Anda di halaman 1dari 11

Problem Based Learning

KRP413 Dietetik Klinik

Manajamen Pakan Periode Transisi pada Sapi Perah

Disusun Oleh:
Kelompok 6
Chandra Kusuma Dewi B04190019
Dina Nurzuliana B04190024
Jeslyn Elen Hanrahan B04190042
Mumtasya Karima Putri B04190055
Nevy Aurelia Kharenindha B04190059
Niama Vinka Nur Afni B04190060
Oscar Daniel Kusumo Digyo B04190066
Rezqineu Akbar Saujana B04190072
Syaikhah Najibah B04190081
Syifa Noor Badriyyah B04190082
Magfirah Aliyya Nur Imanna Tangahu B04190094

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
SEMESTER GENAP 2022/2023
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi merupakan salah satu komoditi peternakan penghasil daging dan susu, dimana
semakin banyak ternak yang dimiliki oleh peternak, maka akan semakin besar keuntungan yang
akan didapatkan. Sapi perah merupakan komoditi ternak utama sebagai penghasil susu yang
merupakan salah satu sumber protein hewani bagi manusia. Salah satu faktor yang harus
diperhatikan pada manajemen produksi sapi perah adalah masa transisi, dikarenakan banyaknya
perubahan status fisiologis yang drastis terjadi lebih cepat, dari mulai perubahan gizi pada sapi,
persiapan fetus, laktogenesis, dan beranak (Roche et al. 2013). Masa transisi terjadi 3 minggu
sebelum partus sampai 3 minggu setelah partus (Butler et al. 2003). Selama masa transisi, sapi
perah mudah terkena gangguan metabolisme dan infeksi penyakit yang diduga sebagai akibat dari
penurunan daya tahan tubuh (Widhyari 2005). Kebutuhan energi dan mineral (Ca) yang tinggi
untuk memenuhi produksi susu pada masa awal laktasi berkaitan dengan kondisi hipokalsemia
subklinis. Kondisi ini dianggap sebagai penyebab meningkatnya kerentanan sapi perah terhadap
penyakit metabolik dan infeksi pada periode transisi (Venjakob et al. 2016).
Sapi perah pada masa sebelum dan setelah beranak sering mengalami Negative Energy
Balance (NEB), yaitu kondisi tidak seimbangnya antara energi yang dikonsumsi melalui asupan
pakan dengan energi yang digunakan oleh tubuh untuk produksi dan kebutuhan pokok (Butler
2000). Efek dari NEB dan penurunan konsumsi bahan kering menyebabkan penurunan produksi
susu dan fertilitas, sehingga mengurangi keuntungan peternak. NEB juga berkaitan dengan
munculnya gangguan imunitas dan peradangan pada sapi di periode transisi (Esposito et al. 2014).
Salah satu solusi untuk meminimalisir NEB adalah dengan pemberian pakan yang memiliki
kandungan nutrisi yang tinggi serta penambahan mineral yang sangat dibutuhkan guna
meningkatkan respon imunitas, memperbaiki status metabolisme dan mengurangi kejadian
penyakit (Permana et al. 2020).

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan membahas mengenai manajemen pakan dan
komposisi dalam pakan yang dibutuhkan dan relevan dengan kondisi sapi pada periode transisi.

