas pelabuhan baru yang akan
menangani beberapa fungsi yang sebelumnya dipegang oleh Pelindo. Selanjutnya melalui

2
Machine Translated by Google

pemisahan fungsi, pemberlakuan UU No. 17 Tahun 2008 menghilangkan kekuasaan monopoli yang
sebelumnya dimiliki Pelindo. Hal ini memungkinkan operator lain untuk bersaing dalam bisnis pelabuhan.

Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan terbesar dan kargo peti kemas rata-rata meningkat
sebesar 8,4% setiap tahunnya, sementara throughput juga tumbuh sekitar 7,7% per tahun, maka kinerja
yang lebih baik harus dilakukan oleh Pelabuhan Indonesia yang akan memberikan nilai tambah untuk
mempertahankan posisi kompetitif. dalam kompetisi pelabuhan internasional karena penerapan undang-
undang dalam negeri No.17/2008 tentang Pelayaran. Telah dikatakan di atas bahwa Indonesia
menunjukkan kinerja kualitas infrastruktur yang buruk menurut laporan OECD, sehingga keputusan
investasi yang tepat harus dipertimbangkan oleh seluruh Pelabuhan di Indonesia tidak hanya untuk
mengatasi pertumbuhan produksi ini tetapi juga untuk menarik lebih banyak kunjungan kapal kontainer.
Oleh karena itu, kinerja terminal peti kemas yang efisien harus diperhitungkan untuk memutuskan investasi
di masa depan guna meningkatkan kinerja pelabuhan atau menjaganya tetap stabil jika terminal tersebut
memiliki kinerja yang sangat efisien yang akan menarik lebih banyak kapal untuk datang ke pelabuhan
dan mendapatkan keuntungan. lebih banyak keuntungan dari segmen bisnis ini.

Penelitian sebelumnya di Indonesia mengenai subjek serupa dilakukan oleh Purwantoro (2004),
Andenoworih (2010) dan Sari (2014) yang akan diuraikan nanti di Bab 2.4.
Masing-masing peneliti mempunyai kelemahan, seperti Purwantoro (2004) yang berhubungan dengan
produktivitas total pelabuhan yang inputnya berasal dari jasa kelautan, sehingga definisi DMU sangat
kasar karena melibatkan seluruh sektor pelayaran, sehingga hasilnya juga sama. kasar. Andenoworih
(2010) memiliki analisis yang hampir sama dengan Purwantoro, namun ia hanya memiliki 12 terminal peti
kemas dan input yang lebih sedikit. Lebih lanjut, Sari (2014) berfokus pada perbedaan antara dua situasi
sebelum dan sesudah investasi dan ia hanya memiliki 5 terminal peti kemas dalam pengelolaan Pelindo
II. Oleh karena itu, lebih menarik bagi para peneliti untuk melakukannya dengan cara yang berbeda yaitu
dengan mengambil lebih banyak terminal peti kemas yaitu 18 terminal peti kemas, karena akan
menghasilkan outcome yang lebih baik karena akan menggunakan input yang lebih banyak dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya yaitu tujuh terminal peti kemas. input, dan program yang berbeda, yaitu
program Stata. Proyeksi throughput oleh
Efek penggandaan peramalan juga diambil dalam penelitian ini, seperti analisis permintaan terminal peti
kemas yang tidak dipertimbangkan dalam penelitian sebelumnya. Dibandingkan dengan studi internal
Afrika Barat yang dilakukan oleh Ecorys yang juga mengukur kinerja 13 terminal peti kemas, studi tersebut
membuktikan bahwa pelabuhan tersebut sangat produktif seiring berjalannya waktu dan dianggap lebih
meningkatkan permintaan dibandingkan input karena ketika permintaan meningkat maka produktivitas
secara bersamaan meningkat. Studi internal ini mengamati bahwa pelabuhan produktif mungkin
menghadapi kemacetan dalam jumlah besar yang tidak diukur dalam studi sebelumnya di Indonesia. Oleh
karena itu, penelitian ini juga akan menganalisis kemacetan di terminal peti kemas di Indonesia dengan
mempertimbangkan analisis kapasitas sebagai pasokan terminal untuk digabungkan dengan hasil
peramalan throughput sebagai permintaan yang akan menunjukkan tingkat kemacetan di pelabuhan
Indonesia.

1.2. Pertanyaan dan Tujuan Penelitian


Terkait dengan relevansi bisnis Pelindo, pertanyaan penelitian utama akan dibedakan pada bagaimana
keputusan investasi Pelindo harus dilihat untuk mengatasi perkiraan pertumbuhan lalu lintas peti kemas
terkait dengan efisiensi kinerjanya.
Penelitian tersebut akan dilakukan dengan mencari kinerja efisiensi awal terminal peti kemas di Pelindo
sebagai benchmark, kemudian dilanjutkan dengan peramalan throughput kargo.
untuk setiap terminal peti kemas dikombinasikan dengan analisis kapasitas untuk menghasilkan kapasitas

3
Machine Translated by Google

tingkat pemanfaatan. Periode tahun 2009 hingga 2013 akan dijadikan dasar untuk mengukur
pertumbuhan throughput. Hasil proyeksi throughput dan analisis kapasitas dapat menentukan
waktu dan jenis investasi yang tepat. Oleh karena itu, penelitian dapat dipisahkan menjadi tujuan
berikut:
• Untuk meramalkan volume terminal peti kemas di wilayah operasional Pelindo
untuk tahun sasaran;
• Untuk mengukur tingkat efisiensi terminal di antara semua terminal peti kemas di
Pelabuhan Indonesia di wilayah operasional Pelindo;
• Untuk menetapkan analisis kapasitas terminal peti kemas untuk mengetahui rasionya
permintaan dan penawaran sebagai indikasi tingkat pemanfaatan kapasitas;
• Untuk menentukan rekomendasi keputusan investasi yang akurat pada terminal peti kemas yang
menjadi kewenangan Pelindo dengan mempertimbangkan throughput masa depan sebagai
permintaan dan kapasitas terminal sebagai pasokan.

1.3. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian


Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis investasi yang berkaitan dengan efisiensi kinerja
terminal peti kemas di Pelabuhan Indonesia. Lebih khusus lagi, penelitian ini hanya akan
mempertimbangkan 18 cabang terminal peti kemas dan/atau anak perusahaan karena penelitian
hanya fokus pada terminal peti kemas khusus dan 1 terminal peti kemas konvensional tambahan
karena statusnya sebagai cabang kelas utama Pelabuhan Indonesia. Terakhir, penelitian ini
mempertimbangkan 18 pelabuhan dari total 43 pelabuhan di Indonesia yang berada dalam
pengelolaan Pelindo 1, 2, 3 dan 4. Informasi lebih rinci mengenai pelabuhan sampel dapat dilihat
pada Tabel 1. Periode 2009 hingga 2013 adalah dijadikan dasar untuk mengukur pertumbuhan
throughput mengenai proyeksi throughput untuk 15 tahun ke depan.

Tabel 1 Informasi Detail Kategori Pelabuhan


Pelabuhan Administrasi Pelabuhan Status Kelas
Korporasi
Pelindo I Pelabuhan Belawan Wadah Konvensional Kelas Utama
Terminal
Kontainer Internasional Belawan Kontainer Khusus Anak perusahaan
Terminal (BICT) Terminal
Pelindo II Pelabuhan Tanjung Priok Kontainer Khusus Kelas Utama
Terminal
Pelabuhan Teluk Bayur Kontainer Khusus Kelas I
Terminal
Pelabuhan Palembang Kontainer Khusus Kelas I
Terminal
Pelabuhan Panjang Kontainer Khusus Kelas I
Terminal
Pelabuhan Pontianak Kontainer Khusus Kelas I
Terminal
Pelabuhan Jambi Kontainer Khusus Kelas II
Terminal
Kontainer Internasional Jakarta Kontainer Khusus Anak perusahaan
Terminal (JICT) Terminal
Koja Kontainer Khusus Anak perusahaan
Terminal
Pelindo III Pelabuhan Tanjung Perak Kontainer Khusus Kelas Utama
Terminal
Pelabuhan Banjarmasin Kontainer Khusus Kelas A Pertama
Terminal

4
Machine Translated by Google

Pelabuhan Administrasi Pelabuhan Status Kelas


Korporasi
Terminal PetikemasSemarang Kontainer Khusus Kelas B Pertama
Pelabuhan Terminal

Terminal Petikemas Surabaya Kontainer Khusus Anak perusahaan


Pelabuhan Terminal
Kontainer Khusus Berlian Jasa Terminal Indonesia Anak perusahaan
Terminal
Pelindo IV Pelabuhan Makasar Wadah Konvensional Kelas Utama
Terminal
Unit Terminal Petikemas Kontainer Khusus Anak perusahaan
Makassar (Pelabuhan UTPM) Terminal
Terminal Kontainer Bitung Kontainer Khusus Anak perusahaan
Terminal
Total 1 kelas utama, 17 terminal peti kemas khusus
Sumber: Penjelasan sendiri berdasarkan Laporan Tahunan Pelindo

Pengukuran kinerja terminal menggunakan variabel input dan output sebagai


indikator tolok ukur untuk kinerja efisien antar terminal. Ruang lingkup variabel masukan
akan difokuskan pada aspek operasional yang menilai fasilitas fisik, khususnya luas
lapangan peti kemas, rancangan cekungan pelabuhan, panjang dermaga peti kemas,
indeks dermaga derek, indeks tiang pancang, internal truk dan kendaraan serta jumlah
pintu gerbang. Variabel outputnya adalah throughput tahunan karena menunjukkan
produktivitas pelabuhan.

Data Envelopment Analysis (DEA) akan dilakukan sebagai model analisis kuantitatif
dengan menggunakan perangkat lunak yang tersedia, khususnya Program Stata terkait
pengukuran efisiensi terminal berdasarkan variabel input dan output yang terkait dengan
kinerja terminal. Model tersebut akan berorientasi pada Constant Return to Scale (CRS)
karena relevansinya dengan penelitian yang bersangkutan
analisis kemungkinan investasi, baik untuk meningkatkan efisiensi maupun menjaga
keberlanjutan segmen usaha dengan melengkapi peralatan dan fasilitas terminal peti
kemas. Analisis kapasitas hanya akan fokus pada kapasitas dermaga dan kapasitas
halaman karena keduanya merupakan dua indikator kapasitas terminal yang paling penting.

1.4. Metodologi Penelitian


Untuk mengatasi keputusan investasi terkait kinerja efisiensi terminal, penelitian ini akan
mengkaji data historis terkait 18 terminal peti kemas khusus di pelabuhan Indonesia.
Oleh karena itu, model analisis DEA akan dimanfaatkan untuk menentukan kinerja
efisiensi terminal peti kemas awal dari setiap terminal peti kemas yang berada di bawah
kewenangan Pelindo. Selanjutnya, proyeksi throughput dan analisis kapasitas akan dilakukan
diterapkan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan kapasitas. Dalam hal ini, proyeksi
throughput sebagai analisis permintaan dan kapasitas sebagai pasokan akan digabungkan
untuk menghasilkan waktu dan jenis investasi yang tepat. Penelitian ini akan dilakukan
dengan analisis kuantitatif dan kualitatif.

Analisis kualitatif dilakukan dengan tinjauan pustaka terhadap indikator pengukuran


kinerja terminal peti kemas dan model pemrograman linier DEA sebagai alat untuk
menentukan kinerja efisien terminal peti kemas. Selain itu, tinjauan literatur juga dilakukan
untuk membuat analisis deskriptif terhadap masing-masing pelabuhan yang memiliki
terminal peti kemas di bawah kewenangan Pelindo dan investasi pelabuhan terkait dengan hal tersebut.
terminal kontainer.

5
Machine Translated by Google

Seperti telah dikatakan di atas bahwa analisis kuantitatif melalui proyeksi throughput, Data
Envelopment Analysis (DEA) dan analisis kapasitas akan dilakukan, dengan
mempertimbangkan analisis kinerja dan kapasitas yang efisien didukung oleh evaluasi
tinjauan literatur sehingga investasi yang tepat untuk setiap pelabuhan dapat ditentukan.

Analisis Data Envelopment Analysis (DEA) adalah salah satu pendekatan paling signifikan
untuk menghitung kinerja pelabuhan. Cullinane dkk. (2004) membandingkan penggunaan
DEA dengan pendekatan tradisional dimana DEA mampu mengevaluasi kinerja pelabuhan
secara keseluruhan karena menggunakan banyak input dan output. DEA CCR, yang
dikembangkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes pada tahun 1978, adalah analisis non-
parametrik yang digunakan untuk mengukur produksi efisien dari Unit Pengambil Keputusan
(DMU) yang dikuantifikasi melalui formulasi Linear Programming (LP) dan didefinisikan
sebagai rasio jumlah tertimbang dari output ke sejumlah input tertimbang. Di sini, informasi
yang tidak mencukupi tentang berbagai masukan dan keluaran yang terlibat dalam Unit
Pengambil Keputusan (DMU) dapat diatasi dengan asumsi kecil (Cooper, WW, Seiford, LM & Zhu, 2011).

Awalnya akan ada 18 DMU yang berasal dari 18 terminal petikemas di lingkungan
manajemen Pelindo dengan menggunakan data tahun 2014 sebagai data cross sectional.
Perkiraan throughput dan analisis kapasitas didasarkan pada data panel dari tahun 2009
hingga 2013. Selain itu, agar lebih komprehensif, analisis kuantitatif akan ditambahkan
dengan menggabungkan analisis permintaan dan penawaran untuk menentukan waktu dan
jenis investasi yang tepat.

Penelitian yang terdiri dari 6 bab ini mengawali Pendahuluan di bab 1 yang akan
memaparkan latar belakang penelitian dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan
bisnis secara keseluruhan. Hal ini juga akan mencakup pertanyaan penelitian dan tujuan
melakukan penelitian ini. Selain itu, ruang lingkup dan batasan penelitian juga akan
diidentifikasi secara jelas dalam bab ini. Selain itu, metodologi penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini dijelaskan secara singkat. Bab 2 membahas studi sebelumnya tentang
kinerja pelabuhan peti kemas, penjelasan penerapan model DEA sebagai alat pengukuran
kinerja terminal yang akan menentukan informasi tentang cara kerja model melalui penelitian.
Bab 3 memberikan metodologi untuk mencapai tujuan penelitian dan menjelaskan profil,
aset yang ada, fasilitas dan kegiatan masing-masing terminal peti kemas di Indonesia. Bab
4 menyajikan hasil analisis kuantitatif yang dirangkum dalam sebuah tabel. Bab 5 membahas
hasil kinerja terminal secara kuantitatif dan kualitatif.

Secara kuantitatif dilakukan dengan memperhitungkan slack pada setiap perhitungan,


sedangkan analisis kualitatif sebagian besar diperoleh dari kajian literatur. Bab 6 merangkum
hasil dan analisis penelitian menjadi kesimpulan dan rekomendasi untuk penelitian
selanjutnya.

6
Machine Translated by Google

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja Investasi dan Efisiensi Terminal Peti Kemas
2.1.1.Terminal Kontainer Terkait Investasi Pelabuhan
Pertumbuhan peti kemas di seluruh dunia memberikan tekanan kepada pelabuhan untuk
merancang dan menerapkan pengembangan lebih lanjut yang tepat di kawasan pelabuhan
bersama dengan perekonomian daerah pedalamannya. Jika infrastruktur di terminal peti kemas
tidak memadai dan buruk, hal ini akan menyebabkan kemacetan logistik dan membatasi
pertumbuhan pertumbuhan ekonomi (Brooks & Perkins, 2014). Lebih lanjut Brooks & Perkins
(2014) menjelaskan, untuk menghindari situasi tersebut sekaligus meningkatkan kapasitas dan
efisiensi, rencana investasi sangat diperlukan dan juga untuk merangsang permintaan. Beberapa
pertimbangan, seperti permintaan daerah pedalaman, perkembangan pasar transportasi laut,
persaingan pelabuhan, dan kondisi transportasi darat serta isu lingkungan akan dipertimbangkan
dalam proses pengambilan keputusan investasi di terminal peti kemas. Permasalahan
perencanaan terminal petikemas terdiri dari tiga area, yaitu area tepi laut, area pekarangan,
dan area sisi darat dan masing-masing mempunyai permasalahan yang berbeda, area tepi laut
berkaitan dengan dermaga dan derek dermaga, sedangkan area pekarangan erat hubungannya
dengan pengelolaan pekarangan (Bierwirth & Meisel, 2010). Permasalahan di bidang daratan
terutama terjadi pada operasi di daerah pedalaman, yang khususnya ditangani oleh perusahaan
kereta api, operator tongkang darat dan perusahaan angkutan truk. Sedangkan wilayah tepi laut
dan pekarangan sebagian besar ditangani oleh operator pelabuhan. Pelindo sebagai operator
pelabuhan serta operator terminal peti kemas menangani permasalahan di bawah tepi laut dan
area pekarangan dengan memperhatikan pengelolaan derek dan pekarangan. Dengan
demikian, investasi tersebut sesuai dengan kinerja efisiensi terminal peti kemas terkait
penambahan crane dan lapangan penumpukan. Karena kinerja terminal yang kurang akan
dipengaruhi oleh jumlah dan kondisi crane serta kepadatan lapangan penumpukan yang akan
berdampak pada tingkat Dwelling Time pada kawasan tersebut. Implementasi rencana investasi
di tiga bidang utama tersebut disinyalir akan menjadi penentu masa depan terminal peti kemas.

Meminimalkan biaya yang ditimbulkan oleh pengoperasian kapal dan fasilitas pelabuhan
merupakan tujuan dari keputusan investasi pelabuhan. Beberapa ahli menyatakan bahwa tujuan
keseluruhannya adalah memaksimalkan keuntungan untuk mengumpulkan laba bersih dan
tingkat pengembalian internal (Edmond & Maggs, 1978). Beberapa model telah dikembangkan
saat ini terkait dengan investasi pelabuhan. Keterlibatan sektor swasta dalam industri ini
meningkat sebagai akibat dari kebijakan globalisasi dari pemerintah. Besarnya kebutuhan modal
juga menjadi pertimbangan untuk menjalin kemitraan dalam pengembangan pelabuhan.
Diperkirakan rata-rata tingkat investasi pelabuhan dalam 5 tahun terakhir mencapai di atas $100
juta, kondisi ini dilakukan dengan model kemitraan publik – swasta (PPP) dengan investasi
yang relatif sama untuk masing-masing pihak (Baird, 2002). Baird juga telah melakukan survei
yang menunjukkan bahwa model KPS memiliki rentang nilai yang berkisar dari $25 juta hingga
lebih dari $250 juta. Hasil survei ini menunjukkan bahwa sektor swasta dan pemerintah
merupakan investor yang relevan dalam pembangunan terminal peti kemas. Saat ini Pelindo III
dihadapkan pada tantangan banyaknya proyek yang berkaitan dengan pengembangan
pelabuhan namun dengan keterbatasan sumber modal yang tersedia. Mengingat minimnya
dukungan atau subsidi dari pemerintah dan untuk mengelola risiko yang mungkin muncul,
model KPS menjadi salah satu solusinya. Salah satu kisah suksesnya adalah Pelabuhan Peti
Kemas Surabaya yang merupakan unit usaha terbesar Pelindo III yang telah berkerjasama
dengan Pelabuhan Dubai sejak tahun 1999. Kendala finansial tidak hanya menjadi penghambat
Pelindo III, di Jakarta sebagai operator pelabuhan terbesar di Pelindo II, bahkan menjual 49%
kepemilikan dua terminal peti kemasnya kepada Hutchinson dan Mitshui Group untuk mega
proyek baru terminal peti kemas, New Priok Port.
Sementara di wilayah barat Indonesia, Pelindo I hampir menyelesaikan pembangunannya

7
Machine Translated by Google

proyek rencana kemitraan dengan Pelabuhan Rotterdam untuk mengembangkan proyek besar baru mereka:
Pelabuhan Kuala Tanjung. Sayangnya kondisi tersebut tidak diikuti oleh kawasan timur Indonesia
yang sebagian besar berada di bawah pengelolaan Pelindo IV, karena pasarnya masih kurang
menarik bagi investor swasta.

2.1.2.Kinerja Efisiensi Terminal Peti Kemas


Berperan sebagai fasilitator perdagangan dan rantai penghubung dalam proses logistik, efisiensi
menjadi isu terpenting di terminal peti kemas, terutama dalam mengalokasikan dan menggunakan
sumber daya ekonomi yang terbatas (Wang, Song, & Cullinane, 2002).
Dalam jangka pendek, efisiensi memberikan manfaat bagi pelabuhan dengan meningkatkan
kemampuannya dalam menarik pelanggan dengan menawarkan harga yang kompetitif kepada
pelanggan, sedangkan untuk jangka panjang pengembangan pelabuhan diperlukan untuk
menjamin pemulihan biaya, terutama yang terkait dengan investasi (Wang & Cullinane, 2006).
Untuk menghindari hal tersebut, pelabuhan dituntut untuk lebih efisien dalam produktivitasnya
dan secara aktif mengukur dan menjaga efisiensinya.

Konsep pengukuran tingkat efisiensi pada pelabuhan menjadi penting, mengingat efisiensi akan
merangsang daya saing pelabuhan dan juga menjadi pendorong pembangunan daerah (Merk &
Dang, 2012).
Menurut uraian Merk & Dang (2012), karena penemuan teknologi baru dalam industri pelayaran
serta tren baru lalu lintas laut internasional, seperti peti kemas, layanan logistik terpadu, dll.,
pelanggan pelabuhan diberikan
tekanan terhadap pelabuhan dengan menuntut pengembangan dan teknologi baru untuk
mendukung pengurangan biaya dalam rantai logistik. Pelabuhan juga terpaksa melakukan tindakan non –
menghentikan efisiensi, agar tetap menarik dan mempertahankan lalu lintasnya dengan
memberikan keunggulan kompetitif. Beberapa kegiatan operasional akan menjadi tantangan bagi
pelabuhan untuk mengamankan arus lalu lintas kunjungan kapal dan bersaing dengan pesaing
terdekat. Tantangan yang muncul antara lain aktivitas penanganan peti kemas yang perlu lebih
cepat dengan menyediakan peralatan yang lebih memadai dan berkinerja baik.
Namun beberapa masalah infrastruktur juga perlu diatasi, seperti waktu berlabuh dan penundaan,
kapasitas halaman untuk menumpuk kontainer, serta memastikan konektivitas pedalaman yang
akan dipengaruhi oleh transportasi multimoda darat. Tidak hanya lalu lintas barang dan pengguna
pelabuhan saja yang akan menikmati manfaat pelabuhan
efisiensi, namun daerah sekitarnya juga akan menikmati dampak positifnya, karena tersedianya
akses langsung dan tidak langsung terhadap kegiatan terkait, seperti keuangan, harga yang lebih
rendah, asuransi maritim dan lain-lain disebabkan oleh kinerja pelabuhan yang efisien dengan
memberikan nilai tambah. dalam rantai pasokan. Manfaat paling nyata bagi daerah adalah
terciptanya lapangan kerja bagi masyarakat.

Fleksibilitas, kehandalan, kecepatan dan harga yang murah merupakan kebutuhan yang diminta
oleh pelanggan saat ini (E.-S. Lee & Song, 2010). Seperti yang dijelaskan oleh E.-S. Lee & Song,
(2010), bahwa komponen-komponen tersebut berkaitan dengan efektivitas dan efisiensi suatu
organisasi. Dengan demikian, nilai logistik dalam industri maritim dapat dihasilkan oleh efisiensi
dan efektivitas selama beroperasi sehingga akan mempengaruhi tingkat pelayanan dan kepuasan
pelanggannya. Seberapa baik pemanfaatan sumber daya dalam organisasi diukur dari tingkat
efisiensi, sedangkan efektivitas lebih fokus pada tujuan dan sasaran yang akan dicapai di masa
depan berdasarkan strategi organisasi. Untuk mengukur efisiensi sektor logistik, akan dinilai 4
komponen, yaitu: biaya, aset, keandalan, dan daya tanggap/fleksibilitas. Komponen: biaya dan
aset dimaksudkan untuk mengukur efisiensi dan dua komponen lainnya dimaksudkan untuk
mengukur

8
Machine Translated by Google

keefektifan. E.-S. Lee & Song (2010) mengembangkan pengukuran efisiensi dan efektivitas pada
sektor transportasi logistik, sebagaimana tercermin pada Tabel 2 di bawah ini.
Karena sektor logistik transportasi juga mencakup logistik maritim, konsep dan kerangka kerja ini
memungkinkan untuk diterapkan dalam menilai nilai logistik maritim.

Tabel 2 Pengukuran Efisiensi dan Efektivitas Transportasi Logistik


Sektor
Kriteria Pengukuran Indikator Kinerja
Rantai pasokan
Proses
Biaya • Total biaya manajemen logistik
Efisiensi -
terkait • Produktivitas
(Menghadapi Bagian Dalam)
• Biaya pemrosesan pengembalian

Aset • Waktu siklus tunai ke kas


• Hari persediaan persediaan
• Perputaran aset

Efektivitas - Keandalan • Kinerja pengiriman


terkait • Kinerja pemenuhan pesanan
(Menghadap pelanggan) Fleksibilitas & • Pemenuhan pesanan yang sempurna
Daya tanggap • Waktu respons
• Fleksibilitas produksi
Sumber: E.-S. Lee & Lagu (2010)

2.2. Indikator Pengukuran Kinerja Efisiensi dan


Pembandingan
Kinerja efisiensi memegang peranan penting dalam operasional perusahaan, dalam hal ini pelabuhan
sebagai Decision Making Unit (DMU). Peran terpenting dari pengukuran kinerja efisiensi adalah dapat
mengevaluasi peningkatan produksi karena tidak hanya mengukur kondisi awal tetapi juga kinerja di
masa depan. Pengukuran kinerja memberikan informasi sebagai dasar untuk memberikan rekomendasi
mengenai perilaku yang diharapkan terhadap hasil pengukuran kinerja tersebut untuk mencapai
kinerja yang lebih baik dan/atau mempertahankannya. Sistem bisa saja berada pada arah yang salah
karena efek yang tidak diinginkan terjadi karena ukuran kinerja yang salah ditentukan

(Cullinane dkk., 2004).

Secara tradisional, kinerja pelabuhan dievaluasi dengan mengukur produktivitas penanganan kargo di
tempat berlabuh hanya dengan menggunakan produktivitas faktor tunggal dan membandingkan
realisasi throughput dengan rencana bisnis selama periode waktu tertentu (Cullinane et al., 2004).
Talley (2006, 500) menjelaskan bahwa “pelabuhan secara tradisional mengevaluasi kinerjanya dengan
membandingkan keluaran aktual dan optimalnya (diukur dalam tonase atau jumlah kontainer yang
ditangani)”. Selain itu, membandingkan throughput aktual pelabuhan dengan throughput optimal
merupakan salah satu cara untuk mengukur kinerja pada tingkat intra-pelabuhan (Marlow & Paixão
Casaca, 2003). Throughput telah menjadi indikator yang paling banyak digunakan untuk menentukan
kinerja pelabuhan.
Namun, throughput tidak memperhitungkan dampak ekonomi dari keberadaan pelabuhan terhadap
pengembangan wilayah dan daya tarik pelabuhan sebagai lokasi industri terkait pelabuhan (P. de
Langen, Nijdam, & Horst, 2007). Selain itu, Bichou &

9
Machine Translated by Google

Gray (2004) menyimpulkan bahwa ukuran pelabuhan umumnya berfokus pada sambungan kaki laut
dibandingkan kaki darat, sehingga pengukuran yang lebih baik harus dilakukan untuk efisiensi sisi darat.

Indikator kinerja pelabuhan tradisional yang disarankan oleh UNCTAD (1976) telah dirangkum oleh Marlow
& Paixão Casaca (2003) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3, yang menunjukkan produktivitas dan
efektivitas.

Tabel 3 Indikator Kinerja


Indikator Keuangan Tonase berhasil
Pendapatan hunian tempat berlabuh per ton kargo
Pendapatan penanganan kargo per ton kargo
Pengeluaran tenaga kerja
Pengeluaran peralatan modal per ton kargo

Kontribusi per ton kargo


Total kontribusi
Tingkat Kedatangan Indikator Operasional
Waktu menunggu
Waktu layanan
Waktu penyelesaian
Tonase per kapal
Sebagian kecil waktu kapal yang berlabuh berfungsi
Jumlah geng yang dipekerjakan per kapal per shift

Ton per jam kapal di pelabuhan


Ton per jam kapal di tempat berlabuh
Ton per geng jam
Sebagian kecil waktu geng menganggur
Sumber: UNCTAD (1976)

Berdasarkan Bichou & Gray (2004) efisiensi pelabuhan dapat dibagi menjadi tiga kategori, indikator fisik,
indikator produktivitas faktor dan indikator ekonomi dan keuangan. Indikator fisik berkaitan dengan ukuran
waktu kapal seperti waktu perputaran kapal, waktu tunggu kapal, tingkat okupansi tempat berlabuh, waktu
kerja di tempat berlabuh dan pengukuran waktu koordinasi dengan sisi darat seperti waktu tinggal (Bichou &
Gray, 2004). Indikator produktivitas faktor berhubungan dengan pengukuran tenaga kerja

dan modal terlibat dalam penanganan barang, selain itu, indikator ekonomi dan keuangan cenderung
berfokus pada total pendapatan dan pengeluaran yang berkaitan dengan sisi maritim (Bichou & Gray, 2004).

Selain itu, Chung (2005) menggambarkan kinerja pelabuhan sebagai kombinasi kinerja operasional seperti
kecepatan kapal, laju kargo dan waktu penanganan kargo hingga pemanfaatan aset dan juga kinerja
keuangan. Detail indikatornya dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini:

Tabel 4 Indikator Kinerja Pelabuhan


1 Waktu penyelesaian kapal rata-rata
2 Rata-rata tonase per kapal hari (jam)
3 Waktu rata-rata kapal di tempat berlabuh
4 Rata-rata waktu kapal di luar
5 Rata-rata menunggu (waktu menganggur)
6 Tingkat tunggu rata-rata

10
Machine Translated by Google

7 Ton per jam geng


8 TEUs per crane (hook) (jam)
9 Waktu tinggal
Throughput 10 tempat tidur
11 Throughput per meter linier
Tingkat hunian 12 dermaga
13 Tingkat pemanfaatan tempat berlabuh

14 Pendapatan per GRT pengiriman


15 Surplus operasi per ton kargo yang ditangani
16 Tingkat pengembalian omset
Sumber : Chung (2005)

Selanjutnya, indikator produktivitas digunakan sebagai dasar untuk mengukur kinerja terminal peti kemas yang
dikategorikan menjadi dermaga, derek, halaman/penyimpanan, gang/tukang pelabuhan, dan gerbang (Kasypi &
Shah, 2007). Untuk lebih jelasnya, indikator kinerja dapat disajikan pada Tabel 5 sebagai berikut:

Tabel 5 Indikator Pelabuhan Berdasarkan Produktivitas Terminal


Indikator Produktivitas Elemen Terminal Pengukuran
Tempat tidur Waktu layanan Waktu pelayanan kapal (jam)
Pemanfaatan Tempat Berlabuh Kapal per tahun per tempat berlabuh
Derek Produktivitas derek Bergerak per hektar penyimpanan
Pemanfaatan derek TEUs per tahun per crane
Penyimpanan Halaman Produktivitas Penyimpanan TEUs per hektar penyimpanan
TEUs per tahun per acre kotor
Geng / buruh pelabuhan Produktivitas tenaga kerja Jumlah pergerakan per jam kerja
Gerbang Waktu Putaran Truk Waktu siklus truk di terminal
Throughput Gerbang Kontainer per jam per jalur
Sumber: Kasypi & Syah (2007)

Kinerja pelabuhan tidak dapat hanya mengandalkan produktivitas faktor tunggal karena pelabuhan merupakan
penyedia jasa kapal, kargo dan transportasi darat (Cullinane et al., 2004). Berbagai indikator harus dipertimbangkan
karena memperhitungkan banyak masukan dan banyak keluaran sesuai dengan karakteristik produksi pelabuhan.

Oleh karena itu, terdapat beberapa indikator yang mengakomodasi evaluasi kinerja pelabuhan secara keseluruhan.

Model statistik Frontier dapat digunakan sebagai model untuk mengevaluasi efisiensi teknis kinerja multi-
pelabuhan dimana throughput sebagai keluaran dan sumber daya sebagai masukan diperiksa untuk menentukan
efisiensi pelabuhan (Talley, 2006). Disebut efisien teknis jika throughput menghasilkan nilai maksimum terhadap
tingkat sumber daya tertentu, sebaliknya, tidak efisien teknis jika throughput kurang dari maksimum untuk tingkat
sumber daya tertentu (Talley, 2006). Oleh karena itu, Data Envelopment Analysis (DEA) banyak digunakan untuk
menganalisis kinerja pelabuhan karena memanfaatkan banyak input dan output. Seperti yang dijelaskan dalam
Talley (2006, 512), “Teknik DEA adalah teknik pemrograman matematika non-parametrik untuk menurunkan
spesifikasi model frontier”.

Di era globalisasi ini, pelabuhan menghadapi persaingan yang ketat satu sama lain, kinerja menjadi strategi yang
sangat penting untuk mempertahankan pelayanan yang memuaskan kepada pengguna pelabuhan dan
meningkatkan pangsa pasar. Terkadang, kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas dengan membangun terminal
baru tidak dapat dihindari. Namun, untuk mengeksekusi keputusan investasi itu sangat penting

11
Machine Translated by Google

Penting untuk menganalisis pemanfaatan maksimum fasilitas yang ada dibandingkan dengan output maksimum
yang diberikan oleh fasilitas tersebut. Dengan demikian, model berorientasi keluaran melakukan benchmark
untuk terminal peti kemas (Cullinane et al., 2004).

Manfaat dari penentuan indikator kinerja pelabuhan adalah adanya kemungkinan untuk mengevaluasi kinerja
pelabuhan dengan membandingkan indikator aktual dan indikator optimal. Sejalan dengan aspek ekonomi,
manajemen pelabuhan mampu mengendalikan variabel yang disebut indikator kinerja pelabuhan (yaitu
indikator pilihan) untuk mengoptimalkan tujuan operasional. Untuk memaksimalkan keuntungan, manajemen
pelabuhan harus memilih nilai variabel yang menghasilkan keuntungan maksimal bagi pelabuhan. Dengan
demikian, nilai-nilai variabel disebut standar indikator (atau benchmark). Menurut Talley (2006, 507) “Jika nilai
aktual dari indikator mendekati (menyimpang dari) standar perspektifnya dari waktu ke waktu, maka kinerja
pelabuhan sehubungan dengan tujuan ekonomi tertentu telah meningkat (menurun) dari waktu ke waktu”.

Benchmarking digunakan oleh pelabuhan-pelabuhan Eropa untuk mengetahui kinerja dibandingkan pesaing
mereka sebagai respon terhadap meningkatnya persaingan modal (Barros, 2006). Sedangkan pelabuhan Italia
menghadapi perubahan bisnis pelabuhan dengan berupaya meningkatkan efisiensi input melalui benchmarking
menuju kinerja pelabuhan terbaik (Barros, 2006). DEA sebagai teknik pemrograman linier yang melibatkan
banyak input dan output memungkinkan pemberian benchmarking untuk pelabuhan yang tidak efisien.

Persaingan antarpelabuhan mendorong manajemen pelabuhan untuk mengevaluasi kinerjanya guna mencapai
efisiensi yang diharapkan karena investasi infrastruktur dan pemanfaatan lahan sangat mahal. Metode umum
dalam mengevaluasi kinerja terminal adalah dengan membandingkannya dengan port lain yang lebih baik
dalam hal kinerja atau dengan kata lain kinerjanya
disebut benchmarking dan dipengaruhi oleh tiga faktor (Rankine, 2013):
1. Perdagangan dan ukuran terminal
Pembandingan harus berangkat dengan ukuran yang sama dan adanya pesaing;
2. Karakteristik faktor lokal seperti navigasi, bentuk terminal dan konektivitas daerah pedalaman

3. Titik pengukuran seperti produktivitas tenaga kerja, tingkat pelayanan, modal dan
biaya.

Produktivitas dan efisiensi suatu terminal dipengaruhi oleh berbagai faktor, benchmark memberikan standar
karena digambarkan sebagai DMU yang paling efisien atau dalam hal ini adalah pelabuhan. Dengan demikian,
kinerja pelabuhan dapat dievaluasi dari waktu ke waktu dengan memperhitungkan kinerjanya
tolok ukur untuk mempertahankan levelnya dan/atau meningkatkannya pula.

2.3. DEA untuk Pengukuran Kinerja Terminal Kontainer


“DEA adalah model analisis produktivitas multi-faktor untuk mengukur efisiensi relatif dari sekumpulan unit
pengambilan keputusan (DMU) yang homogen. Pendekatan DEA mengidentifikasi serangkaian bobot (semua
bobot harus positif) yang secara individual memaksimalkan efisiensi setiap DMU sekaligus memerlukan rasio
tertimbang yang sesuai (yaitu, menggunakan bobot yang sama untuk semua DMU) dari DMU lainnya agar
kurang dari atau sama dengan satu”. (Sharma & Yu, 2009, 5017).

DEA adalah analisis non-parametrik yang mengukur efisiensi Unit Pengambil Keputusan (DMU) dengan
mengakomodasi banyak masukan dan/atau banyak keluaran tanpa terlebih dahulu menetapkan fungsi produksi
(Cullinane et al., 2004). Talley (2006) juga mendefinisikan

12
Machine Translated by Google

Teknik DEA sebagai teknik pemrograman matematika non-parametrik untuk memperoleh


peringkat efisiensi relatif untuk DMU atau dalam hal ini adalah port. Hasil DEA adalah peringkat
efisiensi relatif antar DMU atau dalam hal ini pelabuhan tanpa asumsi karena merupakan model
statistik frontier. Model statistik Frontier terutama berfokus pada terminal peti kemas dan banyak
literatur menjelaskan kombinasi umum dari kedua variabel yang berkaitan dengan efisiensi
pelabuhan dan pengukuran kinerja (Bichou & Gray, 2004).

