Anda di halaman 1dari 14

RINGKASAN BUKU YULIA SISKA BAB IV DAN V

“GEOGRAFI MANUSIA DAN TATA WILAYAH DAN


KEPENDUDUKAN DI INDONESIA”

Disusun untuk memenuhi tugas.

Dosen Pengampu: Dr. Midawati, M.Hum

Oleh:

Nabilah Nur Yasinda

2010712022

ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ANDALAS

2021
BAB IV

GEOGRAFI MANUSIA
Geografi manusia (sosial) adalah sub bidang interdispliner yang menggabungkan
pendekatan geografi akademik dengan subjek tradisional ilmu sosial, menekankan masalah
penduduk seperti parawisata, urbanisasi, dan sebagainya.

A. Hakikat Geografi Manusia


Geografi secara makro dikelompokkan dalam dua sub-disiplin, yakni geografi fisik dan
geografi manusia yang sebagian para ahli menyebutnya sebagai geografi sosial. Geografi
sosial adalah sebuah sub-displin geografi yang subjeknya mengait-ngaitkan ilmu-ilmu sosial
dan alamiah serta meliputi topik-topik mulai dari tektonik sampai psikoanalisis (Smith, 2000:
981). Menurut Hermawan (2009:58) geografi manusia merupakan cabang geografi yang
bidang kajiannya adalah aspek keruangan gejala di permukaan bumi dengan manusia sebagai
objek pokok studinya. Objek pokok studi geografi manusia mencakup aspek kependudukan,
aktivitas yang meliputi aspek ekonomi, politik, sosial dan budayanya. Geografi manusia atau
antropogeografi adalah cabang dalam disiplin ilmu geografi yang ditujukan untuk analisis
lokasi, distribusi, dan organisasi spasial dari hubungan manusia. Untuk pertama kalinya
istilah geografi sosial digunakan, yakni pada tahun 1884, ketika Elise Rectus mengacunya
setiap hubungan yang rumit, antara manusia dengan alam. Ahli geografi yang lain, mengikuti
pandangan Fitzgerald dalam (1946), bahwa sebuah kepentingan dalam sosial pada hakikatnya
dapat dikejar dalam pengertiannya sendiri, sebagai sebuah wilayah yang berbeda dari kajian-
kajian aspek kehidupan politik dan ekonomi. Terdapat dua pendekatan dalam kajian geografi
manusia/sosial. Pertama, pendekatan yang menekankan struktur dari hubungan sosial
sehingga bidang ini layak sebagai ilmu sosial, contoh, dalam buku Jacson dan Smith dalam
bukunya Exploring Social Geography menganggap bahwa geografi sosial sebagai “kajian
bagaimana kehidupan sosial terbentuk secara geografis melalui struktur-struktur spasial dari
hubungan sosial”. Kedua, pendekatan dari rekonstruksi ini tertuju pada pencharian relevansi
di akhir periode progresivisme. Menjelang akhir tahun 1960-an, nampak bahwa permasalahan
sosial di sunia semakin memburuk, selain itu ketimpangan sosial mengalami eskalasi. Sejak
tahun 1970-an, terdapat dua teks utama yang membantu para ahli geografi sosial
mengembangkan sbuah peran kritis dan kostruktif dalam tatanan masyarakat yang tidak adil.
Pertama, karya David Harvey dalam bukunya Social Justice and the city, ia membawa pesan
politis yang kuat serta menghancurkan ilmu sosial yang “bebas nilai” agar ilmu sosial mampu
membawa perubahan sosal yang radikal. Kedua, adalah buku teks David Smith Human
Geography: A Welfore Approach (1977) yang menstimuli perkembangan dari geografi sosial
yang berorientasi kepada kesejahteraan dan relevan dengan kebijaksanaan.
B. Cabang Geografi Manusia
1. Geografi Penduduk
Geografi Penduduk merupakan cabang dari Geografi manusia yang objek studinya
adalah aspek keruangan penduduk. Objek studi mencakup penyebaran, densitas,
perbandingan jenis kelamin, perbandingan manusia dengan luas lahan , dan
sebagainya. Pada geografi Penduduk, manusia dipelajari sebagai penghuni suatu
wilayah, dianalisis kualitas dan kuantitasnya sesuai dengan wilayah yang ditempati,
dianalisis perbandingan jumlah penduduk dengan luas lahan yang dihuni, dianalisis
penyebaran dan densitasnya dari satu wilayah ke wilayah lain dengan memperhatikan
faktor lingkungan geografi yang mempengaruhinya serta dianalisis pertumbuhannya
sesuai dengan wilayah yang ditempati, dan demikian seterusnya.
2. Geografi Ekonomi
Merupakan cabang geografi manusia yang bidang kajiannya berupa struktur
keruangan aktivitas ekonomi manusia penghuninya. Hal ini menunjukkan, titik berat
studinya adalah aspek keruangan struktur ekonomi manusia.
3. Geografi Politik
Merupakan cabang geografi yang bidang kajiannya adalah aspek keruangan
pemerintahan atau kenegaraan yang meliputi hubungan pemerintahan atau
kenegarannya yang meliputi hubungan regional dan internasional pemerintahan.
Ruang lingkup Geografi Politik sangat luas karena meliputi empat bidang penelitian
yaitu bidang geografi, sejarah, politik, dan hubungan internasional.
4. Geografi Pemukiman
Merupakan kajian geografi yang berkenaan dengan perkembangan pemukiman di
suatu wilayah di permukaan bumi. Bahassanya yaitu bilamana suatu wilayah mulai
dihuni manusia, bagaimana bentuk perkembangan pemukiman tersebut selanjutnya,
bagaimana bentuk pola pemukiman, dan faktor geografi yang mempengaruhi
perkembangan dan pola. Bidang kajian Geografi Pemukiman adalah penyebaran dan
relasi keruangan pemukiman.
5. Geografi Sosial
Merupakan cabang Geografi Manusia dengan bidang kajiannya, adalah aspek
keruangan yang karakteristik dari penduduk, organisasi sosial, unsur kebudayaan, dan
kemasyarakatan. Geografi sosial bidang kajiannya berkenaan dengan unsur tempat
yang merupakan wadah kemasyarakatan manusia, sehingga erat hubungannya dengan
studi sosiologi.