II PEMBAHASAN
2.1 Periode Transisi
Salah satu faktor yang harus diperhatikan pada manajemen produksi sapi perah adalah
masa transisi, karena banyaknya perubahan status fisiologis yang drastis terjadi lebih cepat dari
mulai perubahan gizi pada sapi, persiapan fetus, laktogenesis dan beranak. Menurut Merdana et
al. (2020), periode transisi atau periode periparturient didefinisikan sebagai masa transisi yang
berlangsung mulai tiga minggu sebelum melahirkan (prepartus) sampai tiga minggu setelah
melahirkan (postpartus). Selama masa transisi, sapi mudah terkena gangguan metabolis dan
infeksi penyakit karena terjadi penurunan daya tahan tubuh. Kondisi patologis yang sering terjadi
saat periode transisi yaitu milk fever, mastitis, fatty liver disease, ketosis, distokia, retensi plasenta,
metritis, hipomagnesaemia dan abomasal displacements. Kejadian tersebut dipicu karena respon
imun suboptimal dan juga keseimbangan energi negatif (Aleri et al. 2016).
Pada periode transisi, sering terjadi negative energy balance (NEB), yakni kondisi yang
tidak seimbang antara energi yang dikonsumsi dengan energi yang digunakan oleh tubuh untuk
produksi dan kebutuhan pokok. Sumber energi yang dimiliki hewan ternak direfleksikan oleh
kadar glukosa di dalam darah dan kondisi ternak akan menjadi lemah bila produksi energi tidak
mencukupi. Glukosa darah merupakan gula yang terdapat dalam darah yang terbentuk dari
metabolisme karbohidrat dalam makanan dan disimpan sebagai glikogen di hati dan otot rangka.
Kebutuhan akan glukosa meningkat sebanding tingkat metabolisme tubuh hewan. Kekurangan
glukosa darah merupakan salah satu penyakit metabolik yang disebut hipoglikemia, yang dapat
berlangsung secara subklinis maupun klinis. Manifestasi hipoglikemia dapat berupa ketosis
nervosa maupun ketosis digestive, yang memicu munculnya infeksi sekunder seperti demam,
mastitis, dan retensi placenta (Merdana et al. 2020).
Penelitian Merdana et al. (2020) menjelaskan bahwa glukosa darah dapat dilihat dari profil
metabolik darah untuk membantu mendiagnosa berbagai penyakit dan gangguan metabolisme.
Salah satu parameter uji metabolik darah adalah total protein darah yang didalamnya terbagi dua,
yaitu albumin dan globulin. Selama periode transisi, sapi mengalami perubahan fisiologis dari fase
tidak produktif menjadi siap berproduksi susu sehingga pakan yang dibutuhkan berbeda dengan
pada periode kering, yaitu padat nutrien.

2.2 Komposisi dalam Pakan yang Mendukung Keseimbangan Energi pada Masa Transisi
Pada periode transisi, setelah sapi beranak, yaitu awal laktasi, sapi perah mengalami
peningkatan kebutuhan kalsium yang drastis dalam waktu yang singkat (Wilkens 2020). Sebagai
akibatnya, pada masa transisi, sapi mudah terkena gangguan metabolisme, kekurangan energi,
gangguan imunitas dan peradangan, defisiensi kalsium (hipokalsemia), dan interaksinya dengan
penyakit lain. Penyakit yang menyerang sapi pada periode transisi misalnya infeksi uterus dan
mastitis (Suranindyah et al. 2020).

2.2.1 Dietary Cation Anion Difference (DCAD) pada Sapi Perah Periode Transisi
Untuk meminimalkan negative energy balance pada periode transisi, diperlukan
pakan yang memiliki kandungan protein dan energi tinggi, mudah dimetabolisme, dan
penambahan mineral. Tujuan pemberian pakan tersebut ialah supaya dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi yang meningkat secara cepat, mencegah hipokalsemia, meningkatkan
imunitas, dan menghindarkan penyakit. Pada periode transisi, disarankan pakan yang
bersifat lipogenik, yaitu menghasilkan lebih banyak energi untuk sintesis susu dan kadar
lemak (Suranindyah et al. 2020).
Keseimbangan kation-anion (DCAD) pakan dapat diketahui melalui kadar mineral
Na, K, Cl, dan S yang terkandung dalam pakan. Kation kalium dan natrium serta anion
klorida dan sulfur merupakan ion utama yang diperlukan tubuh karena berkaitan dengan
status asam basa dalam tubuh (Suryanah et al. 2016). Manipulasi pakan melalui perbedaan
keseimbangan kation anion pada ternak ruminansia dapat dilakukan untuk memperbaiki
kondisi fisiologis ternak yang akan melahirkan demi mencegah kekurangan mineral seperti
milk fever.
Keseimbangan kation anion memiliki dampak secara langsung pada keseimbangan
asam basa darah. Dengan demikian, pemberian pakan yang terlalu basa akan meningkatkan
pH darah sapi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zachwieja et al. (2022) menunjukkan
bahwa penurunan DCAD di level antara -50 hingga -150 mEq/kg BK pada ransum sapi
prepartum dapat meningkatkan metabolisme kalsium dan memiliki pengaruh positif
terhadap kesehatan hewan tersebut. NRC (2001) menyatakan bahwa pada sapi perah yang
memasuki laktasi 1, DCAD yang ideal ialah 24 mEq/kg BK untuk mengurangi risiko
gangguan metabolis. Lean dan DeGaris (2010) menyatakan bahwa ransum sapi perah masa
transisi yang baik memiliki nilai DCAD kurang dari 80 mEq/kg. Kandungan DCAD yang
melebihi normal akan menyebabkan terjadinya milk fever. Selain itu, kadar kalium pakan
yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia. Kadar kalsium dan fosfor
masing-masing disediakan sebanyak 0,39% dan 0,24% dari bahan kering ransum atau
dengan perbandingan 1,4:1,0 (Suranindyah et al. 2020).
Strategi nutrisi lain yang telah diselidiki untuk mencegah hipokalsemia adalah
penggabungan senyawa yang mampu menahan mineral makanan, termasuk kalsium,
menurunkan ketersediaan kalsium untuk penyerapan usus. Penambahan zeolit A pada diet
prepartum yang tidak diasamkan menghasilkan peningkatan konsentrasi kalsium serum di
sekitar partus dan performa postpartum yang sama jika dibandingkan dengan hewan yang
menerima diet dasar yang sama tanpa penambahan pengikat kalsium (Caixeta dan
Omontese 2021).
Penggunaan suplemen kalsium oral profilaksis selama awal laktasi telah diusulkan
sebagai strategi untuk mengatasi defisit kalsium selama beberapa hari pertama laktasi,
terutama untuk kasus hipokalsemia subklinis. Tidak seperti pemberian kalsium secara
intravena, bolus kalsium oral membentuk peningkatan konsentrasi kalsium darah yang
lebih berkelanjutan tanpa meningkatkan konsentrasi kalsium darah mendekati tingkat
kardiotoksik. Pemberian suplemen kalsium segera setelah partus telah terbukti
meningkatkan fungsi leukosit polimorfonuklear . Suplementasi kalsium oral menurunkan
risiko satu atau lebih gangguan kesehatan, yaitu retensi plasenta, displaced abomasum,
metritis, dan mastitis (Caixeta dan Omontese 2021).