Data Envelopment Analysis pertama kali diterapkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes (CCR)
pada tahun 1978, dikembangkan dari gagasan Farrell (1957) tentang penilaian efisiensi teknis
mengenai batas produksi (Kasypi & Shah, 2007). CCR memungkinkan untuk mengukur efisiensi
teknis relatif dari Unit Pengambil Keputusan (DMU) yang serupa dengan asumsi skala hasil
konstan (CRS), hal ini dicapai dengan mengukur rasio jumlah output tertimbang terhadap jumlah
input tertimbang (Kasypi & Shah , 2007). Kasypi & Shah (2007, 97) menyampaikan bahwa “bobot
untuk input dan output dipilih sehingga efisiensi relatif DMU dimaksimalkan dengan batasan
bahwa tidak ada DMU yang memiliki skor efisiensi relatif lebih besar dari satu”.

Ada dua model dasar DEA yang umum digunakan berdasarkan permukaan envelopment, yaitu
pengukuran efisiensi dan orientasi, Constant Return to Scale (CRS) dan Variable Return to Scale
(VRS) (Sharma & Yu, 2009). Model CRS pada dasarnya adalah model CCR yang didasarkan
pada skala hasil konstan dimana output meningkat
sebanding dengan peningkatan input pada setiap tingkat produksi. CCR terus dikembangkan
oleh Banker, Charnes dan Cooper pada tahun 1984 dan disebut Model BCC (Kasypi & Shah,
2007). Model BCC memungkinkan teknologi produksi melakukan peningkatan skala pengembalian
(IRS) dan penurunan skala pengembalian (DRS) yang disebut Variable Return to Scale (VRS)
(Kasypi & Shah, 2007). Dengan demikian model BCC menunjukkan hasil yang lebih baik karena
melakukan pengukuran agregat efisiensi teknis dan skala sedangkan model CCR hanya mengukur
efisiensi teknis (Sharma & Yu, 2009).

Wang dkk. (2002) mendefinisikan “DEA sebagai pengukuran produktivitas relatif suatu DMU
dengan membandingkannya dengan unit homogen lainnya yang mengubah kelompok masukan
positif terukur yang sama menjadi jenis keluaran positif terukur yang sama”.
Gambar 2 di bawah ini menyatakan DMU dan input-outputnya:

13
Machine Translated by Google

m masukan … DMU 1 … n keluaran

m masukan … DMU 2 … n keluaran

..
.

m masukan … DMU s … n keluaran

Sumber: Wang et al.(2002)

Gambar 2 DMU dan Satuan Homogen

Salah satu hal yang harus dipertimbangkan ketika memilih DMU adalah faktor yang
mendorong DMU adalah unit yang homogen, dengan kata lain DMU tersebut harus
menyatakan tugas dan tujuan yang sama dalam situasi pasar dan variabel yang sama (input
dan output) (Mokhtar, 2013). Gambar 2 memperlihatkan koherensi antara input, output dan
DMU, sehingga input dapat digambarkan dengan mudah oleh matriks X dan Y seperti
ditunjukkan pada persamaan Persamaan 1 dan Persamaan 2. Disini xij mengacu pada data
input ke i dari DMU j , sedangkan yij merupakan output ke-i dari DMU j (Wang et al., 2002).

ÿ x11 x12 ÿ
X ÿ Persamaan 1
1S
ÿ ÿ

ÿ
x21 x22 ÿ
X ÿ

2S
X ÿ

ÿ ÿ

ÿ ÿ

X X ÿ
X ÿ

ÿ 1m M 2 MS ÿ

ÿ
Persamaan 2
ÿ kamu kamu kamu ÿ
11 12 1S
ÿ ÿ

ÿ kamu kamu kamu ÿ

21 22 2S
Y ÿ

ÿ ÿ

ÿ ÿ

ÿ ÿ
ÿ

ÿ kamu
N1
kamu
N2
kamu
ns ÿ

Telah dikatakan di atas bahwa efisiensi dapat dihitung dengan mengukur rasio jumlah
tertimbang output terhadap jumlah tertimbang input DMU dan bagian produktivitasnya, yang
juga merupakan rasio output faktual terhadap kriteria.

14
Machine Translated by Google

keluaran yang diinginkan, ditegaskan dalam persamaan Persamaan 3 dan Persamaan 4


(Kasypi & Shah, 2007). Lebih lanjut, kinerja yang lebih tinggi dapat dicapai dengan DMU
yang lebih besar dan jumlah DMU tidak boleh kurang dari dua kali jumlah input dan output
(Mokhtar, 2013).

ÿ
= = =

Persamaan 3

Persamaan 4

Persamaan Persamaan 3 dan Persamaan 4 hanya dapat dipraktekkan untuk data sederhana,
sebagian besar kasus pengukuran efisien melibatkan banyak input dan output, sehingga
harus dikonversi dengan pendekatan bobot biaya dengan persamaan Persamaan 5
(Kasypi & Syah, 2007).

= ÿÿÿÿ

Persamaan 5

Misalkan semua bobot seragam, secara matematis dapat ditulis ulang sebagai berikut:

= ÿ =1
ÿ =1
Persamaan 6

Di mana:
tahun = kuantitas keluaran r
kamu = berat yang melekat pada keluaran r
xs = jumlah masukan s
vs = bobot yang melekat pada input s

Disebut efisien jika hasilnya sama dengan 1, satuan efisiensinya 0 < efisiensi <1

Wang et al., (2002) mendefinisikan satu model tambahan DEA selain model DEA CCR dan
model BCC yang banyak dipelajari, yaitu model Additive. Model BCC sama dengan model
Aditif sehubungan dengan batas produksi. Perbedaan utama di antara keduanya adalah
jalur peramalan hingga batas produksi. Untuk lebih jelasnya perbedaannya ditunjukkan pada
Gambar 3. Untuk model BCC, seharusnya T3 yang tidak efisien diperkirakan akan mencapai
batas produksi agar efisien sampai pada titik T3I atau T3O, namun untuk model aditif akan
diproyeksikan sebesar T2. Perbedaan antara ketiga model tersebut adalah kemungkinan
memperoleh hasil efisiensi yang berbeda karena mereka mempunyai jalur yang berbeda
menuju batas produksi (Wang et al., 2002).

15
Machine Translated by Google

120

100
Produksi
Perbatasan T
80 8
T
6
Hasil

60 T3O T
T 7
T2 4
40
2 T T
T3I
3 5
20

T
0 1
0 20 40 60 80 100
Bongkar muat

Sumber : (Wang et al., 2002)

Gambar 3 Perbedaan BCC dan Model Aditif

2.3.1.DEA Pemrograman Linier dan Orientasi Model


Pengetahuan dasar Analisis Envelopment Data (DEA) adalah menetapkan batas-batas
dengan memanfaatkan Unit Pengambil Keputusan (DMU) yang paling efisien untuk
menunjukkan tingkat perbaikan setiap DMU yang tidak efisien berdasarkan input dan output
terpilih yang dapat diukur. Karena DEA merupakan analisis non-parametrik, maka Pemrograman
Linier sebagai pengubah persamaan matematis hanya dijelaskan secara akademis tanpa
menguraikan dari data port. DEA hanya memanfaatkan perangkat lunak aplikasi untuk
mengukur tingkat efisiensi DMU.

Menurut Mokhtar (2013), ukuran efisiensi berdasarkan model dasar yaitu Constant Return to
Scale (CRS) diperoleh dengan isu N linear programming dibawah Charnes et.al.1978 sebagai
berikut :

ÿ , ÿÿÿ

ÿ ÿ ; = 1, … . . ,
ÿ
=1

ÿ ÿ ÿ ; = 1, … . . ,
ÿ
=1
ÿ ÿ 0; ÿ
Persamaan 7

Di mana:
=(1,2,…, ) = vektor keluaran
=(1,2,…, ) = vektor masukan

16
Machine Translated by Google

Persamaan penyelesaian Persamaan 7 untuk setiap N terminal peti kemas untuk N berat kemudian N
ÿ
penyelesaian optimal akan ditentukan. Setiap penyelesaian optimum merupakan
ÿ indikator
ÿ
efisiensi terminal peti kemas j dan pengaturannyaÿ 1.ÿ Dengan demikian, mudah diketahui
bahwa terminal peti kemas dengan
ÿ
ÿ
< 1 dikategorikan tidak efisien dan sebaliknya untuk = 1
ÿ
ÿ termasuk yang efisien. Telah dijelaskan di atas bahwa model Constant Return Scale (CRS)
dikembangkan lebih lanjut oleh Banker et al (1984) yang kemudian digeneralisasikan menjadi
Variable Return to Scale (VRS) dengan menambahkan batasan tambahan ÿ ÿ 1. Model =1 =
tersebut dimodifikasi sebagai berikut:

ÿ, ÿÿÿ

ÿ ÿ ; = 1, … . . ,
ÿ
=1

ÿ ÿ ÿ ; = 1, … . . ,
ÿ
=1

ÿ =1
ÿ = 1; ÿ ÿ 0; ÿ
Persamaan 8

Mokhtar (2013) mengidentifikasi perbedaan antara DEA-CCR dan DEA-BCC adalah DEA-
CCR yang disebut model Constant Return to Scale (CRS) memungkinkan mengidentifikasi
efisiensi relatif dan mengenali sumber daya kemudian menilai sumber daya yang tidak
efisien. Sedangkan DEA BCC atau model variabel return to scale (VRS) mampu
membedakan inefisiensi teknis dan skala. Jadi dengan memperkirakan kemungkinan
peningkatan dan penurunan atau pengembalian skala yang konstan yang ada untuk
pengembangan lebih lanjut. Kesimpulannya, untuk model CCR, DMU yang disebut efisien
adalah efisiensi skala dan teknis terpenuhi, tetapi untuk model BCC, DMU dapat
dikategorikan efisien hanya jika memenuhi efisiensi teknis (Mokhtar & Shah, 2013).

Model Charnes, Cooper dan Rhodes (CCR) memungkinkan dilakukannya multiple input dan
multiple output untuk setiap DMU, digambarkan sebagai rasio input virtual terhadap output
virtual dan hasilnya adalah nilai efisiensi yang kemudian mudah dibandingkan dengan DMU
lainnya. dalam hal ini adalah pelabuhan (Sharma & Yu, 2009). Berdasarkan Sharma & Yu
(2009) Pemrograman linier untuk menyatakan rasio dapat didefinisikan sebagai berikut:

ÿ )
maks ÿ ( , ()=
ÿÿ ( )
Persamaan 9

Di mana:
= nilai keluaran
= nilai masukan
= Jumlah keluaran y yang diperiksa r dihasilkan oleh DMU0 dari masukan =
Jumlah keluaran yang diperiksa i digunakan untuk menghasilkan jumlah y oleh keluaran
Dari r untuk DMU0
Dengan menambahkan batasan khusus untuk menentukan rasio input abstrak terhadap
output abstrak untuk setiap DMU tidak boleh lebih dari satu, program linier dapat
didefinisikan sebagai berikut:
ÿ )
maks ÿ ( , ()=
ÿÿ ( )

17
Machine Translated by Google

Tunduk pada
ÿ( ) ÿ1 = 1, … … , ,
ÿÿ ( )
ÿ0
Persamaan 10

Untuk spesial menyeluruh batasan ekspansi dapatitu diganti dengan faktor


ÿ0 non-archimedean ÿ menjadi ÿ > 0 dan ÿ harus lebih kecil dari semua
, bilangan real positif
=1
ÿ =1
ÿ (Sharma & Yu, 2009).

Efisiensi DMU secara keseluruhan dapat dikategorikan sebagai kuat (yaitu benar-benar efisien)
atau lemah (yaitu tidak efisien) tergantung pada adanya slack. Misalnya, DMU dapat diklasifikasikan
sebagai efisien mutlak jika ÿ* = 1 dan semua slack kemungkinan besar bernilai nol.
Sebaliknya DMU disebut kurang efisien jika ÿ* = 1 dengan beberapa kelonggaran. Kendala dalam
LP menetapkan jenis efisiensi keseluruhan; berdasarkan faktor non-archimedean, hasilnya adalah
DMU yang benar-benar efisien, batasan lain yang menyatakan DMU yang efisien secara
keseluruhan harus dikategorikan sebagai DMU yang efisien rendah. Tabel 7 menerapkan bentuk
model Farrel yang mengakomodasi keberadaan DMU yang kurang efisien.

Sharma & Yu (2009) mengatakan bahwa untuk setiap DMU yang tidak efisien, DEA menganalisis
unit-unit yang efisien yang dapat dijadikan tolak ukur perbaikan terhadap unit-unit yang tidak efisien.
Dengan demikian, benchmark dapat dihasilkan dari permasalahan ganda yaitu model Farrel
seperti terlihat pada Tabel 7 dimana ÿ adalah nilai efisiensi dan ÿs adalah variabel ganda.
Masalah ganda mengidentifikasi DMU yang tidak efisien dengan menganalisis kumpulan DMU lain (DMU
komposit) yang mengeksploitasi input yang lebih rendah tetapi menghasilkan setidaknya tingkat output yang
sama dengan DMU yang tidak efisien. Dengan demikian, unit-unit yang terlibat dalam bentuk DMU komposit
dapat dimanfaatkan sebagai tolok ukur bagi DMU-DMU yang tidak efisien tersebut.

2.4. Penelitian DEA untuk Terminal Kontainer


2.4.1.Penelitian DEA di Seluruh
Dunia Banyak penelitian mengenai pengukuran efisiensi telah dilakukan selama setahun terakhir.
Model DEA-CCR pertama kali ditemukan oleh Charnes pada tahun 1978 kemudian mengalami
perluasan teori, metodologi dan penerapan yang luar biasa selama periode terakhir dan hal ini
diungkapkan dengan sejumlah besar kutipan lebih dari 700 kali sejak tahun 1999 (Cullinane et al.,
2004). Praktisnya, sebagian besar studi preseden berkonsentrasi pada efisiensi produksi di tingkat
terminal (Wang et al., 2002). Oleh karena itu, sebagian besar studi berfokus pada basis terminal
dan bukan pada basis pelabuhan. Untuk lebih jelasnya ringkasan kajian DEA terkait kinerja
efisiensi pelabuhan disajikan pada Tabel 6 Ringkasan Kajian DEA Terkait Industri Pelabuhan.

Pada tahun 2000, dilakukan penelitian untuk mengukur efisiensi 31 pelabuhan peti kemas di atas
100 peti kemas terbesar dunia pada tahun 1998. Hal ini dilakukan oleh R.Gray & VFValentine
(2000) yang bertujuan untuk membandingkan efisiensi pelabuhan untuk menentukan hubungan
antara jenis pelabuhan yang umum. kepemilikan dan struktur organisasi. Penelitian ini menerapkan
model DEA-CCR yang memanfaatkan multiple input yaitu total panjang dermaga dan panjang
dermaga container serta multiple output yaitu jumlah container dan total ton throughput. Hasil
penelitian menunjukkan adanya hubungan antara struktur kepemilikan dan teori organisasi
terhadap efisiensi, sehingga dari segi struktur kepemilikan pelabuhan swasta merupakan
pelabuhan yang paling efisien disusul pelabuhan milik pemerintah.

18
Machine Translated by Google

Meski demikian, penelitian tersebut menunjukkan perlunya input yang lebih banyak seperti
ukuran pelabuhan, panjang dermaga, dan fungsi utama pelabuhan, serta pembatasan
penggunaan aset sebagai input sehingga dapat mencapai perbandingan yang identik (R.Gray
& VFValentine, 2000).

Tongzon (2001) melakukan studi DEA untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
kinerja dan efisiensi suatu pelabuhan di antara 4 pelabuhan peti kemas Australia dan 12
pelabuhan peti kemas internasional lainnya pada tahun 1996. Studi tersebut menyajikan dua
set model, model DEA-CCR dan model aditif, yang memanfaatkan beberapa input dan output.
Inputnya terdiri dari 6 (enam) variabel yaitu jumlah crane, jumlah tempat berlabuh petikemas,
jumlah kapal tunda, luas terminal, waktu tunda dan satuan tenaga kerja terhadap 2 (dua) output
yaitu throughput dan kecepatan kerja kapal. Temuan penelitian ini menyatakan bahwa ukuran
atau fungsi pelabuhan bukan satu-satunya faktor yang menentukan efisiensi, dengan kata lain
tingkat efisiensi pelabuhan tidak sepenuhnya bergantung pada ukuran atau fungsi pelabuhan.

Tabel 6 Ringkasan Studi DEA Terkait Industri Pelabuhan


Tujuan dari Itu
Data
Referensi Melamar Dea masukan Keluaran
Dea Keterangan Model

Perbandingan 31 pelabuhan
efisiensi - Total panjang - Jumlah kontainer
R.Gray & peti kemas di
tempat tidur
VFValentin antara 100
pelabuhan CCR
e (2000) pelabuhan peti
untuk - Panjang tempat - Total ton
kemas teratas
menentukan berlabuh kontainer keluaran
dunia pada tahun 1998

hubungan antara jenis kepemilikan dan organisasi


struktur al
- Jumlah
derek
Analisis faktor- 4 pelabuhan peti - Jumlah tempat
faktor - Throughput
kemas Australia berlabuh
yang CCR kargo
Tongzon dan 12 pelabuhan kontainer
mempengaruhi - Jumlah kapal
(2001) peti kemas internasional
Aditif - Kecepatan kerja
lainnya pada tunda kapal
kinerja dan tahun 1996 - Daerah terminal
efisiensi suatu pelabuhan
- Waktu penundaan
- Tenaga kerja

Aplikasi
analisis - Panjang dermaga
jendela DEA - Terminal
untuk daerah
25 CCR - Throughput
Cullinane dkk. efisiensi - Gantri
pelabuhan pelabuhan peti kargo
(2004) kemas utama di duniaSMK dermaga
peti - Gantri halaman
kemas terkemuka di dunia - Gendongan
pengukur mengangkang
t berdasarkan
data panel
Peringkat 25 Rekursi - Jumlah
Lee, Kuo, &
kinerja pelabuhan peti dan DEA derek
Chou (2005) kemas utama di dunia(RDEA) - Jumlah - Hasil
efisiensi Asia

19
Machine Translated by Google

Tujuan dari Itu


Data
Referensi Melamar Dea masukan Keluaran
Dea Keterangan Model
pelabuhan Pasifik tempat berlabuh
kontainer - Kecepatan kerja
- Jumlah kapal kapal
tunda
- Terminal
daerah

- Waktu penundaan
- Unit tenaga kerja
Menganalisa
efisiensi - Panjang
maksimum 104 pelabuhan peti
terminal
Wang & dalam yang baru CCR - Terminal - Throughput
kemas di 7 wilayah
Culinane bisnis daerah kontainer
di Eropa pada
(2006) inti bernama SMK - Biaya peralatan
tahun 2003
rantai
pasokan
pengelolaan
- Terminal
daerah
- Jumlah kapal ke
gantri pantai
Bebas
Penilaian
Buang
batas efisiensi 86 pelabuhan ble Hull (SSG) - Throughput
Herrera & untuk - Jumlah dermaga,
peti kemas (FDH) & kontainer
Pang (2008) pelabuhan halaman dan
di dunia DEA
peti kemas gantri keliling
dengan
VRS
(QYM)
- Jumlah terminal
truk (TT)

- Terminal
daerah
6 Dea
- Draf
terminal peti CCR
Mengukur kemas utama di - Panjang tempat berlabuh
efisiensi - Indeks dermaga
semenanjung Dea - Throughput
Mokhtar terminal dan derek
Malaysia menggunakan SMK kontainer
(2013) - Indeks
data panel dari
pergerakan penumpukan
tahun 2003 hingga Model
kontainer halaman
2010 berorientasi
- Kendaraan
keluaran
- Jumlah jalur
gerbang
Studi DEA Terkait Industri Pelabuhan Di Indonesia
30 pelabuhan
ASEAN termasuk Dea - Jumlah tempat
Mengevaluasi
4 pelabuhan CRR tidur
efisiensi
Seo, Ryoo, Indonesia: - Panjang tempat berlabuh - Throughput
relatif operasi - Area halaman
& Ya, Belawan, Model kontainer
pelabuhan
(2012) Tanjungpriok, berorientasi kontainer
peti
Tanjung keluaran - Jumlah
kemas
Perak, derek
Makasar

20
Machine Translated by Google

Tujuan dari Itu


Data
Referensi Melamar Dea masukan Keluaran
Dea Keterangan Model
42 - Panjang tempat berlabuh
kontainer dunia - Daerah pekarangan - Throughput
terminal - Titik pendingin kontainer
Merek & Dang Mengukur
termasuk - Derek dermaga
(2012) kinerja
Tanjungpriok - Derek halaman
efisiensi
35 terminal
terminal peti
curah batubara - Panjang tempat berlabuh
kemas dan - Throughput
terminal curah dunia termasuk - Area penyimpanan
- Kapasitas bongkar/ kargo
Balikpapan
dan Tanjung muat
Bara

Mengukur
- Panggilan arus
- Infrastruktur
24 pelabuhan di Dea kapal
efisiensi kinerja e
wilayah kerja SMK - Kapal mengalir
(Purwantoro, 24 port in Pelindo II dan - Kapal bantu GT
2004) Pelindo IV pada
Indonesia pada
Model - Aliran kargo
tahun 2002 berorientasi
- Peralatan - Aliran kontainer
tahun 2002 dengan - Pengangkutan
keluaran
metode DEA

Dea
CCR
- Panjang tempat berlabuh
Ukur 12 terminal peti
- Jumlah karyawan
efisiensi kemas Dea
Andenoworih
terminal dalam SMK - Hasil
(2010) - Jumlah gantry
peti kemas di pengelolaan
Indonesia seluruh Pelindo crane
Memasukkan
- Daerah pekarangan
model
berorientasi

Ukur
- Panjang tempat berlabuh
pelabuhannya - Area halaman
5 terminal peti Dea - Kargo
tingkat
efisiensi kemas CRS kontainer keluaran
- Jumlah - Wadah
terminal dalam
Sari (2014) peti kemas derek dermaga bergerak per
manajemen Memasukkan
- Jumlah halaman jam
sebelum dan Pelindo II model
- Jumlah
sesudah (IPC) berorientasi
peralatan panggilan kapal
investasi - Waktu layanan
peralatan baru

Sumber: Penjelasan sendiri berdasarkan berbagai sumber

Studi lebih lanjut dilakukan oleh Cullinane et al. (2004) dengan maksud untuk menerapkan
analisis jendela DEA untuk pengukuran efisiensi pelabuhan peti kemas terkemuka di dunia
berdasarkan data panel. Dibutuhkan 25 pelabuhan peti kemas besar di dunia untuk menerapkan
DEA-CCR dan DEA-BCC. Penelitian ini mempertimbangkan beberapa masukan yaitu panjang
dermaga, luas terminal, gantri sisi dermaga, gantri halaman dan pengangkut straddle dan
keluaran tunggal yaitu keluaran kargo. Temuan utama dari studi ini adalah bahwa inefisiensi
bukanlah faktor utama yang berasal dari faktor skala produksi yang dinyatakan dengan kinerja
return to scale yang konstan yang dihasilkan sebagian besar pelabuhan dalam studi. Studi ini
menunjukkan bahwa pelabuhan yang tampak sangat efisien bukanlah pelabuhan yang memiliki investasi lembur yang

21
Machine Translated by Google

Hal ini bertolak belakang dengan kelompok masyarakat dengan tingkat efisiensi rendah yang melakukan investasi
besar pada peralatan dan/atau infrastruktur pelabuhan untuk menghadapi lingkungan bisnis yang kompetitif. Dengan
demikian, hal ini menunjukkan bahwa persaingan dan daya saing pelabuhan mungkin memainkan peran utama dan
berdampak langsung pada tingkat efisiensi keseluruhan yang dapat diukur di bawah pelabuhan peti kemas.

Lebih lanjut, Lee dkk. (2005) melanjutkan penelitian DEA Rekursif (RDEA) yang bertujuan untuk menentukan
peringkat efisiensi keseluruhan untuk pelabuhan-pelabuhan di Asia Pasifik dengan menggunakan metode peringkat
multi-skenario. Input dan output tambahan yang identik dengan studi Joze Tongzon pada tahun 2000 diberikan,
diterapkan dengan DEA CCR kemudian dihitung ulang dengan RDEA untuk menghasilkan peringkat komprehensif
dengan hasil yang sangat tepat. Model RDEA juga memungkinkan untuk mengatasi jumlah DMU yang tidak memadai
dan terlalu banyak. Dalam hal ini sekali lagi DEA terbukti mampu menghasilkan efisiensi pelabuhan dengan
memberikan variabel input dan output yang diperoleh dari indikator kinerja pelabuhan.

Penelitian dilanjutkan pada tahun 2006 oleh Wang & Cullinane yang bertujuan untuk menganalisis efisiensi
maksimum dalam bisnis inti baru bernama manajemen rantai pasokan. Hal ini dilakukan terhadap 104 pelabuhan
peti kemas di 7 kawasan di Eropa yakni Skandinavia, Kepulauan Inggris, Eropa Barat, Eropa Selatan, Eropa Tengah,
Eropa Tenggara, dan Eropa Timur. Model CCR dan BCC dihasilkan dalam penelitian ini dengan memanfaatkan
panjang terminal, luas terminal dan biaya peralatan sebagai input dan throughput sebagai output. Temuan utama
dari penelitian ini menunjukkan bahwa hampir semua terminal yang diteliti mengalami inefisiensi yang cukup besar.
Rata-rata efisiensi pelabuhan petikemas berada pada kisaran 0,43 untuk model CRS dan 0,44 untuk model VRS.
Model VRS dianggap lebih realistis daripada model CRS, rata-rata terminal meningkatkan tingkat keluarannya
sebesar 2,3 kali lipat serupa dengan tingkat masa kini dengan masukan yang sama. Penelitian ini memanfaatkan
sampel yang besar yang mempunyai manfaat utama agar efisiensi menjadi lebih stabil dan kokoh. Oleh karena itu,
efisiensi yang dihasilkan kurang rentan terhadap variasi.

Studi DEA terus diperluas pada tahun 2008 oleh Herrera & Pang yang menganalisis 86 pelabuhan peti kemas di
dunia dengan memanfaatkan model Free Sekali Pakai Hull (FDH) dan VRS.
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menilai batas efisiensi pelabuhan peti kemas.
Makalah ini mengukur output maksimum yang dapat dicapai dengan input yang diberikan dan mengukur efisiensi
sebagai kesenjangan antara input-output yang diketahui terhadap batasan itu sendiri. Makalah ini mengungkapkan
tiga karakteristik menarik dari hal ini sebagai berikut: “(1) hal ini didasarkan pada ukuran efisiensi agregat meskipun
terdapat banyak input; 2) tidak mengasumsikan adanya hubungan fungsional tertentu antara masukan dan keluaran;
dan 3) tidak bergantung pada seleksi apriori untuk membangun tolok ukur”

(Herrera & Pang, 2008, 1). Temuan makalah ini menunjukkan bahwa pelabuhan yang paling tidak efisien
menggunakan input lebih dari 20 hingga 40 persen dari tingkat yang digunakan di pelabuhan yang paling efisien.
Temuan bermanfaat lainnya dari makalah ini menunjukkan bahwa sebagian besar pelabuhan di negara-negara
berkembang mampu menurunkan inefisiensi skala dengan meningkatkan skala operasi.
Selain itu, sekitar sepertiga dari pelabuhan tersebut akan menghilangkan inefisiensinya dengan menerapkan skala
operasi.

22
Machine Translated by Google

Tabel 7 Jenis Model DEA


Transformasi Charnes-Cooper LP ganda ("model Farrell") Solusi ganda LP (skor)
Model DEA berorientasi masukan

ÿ
maks ÿÿ = m ÿ Larutan: ÿ ÿ1
=ÿ
=1
ÿ
Skor: ÿ ÿ 1 , DMU tidak efisien
tunduk pada
, = 1, ,… . , ; ÿ
= 1 , DMU efisien
tunduk pada =ÿ ÿ
ÿ0 ÿ=1ÿ ÿ ÿ ÿ
=1 =1

=1 , = 1, , …. , ;
ÿ=1 ÿÿÿ
=1

, ÿ0
ÿ ÿ 0, = 1, ,…. , ;

Model DEA berorientasi keluaran

maks ÿ
ÿ
= maks ÿ
=ÿ
=1

tunduk pada
ÿ0 , = 1, ,…. , ; ÿ

tunduk pada =ÿ ÿ ÿÿÿ Larutan: ÿ ÿ1


=1
=1 =1

Skor: ÿ ÿ
ÿ 1 , DMU tidak efisien
=1 , = 1, , …. , ; ÿ ÿ
= 1 , DMU efisien
ÿ=1 ÿ=1ÿ
, ÿ
ÿ 0, = 1, ,… . , ;

Sumber : Sharma & Yu (2009)

23
Machine Translated by Google

Studi terbaru yang dilakukan oleh Mokhtar (2013), bertujuan untuk mengukur efisiensi terminal
dan pergerakan peti kemas di 6 terminal peti kemas utama di Semenanjung Malaysia dengan
memanfaatkan data panel dari tahun 2003 hingga 2010 menggunakan DEA-CCR dan DEA-BCC.
Orientasi model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model berorientasi output. Mokhtar (2013)
mencoba mengembangkan DEA dengan menggunakan input yang relatif baru dibandingkan
penelitian sebelumnya yaitu luas terminal, draft, panjang dermaga, indeks quay crane, indeks
penumpukan halaman, kendaraan dan jumlah jalur gerbang tetapi memanfaatkan output serupa
yaitu throughput. Makalah ini mendefinisikan beragam estimasi antara DEA-CCR dan DEA-BCC
dalam hal jenis efisiensi. DEA-CCR mempertimbangkan untuk menjadi lebih komprehensif karena
menangani skala dan efisiensi teknis, sedangkan DEA-BCC hanya berfokus pada efisiensi teknis.
Hasil mayor menunjukkan bahwa tidak ada hubungan substansial
antara ukuran halaman terminal peti kemas dan efisiensi. Oleh karena itu, efisiensi tidak hanya
bergantung pada ukuran terminal tetapi juga bergantung pada alokasi sumber daya.

2.4.2.Penerapan DEA Sebelumnya di Pelabuhan Indonesia


Aplikasi DEA terkait pelabuhan Indonesia telah dibuat oleh Seo dkk. (2012) dan Merk & Dang
(2012). Seo dkk. (2012) menganalisis efisiensi 30 Pelabuhan ASEAN termasuk 4 pelabuhan
Indonesia yaitu Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Perak dan
Pelabuhan Makassar menggunakan DEA-CCR dengan model berorientasi output. Penelitian ini
menggunakan 4 input yaitu. jumlah tempat berlabuh, panjang tempat berlabuh, luas halaman peti
kemas, jumlah crane dan 1 input yaitu throughput peti kemas. Sedangkan Merk & Dang (2012)
melakukan penelitian terhadap 42 terminal peti kemas dunia termasuk Pelabuhan Tanjung Priok
dan 35 terminal curah dunia termasuk Pelabuhan Balikpapan dan Pelabuhan Tanjung Bara. Input
yang digunakan pada terminal peti kemas adalah panjang dermaga, luas halaman, titik refeer,
derek dermaga dan derek halaman, sedangkan keluarannya adalah throughput peti kemas. Untuk
penelitian kedua, Merk & Dang (2012) menganalisis terminal curah menggunakan 3 input, yaitu.
panjang tempat berlabuh, area penyimpanan dan kapasitas bongkar/muat dengan throughput
kargo keluaran.

Sehubungan dengan analisis kinerja DEA untuk pelabuhan Indonesia, ada tiga studi yang dapat
disebutkan, yaitu. oleh Purwantoro (2004), oleh (Andenoworih, 2010) dan oleh (Sari, 2014).
Purwantoro (2004) menganalisis efisiensi 24 pelabuhan di wilayah kerja Pelindo II dan Pelindo IV
dengan menggunakan model DEA-BCC. Penelitian ini menggunakan 4 input yaitu.
infrastruktur, kapal bantu, peralatan dan pengangkutan serta menghasilkan 4 keluaran yaitu
panggilan, arus kapal GT, arus muatan dan arus peti kemas. Dengan menggunakan Software
DEA Solver, diketahui bahwa pada tahun 2002, terdapat 8 port yang dikategorikan sebagai port
tidak efisien dari 24 port yang dijadikan sampel. Penelitian ini tidak membedakan jenis kargo
untuk setiap pelabuhan karena inputnya merupakan ringkasan dari seluruh sumber daya yang
digunakan untuk menghasilkan output. Dan keluarannya sendiri merupakan variabel campuran
antara kapal, curah dan peti kemas. Selanjutnya penelitian memodifikasi variabel input menjadi
empat kategori untuk mendapatkan tingkat diskriminasi (“derajat kebebasan”) dalam analisis “re-
scaling” untuk setiap nilai atribut pada produk dalam bentuk persamaan distribusi normal standar
yang dimiliki. membuat penelitian kehilangan kemampuan untuk mendeteksi seberapa besar
pengurangan variabel input yang dapat dilakukan guna menghilangkan seluruh surplus/slack.
Kajian yang dilakukan Purwantoro (2004), berkaitan dengan total produktivitas pelabuhan yang
inputnya berasal dari jasa kelautan, sehingga definisi DMU sangat kasar karena melibatkan
seluruh sektor pelayaran sehingga hasilnya juga kasar. Bagaimanapun, ini menarik karena
menunjukkan bahwa terdapat literatur di Indonesia mengenai pengukuran efisiensi pelabuhan dengan Analisis DEA.

Andenoworih (2010) melakukan Analisis DEA khusus untuk 12 terminal peti kemas
dalam pengelolaan seluruh Pelindo di Indonesia menggunakan DEA-CRS (DEA-CCR) dan DEA-
VRS (DEA-BCC) dengan pendekatan berorientasi input. Diambil data primer yang berkaitan

24
Machine Translated by Google

Untuk tahun 2007-2009, masukan dalam penelitian ini adalah panjang dermaga, jumlah pegawai, jumlah
gantry crane dan luas halaman, sedangkan keluarannya adalah throughput. Dengan menerapkan
Software DEA Frontier, hasil model pertama (DEA-CRS dan DEA-VRS) menunjukkan bahwa 4 dari 12
terminal peti kemas dikategorikan efisien. DEA-VRS mengungkapkan 5 dari 12 diklasifikasikan sebagai
efisien secara teknis (terminal peti kemas berbeda dengan model pertama), sebaliknya dengan model
DEA-CRS yang mengkategorikan 5 terminal ini sebagai tidak efisien.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efisiensi terminal peti kemas dan menunjukkan peers untuk
masing-masing terminal peti kemas sebagai benchmark, namun belum memberikan informasi yang detail
bagi pemangku kepentingan untuk menentukan investasi yang tepat sebagai langkah perbaikan.

Sari (2014) mengevaluasi efisiensi 5 terminal peti kemas di lingkungan pengelolaan Pelindo II dengan
menggunakan model berorientasi input DEA-CRS dan membandingkan hasilnya dengan data kinerja
operasional terminal pada tahun 2010 (sebelum investasi) dan tahun 2013 (setelah investasi). Software
DEA Frontier digunakan untuk menganalisis masukan yang terdiri dari panjang dermaga, luas lapangan
peti kemas, jumlah derek dermaga, jumlah peralatan lapangan, dan waktu pelayanan sedangkan
keluarannya adalah throughput kargo, pergerakan peti kemas per jam dan jumlah kunjungan kapal. .
Analisis dibagi menjadi 2 tahap, tahap pertama memanfaatkan seluruh input dan 2 output pertama
dengan data tahun 2010 (sebelum investasi) dan 2013 (setelah investasi) untuk mengetahui dampak
langsung investasi dan tahap kedua memanfaatkan seluruh input dan output menggunakan data panel
dari tahun 2010 hingga 2013 untuk mengevaluasi perubahan kinerja efisiensi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pada tahap pertama hampir semua terminal dikategorikan tidak efisien baik sebelum
maupun sesudah investasi.
Pada tahap kedua hanya 2 terminal yang dikategorikan tidak efisien. Produktivitas sebelum dan sesudah
investasi peralatan tambahan, terlihat bahwa setelah peralatan dipasang disana, produktivitasnya
menurun. Faktanya, lebih banyak input tidak berarti lebih banyak output, hal ini sejalan dengan kecukupan
permintaan. Penelitian Sari
(2014), fokus pada perbedaan antara dua situasi sebelum dan sesudah investasi dan hanya terdapat 5
terminal peti kemas dalam pengelolaan Pelindo II.

Penelitian ini akan menganalisis 18 terminal peti kemas khusus dalam pengelolaan seluruh Pelindo yang
sampai batas tertentu sebanding dan DMU-nya lebih baik dari studi sebelumnya di Pelabuhan Indonesia.
Program STATA dalam model berorientasi input DEA-CRS digunakan dalam penelitian ini untuk
menganalisis kinerja efisiensi tahun 2014 dengan menggunakan 7 input yaitu halaman peti kemas, draft
maksimum, panjang dermaga, indeks quay crane, indeks penumpukan halaman, kendaraan internal dan
jumlah gerbang jalur dan 1 output yaitu throughput dalam TEU. Proyeksi throughput akan menunjukkan
permintaan di masa depan, sedangkan analisis kapasitas akan menilai kemampuan untuk memenuhi
permintaan di masa depan.
Dengan demikian, hasilnya akan menunjukkan kinerja efisiensi dibandingkan dengan fakta kemacetan
sebagai akibat dari ketidakmampuan kapasitas terminal (sebagai pasokan) untuk menanggung
throughput (sebagai permintaan). Oleh karena itu, hasil penelitian ini memberikan informasi yang
berguna mengenai investasi yang tepat dari segi waktu dan urgensinya.

25
Machine Translated by Google
Machine Translated by Google

3. METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, dimana kuantitatif digunakan untuk
menganalisis kinerja efisiensi terminal peti kemas dan peramalan throughput, sedangkan
kualitatif digunakan untuk melakukan tinjauan literatur jurnal akademis dan artikel dari berbagai
sumber yang sejalan dengan penelitian yang telah dilawan. di Bab 2.