C. Pola Tata Wilayah dan Kependudukan


Menurut Vidal de la Blache (dalam Hermawan, 2009:33), studi tentang lingkungan fisikal
dan masyarakat telah atau sedang dipengaruhi oleh lingkungan fisikalnya. Daerah dimana
proses ini telah atau sedang berlaku akan membentuk suatu unit yang disebut “wilayah” atau
“region”. Kondisi ini menunjukkan bahwa ciri penting suatu wilayah mungkin berbeda
dengan ciri wilayah lain. Region atau wilayah dalam geografi, secara umum diartikan sebagai
sebagian permukaan bumi yang dapat dibedakan pada hal-hal tertentu dari daerah di
sekitarnya. Perkembangan konsep wilayah mempunyai wilayah sejarah panjang, namun
penyajian secara sistematis baru dimulai pada abad ke-19, yaitu ketika ahli geografi
berpendapat bahwa unit politik merupakan dasar yang belum cukup untuk menggambarkan
suatu wilayah karena para ahli geografi lebih mengutamakan unit alamiah. Penggolongan
tersebut disebut wilayah alamiah (natural region). Selain itu, terdapat penggolongan wilayah
yang didasarkan kepada kenampakan tunggal (single feature). Natural region dan single
region merupakan konsep wilayah yang berkembang sebelum PD I. Konsep sibgle feature
region yang pada awalnya menggolongkan seluruh permukaan bumi menjadi wilayah, setelah
PD I lebih memusatkan pada penggolongan wilayah iklim yang dibuat Thornhwaite dan
wilayah fisiologi yang disusun oleh Fenneman. Klarifikasi wilayah lainnya muncul pada
tahun 1937 ketika Geographical Association, membedakan kategori wilayah berdasarkan
kekhususannya. Klasifikasi wilayah menurut jenis menekankan kepada jenis wilayah, seperti
wilayah iklim, pertanian, vegetasi, fisiografi, dan sebagainya. Sedangkan klasifikasi wilayah
berdasarkan kekhasannya meerupakan daerah tunggal, mempunyai ciri-ciri geografi khusus
terutama ditentukan oleh lokasi dalam hubungannya dengan daerah lain, seperti wilayah Asia
Tenggara. Konsep lainnya, adalah wilayah nodus (nodal region) dan keseragaman ruang
(uniform region). Pada wilayah seragam terdapat keseragaman atau kesamaan kriteria
tertentu seperti wilayah pertanian dan sifat yang dimiliki oleh elemen pembentuk wilayah.
Wilayah nodus merupakan wilayah yang dalam, banyak hal diatur oleh beberpa pusat
kegiatan yang saling berhubungan atau dihubungkan oleh garis penghubung. Karena pada
wilayah nodus terdapat pengertian tentang kaitan fungsional antarpusat kegiatan maka
Robinson (dalam Hermawan, 2009: 92-94) menyebutnya sebagai wilayah fungsional.
Dibandingkan dengan wilayah seragam, konsep wilayah fungsional lebih tepat dipergunakan
pada penelitian-penelitian ekonomi industri yang modern. Apabila geografi wilayah dianggap
sebagai kajian yang berkaitan dengan wilayah, maka geografi mutakhir sebagian bersifat
wilayah. Metode wilayah masih merupakan alat penting bagi tujuan akhir dari geografi,
namun geografi bersifat wilayah namun bukan tentang wilayah. Studi Berry tentang model
teoritis jaringan kota di AS dapat diterapkan dalam struktur internal kota besar. Penggunaan
berbagai piranti modern dalam mendukung studi geografi akan sangat bermanfaat, terutama
dalam penentuan batas wilayah, gerakan penduduk, batas wilayah serta berbagai persebaran
fenomena geografi. Lalu bermanfaat bagi menentukan keterkaitan antara satu variabel dengan
variabel lainnya.