2.2.2 Serat Kasar pada Sapi Perah Periode Transisi


Kecernaan Neutral Detergent Fiber (NDF) dan Acid Detergent Fiber (ADF)
merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas pakan ruminansia. Kecernaan NDF
dan ADF ditentukan oleh aktivitas mikroba selulolitik (Ransa et al. 2020). NDF terdiri atas
hemiselulosa, selulosa, lignin, dan protein yang terikat pada dinding sel yang mudah larut
dalam detergent netral, sedangkan ADF merupakan zat yang terdiri atas lignin dan selulosa
yang mudah larut dalam detergent asam. Tingkat kecernaan NDF yang rendah akan
menurunkan konsumsi ransum. Untuk memenuhi kebutuhan energi sapi perah pada periode
laktasi, dibutuhkan pakan dengan kecernaan yang tinggi untuk meningkatkan konsumsi
dari sapi perah. Kadar NDF (Neutral Detergent Fiber) yang sesuai dengan kebutuhan sapi
perah masa transisi berdasarkan NRC (2001) yaitu sebesar 25%-33%. Kandungan NDF
tidak boleh terlalu tinggi dan juga terlalu rendah. Rendahnya kandungan NDF akan
berdampak pada berkurangnya kebutuhan nutrien ternak, terutama pada volatile fatty acid
(VFA) yang akan menghasilkan asam asetat, butirat, propionat, dan energi sebagai bahan
dasar pembuatan lemak susu (Suhendra et al. 2015).
Kecernaan NDF pakan dipengaruhi oleh kandungan nutrien lain seperti protein
kasar (PK). Menurut Wawo et al. (2020), kadar protein yang tinggi dapat meningkatkan
kecernaan NDF. Jumlah protein pakan akan memengaruhi populasi mikroba dalam rumen.
Hal ini berkaitan dengan peranan mikroba rumen dalam proses pencernaan. Meningkatnya
protein pakan akan meningkatkan populasi mikroba rumen yang dapat mencerna serat
kasar (Desfrida 2022).