Kinerja efisiensi untuk kondisi awal akan menganalisis seluruh terminal peti kemas khusus di
Indonesia yang berada dalam pengelolaan Pelindo I, II, III dan IV. Data cross section untuk
observasi diambil dari tahun 2014 yang dilanjutkan dengan analisis kinerja efisiensi untuk
kondisi masa depan dengan memanfaatkan impedent throughput. Oleh karena itu, analisis
peramalan throughput akan dilakukan untuk dapat memperoleh kinerja efisiensi yang akan
datang.

Selain itu, penilaian deskriptif akan dilakukan untuk menganalisis hasil analisis kuantitatif DEA
baik untuk kondisi awal maupun situasi yang menghambat dengan mempertimbangkan proyeksi
throughput. Penjelasan singkat dan data historis mengenai profil masing-masing terminal peti
kemas akan dilakukan untuk mendukung analisis deskriptif.

Telah dikatakan sebelumnya bahwa untuk meningkatkan metode analisis kinerja kualitatif,
penelitian ini melakukan metode kuantitatif yaitu memanfaatkan Model Data Envelopment
Analysis (DEA) sebagai teknik pemrograman matematika non-parametrik untuk mengukur
efisiensi dan menemukan model frontier sebagai tolok ukur DMU. yang letaknya di luar garis
perbatasan. Model DEA akan membantu pengukuran kinerja efisiensi melalui program Stata
yang tidak gratis dipasang di notebook pribadi. Hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan
perangkat lunak yang tersedia di ruang laboratorium universitas.

3.1. Pengukuran Kinerja Efisiensi


Kinerja efisiensi mengukur kondisi terminal peti kemas saat ini berdasarkan sumber daya terkini
yang telah digunakan untuk menghasilkan keluaran peti kemas. Dengan mempertimbangkan
beberapa input sebagai sumber daya yang dimanfaatkan seluruhnya untuk menghasilkan
output yang menunjukkan kinerja efisiensi DMU. Sebagaimana disebutkan di atas, menurut
Kasypi & Shah (2007) indikator produktivitas digunakan sebagai dasar untuk mengukur kinerja
terminal peti kemas yang dikategorikan menjadi dermaga, derek, pekarangan/penyimpanan,
gang/tukang pelabuhan, dan gerbang (Kasypi & Shah, 2007). Oleh karena itu, beberapa
masukan terkait produktivitas ditentukan untuk mengukur efisiensi terminal peti kemas.

Ada dua model dasar DEA yang umum digunakan berdasarkan permukaan envelopment, yaitu
pengukuran efisiensi dan orientasi, Constant Return to Scale (CRS) dan Variable Return to
Scale (VRS) (Sharma & Yu, 2009). Dalam hal ini, model CRS dieksploitasi karena merupakan
model CCR yang didasarkan pada skala pengembalian konstan dimana output meningkat
secara proporsional dengan peningkatan input pada setiap tingkat produksi.
Mokhtar (2013) mengidentifikasi bahwa DEA-CCR yang disebut model Constant Return to
Scale (CRS) memungkinkan mengidentifikasi efisiensi relatif dan mengenali sumber daya
kemudian menilai sumber daya yang tidak efisien. Dengan model CRS, outcome terkonsentrasi
pada pemanfaatan input secara keseluruhan terhadap output terkait dimana DEA akan
menunjukkan masalah pengekangan melalui hasil slack yang menunjukkan input yang harus
dikurangkan dari output tertentu untuk mencapai kinerja yang efisien. Seperti juga disebutkan oleh Kasypi & Shah,

27
Machine Translated by Google

(2007) bahwa CCR memungkinkan untuk mengukur efisiensi teknis relatif dari Unit Pengambil
Keputusan (DMU) yang serupa dengan asumsi skala hasil konstan (CRS), hal ini dicapai
dengan mengukur rasio jumlah output tertimbang terhadap jumlah input tertimbang. .
Selanjutnya, model Constant Return to Scale (CRS) akan dieksploitasi secara bersamaan
dengan model berorientasi input karena dianggap sebagai pendekatan yang sesuai dengan
keseluruhan misi terminal peti kemas yang bertujuan untuk memanfaatkan input yang lebih
sedikit untuk menghasilkan output maksimum. Berorientasi input dianggap sebagai metode
yang relevan karena isu utama penelitian terkait dengan investasi masa depan di terminal peti
kemas.

Untuk mengetahui tahun pasti investasi yang sesuai, penelitian akan melakukan analisis DEA
melalui Program Stata untuk kondisi awal dengan menggunakan data pelabuhan pada tahun
2014 dan beberapa input tetapi output tunggal. Analisa DEA pada kondisi awal akan
menunjukkan efisiensi arus masing-masing terminal peti kemas sebagai dasar analisa
kemungkinan investasi dengan memperhitungkan kapasitas terminal sebagai supply terhadap
throughput yang dihasilkan sebagai demand. Ketika permintaan terus meningkat dan pasokan
tetap, maka akan terjadi kemacetan yang merupakan indikator untuk meningkatkan pasokan
melalui beberapa ekspansi yaitu investasi di bidang teknologi dan/atau fisik pada tahun
tertentu.

Analisis DEA melalui program Stata menganalisis kinerja efisiensi terminal peti kemas dimana
model statistik frontier dapat digunakan sebagai model untuk mengevaluasi efisiensi teknis
kinerja multi-pelabuhan dimana throughput sebagai keluaran dan sumber daya sebagai
masukan diperiksa untuk menentukan efisiensi pelabuhan (Talley , 2006). Ada tujuh masukan
yang diambil dari berbagai indikator efisiensi teknis yaitu luas lapangan peti kemas, sarat
maksimum, panjang dermaga, indeks derek dermaga, indeks penumpukan halaman,
kendaraan, jumlah lajur pintu dan throughput sebagai keluaran menggunakan data pelabuhan
tahun 2014 seperti pada gambar berikut. pada Tabel 8 di bawah ini:

Tabel 8 Pengukuran Efisiensi Input dan Output oleh DEA


Memasukkan Keluaran
Jumlah DMU
Jumlah Tahun Variabel Singkatan Tahun Singkatan Total Variabel

18 Terminal Peti Kemas 2014 7 Lapangan Peti Kemas (M2 ) (CY) 2009 - 1 Hasil (T)
2014 (TEU)
Draf Maksimum (M) (MD)
Panjang Tempat Tidur (M) (BL)
Quay Crane (Indeks) (QC)
Indeks Penumpukan Halaman (YS)
Truk dan Kendaraan (V)
Jalur Gerbang (GL)
Sumber : Elaborasi sendiri

Setelah diperoleh efisiensi dari Analisis DEA untuk kondisi awal, maka pengukuran kapasitas
terminal maksimum dapat dihitung dengan mengamati kondisi aktual di Indonesia. Biasanya
kapasitas terminal bergantung pada faktor pembatas terminal, dimana di banyak terminal,
kapasitas halaman (yaitu kapasitas throughput yang didukung oleh halaman) merupakan
faktor pembatas (Saanen & Rijsenbrij, 2015). Selain itu, ada beberapa terminal yang memiliki
faktor pembatas berbeda yang menjadi perhatian pada dermaga dan derek dermaga. Pada
akhirnya, untuk beberapa terminal namun jarang terjadi, gerbang atau fasilitas kereta api
dianggap sebagai faktor pembatas untuk perluasan di masa depan (Saanen & Rijsenbrij,
2015). Dengan mempertimbangkan sebagian besar kasus, penelitian ini akan mengukur
kapasitas terminal berdasarkan kapasitas halaman dan kapasitas dermaga sebagai kasus
terbanyak untuk terminal peti kemas.

28
Machine Translated by Google

3.2. Perkiraan Permintaan Menggunakan Pengganda PDB


Telah dikatakan sebelumnya bahwa Analisis DEA akan dikombinasikan dengan desain
kapasitas terminal untuk mengevaluasi kemacetan di terminal peti kemas. Dengan
demikian, mengingat kapasitas terminal sebagai pasokan tetap sama dan throughput
seiring permintaan terus meningkat dari tahun ke tahun, maka pada tahun tertentu
permintaan akan melebihi pasokan maksimum. Pada tingkat itu, dilakukan ekspansi melalui investasi tertentu
harus diambil untuk mengakomodasi peningkatan permintaan.

Selanjutnya metode peramalan throughput akan digunakan untuk mendapatkan throughput


masa depan sesuai permintaan. Karena volume perdagangan peti kemas sangat berkorelasi
dengan Pertumbuhan Produk Domestik (PDB) sebagai indikator pertumbuhan ekonomi, maka
perkiraan volume petikemas dianggap terkait langsung dengan PDB. PW de Langen, van
Meijeren, & Tavasszy (2012) menggabungkan model perkiraan dengan mempertimbangkan
penilaian ahli dan memungkinkan untuk mengatasi gangguan tren pertumbuhan masa lalu,
pengganda peti kemas digunakan untuk memperkirakan keluaran peti kemas di Hamburg-Le
Havre berdasarkan dua dekade terakhir. Oleh karena itu, peramalan throughput akan
menggunakan metode peramalan multiplier effect untuk mendapatkan throughput masa depan dari setiap terminal p

Sebagaimana telah disebutkan pada Bab 1 bahwa terminal peti kemas di Indonesia tersebar
melalui berbagai manajemen dan provinsi berbeda di Indonesia. Pengambilan PDB untuk
menghitung multiplier effect hanya menyesuaikan perkembangan ekonomi global Indonesia
dan tidak memperhitungkan perkembangan ekonomi aktual masing-masing provinsi. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, pangsa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas
dasar harga konstan tiap provinsi dianalisis untuk mendapatkan perkembangan ekonomi yang
sesuai dengan pertumbuhan volume angkutan peti kemas di setiap pelabuhan. Pada dasarnya
PDRB tetap digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke
tahun atau pertumbuhan ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh harga (Departemen Statistik, 2004).

Efek pengganda disebut juga elastisitas wadah adalah perbandingan dari Senyawa
Tingkat Pertumbuhan Tahunan (CAGR) dari keluaran peti kemas (total perdagangan
internasional terdiri dari peti kemas kosong yang diekspor, diimpor dan terkait serta
perdagangan domestik mencakup bongkar muat) terhadap CAGR PDB seperti yang disajikan di bawah ini:

ÿ
=
Persamaan 11

1
ÿ
1
=()
Persamaan 12

= (1 + ( )
Persamaan 13

Di mana :
= ÿÿÿÿ
=
=ÿ
=
Uraian jelas mengenai kerangka metodologi penelitian dapat digambarkan pada
Lampiran 2.

29
Machine Translated by Google

3.3. Data dan Pengumpulan


Penelitian ini terutama menggunakan data sekunder dimana sumber data utamanya
adalah data cross section dan data panel operasi tahunan dari 18 terminal peti kemas.
berada dalam kewenangan Pelindo. Data cross section merupakan data fasilitas operasional terminal peti
kemas pada tahun 2014 sebagai masukan, sedangkan data panel merupakan data throughput peti kemas
masing-masing terminal peti kemas di Indonesia dari tahun 2009 hingga 2014. Legalitas dan keabsahan data
terjamin sejak saat itu. dikumpulkan dari sumber internal Pelindo, namun data tersebut dikategorikan sebagai
data rahasia yang akan dipublikasikan sesuai dengan peraturan Pelindo. Karena datanya sesuai dengan
seluruh Pelindo (yaitu Pelindo I, II, III dan IV), maka dikumpulkan dari berbagai sumber terutama dari laporan
manajemen (yaitu laporan internal) dengan cara menghubungi langsung penanggung jawab dari masing-
masing terminal peti kemas. Beberapa data juga dikumpulkan dari laporan tahunan Pelindo.

Detail sumber data masing-masing input dan output digambarkan pada Tabel 9.

Tabel 9 Detil Sumber Data

Tidak Ada Variabel Masukan Data Sumber Tahun

Halaman Kontainer
1 Halaman Kontainer (M2 ) Laporan Tahunan Pelindo 2014
Daerah

Laporan Tahunan Pelindo 2014


2 Draf Maksimum (M) Rentang Draf
Laporan Internal 2014
Laporan Tahunan Pelindo 2014
3 Panjang Tempat Tidur (M)
Laporan Internal 2014
Jumlah laut ke
4 Quay Crane (Indeks) Laporan Tahunan Pelindo 2014
derek pantai
Jumlah derek
Laporan Tahunan Pelindo 2014
penumpukan halaman
Indeks Penumpukan 5 Yard Kapasitas halaman
Laporan Internal 2014
kontainer
Ketinggian susun Laporan Internal 2014
Jumlah internal
6 Truk dan Kendaraan Laporan Internal 2014
kendaraan

Jumlah jalur gerbang


7 Jalur Gerbang Wawancara Langsung 2014

No. Variabel Keluaran Data Sumber Tahun

Jumlah jalur gerbang


8 Throughput (TEU) Laporan Internal 2009-2014

Sumber: Elaborasi sendiri

3.3.1.Profil Pelabuhan Belawan


Pelabuhan Belawan merupakan pelabuhan terbesar yang terletak di Indonesia Bagian Utara, tepatnya di
pesisir timur Pulau Sumatera di Provinsi Sumatera Utara dan berhadapan langsung dengan Selat Malaka,
salah satu selat tersibuk di dunia. Pelabuhan Belawan merupakan cabang kelas utama Pelindo 1, dengan
luas total 26,25 m2, lokasi Pelabuhan Belawan berada di muara sungai Belawan yang terhubung dengan
Selat Malaka melalui alur pelayaran sejauh 12 km, dengan lebar alur 100 m. m dan kedalaman -9,50 m LWS.

Komoditas utama yang ditangani pelabuhan ini adalah kelapa sawit.

Terdapat 7 terminal dan 6 Terminal Swasta (TUKS) di Pelabuhan Belawan. Dari ketujuh terminal tersebut,
satu terminal khusus menangani kargo peti kemas dan sisanya menangani kargo umum dan curah cair.
Keenam terminal swasta dioperasikan oleh perusahaan besar berbeda yang terutama menangani kargo
mereka sendiri atau sebagai

30
Machine Translated by Google

wilayah usaha operasinya (dock yard). Namun dari seluruh terminal tersebut hanya terdapat dua
terminal dan dua TUKS yang telah memenuhi International Ship and Port Facility Security Code
(ISPS Code). Ada Terminal Peti Kemas Internasional Belawan, Terminal Ujung Baru, PT. Semen
Andalas Indonesia dan Pertamina Persero. Tahun lalu Pelabuhan Belawan menangani 45.980
TEUs yang sebagian besar merupakan peti kemas domestik dari dan ke pulau lain di Indonesia.
Terminal peti kemas masuk
Pelabuhan Belawan pada dasarnya berfungsi sebagai kawasan penyangga dan cadangan Terminal
Peti Kemas Internasional Belawan. Sarana dan prasarana Pelabuhan Belawan diuraikan pada
Lampiran 1.

3.3.2 Profil Terminal Kontainer Internasional Belawan (BICT).


Belawan International Container Terminal (BICT) merupakan suatu unit usaha khususnya di bidang
pelayanan peti kemas baik untuk kegiatan impor maupun ekspor penanganan peti kemas antar
pulau. Terminal Peti Kemas Internasional Belawan terletak di Pelabuhan Belawan 30 km dari pusat
kota Medan yang mempunyai lokasi yang strategis untuk kegiatan pelayaran karena terletak pada
jalur pelayaran internasional dan mempunyai keunggulan sebagai bagian ekspor komoditas
pertanian sekitar, industri karet, minyak mentah kelapa sawit, kakao, kopi dan hasil hutan lainnya
di pedalaman provinsi Sumatera Utara, Aceh dan Riau. Sedangkan komoditas utama impor seperti
tepung terigu, kedelai, bahan kimia, suku cadang mesin dan pupuk. Untuk penanganan peti kemas
antar pulau, komoditi dominan buangan di Tanjung Priok dan Tanjung Perak adalah tepung terigu,
sabun, teh dan bahan makanan lainnya, dan komoditi utama yang dimuat dengan tujuan ke Jakarta
adalah kargo umum.

Fasilitas dan peralatan yang ada, sebagian besar ditujukan untuk menyediakan layanan bongkar
muat dan penumpukan. Kegiatan BICT khususnya melayani kapal pengumpan dengan tujuan
Penang, Port Klang, Singapura dan kapal domestik tujuan Tanjung Priok, Tanjung Perak dan
pelabuhan lainnya. Dengan throughput terakhir hampir 1 juta TEUs, terbesar di Pulau Sumatera,
layanan BICT didukung oleh 214 ribu m2
container yard dengan single RTG dan tujuh Reach Stacker, sedangkan di sisi lepas pantai
didukung dermaga sepanjang 950 meter yang dilengkapi dengan 11 container crane dan dua
mobile harbour crane. Kedalaman wilayah cekungan -10 hingga -11 meter LWS dan saluran
pengantaran itu berukuran panjang 13 mil. Fasilitas dan perlengkapannya
BICT digambarkan pada Lampiran 1.

3.3.3.Profil Pelabuhan Tanjung Priok


Pelabuhan Tanjung Priok atau sederhananya bisa ditulis Pelabuhan Tanjung Priok merupakan
pelabuhan terbesar dan tersibuk di Indonesia. Pelabuhan yang terletak di Jakarta Utara dan
menghadap langsung ke Laut Jawa. Letak pelabuhan berada pada garis lintang 54844' 00'' Selatan
dan garis bujur 52578' 00'' Barat serta zona waktu. Pelabuhan Tanjung Priok merupakan indikator
perekonomian Indonesia karena menangani 50% arus barang masuk dan keluar Indonesia juga
menangani lebih dari 30% komoditas non migas di Indonesia.
Pelabuhan ini berperan penting sebagai pintu gerbang perekonomian bagi banyak kawasan
kawasan industri di sekitar ibu kota Jakarta dan juga berperan sebagai pusat transshipment bagi
banyak pelabuhan pengumpan kecil di negara ini.

Pelabuhan Tanjung Priok terhubung dengan banyak kota di Indonesia melalui berbagai transportasi
antarmoda. Pelabuhan Tanjung Priok merupakan pelabuhan kelas utama Pelindo 2 yang melayani
hampir semua jenis kargo seperti container, curah kering, curah pecah dan curah cair yang
sebagian besar untuk keperluan industri dan dengan karakteristik dan fasilitasnya, pelabuhan ini
mampu melayani direct call. kapal generasi baru. Untuk kargo kontainer, throughputnya

31
Machine Translated by Google

di Tanjung Priok merupakan peringkat tertinggi di negara ini, pada tahun 2014 dengan sekitar
6,4 juta TEUs.

Pelayanan penanganan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok sebagian besar dilakukan
oleh tiga perusahaan pengelola yang berbeda; semuanya masih merupakan lini bisnis Pelindo II.
Perusahaan pertama adalah Pelabuhan Tanjung Priok (PTP), anak perusahaan baru yang
100% sahamnya dimiliki oleh Pelindo II. Sebelumnya merupakan cabang Pelindo 2, namun
pada tahun 2014, demi mendongkrak kinerjanya, dipecah menjadi anak perusahaan baru.
Perusahaan kedua adalah Jakarta International Container Terminal (JICT) yang kepemilikannya
dibagi oleh Pelindo 2 dan Hutchison Port Holding Group (HPH Group) dari Hongkong dan
perusahaan ketiga adalah Koja Container Terminal dengan tetap Pelindo 2 dan Hutchinson
Group sebagai Pemegang Saham namun dengan jumlah bagian yang berbeda, dan sedikitnya
jumlah peti kemas yang ditangani oleh Multi Terminal Indonesia (MTI) juga dimiliki 100% oleh
Pelindo 2. Meski menangani lebih sedikit peti kemas dibandingkan tiga peti kemas lainnya,
namun hanya MTI yang menyediakan layanan Stasiun Pengangkutan Peti Kemas di Kawasan
Pelabuhan Tanjung Priok.

1. Perusahaan Pelabuhan Tanjung Priok (PTP)


Sebagai anak perusahaan Pelindo 2 yang ke-14 , PTP menghadapi tantangan ketika lalu
lintas peti kemas turun 3,11 % dari 5.893.262 TEUs pada tahun 2013 menjadi 5.709.889
TEUs pada tahun 2014. Penyebab perlambatan ini karena Indonesia baru saja mengadakan
legislasi. dan pemilihan presiden pada tahun 2014 dan menyebabkan pelaku usaha mengambil
sikap wait and see. Penurunan tertinggi terjadi pada kargo non peti kemas dari 22.329.631
ton pada tahun 2013 turun 8,68% menjadi 20.391.878 ton pada tahun 2014, hal yang sama
juga terjadi pada kargo peti kemas. Pelayanan peti kemas di PTP disediakan di 2 dari 3
terminalnya (terminal 2 dan 3), terminal ini tidak diperuntukkan hanya untuk peti kemas tetapi
dicampur dengan muatan curah pecah, seperti muatan proyek, baja dan koil. Draft eksisting
di PTP adalah -5,5 s/d 12 m LWS dan dengan proyek pengerukan saat ini diperkirakan bisa
mencapai 14 m LWS, dengan panjang dermaga 10.562 m dan dilengkapi container crane
generasi baru, terminal ini mampu melayani beberapa kapal. kapal pada saat yang bersamaan.
Luas container yard adalah 796.121 m2 dengan kapasitas maksimum 30.476 TEUs.
Sejak PTP masih berupa cabang (tahun 2009), operasional 24 jam sudah diterapkan.

2. Terminal Peti Kemas Internasional Jakarta (JICT – IPC – Hutchison)


Pada tahun 1999, krisis ekonomi mendorong Pelindo 2 menjual 51% kepemilikan salah satu
terminalnya kepada HPH Group dan mendirikan anak perusahaan baru yang fokus pada
bisnis peti kemas bernama Jakarta International Container Terminal (JICT). Menjalankan
bisnis dengan dua terminal (terminal I dan II) dengan panjang dermaga 2.150 meter dan total
lapangan penumpukan 54 Ha, JICT berhasil menangani hingga 2,3 juta TEUs pada tahun
2014. Saat ini, JICT merupakan terminal peti kemas paling modern di Indonesia didukung
oleh sistem operasi terminal yang canggih dan sebagai pelopor sistem gerbang otomatis di
tanah air. JICT terhubung dalam jalur langsung 20 jalur pelayaran ke beberapa pelabuhan di
25 negara di dunia dengan pelayanan 24 jam per hari. Draft di JICT merupakan yang terdalam
dari seluruh terminal di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok dengan -11 hingga -14 m
LWS.

3. Terminal Kontainer Koja (IPC – Hutchison)


Satu tahun sebelum JICT, Pelindo II dan PT. Ocean Terminal Peti Kemas (OTPK) sempat
membentuk perusahaan patungan di salah satu kawasannya di Tanjung Priok dan mendirikan
Terminal Peti Kemas Koja (TPK Koja), namun belakangan saham milik OTPK dijual ke grup
HPH. Pada tahun 2014 sekitar 800.000 TEUs kontainer ditangani di TPK Koja. Di dalamnya

32
Machine Translated by Google

Dengan draft 13 meter, TPK Koja mampu menampung kapal berkapasitas 1.500 – 2.000 yang
didukung oleh 7 quay crane di sepanjang dermaga sepanjang 650 meter, sedangkan kontainer
dapat disimpan di container yard seluas 21,8 Ha. Dalam beberapa tahun ke depan, dengan
mempertimbangkan perkiraan throughput, TPK Koja akan memperluas dermaganya sejauh 200
meter lebih.
Fasilitas dan perlengkapan Pelabuhan Tanjung Priok disajikan pada Lampiran 1.

3.3.4.Profil Pelabuhan Panjang


Pelabuhan Panjang terletak di Provinsi Lampung di Pulau Sumatera Bagian Selatan pada 28.23'
Selatan & Bujur 19.03' Timur. Karena letaknya yang strategis di antara dua pulau utama di Indonesia,
Pelabuhan Panjang berperan penting sebagai pintu gerbang koridor ekonomi di wilayah barat
Indonesia. Berdasarkan infrastruktur, wilayah pedalaman dan konektivitasnya, pelabuhan ini
dikategorikan sebagai pelabuhan kelas satu dan berada di bawah yurisdiksi Pelindo 2. Dengan draft
maksimum -16 m LWS dan panjang dermaga 401 meter yang didukung oleh 7 quay crane,
Pelabuhan Panjang mampu untuk menangani dua 200 meter
Kapal kontainer LOA pada saat yang bersamaan. Komoditas utama saat ini di Pelabuhan Panjang
adalah produk pertanian dan curah kering yang diangkut melalui jaringan kereta api modern dan
jalan raya menuju Pelabuhan Panjang untuk dikirim ke berbagai tujuan di luar negeri. Untuk kargo
peti kemas, dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang stabil dan diperkirakan akan
terus tumbuh di masa depan. Kargo ekspor di Pelabuhan Panjang lebih tinggi dibandingkan impor,
karena kunjungan kapal lebih didominasi oleh kapal laut dibandingkan kapal dalam negeri yang
melayani perdagangan antar pulau.
Dengan kapasitas container yard seluas 75.000 m2 di Pelabuhan Panjang pada tahun 2014 memiliki
menangani throughput 107.546 TEUs.

Pelabuhan Panjang dengan alur 6 mil laut dan luas total lebih dari 100 Ha dioperasikan 24 jam
sehari, tujuh hari seminggu. Dilengkapi dengan peralatan modern untuk beberapa jenis kargo
termasuk beberapa fasilitas baru yang dapat memberikan pelayanan dalam segala cuaca. Dari sisi
curah kering, Pelabuhan Panjang saat ini mampu menangani kapal curah berkapasitas hingga
50.000 DWT. Sarana dan prasarana Pelabuhan Panjang
dijelaskan dalam Lampiran 1.

3.3.5.Profil Pelabuhan Palembang


Pelabuhan Palembang adalah pelabuhan sungai yang terletak di Sungai Musi di provinsi Palembang,
Sumatera Selatan. Terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan industri pertanian, pertambangan
dan manufaktur di pedalaman, rencana investasi pengembangan pelabuhan ini ke depan diperluas
hingga kawasan sungai Lais untuk menyediakan ruang lahan bagi kegiatan industri. Pelabuhan
Palembang juga dikategorikan sebagai cabang kelas satu Pelindo II yang berperan penting dalam
menunjang kegiatan perekonomian di wilayah selatan Pulau Sumatera. Pelabuhan Palembang
merupakan peninggalan kolonial Belanda yang dibangun sejak tahun 1928 dan mengalami banyak
perubahan dan perpindahan lokasi dan pengelolaan. Sejak tahun 2013, proyek pengembangan dan
penataan ulang Pelabuhan Palembang telah memberikan hasil yang baik dalam hal peningkatan
produktivitas dan throughput.

Pada tahun sebelumnya Pelabuhan Palembang menghadapi permasalahan operasional yang kacau
akibat model penanganan kargo yang masih tradisional dimana aktivitas stuffing dan stripping
dilakukan di samping dermaga, bukan di dalam gudang atau lini kedua. Namun setelah dilakukan
pembangunan dan perbaikan secara besar-besaran, kini Pelabuhan Palembang berubah menjadi
terminal modern yang didukung oleh peralatan modern seperti Rail Mounted Gantry Crane (RMGC)
untuk menumpuk peti kemas menggantikan beberapa Reach Stacker dan Side Loader. Di tepi
pantai, baru ditanam 7 Quay Crane

33
Machine Translated by Google

sepanjang dermaga 266 meter dengan draft 9 meter yang mampu menampung kapal atau tongkang. Tantangan
dan hambatan yang masih muncul adalah keberadaan kuburan kuno di tengah lapangan peti kemas, yang tidak
dapat tergantikan karena adat dan tradisi setempat serta adanya jembatan Ampera di atas sungai Musi yang
memberikan batasan ketinggian kapal, terutama di musim pasang surut. Fasilitas

dan perlengkapan Pelabuhan Palembang digambarkan pada Lampiran 1.

3.3.6.Profil Pelabuhan Pontianak


Sama seperti Pelabuhan Palembang, Pelabuhan Pontianak merupakan pelabuhan sungai yang masuk dalam
kategori cabang kelas satu Pelindo II. Terletak di Sungai Kapuas, Provinsi Kalimantan Barat, Pelabuhan Pontianak
merupakan pelabuhan pintu gerbang bagi kegiatan industri di pedalaman seperti perkebunan, kehutanan,
pertambangan, dan pengolahan bahan baku. Terdapat dua wilayah pelabuhan kecil di bawah pengawasan
Pelabuhan Pontianak, yaitu Pelabuhan Sintete dan Pelabuhan Ketapang yang terutama menangani kargo umum
seperti kehutanan dan peternakan. Terdapat dua tipe terminal di Pelabuhan Pontianak, pertama terminal peti
kemas dengan luas lapangan penumpukan 47.794 m2 dan panjang dermaga 295 meter yang dilengkapi dengan
4 buah quay crane.
Yang kedua adalah terminal multiguna dengan 6 tempat berlabuh yang digunakan untuk kargo umum, penumpang
dan angkatan militer. Seperti banyak pelabuhan sungai lainnya, Pelabuhan Pontianak menghadapi permasalahan
keterbatasan draft yang disebabkan oleh sedimentasi material sungai, draft di Pelabuhan Pontianak hanya -6 m
LWS, sehingga hanya kapal berkapasitas 400 TEUs yang dapat berlabuh di pelabuhan ini.

Dari tahun ke tahun pelabuhan mengalami peningkatan yang cukup pesat. Hal ini terlihat dari lalu lintas kapal
dan barang yang mengalami peningkatan, khususnya angkutan peti kemas. Hal ini dipengaruhi oleh status
terminal khusus penanganan peti kemas yang telah dimiliki pihak pelabuhan. Meningkat dari dua tahun terakhir
sebesar ±15%, dari 150.114 TEUs pada tahun 2010 menjadi 172.892 TEUs. Tingginya aktivitas di dalam
pelabuhan dan bongkar muat tidak lepas dari peran fasilitas dan peralatan pendukung yang memadai.

Pada periode 2013 hingga 2014, Pelabuhan Pontianak menjadi pilot project penerapan konsep menara kendali
serta rekonfigurasi tata letak terminal yang berhasil meningkatkan produktivitas dan menurunkan tingginya yard
okupansi (YOR) akibat terbatasnya luas lahan. Sarana dan prasarana Pelabuhan Pontianak adalah

ditunjukkan pada Lampiran 1.

3.3.7.Profil Pelabuhan Teluk Bayur


Pelabuhan Teluk Bayur terletak di wilayah barat pulau Sumatera yang menghadap Samudera Hindia, pelabuhan
ini merupakan pintu gerbang perekonomian provinsi Sumatera Barat dimana sekitar 67% arus barang di wilayah
ini ditangani di Pelabuhan Teluk Bayur. Sehubungan dengan meningkatnya throughput peti kemas dalam
beberapa tahun terakhir, pada tahun 2013 telah diluncurkan terminal peti kemas khusus, dengan dermaga
sepanjang 222 meter dan dilengkapi dengan 5 crane peti kemas, pelabuhan ini tersedia untuk menampung kapal
peti kemas berkapasitas 1.500 – 2.000 TEUs. Pelabuhan Teluk Bayur merupakan pelabuhan minyak sawit
mentah (CPO) terbesar kedua setelah Pelabuhan Dumai, sedangkan untuk muatan curah kering didominasi oleh
batu bara yang meningkat 1,6 juta ton dari tahun lalu.

Kini Pelindo II sedang mempertimbangkan untuk membangun sambungan kereta api untuk menghubungkan
pelabuhan Teluk Bayur dengan daerah pedalamannya, proyek ini juga untuk mendukung rencana Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK) yang akan dibangun di wilayah ini. Saat ini, hampir seluruh muatan di Pelabuhan Teluk
Bayur merupakan muatan dalam negeri, namun beberapa komoditas dalam peti kemas seperti karet dan furnitur
dikirim ke luar negeri namun tidak menggunakan kapal direct call melainkan melalui pelabuhan hub terdekat.
Seluruh terminal di Pelabuhan Teluk Bayur dioperasikan 24 jam per

34
Machine Translated by Google

hari tanpa hambatan pasang surut, dengan lapangan penumpukan seluas 62.250 m2, Pelabuhan
Teluk Bayur mampu menampung 4.825 TEUs kontainer per hari. Karena terminal peti kemas masih
tergolong baru, maka peralatan penumpukannya masih mengandalkan Reach Stacker, Side Loader,
dan Top Loader. Fasilitas dan perlengkapan Pelabuhan Teluk Bayur dijelaskan pada Lampiran 1.

3.3.8.Profil Pelabuhan Jambi


Pelabuhan Jambi terletak di Provinsi Jambi di sepanjang Sungai Batanghari dengan luas daratan
271 Ha. Pelabuhan Jambi terbagi menjadi tiga kawasan yaitu Pelabuhan Kuala Tungkal, Pelabuhan
Talang Duku dan Pelabuhan Muara Sabak, Talang Duku merupakan kawasan utama dan terbesar
yang menjadi lokasi terminal peti kemas, kawasan ini mampu menampung kapal berkapasitas
hingga 750 dwt. Pemerintah daerah juga telah menyiapkan rencana lahan datar seluas 560 ha di
Kabupaten Jambi Bagian Timur yang relatif dekat dengan kawasan pelabuhan, dengan peruntukan
kawasan pengembangan industri berorientasi ekspor. Hinterland Pelabuhan Jambi memproduksi
karet, triplek, dan moulding yang merupakan komoditas ekspor ke Amerika, Eropa, Timur Tengah,
Jepang, dan Korea. Jenis kapal yang berlabuh pun bermacam-macam mulai dari perahu, perahu
motor tempel (outboard motor), speed boat, perahu motor, kapal ketiak (small craft), hingga kapal
motor tunda (tug boat) dan kapal tongkang (barge). Untuk kelancaran operasional bongkar muat,
Pelabuhan Talang Duku dilengkapi dengan dermaga apung, untuk mengatasi perbedaan ketinggian
air pada musim hujan dan kemarau yang bisa mencapai 8 meter.

Sedangkan pelabuhan Kuala Tungkal yang terletak di Kecamatan Tanjabbar berjarak 110 km ke
arah timur menuju kota Jambi. Dermaga yang mempunyai kapasitas sandar kapal hingga berat 800
dwt ini, setiap harinya melayani lalu lintas hidrofoil (speed boat) yang menghubungkan Kuala
Tungkal (Jambi) ke Batam, Tanjung Pinang dan pulau-pulau lain di Provinsi Kepulauan Riau.
Kawasan ini juga menjadi tempat berlayarnya para nelayan yang menyumbang hasil perikanan laut.
Yang terakhir adalah Pelabuhan Muaro Sabak yang terletak di kawasan Tanjung Jabung (100 BT
menuju kota Jambi), merupakan dermaga laut terbesar di Provinsi Jambi yang mampu menampung
kapal berbobot 5.000 dwt. Dermaga yang menghadap Selat Berhala yang terhubung langsung
dengan Selat Malaka, akan ditingkatkan agar mampu menampung kapal berbobot 15.000 dwt.
Salah satu perusahaan yang memanfaatkan fasilitas di kawasan tersebut adalah Petro China
International Jabung Ltd.

Draf seluruh terminal di Pelabuhan Jambi tidak cukup dalam dari -3 m LWS hingga -9 m LWS dan
perlu dilakukan pengerukan secara rutin agar draft tetap cukup untuk sandarkan kapal atau
tongkang. Pada tahun 2014, throughput peti kemas di Pelabuhan Jambi mengalami sedikit
peningkatan menjadi 29.379 TEUs. Aktivitas pelayanan peti kemas didukung oleh 14.649
m2 container yard dengan panjang dermaga 302 meter dan 2 container crane. Fasilitas dan
perlengkapan Pelabuhan Jambi digambarkan pada Lampiran 1.

3.3.9.Profil Pelabuhan Tanjung Perak


Tanjung Perak merupakan cabang utama Pelindo III yang berlokasi di Surabaya, Provinsi Jawa
Utara. Tanjung Perak merupakan pelabuhan tersibuk kedua di Indonesia setelah Tanjung Priok di
Jakarta. Pelabuhan ini juga merupakan pelabuhan utama di Indonesia bagian timur. Pada awalnya,
untuk meningkatkan arus lalu lintas perdagangan, angkutan barang dan angkutan, fasilitas yang
tersedia di Pelabuhan pada saat itu belum memadai. Oleh karena itu pada tahun 1875 Ir. W. de
Jonght berencana membangun Tanjung Perak untuk kegiatan bongkar muat tanpa menggunakan
tongkang dan perahu. Sayangnya rencana tersebut ditolak karena memerlukan dana yang tidak
sedikit. Baru pada 10 tahun pertama abad ke-20, WB Van Goor membuat rencana, untuk menekan
kapal laut agar bersandar lebih dekat ke kade. Setelah tahun 1910, pembangunan Pelabuhan
Tanjung Perak dimulai. Sejak saat itu, Pelabuhan Tanjung Perak telah memberikan kontribusi yang
cukup besar terhadap pembangunan perekonomian dan mempunyai peranan yang penting

35
Machine Translated by Google

tidak hanya meningkatkan arus perdagangan di Jawa Timur tetapi juga di seluruh Indonesia Timur.

Pelabuhan Tanjung Perak menangani berbagai jenis kargo, mulai dari curah kering, kontainer, dan
curah cair. Terdapat lima terminal di Pelabuhan Tanjung Perak yaitu Terminal Nilam, Terminal
Jamrud, Terminal Mirah, Terminal Kalimas dan Terminal Gapura Surya Putra sebagai terminal
penumpang. Terminal Jamrud dan Terminal Kalimas diperuntukan untuk menangani muatan non
peti kemas, sedangkan muatan peti kemas tersebar di Terminal Nilam dan Mirah, dengan jumlah
total 601.920 TEUs yang didukung oleh container yard seluas 34.880 m2 dengan 7 RTG dan
dermaga sepanjang 320 meter dengan 9 container crane . . Untuk meningkatkan kinerja Pelabuhan
Tanjung Perak kedepannya perencanaan proyek pengembangan akan memindahkan seluruh peti
kemas ke Terminal Peti Kemas Surabaya (TPS) yang merupakan anak perusahaan Pelindo III.
Terminal petikemas sebelumnya akan menjadi terminal khusus curah cair (Terminal Nilam) dan
terminal mobil (Terminal Mirah). Karena draft yang cukup terbatas, hanya -8 m LWS, Pelabuhan
Tanjung Perak tidak mampu menampung kapal-kapal besar. Sarana dan prasarana Pelabuhan
Tanjung Perak disajikan pada Lampiran 1.