D. Sejarah Tata Wilayah di Indonesia


Dalam sejarah perkembangankonsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat
beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard
yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang
wilayah, yakni faktor fisik, sosial, ekonomi dan budaya. Kedua, Hirschmann memunculkan
teori “pollarization effect dan trickling-down effect”, bahwa perkembangan suatu wilayah
tidak terjadi secara bersamaan. Ketiga, Myrdal, menjelaskan hubungan antara wilayah maju
dan wilayah dibelakangnya. Keempat, Friedmann menekankanpada pembentukan hirarki
guna mempermudahpengembangan sistem pembangunan. Terakhir Douglass yng
memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa-kota dalam pengembangan wilayah.
1. Masa Pra-Kemerdekaan
Dilatarbelakagi oleh seringnya dewan kota berhadapan dengan masalah-masalah
dan isu-isu yang berisiko tinggi, sejak awal dewan-dewan kota menyadar i masalah
dan tantangan yang harus tema ditagani bersama untuk mencapai hasil efektif .
Namun berpedoman kepada ide desentralisasi, pemerintah Batavia mulanya enggan
mengabulkan permintaan bantuan keuangan, hukum, dan organisasi, karena selalau
kekurangan pegawai dan bahan-bahan, lalu dewan-dewan membentuk forum
pertukaran pemikiran, ide, dan pengalaman. Pada tahun 1910 kongres Desentralisasi
diadakan, lalu kongres ini berlanjut dengan melibatkan para administrator lokal, ahli,
dan mereka yang tertarik mengenai tema kesehatan, Garis Sempadan Bangunan,
bahkan aspek pembiayaan. Kongres kedua pada tahun 1911, kota madya membentuk
Asosiasi Kepentingan Lokal. Kotamadya sering berpaling pada penasihat
desentralisasi, seorang pegawai negeri pada departemen dalam negeri. Setiap dewan
menangani berbagai masalah sebisa mungkin, Semarang memimpin. Tahun 1907,
W.T. de Vogel meminta K.P.C. de Bazel membuat sketsa awal untuk rencana
perluasan daerah berbukit di selatan Semarang. Thomas Karsten artistik sebagai
manajer di kantor arsitektur Henri Machlaine di Semarang, untuk mengajukan
rancangan wilayah ini. Di Surabaya, pada tahun 1909, dewan membebaskan lahan
Gubeng yang luas untuk lingkungan Eropa baru. Tujuh tahun kemudian membeli
lahan Ketapang dan Ngagel untuk keperluan yang sama. Sebagai akibat dari maksud
pemerintah pusat untuk mengalihkan beberapa kementrian dari Batavia ke Bandung.
Pada tahun 1910-an, Bandung memperluas wilayahnya. Pada 1917, Biro Insinyur dan
Arsitek, mengajukan rencana perluasan untuk bagian utara kota. Dalam tahun yang
sama, Batavia dan Medan juga mengajukan perluasan wilayah. Dalam kongres
Desentralisasi 1921, Karsten menunjukkan perencanaan kota merupakan kegiatan
yang melibatkan kegiatan saling terkait satu sama lain. Metode pendekatan yang
menciptakan rencana tata kota secara organis dengan mempertimbangkan dimensi
sosial dan estetika. Pada tahun 1930, diambil berbagai langkah, yaitu menetapkan dua
komite untuk melakukan studi terhadap peraturan-peraturan yang telah ditetapkan
oleh beberapa kotamadya untuk mengatur pembangunan Kota dimaksudkan untuk
mendefinisikan, membuat metode dan secara hukum menjadikan tata kota suatu
disiplin dengan cara mempelajari dan mendefinisikantolak ukur sejarah dan masa
depan tata kota dan dengan merekomendasikan arah kemana disiplin ini perlu
mengembangkan diri. Pada tahun 1938, komite mengajukan rancangan Ordonasi
Pembentukan Kota dan suatu memorandum keterangan yang agak luas. Perencanaan
kota harus memperjuangkan pembagian yang propordional dari kebutuhan semua
kelompok penduduk sesuai kebiasaan mereka dan mencipatakan fungsi harmonis dari
perkotaan secara keseluruhan.

2. Perkembangan Setelah Perang Batu Loncatan Ke Arah Penataan Ruang


Setelah Perang Kedua berakhir dan Indonesia memproklamasikan kemerdekannya
pada 17 Agustus 1945, revisi konfigurasi pemerintahan diperlukan dan tidak dapat
dihindarkan. Namun, meski tekanan politik internasional meningkat terhadap Belanda
untuk meninggalkan negeri ini, pemerintah Belanada memutuskan tidak mendukung
permintaan Indonesia untuk merdeka. Sementara itu, penyesuaian administratif terus
berlangsung. Ordonasi Provinsi 1924, diperluas ketika delapan provinsi ditetapkan,
seperti keresidenan, kotamadya, dan kabupaten dipertahankan. Akibat perang, kota
memerlukan rekonstruksi dan pembangunan baru. Departemen Transportasi dan
Pekerjaan umum dibentuk kembali dan diberi nama nama Departemen Pekerjaan
Umum dan Rekonstruksi. Pada 1 Mei 1946, Biro Perencanaan (Pusat) didirikan
sebagai bagian dari Departemen Pekerjaan Umum dan Rekonstruksi Prinsip yang
mendasari kerja adalah rencana kota lokal akan selalu merupakan hal sekunder setelah
pekerjaan rekonstruksi. Setelah misi pengumpulan fakta-fakta ke kota-kota di luar
Jawa yang paling menderita karena pemboman, tugas pertama adalah membuat
rencana rekonstruksi dan perbaikan. Pada waktu Negara Indonesia Timur dibentuk
pada 1946, mengajukan rencana rekonstruksi dan peraturan pembangunan untuk
Makassar kepada Menteri Transportasi dan Pekerjaan Umum, rencana tata kota
Ternate dan Ordanasi Prmbrntukan Kota darurat.

3. Setelah Penyerahan Kedaulatan


Terbentuknya Negara RI dalam tahun 1950 pada mulanya tampak tidak
berpengaruh besar terhadap keadaan sehari-hari. Selain kenyataan bahwa Warga
Negara Belanda yang memegang posisi kunci digantikan oleh rekan-rekan Indonesia-
nya, tidak ada perubahan besar yang dilakukan sampai tahun 1957. Tahun ini
merupakantahun masyarakat Indonesia dan Intersional memutuskan bahwa sikap
Belanda yang tidak bersdia menyerahkan kekuasaan atas IrBa kepada Indonesia tidak
dapat lagi diterima. Akibatnya, Indonesia memutuskan semua hubungan dengan
Belanda yang pada gilirannya menyebabkan perginya 50.000 warga negara Belanda.
Dampak langsung dan jangka panjang dari perkembangan ini menyebabkan
perubahan mendasar pada hubungan kerja antara Indonesia dan Belanda.
BAB V
TATA WILAYAH DAN KEPENDUDUKAN DI INDONESIA

A. Perkembangan Sejarah Perkotaan di Jawa


Sub kajian ini berasal dari hasil penelitian yang telah ada sebelumnya yang dilakukan oleh
Damayanti, Rully, dan Handinoto. “Kawasan Pusat Kota dalam Perkembangan Sejarah
Perkotaan di Jawa”. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur , Vo. 33, No. 1, Juli 2005: 34-42.
Kawasan pusat kota, bisa ditafsirkan bermacam-macam ada yang menyebut ‘urban core’,
‘central business district’, ada pula kawasan kompleks pemerintahan ‘civic center’. Kota-
kota di Jawa berkembang pesat sekali terutama setelah awal abad ke-20, karena
perkembangan penduduknya yang sangat cepat, akibat besarnyaurbanisasi.