2.2.3 Protein pada Sapi Perah Periode Transisi


Mekanisme protein seimbang pada sapi perah selama periode transisi melibatkan
berbagai proses metabolik dan fisiologis yang penting untuk menjaga kesehatan dan
produksi susu yang optimal. Selama periode transisi, sapi perah membutuhkan protein
untuk memperbaiki dan mengganti jaringan tubuh yang rusak, termasuk jaringan kelenjar
susu. Protein pakan akan mengalami degradasi oleh enzim mikroba dalam rumen dan
menghasilkan asam amino. Asam amino tersebut mengalami deaminasi menghasilkan
ammonia (NH3) dan a-keto, keduanya dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk sintesis
protein bagi tubuh sehingga dapat berproliferasi (Arora 1989). Protein yang dikonsumsi
dalam pakan dipecah menjadi asam amino di usus sapi dan kemudian diserap ke dalam
darah. Asam amino ini digunakan oleh tubuh untuk mensintesis protein baru yang
diperlukan. Selama periode transisi, beberapa asam amino dapat digunakan sebagai
substrat untuk produksi glukosa melalui proses glukoneogenesis. Glukosa ini penting untuk
menjaga tingkat energi yang memadai dalam tubuh sapi perah dan mendukung produksi
susu yang tinggi. Jumlah protein tercerna merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
kadar protein susu (Muktiani 2017).
Mekanisme penting dalam pengaturan protein pada sapi perah adalah menjaga
homeostasis nitrogen. Ketika protein dipecah untuk menghasilkan energi atau glukosa,
nitrogen yang terlepas sebagai produk samping harus dikeluarkan dari tubuh sapi. Sebagian
besar nitrogen diekskresikan melalui urin dalam bentuk urea. Sistem ginjal sapi perah juga
berperan dalam mempertahankan keseimbangan nitrogen dengan mengeluarkan urea yang
sesuai dengan asupan protein. Sapi perah cenderung mengatur asupan pakan berdasarkan
kebutuhan protein tubuh. Mekanisme regulasi fisiologis memungkinkan sapi perah untuk
meningkatkan atau mengurangi konsumsi pakan berprotein tinggi sesuai dengan kebutuhan
tubuh. Hal ini membantu menjaga keseimbangan protein dan mencegah kekurangan atau
kelebihan protein dalam diet. Pengaturan protein yang seimbang selama periode transisi
pada sapi perah sangat penting untuk menjaga kesehatan dan produksi susu yang optimal
(Sun et al. 2016).
Selama periode transisi pada sapi perah, kebutuhan akan nutrisi, termasuk protein,
meningkat secara signifikan. Kebutuhan protein pada periode transisi bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan sapi yang sedang mengalami perubahan metabolik dan fisiologis
yang signifikan. Selama periode ini, sapi perah akan mengalami peningkatan produksi susu
yang cukup drastis. Untuk mempertahankan produksi susu yang tinggi dan mencegah
masalah kesehatan, asupan protein yang memadai sangat penting. Asupan protein pada sapi
perah selama periode transisi berkisar antara 16 hingga 18% dalam pakan kering (dry
matter) yang dikonsumsi. Namun, kebutuhan protein juga dapat bervariasi, tergantung
pada faktor-faktor seperti tingkat produksi susu, bobot badan sapi, dan kualitas pakan yang
tersedia. Dalam rangka mencapai asupan protein yang adekuat, pemberian pakan yang kaya
akan protein seperti hijauan berkualitas tinggi, jerami fermentasi, dan konsentrat protein
tinggi merupakan praktik yang umum dilakukan. Selain itu, perlu dilakukan monitoring
secara rutin terhadap sapi perah untuk memastikan bahwa kebutuhan protein dan nutrisi
lainnya terpenuhi dengan baik selama periode transisi ini.

2.2.4 Metabolisme Lemak pada Sapi Perah Periode Transisi


Pada periode transisi, sapi melakukan adaptasi homeorhetik utama dari
metabolisme lipid dengan memobilisasi lemak tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi
sapi selama periode transisi. Lemak tubuh dimobilisasi ke dalam darah dalam bentuk
Nonesterified Fatty Acid (NEFA). Nonesterified Fatty Acid (NEFA) merupakan asam
lemak tidak teresterifikasi yang diperoleh dari perombakan cadangan lemak berupa
triasilgliserol/trigliserida dalam jaringan adiposa/depo lemak yang mampu menghasilkan
energi melalui oksidasi dalam jaringan hati dan otot (Tasse dan Auza 2014). Bila ternak
kekurangan energi karena asupan energi tidak mencukupi kebutuhan, maka cadangan
energi berupa lemak akan dirombak menjadi NEFA dan gliserol yang dapat dijadikan
sebagai sumber energi sapi laktasi.
Nonesterified Fatty Acid (NEFA) digunakan untuk membuat lebih dari 40% lemak
susu selama awal periode transisi. Otot rangka menggunakan beberapa NEFA sebagai
energi, khususnya karena mengurangi ketergantungannya pada glukosa sebagai energi
selama awal laktasi. Konsentrasi NEFA plasma meningkat sebagai respons terhadap
peningkatan kebutuhan energi disertai dengan asupan pakan yang tidak memadai,
konsentrasi DMI dan NEFA plasma biasanya berbanding terbalik. Hal ini ditunjukkan
dengan kebutuhan NEFA sebanding dengan persediaannya pada hati (Reynolds et al.
2003), namun hati biasanya tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menyekresikan
NEFA sepenuhnya melalui ekspor ke dalam darah atau katabolisme untuk energi, oleh
karena itu, sapi cenderung mengakumulasi NEFA sebagai trigliserida di dalam hati ketika
NEFA dilepaskan dari jaringan adiposa ke dalam sirkulasi.
Perombakan cadangan lemak tubuh berupa trigliserida terakumulasi di hati pada
sapi yang berproduksi tinggi selama beberapa minggu pertama post partus. Hal ini
menunjukkan konsentrasi amonia menjadi dua kali lipat ketika konsentrasi trigliserida di
hati meningkat selama 2 hari pertama post partus. Tingginya amonia yang di dalam hati
mampu menghambat kapasitas hepatosit untuk mensintesis glukosa dari propionat.