3.3.10. Profil Pelabuhan Banjarmasin


Pelabuhan Banjarmasin atau dalam nama lokal biasa disebut Pelabuhan Trisakti terletak di ibu kota
kota Banjarmasin Kalimantan Selatan terletak di tepi Sungai Barito, sekitar 20 mil dari muara Sungai
Barito pada posisi 03" 20" 18" LS, 114' 34' 48" BT. Pelabuhan Banjarmasin merupakan pendukung
utama transportasi laut yang secara langsung maupun tidak langsung berperan aktif dalam
pembangunan perekonomian Kalimantan Selatan. Pelabuhan Banjarmasin dikategorikan sebagai
cabang kelas satu Pelindo III
dan telah memiliki satu terminal khusus kargo peti kemas yaitu Terminal Peti Kemas Banjarmasin
(TPKB) yang didorong oleh pesatnya pertumbuhan aktivitas industri di wilayah pedalamannya
dalam beberapa tahun terakhir. Sementara 5 terminal lainnya digunakan untuk melayani multiguna
dan penumpang. Karena dengan sejarahnya dan beberapa atraksi seperti pasar terapung, patung
dan lain-lain, Pelabuhan Banjarmasin menjadi salah satu tujuan wisata di Kalimantan.

Muatan yang ada di pelabuhan ini didominasi oleh hasil hutan dan pertambangan, untuk
meningkatkan kinerja dalam penanganan muatan, beberapa proyek pengembangan terkait
infrastruktur dan peralatan telah dilakukan Pelabuhan Banjarmasin terutama untuk mengatasi
permasalahan alam karakteristik sungai Barito yang memiliki perairan dangkal. saluran yang dalam
dan sempit. Sedangkan fasilitas terminal peti kemas sepanjang dermaga 505 meter dan lapangan
penumpukan petikemas seluas 81.133 m2 , Pelabuhan Banjarmasin menangani 413.737
TEUs kontainer pada tahun 2014. Untuk merespon perkiraan pertumbuhan kontainer di wilayah
selatan pulau Kalimantan, fasilitas yang ada akan ditingkatkan, seperti panjang dermaga akan
diperpanjang menjadi 1.240 meter dan draft akan dikeruk hingga mencapai - 8 m LWS, serta
penambahan peralatan berupa 6 unit container crane baru dan 11 unit RTG baru. Fasilitas dan
perlengkapan Pelabuhan Banjarmasin dapat dilihat pada
Lampiran 1.

3.3.11. Profil Terminal Petikemas Semarang (TPKS).


Terminal Petikemas Semarang (TPKS) yang terletak di wilayah Jawa Tengah berperan penting
dalam menunjang kegiatan perekonomian di wilayah tersebut dan sekitarnya, sebagai pintu gerbang
utama arus kargo melalui Laut Jawa. Untuk meningkatkan kinerja pelayanan yang berorientasi
pada kepuasan pelanggan, TPKS diproyeksikan menjadi anak perusahaan pada akhir tahun 2015
yang masih dimiliki sepenuhnya oleh PT. Pelabuhan Indonesia III. TPKS juga dari tiga arus peti
kemas internasional besar di Pelindo III, bersama-sama

36
Machine Translated by Google

dengan pelabuhan utama Tanjung Perak dan Terminal Peti Kemas Surabaya. Rata-rata dikunjungi
sekitar 40 hingga 50 kapal berbendera asing setiap bulannya, terdiri dari 80% dan 20% layanan
pengumpan langsung, sedangkan rata-rata throughput produksi ± 500.000 TEUS setiap tahunnya.

Beberapa komoditi utama yang ditangani TPKS adalah Furnitur untuk ekspor dan Plastik untuk impor.
Sebagai terminal peti kemas tempat keluar masuknya peti kemas muatan, TPKS mempunyai Container
Yard (CY) yang terbagi menjadi 6 area. CY pertama, kelima, dan keenam digunakan untuk kegiatan
ekspor dan impor. Lokasi ini terletak dekat dengan dermaga agar truk dapat bergerak lebih cepat saat
sedang mengangkut container untuk dimuat ke kapal. CY kedua adalah untuk kontainer kosong dan
muatan berbahaya. CY ketiga digunakan sebagai be-handle container atau digunakan untuk container
yang menunggu bea cukai. CY keempat digunakan sebagai peti kemas yang telah diperiksa bea
cukai. TPKS memiliki total kapasitas terpasang lebih dari 11.000 TEU. TPKS memiliki dermaga
sepanjang 495 meter yang dapat digunakan untuk 2 kapal pengumpan sekaligus dengan draft di
kolam -10 meter. Selain itu, TPKS juga mempunyai 2 Container Freight Station (CFS) yang digunakan
untuk kegiatan stripping/stuffing. Fasilitas

dan perlengkapan TPKS dijelaskan pada Lampiran 1.

3.3.12. Profil Terminal Petikemas Surabaya (TPS).


Terminal Peti Kemas Surabaya atau dalam bahasa Indonesia disebut TPS, merupakan anak
perusahaan Pelindo III yang tergabung dalam Pelabuhan Dubai sejak tahun 1999. TPS terletak di
kawasan Pelabuhan Tanjung Perak yang berada di pantai utara Pulau Jawa bagian timur sepanjang
tepian Selat Madura. TPS merupakan pintu gerbang menuju Indonesia Timur, melayani perdagangan
internasional dan domestik untuk wilayah pedalaman yang luas.
Throughput peti kemas di TPS merupakan yang tertinggi diantara unit usaha Pelindo III lainnya yaitu
sebesar 1.343.520 TEUs pada tahun 2014. Pemandangan unik yang dapat ditemui di TPS adalah
tempat berlabuh dan lapangan peti kemas dihubungkan dengan akses jembatan sepanjang 2 kilometer
yang dimaksudkan untuk mencapai perairan dalam untuk sandarkan kapal. Tidak hanya sebagai pintu
gerbang, TPS juga menjadi pelabuhan hub bagi banyak terminal peti kemas di kawasan timur
Indonesia. TPS terhubung dengan akses kereta api dan jalan raya ke beberapa kawasan industri di
Pulau Jawa bagian timur dan tengah. Dengan adanya proyek pengerukan baru di saluran barat, hal ini diharapkan
untuk menyambut kapal kontainer generasi baru.

Sebagai terminal peti kemas terbesar ketiga, TPS telah memodernisasi fasilitasnya seperti pelabuhan
yang dapat dikunjungi kapal hingga PANAMAX yang kompatibel dengan draft hingga 11 meter. TPS
mengoperasikan dermaga yang berbeda untuk peti kemas internasional dan domestik, dilengkapi
dengan 11 quay crane dan 15 RTG serta 6 Reachstacker. TPS merupakan kegiatan pelayanan
pelabuhan 24/7 dan juga mendapat penghargaan sebagai terminal peti kemas terbaik tahun 2008
oleh International Ship Owners Association of Indonesia. Sarana dan prasarana TPS disajikan pada
Lampiran 1.

3.3.13. Profil Berlian Jasa Terminal Indonesia (BJTI).


PT Berlian Jasa Terminal Indonesia (PT BJTI) merupakan anak perusahaan PT Pelabuhan Indonesia
III (Persero) yang 100% dimiliki oleh Pelindo III. Sejak tahun 2002, BJTI dipercaya untuk mengelola
Terminal Berlian Surabaya, Terminal Tanjung Perak untuk komoditas non peti kemas dan terminal
peti kemas khusus di Tenau sejak awal tahun 2012. Sebagai operator pelabuhan selama satu dekade,
PT BJTI telah banyak dipercaya oleh banyak masyarakat Indonesia dan mancanegara. perusahaan
yang bergerak di bidang pengelolaan peti kemas internasional, terminal peti kemas domestik, terminal
curah kering, jasa antar moda, dan berbagai jasa penunjang bongkar muat lainnya. Pendirian PT BJTI
selesai

37
Machine Translated by Google

melalui proses pemisahan satu unit bisnis Pelindo 3 yaitu Divisi Bisnis Terminal Multiguna (DUTS)
yang fokus pada layanan “Kargo dan Kontainer” di terminal konvensional. DUTS telah beroperasi
sejak tahun 1974.

Dalam setahun terakhir, sebanyak 1.158.947 TEUs ditangani oleh BJTI yang mengoperasikan 3
terminal kapal peti kemas dengan sarat maksimum – 9,6 m LWS dengan 23 crane peti kemas dan
beberapa peralatan penumpukan dengan luas lapangan peti kemas seluas 43.300 m2 .
Beroperasi penuh 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, BJTI juga menyediakan fasilitas CFS untuk
container LCL di wilayahnya. Sarana dan prasarana TPS digambarkan pada Lampiran 1.

3.3.14. Profil Pelabuhan Makassar


Dermaga Hatta Pelabuhan Ujung Pandang (baru berganti nama menjadi Pelabuhan Makassar)
merupakan pelabuhan terbesar yang ada di kawasan timur Indonesia yang terletak di Makassar, ibu
kota Sulawesi Utara dan berperan penting sebagai penghubung beberapa pelabuhan kecil di kawasan
timur Indonesia. Pelabuhan Makassar merupakan cabang utama Pelindo IV. Pelabuhan ini dibagi
menjadi dua perusahaan yang beroperasi – Pelabuhan Makassar dan Terminal Kontainer Makassar.
Perusahaan pelabuhan Makassar fokus pada kargo domestik –
yang sebagian besar merupakan muatan pupuk dan semen dalam jumlah besar dan sejumlah kecil
muatan peti kemas. Terminal Peti Kemas Makassar adalah operator utama semuanya
lalu lintas peti kemas untuk impor dan ekspor internasional dan domestik.

Pelabuhan Makassar memiliki total 5 tempat berlabuh, namun karena perlambatan perekonomian,
hanya 4 tempat berlabuh yang dimanfaatkan. Pensiunnya fasilitas tersebut juga mengharuskan
penerapan batas pemuatan kargo hanya 1,5 ton per meter. Beberapa fasilitas di pelabuhan berisiko
runtuh dalam beberapa tahun ke depan jika tidak dilakukan tindakan perbaikan. Throughput peti
kemas di pelabuhan ini hanya 7.080 TEUs pada tahun 2014, sebagian besar muatan peti kemas akan
menuju Terminal Peti Kemas Makassar dan Pelabuhan Bitung dengan prasarana dan fasilitas yang
lebih baik. Untuk pengembangan kedepannya pelabuhan ini akan memperluas wilayahnya melalui
reklamasi guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan di masa depan. Fasilitas
dan perlengkapan Pelabuhan Makassar ditunjukkan pada Lampiran 1.

3.3.15. Profil Pelabuhan Unit Terminal Petikemas Makassar (UTPM).


Makassar Container Terminal (MCT) merupakan unit bisnis Pelindo IV yang didedikasikan untuk
menangani dan melayani kargo peti kemas. Dari segi throughput dan fasilitas, MCT merupakan yang
terbesar di kawasan timur Indonesia dengan total throughput sebesar 562.050 TEUs pada tahun 2014.
Prasarana dan fasilitas yang memadai di pelabuhan ini adalah container yard seluas 114.450 m2
dengan 11 RTG, 2 Reach Stacker, dan 1 Side Loader. Sedangkan di lepas pantai didukung dermaga
sepanjang 1.000 meter yang dilengkapi 5 container crane.
Kapasitas terminal akan ditingkatkan hingga mampu menangani 1.200.000 TEUs pada tahun 2020.
Sarana dan prasarana UTPM disajikan pada Lampiran 1.

3.3.16. Profil Terminal Kontainer Bitung


Pelabuhan Peti Kemas Bitung (BCT) merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Pulau Sulawesi
yang didukung oleh infrastruktur yang memadai. Pelabuhan ini masuk kategori cabang kelas satu
Pelindo IV. Pelabuhan ini digunakan sebagai pintu gerbang distribusi barang-barang kebutuhan,
sehingga menjadi stimulator perekonomian dengan meningkatkan perdagangan masyarakat Sulawesi
Utara. Dalam perdagangan internasional, Pelabuhan Bitung mendukung Tanjung Priok dan tiga
pelabuhan internasional lainnya untuk mendistribusikan komoditas ekspor dan impor dari/ke Sulawesi
Utara. Saat ini yang sedang berkembang mengenai Pelabuhan Bitung adalah peningkatan statusnya
menjadi pelabuhan hub internasional. Setelah ditingkatkan, lalu lintas port akan berubah

38
Machine Translated by Google

peningkatan terutama dari kegiatan ekspor dan impor yang dilakukan oleh kapal
internasional. Sebagai hub internasional, Pelabuhan Bitung dapat melakukan kegiatan
transshipment (termasuk pembebanan dan pembongkaran peti kemas dan kargo dari
negara lain) dan pendistribusian komoditas ekspor dari Pelabuhan Bitung langsung ke
Negara-negara Timur Laut seperti Filipina, Tiongkok, Hongkong, Jepang, Selatan. Korea,
atau bahkan Amerika Serikat tanpa melewati Singapura atau Malaysia (pelabuhan hub
terdekat saat ini). Pola pelayaran ini mungkin lebih efisien dibandingkan pola yang ada
saat ini, terutama untuk perdagangan wilayah timur laut. Oleh karena itu, peningkatan ini
akan berdampak positif bagi Indonesia. Fasilitas dan peralatan BCT dikerahkan pada Lampiran 1.

39
Machine Translated by Google
Machine Translated by Google

4. PENGOLAHAN DATA
4.1. Hasil Peramalan Efek Pengganda
4.1.1.Pembangunan Ekonomi
Indonesia dinyatakan sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Selatan dimana industri
sebagai kontributor terbesar mempunyai kontribusi sebesar 46,5 persen dari total Produk Domestik Bruto
(PDB), disusul oleh jasa-jasa yang menyumbang 38 persen. Peringkat berikutnya penyumbang PDB adalah
pertambangan dan penggalian sebesar 12 persen, kemudian pertanian. memegang sisa 15 persen (Trading
Economic, 2015). Dari tahun 2000 hingga 2015, tingkat pertumbuhan tahunan PDB Indonesia rata-rata
sebesar 5,39 persen, margin terendah tercatat sebesar 1,56 persen pada kuartal keempat tahun 2001 dan
margin tertinggi dicapai pada kuartal keempat tahun 2004 sekitar 7,16 persen (Trading Economics, 2015).
Tingkat pertumbuhan tahunan PDB Indonesia
ditunjukkan pada Gambar 4.

Tingkat Pertumbuhan Tahunan PDB Indonesia (%)


7
6.4
6.5
6.03 5.81 5.72
6
6.17 6.11
5.5
5.62 4.92 5.01
5
5.14 5.03
4.5
4.71
4

3.5

2.5

1.5
1
0,5

0
Juli 2012 Januari 2013 Juli 2013 Januari 2014 Juni 2014 Januari 2015

Sumber : Ekonomi Perdagangan (2015)

Gambar 4 Tingkat Pertumbuhan Tahunan Indonesia

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi perekonomian suatu negara pada suatu periode
tertentu adalah Produk Domestik Bruto (PDB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga
konstan (Indonesia, 2015). Menurut Indonesia, (2015), PDB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan
oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau total nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan
oleh seluruh unit perekonomian.
PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan
menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahunnya, sedangkan PDB atas dasar harga konstan
menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku pada tahun dasar.

Sedangkan Produk Domestik Regional Bruto merupakan indikator penting untuk menggambarkan kondisi
perekonomian suatu daerah dalam jangka waktu tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas
dasar harga konstan (Departemen Statistik, 2004). Pada dasarnya PDRB atas dasar harga berlaku
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada tahun
berjalan, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku pada tahun tertentu sebagai

41
Machine Translated by Google

tahun dasar. Selanjutnya PDRB atas dasar harga berlaku digunakan untuk mengetahui kemampuan
sumber daya perekonomian, pergeseran, dan struktur perekonomian suatu daerah. Sedangkan
PDB tetap digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun atau
pertumbuhan ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh harga (Departemen Statistik, 2004).

Karena pelabuhan terminal peti kemas terletak di berbagai provinsi di Indonesia, maka
pangsa PDRB atas dasar harga konstan untuk setiap provinsi dianalisis untuk
mendapatkan perkembangan ekonomi yang sesuai dengan pertumbuhan volume arus
peti kemas di setiap pelabuhan. Porsi PDRB dan Laju Pertumbuhan Tahunan Majemuk
(CAGR) tiap provinsi disajikan pada Tabel 10. Laju Pertumbuhan Tahunan Majemuk
(CAGR) adalah sebagai berikut dengan mengambil contoh DKI Jakarta:
1
ÿ
1
=()
1
477, 85.5 ÿ4
1 = 6,47%
= ( 371.469,50)

Tabel 10 CAGR PDRB Harga Pasar Konstan tahun 2000

PDRB dalam Ribuan


TIDAK. Propinsi Miliar Rupiah CAGR

2.009 2013

1 Sumatera Utara 111.56 142.54 6,32%

2 DKI Jakarta 371.47 477.29 6,47%

3Lampung 36.26 46.12 6,20%

4 Sumatera Selatan 60.45 76.41 6,03%

5 Kalimantan Barat 28.76 36.08 5,83%

6 Sumatera Barat 36.68 46.64 6,19%

7 Jambi 16.27 21.98 7,80%

8 Jawa Timur 320.86 419.43 6,93%

9 Kalimantan Selatan 29.05 36.20 5,65%

10 Jawa Tengah 176.67 223.10 6,01%

11 Sulawesi Selatan 47.33 64.28 7,96%

12 Sulawesi Utara 17.15 22.87 7,46%

Total Indonesia 2.094,36 2.661,07 Sumber: Perhitungan sendiri 6,17%


berdasarkan Indonesia (2015)

Telah disampaikan sebelumnya bahwa akan ada 18 terminal peti kemas yang akan
dianalisis dan berlokasi di 12 provinsi berbeda di seluruh Indonesia seperti disajikan pada Tabel 10
di atas. Untuk penilaian CAGR, periode 2009 hingga 2013 digunakan karena data
PDRB hanya tersedia hingga tahun 2013 dan data arus peti kemas disediakan dari
tahun 2009. Laju pertumbuhan tertinggi dicapai oleh provinsi Sulawesi Selatan,
sedangkan terendah terjadi di Jawa Tengah. Pulau Jawa merupakan penyumbang
PDB Indonesia terbesar karena banyaknya manufaktur di sana, namun sebaliknya CAGR Jawa Tengah
karena potensi pelayanan pariwisatanya sebagai kawasan cagar budaya.

42
Machine Translated by Google

Karena data PDRB tahun 2014 tidak tersedia, maka perkiraan CAGR PDB Indonesia digunakan
untuk menghasilkan CAGR PDRB setiap provinsi dengan cara mengekstrapolasinya.
Perkiraan CAGR berdasarkan perkiraan jangka panjang OECD disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Perkiraan Tingkat Pertumbuhan PDB

Tingkat Pertumbuhan No. Tahun

1 2014 5,70%

2 2015 6,26%

3 2016 5,90%

4 2017 5,80%

5 2018 5,78%

6 2019 5,75%

7 2020 5,72%

8 2021 5,66%

9 2022 5,59%

10 2023 5,51%

11 2024 5,42%

12 2025 5,33%

13 2026 5,22%

14 2027 5,11%

15 2028 5,00%

16 2029 4,89%

17 2030 4,78%
Sumber : Knoema (2013)

CAGR PDB pada tahun 2013 adalah sebesar 5,9%, sehingga kita dapat menghitung persentase
perubahan CAGR setiap tahunnya. Hasil persentase perubahan CAGR digunakan untuk
mengekstrapolasi CAGR PDRB tiap provinsi setiap tahunnya dengan menganalisis CAGR PDRB
tahun sebelumnya. Dengan demikian, perkiraan CAGR PDB dapat diperoleh dengan
memperhitungkan perkiraan PDB CAGR. CAGR PDRB DKI Jakarta sebagai contoh dapat
dihitung sebagai berikut:

013 = 5,9% )
( 014 = 5,7% )
= ( (5,7% 5,9%)
ÿ = 3,45%
5,9%
01 ÿ ) = 449.805,4
( 013 ( ÿ ) = 477, 85.
1
477, 85. ÿ1
013 1 = 6,11%
01 = ( 449.805,4 )
Dengan mempertimbangkan PDB CAGR 2013 dan PDB CAGR 2014 (perkiraan):

43
Machine Translated by Google

014 013 = 6,11% + (6,11% ( 3,45%)) = 5,90%


014 = 5,7% )
( 015 = 6,6% ( )

ÿ = (6,6% 5,7%) = 9,8%


5,7%

Dengan mempertimbangkan PDB CAGR 2014 dan PDB CAGR 2015 (perkiraan):

015 014 = 5,90% + (5,90% (9,8 %)) = 6,48%


(Tidak diberikan pada Tabel 12)
Dengan demikian, PDRB CAGR dapat dihitung untuk tiap provinsi dan tiap tahun sehingga
Rata-rata CAGR pada periode tertentu dapat diperoleh sebagaimana disajikan pada Tabel 12 di bawah ini:

Tabel 12 CAGR PDRB menurut Provinsi pada Periode Sasaran

Perkiraan CAGR
TIDAK. Propinsi
2013 - 2020 2020 - 2025 2025-2030

1 Sumatera Utara 5,95% 5,60% 5,09%

2 DKI Jakarta 6,06% 5,69% 5,17%

3Lampung 5,91% 5,56% 5,05%

4 Sumatera Selatan 5,93% 5,58% 5,07%

5 Kalimantan Barat 6,03% 5,67% 5,15%

6 Sumatera Barat 6,12% 5,76% 5,23%

7 Jambi 7,81% 7,35% 6,67%

8 Jawa Timur 6,49% 6,10% 5,54%

9 Kalimantan Selatan 5,14% 4,83% 4,39%

10 Jawa Tengah 5,76% 5,41% 4,92%

11 Sulawesi Selatan 7,58% 7,13% 6,48%

12 Sulawesi Utara 7,38% 6,94% 6,31%

Jumlah Indonesia 5,85% 5,50% 5,00%


Sumber: Perhitungan sendiri

4.1.2.Throughput Kontainer
Sesuai dengan periode data PDRB, data throughput peti kemas juga mengambil periode 2009
hingga 2014 untuk kategori perdagangan internasional baik untuk peti kemas ekspor maupun
peti kemas impor dan perdagangan dalam negeri untuk petikemas bongkar dan muat peti kemas.
Selama kurun waktu 4 tahun, throughput peti kemas mengalami peningkatan dengan berbagai
tingkat pertumbuhan. Laju pertumbuhan peti kemas terkecil dialami oleh Pelabuhan Jambi yang
mempunyai laju pertumbuhan kurang dari 1%, sedangkan Pelabuhan Makassar mencapai laju
pertumbuhan lebih dari 27% sebagai laju pertumbuhan tertinggi namun perlu dinotasikan bahwa besarnya

44
Machine Translated by Google

throughput peti kemas pelabuhan ini memiliki nilai terendah di antara 18 pelabuhan peti kemas di
Indonesia.
Tingkat pertumbuhan terbesar kedua sebesar lebih dari 21% dialami oleh Tanjung Priok sebagai
pelabuhan terbesar dan gerbang utama perdagangan peti kemas di Indonesia, meningkat dari
1,2 juta TEUs pada tahun 2009 menjadi 2,6 juta TEUs pada tahun 2013. Berdasarkan nilai
throughput peti kemas, Tanjung Priok berada di peringkat kedua setelah Jakarta International
Container Terminal (JICT) yang selalu berada di peringkat pertama selama tahun 2009 hingga
2013. Selebihnya JICT berlokasi di dekat Pelabuhan Tanjung Priok sebagai pintu gerbang utama
pelabuhan dan berada di bawah pengelolaan Pelindo II. bekerja sama dengan Operator Terminal
Hutchison.
Terminal Peti Kemas Bitung (Bitung Container Terminal) mulai beroperasi pada tahun 2010,
disini data throughput yang tersedia hanya dari tahun 2011 hingga 2013. Dengan demikian,
throughput peti kemas pada tahun 2011 adalah 104,866 TEUs dan CAGR dihitung dari data
selama tahun 2011 dan 2013. Pertumbuhan throughput tarif untuk setiap port dapat diterapkan pada Tabel 13.

Tabel 13 Laju Pertumbuhan Kontainer


Throughput (TEU/tahun)
TIDAK. Nama Pelabuhan Daerah Propinsi CAGR
2.009 2013
1 Pelabuhan
Belawan Belawan
Internasional 2 Pelindo I Sumatera Utara 138.453 45.982 -24,09%
Terminal kontainer Pelindo I Sumatera Utara 580.210 900.395 11,61%
Subtotal Pelindo I 718.663 946.377 7,12%

3 Tanjungpriok Pelindo II DKI Jakarta 1.219.789 2.617.147 21,03%

4 Pelabuhan Panjang Pelindo II Lampung 104.175 124.165 4,49%

5 Pelabuhan Palembang Pelindo II Sumatera Selatan 84.403 122.155 9,68%


6 Pelabuhan Pontianak Pelindo II Kalimantan Barat 133.419 201.527 10,86%

7 Pelabuhan Teluk Bayur Pelindo II Sumbar 47.633 68.701 9,59%


8 Pelabuhan Jambi Pelindo II Jambi 24.033 24.678 0,66%
9 Jakarta Internasional
Terminal kontainer Pelindo II DKI Jakarta 1.445.912 2.424.230
(JICT) - IPC - Hutchison 13,79%

10 KOJA (IPC-Hutchison) Pelindo II DKI Jakarta 620.172 851.885 8,26%


Subtotal Pelindo II 3.679.536 6.434.488 15,00%

11 Pelabuhan Tanjung Perak Pelindo III Jawa Timur 326.753 665.145 19,45%
Terminal Petikemas
12 Pelabuhan Banjarmasin Pelindo III Kalimantan Selatan 244.617 428.478 15,04%
Pelabuhan Semarang (TPKS) Pelindo III Jawa Tengah 13 356.461 499.427 8,80%
14 Terminal Petikemas
Pelindo III Jawa Timur 1.117.554 1.341.835
Pelabuhan Surabaya (TPS) 4,68%
15Berlian Jasa Terminal
Pelindo III Jawa Timur 825.713 986.953
Indonesia (BJTI) 4,56%
Subtotal Pelindo III 2.871.098 3.921.838 8,11%
16 Pelabuhan Makassar Pelindo IV Sulawesi Selatan 2.950 7.742 27,28%
17 Unit Terminal Petikemas
Pelindo IV Sulawesi Selatan 372.532 550.916
Pelabuhan Makassar (UTPM) 10,28%

18 Pelabuhan Bitung (Kontainer Sulawesi Utara,


Pelindo IV 104.866 144.959
Terminal Bitung) Data dimulai pada tahun 2011 17,57%
Subtotal Pelindo IV 480.348 703.617 7.749.645 10,01%
Jumlah Pelindo I, II, III, IV 12.006.320 11,57%
Sumber : Perhitungan sendiri berdasarkan Laporan Internal Pelindo I, II, III dan IV

45
Machine Translated by Google

4.1.3.Elastisitas Kontainer dan Hubungan antara Throughput Kontainer dan


PDRB
Koherensi antara laju pertumbuhan keluaran peti kemas dan laju pertumbuhan PDB yang disebut elastisitas
atau pengganda peti kemas adalah rasio CAGR atau keluaran peti kemas (total perdagangan internasional
terdiri dari peti kemas kosong yang diekspor, diimpor dan terkait serta perdagangan dalam negeri meliputi
bongkar muat) selama CAGR atau PDB. Karena setiap pelabuhan terletak di provinsi yang berbeda,
Pertumbuhan Produk Domestik Regional (PDRB) dimanfaatkan untuk mengukur efek pengganda (multiplier
effect) karena fungsinya sebagai salah satu indikator untuk menyatakan pertumbuhan ekonomi dalam suatu
wilayah yaitu provinsi. Dengan demikian, throughput kontainer dapat diperkirakan dengan menghubungkan
langsung ke PDRB. PW de Langen, van Meijeren, & Tavasszy (2012) menggabungkan model perkiraan
dengan mempertimbangkan penilaian ahli dan memungkinkan untuk mengatasi gangguan tren pertumbuhan
masa lalu, pengganda peti kemas digunakan untuk memperkirakan keluaran peti kemas di Hamburg-Le
Havre berdasarkan dua dekade terakhir. Nilai elastisitas tersebut dianggap lebih rendah dibandingkan
dengan elastisitas masa lalu yang ditunjukkan dalam nilai yang sangat tinggi karena tiga alasan:

1. Volume peti kemas didorong oleh pertumbuhan barang setengah jadi yang mengalami peningkatan tinggi
karena pengadaan global di seluruh dunia. Sedangkan pada tahun mendatang arus antara dipengaruhi
oleh produksi industri yang dinilai memadai.

2. Tren sementara impor barang konsumsi yang pada dasarnya diimpor


negara-negara berupah rendah.
3. Kontainerisasi yang terus berlanjut pada tingkat yang kurang selama dekade terakhir.
(PW de Langen dkk., 2012)

Mengambil contoh Pelabuhan Tanjung Priok yang terletak di provinsi DKI Jakarta, elastisitas peti kemas
dapat dihitung sebagai berikut:

009.013 = 6,47%
ÿ 009 013
ÿ = 1,03%
1,03%
009 013 = = 3.5
6,47%

Pengganda yang dihasilkan dikerahkan pada Tabel 14.

Tabel 14 dan divergen dari -3,81 ke 3,43. Hampir seluruh nilainya lebih besar dari satu kecuali 5 pelabuhan
yaitu Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Panjang, Pelabuhan Jambi, Pelabuhan Terminal Petikemas Surabaya
(TPS) dan Pelabuhan Berlian Jasa Terminal Indonesia (BJTI), dengan kata lain pertumbuhan throughput
peti kemas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan PDB. TPS dan BJTI terletak di provinsi yang
sama, Jawa Timur, yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi dan dianggap sebagai salah satu penyumbang
PDB terbesar Indonesia.
Pertumbuhan volume peti kemas baik di BJTI maupun TPS lebih kecil dibandingkan pertumbuhan PDRB
Surabaya karena adanya terminal peti kemas baru di bawah Pelabuhan Tanjung Perak yang dikelola oleh
Pelindo III yaitu Nilam Multiguna yang menjadikan pangsa pasar peti kemas antar terminal peti kemas di
Surabaya lebih sedikit dibandingkan sebelumnya. .

Sementara Pelabuhan Tanjung Perak dengan terminal peti kemas barunya yaitu Nilam Multi Purpose
memiliki elastisitas peti kemas tertinggi, pertumbuhan volume peti kemas jauh lebih dari 3 kali lipat
dibandingkan tingkat pertumbuhan PDRB Jawa Timur. Di sini, pangsa pasar perdagangan peti kemas di
Jawa Timur dianggap terbagi menjadi 3 terminal peti kemas utama.

46
Machine Translated by Google

Tabel 14 Elastisitas Kontainer untuk 18 Pelabuhan


CAGR CAGR Wadah Wadah
TIDAK. Nama Pelabuhan Daerah Propinsi PDRB Hasil (2009 - Nilai Elastisitas Nilai Elastisitas
(2009 - 2013) 2013) (2009 - 2013) (2013 - 2030)

1 Pelabuhan Belawan Pelindo I Sumatera Utara 6,32% -24,09% (3.81) 1.09


2 Belawan Internasional Pelindo I Sumatera Utara 6,32% 11,61% 1.84 1.84
Terminal kontainer
(BICT)
3 Tanjungpriok Pelindo II DKI Jakarta 6,47% 21,03% 3,25 1.81
4 Pelabuhan Panjang Pelindo II Lampung 6,20% 4,49% 0,72 1.09
5 Pelabuhan Palembang Pelindo II Sumatera Selatan 6,03% 9,68% 1,61 1.61
6 Pelabuhan Pontianak Pelindo II Kalimantan Barat 5,83% 10,86% 1,86 1.86
7 Pelabuhan Teluk Bayur Pelindo II Sumbar 6,19% 9,59% 1,55 1.55
8 Pelabuhan Jambi Pelindo II Jambi 7,80% 0,66% 0,09 1.09
9 Jakarta Internasional Pelindo II DKI Jakarta 6,47% 13,79% 2,13 2.13
Terminal kontainer
(JICT)
10 KOJA (IPC-Hutchison) Pelindo II DKI Jakarta 6,47% 8,26% 1,28 1.09
11 Pelabuhan Tanjung Perak Pelindo III Jawa Timur 6,49% 19,45% 3,00 1.81
12 Pelabuhan Banjarmasin Pelindo III Kalimantan Selatan 5,65% 15,04% 2,66 1.81
13 Terminal Petikemas Pelindo III Jawa Tengah 6,01% 8,80% 1,46 1.46
Pelabuhan Semarang (TPKS)
14 Terminal Petikemas Pelindo III Jawa Timur 6,49% 4,68% 0,72 1.09
Pelabuhan Surabaya (TPS)
15Berlian Jasa Terminal Pelindo III Jawa Timur 6,49% 4,56% 0,70 1.09
Indonesia (BJTI)
16 Pelabuhan Makassar Pelindo IV Sulawesi Selatan 7,96% 27,28% 3.43 1.81
17 Satuan Terminal Pelindo IV Sulawesi Selatan 7,96% 10,28% 1.29 1.09
Petikemas Makassar
Pelabuhan (UTPM)

18 Pelabuhan Bitung (Kontainer Pelindo IV Sulawesi Utara 7,46% 17,57% 2.35 1.81
Terminal Bitung)
Elastisitas Kontainer Rata-rata 1.45
Sumber: Perhitungan sendiri

Tabel 15 Throughput dan PDRB tahun 2009 dan 2013


2.009 2.013
PDRB PDRB
TIDAK. Nama Pelabuhan Daerah Propinsi Hasil dalam Hasil dalam
(TEU/tahun) Ribuan (TEU/tahun) Ribuan
Miliar Rupiah Miliar Rupiah
BelawanBelawan
1 Pelabuhan Internasional Pelindo I Sumatera Utara 138.453 111.56 45.982 142.54
Terminal Kontainer 2 Pelindo I Sumatera Utara 580.210 - 900.395 -

3 Tanjungpriok Pelindo II DKI Jakarta 1.219.789 371.47 2.617.147 477.29


4 Pelabuhan Panjang Pelindo II Lampung 104.175 36.26 124.165 46.12
5 Pelabuhan Palembang Pelindo II Sumatera Selatan 84.403 60.45 122.155 76.41
6 Pelabuhan Pontianak Pelindo II Kalimantan Barat 133.419 28.76 201.527 36.08
7 Pelabuhan Teluk Bayur Pelindo II Sumbar 47.633 36.68 68.701 46.64
8 Pelabuhan Jambi Pelindo II Jambi 24.033 16.27 24.678 21.98
9 Jakarta Internasional
Terminal kontainer Pelindo II DKI Jakarta 1.445.912 - 2.424.230 -

(JICT) - IPC - Hutchison


620.172 - 851.885
10 KOJA (IPC-Hutchison) Pelindo II DKI Jakarta
11 Pelabuhan Tanjung Perak Pelindo III Jawa Timur 326.753 320,86 665.145 419.43
Terminal Banjarmasin
12 Pelabuhan Petikemas Pelindo III Kalimantan Selatan 13 244.617 29,05 428.478 36.20
Pelabuhan Semarang (TPKS) Pelindo III Jawa Tengah 356.461 176,67 499.427 223.10
14 Terminal Petikemas - -
Pelindo III Jawa Timur 1.117.554 1.341.835
Pelabuhan Surabaya (TPS)
15Berlian Jasa Terminal - -
Pelindo III Jawa Timur 825.713 986.953
Indonesia (BJTI)
16 Pelabuhan Makassar Pelindo IV Sulawesi Selatan 2.950 47.33 7.742 64.28
17 Unit Terminal Petikemas
Pelindo IV Sulawesi Selatan 372.532 - 550.916 -
Pelabuhan Makassar (UTPM)
18 Pelabuhan Bitung (Kontainer Sulawesi Utara,
Pelindo IV 104.866 17.15 144.959 22.87
Terminal Bitung) Data dimulai pada tahun 2011

Total 7.749.645 1.252,51 12.006.320 1.612,93


Sumber : Kolaborasi sendiri berdasarkan berbagai sumber

47
Machine Translated by Google

Elastisitas petikemas yang diperoleh dari rata-rata elastisitas masing-masing pelabuhan adalah 1,45
sedangkan elastisitas yang diperoleh seluruh pelabuhan jika digabungkan adalah 1,77, sehingga dianggap
menggunakan elastisitas pertama. Memanfaatkan elastisitas terakhir menghasilkan margin lebih rendah
yang lebih tinggi dari elastisitas awal yaitu masing-masing 1,33, bukan 1,09. Oleh karena itu, menggunakan
elastisitas terakhir dengan margin lebih rendah 1,33 akan menghilangkan lebih banyak nilai elastisitas setiap
pelabuhan yang digantikan oleh margin lebih rendah ini. Sebaliknya elastisitas pertama dengan margin lebih
rendah 1,09 akan menampung nilai elastisitas lebih banyak sehingga nilai yang digantikan dengan margin
lebih rendah tidak terlalu banyak.

Dengan menggunakan metode serupa untuk menghitung elastisitas peti kemas untuk 43 pelabuhan di
seluruh Indonesia yang memiliki lalu lintas peti kemas (baik terminal peti kemas konvensional maupun
terminal peti kemas khusus) yang terkuantifikasi. Dengan demikian, elastisitas peti kemas yang rendah
dialami oleh 15 pelabuhan dan nilai terkecil terhitung -9,3 terjadi di Pelabuhan Balikpapan yang dikelola
Pelindo IV, sedangkan elastisitas petikemas tertinggi sebesar 18 dicapai oleh Pelabuhan Lembar yang
dikelola Pelindo III. Rata-rata elastisitas peti kemas di sekitar 43 pelabuhan di Indonesia adalah 1,85. Hal ini
menunjukkan bahwa elastisitas peti kemas di pelabuhan di Indonesia cenderung bervariasi dan tidak ada
tren kenaikan atau penurunan yang jelas yang dapat dilacak. Elastisitas eksploitasi pelabuhan peti kemas di
Indonesia dapat dilihat pada Tabel 16.