1. Pusat Kota pada Zaman Pra-Kolonial


Secara geografis kota Jawa dibagi atas dua, yaitu ‘Pesisir’ dan kota
‘Pedalaman’. Awal perkembangan Pesisir dan Pedalam dalam arsitektur sama,
tetapi dalam perkembangan sejarah arsitektur Pesisir dengan Pedalaman berbeda.
Kota Pesisir banyak orang dari ‘seberang’ sehingga masyarakatnya lebih
heterogen. Sedangkan Pedalaman lebih homogen. Andersin (1983), memberikan
gambaran tentang kota-kota Jawa masa pra-kolonial. Kota-kota jawa, diibaratkan
seperti nyala bola lampu di malam hari, makin terang cahaya lampu makin banyak
binatang malam mengelilinginya, makin suram cahayanya, sedikit pula binatang
malamnya. Artinya makin kuat pemimpinnya, makin besar kotanya, begitu
sebaliknya. Jadi, semuanya tergantung pemimpin yang biasanya berkedudukan
pada penguasanya. Seorang penguasa biasanya erkedudukan di ibukota kerajaan
atau kabupaten, seperti:
1. Sultan, Pusat kuasa
2. Batas Benteng Keraton, di dalamnya juga terdapat pemukiman keluarga
Sultan, pembantu dan prajurit pengawal.
3. Negara, sama dengan ibukota, dimana pusat administrasi dan pemerintahan.
4. “Narawita Dalem”, tanah pertanian di bawah kekuasaan Sultan.
5. “Naragung”, dimana tanah lungguh dari pejabat istana terletak.
Pola kota Jawa pada zaman prakolonial pada dasarnya menganut pola kota
Mandala. Perjalanan sejarah memperlihatkan bahwa pelaksanaan yang terbaik
dalam pembangunan sebuah kota, sesuai dengan konsep yang telah digariskan
oleh pemerintahan otoriter atau absolut. Sejak abad ke-18, kota Jawa mulai
dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya yang disebut sebagai ‘pusat kota’ di Jawa adalah keraton
pada masa pra-kolonial dan bangunan yang ada disekitarnya. Pada abad ke-18 di
‘pusat kota’ nya terdapat unsur asing berupa benteng serta kantor Gubernur
Belanda, perkembangan ini nantinya menjadi model pusat kota-kota kabupaten di
Jawa pada abad ke-19.
2. Pusat Kota Pesisir Pra-Kolonial
Pada abad ke-13 sampai 15 terjadi peningkatan perniagaan di Asia Tenggara
secara pesat, Jawa khususnya. Akibat dari kemajuan dalam bidang pelayaran,
banyak pedagang asing datang ke kota-kota di pantai utara Jawa, ada yang datang
dari India, Kamboja, Tiongkok, Vietnam, Campa, India selatan, Bengali dan
Siam. Akibat kemajuan tersebut timbullah elit-elit baru di daerah perkotaan di
pantai utara Jawa. Elite ini berada di kota pesisir dan menjadi peradaban baru.
Timbullah kota-kota pelabuahn besar di Jawa seperti Tuban, Gresik, dan
Surabaya. Maka dari itu timbul dua daerah menjadi pusat kotanya, yaitu kawasan
pemerintahan dan kawasan perdagangan.
3. Pusat Kota di Jawa pada Zaman VOC
Sebelum menguasai kota, VOC biasanya mendirikan benteng terlebih dahulu di
tepi sungai yang juga berfungsi sebagai gudang penyimpanan hasil bumi yang
akan diangkut ke Eropa. Setelah kedudukannya kuat, barulah menguasai kota
secara keseluruhan. Baru ia keluar dari bentengnya dan mendirikan “townhall”
yang dikelilingi oleh bangunan pelengkap, juga selalu didirikan rumah yatim piatu
untuk menampung anak yang belum dewasa dari orang Belanda di Nusantara.
Daerah sekitar townhall nantinya akan menjadi ‘pusat kota’ yang baru, pusat kota
dekat ‘townhall’ disebut ‘heerenstraaf’. Pusat-pusat kota kolonial di Jawa pada
abad ke-18, terpecah menjadi dua yaitu pusat pemerintahan Pribumi (di laun-alun
dengan Kabupatennya) serta pusat pemerintahan Kolonial dengan gedung Residen
atau Asisten Residen, seperti Pasuruan, Banyumas, dan sebagainya. Pada akhir
abad ke-18, kawasan pemerintahan pribumi dengan kolonial diusahakan menjadi
satu. Sedangkan daerah perdagangan meskipun tetap menjadi kawasan pamornya,
sebagai pusat kota menurun. Pola pusta kota tradisional Yogyakarta, dipakai
sebagai model untul mengembangkan ‘pusat kota’ di Jawa. Alun-alun di kelilingi
dengan bangunan kantor Kabupaten, masjid, penjara, serta bangunan
pemerintahan Belanda
4. Pusat Kota di Jawa pada Abad ke-20
Dengan adanya UU desentralisasi pada tahun 1903 dan terlaksana pada tahun
1905. Pada tahun 1900, penduduk Eropa di Jawa berjumlah kurang lebih 70.000
jiwa, sepermpatnya orang Belanda totok. Mereka ini mayoritas berdiam diri di
kota-kota besar Jawa. UU ini pada prinsipnya ingin memberikan kuasa pada kota-
kota yang telah ditentukan untuk memerintah kotanya sendiri di bawah pimpinan
seorang walikota. Banyak Kotamadya yang mendirikan pusat pemerintahan baru,
dengan mendirikan gedung-gedung dengan gaya arsitektur kolonial modern
sebagai pusat kotanya. Pemerintah kolonial Belanda memperlihatkan eksistensi
kekuasaanya pada pusat kota yang baru dibangun. Salah satu caranya adalah
dengan membangun gedung-gedung kotamasya. Tapi, sebagian besar kota-kota
kabupaten di Jawa masih mempertahankan alun-alun dan bangunan di sekitar