2.2.5 Se-Vitamin E pada Sapi Perah Periode Transisi


Gangguan reproduksi dalam periode transisi dapat dicegah dengan penambahan
selenium dan vitamin E (Nowak et al. 2012). Selenium-vitamin E memiliki peran penting
untuk meningkatkan fertilitas sapi betina. Peran penting tersebut, yakni mampu
mempengaruhi kecepatan waktu timbulnya estrus sehingga dapat meningkatkan angka
konsepsi.
Pentingnya selenium dan vitamin E untuk fertilitas betina juga telah dibuktikan oleh
beberapa peneliti. Hasil penelitian secara in vivo dibuktikan oleh El-Shahat dan Monem
(2011) pada ternak kambing, dimana selenium dan vitamin E mempengaruhi kecepatan
waktu timbulnya estrus dan meningkatkan kejadian konsepsi. Hal tersebut dikarenakan
selenium dan vitamin E merupakan antioksidan yang menstimulasi proses steroidogenesis
dan merangsang kelenjar pituitari anterior untuk mensekresikan hormon steroid serta
menginisiasi kejadian folikulogenesis pada ovarium. Selain in vivo, dilakukan pula
penelitian secara in vitro pada sel 3 granulosa dilakukan oleh Basini dan Tamanini (2000)
yang menunjukkan bahwa secara signifikan selenium berperanan merangsang proliferasi
sel dari beberapa folikel kecil yang akan mendorong produksi estrogen melalui mekanisme
penghambatan terhadap nitric oxide.
Selenium dan vitamin E bekerja saling sinergis (Pavlata et al. 2004), vitamin E di
sisi reproduksi berperanan mengontrol peroksidasi lemak asam arakhidonat yang
merupakan prekursor asam arakhidonat untuk pembentukan prostaglandin (Baktiyani dan
Wahyudi 2005). Hormon prostaglandin berperanan dalam lisisnya korpus luteum
(luteolisis) (Thatcher et al. 2010). Kejadian luteolisis akan diikuti dengan peningkatan
produksi estrogen yang dihasilkan oleh folikel sehingga memunculkan kejadian estrus pada
ternak (Spencer dan Bazer 2004). Peningkatan kadar estrogen dalam perihal di atas dapat
berlangsung atas peran selenium-vitamin E dalam mekanisme penghambatan produksi
nitric oxide saat proses produksi estrogen dari sel granulosa sehingga aktivitas
folikulogenesis dan ovulasi dapat berlangsung. Peran lain dari selenium dan vitamin E,
untuk aktivasi kemotaksis neutrofil pada sistem imun induk yang mendukung proses
pelepasan plasenta (Bourne et al. 2007).
Optimalisasi reproduksi pada sapi perah dapat dilakukan dengan pemberian
selenium dan vitamin E, mulai umur kebuntingan 7 bulan sampai akhir masa kritis yakni
dua minggu setelah melahirkan. Umur kebuntingan 7 bulan merupakan masa istirahat
perah sehingga terjadi perubahan hormonal, nutrisi serta lingkungan fisik dan sosial yang
akan mempengaruhi proses kelahiran (Prasdini 2014).
2.3 Manajemen Pakan
Periode transisi pada sapi perah berlangsung sejak sapi memasuki program pengeringan
sampai awal laktasi (2-3 minggu prepartum sampai 2-3 minggu post partum) (Permana et al.
2020). Pada akhir periode kering sampai 3 minggu setelah melahirkan diperlukan pakan yang
dapat menjaga keseimbangan energi dan mineral agar menjaga kondisi sapi sehat dan produktif.
Pada periode transisi, negative energy balance sering terjadi yaitu kondisi dimana keseimbangan
antara energi yang dikonsumsi dan digunakan oleh tubuh baik sebagai kebutuhan pokok atau untuk
produksi tidak seimbang. Maka dari itu, diperlukan pakan dengan kandungan protein dan energi
tinggi yang mudah dimetabolisme ditambah dengan pemberian suplementasi vitamin dan mineral
(Suranindyah et al. 2020).
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam manajemen pakan sapi pada saat periode transisi
yaitu kualitas pakan dalam hal ini konsentrat dengan nutrisi yang seimbang termasuk protein,