Mengingat nilai pengganda yang ditunjukkan untuk seluruh pelabuhan di Indonesia jauh lebih tinggi (hanya
17 pelabuhan dari 43 pelabuhan yang menunjukkan nilai kurang dari 1) yang berarti bahwa pertumbuhan
volume peti kemas jauh lebih tinggi daripada laju pertumbuhan PDRB, maka dapat disimpulkan bahwa tidak
ada alasan untuk berasumsi bahwa elastisitas terminal peti kemas khusus (18 pelabuhan yang akan
dianalisis) lebih rendah dibandingkan masa lalu.
Rendahnya dan negatifnya nilai beberapa pelabuhan disebabkan oleh faktor lain di luar sektor transportasi
seperti pendidikan, politik, lokasi pelabuhan alami dan potensi pengembangan provinsi terkait.

Rata-rata elastisitas peti kemas di sekitar pelabuhan 43 menghasilkan nilai elastisitas yang lebih tinggi yaitu.
1,85 dibandingkan elastisitas yang dinilai dari 18 pelabuhan secara keseluruhan, yaitu. 1.77. Dengan
demikian, menunjukkan bahwa nilai elastisitasnya semakin bervariasi seiring dengan semakin banyaknya
pelabuhan yang terlibat.

Selain itu, karena penelitian ini tidak mempelajari secara rinci tiap provinsi, tidak ada alasan ilmiah mengenai
nilai CAGR yang tidak realistis baik terhadap PDRB maupun throughput. Banyak dampak yang mengganggu
di balik angka tersebut yang akan mempengaruhi metode peramalan. Untuk mengatasi masalah ini, diambil
batas antara batas atas dan batas bawah. Oleh karena itu, untuk meramalkan nilai elastisitas peti kemas
hingga tahun 2030, margin 25% sebagai volume terendah dan tertinggi diperhitungkan berdasarkan penelitian
sebelumnya dan penyesuaian pengalaman, terlihat bahwa nilainya berada di antara 25% minus (1,09) dan
25% plus (1,81) dari nilai rata-rata periode 2009 sampai dengan tahun 2013. Nilai elastisitas periode tahun
2013 sampai dengan tahun 2030 dapat disajikan pada Tabel 14.

48
Machine Translated by Google

Tabel 16 Elastisitas Kontainer Pelabuhan di Indonesia


Wadah
TIDAK. Nama Pelabuhan Daerah
Elastisitas

1 Pelabuhan Belawan Pelindo I (3.81)


2 Terminal Kontainer Belawan Pelindo I 1.84

3 Tanjungpriok Pelindo II 3.25

4 Pelabuhan Panjang Pelindo II 0,72

5 Pelabuhan Palembang Pelindo II 1.61


6 Pelabuhan Pontianak Pelindo II 1.86

7 Pelabuhan Teluk Bayur Pelindo II 1.55


8 Pelabuhan Jambi Pelindo II 0,09

9 Pelabuhan Tanjung Perak Pelindo III 3.00


10 Pelabuhan Benoa Pelindo III (0,35)
11 Pelabuhan Banjarmasin Pelindo III 2.66
12 Pelabuhan Kota Baru Pelindo III 0,19
13 Pelabuhan Kumai Pelindo III 2.95

14 Pelabuhan Sampit Pelindo III 1.03

15 Pelabuhan Tanjung Emas Pelindo III (8.87)


16 Pelabuhan Kupang Pelindo III 2.62
17 Pelabuhan Lembar Pelindo III 18.08
18 Pelabuhan Maumere Pelindo III (1,99)
19 Terminal Petikemas Pelabuhan Semarang Pelindo III 1.46

20 Terminal Petikemas Pelabuhan Surabaya Pelindo III 0,68


21 Berlian Jasa Terminal Indonesia Pelindo III 0,66
22 Pelabuhan Makassar Pelindo IV 3.43

23 Pelabuhan Balikpapan Pelindo IV (9.26)


24 Pelabuhan Samarinda Pelindo IV 2.72

25 Pelabuhan Bitung Pelindo IV (2.35)


26 Pelabuhan Ambon Pelindo IV 1.86

27 Pelabuhan Sorong Pelindo IV 0,42

29 Pelabuhan Jayapura Pelindo IV (0,68)


30 Pelabuhan Tarakan Pelindo IV 0,59
31 Pelabuhan Pantoloan Pelindo IV 1.54
32 Pelabuhan Ternate Pelindo IV 2.54
33 Pelabuhan Kendari Pelindo IV 0,56
34 Pelabuhan Biak Pelindo IV 8.36
35 Pelabuhan Manokwari Pelindo IV 0,85
36 Pelabuhan Merauke Pelindo IV 11.76
37 Pelabuhan Gorontalo Pelindo IV (0,12)
38 Pelabuhan Fakfak Pelindo IV 1.10
39 Pelabuhan UTPM Pelindo IV 1.29
40 Pelabuhan Toli Toli Pelindo IV 1.49

41 Pelabuhan Tanjung Redeb Pelindo IV 6.76


42 Pelabuhan Nunukan Pelindo IV 13.25

43 Pelabuhan Bitung (Terminal Peti Kemas Bitung) Pelindo IV 2.35


mulai tahun 2010

Rata-rata 1.85
Sumber: Perhitungan sendiri

49
Machine Translated by Google

4.1.4.Perkiraan Throughput Kontainer


Proyeksi throughput peti kemas dapat dievaluasi berdasarkan pertumbuhan GRPD masa depan dan nilai
elastisitas peti kemas. Proyeksi ini akan dilaksanakan untuk tahun target 2020, 2025 dan 2030. Dengan
mengambil contoh Pelabuhan Tanjung Priok, perkiraan throughputnya adalah sebagai berikut:

ÿ ÿ 013 = .617.147 TEUs 013.030


= 1,81
013 0 0 = 6,06%

= 0 0 013 = 7

= (1 + )
7
ÿ ÿ 0 0 = .616.147 (1 + (1,81 6,06%)) = 5.430, 7 .1 ÿ 5.430, 7
0 0 0 5 = 5,69%

=05 00=5

5
ÿ ÿ 0 5 = 5.430, 7 (1 + (1,81 5,69%)) = 8.878.848,38 ÿ 8.878.848

0 5 030 = 5,17%
5
ÿ ÿ 030 = 8.878.848 (1 + (1,81 5,17%)) = 13.907.735,36 ÿ 13.907.735

Cara penghitungannya sama untuk pelabuhan lain dan Tabel 17 menunjukkan penghitungan lengkap arus
peti kemas untuk tahun target 2020, 2025, dan 2030.
Tabel 17 Perkiraan Throughput Kontainer
Throughput (TEU) 2.009 Perkiraan Throughput (TEU) 2.025 2.030
TIDAK. Nama Pelabuhan Daerah Propinsi
2.013 2.020
1 Pelabuhan Belawan Pelindo I Sumatera Utara 138.453 45.982 71.374 95.943 125.626
2 Belawan Internasional
Terminal kontainer Pelindo I Sumatera Utara 580.210 900.395 1.862.501 3.039.016 4.751.263
(BICT)
3 Pelabuhan Tanjung Priok Pelindo II DKI Jakarta 1.219.789 2.617.147 5.430.272 8.878.848,36 13.907.734,86

4 Pelabuhan Panjang Pelindo II Lampung 104.175 124.165 192.174 257.826 336.993

5 Pelabuhan Palembang Pelindo II Sumatera Selatan 84.403 122.155 230.895 354.489 524.145

6 Pelabuhan Pontianak Pelindo II Kalimantan Barat 133.419 201.527 424.310 700.670 1.107.517

7 Pelabuhan Teluk Bayur Pelindo II Sumbar 47.633 68.701 129.605 198.721 293.474

8 Pelabuhan Jambi Pelindo II Jambi 24.033 24.678 43.703 64.211 91.196


Jakarta Internasional 9
Terminal kontainer Pelindo II DKI Jakarta 1.445.912 2.424.230 5.672.867 10.061.062 16.979.576
(JICT)
10 KOJA (IPC-Hutchison) Pelindo II DKI Jakarta 620.172 851.885 1.332.031 1.799.442 2.366.812

11 Pelabuhan Tanjung Perak Pelindo III Jawa Timur 326.753 665.145 1.449.803 2.450.777 3.957.866

12 Pelabuhan Banjarmasin Pelindo III Kalimantan Selatan 244.617 428.478 799.518 1.216.845 1.784.927
13 Terminal Petikemas
Pelindo III Jawa Tengah 356.461 499.427 880.329 1.289.332 1.825.903
Pelabuhan Semarang (TPKS)
14 Terminal Petikemas
Pelindo III Jawa Timur 1.117.554 1.341.835 2.163.810 2.984.471 4.000.738
Pelabuhan Surabaya (TPS)
15Berlian Jasa Terminal
Pelindo III Jawa Timur 825.713 986.953 1.591.536 2.195.153 2.942.643
Indonesia (BJTI)
16 Pelabuhan Makassar Pelindo IV Sulawesi Selatan 2.950 7.742 19.082 35.052 61.094
17 Unit Terminal Petikemas
Pelindo IV Sulawesi Selatan 372.532 550.916 959.739 1.394.531 1.960.604
Pelabuhan Makassar (UTPM)
18 Pelabuhan Bitung (Kontainer
Pelindo IV Sulawesi Utara 104.866 144.959 349.570 632.713 1.087.922
Terminal Bitung)
Total 12.006.320 23.603.119 37.649.104 58.106.035
CAGR keluaran 10,14% 9,79% 9,07%
Sumber: Perhitungan sendiri

50
Machine Translated by Google

Total arus peti kemas meningkat dari 13 juta TEUs pada tahun 2013 menjadi 23 juta TEUs
pada tahun 2020 dan tingkat pertumbuhannya mencapai 10,14%. Tingkat pertumbuhan yang
sesuai untuk target tahun 2025 dan 2030 masing-masing adalah 9,79% dan 9,07%. Dengan
demikian, dianalisis bahwa laju pertumbuhan throughput peti kemas mengalami penurunan
namun masih berhubungan dengan rata-rata laju pertumbuhan masa lalu periode 2009 – 2013
yang bernilai 11,58%.

4.2. Hasil DEA untuk Kondisi Awal


Telah dijelaskan di atas bahwa “Teknik DEA adalah teknik pemrograman matematika non-
parametrik untuk menurunkan spesifikasi model frontier” (Talley, 2006, 512). Hal ini
memungkinkan penggunaan banyak input dan banyak output sesuai dengan karakteristik
produksi pelabuhan. Oleh karena itu, terdapat beberapa indikator yang mengakomodasi
evaluasi kinerja pelabuhan secara keseluruhan. Penelitian fokus pada input dan output dari
aspek teknis dan jumlah DMU tidak boleh kurang dari dua kali jumlah input dan output karena
homogenitas hasil (Mokhtar, 2013). Oleh karena itu, Mokhtar (2013) mengembangkan DEA
dengan menggunakan input yang relatif baru yaitu luas terminal, draft, panjang dermaga, indeks
dermaga crane, indeks penumpukan halaman, kendaraan dan jumlah jalur gerbang serta
memanfaatkan throughput sebagai output.

Tabel 18 Definisi Variabel Input dan Output


Variabel Input Deskripsi Area lapangan peti kemas Salah satu fasilitas Satuan

pelabuhan yang menampung peti kemas untuk bongkar muat dari atas kapal ke penerima barang 1.000 m2

Draf maksimum Draf maksimum di terminal yang diperuntukkan bagi tempat berlabuhnya Meter
kapal kontainer.
Panjang tempat berlabuh Total panjang dermaga di terminal yang diperuntukkan bagi tempat Meter
berlabuhnya kapal kontainer
Indeks derek dermaga Jumlah crane laut ke pantai (misalnya CC, QC, HMC, GLC, mobile TEUs
crane atau gantry jib crane) dikalikan indeks kemampuan pengangkatan.

)
ÿ( Indeks kemampuan pengangkatan (dalam TEU) diukur sebagai
berikut : Konvensional 20 kaki = 1, Kembar 20 kaki = 2, Tandem 40 kaki = 2
Dua tandem = 4, Tiga kali lipat 40 kaki = 6
Indeks penumpukan halaman Jumlah yard staking crane (misalnya RTG, RMGC, Reachstacker, side TEUs/
loader, top loader, atau forklift) dikalikan kapasitas penyimpanan di 1000 m2
darat dikalikan tinggi penumpukan
) penyimpanan di darat didefinisikan sebagai kapasitas tempat
(ÿ ÿ ÿ Kapasitas
penampungan peti kemas dibagi dengan luas tempat penampungan peti kemas

Truk dan kendaraan Nomor truk internal dan nomor kendaraan pendukung lainnya
Jalur gerbang Jumlah jalur gerbang pada gerbang terminal yang diperuntukkan bagi Nomor
wadah
Variabel Keluaran
Hasil Jumlah total peti kemas (dinyatakan dalam TEU) yang dimuat dan 1.000
dibongkar di suatu pelabuhan dalam periode satu tahun. Ini adalah TEUs
jumlah impor, ekspor, dan transhipment kontainer.
Sumber : Penjelasan sendiri berdasarkan berbagai sumber

Dengan mempertimbangkan faktor produksi pelabuhan yang terdiri dari tanah, tenaga kerja
dan modal, maka ditetapkan tujuh input dan satu output yang terdiri dari luas lapangan peti
kemas, sarat maksimum, panjang dermaga, indeks dermaga crane, indeks penumpukan
halaman, kendaraan, jumlah lajur pintu. dan throughput sebagai keluaran. Definisi setiap input dan output

51
Machine Translated by Google

didefinisikan dalam Tabel 18. Dengan memeriksa indeks, variasi penanganan dan pengetahuan diamati
untuk perbedaan kinerja teknologi misalnya indeks quay crane dan yard staking.

4.2.1. Data untuk Mengukur Efisiensi Terminal Kontainer


Data yang digunakan untuk input dan output dalam DEA masing-masing ditunjukkan pada Tabel 19,
sehingga data cross section dari Pelindo 1, 2, 3 dan 4 tahun 2014 akan dimanfaatkan untuk menghasilkan
hasil dalam model DEA. Rincian data disajikan pada Lampiran 3.

Karena setiap pelabuhan mempunyai jumlah lapangan penumpukan dan tempat berlabuh peti kemas yang
berbeda-beda, maka luas halaman peti kemas dan panjang tempat berlabuh yang disajikan pada Tabel 19
menunjukkan jumlah tempat berlabuh peti kemas di setiap pelabuhan dan jumlah tempat berlabuh kapal
peti kemas. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa indeks quay crane diukur dengan
mempertimbangkan jumlah crane laut ke pantai dan indeks kemampuan angkat.

Tabel 19 Data Input dan Output DEA


Halaman Truk dan
Maksimum Tempat tidur Dermaga Derek Penumpukan Halaman Gerbang Throughput
Kontainer (CY)
TIDAK. Nama Pelabuhan Draf (M) Panjang (M) (Indeks) Indeks jalur (dalam ribuan)
( 1000M2 ) Kendaraan

(CY) (MD) (BL) (QC) (YS) (V) (GL) (T)


1 Pelabuhan Belawan 80,29 7 675 5 1.918,09 0 2 45,98
2 Kontainer Internasional Belawan
214.71 11
Pelabuhan Terminal (BICT). 950 13 17.300,69 61 8 900,40

3 Pelabuhan Tanjung Priok 796,12 12 1030 88 20.288,72 0 4 2.463,91


4 Pelabuhan Panjang 75,00 16 401 7 5.113,17 13 2 107,55

5 Pelabuhan Palembang 57,36 9 266 7 8.773,82 14 2 137.69


6 Pelabuhan Pontianak 47,79 6 295 4 8.637,70 18 4 227.13

7 Pelabuhan Teluk Bayur 62,25 12 222 5 3.487,95 14 2 66,94


8 Pelabuhan Jambi 14,69 9 302 2 11.361,78 6 2 29.38
9 Kontainer Internasional Jakarta
547.40 14 2150 38 29.155,28 139 13 2.373,47
Terminal (JICT) - IPC - Hutchison
10KOJA (IPC-Hutchison) 218,00 13 650 14 9.480,95 48 6 872.51

11 Pelabuhan Tanjung Perak 34,88 8 320 9 3.573,39 17 2 601.92

12 Pelabuhan Banjarmasin 81,13 7 505 6 5.573,56 25 4 413.74

13 Terminal PetikemasSemarang
187.17 10 495 10 9.534,96 44 4 575.67
(TPKS) Pelabuhan

14 Terminal Petikemas Surabaya


397.00 10.5 1000 22 23.726,20 87 13 1.343,52
(TPS) Pelabuhan
15 Berlian Jasa Terminal Indonesia
43.30 9.6 1420 23 29.840,51 127 5 1.158,95
(BJTI)
16 Pelabuhan Makassar 60.04 13 1200 3 1.169,26 1 2 7.08
17 Unit Terminal Petikemas
114.45 12 1000 5 8.697,55 30 2 562.05
Pelabuhan Makassar (UTPM).
18 Terminal Kontainer Bitung (BCT) 33.00 11 365 3 17.166,90 11 2 200.15

Sumber : Modifikasi sendiri berdasarkan berbagai sumber

Indeks dermaga derek dan indeks tiang pancang halaman dapat dihitung sebagai berikut, dengan mengambil
Terminal Peti Kemas Internasional Belawan (BICT) sebagai contoh :
- Sea to shore crane untuk BICT terdiri dari sebelas container crane (CC) dan dua
derek seluler pelabuhan (HMC).
- Indeks kemampuan angkat CC adalah 1 karena dikategorikan konvensional 20 kaki
serupa untuk HMC.
- ÿ( )
- = (11 1) + ( 1) = 13
- Yard staking crane untuk BICT terdiri dari dua puluh lima (25) transtrainer mc, tujuh (7)
mencapai staker, tiga (3) side loader, enam (6) forklift. = 5 +
- 7 + 3 + 6 = 41
- Kapasitas container yard terdiri dari 8.600 TEUs untuk internasional dan 6.500 TEUs untuk domestik,
sehingga total kapasitas container yard adalah 15.100 TEUs.

52
Machine Translated by Google

- Ketinggian penumpukan di container yard bervariasi dari 4 tingkat hingga 6 tingkat. Untuk input
data diambil tinggi staking maksimum, dalam hal ini diasumsikan 6 tier karena jumlah container
yard untuk 4 tier lebih sedikit dibandingkan dengan 6 tier tersebut.
- Luas container yard dalam 1.000 m2 adalah 214,71.
- = ()
(1.000 2)
- = 15.100
= 70,33 ÿ 1.000 2
214,71 (1.000 2)
- = . ÿÿ

= 41 70,33 2 2
ÿ 1.000 6 = 17.300,69 ÿ 1.000

Sebagai output, throughput diambil karena menunjukkan produktivitas pelabuhan


mengkuantifikasi tonase atau jumlah kontainer yang ditangani oleh suatu pelabuhan dalam satu tahun
dan telah banyak digunakan untuk mengevaluasi kinerja pelabuhan (Talley, 2006). Masing-masing
masukan dan keluaran akan disingkat sebagai berikut luas halaman peti kemas (CY), sarat maksimum
(MD), panjang dermaga (BL), indeks derek dermaga (QC), indeks penumpukan halaman (YS), truk
dan kendaraan (V), gerbang jalur (GL) dan throughput (T).

Program Stata digunakan untuk memproses data port dan menghasilkan kinerja port. Model DEA yang
digunakan disini adalah model dasar yaitu Constant Return to Scale (CRS)
dengan orientasi input karena akan diamati investasi yang berkaitan dengan input tersebut. LP dalam
STATA menyelesaikan n kali yang dijalankan setiap waktu untuk setiap DMU oleh program, sehingga
mengeksploitasi model dua (2) tahap karena memberikan solusi optimal.

Tabel 20 menggambarkan statistik deskriptif data yang menyajikan simpangan maksimum, minimum,
rata-rata dan standar deviasi input dan output. CY maksimum dan minimum masing-masing adalah
796,1 (1.000 m2 ) dan 14.61 (1.000 m2 ). Rata-rata dan simpangan baku CY masing-masing adalah
170,3 (1.000 m2 ) dan 209.6 (1.000 m2 ). Indeks dermaga crane maksimum dan minimum masing-
masing adalah 88 dan 2 dengan rata-rata dan standar deviasi 14,67 dan 20,47. Sedangkan untuk
output, T (ribu) TEUs maksimum dan minimum masing-masing sebesar 2.464 dan 7.075 dengan rata-
rata dan standar deviasi sebesar 671.6 dan 752.1. Statistik deskriptif memberikan hasil yang bervariasi
karena terminal peti kemas di Indonesia berbeda dalam ukuran, peralatan, dan keluaran. Selain itu,
korelasi antar variabel input mengukur kekuatan dan arah hubungan linier antar variabel seperti yang
terlihat pada Tabel 21. Korelasi terendah pada korelasi lemah (0,1829) namun positif adalah antara MD
dan YS. Korelasi tertinggi adalah 0,9167 dan 0,9097 antara CY dan QC, serta CY dan T. Semua
variabel diterima karena tidak ada korelasi negatif. Selanjutnya hampir semua variabel masukan
mempunyai korelasi positif yang kuat terhadap keluaran karena nilainya berkisar antara 0,6 sampai 1,
kecuali MD yang menunjukkan korelasi positif yang lemah.

53
Machine Translated by Google

Tabel 20 Statistik Deskriptif Data Input dan Output


(1) (2) (3) (5) (4)
VARIABEL Tidak berarti Sd menit maks

CY 18 170,3 209,6 14,69 796,1


MD 18 10,56 2,643 18 735,9 6 16
hal 506,9 222 18 14,67 20,47 18 2.150
QC 11.933 8.977 1.169 2 88
YS 29.841
V 18 36,39 42,01 18 4,389 0 139
GL 3,567 18 671,6 752,1 2 13
T 7.075 2.464

Sumber: Perhitungan sendiri

Tabel 21 Korelasi Antar Variabel Input

CY MD BL QC YS CY 1.0000 V GL T

MD 0,3516 1,0000
BL 0,5652 0,3929 1,0000
QC 0,9167 0,2552 0,4857 1,0000
YS 0,5584 0,1829 0,6682 0,5602 1,0000
V 0,3105 0,1935 0,7391 0,2222 0,8006 1,0000
GL 0,5964 0,2008 0,6578 0,3612 0,7126 0,7986 1,0000
T 0,9097 0,2909 0,7235 0,8796 0,7658 0,6040 0,6960 1,0000

Sumber: Perhitungan sendiri

4.2.2. Hasil DEA


Dari pengukuran 18 terminal peti kemas di wilayah Pelindo, DEA mengamati hanya 7 terminal
yang mencapai nilai efisiensi setara 1 dan tersebar di Pelindo II, III, dan IV. Dari 6 terminal peti
kemas yang tergolong terminal efisien, 1 di antaranya merupakan terminal peti kemas konvensional
namun sekelas utama yaitu Pelabuhan Makassar dan yang paling sedikit merupakan terminal
peti kemas khusus yaitu Tanjung Priok, JICT, Tanjung Perak, TPS, BJTI dan UTPM. Ingatlah
bahwa efisiensi teknis disebut ketika throughput mencapai nilai maksimum terhadap tingkat
sumber daya tertentu (Talley, 2006). Dengan demikian, input yang diberikan dapat dimanfaatkan
sepenuhnya karena dapat mencapai nilai skor efisiensi maksimum. Telah dikatakan dalam
tinjauan literatur bahwa efisiensi DMU dapat dikategorikan kuat (yaitu benar-benar efisien) jika
semua slack cenderung nol, kurang efisien untuk beberapa slack, atau lemah (yaitu tidak efisien)
(Sharma & Yu, 2009). Hasil DEA pada Stata dilakukan di

Lampiran 4.

Berdasarkan Tabel 22 terlihat bahwa pada tahun 2014, 2 dari 8 terminal peti kemas
di wilayah Pelindo II, 2 dari 5 terminal peti kemas di wilayah Pelindo III dan 2 dari 3 di wilayah
Pelindo IV dianggap sebagai peti kemas yang efisien karena memanfaatkan tingkat sumber daya
tertentu yang dinyatakan dengan masukan untuk menghasilkan keluaran maksimum yang
dinyatakan dengan hasil. Jika digabungkan data berdasarkan Tabel 22 dan Tabel 24 maka dapat
dikatakan terminal peti kemas yang efisien mutlak yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, JICT,
Pelabuhan Tanjung Perak, TPS, BJTI dan UTPM karena skor efisiensinya 1 dan semua slack
kemungkinan besar adalah nol. Sedangkan pelabuhan Makassar dinilai kurang efisien

54
Machine Translated by Google

karena adanya kelonggaran input meskipun nilai efisiensinya sama dengan 1. Berdasarkan Tabel 22
Makassar dapat dikategorikan efisien absolut dengan menjadikan Pelabuhan Tanjung Perak sebagai
peers atau benchmark. Pelabuhan Tanjung Perak ditetapkan sebagai bagian perbatasan yang relevan
dengan Pelabuhan Makassar dan karenanya ditetapkan sebagai pelabuhan produksi yang efisien
untuk Pelabuhan Makassar. Menurut definisi Kopman, pelabuhan Makassar tidak mewakili skor
efisien karena dapat mengurangi penggunaan input (disebut slack) dan tetap menghasilkan output
yang sama. Oleh karena itu, sasaran Pelabuhan Makassar sebagai DMU 16 adalah mengurangi
penggunaan seluruh input sebesar 1,175% dan mengurangi input sebesar 59.628 unit CY, 12.906
unit MD, 1196.24 unit BL, 2.88 unit QC, 1127.26 unit YS, 0,800 satuan V dan 1,976 satuan G
(disebarkan pada Tabel 24) untuk mencapai batas efisien.

Tabel 22 menunjukkan bahwa Pelabuhan Belawan hanya memanfaatkan 32,85% dari input yang
diberikan, seluruh input dapat dikurangi sebesar 67,15%. Selain itu Tabel 24 menunjukkan kinerja
Pelabuhan Belawan dengan mengurangkan 5 input yaitu CY 11.514 unit, MD 2.075 unit, BL 202.485
unit, YS 251.375 unit, dan GL 0.582 unit. 5 masukan itu
dapat dikurangi bahkan setelah Pelabuhan Belawan mengurangi seluruh input sebesar 67,15%. Tabel
23 menyajikan produksi yang efisien sebagai peer Pelabuhan Belawan adalah DMU 3 yaitu Pelabuhan
Tanjung Priok dengan kombinasi linier dimana bobotnya sebesar 1,87%. BICT sebagai bagian dari
Pelabuhan Belawan namun berada di bawah pengelolaan yang berbeda dan telah dinyatakan sebagai
terminal peti kemas khusus menunjukkan kinerja yang relatif tinggi namun kurang efisien karena skor
efisiensinya kurang dari 1. BICT harus mengurangi konsumsi input sebesar 3,41% agar efisien dan
mengurangi 4 input. tanpa memperburuk input dan output lainnya. Tabel 24 menjelaskan bahwa BICT
harus dikurangi 49.024 unit CY, 6524.870 unit YS, 14.945 unit V dan 3.765 unit GL agar lebih efisien.
Titik efisien BICT terletak pada jalur yang menghubungkan DMU 9 (JICT), DMU 11 (Pelabuhan
Tanjung Perak) dan DMU 17 (UTPM) dengan bobot kombinasi linier 17.94%, 41.61% dan 39.87%,
maka JICT, Pelabuhan Tanjung Perak dan UTPM mendefinisikan produksi BICT sebagai efisien.

Pelindo II memiliki 7 terminal peti kemas khusus, 2 diantaranya tergolong terminal peti kemas efisien
namun 5 diantaranya tergolong tidak efisien karena mempunyai nilai efisiensi yang sangat rendah.
Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Palembang memiliki skor efisiensi kurang dari 30%, yang berarti
harus membuang seluruh input lebih dari 70% untuk mencapai garis depan efisiensi. Rinciannya
dapat dilihat pada Tabel 24, Pelabuhan Panjang harus dikurangi 5 input yaitu untuk CY sebanyak
10.964 unit, MD sebanyak 2.289 unit, BL sebanyak 35.939 unit, YS sebanyak 545.976 unit dan GL
sebanyak 0.108 unit agar lebih efisien.
Begitu pula dengan Pelabuhan Palembang yang harus mendegradasi 5 input yakni CY sebanyak
8.225 unit, MD sebanyak 0.763 unit, YS sebanyak 1.704.66 unit, V sebanyak 0.102 unit, dan GL
sebanyak 0.124 unit. Selain itu, masukan-masukan yang disebutkan di atas dapat dikurangi bahkan
setelah Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Palembang mengalami penurunan seluruh masukan
sebesar lebih dari 70%. Pada Tabel 23 diketahui Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak
merupakan peers dari Pelabuhan Panjang sedangkan Pelabuhan Palembang berada pada Pelabuhan
Tanjung Perak dan UTPM merupakan peersnya. Oleh karena itu, mereka mendefinisikan produksi
yang efisien untuk Pelabuhan Panjang dan Palembang. Pelabuhan Pontianak menunjukkan kinerja
yang lebih baik dibandingkan pelabuhan sebelumnya, yaitu pemanfaatan input sebesar 73,31%.
Artinya harus menghilangkan semua input sebesar 26.69% sekaligus dengan mengurangkan CY,
MD, BL, YS, V dan GL sebanyak satuan seperti terlihat pada Tabel 24. Peer untuk Pelabuhan
Pontianak adalah Pelabuhan Tanjung Perak dan UTPM dengan kombinasi linear 25.61 % dan
13,62%. Kinerja efisiensi Pelabuhan Teluk Bayur dan Jambi bahkan lebih buruk dibandingkan
Pelabuhan Panjang dan Palembang, kurang dari 20% dan harus mengurangi seluruh input lebih dari 80% untuk mencapai

55
Machine Translated by Google

menyajikan slack input yang mengindikasikan nilai konsumsi input dalam satuan yang harus
dikurangi untuk mencapai kinerja efisien. Dengan demikian, Pelabuhan Teluk Bayur dan
Pelabuhan Jambi mempunyai input serupa yang harus dikurangi yaitu untuk CY, MD, BL, YS,
V dan GL. Pelabuhan Tanjung Perak dan UTPM juga mempunyai efisiensi produksi yang sama
namun kombinasi liniernya berbeda, Pelabuhan Teluk Bayur terletak pada bobot kombinasi
linier 10,15% dan 1,03%, sedangkan Pelabuhan Jambi masing-masing 3,55% dan 1,43%.

Selain itu, Pelindo III memiliki 4 terminal peti kemas khusus dimana dua di antaranya dianggap
sebagai terminal efisien (yaitu TPS dan BJTI) dan sisanya dikategorikan sebagai terminal tidak
efisien (yaitu Pelabuhan Banjarmasin dan TPKS). Selain itu, Tanjung Perak
Pelabuhan sebagai pelabuhan kelas utama di Pelindo III belum ditetapkan sebagai terminal peti
kemas konvensional bahkan mencapai kinerja yang efisien. Tidak mengherankan jika Pelabuhan
Banjarmasin memiliki skor efisiensi kurang dari 1 sejak baru beroperasi pada tahun 2008.
Perlunya pengurangan seluruh input agar efisien sebesar 11,5% sekaligus mengurangkan
11.199 unit CY, 5.7E-05 unit BL, 467.495 unit YS, 4.079 unit V, dan 1.959 unit GL. DMU 9
(JICT), DMU 11 (Pelabuhan Tanjung Perak) dan DMU 17 (UTPM) didefinisikan sebagai efisiensi
produksi Pelabuhan Banjarmasin yang terletak pada kombinasi linier dengan bobot 3,31%,
29,38% dan 28,18%. Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) sepenuhnya dikelola secara
mandiri sejak tahun 2001, oleh karena itu mengejutkan bahwa skor efisiensinya hanya mencapai
81,66% lebih rendah dibandingkan Pelabuhan Banjarmasin yang memiliki pengalaman lebih
pendek dibandingkan TPKS. Selanjutnya harus menurunkan seluruh penggunaan inputnya
sebesar 18,34% secara bersama-sama dengan mengurangi input tertentu dengan jumlah
tertentu seperti yang ditunjukkan pada Tabel 24. CY sebagai salah satu input harus diturunkan
sebesar 106,45 unit, YS sebesar 3575,72 unit, V sebesar 17,417 unit dan GL sebesar 1.310
unit sehingga TPKS mencapai skor efisiensi sebesar 1. Tiga pelabuhan efisien yang diamati
sebagai peer dimana letak efisiensi produksi TPKS yaitu di JICT, Pelabuhan Tanjung Perak dan UTPM
dengan bobot pada kombinasi linier ini adalah 0,51%, 81,15% dan 13,35%.

Pelindo IV memiliki 2 terminal peti kemas khusus dan mempunyai kinerja yang berbeda-beda,
untuk UTPM tergolong terminal efisien sedangkan BCT dikategorikan terminal tidak efisien
karena mempunyai skor efisiensi 79,48%. BCT harus menurunkan konsumsi seluruh input
sebesar 20,52% agar dapat didefinisikan sebagai terminal yang efisien. Selanjutnya harus
dikurangi 5 masukan yaitu MD sebanyak 5.237 satuan, BL sebanyak 58.404 satuan, YS
sebanyak 11498.6 satuan, V sebanyak 0.566 satuan dan GL sebanyak 0.9 satuan. Tanjung
Perak dan UTPM merupakan peer bagi BCT karena BCT akan mencapai batas efisien pada
garis yang menghubungkan titik Tanjung Perak dan UPTM.

56
Machine Translated by Google

Tabel 22 Skor Efisiensi DEA 2014


DMU Efisiensi
TIDAK. Daerah
Terminal kontainer Skor
1 Pelabuhan Belawan Pelindo I 0,3285

2 Terminal Peti Kemas Internasional Belawan (BICT) Pelindo I 0,9659

3 Pelabuhan Tanjung Priok Pelindo II 1.0000

4 Pelabuhan Panjang Pelindo II 0,2320

5 Pelabuhan Palembang Pelindo II 0,2912


6 Pelabuhan Pontianak Pelindo II 0,7331

7 Pelabuhan Teluk Bayur Pelindo II 0,1931


8 Pelabuhan Jambi Pelindo II 0,1954
9 Terminal Peti Kemas Internasional Jakarta (JICT) -
Pelindo II 1.0000
IPC - Hutchison

10KOJA (IPC-Hutchison) Pelindo II 0,9029

11 Pelabuhan Tanjung Perak Pelindo III 1.0000

12 Pelabuhan Banjarmasin Pelindo III 0,8850


13 Terminal Petikemas Semarang (TPKS) Pelindo III 0,8166

14 Terminal Petikemas Surabaya (TPS) Pelindo III 1.0000

15 Berlian Jasa Terminal Indonesia (BJTI) Pelindo III 1.0000


16 Pelabuhan Makassar Pelindo IV 1.0000

17 Unit Terminal Petikemas Makassar (UTPM) Pelindo IV 1.0000

18 Terminal Kontainer Bitung (BCT) Pelindo IV 0,7948


Sumber : Perhitungan sendiri

Tabel 23 Referensi Rekan dari DMU Sasaran


DMU Referensi (ÿ)
TIDAK.
Terminal kontainer 12 45678 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
1 Pelabuhan
Belawan Terminal . 3. 0,01866 . . . . . . . 0. . . . . . .
(BICT)
Kontainer
. 2 Internasional Belawan . . . . . . . 0,179431 . 0,41609 . . . . . 0,398667 .
3 Pelabuhan Tanjung Priok . . 1 . . . . . 0. . . . 0. . . .
4 Pelabuhan Panjang . . 0,00031 . . . . . . . 0,1774 . . . . . . . .
5 Pelabuhan Palembang . . . . . . . . . 0,22309 . . . . . . 0,0060592 .
6 Pelabuhan Pontianak . . . . . . . . . 0,25015 . . . . . . 0,13622 .
7 Pelabuhan Teluk Bayur . . . . . . . . . 0,10152 . . . . . . 0,0103865 .
8 Pelabuhan
Jambi Jakarta Internasional . . . . . . . . . 0,03549 . . . . . 0,0142672 .
9 Terminal Kontainer (JICT) -
IPC - Hutchison . . 0. . . . . 1 . . . . 0. . . .
10KOJA (IPC-Hutchison) . . . . . . . . 0,0280746 . 1.20824 . . . . . 0,139878 .
11 Pelabuhan Tanjung Perak . . 0. . . . . 0. 1 . . . 0. . .
12 Pelabuhan Banjarmasin . . . . . . . . 0,0330759 . 0,2938 . . . . . 0,281807 .
13 Terminal Petikemas
Semarang (TPKS) . . . . . . . . 0,0051272 . 0,81152 . . . . . 0,13351 .
14 Terminal Petikemas
Surabaya (TPS) . . 0. . . . . 0. 0. . 1 . . . .
15Berlian Jasa Terminal
Indonesia (BJTI) . . . . . . . . . . . . . . 1 . . .
16 Pelabuhan Makassar . . . . . . . . . . 0,01175 . . . . . . .
17 Unit Terminal Petikemas
Makassar (UTPM) . . 0. . . . . . . 0. . . . . 1 .
Terminal Kontainer Bitung
18 (BCT) . . . . . . . . . . 0,16567 . . . . . 0,178695 .
Sumber : Perhitungan sendiri
" ." dalam tabel dinyatakan angka kecil kurang dari 10 pangkat minus 12, yang sebagian besar dapat diabaikan.