pusat kotanya. Keputusan untuk memindahlan kantor kotamadya dalam sebuah
kawasan pusat kata baru hanya berlaku pada kota-kota besar saja, seperti Malang,
Bandung, Surabaya, dan sebagainya.
B. Penguasaan Tanah di Keresidenan Semarang pada Masa Kolonial
Bagi masyarakat agraris, penguasaan tanah berarti lapangan kerja. Dengan demikian, tanah
merupakan aset yang sangat berharga bagi masyarakat. Oleh sebab itu, tidak jarang guntuk
menguasai tanah tersebut sering dilakukan dengan cara yang illegal. Bagi penduduk Jawa,
pada mulanya menyewakan sawah atau tanah jarang sekali terjadi. Lebih banyak dijumpai
bentuk bagi hasil dan hal ini dilakukan hanya jika tenaga kerja pemiliki tanah serta
keluarganya tidak cukup mengerjakan sendiri tanahnya dan dimaksudkan untuk menolong
teman sedesanya. Di banyak daerah sudah terdapat perdagangan pasa, tetapi volume
perdagangannya kecil sekali dan hanya merupakan tambahan guna mencukupi kebutuhan
rumah tangga sendiri. Jadi, faktor produksi dan hasil tanah hampir tidak diperjualbelikan,
komersialisasi pertanian dapat dikatakan belum membudaya. Sejak adanya tanam paksa,
sistem sewa tanah mulai membudaya di Jawa, uang sebagai alat tukar yang semula dilakukan
oleh kalangan atas dan menengah, kemudian meluas pula di kalangan rakyat biasa (Burger
dalam Susatyo, 2006:2). Menurut Geertz (1938;9), sawah tani di Jawa adalah hasil proses
historis dari perkembangan kebudayaan, merupakan bagian terpenting dari lingkungannya.
Sawah orang Jawa erat kaitannya dengan organisasi kerja, struktur desa, dan proses pelapisan
masyarakat. Apabila penguasaan tanah merupakan dasar utama stratifikasi sosial masyarakat
desa, maka ketimpangan distribusi penguasaan tanah merupakan sumber utama kemiskinan
struktural di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Keresidenan Semarang merupakan wilayah terpenting di Jawa Tengah. Semarang sebagai
ibukota merupakan kota pelabuhan terbesar dan terpenting. Menurut Ind. Staatbald 190 No.
175 untuk keresidenan Semarang diadakan Dewan Negeri berdasarkan akte 15 Januari 1678,
antara kerajaan Mataram dengan Belanda. Semarang dengan semua distrik dan desanya
diserahkan kepada Kompeni. Berdasarkan kontrak selanjutnya, wilayah tersebut diperluas,
sampai Kompeni jatuh, Semarang merupakan wilayah Gubernur Utara Timur, dari Cilosari
sampai Pasuruan. Pada masa Deandles Semarang merupakan daerah Drostambt.Secara
administratif Keresidenan Semarang akhir abad ke-19 terdiri dari 8 afdelling, yaitu
Semarang, Salatiga, Kendal, Demak, Grobogan, Pati, Kudus, dan Jepara. Keresidenan
Semarang mengalami beberapa perubahan administratif, contoh: dalam tahun 1901, 1929,
dan 1930, reorganisasi administratif dalam tahun 1901 ke dalam Keresidenan Semarang,
dimasukkan Keresidenan Jepara yang akan dibagi dalam kabupaten Semarang, Kendal,
Demak, Groboka, Pati, Kudus, dan Jepara. Selanjutnya tahun 1929 batas-batas ini mengalami
perubahan lagi. Di dekat pantai, dataran yang tingginya hanya 200-300 meter, rangkaian
perbukitasn terus naik sampai ke kaki Gunung Merapi. Rangkaian perbuukitan ini sampai
rangakiaan yang terakhir terputus-putus karena erupsi yang menutup saluran dari rawa di
Ambarawa,akhirnya sampai ke Gunung Payung dengan ketinggian 718 meter. Perkebunan di
daerah pegunugan semuanya menggunakan tanah dengan hak usaha guna, Perkebunan itu
mnegusahakan hasil bumi untuk ekspor, seperti karet, kopi, teh, kina, kapok, kakai, lada,
pala, dan panili. Di kabupaten Kendal terdapat hutan jati yang luasnya sekitar 12.800 hektar
dan termasuk Kesatuan Pemangkuan Hutan Kendal (houtvesterij), sedangkan
opperhoutsvester-nya berkedudukan di Boja. Penebangan kayunya pada waktu itu (1900-an)
dilakukan oleh kontraktor swasta. Tetapi jika kontraknya habis, akan dilakukan melalui
Tempat Pengumpul Kayu (TPK) di Kaliwungu, Mangkang, dan Pegadon.
Selain Kendal, Demak pada tahun 1905 merupakan Afdelling dan Regentschap.
Keresidenan Semarang dengan luas 1443 Km 2. Terdiri dari dua Controlla Afdelling, masing-
masing dengan tiga distrik, yaitu Control Afdelling Demak dengan Distrik Demak, Wedung,
dan Grogol. Controla Afdelling Gubug dengan Distrik Manggar, Sambung, dan Singen Kidul.
Akhir tahun 1905 Afdelling Demak memilki sekitar 370.000 penduduk. Pada zaman
Deandles, pernah disuahakan menggali kanal untuk pelayaran perahu, tetapi kurang berhasil.
Kanal tersebut bila musim kemarau menjadi kering sehingga hanya pada musim utaranya.
Kudus merupakan kota yang menurut Veth, “luar biasa”, karena adanya kota tua, atau Kudus
Kulon. Di Kudus juga terdapat masjid besar yang memiliki gerbang dan menara berbentuk
bangunan Majapahit. Kudus terletak pada persimpangan jalan kereta api uap Semarang-
Lasem dan pada persimpangan jalan pos besar (Groten Postweg). Kudus juga memiliki