energi, serat, vitamin dan mineral (Suranindyah et al. 2020). Selain itu, penting sekali untuk
memastikan dry matter intake (DMI) yang tinggi terutama saat periode mendekati partus dan
beberapa minggu setelah partus. Hal yang dapat dilakukan yaitu menggunakan produk nabati
(minyak esensial, herbal, rempah-rempah dan ekstrak) yang pastinya aman untuk membuat pakan
dengan rasa yang disukai sapi karena mereka memiliki hampir tiga kali lebih banyak sel reseptor
rasa dibandingkan manusia. Selanjutnya yaitu dengan meningkatkan efektivitas konversi pakan
dengan meningkatkan kecernaan serta mendapatkan lebih banyak nutrisi dari pakan. Peningkatan
populasi mikroba dalam rumen dapat meningkatkan kecernaan pakan serta meningkatkan produksi
asetat, propionat dan butirat yang berefek pada keseimbangan energi tubuh yang lebih baik serta
peningkatan produksi susu. Oleh karena itu, suplementasi mikroba rumen yang yang bermanfaat
disertai komponen fungsional seperti nukleotida dan glukan (Bakshi et al. 2017). Suplementasi
lain yang baik untuk kesehatan sapi saat periode transisi yaitu asam lemak omega-3, asam linoleat,
antioksidan, β-carotene dan L-carnitine (Bakshi et al. 2017)
Hal lain yang harus diperhatikan adalah air bersih dan pemberian pakan. Produksi susu
bergantung pada jumlah air yang masuk. Sekitar 5 liter air diperlukan per kg susu yang dihasilkan.
Penurunan asupan air sebesar 40% menghasilkan penurunan DMI 16-24% dan penurunan produksi
susu yang cukup besar (Wheeler 2014). Manajemen nutrisi memainkan fase transisi sapi. Asupan
pakan berkorelasi positif dengan suhu sekitar. Sapi yang diberi pakan saat pagi hari yaitu pukul
05.00-06.00 akan lebih nyaman karena puncak produksi panasnya akan terjadi saat 08.00-09.00
sebelum hari menjadi panas. Kejadian yang sama terjadi saat pemberian pakan dilakukan pada
sore hari, puncak produksi panas akan terjadi saat malam hari yaitu saat temperatur sekitar rendah.
Waktu ini yang direkomendasikan karena sapi menjadi lebih nyaman dibandingkan yang diberikan
makan saat pukul 08.00 pagi dimana puncak produksi terjadi pukul 11.00 atau siang hari yang
sangat panas membuat sapi menjadi tidak nyaman. Hal ini yang akan menyebabkan periode
produksi susu tidak optimal. Selain itu, disarankan untuk memberikan pakan dengan porsi kecil
namun frekuensi banyak (3-4 kali per hari) karena porsi makan besar akan membuat sapi
memproduksi panas yang lebih tinggi (Bakshi et al. 2017).
Fase pemberian pakan secara bertahap juga penting untuk memenuhi kebutuhan pakan
yang optimal bagi sapi. Terdapat tiga fase untuk pemberian makanan bertahap (Fase kering jauh,
fase kering dekat, dan sapi segar) (Larsen dan Kristensen 2012). Pada fase kering jauh dibutuhkan
total mixed ratio (TMR) 25-30% silase untuk meningkatkan palatabilitas ransum bila sapi lemah,
belum tumbuh mencapai ukuran dewasa, tekanan lingkungan, dan juga pakan yang berkualitas
rendah diberikan. Selama fase kering dekat kadar natrium harus rendah dan TMR harus dicampur
dengan anionik 100g kalsium/hari dan juga ragi (S. cerevisiae), 6–8 gram niasin/hari, dan 100–
150 gram kalsium propionat mulai 3–7 hari sebelum melahirkan. Saat fase sapi segar setelah nifas
kepadatan ransum harus ditingkatkan untuk memeriksa DMI. TMR harus mengandung UDP dan
PEF yang dapat dicerna, seperti sekam kedelai atau bubur jeruk dan harus dilengkapi dengan
nutrisi yang dilindungi, 12 gram niasin/hari, 1,5% natrium bikarbonat dan magnesium oksida
sebagai penyangga, kultur ragi (S. cerevisiae), dan kalsium propionat untuk menjaga glukosa
darah. Frekuensi makan harus setidaknya tiga sampai empat kali/hari (Bakshi et al. 2017).