57
Machine Translated by Google

Tabel 24 Slack Input dan Output DEA


DMU Masukan Slack Keluaran Slack
TIDAK.
Terminal kontainer CY MD hal QC YS V GL T
4 Pelabuhan Panjang 10,9644 2,28888 35,9391 . 545.976 . 0,10793 .
5 Pelabuhan Palembang 8.22501 0.76298 . . 1704,66 0,1019 0,12402 .
6 Pelabuhan Pontianak 10.7232 0.76283 8.79E-06 . 4253,72 4,85685 2,1597 .
7 Pelabuhan Teluk Bayur 7.29189 1.38062 1.59E-06 . 220,484 0,66625 0,16243 .
JakartaJambi
8 Pelabuhan Internasional 1.75E-07 1.30313 33.3755 . 1968,73 0,14086 0,29121 .
9 Terminal Kontainer (JICT) -
IPC - Hutchison 0 . . . 0 0 0 .
10KOJA (IPC-Hutchison) 123.309 . . . 2207.58 14.6997 2.35611 .
11 Pelabuhan Tanjung Perak . . . 0 . 0 0 .
12 Pelabuhan Banjarmasin 11.1994 . 5.7E-05 . 467.495 4.07919 1.95889 .
13 Terminal Petikemas
Semarang (TPKS) 106.45 . . . 3575,72 17,4168 1,3097 .
14 Terminal Petikemas
Surabaya (TPS) . . . . 0 0 0 .
15Berlian Jasa Terminal
Indonesia (BJTI) . 0 0 0 1.09E-11 0 0 .
16 Pelabuhan Makassar 59.628 12.906 1196.24 2.89421 1127.26 0.80018 1.97649 .
17 Unit Terminal Petikemas
Makassar (UTPM) 0 0 0 . 0 . . .
Terminal Kontainer Bitung
18 (BCT) . 5.27345 58.4045 . 11498,6 0,56593 0,90093 .
Sumber : Perhitungan sendiri

4.3. Analisis Kapasitas Terminal


Kapasitas terminal peti kemas paling sedikit terdiri dari empat sub kapasitas, yaitu kapasitas dermaga, kapasitas
penyimpanan lapangan, kapasitas penanganan lapangan, dan kapasitas gerbang. Aturan praktis pemanfaatan aset
di terminal peti kemas adalah selalu mengoptimalkan sumber daya atau aset yang paling mahal artinya pemanfaatan
terbesar harus berada di sekitar aset yang paling mahal di terminal. Aset termahal di terminal adalah dinding
dermaga, yang jelas pemanfaatan terbesarnya ada di dermaga. Oleh karena itu, kapasitas dermaga merupakan
faktor terpenting karena selalu menjadi hambatan. Sub sistem penting lainnya di terminal peti kemas adalah
kapasitas halaman penyimpanan sebagai sumber penyangga untuk mendukung sistem penanganan peti kemas
karena fungsi penyimpanan merupakan salah satu peran terminal peti kemas yang memungkinkan terorganisirnya
sea leg dan hinderleg (terpisah) (Saanen & Rijsenbrij, 2015). Menurut Saanen & Rijsenbrij (2015), kapasitas tempat
berlabuh, kapasitas penyimpanan halaman, kapasitas penanganan halaman dan kapasitas gerbang merupakan
faktor pembatas, dimana di banyak halaman terminal kapasitas penyimpanan menjadi faktor pembatas mayoritas.
Namun demikian, di negara lain, kapasitas dermaga terminal atau kapasitas dermaga crane menjadi faktor
pembatasnya. Pada akhirnya, kapasitas gerbang atau rel juga dapat menjadi faktor pembatas untuk perluasan
terminal berikutnya, namun hal ini jarang terjadi. Dalam penelitian ini, kapasitas dermaga sebagai faktor terpenting
dan kapasitas halaman sebagai faktor pembatas mayoritas dilakukan untuk menganalisis sisi penawaran dengan
permintaan tertentu yang telah dianalisis sebelumnya.

4.3.1. Kapasitas Tempat Berlabuh


Kapasitas dermaga atau kapasitas dermaga adalah volume maksimum yang ditangani (atas kapal dan ukuran
pertukarannya) untuk berlabuh bagi pelanggan, yaitu dalam hal ini di kapal, tanpa meningkatkan waktu tunggu
yang tidak dapat diterima (Saanen, 2015). Aturan praktis untuk kapasitas dermaga adalah bahwa kapal laut dalam
harus menunggu waktu berlabuh kurang dari 2% dari keseluruhan waktu yang dihitung lebih dari 8 jam. Oleh karena
itu, semakin besar terminal peti kemas, semakin tinggi pula volume per meter panjang dermaga (Saanen, 2015).
Kapasitas tempat berlabuh sulit untuk ditentukan karena bergantung pada banyak variabel seperti jenis kapal,
ukuran bursa

58
Machine Translated by Google

per kunjungan kapal, jumlah quay crane yang beroperasi per tempat berlabuh,
produktivitas quay crane dan kondisi alam akibat pasang surut, cuaca atau kendala lokal
(Saanen & Rijsenbrij, 2015).

Menurut Saanen & Rijsenbrij (2015), kapasitas dermaga adalah panjang dermaga dikalikan
kapasitas dermaga per meter dinding dermaga. Oleh karena itu, produktivitas dermaga dapat
dihitung dengan persamaan di bawah ini:

ÿ ( )
( )= (%) ÿ (%)
Persamaan 14

ÿ ÿ ( )
( ÿ) =
Persamaan 15

ÿ ( ÿ )=ÿ ÿ() ÿ ( )
ÿ

Persamaan 16

Berdasarkan praktik terbaik, pasar peti kemas didominasi oleh perdagangan dalam negeri
kecuali terminal peti kemas besar seperti Tanjung Priok, JICT, Koja dan TPS dimana rata-
rata LOA untuk kapal peti kemas adalah 200m dan kapasitas 1.000 TEU. Sebagaimana
diungkapkan Nur & Achmadi (2014), untuk perdagangan dalam negeri, ukuran kapal peti
kemas sangat bervariasi mulai dari 80 TEUs hingga 1.360 TEUs dan rata-rata ukuran kapal
adalah 490 TEUs. Kapal peti kemas domestik yang paling banyak dioperasikan mempunyai
ukuran 350-500 TEUs dengan jumlah kapal mencapai 78 unit (37%), kapal peti kemas ukuran
500 hingga 800 TEUs berjumlah 56 unit (26%), sedangkan kapal peti kemas ukuran terbesar
dengan besar atau lebih dari 1.000 TEUs sebanyak 19 unit (9%) (Nur & Achmadi, 2014).
Untuk kapal ocean going, kapal kontainer terbesar yang pernah ditangani JICT berukuran
4000 TEU. Selain itu, tren ukuran kapal karena skala keekonomian adalah peningkatan
ukuran kapal ke jumlah generasi baru sebesar 14.000 hingga 22.000 TEUs yang disebut
Kapal Kontainer Ultra Besar (ULCS), perubahan penyebaran generasi kapal pada Tabel 25 sebagai berikut.

Tabel 25 Draft dan LOA Berdasarkan Ukuran Kapal

Draf Pembuatan (m) LOA (m) Kapasitas (TEU)

Pertama < 9m 135 - 200 500 - 800


Kedua < 10 m < 210 Maks 215 1.000 - 2.500
Ketiga 11 - 12 250 - 290 3.000 - 4.000
Keempat 11 - 13 <300 Maks 335 4.000 - 5.000
13 - 14 275 - 305 5.000 - 8.000
Kelima Keenam 15,5 397 11.000 - 14.500
Ketujuh < 16,5 Sumber : <405 14.000 - 22.000
Jahiddin (2010)

Dengan memperhatikan rancangan masing-masing terminal dan mempertimbangkan fakta


bahwa ukuran kapal domestik terbesar di Indonesia adalah 1.360 TEUs serta informasinya

59
Machine Translated by Google

melalui website masing-masing terminal yang jarang tersedia, sehingga rata-rata ukuran kapal secara
teoritis di setiap terminal peti kemas dapat diprediksi pada Tabel 26. Rata-rata LOA adalah 175 m tidak
jauh dari pernyataan best practice bahwa rata-rata LOA di Indonesia adalah 200 m. JICT, KOJA dan
Tanjung Priok berlokasi di ibu kota Jakarta, sebagai pelabuhan peti kemas terbesar di Indonesia
menangani ukuran kapal terbesar karena mampu memenuhi kebutuhan minimum draft dan sistem
penanganan kapal besar, sedangkan Pelabuhan Makassar menangani kapal terkecil rata-rata sejak
perannya mulai digantikan oleh UTPM yang merupakan terminal peti kemas khusus. Pelabuhan peti
kemas terbesar kedua seperti Pelabuhan Tanjung Perak, BICT, TPS, TPKS, UTPM dan BCT
menangani kapal dengan ukuran berkisar antara 1.000 dan 1.750 TEU. Terminal peti kemas kecil
lainnya menangani kapal-kapal kecil berukuran kurang dari 1.000 TEU karena pasar utamanya adalah
perdagangan peti kemas dalam negeri. Menurut Bottema (2015), rasio teu untuk AsiaEropa biasanya
1,65, maka rasio teu untuk Indonesia diasumsikan 1,6 karena india belum sepenuhnya menjadi negara
fabrikasi seperti India dan China meskipun sebagian industri perakitan berlokasi di Indonesia namun
sebagian masih diimpor dari negara lain. .

Selain itu, dengan banyaknya barang impor di Indonesia, Indonesia juga dikategorikan sebagai negara
consumable yang membutuhkan muatan ringan dan volume lebih banyak.

Tabel 26 Rata-rata Ukuran Kapal Berdasarkan Terminal Peti Kemas


Rata-rata
Rata-rata
TIDAK. Nama Pelabuhan Draf (M) Ukuran Kapal
LOA (m)
(TEU)
1 Pelabuhan Belawan -5 hingga -7 550 149
2 Kontainer Internasional Belawan
-10 hingga -11 1750 151
Pelabuhan Terminal (BICT).
3 Pelabuhan Tanjung Priok -10 hingga -12 2500 208

4 Pelabuhan Panjang -7 hingga -16 600 36

5 Pelabuhan Palembang -6 hingga -9 775 194


6 Pelabuhan Pontianak -6 500 135

7 Pelabuhan Teluk Bayur -10 hingga -12 300 208


8 Pelabuhan Jambi -6 hingga -9 775 194
9 Kontainer Internasional Jakarta
-8,6 hingga -14 3000 300
Terminal (JICT) - IPC - Hutchison
10KOJA (IPC-Hutchison) -13 3000 300

11 Pelabuhan Tanjung Perak -8 750 188

12 Pelabuhan Banjarmasin -7 600 162

13 Terminal PetikemasSemarang
-10 1000 215
(TPKS) Pelabuhan

14 Terminal Petikemas Surabaya


-7,5 hingga -10,5 1625 137
(TPS) Pelabuhan
15 Berlian Jasa Terminal Indonesia
-6.5 - 9.6 970 204
(BJTI)
16 Pelabuhan Makassar -11 hingga -13 200 17
17 Unit Terminal Petikemas Makassar
-9 hingga -12 1200 97
(UTPM) Pelabuhan
18 Terminal Kontainer Bitung (BCT) -11 1360 250

LOA rata-rata 175


Sumber : Perkiraan sendiri berdasarkan berbagai sumber

60
Machine Translated by Google

Saat ini, secara luas diterima bahwa angka nominal pemanfaatan kapal secara statistik berkisar antara
90 hingga 95%, namun untuk kapal berukuran kecil angkanya sedikit lebih rendah yaitu sekitar 80%
hingga 85% (Bottema, 2015). Berdasarkan fakta tersebut, Indonesia tergolong mempunyai load factor
pada rentang 80% hingga 85% dan lebih tepatnya load factor tersebut dibagi berdasarkan throughput
range (TEU) seperti yang dapat digambarkan pada Tabel 27, sehingga menjadi load factor untuk setiap
kontainer. terminal dapat ditentukan dengan merekonsiliasi throughput pada tahun 2014 dengan kisaran
throughput seperti yang ditunjukkan pada Tabel 28. Jelas bahwa terminal peti kemas besar memiliki
faktor muatan tertinggi yaitu 85% karena terminal tersebut menangani kapal besar yang pemanfaatannya
lebih baik daripada kapal kecil.

Tabel 27 Load Factor Berdasarkan Rentang Throughput


Faktor Beban Rentang Throughput
TIDAK

(TEU) (%)
1 < 50.000 80
2 50.000 - 100.000 3 80,5
100.000 - 150.000 4 81
150.000 - 250.000 5 81.5
250.000 - 350.000 6 82
350.000 - 500.000 7 82.5
500.000 - 650.000 8 83
650,00 0 - 800.000 9 83.5
800.000 - 950.000 10 84
950.000 - 1.050.000 11 > 84.5
1.050.000 85
Sumber : Estimasi sendiri berdasarkan Bottema (2015)

Sebagai Indonesia, negara kepulauan terbesar, dimana lautan menutupi 70% dari total luas wilayahnya,
wilayah pedalaman perdagangan peti kemas di Indonesia sebagian besar berada di Pulau Jawa sebagai
pulau paling maju di Indonesia. Mengambil pulau sebagai daerah pedalaman dianggap terlalu luas
karena infrastruktur Indonesia tidak terlalu baik, pengangkutan peti kemas melalui jalan darat secara
bersamaan hanya akan meningkatkan biaya logistik. Pengirim harus menentukan pelabuhan yang paling
dekat dengan penerima barang untuk memotong biaya logistik, sehingga perlu mempersempit daerah
pedalaman menjadi setiap provinsi. Misalkan daerah pedalamannya adalah Kalimantan Selatan, maka
terdapat tiga terminal peti kemas yang terletak disana, salah satunya adalah terminal peti kemas khusus
yaitu Pelabuhan Banjarmasin dan dua diantaranya adalah terminal peti kemas konvensional yaitu
Pelabuhan Kotabaru dan Pelabuhan Samarinda. Pangsa pasar pelabuhan sebaiknya dibagi melalui tiga
terminal peti kemas ini karena terdapat tiga pintu masuk untuk menembus pasar di Kalimantan Selatan.
Dengan mempertimbangkan throughput peti kemas dari tahun 2009 hingga 2013 dan mempertimbangkan
Kalimantan Selatan sebagai total pangsa pasar, maka dapat dihitung rata-rata pangsa pasar pelabuhan
untuk setiap pelabuhan. Perhitungan pangsa pasar pelabuhan dapat digambarkan pada Tabel 29. Untuk
provinsi yang hanya memiliki satu pelabuhan berarti hanya terdapat satu pintu masuk dan pangsa pasar
pelabuhan dianggap 100%.

61
Machine Translated by Google

Tabel 28 Faktor Beban Berdasarkan Terminal Kontainer


Hasil
Faktor Beban
TIDAK. Nama Pelabuhan (TEU)
(%)
(2014)
1 Pelabuhan Belawan 45.982 80
2 Terminal Kontainer Internasional Belawan
84
(BICT) Pelabuhan 900.395
3 Pelabuhan Tanjung Priok 2.463.908 85
4 Pelabuhan Panjang 107.546 81
5 Pelabuhan Palembang 137.685 81
6 Pelabuhan Pontianak 227.130 81.5
7 Pelabuhan Teluk Bayur 66.942 80,5
8 Pelabuhan Jambi 29.379 80
9 Terminal Peti Kemas Internasional Jakarta
2.373.470 85
(JICT) - IPC - Hutchison
10KOJA (IPC-Hutchison) 872.511 84
11 Pelabuhan Tanjung Perak 601.915 83
12 Pelabuhan Banjarmasin 413.737 82.5
13 Terminal Petikemas Semarang (TPKS) Pelabuhan 575.671 83
14 Terminal Petikemas Surabaya (TPS) Pelabuhan 1.343.523 85
15 Berlian Jasa Terminal Indonesia (BJTI) 1.158.947 85
16 Pelabuhan Makassar 7.075 80
17 Unit Terminal Petikemas Makassar (UTPM)
562.046 83
Pelabuhan

18 Terminal Kontainer Bitung (BCT) 200.153 81.5


Rentang Faktor Beban 80 - 85
Sumber : Modifikasi sendiri berdasarkan Bottema (2015)

62
Machine Translated by Google

Tabel 29 Pangsa Pasar Pelabuhan Berdasarkan Provinsi


Throughput (TEU) Pelabuhan Rata-Rata
Nama Pelabuhan Provinsi Saham
2.009 (%) 2.010 (%) 2.011 (%) 2.012 (%) 2.013 (%)
(%)
Utara Pelabuhan Belawan 138.453 19 1.111.398 62 1.277.709 63 1.304.237 61 45.982 5 5
Sumatra BICT 580.210 81 690.059 38 739.292 37 835.388 39 900.395 95 95
KualaTanjung
Pelabuhan 643 0,04 3.085 0,17
Total 718.663 1.801.457 2.017.001 2.140.268 949.462
Barat Teluk Bayur
100
Sumatra Pelabuhan 47.633 100 49.434 100 56.716 100 61.808 100 68.701 100
Total 47.633 49.434 56.716 61.808 68.701
Selatan palembang
100
Sumatra Pelabuhan 84.403 100 87.988 100 113.616 100 114.479 100 122.155 100 122.155
Total 84.403 87.988 113.616 114.479
Jakarta Tanjungpriok
34
Pelabuhan 535.247 19 1.762.912 33 2.228.112 39 36 2.955.733 42 2.617.147 34 39
JICT 1.721.059 60 620.172 2.095.010 2.295.264 14 823.730 37 2.346.898 2.424.230 12 36 41
KOJA 22 753.984 13 820.730 851.885 13 15
Sunda Kelapa
0,39
Pelabuhan
- 14.121 0,26 30.734 0,50 38.947 0,56 42.063 0,62
MTI - 753.984 14 5.380.011 823.730 13 6.201.571 820.730 12 6.983.037 851.885 13 6.787.211 10
Total 2.876.478 99.851 106.644 107.724
lampung Pelabuhan Panjang 104.175 100 99.851 100 106.644 100 107.724 100 124.165 100 124.165 100
Total 104.175 150.114 172.892 184.557
Barat Pelabuhan Pontianak 133.419 100 150.114 100 172.892 100 184.557 100 201.527 100 201.527 100
kalimantan Total 133.419 32.551 32.516 23.607
Jambi Pelabuhan Jambi 24.033 100 32.551 100 32.516 100 23.607 100 24.678 100 24.678 100
Total 24.033
Selatan Banjarmasin
63
kalimantan Pelabuhan 244.617 59 9.420 296.611 63 367.704 65 421.561 65 428.478 63
Pelabuhan Kotabaru 2 9.413 2 13.273 2 27.060 4 9.839 1 2
Samarinda
35
Pelabuhan 159.349 39 413.386 166.212 35 188.861 33 199.864 31 244.885 36
Total 472.236 569.838 648.485 683.202
Jawa Timur Tanjung Perak
19
Pelabuhan 326.753 14 365.446 15 569.968 22 611.438 21 665.145 22
Terminal
Petikemas 1.117.554 49 1.212.494 50 1.260.240 48 1.340.262 47 1.341.835 45 48
Pelabuhan Surabaya
Berlian Jasa
825.713 36 829.549 34 792.958 30 912.791 32 986.953 33 33
Terminal
Total 2.270.020 2.407.489 2.623.166 2.864.491 2.993.933
Pusat Terminal
Jawa Petikemas 356.461 100 384.522 100 427.468 100 457.055 100 499.427 100 100
Pelabuhan Semarang
Total 356.461 384.522 427.468 457.055 499.427
Selatan Pelabuhan Makasar 2.950 0,79 4.824 1,08 5.397 1,18 6.367 1,19 7.742 1,39 1
Sulawesi UTPM 372.532 99,2 442.553 98,92 450.567 98,82 529.396 98,81 550.916 98,61 99
Total 375.482 447.377 455.964 535.763 558.658
Utara Bitung
Sulawesi Wadah 104.866 56 127.178 57 144.959 68 60
Terminal
Pelabuhan Bitung 148.754 100 166.298 100 82.537 44 95.125 43 68.884 32 64
Total 148.754 166.298 187.403 222.303 213.843

Sumber : Perhitungan sendiri

Mengetahui semua faktor pendorong, kapasitas dermaga dapat dihitung menggunakan Persamaan 14
dan Persamaan 16. Kapasitas dermaga dengan mengambil contoh Pelabuhan Tanjung Priok sebagai
berikut:

,500 ( )
( )= 85% 34% = 894
1.6

BOR adalah rasio keterisian dermaga, seberapa banyak dermaga yang terpakai disajikan dalam persentase.
Faktanya, banyak terminal yang mempertahankan rasio hunian dermaga di bawah 60 – 65% sebagai
margin keamanan untuk kedatangan kapal lebih awal dan/atau terlambat (Saanen & Rijsenbrij, 2015).
Untuk menghitung kapasitas dermaga, BOR ditetapkan sebesar 60%.

63
Machine Translated by Google

ÿ ÿ ÿ ) = 894
60% 1,6 = 857,77 ÿ ÿ
(

ÿ ( ÿ ) = 1.030 857.77 ÿ = 883.507 ÿ

Perhitungan seluruh terminal peti kemas dapat dikerahkan pada Tabel 30, dibandingkan throughput
tahun 2014 terdapat sepuluh terminal peti kemas yang terindikasi mencapai kapasitas dermaga
maksimal yaitu untuk Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Pontianak, Pelabuhan Teluk Bayur,
KOJA, Pelabuhan Tanjung Perak, Banjarmasin Pelabuhan, TPS, TPKS, BJTI dan Pelabuhan Makassar.
Sedangkan sisanya masih mempunyai kapasitas yang cukup untuk mendukung volume terminal
sesuai permintaan. Kondisi dimana kapasitas maksimum telah terlampaui oleh permintaan
menyebabkan terjadinya kondisi bottleneck. Kemacetan sering terjadi dalam keadaan ini menambah
waktu tunggu kapal sebelum berlabuh, sehingga menambah biaya logistik total.

Tabel 30 Kapasitas Tempat Berlabuh


Tempat tidur
Rata-rata Pelabuhan Tempat tidur Tempat tidur Hasil
Memuat Ukuran Panggilan Kapasitas
TIDAK. Nama Pelabuhan Ukuran Kapal Pasar Panjang Kapasitas (TEU)
Faktor (%) (Bergerak) (TEU/m
(TEU) Membagikan (%) (M) (TEU/ Tahun) (2014)
dermaga)
1 Pelabuhan Belawan 550 80 5 28 26 675 17.820 45.982
2 Belawan Internasional
Terminal Kontainer (BICT) 1.750 84 95 1.746
Pelabuhan 1.676 950 1.592.010 1.030 900.395
3 Pelabuhan Tanjung Priok 2.500 85 34 894 858 883.507 401 233.863 266 2.463.908
4 Pelabuhan Panjang 600 81 100 608 583 200.378 144.255 64.336 107.546
5 Pelabuhan Palembang 775 81 100 785 753 224.688 137.685
6 Pelabuhan Pontianak 500 81,5 100 509 489 295 227.130
7 Pelabuhan Teluk Bayur 300 80,5 100 302 290 222 66.942
8 Pelabuhan Jambi 775 80 100 775 744 302 29.379
9 Jakarta Internasional
Terminal Kontainer (JICT) - 3.000 85 41 1.308 1.255 2.150 2.698.837 2.373.470
IPC - Hutchison
10KOJA (IPC-Hutchison) 3.000 84 15 461 442 650 287.614 872.511
11 Pelabuhan Tanjung Perak 750 83 19 148 142 320 45.353 601.915
12 Pelabuhan Banjarmasin 600 82,5 63 389 373 505 188.522 413.737
Terminal Petikemas
13 1.000 83 100 1.038 996 495 493.020 575.671
Semarang (TPKS)
Terminal Petikemas
14 1.625 85 48 826 793 1.000 793.095 1.343.523
Surabaya (TPS)
Terminal Berlian Jasa
15 970 85 33 342 328 1.420 466.138 1.158.947
Indonesia (BJTI)
16 Pelabuhan Makassar 200 80 1 2 2 1.200 2.591 7.075
Unit Terminal Petikemas
17 1.200 83 99 1.231 1.182 1.000 1.181.762 562.046
Pelabuhan Makassar (UTPM).
Terminal Kontainer Bitung
18 1.360 81.5 60 836 802 365 292.832 200.153
(BCT)
Sumber : Perhitungan sendiri

Pada Tabel 30 terlihat bahwa Tanjung Perak yang terindikasi sebagai pelabuhan yang paling
banyak dimanfaatkan menyebabkan kondisi kemacetan karena throughput yang melebihi 4 kali
kapasitas dermaga. Peringkat kedua adalah Tanjung Priok, jumlah permintaannya hampir 3 kali
lipat dari pasokannya. BJTI telah melampaui kapasitasnya lebih dari dua kali lipat permintaannya
(throughput), kemudian TPS melebihi kapasitasnya sekitar 1,5 kali lipat dari permintaannya.

4.3.2. Kapasitas Halaman


Kapasitas halaman merupakan volume terminal yang didukung oleh halaman dimana pada banyak
terminal hal ini merupakan faktor pembatasnya. Saanen (2015, 47) mengatakan bahwa “kapasitas
pekarangan diukur sebagai jumlah kunjungan pekarangan (TEU) yang dapat ditangani oleh pekarangan”.
Kapasitas penyimpanan pekarangan variabel bergantung pada tapak pekarangan (NCY), sistem
penumpukan (tinggi penumpukan dan pemanfaatan maksimum), waktu tinggal, faktor transhipment (rasio), peaking

64
Machine Translated by Google

faktor dan faktor lonjakan (pemisahan) (Saanen, 2015). Kapasitas halaman ditentukan dengan
perhitungan sebagai berikut :

. ÿÿ .
(ÿ )=

Persamaan 17

Pada Lampiran 3 sudah digambarkan kapasitas container yard (TEU) dimana pada Persamaan 17
dicerminkan oleh ( ÿ ÿ ). Pemanfaatan maksimum. pekarangan biasanya 60% - 80% pada puncaknya
(Saanen, 2015). Berdasarkan pengalaman para ahli, rata-rata pemanfaatan di Indonesia adalah 70%
dan masih dalam kisaran pemanfaatan normal.

Faktor puncaknya adalah hasil fluktuasi musiman dan divergensi throughput dalam seminggu. Dalam
beberapa kasus, hal ini juga menjadi pembenaran untuk kondisi puncak pada waktu tinggal, karena
nilainya sepanjang tahun tidak konstan, dan sesuai dengan puncak musiman (Saanen & Rijsenbrij,
2015). Biasanya nilai faktor puncak berada pada kisaran 1,2 dan 1,5 (Saanen & Rijsenbrij, 2015),
sehingga dibutuhkan nilai 1,2 untuk perhitungan selanjutnya karena Indonesia hanya mempunyai peak
season ketika Idul Fitri sebagai hari raya umat Islam yang paling beragama. di Indonesia.

Ukuran puncak lainnya juga diamati pada saat penanganan kapal. Umumnya, beberapa jam pertama
kapal cenderung untuk membongkar muatan, sehingga meningkatkan okupansi halaman.
Hal ini disebut sebagai surge dan dicerminkan sebagai faktor surge, khususnya nilainya 1,05, yang
berarti bahwa puncak ekstra di atas rata-rata puncak adalah 5% (Saanen & Rijsenbrij, 2015).

Dwell time adalah lamanya peti kemas berada di lapangan peti kemas sejak hari pertama
penyimpanannya sampai meninggalkan terminal melalui kapal, jalan raya, rel atau tongkang (Saanen, 2015). Y.
Saanen (2015, 63) mengatakan bahwa “kontainer yang tinggal dalam jangka waktu lama dapat mengganggu waktu
tinggal yang diukur karena mereka tetap berada di pekarangan dan oleh karena itu tidak dihitung sampai mereka berangkat”.
Dwell time di Indonesia sangat lama karena ada beberapa kementerian yang terlibat terkait container
tersebut. Khususnya di Indonesia, proses bea cukai memakan waktu terlalu lama dan kementerian
terkait lainnya tidak memaksimalkan penggunaan sistem satu pintu yang disediakan oleh pelabuhan.
Menurut Artakusuma (2012), waktu tunggu di JICT sebanyak 6,74 hari, KOJA 5,5 hari dan Multi
Terminal Indonesia (MTI) 8,23 hari. Selain itu, berdasarkan informasi melalui berita maritim Belawan
juga memiliki waktu tunggu yang lama, yaitu 7 hingga 10 hari. Oleh karena itu, diasumsikan bahwa
waktu tunggu rata-rata adalah sekitar 6 hingga 7 hari. Kapasitas pekarangan dapat dihitung dengan
Persamaan 17, dengan mengambil contoh Tanjung Priok :

70% 365
(ÿ 30.476 ) = = 88.837 ÿ
1,05 1. 7

Perhitungan lengkap untuk masing-masing terminal peti kemas tergambar pada Tabel 31 dibandingkan
dengan throughput sesuai permintaan pada tahun 2014. Yard capacity merupakan kapasitas throughput
yang didukung oleh yard, sehingga terdapat 11 pelabuhan yang dikategorikan over capacity yaitu untuk
BICT, Pelabuhan Tanjung Priok, Pontianak Pelabuhan, JICT, KOJA, Pelabuhan Tanjung Perak,
Pelabuhan Banjarmasin, TPKS, TPS, BJTI dan UTPM. Sedangkan sisanya dikategorikan sebagai
pelabuhan dengan kapasitas yang cukup untuk mendukung volume terminal sesuai permintaan. Seperti
yang telah dikatakan sebelumnya bahwa kondisi kemacetan ini mendorong kemacetan yang semakin berkurang

65
Machine Translated by Google

kinerja terminalnya. Tanjung Perak dan BJTI di bawah manajemen Pelindo III mempunyai rasio
antara supply dan demand yang paling tinggi, jumlah permintaannya lebih dari 4 kali lipat dari
supply-nya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pelabuhan harus meningkatkan kapasitasnya
untuk memenuhi permintaan yang dipenuhi. Terlebih lagi, throughput Tanjung Priok terhitung
lebih dari dua kali lipat kapasitas halamannya sedangkan sisanya kurang dari dua kali lipat.

Tabel 31 Kapasitas Yard


Tinggal Hasil
Kapasitas Throughput Kapasitas Halaman
TIDAK. Nama Pelabuhan Waktu (TEU)
(TGS x Tinggi Susun) (TEU/ Tahun)
(Hari) (2014)
1 Pelabuhan Belawan 3.500 6 118.287 45.982
2 Belawan Internasional
Terminal Kontainer (BICT) 6 510.324 900.395
Pelabuhan
15.100
3 Pelabuhan Tanjung Priok 30.476 7 882.837 2.463.908
4 Pelabuhan Panjang 6.848 6 231.437 107.546
5 Pelabuhan Palembang 4.376 6 147.893 137.685
6 Pelabuhan Pontianak 3.753 6 126.838 227.130
7 Pelabuhan Teluk Bayur 4.825 6 163.067 66.942
8 Pelabuhan Jambi 1.855 6 62.692 29.379
9 Jakarta Internasional
Terminal Kontainer (JICT) - 46.940 7 1.359.770 2.373.470
IPC - Hutchison

10KOJA (IPC-Hutchison) 18.454 7 534.580 872.511


11 Pelabuhan Tanjung Perak 3.895 6 131.637 601.915
12 Pelabuhan Banjarmasin 6.460 6 218.324 413.737
13 Terminal Petikemas
10.816 6 365.541 575.671
Pelabuhan Semarang (TPKS).
14 Terminal Petikemas
34.252 6 1.157.591 1.343.523
Pelabuhan Surabaya (TPS).
15Berlian Jasa Terminal
7.426 6 250.971 1.158.947
Indonesia (BJTI)
16 Pelabuhan Makassar 2.925 6 98.854 7.075
17 Unit Terminal Petikemas
9.480 6 320.389 562.046
Pelabuhan Makassar (UTPM).
18 Terminal Kontainer Bitung
12.875 6 435.133 200.153
(BCT)
Sumber : Perhitungan sendiri

66
Machine Translated by Google

5. Perbandingan Kapasitas dan Throughput Pelabuhan Kontainer


Tabel 22 melaporkan pengukuran efisiensi 18 terminal peti kemas di
Indonesia dimana enam diantaranya termasuk dalam kategori terminal peti kemas yang efisien absolut
yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, JICT, Pelabuhan Tanjung Perak, TPS, BJTI dan UTPM karena skor
efisiensinya 1 dan semua slack cenderung nol. Selain itu, terminal peti kemas yang efisien memanfaatkan
tingkat sumber daya tertentu yang dinyatakan sebagai masukan untuk menghasilkan keluaran maksimum.

Kinerja efisiensi Pelabuhan Tanjung Priok dan JICT kemungkinan besar didorong oleh aktivitas
perekonomian regional. Pelabuhan-pelabuhan ini berperan penting sebagai pintu gerbang perekonomian
bagi banyak kawasan industri yang terletak di sekitar ibu kota Jakarta. Pelabuhan ini juga berperan
sebagai pusat transshipment bagi banyak pelabuhan pengumpan kecil di Indonesia.
Selain itu, pelabuhan-pelabuhan ini juga berfungsi untuk perdagangan internasional yang sekaligus
menghasilkan throughput yang lebih besar dibandingkan terminal peti kemas lainnya yang masing-
masing menyumbang 23% dan 26% dari total throughput Indonesia. Dengan kata lain, pemanfaatan
sumber daya menghasilkan output yang maksimal sehingga menjadikan terminal peti kemas Tanjung
Priok dan JICT efisien.

Pelabuhan Tanjung Perak (pelabuhan terbesar kedua di Indonesia), TPS (terminal peti kemas terbesar
ketiga) dan BJTI semuanya berlokasi di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia.
Mereka melayani perdagangan kontainer internasional dan domestik. TPS bukan hanya a
pintu gerbang tetapi juga berfungsi sebagai pelabuhan penghubung bagi banyak terminal peti kemas di
wilayah timur Indonesia. TPS terhubung dengan akses kereta api dan jalan raya ke beberapa kawasan
industri di Pulau Jawa Bagian Timur dan Tengah. Oleh karena itu, terminal ini juga menghasilkan
throughput yang lebih tinggi dibandingkan terminal peti kemas lainnya dan dianggap sebagai pelabuhan
dengan output maksimum.

UTPM merupakan pintu gerbang Indonesia Timur dan dari segi throughput dan fasilitasnya
dianggap sebagai terminal peti kemas terbesar di Indonesia Timur yang memiliki infrastruktur dan
fasilitas yang memadai. Berdasarkan fakta tersebut, UTPM berpeluang menghasilkan output yang
maksimal. Karena semua terminal peti kemas yang efisien mencapai output maksimum, kita dapat
menyimpulkan bahwa pangsa pasar throughput merupakan penentu kinerja terminal peti kemas. Selain
itu, 4 dari 6 terminal peti kemas berfungsi sebagai rekanan atau garis depan produksi untuk terminal
peti kemas yang tidak efisien, yaitu. Tanjung Priok, JICT, Tanjung Perak dan UTPM. Sedangkan
pelabuhan Makassar dinilai kurang efisien karena adanya beberapa slack pada sisi input meskipun skor
efisiensinya sama dengan 1.

Skor efisiensi terminal peti kemas lainnya berkisar dari skor rendah 0,1931 (19%) hingga skor maksimum
1 (100%). Pelabuhan Teluk Bayur dan Pelabuhan Jambi tercatat sebagai terminal peti kemas paling
tidak efisien. Berdasarkan penelitian Sari (2014), Pelabuhan Teluk Bayur dan Pelabuhan Jambi dinilai
kurang efisien karena skornya masing-masing hanya 31,23% dan 56,91%. Perbedaan nilai skor ini
terutama disebabkan oleh perbedaan input dan output pada Analisis DEA. Kinerja efisiensi Pelabuhan
Teluk Bayur dan Jambi kurang dari 20% dan harus mengurangi seluruh input lebih dari 80% untuk
mencapai garis depan efisiensi. Tabel 24 menyajikan slack input; Hal ini menunjukkan nilai input
konsumsi dalam satuan yang harus dikurangi untuk mencapai kinerja efisien. Selain itu, skor efisiensi
yang lebih tinggi dicapai oleh Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Palembang meskipun masih kurang
dari 30%. Artinya, mereka harus mengeluarkan seluruh input lebih dari 70% untuk mencapai batas
efisiensi. Pelabuhan Pontianak

67
Machine Translated by Google

memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan pelabuhan yang kami analisis di atas karena memanfaatkan
input sebesar 73,31%. Artinya, pemerintah harus menurunkan seluruh input sebesar 26,69%. Pelabuhan
Panjang merupakan pintu gerbang provinsi Lampung. Sebagai pengumpan kapal-kapal raksasa yang
dijadwalkan ke Singapura di mana dua kapal dengan ukuran 180 – 200 LOA biasanya berlabuh bersama,
hal ini mempunyai risiko kelebihan kapasitas. Hal ini terutama terjadi pada hari ketika dermaga tidak
digunakan. Meskipun pelabuhan Palembang merupakan pintu gerbang provinsi Sumatera Selatan,
pelabuhan ini dikategorikan sebagai pelabuhan sungai dan melayani kapal-kapal yang lebih kecil
dibandingkan Pelabuhan Panjang. Kelima pelabuhan ini berada dalam pengelolaan Pelindo II.

Pelabuhan Belawan hampir mirip dengan Pelabuhan Panjang dan Pelabuhan Palembang yang hanya
memanfaatkan 32,85% input yang diberikan. BICT merupakan bagian dari Pelabuhan Belawan namun berada di
bawah pengelolaan yang berbeda dan telah mendeklarasikan dirinya sebagai terminal peti kemas khusus yang menunjukkan
kinerja yang relatif tinggi namun tidak begitu efisien karena skor efisiensinya kurang dari 1. BICT harus
mengurangi konsumsi input sebesar 3,41% agar efisien dan mengurangi 4 input tanpa memperburuk
input dan output lainnya. Throughput peti kemas Pelabuhan Belawan turun drastis pada tahun 2013. Hal
ini kemungkinan terjadi karena beroperasinya Terminal Peti Kemas Internasional Belawan (BICT) pada
tahun 2009.
Kargo peti kemas mulai beralih ke BICT dan pada tahun 2013 lebih dari 96% produksinya dipindahkan
ke BICT.