sarana dan prasarana perhubungan dengan Jepara, kota di sebelah utaranya. Pada tahun 1615,
Jepara dapat disebut sebagai kota pelauhan kerajaan Mataram yang baik. Akan tetapi, pada
permulaan abad ke-18 Jepara mengalami kemunduran, sehingga menyebabkan Jepara
menjadi kota mati.
Dari lima kabupaten yang ada di Keresidenan Semarang antara tahun 1837-1845, hanya
Grobogan dan Salatiga yang tidak dilalui jalur Jalan Deandels yang merupakan jalan lintas
Jawa pertama. Kabupaten Kendal, Semarang, dan Demak berada di lintasan jalan tersebut
sehingga memiliki mobilitas sosial yang cukup tinggi. Namun Salatiga, sekalipun tidak
berada di lintasan Jalan Deandels, tetapi dilintasi jalan raya provinsi dari Semarang ke
Surakarta. Jalan Semarang-Surakarta ini terdapat simpan jalan Bawen Ambarawa-Magelang.
Dan Salatiga-Getasan-Kopeng-Magelang. Jalan provinsi ini smeuanya sudah diaspal, kecuali
jalan yang dahulu milik Keresidenan, sejak tanggal 1 Januari 1930 diserahkan kepada
kabupaten. Jalan-jalan ini pada umumnya belum diaspal.
1. Kelas Sosial Jawa Masa Kolonial
Pengubahan pedalaman Jawa yang hampir seluruhnya masih kuno dengan ekonomi
yang berdasarkan feodalisme serta bertujuan mencukupi keperluan sendiri adalah
masalah utama bagi pemerintahan Eropa pada awal abad ke-19. Jika Raffles, dengan
mematahlan kekuasaan para bupati, memulai usahanya pada orang-orang terendah,
yakni orang-orang termiskin yang akan tertarik dari desa-desa sebagai pekerja upah.
Sebelum tahun 1800 kegiatan Belanda di Indonesia di sesuaikan dengan pranata
masyarakat Indonesia. Setelah tahun 1800, Belanda berusaha menyesuaikan
masyarakat Indonesia dengan pendapat-pendapat Barat dan meninjau kembali struktur
pergaulan hidup Indonesia. Hal ini disebabkan karena perubahan status dari orang-
orang Belanda.
Sebelum tahun 1800 mereka datang Indonesia untuk berdagang sesudah tahun 1800
mereka mulai menjalankan pemerintahan kolonial dalam arti yang sebenarnya.
Pengaruh Barat merupakan garis terus menerus yang tidak terputus. Gerak maju ini
selalu karena terpaksa, juga dan justru ketika pergantian “sistem” dan pengurusan
oleh Kum- peni digantikan dengan “tata bumi”, kemudian dari “tata bumi” ke “sistem
tanam paksa” dan sesudah itu ke politik kolonial modern. Daerah pinggiran sosial
yang belum berada di bawah pengaruh Barat memerlukan penyediaan sarana demi
efisiensi oerganisasi dalam ekspor, dalam produksi atau pemerintahan. Maka dari itu,
kelemahan-kelemahan yang terungkapkan diperkokoh dan pembinaan diteruskan atas
dasar-dasar yang diletakkan pada masa sebelumnya.
Hidup secara pas-pasan, bahkan kekurangan merupakan keadaan yang dapat
ditemui di hampir seluruh kehidupan penduduk pedesaan. Menurut Duverger, paham
“cara hidup” yang merupakan dasar suatu konsep yang lain bagi kelas sosial luar
biasa kaburnya. Pekerja-pekerja pertanian merupakan contoh terbaik bagi suatu kelas
dibatasi oleh cara hidupnya. Posisinya dalam hubungan dengan milik pribadi bersifat
sekunder disini”Perbedaan pendapatan tidak mengubah kenyataan bahwa semua yang
bekerja atas tanah mempunyai cara hidup yang sama. Menurut Geertz (1938:102),
masyarakat desa Jawa tidak terbelah menjadi dua, seperti yang terjadi di banyak
negara “belum berkembang”, melainkan tetap mempertahankan homogenitas sosial
dan ekonomis yang cukup tinggi dengan cara membagi-bagikan rezeki yang ada;
hingga makin lama makin edikit yang diterima oleh masing-masing anggota
masyarakat, yaitu suatu proses yang dinamakan share proverty. Kemiskinan petani
Jawa bukan saja disebabkan oleh adanya sakit pasrah, tetap ditunjang pada oleh
adanya kesadaran dan kepercayaan yang tak tergoyahkan, akan nasib akan hal-hal
yang telah ditakdirkan, yang dinyatakan dalam kata pinesti (ditentukan), tinitah
(ditakdirkan), atau kata pinjaman dari Arab, takdir. Hak dan kewajiban dianggap
sebagai telah ditakdirkan. Tak dapat diragukan lagi bahwa anggapan atau keyakinan
seperti itu, banyak peranannya dalam melancarkan hubungan antarmanusia. Dalam
masyarakat Jawa, “kelas” berdasarkan pemilikan tanah dibedakan sebagai berikut:
I. Penduduk inti, pemilik pekarangan dan tanah garapan.
II. a. Pemilik pekarangan dan rumah (lindung, kadang-kadang hanya dinamakan
dinamakan kuli atau sikep; wong setengah kenceng); b. Pemilik rumah di atas
pekarangan orang lain (wong dempel, menumpang, numpang karang)
III. a. Para penghuni, orang-orang berkeluarga yang tinggal pada orang lain,
seperti tua-tua, orang yang baru menikah, orang-orang baru (rangkepan,
kumpulan, nusup, kempitan); b. Para perjaka (joko, sinoman) (Schhelteme
dalam Susatyo, 2006: 42).
2. Penguasaan dan Kepemilikan Lahan
Masuknya pengaruh Barat (Belanda) ke Indonesia telah banyak mempengaruhi