III SIMPULAN
Pengetahuan mengenai manajemen pakan dan komposisi dalam pakan yang dibutuhkan
dan relevan dengan kondisi sapi pada periode transisi penting untuk dimiliki. Peternak dan praktisi
peternakan dapat mengoptimalkan manajemen pakan sapi pada periode transisi untuk mendukung
kesehatan dan kesejahteraan hewan, serta meningkatkan performa dan produktivitas sapi selama
fase tersebut. Komposisi dalam pakan yang mendukung keseimbangan energi pada masa transisi
sapi yang penting untuk diperhatikan berupa keseimbangan kation dan anion, serat kasar, protein,
lemak, Se, serta vitamin E. Praktik manajemen pakan yang tepat diharapkan dapat menghasilkan
peningkatan efisiensi pakan, penurunan risiko masalah kesehatan, dan hasil yang lebih baik dalam
industri peternakan sapi.

IV DAFTAR PUSTAKA

Aleri W, Hine BC, Pyman MF, Mansell PD, Wales WJ, Mallard B, Fisher AD. 2016. Periparturient
immunosuppression and strategies to improve dairy cow health during the periparturient
period. Research in Veterinary Science. 108: 8–17.
Arora SP. 1989. Pencernaan Mikrobia pada Ruminansia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Bakshi MPS, Wadhwa M, Makkar HPS. 2017. Feeding of high-yielding bovines during transition
phase. CAB Reviews. 12(6): 1-28.
Baktiani SCW, Wahyudi I. 2005. Perbedaan efektivitas pemberian vitamin e 100 iu dengan aspirin
81mg untuk pencegahan preeklamsia pada primigravida. Jurnal Kedokteran Brawijaya.
21(3): 122-126.
Basini G, Tamanini C. 2000. Selenium stimulates estradiol production in bovine granulose cell
possible involvement of nitric oxide. Domestic Animal Endocrinology. 18: 1-17.
Bourne N, Laven R, Wathes DC, Martinez T, McGowan M. 2007. A meta analysis of the effects
of vitamin e supplementation on the incidence of retained foetal membranes in dairy cows.
Theriogenology. 67(3): 494-501
Butler ST, Marr AL, Pelton SH, Radcliff RP, Lucy MC, Butler WR. 2003. Insulin restores GH
responsiveness during lactation-induced negative energy balance in dairy cattle: effects on
expression of IGF-I and GH receptor 1A. Journal of Endocrinology 176(2): 205-217.
Butler WR. 2000. Nutritional interactions with reproductive performance in dairy cattle.
Anim Reprod Sci. 60: 449-457.
Desfrida R. 2021. Formulasi ransum sapi perah transisi berbasis keseimbangan kation-anion dan
NDF menggunakan bahan pakan lokal [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
El-Shahat K, Abdel Monem UM. 2011. Effect of dietary supplementation with vitamin e and/or
selenium on metabolic and reproductive performance of egyptian baladi ewes under
subtropical conditions. World Applied Sciences Journal. 12(9): 1492-1499.
Esposito G, Irons PC, Webb EC, Chapwanya A. 2014. Interactions between negative energy
balance, metabolic diseases, uterine health and immune response in
transition dairy cows. Animal Reproduction Science. 144(3-4): 60-71.
Larsen M, Kistensen NB. 2012. Efek strategi pemberian makan glukogenik dan ketogenik pada
glukosan splanknik dan metabolisme asam amino pada sapi Holstein transisi postpartum.
Jurnal Ilmu Susu. 95: 5946-5960.
Lean I, DeGaris P. 2010. Transition Cow Management. Australia: Dairy Australia.
Merdana IM, Sulabda IM, Putra IDAMW, Agustina IPS. 2020. Kadar glukosa darah sapi Bali pada
periode periparturien. Indonesia Medicus Veterinus. 9(2): 295–304.
Muktiani A. 2017. Korelasi antara konsumsi protein, energi dan bulan laktasi dengan produksi
susu sapi perah di kabupaten Semarang. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah. 5(2): 153-
160.