Selain itu, Pelindo III memiliki 2 terminal peti kemas khusus yang dikategorikan terminal tidak efisien
(yaitu Pelabuhan Banjarmasin dan TPKS). Tidak mengherankan jika Pelabuhan Banjarmasin memiliki
skor efisiensi kurang dari 1 karena baru beroperasi pada tahun 2008. Pelabuhan Banjarmasin perlu
mengurangi seluruh input sebesar 11,5% agar efisien; yaitu untuk mencapai batas efisien.
Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) telah dikelola secara mandiri sejak tahun 2001. Oleh karena itu,
cukup mengejutkan jika skor efisiensinya hanya mencapai 81,66%,
kurang dari Pelabuhan Banjarmasin yang pengalamannya jauh lebih sedikit dibandingkan TPKS.
Terminal Peti Kemas Bitung (BCT) dalam pengelolaan Pelindo IV dikategorikan terminal tidak efisien
karena memiliki nilai efisiensi sebesar 79,48%. Pelabuhan Banjarmasin, TPKS dan BCT terutama
melayani perdagangan dalam negeri sebagai feeder tiga pelabuhan internasional dan mendistribusikan
muatan ke masing-masing provinsi.

Selain itu, pengurangan input sulit dilakukan dalam praktiknya karena input merupakan sumber daya
terminal peti kemas dan dianggap sebagai aset tetap.
Selain itu, analisis DEA menyoroti fakta bahwa terdapat kelebihan input untuk terminal peti kemas yang
tidak efisien. Namun, kelebihan sumber daya dapat menjadi indikasi bahwa terminal peti kemas memiliki
sumber daya atau infrastruktur yang memadai, sehingga memungkinkan optimalisasi untuk menangkap
kargo di masa depan. Dengan kata lain, kinerja efisiensi terminal berpotensi meningkat di masa depan.
Kinerja efisiensi terminal juga dapat ditingkatkan melalui peningkatan keluaran peti kemas melalui
perbaikan sistem operasi untuk menangkap potensi pangsa pasar peti kemas.

Dibandingkan dengan Studi Afrika Barat yang dilakukan Ecorys (2015) yang juga mengukur kinerja 13
terminal peti kemas menggunakan analisis cross-sectional, kinerja Indonesia berbeda karena skor
efisiensi pada tahun 2013 berkisar antara 60% hingga 100%. Studi di Afrika Barat memilih masukan dan
keluaran yang hampir sama. Bedanya pada penelitian ini inputnya hanya di area terminal, bukan di area
container yard. Dibandingkan dengan Indonesia, Afrika Barat menunjukkan kinerja efisiensi terminal peti
kemas yang lebih baik karena skor terendah mencapai 60% sedangkan Indonesia hanya memiliki skor
efisiensi terminal peti kemas sebesar 19%.

Namun satu hal yang harus dipertimbangkan – terminal peti kemas yang paling efisien

68
Machine Translated by Google

Indonesia menjangkau 7 terminal sedangkan di Afrika Barat hanya 1. Dengan demikian, Afrika Barat masih
memiliki kinerja lebih baik dalam hal kinerja efisiensi teknis yang rata-rata mencapai 84% sedangkan Indonesia
hanya mencapai 74%.

Tabel 32 dan Tabel 33 menyajikan kapasitas tersedia dibandingkan permintaan saat ini di terminal peti kemas
di Indonesia.

Tabel 32 Rasio Permintaan dan Kapasitas Tempat Berlabuh

Tempat tidur Hasil Perbandingan

TIDAK. Nama Pelabuhan Kapasitas (TEU/Tahun) Permintaan dan


(TEU/ Tahun) (2014) Kapasitas (%)

1 Pelabuhan Belawan 17.820 45.982 258


2 Belawan Internasional
Terminal Kontainer (BICT)
Pelabuhan 1.592.010 900.395 57
3 Pelabuhan Tanjung Priok 883.507 2.463.908 279
4 Pelabuhan Panjang 233.863 107.546 46
5 Pelabuhan Palembang 200.378 137.685 69
6 Pelabuhan Pontianak 144.255 227.130 157
7 Pelabuhan Teluk Bayur 64.336 66.942 104
8 Pelabuhan Jambi 224.688 29.379 13
9 Jakarta Internasional
Terminal Kontainer (JICT) - 2.698.837 2.373.470
IPC - Hutchison 88
10KOJA (IPC-Hutchison) 287.614 872.511 303
11 Pelabuhan Tanjung Perak 45.353 601.915 1327
12 Pelabuhan Banjarmasin 188.522 413.737 219
Terminal Petikemas
13 493.020 575.671
Semarang (TPKS) 117
Terminal Petikemas
14 793.095 1.343.523
Surabaya (TPS) 169
Terminal Berlian Jasa
15 466.138 1.158.947
Indonesia (BJTI) 249
16 Pelabuhan Makassar 2.591 7.075 273
Unit Terminal Petikemas
17 1.181.762 562.046
Pelabuhan Makassar (UTPM). 48
Terminal Kontainer Bitung
18 292.832 200.153
(BCT) 68
Sumber : Perhitungan sendiri

69
Machine Translated by Google

Tabel 33 Rasio Permintaan dan Kapasitas Halaman


Hasil Perbandingan

Kapasitas Halaman
TIDAK. Nama Pelabuhan (TEU) Permintaan dan
(TEU/ Tahun)
(2014) Kapasitas (%)
1 Pelabuhan Belawan 118.287 45.982 39
2 Belawan Internasional
Terminal Kontainer (BICT) 510.324 900.395
Pelabuhan 176

3 Pelabuhan Tanjung Priok 882.837 2.463.908 279

4 Pelabuhan Panjang 231.437 107.546 46

5 Pelabuhan Palembang 147.893 137.685 93


6 Pelabuhan Pontianak 126.838 227.130 179

7 Pelabuhan Teluk Bayur 163.067 66.942 41


8 Pelabuhan Jambi 62.692 29.379 47
9 Jakarta Internasional
Terminal Kontainer (JICT) - 1.359.770 2.373.470
IPC - Hutchison 175

10KOJA (IPC-Hutchison) 534.580 872.511 163

11 Pelabuhan Tanjung Perak 131.637 601.915 457

12 Pelabuhan Banjarmasin 218.324 413.737 190


13 Terminal Petikemas
365.541 575.671
Pelabuhan Semarang (TPKS). 157
14 Terminal Petikemas
1.157.591 1.343.523
Pelabuhan Surabaya (TPS). 116
15Berlian Jasa Terminal
250.971 1.158.947
Indonesia (BJTI) 462
16 Pelabuhan Makassar 98.854 7.075 7
17 Unit Terminal Petikemas
320.389 562.046
Pelabuhan Makassar (UTPM). 175

18 Terminal Kontainer Bitung


435.133 200.153
(BCT) 46
Sumber: Perhitungan sendiri

Secara umum kapasitas yang dihitung, dapat dikategorikan kurang tepat karena adanya
kurangnya data namun secara keseluruhan dapat diterima karena nilainya mendekati angka
tipikal variabel yang terkait secara teoritis. Lampiran 5 menunjukkan perkiraan kapasitas
keseluruhan saat ini terhadap permintaan saat ini; dalam hal ini throughput untuk tahun 2014.
Saat ini, utilisasi kapasitas sebesar 80% merupakan patokan tingkat kapasitas di pelabuhan peti
kemas, yang lebih besar dari persentase kemacetan pelabuhan yang menghambat pelayanan
peti kemas. Pemanfaatan 100% atau bahkan lebih bukan tidak mungkin, namun harus diingat
bahwa margin 20% harus tersedia karena berbagai kelebihan operasional sering terjadi seperti
keterlambatan awal atau keterlambatan kapal, faktor puncak, musiman dan sebagainya. Selain
itu, karena jalur pelayaran memerlukan keandalan dan stabilitas jadwal jalur peti kemas, 20%
cadangan harus disediakan oleh terminal peti kemas untuk menanggung dini atau penundaan
dan faktor operasional lainnya, khususnya untuk pasar peti kemas interlining dan feedering
seperti di Indonesia. Lampiran 5 menunjukkan bahwa 12 dari 18 terminal peti kemas menunjukkan
lebih dari 80% rasio permintaan dan kapasitas saat ini dengan

70
Machine Translated by Google

sehubungan dengan kapasitas tempat berlabuh. Angka ini sangat tinggi (bahkan terkadang lebih dari 100%).
Pelabuhan Tanjung Perak misalnya sudah mencapai lebih dari 1200%. Pelabuhan Belawan, Pelabuhan
Tanjung Priok, TPS, KOJA, BJTI dan Pelabuhan Makassar sudah mencapai lebih dari 200%.

Rasio permintaan dan kapasitas menunjukkan nilai yang luar biasa melebihi 100% di banyak pelabuhan. Hasil
ini mungkin terjadi karena adanya asumsi pada saat perhitungan kapasitas. Faktanya, ketika menghitung angka
tersebut, beberapa faktor perlu diperhitungkan seperti kasus kelebihan pasokan. Kelebihan 100% mencerminkan
situasi dimana terdapat juga tempat berlabuh lain yang dapat digunakan untuk kapal yang sama. Artinya dalam
penghitungan kapasitas dermaga, panjang dermaga tidak sama persis dengan ruang dermaga tambahan
tersebut. Kapal datang ke tempat berlabuh resmi tetapi jika penuh maka menuju ke tempat berlabuh lain yang
disebut tempat berlabuh multiguna. Hal ini terjadi ketika dalam perhitungannya kapasitas cadangan tidak
diperhitungkan. Misalnya, kapasitas dermaga Pelabuhan Tanjung Perak sebesar 45 ribu TEU/tahun sedangkan
throughputnya 600 ribu TEU/tahun. Ini berarti tingkat pemanfaatan lebih dari 1.200%. Hal ini dimungkinkan
karena kontainer domestik sering ditangani di Terminal Mirah yang memiliki panjang dermaga 640m. Dalam
hal ini, kapasitas cadangan di Terminal Mirah tidak memperhitungkan perhitungan kapasitas karena bukan
merupakan terminal peti kemas khusus. Kondisi serupa juga terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok dimana peti
kemas ditangani di Terminal 2 dan 3. Selain itu, juga ditangani di Terminal 1 sebagai kapasitas cadangan.

Hasilnya menunjukkan bahwa kemacetan telah terjadi di terminal-terminal peti kemas besar di Indonesia,
sehingga kemacetan pelabuhan menjadi masalah serius karena dermaga tersebut sudah terisi penuh dan
memerlukan kapasitas cadangan dari terminal lain. Rasio permintaan dan kapasitas saat ini digambarkan pada
Lampiran 5.

Dari segi kapasitas lapangan, kami menunjukkan 11 dari 18 terminal peti kemas telah mencapai rasio lebih
dari 80%. Meski nilainya tidak sebesar kapasitas sebelumnya, namun kemacetan tetap menjadi persoalan
serius. Seperti isu sebelumnya, Pelabuhan Tanjung Perak masih memiliki rasio tertinggi dari seluruh terminal
peti kemas di Indonesia, terdapat indikasi kuat bahwa kemacetan yang parah saat ini merupakan hambatan
vital yang terjadi di Tanjung Perak, baik dari segi kapasitas dermaga maupun kapasitas lapangan. Terminal
peti kemas lainnya, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok dan BJTI, memiliki rasio permintaan dan pasokan lebih dari
200%, sedangkan BICT, Pelabuhan Pontianak, Pelabuhan Banjarmasin, dan TPKS memiliki rasio lebih dari
100%. Waktu tunggu yang lebih lama di sebagian besar terminal peti kemas di Indonesia diyakini menjadi
penyebab utama kekurangan kapasitas karena peti kemas berada lebih lama di halaman dan menyebabkan
tingginya Yard Occupancy Ratio (YOR) di sebagian besar terminal peti kemas di Indonesia.

Kementerian Perhubungan RI telah menetapkan peraturan daerah baru melalui Keputusan Menteri Nomor
KPT.807 Tahun 2014 bahwa YOR maksimal adalah 65%, namun nyatanya lebih. Misalnya JICT memiliki YOR
77% dan yang lebih buruk lagi bagi KOJA, KOJA menunjukkan YOR 92%. Dwelling time yang lebih lama di
Indonesia kemungkinan terjadi karena
ada 18 kementerian yang terlibat dalam perdagangan peti kemas. Tentu saja kementerian harus bekerja sama
untuk memangkas waktu tunggu; mereka harus mampu memaksimalkan fungsi sistem satu pintu yang
disediakan manajemen Pelindo. Saat ini, ini
18 kementerian yang tidak memanfaatkan pelayanan terpadu satu pintu dengan baik menyebabkan
ketidakefisienan karena pemilik kontainer harus datang ke masing-masing kantor kementerian untuk mengurus dokumen.

71
Machine Translated by Google

Mirip dengan rasio sebelumnya, rasio ini menunjukkan nilai luar biasa yang melebihi 100% untuk
banyak pelabuhan, hasil tersebut kemungkinan terjadi karena asumsi pada saat penghitungan
kapasitas. Dwelling time merupakan faktor utama dalam perhitungan kapasitas pekarangan,
sehingga asumsi waktu tinggal adalah sekitar 6 sampai 7 hari. Karena penelitian ini tidak merinci
desain awal halaman kontainer, kelebihan 100% mencerminkan situasi di mana desain awal
halaman kontainer kemungkinan menggunakan waktu tinggal yang lebih singkat. Artinya dalam
perhitungan kapasitas pekarangan, asumsi waktu tinggal (dwelling time) tidak sesuai dengan
desain awal.

Selain itu, di Afrika Barat yang rasio tertingginya adalah sekitar 95% di Pelabuhan Tema, rasio
banyak pelabuhan di kawasan ini berkisar antara 80% hingga 90%. Oleh karena itu, situasi
Pelabuhan Afrika Barat serupa dengan situasi di Indonesia, yang keduanya merupakan negara berkembang
yang terutama melayani pasar kontainer interlining dan feedering. Dengan demikian, kapasitas
pelabuhan masih berada dalam tolok ukur kejenuhan pelabuhan peti kemas yaitu 80%, dan
kemacetan pelabuhan akan menjadi masalah serius dalam beberapa tahun ke depan jika Afrika
Barat tidak dapat memperbaiki sisi pasokannya.

72
Machine Translated by Google

Tabel 34 Rangkuman Investasi Terkait


Tahun yang Ditunjukkan

TIDAK. Terminal kontainer Tempat tidur Halaman Investasi Terkait

Kapasitas Kapasitas

Investasi bisa terbengkalai karena fokus


1 Pelabuhan Belawan 2013
pembangunan pada tahun 2030 adalah terminal mobil
Belawan Internasional Kapasitas pekarangan menjadi prioritas investasi namun
2 Terminal Kontainer (BICT) 2018 2009 memerlukan kajian mendalam sejak Pelindo I berkembang
Pelabuhan
Pelabuhan Kuala Tanjung sebagai terminal peti kemas
Kemacetan parah namun membutuhkan waktu yang lama pada

3 Pelabuhan Tanjung Priok 2009 tahun 2009


pertimbangan sejak Pelindo II mengembangkan NewPriok
Terminal

4 Pelabuhan Panjang 2023 2023 Tidak ada masalah kemacetan

5 Pelabuhan Palembang 2018 2014 Prioritas investasi terutama pada kapasitas pekarangan
Nyaris tidak terjadi kemacetan, makanya investasi harus dilakukan
6 Pelabuhan Pontianak 2011 2009
segera diatasi

7 Pelabuhan Teluk Bayur 2013 Tahun 2023 Prioritas peningkatan kapasitas dermaga

8 Pelabuhan Jambi ÿ
2026 Tidak ada kapasitas terkait investasi dalam waktu dekat
Jakarta Internasional Kemacetan dalam kapasitas pekarangan tetapi kebutuhannya sangat besar pada
9 Terminal Kontainer (JICT) - 2015 tahun 2009
pertimbangan sejak Pelindo II mengembangkan NewPriok
IPC - Hutchison Terminal

Kemacetan parah namun membutuhkan waktu yang lama pada

10KOJA (IPC-Hutchison) 2009 tahun 2009


pertimbangan sejak Pelindo II mengembangkan NewPriok
Terminal

Kemacetan parah namun memerlukan pertimbangan


mendalam sejak Pelindo III beroperasi tahun 2009
11 Pelabuhan Tanjung Perak 2009
Terminal Kontainer Teluk Lamong dan dikembangkan
Proyek JIIPE

Diindikasikan kemacetan baik di halaman maupun tempat berlabuh tetapi pada

12 Pelabuhan Banjarmasin 2009 tahun 2009ditangani oleh beberapa proyek terutama pada
perluasan CY dan perluasan dermaga

Kemacetan kapasitas pekarangan dan TPKS mengambil


Terminal Petikemas langkah investasi dengan memperluas CY. Berth juga 2010
13 2014
Pelabuhan Semarang (TPKS). menunjukkan mulai adanya hambatan dan memerlukan
perhatian lebih

Kemacetan parah namun perlu pertimbangan


Terminal Petikemas mendalam karena Pelindo III beroperasi tahun 2011
14 2009
Pelabuhan Surabaya (TPS). Terminal Kontainer Teluk Lamong dan dikembangkan
Proyek JIIPE

Kemacetan parah namun memerlukan pertimbangan


Terminal Berlian Jasa mendalam sejak Pelindo III beroperasi tahun 2009
15 2013
Indonesia (BJTI) Terminal Kontainer Teluk Lamong dan dikembangkan
Proyek JIIPE
16 Pelabuhan Makassar 2009 ÿ Dapat diabaikan karena throughputnya terlalu kecil

Bottleneck terindikasi terjadi di pekarangan sejak tahun 2009


Unit Terminal Petikemas
17 2023 mulai dioperasikan. Investasi harus sebelum pekarangan
Pelabuhan Makassar (UTPM).

Terminal Kontainer Bitung


18 2018 2022 Tidak ada kapasitas terkait investasi dalam waktu dekat
(BCT)
Sumber : Perhitungan sendiri

Untuk lebih jelasnya, investasi terkait dan waktu pelaksanaannya dirangkum dalam Tabel 34.
Kapasitas dermaga terkait investasi dapat diatasi dengan program manajemen kapasitas dan/atau
perencanaan kapasitas. Program manajemen kapasitas meningkat

73
Machine Translated by Google

kapasitas dermaga dengan menggunakan beberapa strategi optimasi seperti optimalisasi terminal,
strategi perencanaan, proses operasi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan upgrade peralatan
dalam hal ini adalah sea to shore upgrade untuk meningkatkan produktivitas peralatan (Ecorys, 2015).
Selain itu, manajemen kapasitas untuk meningkatkan kapasitas lapangan juga dapat dilakukan dengan
mengurangi waktu tunggu (dwelling time) sehingga koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan
seperti seluruh kementerian terkait pelabuhan akan memudahkan administrasi peti kemas dan pada
akhirnya memangkas waktu tunggu (dwelling time).
Terminal peti kemas juga dapat mengenakan biaya tambahan kepada penerima barang untuk
penyimpanan peti kemas per hari tinggal karena kasus utama dari waktu tunggu yang lebih lama
terutama berlaku untuk peti kemas impor dimana importir membiarkan peti kemas tersebut tinggal lebih
lama di tempat penampung peti kemas. Selanjutnya, perencanaan kapasitas ditangani dengan
perpanjangan panjang dermaga dan perluasan lapangan penumpukan (CY). Dengan demikian, program
pengelolaan kapasitas tergolong kurang padat modal dibandingkan perencanaan kapasitas.

Evaluasi investasi masing-masing terminal peti kemas dapat dilihat pada Lampiran 6.

74
Machine Translated by Google

6. Kesimpulan dan Rekomendasi


6.1. Kesimpulan
Penggunaan Analisis DEA membantu pengambil keputusan untuk menafsirkan hanya satu nilai
pengukuran – kinerja produktivitas. Indikator ini diperoleh dari model perhitungan yang melibatkan banyak
variabel yang dapat menentukan tingkat kinerja produktivitas suatu pelabuhan yang “paling tidak efisien”.
Selain itu, Analisis DEA juga memberikan saran untuk memasukkan target pencapaian yang harus dicapai
oleh pelabuhan yang belum diefisienkan agar dapat diklasifikasikan sebagai pelabuhan “efisien”.
Berdasarkan analisis terhadap 18 terminal peti kemas di wilayah Pelindo I, II, III dan IV, kami menemukan

bahwa skor efisiensi bukan satu-satunya indikator tingkat pemanfaatan sumber daya.
Analisis kapasitas dilakukan untuk memperoleh rasio permintaan dan kapasitas sebagai indikator tingkat
pemanfaatan kapasitas.

Hasil Analisis DEA menghasilkan gagasan bahwa 7 dari 18 terminal peti kemas
teridentifikasi efisien yaitu untuk Tanjung Priok, JICT, Tanjung Perak, TPS, BJTI, Pelabuhan Makassar
dan UTPM. Sedangkan terminal petikemas lainnya termasuk dalam kategori terminal tidak efisien, yaitu
mempunyai kinerja efisiensi berkisar antara 20% hingga 96%.
Kinerja efisiensi terendah mengacu pada Pelabuhan Teluk Bayur dan Pelabuhan Jambi karena kelebihan
sumber daya dan lebih sedikit kargo yang masuk.

Dalam hal kapasitas dermaga, analisis menunjukkan bahwa 12 dari 18 terminal peti kemas memiliki rasio
lebih dari 80% permintaan dan kapasitas saat ini sebagai tolok ukur pemanfaatan kapasitas. Rasio yang
sangat tinggi terlihat di Pelabuhan Tanjung Perak disusul Pelabuhan Belawan, Pelabuhan Tanjung Priok,
TPS, KOJA, BJTI dan Pelabuhan Makassar. Analisis kapasitas juga menunjukkan hambatan yang terjadi
di terminal peti kemas utama di Indonesia: kemacetan pelabuhan. Tempat berlabuh telah dimanfaatkan
sepenuhnya namun setiap pelabuhan mempunyai kapasitas cadangan yang sulit dihitung. Hal ini
menjelaskan kecenderungan pemanfaatan kapasitas yang lebih tinggi di banyak pelabuhan di Indonesia.

Dari segi kapasitas halaman, 11 dari 18 terminal peti kemas telah mencapai rasio lebih dari 80%. Sekali
lagi, Pelabuhan Tanjung Perak memiliki rasio tertinggi dibandingkan semua pelabuhan lainnya
terminal peti kemas di Indonesia diikuti oleh Pelabuhan Tanjung Priok dan BJTI. Waktu tunggu yang lebih
lama diyakini menjadi faktor penyebab kekurangan kapasitas di sebagian besar terminal peti kemas di
Indonesia dan sekali lagi kemacetan ini masih menjadi masalah kritis bagi semua pelabuhan peti kemas
di Indonesia. Mirip dengan tempat berlabuh, halaman juga demikian
dimanfaatkan sepenuhnya tetapi setiap port memiliki desain awal yang berbeda sehingga agak sulit
menemukan pola yang dapat menjelaskannya.

Dengan menggabungkan analisis permintaan dan penawaran, hasilnya menunjukkan beberapa terminal
harus mulai berinvestasi untuk meningkatkan kapasitas mereka. Analisis juga menunjukkan
bahwa 7 dari 18 terminal peti kemas yang saat ini teridentifikasi efisien adalah
mengatasi masalah kemacetan sebagai faktor pendorong kemacetan parah.

6.2. Area untuk Penelitian Lebih Lanjut


Karena sifat metode DEA yang dicirikan sebagai model “sampel spesifik” , hasil pengukuran produktivitas
cenderung bergantung pada kumpulan data yang disertakan.
Selain itu, DEA hanya menganalisis tingkat kinerja berdasarkan efisiensi relatif antara seluruh DMU dalam
sampel. Ini tidak memberikan nilai efisiensi absolut karena berubah seiring dengan kumpulan data.
Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah ketersediaan data panel untuk fasilitas, peralatan dan kinerja
operasional seluruh terminal peti kemas karena dikelola oleh badan usaha milik negara yang berbeda.

75
Machine Translated by Google

Untuk penelitian selanjutnya, penting untuk memperluas model DEA dengan menggunakan model DEA
lain seperti DEA BCC yang berorientasi pada output yang dikombinasikan dengan indeks malmquist untuk
mendapatkan perubahan produktivitas dari waktu ke waktu. Selain itu, penting juga untuk menggunakan
data yang tepat mengenai ukuran panggilan, Teu Ground Slot (TGS) dan waktu tunggu (dwelling time)
yang akan membantu Anda mengetahui kapasitas yang tepat dari setiap terminal peti kemas.

Oleh karena itu, kombinasi model DEA dengan analisis kapasitas memberikan informasi yang berguna bagi
manajemen Pelindo untuk memahami posisi mereka mengenai kinerja efisiensi dan investasi yang tepat
untuk mengatasi kemacetan yang ada.
Terakhir, langkah-langkah perbaikan lebih lanjut yang dilakukan pada terminal peti kemas akan
meningkatkan tingkat kepuasan pengirim kapal dan memperkuat tingkat persaingan terminal peti kemas di
Indonesia.

6.3. Rekomendasi Dengan


mempertimbangkan hasil kajian yang kami peroleh dengan menggunakan model DEA, maka manajemen
Pelindo hendaknya mempertimbangkan untuk mengambil berbagai langkah perbaikan yang diperlukan
pada setiap terminal peti kemas guna meningkatkan kinerja efisiensi.

Analisis permintaan dan penawaran memberikan informasi mengenai kesesuaiannya


dan urgensi investasi di setiap terminal peti kemas. Oleh karena itu, manajemen Pelindo harus
mempertimbangkan investasi pada terminal peti kemas tergantung pada tingkat prioritas yang diperlukan
dan hal ini perlu dilakukan tidak hanya melalui investasi padat modal tetapi juga melalui program manajemen
kapasitas.

Sebaiknya manajemen Pelindo melakukan evaluasi secara berkesinambungan terhadap kinerja efisiensi
terminal peti kemas untuk meningkatkan nilai atau bahkan mempertahankan tingkat kinerjanya.

76
Machine Translated by Google

BIBLIOGRAFI

Andenoworih, TH (2010). Mengukur Efisiensi Relatif Terminal Kontainer di Indonesia. Tesis


MSc. Rotterdam, Belanda: Universitas Erasmus Rotterdam.

Artakusuma, A. (2012). Analisis Dwelling Time Kontainer Impor di Jakarta International


Container Terminal (JICT) Tanjung Priok (hlm. 1–4). Surabaya.
Diperoleh dari http://www.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2012/11/15008081-
Afif-Artakusuma.pdf

Baird, A. (2002). Tren privatisasi di 100 pelabuhan peti kemas teratas dunia., (Juli
2015). doi:10.1080/03088830210132579

Barros, CP (2006). Analisis Tolok Ukur Pelabuhan Italia Menggunakan Analisis Data
Envelopment. Ekonomi & Logistik Maritim, 8(4), hlm 347–365. doi:10.1057/
palgrave.mel.9100163

Bichou, K., & Gray, R. (2004). Pendekatan manajemen logistik dan rantai pasokan untuk
pengukuran kinerja pelabuhan. Kebijakan & Manajemen Maritim, 31(1), hal 47–67.
doi:10.1080/0308883032000174454

Bierwirth, C., & Meisel, F. (2010). Survei masalah alokasi tempat berlabuh dan penjadwalan
quay crane di terminal peti kemas. Jurnal Riset Operasional Eropa, 202(3), 615–627.
doi:10.1016/j.ejor.2009.05.031

Bisnis Indonesia. (2014). Pembangunan Terminal Peti Kemas Belawan Ditargetkan Tahun
2016. Diakses tanggal 15 Agustus, dari http://industri.bisnis.com/read/
2015,
20131101/98/184248/pengembangan petikemas-belawan-ditarget-
kelar-2016

Bottema, IU (2015). Peralatan Terminal dan Tokoh Utama. Rotterdam.

Brooks, MR, & Perkins, S. (2014). Investasi Pelabuhan dan Pengiriman Kontainer
Pasar.

Chung, KC (2005). Indikator Kinerja Pelabuhan. Departemen Transportasi, Air dan


Pembangunan Perkotaan Bank Dunia, PS-6 (Desember 1993), hal 1–5.
Diperoleh dari http://siteresources.worldbank.org/INTTRANSPORT/Resources/336291-

1119275973157/td-ps6.pdf

Cooper, WW, Seiford, LM & Zhu, J. (2011). Analisis Amplop Data (hlm. 1–
39). AS: Springer.

77
Machine Translated by Google

Cullinane, K., Lagu, D.-W., Ji, P., & Wang, T.-F. (2004). Penerapan Analisis DEA Windows pada
Efisiensi Produksi Pelabuhan Kontainer. Tinjauan Ekonomi Jaringan, 3(2), hlm 184–206.

De Langen, PW, van Meijeren, J., & Tavasszy, L.a. (2012). Menggabungkan model dan penelitian
rantai komoditas untuk membuat proyeksi keluaran pelabuhan jangka panjang: Penerapan
pada wilayah Hamburg-Le Havre. Jurnal Penelitian Transportasi dan Infrastruktur Eropa,
12(3), hlm 310–331.

Drewry. (2012). Tinjauan Bisnis Koridor Laut Utama Kontainer Domestik - Final
Laporan (Rahasia), Indonesia : Drewry

ekologi. (2015). Studi Internal Afrika Barat. Rotterdam. ekologi

Edmond, ED, & Maggs, RP (1978). Seberapa Bermanfaat Model Antrian dalam Keputusan
Investasi Pelabuhan untuk Tempat Berlabuh Kontainer? Jurnal Masyarakat Riset
Operasional, 29(8), hlm 741–750

Herrera, S., & Pang, G. (2008). Efisiensi infrastruktur: kasus pelabuhan peti kemas. Revista
Economia, (Januari).

Perusahaan Pelabuhan Indonesia. (2014). Laporan Tahunan IPC 2014. Jakarta.

Indonesia, S. (2015). Statistik Indonesia. Diakses tanggal 31 Juli 2015, dari http://www.bps.go.id/
Subjek/view/id/11

Jahiddin, S. (2010). Kapal Kontainer. Diakses pada 14 Agustus 2015, dari http://
belajarkapal.blogspot.nl/2011/11/kapal-container.html

Kasypi, M., & Shah, MZ (2007). Analisis Produktivitas Terminal Kontainer Pelabuhan Menengah.
Diperoleh 20, dariJuli
http://www.sustainability.utm.my/cipd/
2015,
files/2011/10/A-Productivity-Analysis-of Medium-Seaport-Container-Terminal.pdf

Knoema. (2013). Prakiraan Pertumbuhan PDB Indonesia 2013-2015 dan sampai dengan tahun
2060, Data dan Grafik. dari http://knoema.com/yubthm/indonesia-gdp-growth-
Diperoleh Juli 31, 2015,
forecast-2013-2015-and-up to-2060-data-and-charts

Langen, P.de, Nijdam, M., & Horst, M. van der. (2007). Indikator Baru untuk Mengukur Kinerja
Pelabuhan. Jurnal atau Penelitian Kelautan, 1(3). hal 23 -36

Lee, E.-S., & Lagu, D.-W. (2010). Manajemen pengetahuan untuk nilai logistik maritim: membahas
isu-isu konseptual. Kebijakan & Manajemen Maritim, 37(6), hal 563–583

Lee, H., Kuo, S.-G., & Chou, M.-T. (2005). Mengevaluasi Efisiensi Pelabuhan Di Kawasan Asia
Pasifik Dengan Analisis Envelopment Data Rekursif. Jurnal Masyarakat Studi Transportasi
Asia Timur, 6, hlm 544–559.

78
Machine Translated by Google

Wawasan Maritim. (2014). Throughput Kontainer dan Pembangunan Ekonomi. 2(2). dari
www.icms.polyu.edu.hk/research_maritimeInsight/2014-Summer-en/
Maritime Insight, Diperoleh http://
1.pdf

Marlow, PB, & Paixão Casaca, AC (2003). Mengukur kinerja port ramping.
Jurnal Internasional Manajemen Transportasi, 1(4), hlm 189–202.

Merk, O., & Dang, TT (2012). Efisiensi Pelabuhan Dunia dalam Kontainer dan Kargo Curah
(minyak, batubara, bijih dan biji-bijian). Makalah Kerja Pembangunan Daerah, (2012/09),
hal 1–28.

Mokhtar, K. (2013). Efisiensi Teknis Operasional Terminal Peti Kemas : Pendekatan Dea, 6(2).

Mokhtar, K., & Shah, M. (2013). Efisiensi Operasi di Terminal Kontainer: Metode Frontier.
Jurnal Bisnis dan Manajemen Eropa, 5(2), hal 91–
107.

Nur, HI, & Achmadi, T. (2014). Model Ukuran Kapal Optimal Untuk Koridor Pendulum
Nusantara. Dalam Seminar Nasional Manajemen Teknologi XX (hlm. 1–8).
Surabaya: Magister Teknologi Manajemen ITS Surabaya.

OECD. (2012). Tinjauan OECD tentang Reformasi Regulasi Indonesia Regulasi dan
Masalah Persaingan. Jakarta.

Pettit, SJ, & Beresford, AKC (2009). Pengembangan pelabuhan: dari gerbang ke pusat logistik,
(Juni 2015), 37–41.

Purwantoro, RN (2004). Efektivitas Kinerja Pelabuhan Menggunakan Data Envelopment


Analysis (DEA). Manajemen Pengusaha Indonesia, XXXIII(5).

R.Gray, & VFValentine. (2000). Pengukuran Efisiensi Pelabuhan menggunakan Analisis Data
Envelopment. Di bidang Transportasi dan Pelabuhan Maritim. Genoa.

Rankine, G. (2013). Membandingkan Kinerja Terminal Kontainer. Rotterdam:


Kemitraan Beckett Rankine.

Saanen, Y. (2015). Desain & Pengoperasian Terminal. Logistik Maritim 3. Handout.


Universitas Erasmus Rotterdam, Rotterdam, Belanda.

Saanen, Y., & Rijsenbrij, JC (2015). Perancangan Sistem dan Operasi pada Terminal Peti
Kemas. Logistik Maritim 3. Pembaca. Universitas Erasmus Rotterdam, Rotterdam,
Belanda..

Sari, EDLP (2014). Analisis Tolok Ukur Kinerja Terminal Peti Kemas: Studi Kasus di Perusahaan
Pelabuhan Indonesia (Rahasia). Tesis MSc.
Rotterdam, Belanda: Universitas Erasmus Rotterdam.

Schäfer, D. (2015). Tinjauan ke Depan Terminal Kontainer 2020. Diakses tanggal 15 Juli 2015,
dari http://www.ctf2020.info/

79
Machine Translated by Google

Seo, Y., Ryoo, D., & Aye, M. (2012). Analisis Efisiensi Pelabuhan Kontainer di ASEAN. Jurnal
Penelitian Navigasi dan Pelabuhan Korea Edisi Internasional, 36 (7), hlm 535 - 544.

Sharma, MJ, & Yu, SJ (2009). Stratifikasi dan pengelompokan berbasis kinerja untuk
benchmarking terminal peti kemas. Sistem Pakar dengan Aplikasi, 36(3), hlm 5016–5022.

Pencakar langit. (2013). Pelabuhan Kuala Tanjung. Diakses pada 15 Agustus 2015, dari http://
www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=1618296&page=3

Statistika, D. dari E. dan M. (2004). Produk Domestik Regional Bruto. (hlm. 85–88).
Jakarta. Diperoleh dari http://onlinelibrary.wiley.com/doi/
10.1002/cbdv.200490137/abstracthttp://www.b
i.go.id/id/statistik/metadata/sekda/Documents/8PDRBSEKDA1.pdf

Suryanto, D. (2015). Pengembangan Angkutan Multimoda dan Konektivitas Antar Wilayah.


Surabaya: PT Pelabuhan Indonesia III (Persero). Diperoleh dari http://www.slideshare.net/
IndonesiaInfrastructure/development-of-multimodal transportation-and-inter-regional-
connectivitiy

Susantono, B. (2012). Tinjauan sektor transportasi Indonesia.

Talley, WK (2006). Bab 22 Kinerja Pelabuhan: Perspektif Ekonomi.


Penelitian Ekonomi Transportasi, 17(06), hlm 499–516.

Tongzon, J. (2001). Pengukuran efisiensi pelabuhan-pelabuhan terpilih di Australia dan pelabuhan


internasional lainnya menggunakan analisis data envelopment q. Penelitian Transportasi
Bagian A, 35(2), hlm 107–122.

Ekonomi Perdagangan. (2015). Tingkat Pertumbuhan Tahunan PDB Indonesia. Diakses pada
16 Juli 2015, dari http://www.tradingeconomics.com/indonesia/balance-of-trade

Ekonomi Perdagangan. (2015). Neraca Perdagangan Indonesia. Diakses pada 16 Juli 2015, dari
http://www.tradingeconomics.com/indonesia/balance-of-trade

Persatuan negara-negara. (2005). Studi tentang Strategi Pengembangan Pelabuhan dan


Pelayaran Regional: Prakiraan Lalu Lintas Kontainer, Seri Monograf tentang Pengelolaan
Globalisasi (hlm. 26–31). New York: Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik.

Wang, T.-F., & Cullinane, K. (2006). Efisiensi Terminal Kontainer Eropa dan Implikasinya terhadap
Manajemen Rantai Pasokan. Ekonomi & Logistik Maritim, 8(1), hlm 82–99.

Wang, T.-F., Lagu, D.-W., & Cullinane, K. (2002). Penerapan Analisis Envelopment Data pada
Pengukuran Efisiensi Pelabuhan Kontainer (hal. 1–
22). Panama.