kehidupan sosial-ekonomi masyarakat, terutama yang ada kaitannya dengan
kepentingan perekonomian Belanda. Ekonomi feodal yang kuno dijadikan rumah
tangga lalu lintas modern. Rumah tangga desa yang amat tertutup sifatnya telah
terbuka untuk menerima berbagai pengaruh dari luar. Lalu lintas uang telah dalam
meresap ke rumah tangga hasil bumi yang kuno. Beredarnya uang berarti
berkembangnya kontrak. Kontrak itu sesuatu yang pribadi. Sekalipun kontrak itu
snagat dipengaruhi oleh adat, namun keputusan pribadi dari pihak-pihak yang
bersangkutan diperlukan pula. Maka bertambahnya peredaran uang, berarti proses
individualisasi yang dibarengi dengan bertambah lemahnya hubungan-hubungan
kemasyarakatan dan bertambah merdekanya individu.
Lalu lintas kontrak merupakan nama lain untuk lalu lintas uang. Menurut Burger
memang merupakan sesuatu yang baru dan di pedalaman disebabkan karena adanya
pengaruh Barat. Struktur lalu lintas dari masyarakat berbeda dengan struktur asli
masyarakat Jawa asli. Kehidupan ekonomi desa pada waktu itu diatur dengan tolong
menolong dan dengangotong royang dalam bentuk yang lain, yang berlandaskan
kerukunan, ciri komunal dari desa serta berdasarkan kepatuhan penduduk desa kepala
desa. Kehidupan ekonomi pada tingkat desa memenuhi kebutuhan raja, bangsawan,
dan ekspor, didasarkan atas pungutan barang dan jasa, jadi berdasarkan ikatan feodal
penduduk kepada raja. Sekitar tahun 1800-an ada pandangan baru bahwa, dengan
produksi feodal lama eskpor tidak mungkin naik lebih besar, dan bahwa tanah
seharusnya dapat menghasiljan lebih banyak daripada yang sudah-sudah. Maka Dirk
Van Hogendrop menganjurkan masyarakat supaya Jawa dihilangkan dari
kefeodalannya, ini ditentang oleh kaum konservatif karena akan merugikan pimpinan
rakyat dan akan menngakibatkan perang. Pada masa VOC, penduduk Tiongkok
hampir terdapat disetiap kota di Jawa, orang Tiongkok ini berperan sebagai pedagang
perantara Belanda dengan pribumi.
Dalam hal sewa tanah, pemilik tanah menyewakan tanahnya kepada orang lain,
menerima benih yang diperlukan oleh penyewa, mengolah sendiri sawahnya dan
menyerahkan separuh hasil panenya. Dari sawah dan tegalan, penggarap menerima
separuh dari hasil, tetapi untuk tanaman tembakau 2/3, di daerah Rawa Pening
(Ambarawa) yang subur penggarap hanya menerima 1/3 serta bibit yang diperlukan.
Pada jenis tanaman padi, jika kesuburan sawahnya sedang-sedang saja, penggarap
menerima separuh; jika sawahnya subur ia menerima 1/3, pada tembakau, jagung, dan
padi (gogo), penggarap 2/3. Bagi hasil pada umumnya disebutkan dalam satu nafas
atau dianggap agak identik. Demikian pula halnya dengan penyewa-pegadaian atau
sewa gadai, pakai pinjam dan peminjam pakai. Bentuk paling umum yang didapati
pada sewa ini ialah suatu bentuk bagi hasil yang dibuat tiap kali untuk satu tahun atau
satu kali panen. Uang sewanya dibayar dalam bentuk natura, ada juga sewa yang
dibayar dengan jumlah produk yang disetujui bersama sebelumnya. Sistem Tanam
Paka dianggap telah memaksa mengubah hak-hak pemilikan tanah desa menjadi milik
bersama dan dengan demikian merusak hak-hak perseorangan atas tanah. Hak-hak
kepemilikan tanah merupakan kepentingan khusus bagi sekelompok-sekelompok
pengusaha swasta yang ingin mengganti sitem tersebut dengan bentuk eksploitasi
mereka sendiri. Selain itu, karena tuntutan akan tanah-tanah, Tanam Paksa sangat
mempengaruhi atas milik tanah, sehingga hak hak perseorangan penduduk (petani)
sangat dirugikan. Kemungkinan menuntut tanah-tanah menjadi milik bersama
(komunal), diperkuat oleh adanya hak menguasaidari desa yang sejak bertambah
lemahnya hak milih perseorangan petani akibat pengaruh-pengaruh feodal. Hal ini
ditambah pula dengan banyaknya tanah yang tidak terurus pada permulaan abad ke -
19 sebagai akibat dari perpindahan untuk menghindarkan dir rodi.
Menurut Burger (dalam Susetyo, 2006:51), Sistem Tanam Paksa menyebabkan
bertambahnya perjanjian-perjanjian antara orang-orang Indonesia mengenai
penyerahan tanah. Selain itu Stelsel Tanam Paksa, mengajar mereka dengan sukarela
dengan paksaan. Mengenai sewa tanah, menurut Burger (dalam Susatyo, 2006:49)
adalah suatu hal yang tidak asing lagi bagi penduduk desa. Di bawah stelsel Tanam
Paksa timbul perubahan besar dalam pemakaian tanah, terutama akibat penyerahan
tanah dengan paksa untuk tebu dan nila. Pergeseran ini timbul karena adanya
keterpaksaan. Menurut Schelteme (dalam Susatyo, 2006:52), di Keresidenan
Semarang, Kabupaten Semarang, Salatiga, Kendal, Demak, dan Geobogan, hanya
beberapa pedagang yang pribumi yang menyewa tanah dan menggarapnya dalam bagi
hasil. Menurut van Delden Loeme, sejak “dahulu kala” di Jawa ada kebiasaan untuk
menggarap sawah milikorang lain dengan imbalan separuh atau sepertiga hasil panen.