Nowak W, Mikula R, Zachwieja A, Paczyńska K, Pecka E, Drzazga K, Ślósarz P. 2012. The
impact of cow nutrition in the dry period on colostrums 66 quality and immune status of
calves. Polish Journal of Veterinary Science. 15(1): 72-78.
[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Washington DC
(WA): National Academy Pr.
Pavlata L, Pracek J, Filipek J, Pechova A. 2004. Influence of parenteral administration of selenium
and vitamin e during pregnancy on selected metabolic parameters and colostrums quality
in dairy cow at parturition. Vet Med Czech. 49(5): 149-155.
Permana AH, Hernaman I, Mayasari N. 2020. Profil protein darah sapi perah masa transisi dengan
indigofera zollingeriana sebagai pengganti konsentrat serta penambahan mineral dalam
pakan. Sains Peternakan. 18(1): 53-59.
Prasdini RA. 2014. Optimalisasi reproduksi sapi perah frisien holstein ( fh ) dengan penambahan
variasi dosis selenium-vitamin etm secara intramuskular[tesis]. Malang: Universitas
Brawijaya
Roche JR, Bell AW, Overton TR, Loor JJ. 2013. Nutritional management of the transition cow in
the 21 century – a paradigm shift in thinking. Animal Product Science. 53(9):1000-1023.
Spencer TE, Bazer FW. 2004. Review: conceptus signals for establishment and maintenance of
pregnancy. Reproductive Biology and Endocrinology. 2(49): 1-15.
Sun F, Cao Y, Cai C, Li S, Yu C, Yao J. 2016. Regulation of nutritional metabolism in transition
dairy cows: energy homeostasis and health in response to post-ruminal choline and
methionine. PloS one. 11(8)
Suranindyah Y, Astuti A, Widayati DT, Haryadi T, Muzayannah MAU. 2020. Pendampingan
peternak dalam pengelolaan pakan sapi perah periode transisi di kelompok Ploso Kerep,
Cangkringan, Sleman selama kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Indonesian Journal
of Community Engagement. 6(3): 186-194.
Suryanah, Nur H, Anggraeni. 2016. Pengaruh neraca kation anion ransum yang berbeda terhadap
bobot karkas dan bobot giblet ayam broiler. Jurnal Peternakan Nusantara. 2(1):2442-
2541.
Thatcher WW, Santos JEP, Silvestre FT, Kim IH, Staples CR. 2010. Perspective on physiological
endocrine and nutritional factors influencing fertility in post partum dairy cow. Reprod
Dom Anim. 45(3): 2-14.
Ransa CP, Tuturoong RAV, Pendong AF, Waani MR. 2020. Kecernaan NDF dan ADF pakan
lengkap berbasis tebon jagung pada sapi FH. Jurnal Zootech. 40(2):542-551.
Suhendra D, Anggiati GT, Sarah S, Nasrullah AF, Thimoty A, Utama DWC. 2015. Tampilan
kualitas susu sapi perah akibat imbangan konsentrat dan hijauan yang berbeda. Jurnal
Ilmu-Ilmu Peternakan. 25(1):42-46.
Venjakob PL, Borchardt S, Thiele G, Heuwieser W. 2016. Evaluation of ear skin temperature as a
cow-side test to predict postpartum calcium status in dairy cows. J. Dairy Sci. 99(8):6542–
6549.
Wawo FF, Pendong AF, Kaunang CL, Waani MR. 2020. Kecernaan NDF dan ADF ransum
komplit berbasis tebon jagung pada sapi peranakan ongole. Jurnal Zootech. 40(2):522-530.
Wheeler B. 2014. Guidelines for Feeding Dairy Cows. WorldCat [internet]. [diakses 2023 Mei
21]. https://www.worldcat.org/title/guidelines-for-feeding-dairy-cows/oclc/30761964.
Widhyari SD. 2005. Patofisiologi Sekitar Partus Pada Kambing Peranakan Etawah: Kajian peran
suplementasi zincum terhadap respons imunitas dan produktivitas [tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Wilkens MR, Nelson CD, Hernandez LL, McArt JAA. 2020. Symposium review: transition cow
calcium homeostatis-health effect of hypocalcemia and strategies for prevention. Journal
of Dairy Science. 103: 2902- 2927.

Anda mungkin juga menyukai