80
Machine Translated by Google

Berita Kargo Dunia. (2015). Apa yang terjadi dengan Portcullis. Diakses pada 14 Juli
2015, dari http://mpoverello.com/2014/10/17/container-traffic-to-hit-1-billion teu-
in-2020/

81
Machine Translated by Google
Machine Translated by Google

LAMPIRAN

Lampiran 1
Sarana dan Peralatan Pelabuhan Belawan
Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 675 HMC 1

Kedalaman (m) -5 hingga -7 Derek Bergerak 4

Luas Halaman Kontainer (m2 ) Forklift Diesel 80.288 3.500 11

Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs)

Tinggi Penumpukan (Tingkat) 4


Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

Fasilitas dan Peralatan BICT


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 950 CC 11


Kedalaman (m) -10 hingga -11 HMC 2
Transtainer MC
Luas Halaman Kontainer (m2 ) 214708
(RTG) 25
Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 14100 Reachstaker 4 7
Tinggi Penumpukan (Tingkat) hingga 6 Pemuat samping 3
Forklift Diesel 6
truk kepala 61
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

83
Machine Translated by Google

Sarana dan Peralatan Pelabuhan Tanjung Priok


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

PTP
Panjang (m) 1030 HMC 29
Kedalaman (m) -10 hingga -12 Derek 10

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 796121 QCC 17


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 30476 GLC 13
Tinggi Penumpukan (Tingkat) 5 Derek pantai 1
RTG 52
RMCG 9
Pemuat Atas 3
Penjangkau 20
Pemuat samping 1
Forklift 21
JICT
Panjang (m) 2150 QCC 19
Kedalaman (m) -11 hingga -14 RTG 74

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 547400 Penjangkau 5


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 15100 Pemuat Samping 6
Tinggi Penumpukan (Tingkat) 4 Forklift 21
Kepala Truk 139
KOJA
Panjang (m) 650 CC 7
Kedalaman (m) -13 RTG 25

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 218000 Penjangkau 3


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 15100 Kepala Truk 4 48
Tinggi Penumpukan (Tingkat)
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

Sarana dan Peralatan Pelabuhan Panjang


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 401 CC 3


Kedalaman (m) -7 hingga -16 Gantry Jib Crane 4

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 214.708 Pemancar 5


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 796.121 Pemuat Atas 1
Tinggi Penumpukan (Tingkat) Pemuat 4 Sisi 1
Forklift 7
truk kepala 13
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

84
Machine Translated by Google

Sarana dan Peralatan Pelabuhan Palembang


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 266 CC 3


Kedalaman (m) -6 hingga -9 Gantry Jib Crane 4

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 57.357 RMGC 4


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 4.376 Penjangkau 1
Tinggi Penumpukan (Tingkat) 5 Pemuat Samping 2
Forklift 16
truk kepala 14
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

Sarana dan Peralatan Pelabuhan Pontianak

Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 295 CC 2


Kedalaman (m) -6 Gantri Jib Derek 2

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 47.794 RMGC 4


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 3.753 Penjangkau 4
Tinggi Penumpukan (Tingkat) 5 Pemuat Samping 4
Forklift 10
Kepala Truk 4
Truk Jalan 6
Traktor Terminal 4
Truk 4
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

Sarana dan Peralatan Pelabuhan Teluk Bayur


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 222 GLC 4


Kedalaman (m) -10 hingga -11 Derek Bergerak 1

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 62.250 Pemuat Atas 1


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 4.825 Pemuat Samping 1
Tinggi Penumpukan (Tingkat) 5 Penjangkau 3
Forklift 4
Kepala Truk 10
Truk 4
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

85
Machine Translated by Google

Sarana dan Peralatan Pelabuhan Jambi


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 302 Mobile Crane -6 2


Kedalaman (m) hingga -9 Reachstaker 1

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 14.649 Forklift 10


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 1.855 Derek bergerak 2
Tinggi Penumpukan (Tingkat) 5 RMGC 3
Perbaiki jib crane 2
Kepala Truk 6
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

Sarana dan Peralatan Pelabuhan Tanjung Perak


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 320 Gantri Derek 3


Kedalaman (m) -8 HMC 6

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 34.880RTG 7


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 3.895 Forklift 1
Tinggi Penumpukan (Tingkat) 4 Truk 17
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

Sarana dan Peralatan Pelabuhan Banjarmasin


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 505 CC 4


Kedalaman (m) -7 Derek Bergerak 2

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 81.133RTG 11


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 6.460 Pemuat Samping 2
Tinggi Penumpukan (Tingkat) 5 Forklift 1
Kepala Truk 25
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

Sarana dan Peralatan TPKS


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 495 CC 5


Kedalaman (m) -10RTG 19

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 187.168 Pemuat Atas 1

Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 10.816 Pemuat Samping 2


Tinggi Penumpukan (Tingkat) 5 Penjangkau 3
Forklift 8
Kepala Truk dan
44
Traktor Terminal
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

86
Machine Translated by Google

Sarana dan Peralatan TPS


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 1.450 CC -9,5 11

Kedalaman (m) hingga -10,5 RTG 28

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 397.000 Penumpuk Jangkauan 6

Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 34.252 Forklift Skystacker 3

Tinggi Penumpukan (Tingkat) 4 atau 5 18


truk kepala 80
Pengangkat 7
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

Sarana dan Peralatan BJTI


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 1.420 HMC+LHM 23

Kedalaman (m) -6,5 hingga -9,6 RTG 15

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 43.301 Penumpuk Jangkauan 4

Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 7.426 Forklift 10

Tinggi Penumpukan (Tingkat) 6 Truk kepala+trailer 115


Truk halaman + sasis 12
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

Sarana dan Peralatan Pelabuhan Makassar


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 1.200 Mobile Crane -11 3


Kedalaman (m) hingga -13 Reachstacker 2

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 60.038 Forklift 5


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 2.925 Pemuat 1
Tinggi Penumpukan (Tingkat) 5 truk kepala 1
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

Sarana dan Peralatan UTPM


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 1.000 RTG -9 11


Kedalaman (m) hingga -12 Pemuat Samping 1

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 114.446 Penumpuk Jangkauan 2

Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 9.480 Forklift 7


Tinggi Penumpukan (Tingkat) 5 truk kepala 30
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

87
Machine Translated by Google

Fasilitas dan Peralatan BCT


Fasilitas (Berth untuk Kapal Kontainer) Peralatan (nomor)

Panjang (m) 365RTG 4


Kedalaman (m) -11 Penumpuk Jangkauan 2

Luas Halaman Kontainer (m2 ) 33.000 Forklift 5


Kapasitas Tempat Penampungan Kontainer (TEUs) 12.875 Truk Kepala 11
Tinggi Penumpukan (Tingkat) 4
Sumber : Penjelasan sendiri dari berbagai sumber

Lampiran 2

Kerangka Metodologi Penelitian


TERMINAL KONTAINER

MASALAH KEMBANGKAN EFISIENSI TERMINAL KUALITATIF :


Tinjauan Literatur KUANTITATIF
Analisis Deskriptif

Muatan
PENGUKURAN DAN Efisiensi Kapasitas
Hasil
Pertunjukan Analisis
KEPUTUSAN INVESTASI Peramalan
- Investasi dan
Kinerja Efisiensi Terminal
Kontainer
Analisis DEA Pengali
Tempat tidur dan
- Indikator Kinerja
Banyak masukan Memengaruhi
Kapasitas Halaman
- Analisis DEA & keluaran tunggal Peramalan
Terminal kontainer :
1. Pelabuhan Belawan
2. BICT
3. Pelabuhan Tanjung Priok
4. Pelabuhan Panjang
5. Pelabuhan Palembang
6. Pelabuhan Pontianak
7. Pelabuhan Teluk Bayur
8. Pelabuhan Jambi
Kapasitas dan
9. JICT
Tuntutan
10. KOJA
Analisis
11. Pelabuhan Tanjung Perak
12. Pelabuhan Banjarmasin
13. Terminal PetikemasSemarang
14. Terminal Petikemas Surabaya
15. Berlian Jasa Terminal Iindonesia
16. Pelabuhan Makassar
EVALUASI KOMPREHENSIF
17. Unit Terminal Petikemas Makassar
18. Terminal Kontainer Bitung

WAKTU DAN JENIS


INVESTASI

KEPUTUSAN INVESTASI UNTUK MENGATASI KEMAMPUAN


MASALAH KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI

Sumber: Pengaturan sendiri

88
Machine Translated by Google

Lampiran 3
Data Mentah Untuk Masukan

Sumber: Penjelasan sendiri berdasarkan berbagai sumber

89
Machine Translated by Google

Lampiran 4

Hasil DEA-Stata
nama:delog
log: D:\Pelajari Resmi @MEL\Tesis\Jalankan STATA\dea.log
jenis log: teks
dibuka pada: 8 Agustus 2015, 02:06:38

pilihan: RTS(CRS) ORT(IN) STAGE(2)


Hasil Efisiensi DEA Berorientasi CRS-INPUT:
referensi: referensi: referensi: referensi: referensi: referensi: referensi: referensi: referensi: referensi: referensi:

pangkat theta 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
dmu:1 14.328455 . . .0186622 . . . . . . . 0
dmu:2 8 .965888 . . . . . . . . .179431 . .41609
dmu:3 1 1 . . 1 . . . . . 0 . .
dmu:4 16.231989 . . .0003101 . . . . . . . .177403
dmu:5 15.291154 . . . . . . . . . . .223087
dmu:6 13.733109 . . . . . . . . . . .250149
dmu:7 18.193116 . . . . . . . . . . .101516
dmu:8 17 .19536 . . . . . . . . . . .035487
dmu:9 1 1 . . 0 . . . . . 1 . .
dmu:10 9 .902886 . . . . . . . . .0280746 . 1.20824
dmu:11 1 1 . . 0 . . . . . 0 . 1
dmu:12 10.885023 . . . . . . . . .0330759 . .293802
dmu:13 11 .816602 . . . . . . . . .0051272 . .811515
dmu:14 1 1 . . 0 . . . . . 0 . 0
dmu:15 6 1 . . . . . . . . . . .
dmu:16 7 1 . . . . . . . . . . .0117542
dmu:17 1 1 . . 0 . . . . . . . 0
dmu:18 12 .79483 . . . . . . . . . . .165669

referensi: referensi: referensi: referensi: referensi: referensi: referensi: islack: islack: islack: islack: islack: islack:
12 13 14 15 16 17 18 CY MD hal QC YS V
dmu:1 . . . . . . . 11.5143 2.07524 202.485 . 251.374 .
dmu:2 . . . . . .398667 . 49.0242 . . . 6524,87 14,9446
dmu:3 . . 0 . . . . 0 . . . 0 0
dmu:4 . . . . . . . 10,9644 2,28888 35,9391 . 545.976 .
dmu:5 . . . . . .0060592 . 8.22501 .762981 . . 1704.66 .101904
dmu:6 . . . . . .13622 . 10.7232 .76283 8.79e-06 . 4253,72 4,85685
dmu:7 . . . . . .0103865 . 7.29189 1.38062 1.59e-06 . 220.484 .666251
dmu:8 . . . . . .0142672 . 1.75e-07 1.30313 33.3755 . 1968.73 .140862
dmu:9 . . 0 . . . . 0 . . . 0 0
dmu:10 . . . . . .139878 . 123.309 . . . 2207.58 14.6997
dmu:11 . . . 0 . . . . . . 0 . 0
dmu:12 . . . . . .281807 . 11.1994 . .0000571 . 467.495 4.07919
dmu:13 . . . . . .13351 . 106.45 . . . 3575.72 17.4168
dmu:14 . . 1 . . . . . . . . 0 0
dmu:15 . . . 1 . . . . 0 0 0 1.09e-11 0
dmu:16 . . . . . . . 59.628 12.906 1196.24 2.89421 1127.26 .800179
dmu:17 . . . . . 1 . 0 0 0 . 0 .
dmu:18 . . . . . .178695 . . 5.27345 58.4045 . 11498.6 .565929

islack: oslack:
GL T
dmu:1 .582261 .
dmu:2 3.76498 .
dmu:3 0 .
dmu:4 .107931 .
dmu:5 .124016 .
dmu:6 2.1597 .
dmu:7 .162426 .
dmu:8 .291211 .
dmu:9 0 .
dmu:10 2.35611 .
dmu:11 0 .
dmu:12 1,95889 .
dmu:13 1.3097 .
dmu:14 0 .
dmu:15 0 .
dmu:16 1.97649 .
dmu:17 . .
dmu:18 .900934 .
nama:delog
log: D:\Pelajari Resmi @MEL\Tesis\Jalankan STATA\dea.log
jenis log: teks
tutup pada: 8 Agustus 2015, 02:06:50

Sumber: Elaborasi sendiri

90
Machine Translated by Google

Lampiran 5

Rasio Permintaan Saat Ini terhadap Kapasitas

1440
1360
1280
1200
1120
1040
960
880
800
720
640
560
480
400
320
240
160
80
0

Sumber: Modifikasi sendiri

Rasio Permintaan Saat Ini terhadap Kapasitas Tempat Berlabuh yang Dihitung

510
480
450
420
390
360
330
300
270
240
210
180
150
120
90
60
30
-

Sumber: Modifikasi sendiri

Rasio Permintaan Saat Ini terhadap Kapasitas Halaman yang Dihitung

91
Machine Translated by Google

Lampiran 6

Evaluasi Setiap Terminal Kontainer

1. Pelabuhan Belawan
Efisiensi terminal yang dicapai Pelabuhan Belawan pada tahun 2014 menunjukkan rendah yaitu sebesar
32,85%, untuk mencapai angka efisien tersebut harus dikurangi 5 input yaitu luas lapangan peti kemas,
sarat maksimum, panjang dermaga, indeks penumpukan halaman dan lajur pintu. Hal ini juga dapat dicapai
dengan meningkatkan pangsa pasar kontainer sehingga meningkatkan throughput. Gambar 5
menggambarkan kapasitas berdasarkan kapasitas halaman dan kapasitas dermaga, menunjukkan bahwa
throughput turun drastis pada tahun 2013. Hal ini mungkin terjadi karena beroperasinya Terminal Kontainer
Internasional Belawan (BICT) pada tahun 2009. Ini adalah salah satu sub- unit di Pelabuhan Belawan
namun pada tahun 2009 menjadi anak perusahaan Pelindo I dengan pengelolaan sendiri terpisah dari
Pelabuhan Belawan dan dinyatakan sebagai terminal peti kemas khusus. Kargo peti kemas mulai beralih
ke BICT dan pada tahun 2013 lebih dari 96% produksi berpindah ke BICT. Gambar 5

juga menunjukkan bahwa meskipun throughput menurun namun masih lebih besar dari kapasitas dermaga
secara teoritis karena kapasitas dermaga sebesar 17.820 TEU/tahun dan throughput pada tahun 2013
sebesar 45.982 TEU/tahun. Oleh karena itu, investasi mengenai kapasitas dermaga harus dipertimbangkan
sejak saat ini karena sudah menunjukkan hambatan pada dermaga.
Sebaliknya untuk kapasitas yard masih mampu mendukung throughput hingga tahun 2030, selain itu inline
to slack mengakibatkan pengukuran efisiensi harus dikurangi dengan container yard. Faktanya, saat ini
Pelabuhan Belawan berencana mengembangkan car terminal sehingga seluruh muatan peti kemas
kemungkinan dialihkan ke BICT. Dalam hal ini investasi mengenai kapasitas halaman dan dermaga dapat
diabaikan dan fokus investasi akan pada pengembangan terminal mobil.

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 5 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Belawan

2. Terminal Kontainer Internasional Belawan (BICT)


BICT mempunyai efisiensi terminal yang tinggi yaitu sebesar 96,59% yang menunjukkan bahwa 4 input
harus dikurangi untuk mencapai kinerja efisien yaitu untuk luas lapangan peti kemas, indeks penumpukan
halaman, jalur kendaraan dan jalur gerbang. Meningkatkan throughput kontainer

92
Machine Translated by Google

secara kasar akan memaksimalkan pemanfaatan sumber sehingga meningkatkan efisiensi. Gambar
6 menyebarkan kapasitas sebagai pasokan terhadap throughput per tahun sebagai permintaan
dengan menggunakan gabungan data throughput untuk diperkirakan. Sejak dioperasikan pada
tahun 2009, kapasitas dermaga menunjukkan volume yang cukup dari kebutuhan, hal ini
kemungkinan disebabkan oleh pemanfaatan terminal Gabion sebagai terminal peti kemas yang
merupakan terminal lama. Oleh karena itu, investasi terkait dermaga harus dipaksakan pada tahun
2018 untuk menghindari kemacetan dalam penanganan peti kemas. Selain itu, untuk mengatasi
lonjakan permintaan throughput, Pelindo I telah melaksanakan proyek investasi sejak tahun 2014
terutama pada perluasan dermaga sebanyak 700m dan tambahan container crane jenis Post
Panamax yang akan selesai pada tahun 2016 (Bisnis Indonesia, 2014). Hal ini dinilai sebagai
investasi yang tepat karena diperkirakan akan terjadi kemacetan pada tahun 2018, perluasan
dermaga dapat mengatasi permasalahan kemacetan. Sebaliknya untuk kapasitas pekarangan,
sejak tahun 2009 sudah terlihat lebih rendah dari permintaan karena saat ini throughput sudah
mencapai 900,395 TEU/tahun sedangkan kapasitas hanya mampu mendukung 510.324 TEU/tahun.
Investasi terkait luas pekarangan harus diberlakukan untuk menghindari kemacetan di luas
pekarangan sekaligus mengurangi waktu tinggal di BICT yang selama ini dikatakan 7 hingga 10 hari.
Beban BICT kemungkinan besar disebabkan oleh fakta bahwa saat ini Pelindo I telah membangun
pengembangan Pelabuhan Kuala Tanjung (provinsi yang sama dengan BICT, Sumatera Selatan)
yang mampu menangani 1 hingga 2 juta TEUs per tahun. Pelabuhan Kuala Tanjung digadang-
gadang menjadi pelabuhan penghubung di Sumatera Selatan Biaya Timur untuk mengimbangi
Singapura dan Port Klang, Malaysia (Skyscrapercity, 2013).

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 6 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga BICT

3. Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta International Container Terminal (JICT


– IPC – Hutchison) dan Koja (IPC – Hutchison)
Pelabuhan Tanjung Priok, JICT dan KOJA terletak di wilayah yang sama dan berperan penting
sebagai pintu gerbang perekonomian bagi banyak kawasan kawasan industri di sekitar ibu kota
Jakarta dan juga berperan sebagai pusat transshipment bagi banyak pelabuhan pengumpan kecil
di negara ini. Pelabuhan Tanjung Priok dan JICT termasuk dalam kategori terminal efisien karena
skor efisiensinya sama dengan 1, sedangkan KOJA 0,9029.

93
Machine Translated by Google

Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9 menyebarkan kapasitas sebagai pasokan terhadap throughput


per tahun sebagai permintaan dengan menggunakan gabungan data throughput untuk diperkirakan
di Pelabuhan Tanjung Priok, JICT dan KOJA. Kemacetan parah terlihat di sini, karena semua
terminal menunjukkan melebihi kapasitasnya baik di halaman maupun tempat berlabuh. Kinerja
efisiensi yang ditunjukkan ketiga terminal ini belum mencerminkan kondisi sempurna; memanfaatkan
input minimum untuk menghasilkan output maksimum. Oleh karena itu, jika terjadi kemacetan baik
di halaman maupun tempat berlabuh, investasi terkait harus segera diperhitungkan untuk mengatasi
masalah ini dan untuk menjamin kepuasan layanan bagi perusahaan pelayaran sebagai konsumen
utama karena memerlukan jadwal keandalan kapal.
Selain itu, saat ini Pelindo I berupaya untuk meningkatkan kapasitas dan permasalahan kemacetan
dengan mengembangkan Terminal NewPriok yang memungkinkan kelas Triple E (12.000 – 15.000
TEUs) berkunjung ke Indonesia tanpa transshipment karena ukuran kapal maksimum yang
diperbolehkan untuk ditangani oleh Tanjung Priok adalah 6.000 TEUs. Menurut Indonesia Port
Corporation (2014) pada akhir tahun 2014, progres NewPriok sebesar 38,28%. Proyek ini dibagi
menjadi 2 tahap, tahap pertama selesai pada tahun 2017 dengan kapasitas 4,5 juta TEU/tahun
sedangkan tahap kedua direncanakan tahun 2018 – 2023 dengan total kapasitas 8 juta TEU.
Investasi pada NewPriok dianggap sebagai investasi yang tepat karena perkiraan permintaan terus
menunjukkan peningkatan. Pada akhir tahun 2025, diperkirakan total permintaan di Pelabuhan
Tanjung Priok, JICT dan KOJA sekitar 20,5 juta TEU dan pengembangan NewPriok masih belum
cukup untuk mendukung permintaan tersebut. Perbaikan lain harus dipertimbangkan untuk
mengatasi masalah kemacetan seperti mengurangi waktu tunggu dan meningkatkan produktivitas
crane.

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 7 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Tanjung Priok

94
Machine Translated by Google

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 8 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga JICT

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 9 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga KOJA

4. Pelabuhan Panjang
Kinerja efisiensi Pelabuhan Panjang dikategorikan rendah sebesar 23,20%, agar lebih efisien
Pelabuhan Panjang harus mengurangi 5 input yaitu luas lapangan peti kemas, sarat maksimum,
panjang dermaga, indeks penumpukan halaman dan jalur gerbang. Oleh

95
Machine Translated by Google

Gambar 10 menggambarkan bahwa kemacetan bukanlah isu saat ini karena kapasitas mampu
mendukung permintaan throughput, sehingga rasio permintaan dan kapasitas hanya 45%. Pada
tahun 2023, ketika permintaan produksi tampaknya mencapai 200.000 TEU/tahun, kemacetan pun
dimulai. Pelindo II sebagai induk Pelabuhan Panjang harus mempertimbangkan investasi terkait
peningkatan kapasitas lapangan dan dermaga untuk mengatasi masalah kemacetan.

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 10 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Panjang

5. Pelabuhan Palembang
Pelabuhan Palembang termasuk dalam kategori terminal peti kemas yang tidak efisien karena
efisiensinya hanya sebesar 29,12%, sehingga batas efisien dapat dicapai dengan mengurangi input
yaitu pada lapangan peti kemas, sarat maksimum, kapasitas penumpukan lapangan, kendaraan
internal dan jalur gerbang. Dari segi kapasitas dermaga masih cukup untuk mendukung permintaan
throughput saat ini karena throughput pada tahun 2013 hanya 122.155 TEU/tahun dan kapasitas
yang mampu membantu sebesar 200.378 TEU/tahun. Pada tahun 2018, kemacetan akan menjadi ancaman
karena kebutuhan sudah melebihi kapasitas yang disediakan, maka Pelindo II harus meningkatkan
program investasi terkait kapasitas dermaga untuk menghindari kemacetan di Pelabuhan
Palembang. Selain itu, pada akhir tahun 2014 kapasitas pekarangan terkait investasi sudah harus
dipertimbangkan karena pada titik inilah terjadi kemacetan akibat surplus permintaan. Kegiatan
stuffing dan stripping di dalam container yard juga berkontribusi terhadap masalah kemacetan
karena container yard seharusnya menjadi area khusus untuk penyimpanan container.

96
Machine Translated by Google

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 11 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Palembang

6. Pelabuhan Pontianak
Kinerja efisiensi Pelabuhan Pontianak sebesar 73,31%, input yang dikurangi untuk mencapai
kondisi efisien adalah lapangan peti kemas, sarat maksimum, panjang dermaga, kapasitas
penumpukan lapangan, kendaraan internal dan jalur gerbang. Gambar 12 menunjukkan
bahwa saat ini kemacetan sudah menjadi masalah serius karena kedua kapasitas tersebut
tidak lagi memadai untuk mengakomodasi permintaan throughput. Selain itu, investasi
kapasitas dermaga dan halaman seharusnya sudah dimulai 5 tahun yang lalu. Fakta bahwa
kegiatan stuffing dan stripping karet dan triplek yang dilakukan di dalam container yard juga
berkontribusi terhadap tingkat kemacetan.

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 12 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Pontianak

97
Machine Translated by Google

7. Pelabuhan Teluk Bayur dan Pelabuhan Jambi


Baik Pelabuhan Teluk Bayur maupun Pelabuhan Jambi mempunyai kinerja efisiensi yang sangat
rendah kurang dari 20% beberapa masukan juga harus dikurangi yaitu untuk lapangan peti kemas,
sarat maksimum, panjang dermaga, kapasitas penumpukan lapangan, kendaraan internal dan jalur gerbang.
Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa Pelabuhan Teluk Bayur dan Pelabuhan Jambi dilengkapi
dengan sumber daya yang cukup tetapi muatan yang masuk lebih sedikit. Kinerja yang lebih baik
dapat dicapai dengan meningkatkan sistem operasi untuk menangkap pangsa pasar kontainer yang
lebih baik dan mendapatkan lebih banyak manfaat dari pasar potensial. Gambar 13 menunjukkan
supply dan demand Pelabuhan Teluk Bayur, mencerminkan kapasitas dermaga telah mencapai titik
optimal yang dapat menyebabkan kemacetan dan meningkatkan waktu tunggu kapal sementara
kapasitas halaman lebih dari cukup untuk mendukung permintaan throughput hingga tahun 2023.
Oleh karena itu, kebutuhan mendesak adalah investasi yang berhubungan dengan kapasitas dermaga.
Sebaliknya untuk Pelabuhan Jambi, pada Gambar 14 baik kapasitas yard maupun kapasitas dermaga
cukup untuk mendukung permintaan throughput. Khusus untuk kapasitas dermaga, sudah lebih dari
cukup untuk memenuhi kebutuhan throughput peti kemas dalam jangka panjang dan manajemen
Pelindo II juga bisa mengalokasikan investasinya ke cabang lain.

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 13 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Teluk Bayur

98
Machine Translated by Google

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 14 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Jambi

8. Pelabuhan Tanjung Perak, Terminal Petikemas Surabaya (TPS) dan Berlian Jasa
Terminal Indonesia (BJTI)
Pelabuhan Tanjung Perak, TPS dan BJTI tergolong terminal petikemas yang efisien mutlak
karena nilai efisiensinya sama dengan 1 dan tidak terjadi slack. Kinerja efisien yang ditunjukkan
kedua terminal belum mencerminkan kondisi optimal dimana input minimum digunakan untuk
menghasilkan output maksimal; itu digambarkan oleh Gambar 15
dan Gambar 16. Kapasitas Pelabuhan Tanjung Perak hanya 1,3 ratus ribu TEU/tahun dari segi
kapasitas yard dan 45 ribu TEU/tahun dari kapasitas dermaga sedangkan kebutuhan throughput
pada tahun 2014 lebih dari 6 ratus ribu. Dengan demikian, mengindikasikan adanya kemacetan
pada kedua sumber daya tersebut menyebabkan terjadinya kemacetan di Pelabuhan Tanjung
Perak sebagai pelabuhan terbesar kedua di Indonesia. Kondisi serupa juga terjadi di BJTI, baik
kapasitas dermaga maupun yard sudah tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan
throughput saat ini karena kapasitas dermaga kurang dari 8 ratus ribu TEU/tahun untuk dermaga
dan 2,5 ratus ribu untuk yard sedangkan throughput dihitung sebesar lebih dari 9 ratus ribu TEU/
tahun. Kemacetan parah juga terjadi di BJTI.
Investasi baik untuk tempat berlabuh maupun halaman harus segera diatasi jika tidak kinerja
operasional kedua terminal akan menurun dan berakhir pada ketidakpuasan pelanggan karena
bisnis pelayaran kapal merupakan bisnis terjadwal yang memerlukan keandalan sistem tempat
berlabuh dan penanganan. Oleh karena itu, BJTI telah menetapkan investasi yang sesuai pada
tahun 2015 yaitu untuk pembangunan CY baru di eks Indomarco, eks PTPN X, eks. AKR dan
eks. Tanah Yonif Marinir. Gambar 17 menunjukkan kapasitas Terminal Petikemas Surabaya
(TPS) yang menggambarkan kecenderungan kondisi kemacetan yang sama karena sudah
melebihi kapasitas. Permintaan TPS telah mencapai lebih dari 1,3 juta TEU/tahun pada tahun
2013 sedangkan kapasitasnya kurang dari 8 ratus ribu TEU/tahun untuk dermaga dan 1,1 juta
TEU/tahun untuk CY. Oleh karena itu, TPS telah merencanakan untuk melakukan investasi pada
CY baru pada tahun 2016 yang terletak di arah Utara Blok T. Ini merupakan investasi yang tepat
untuk mengatasi masalah kemacetan namun yang perlu diperhatikan adalah investasi dalam jangka waktu berlabuh.

99
Machine Translated by Google

Selain itu, untuk mengatasi permasalahan kemacetan, Manajemen Pelindo III telah
mendirikan terminal peti kemas baru yaitu Terminal Teluk Lamong yang terletak dekat
Pelabuhan Tanjung Perak dan BJTI. Teluk Lamong sebagai terminal peti kemas canggih
pertama (sejak terminal peti kemas otomatisnya) baru beroperasi pada tahun 2014 dan
mampu menangani peti kemas sekitar 1,5 juta TEU/tahun. Sedangkan Terminal Mirah
sebagai terminal petikemas Tanjung Perak direncanakan menjadi terminal general cargo,
RORO dan car port. Selain itu, saat ini Pelindo III telah mendirikan mega proyek bernama
Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) yang berlokasi di Manyar, Gresik.
Merupakan kawasan industri dan pelabuhan terintegrasi berskala besar yang memiliki
kapasitas peti kemas hingga 6 juta TEUs/tahun dan beroperasi pada tahun 2017.

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 15 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Tanjung Perak

100
Machine Translated by Google

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 16 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga BJTI

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 17 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga TPS

9. Pelabuhan Banjarmasin dan Terminal Petikemas Semarang (TPKS)


Kinerja efisiensi Pelabuhan Banjarmasin dan TPKS mencapai lebih dari 80%. Pelabuhan
Banjarmasin harus mengurangi seluruh masukan untuk masuk dalam kategori terminal peti
kemas yang efisien sedangkan TPKS hanya perlu mengurangi luas lapangan peti kemas, halaman

101
Machine Translated by Google

indeks penumpukan, kendaraan internal dan lajur gerbang. Pelabuhan Banjarmasin terhitung kekurangan kapasitas
sejak pertama kali beroperasi dimana saat itu kebutuhan sudah mencapai lebih dari 200 ribu TEU/tahun sedangkan
kapasitasnya sekitar 200 ribu TEU/tahun. Seiring berjalannya waktu, peningkatan permintaan menyebabkan
hambatan pada kedua sumber daya tersebut. Manajemen Pelindo III harus mempertimbangkan investasi pada kedua
sumber daya tersebut untuk memenuhi rasio minimum permintaan dan pasokan di terminal peti kemas yang terhitung
sebesar 80%. Oleh karena itu, Pelabuhan Banjarmasin mempunyai investasi yang tepat untuk mengatasi kemacetan
di dermaga dan halaman seperti:

1. Pembangunan dermaga baru pada tahun 2015 dengan panjang dermaga 150m (bekerja sama dengan PT.
TLMI);
2. Pembangunan dermaga baru pada tahun 2017 dengan panjang dermaga 160 m;
3. Pembangunan CY seluas 1,5 Ha di Terusan Bromo pada tahun 2016;
4. Pembangunan CY baru di Terusan Bromo pada tahun 2016; 5.
Pembangunan CY baru yang berlokasi di eks PT Hendratna pada tahun 2014;
6. Perpanjangan dermaga terminal Martapura Baru sepanjang 50 m pada tahun 2014;
7. Pembangunan baru dermaga peti kemas yang terletak di eks terminal batubara dan eks Tonasa 265 mx 36 m
pada tahun 2016;
8. Pembangunan CY baru seluas 2 Ha yang berlokasi di Lumba-lumba pada tahun 2017;
9. Pembangunan CY seluas 5.000 m2 yang berlokasi di eks kantor bea cukai pada tahun 2017;
10. Pembangunan CY seluas 1.000 m2 yang berlokasi di bekas kantor engineering pada tahun 2017;
11. Pembangunan CY seluas 8.500 m2 yang berlokasi di eks Tonasa pada tahun 2017;
12. Pembangunan CY kosong yang berlokasi di eks rumah dinas pada tahun 2017.

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 18 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Banjarmasin

Dalam hal kapasitas dermaga, TPKS menunjukkan kondisi kemacetan sejak tahun 2013, namun untuk kapasitas
halaman menggambarkan kelebihan permintaan sejak tahun 2011. Pada tahun 2013, ketika permintaan throughput
dihitung sebesar 500 ribu dan kapasitas dermaga kurang dari angka tersebut, kemacetan mulai menjadi isu yang
moderat. . Oleh karena itu, TPKS harus mulai melakukan investasi untuk meningkatkan kapasitas dermaga dan
halaman.

102
Machine Translated by Google

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 19 Kapasitas Optimal Halaman dan Tempat Berlabuh TPKS

Saat ini TPKS telah melakukan investasi terkait kapasitas yaitu pembangunan dua CY baru seluas 3,2
Ha dan dermaga. Pada tahun 2016, akan ada CY baru yang berlokasi di eks AKR. Diperlukan informasi
mendalam mengenai desain CY dan tempat berlabuh agar dapat dikatakan bahwa CY dan tempat
berlabuh yang baru telah mengatasi masalah kemacetan.

10. Pelabuhan Makassar dan Unit Terminal Petikemas Makassar (UTPM)


Pelabuhan Makassar dan UTPM terletak pada wilayah yang sama namun terminalnya berbeda, keduanya
memiliki skor efisiensi sebesar 1. Perbedaannya adalah Pelabuhan Makassar dikategorikan kurang
efisien karena adanya slack pada input sedangkan UTPM tergolong terminal peti kemas efisien absolut.
Pelabuhan Makassar memiliki throughput yang sangat kecil yaitu kurang dari 10 ribu TEU/tahun dan
kapasitas hampir 100 ribu TEU/tahun, hal ini jauh lebih dari cukup untuk menangani permintaan
throughput. Pangsa pasar peti kemas di Pelabuhan Makassar patut diabaikan karena sangat kecil,
kemungkinan besar terjadi karena adanya UTPM yang berada di wilayah yang sama namun dalam
pengelolaan yang berbeda. Fenomena ini didukung oleh fakta bahwa UTPM mempunyai throughput lebih
dari 500 ribu TEU/tahun dan didukung oleh kapasitas lebih dari 1 juta TEU/tahun dalam hal dermaga
sedangkan kapasitas yard lebih dari 3 ratus ribu TEU/tahun. Oleh karena itu, pada tahun 2023 masalah
kemacetan harus diatasi karena pada saat itulah permintaan sudah melampaui kapasitas. Dalam hal
kapasitas pekarangan, UTPM sebaiknya mulai merencanakan investasi karena sudah melebihi
kapasitasnya.

Selanjutnya Pelindo IV berencana mengembangkan Makassar New Port sebagai bagian dari proyek tol
laut yang menargetkan volume peti kemas sekitar 4,2 juta TEU/tahun dan akan dioperasikan pada tahun
2018. Berdasarkan proyeksi throughput, diketahui bahwa pada tahun 2030 throughput di UTPM kurang
dari 2 juta TEUs. Jadi, Pelabuhan Baru Makassar

103
Machine Translated by Google

bisa jadi merupakan proyek berlebihan yang akan menghasilkan kelebihan kapasitas karena
permintaannya kurang dari 2 juta TEU/tahun.

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 20 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga Pelabuhan Makassar

Sumber: Perhitungan sendiri

Gambar 21 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga UTPM

Selain itu, Makassar New Port diperkirakan akan dioperasikan pada tahun 2018 dan permintaan
throughput pada tahun tersebut diperkirakan kurang dari 1 juta TEU/tahun. Investasi

104
Machine Translated by Google

di Makassar New Port akan menjadi investasi besar karena permintaan tidak sebesar pasokan dan
UTPM cukup besar untuk dijadikan jalur tol laut.
Oleh karena itu, investasi yang tepat adalah pada kapasitas pekarangan UTPM karena sudah
melebihi kapasitas optimal. Selain itu, investasi untuk meningkatkan kapasitas lapangan tidak
semahal investasi pada terminal peti kemas baru.

11. Terminal Kontainer Bitung (BCT)


Kinerja efisiensi yang dicapai oleh BCT sebesar 79,48%, perlu dikurangi 5 input yaitu draft maksimum,
panjang dermaga, indeks penumpukan halaman, kendaraan internal dan jalur gerbang agar BCT
mencapai kinerja efisien. Gambar 22 menggambarkan fakta bahwa BCT masih menyediakan
kapasitas yang cukup baik untuk halaman maupun tempat berlabuh. Kapasitas dermaga meningkatkan
daya dukung maksimumnya pada tahun 2018 ketika permintaan mencapai 300.000 TEU/tahun.
Selain itu, pada tahun 2022 kapasitas pekarangan diperkirakan akan membebani melebihi daya
dukungnya karena permintaan throughput hampir mencapai nilai kapasitas pekarangan optimum
sekitar 4,5 ratus ribu TEU/tahun.
Selain itu, manajemen Pelindo IV telah mengambil satu langkah lebih jauh dengan mengembangkan
BCT sebanyak 3 tahap. Tahap pertama diperkirakan selesai pada tahun 2017, meliputi perluasan CY
sebesar 6,5 Ha dan perluasan dermaga sebesar 500m. Tahap kedua dimulai pada tahun 2018 dan
direncanakan selesai pada tahun 2022, mencakup perluasan CY sebesar 46,8 Ha dan perluasan
dermaga sebesar 250 meter. Fase terakhir berfokus pada perluasan CY tambahan dan terminal massal.
Berdasarkan analisis permintaan dan kapasitas, dapat dinilai bahwa Pelindo IV telah melakukan
investasi yang hampir tepat. Pada tahun 2018, throughput telah melampaui kapasitas dermaga dan
ditutupi oleh perluasan dermaga yang diperkirakan akan tersedia pada tahun 2017. Selain itu, karena
kapasitas yard mampu menutupi throughput hingga tahun 2022, tidak ada alasan kuat untuk
memperluas CY pada tahun 2017. Investasi semacam ini sebaiknya ditunda atau dipindahkan ke
tahap kedua yang diperkirakan selesai pada tahun 2022, tahun ketika kapasitas pekarangan telah
terlampaui. Analisis mendalam untuk mengevaluasi sisi permintaan dan penawaran yang didukung
oleh data rinci akan menghasilkan hasil yang komprehensif untuk menentukan tambahan kapasitas
yang dapat diserap oleh terminal.

Sumber : Perhitungan sendiri

Gambar 22 Kapasitas Optimal Yard dan Dermaga BCT

105
Machine Translated by Google

106

Anda mungkin juga menyukai