C. Alun- alun sebagai Identitas Kotapraja di Jawa


Alun-alun pada dasarnya merupakan ruang terbuka yang keberadaannya hampir ada pada
setiap kota di Pulau Jawa. Pola dasar dari penataan alun-alun pada kota di Jawa ini berasal
dari zaman Hindu Jawa sekalipun di Jawa terjadi perubahan pada fungsinya (Wibowo dan
Mufanib, 2015:91-98). Di dalam buku Encyclopedie van Nederlandsch Indie (Paulus,
1917:31), terdapat penjelasan tentang ‘alun-alun’ sebagai berikut. Di hampir setiap tempat
kediaman Bupati, seorang kepala distrik di Jawa, orang selalu menjumpai adanya sebuah
lapangan rumput yang luas, yang dikelilingi oleh pohon beringin di tengahnya. Lapangan
inilah yang dinamakan ‘alun-alun’. Kehadiran akun-alun sudah ada sejak zaman prakolonial.
Meskipun dari dulu sampai sekarang bentuk fisik alun-alunnya sendiri tidak banyak
mengalami perubahan, tetapi konsep yang mendasari aspek fisik sejak zaman prakolonial
sampai sekarang telah mengalami banyak perubahan. Sejak zaman Majapahit sampai
Mataram, alun-alun selalu menjadi bagian dari suatu kompleks keraton. Keraton dalam
masyarakat tradisional masa lalu merupakan pusat pemerintahan dan sekaligus merupakan
pusat kebudayaan. Manusia yang religius seperti halnya masyarakat agraris yang religius di
Jawa ini biasanya membagi ruang menjadi dua jeni, ruang yang homogen atau sakral da satu
pihak lain dan ruang yang in homogen atau tidak teratur di lain pihak.Wilayah keraton selalu
dianggap sebagai wilayah yang homogen (sakral), yang teratur atau harus dia tur. Manifestasi
dari keinginan inilah yang melahirkan konsepsi ruang dari susunan sebuah keraton. Keraton
dianggap sebagai miniatur dari makrokosmos, alun-alun masih terletak di dalam kompleks
tembok/ pagar keraton.
Di dalam Keraton Majapahit seperti dilukiskan oleh Prapanca dalam Negarakertagama, di
sebelah utara dari kompleks Keraton terdapat dua laun-alun, yiaitu Bubat dan Waguntur.
Lapangan Bubat lebih bersifat profan. Pesta rakyat diadakan di Lapangan Bubat. Sedangkan
Lapangan Waguntur untuk upacara penobatan atau resepsi kenegaraan. Di lapangan
Waguntur terdapat Siti Hinggil serta kompleks pemujaan (Kuil Siwa) yang terletak di sebelah
Timur dari lapangan. Di Yogyakarta dan Surakarta terdapat dua buah alun-alun, yaitu alun-
alun Lor dan Kidul. Alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagai berlangsungnya
kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang
kelancaran hubungan Keraton dengan universum. Pohon beringin di Alun-alun Lor
Yogyakarta melambangkan kesatuan dan harmoni antara manusia dengan universum. Pohon
Beringin melambangkan langit dan permukaan tanah yang persegi empat di dalam pagar kayu
mengartikan tugas manusia untuk mengatur kehidupan di bumi dan di alam, supaya harmoni
dengan hukum universum (Pigeaud, 1940:180). Alun-alun zaman Mataram juga diguanakan
oleh warga untuk bertemu dengan raja, guna meminta pertimbangan atau sesuatu kasus
perselisihan. Orang harus duduk memakai pakaian dan penutup kepala putih dan harus duduk
menunggu di antara kedua pohon beringin (pepe). Di sebelah Barat alun-alun terdapat
mesjid, di masjid dua bangsal untuk dua buah gamelan, yaitu “Kyai Sekati”dan “Nyai
Sekati”. Jadi, alun-alun yang ada pada mulanya merupakan pelataran sakral yang
melambangkan harmoni antara langit yang dilambangkan sebagai pohon beringin dan bumi
yang dilambangkan sebagai pasir halus. Kesimpulan:
1. Lambang berdirinya sistem kekuasaan raja terhadap rakyatnya.
2. Tempat semua upacara keagamaan yang penting.
3. Tempat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profon.

D. Jalur Perkeretapaian Indonesia


Perkeretaapian di Indonesia baru dimulai pada 1860-an. Perusahaan kereta api ditangani
oleh dua instansi yaitu oleh pihak pemerintah (seperti: SS- Staad Spoorwegen) dan pihak
swasta (seperti: NIS- Nederlandsch Indischw Spoorweg Maatschappij dan sebagainya). Pada
akhir abad ke-19 dan abad ke-20, angkutan dengan kereta api menjadi salah satu asrama yang
sangat penting, baik angkutan barang maupun manusia. Tapi, pada bagian kedua abad ke-20,
setelah kemerdekaan, karena kemajuan jalan darat , peran kereta api menjadi menurun
sehingga stasiun kereta api menjadi merana. Di akhir abad ke-20, karena padatnya arus lalu
lintas jalan darat di P. Jawa, peran kereta api menjadi hidup kembali. Seluruh jalur kereta api
di Jawa karena alasan teknologi,sepenuhnya berada di atas tanah. Oleh sebab itu, ketika
memasuki kota harus diusahkan jalur jalan kereta api tersebut sesedikit mungkin berpotongan
dengan jalur jalan utama yang ada di tengah kota. Diusahakan jalur jalan kereta api
tersebebut sedapat mungkin sejajar dengan jalan-jalan layang untuk menghindari
persimpangan antara jalan raya dan jalan kereta api. Di Jawa justru tantangan crossing antara
jalur kereta api dan jalan raya kota ini harus diatasi kalau stasiun di pusat kota. Peletakan
stasiun di banyak kota di Jawa Timur, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Stasiun kota adalah gedung yang memegang peran istimewa dalam suatu kota.
2. Dari studi kasus terhadap peletakan empat stasiun di Pasuruan, Malang, Probolinggo,
dan Kediri. Dapat disimpulkan ada dua cara untuk mencapai tujuan supaya bangunan
stasiun tersebut berkesan sebagai bangunan yang dapat memancarkan pesannya, yaitu
meletakkan bangunan di paling ujung dari jalan arteri primer dan membuat jalan arteri
sekunder yang tegak lurus jalan arteri primer kota.
3. Pada waktu memasuki kota, supaya tidak banyak mengalami crossing maka jalan
kereta api pasti memilih di batas kota.
Setelah kemerdekaan, jalan darat mengalami kemajuan pesat sehingga angkutan penumpang
kereta api menjadi terpuruk. Banyak stasiun di Jawa karena perannya yang menurun dan
perubahan arah jalan serta ketidak-mengertiannya pengelolaan kota atas peran stasiun
terhadap arsitektur kota. Kota memang tidak dibangun oleh satu generasi, tapi tidak berarti
tatanan yang dibangun oleh generasi lainnya bisa dirusak begitu saja. Kegagalan sering
terjadi karena ingin menciptakan sesuatu yang baru, tanpa memahami tatanan lama yang
sudah ada.

Anda mungkin juga menyukai