Disusun Oleh:
Kelompok 6
Chandra Kusuma Dewi B04190019
Dina Nurzuliana B04190024
Jeslyn Elen Hanrahan B04190042
Mumtasya Karima Putri B04190055
Nevy Aurelia Kharenindha B04190059
Niama Vinka Nur Afni B04190060
Oscar Daniel Kusumo Digyo B04190066
Rezqineu Akbar Saujana B04190072
Syaikhah Najibah B04190081
Syifa Noor Badriyyah B04190082
Magfirah Aliyya Nur Imanna Tangahu B04190094
1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan membahas mengenai manajemen pakan dan
komposisi dalam pakan yang dibutuhkan dan relevan dengan kondisi sapi pada periode transisi.
II PEMBAHASAN
2.1 Periode Transisi
Salah satu faktor yang harus diperhatikan pada manajemen produksi sapi perah adalah
masa transisi, karena banyaknya perubahan status fisiologis yang drastis terjadi lebih cepat dari
mulai perubahan gizi pada sapi, persiapan fetus, laktogenesis dan beranak. Menurut Merdana et
al. (2020), periode transisi atau periode periparturient didefinisikan sebagai masa transisi yang
berlangsung mulai tiga minggu sebelum melahirkan (prepartus) sampai tiga minggu setelah
melahirkan (postpartus). Selama masa transisi, sapi mudah terkena gangguan metabolis dan
infeksi penyakit karena terjadi penurunan daya tahan tubuh. Kondisi patologis yang sering terjadi
saat periode transisi yaitu milk fever, mastitis, fatty liver disease, ketosis, distokia, retensi plasenta,
metritis, hipomagnesaemia dan abomasal displacements. Kejadian tersebut dipicu karena respon
imun suboptimal dan juga keseimbangan energi negatif (Aleri et al. 2016).
Pada periode transisi, sering terjadi negative energy balance (NEB), yakni kondisi yang
tidak seimbang antara energi yang dikonsumsi dengan energi yang digunakan oleh tubuh untuk
produksi dan kebutuhan pokok. Sumber energi yang dimiliki hewan ternak direfleksikan oleh
kadar glukosa di dalam darah dan kondisi ternak akan menjadi lemah bila produksi energi tidak
mencukupi. Glukosa darah merupakan gula yang terdapat dalam darah yang terbentuk dari
metabolisme karbohidrat dalam makanan dan disimpan sebagai glikogen di hati dan otot rangka.
Kebutuhan akan glukosa meningkat sebanding tingkat metabolisme tubuh hewan. Kekurangan
glukosa darah merupakan salah satu penyakit metabolik yang disebut hipoglikemia, yang dapat
berlangsung secara subklinis maupun klinis. Manifestasi hipoglikemia dapat berupa ketosis
nervosa maupun ketosis digestive, yang memicu munculnya infeksi sekunder seperti demam,
mastitis, dan retensi placenta (Merdana et al. 2020).
Penelitian Merdana et al. (2020) menjelaskan bahwa glukosa darah dapat dilihat dari profil
metabolik darah untuk membantu mendiagnosa berbagai penyakit dan gangguan metabolisme.
Salah satu parameter uji metabolik darah adalah total protein darah yang didalamnya terbagi dua,
yaitu albumin dan globulin. Selama periode transisi, sapi mengalami perubahan fisiologis dari fase
tidak produktif menjadi siap berproduksi susu sehingga pakan yang dibutuhkan berbeda dengan
pada periode kering, yaitu padat nutrien.
2.2 Komposisi dalam Pakan yang Mendukung Keseimbangan Energi pada Masa Transisi
Pada periode transisi, setelah sapi beranak, yaitu awal laktasi, sapi perah mengalami
peningkatan kebutuhan kalsium yang drastis dalam waktu yang singkat (Wilkens 2020). Sebagai
akibatnya, pada masa transisi, sapi mudah terkena gangguan metabolisme, kekurangan energi,
gangguan imunitas dan peradangan, defisiensi kalsium (hipokalsemia), dan interaksinya dengan
penyakit lain. Penyakit yang menyerang sapi pada periode transisi misalnya infeksi uterus dan
mastitis (Suranindyah et al. 2020).
2.2.1 Dietary Cation Anion Difference (DCAD) pada Sapi Perah Periode Transisi
Untuk meminimalkan negative energy balance pada periode transisi, diperlukan
pakan yang memiliki kandungan protein dan energi tinggi, mudah dimetabolisme, dan
penambahan mineral. Tujuan pemberian pakan tersebut ialah supaya dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi yang meningkat secara cepat, mencegah hipokalsemia, meningkatkan
imunitas, dan menghindarkan penyakit. Pada periode transisi, disarankan pakan yang
bersifat lipogenik, yaitu menghasilkan lebih banyak energi untuk sintesis susu dan kadar
lemak (Suranindyah et al. 2020).
Keseimbangan kation-anion (DCAD) pakan dapat diketahui melalui kadar mineral
Na, K, Cl, dan S yang terkandung dalam pakan. Kation kalium dan natrium serta anion
klorida dan sulfur merupakan ion utama yang diperlukan tubuh karena berkaitan dengan
status asam basa dalam tubuh (Suryanah et al. 2016). Manipulasi pakan melalui perbedaan
keseimbangan kation anion pada ternak ruminansia dapat dilakukan untuk memperbaiki
kondisi fisiologis ternak yang akan melahirkan demi mencegah kekurangan mineral seperti
milk fever.
Keseimbangan kation anion memiliki dampak secara langsung pada keseimbangan
asam basa darah. Dengan demikian, pemberian pakan yang terlalu basa akan meningkatkan
pH darah sapi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zachwieja et al. (2022) menunjukkan
bahwa penurunan DCAD di level antara -50 hingga -150 mEq/kg BK pada ransum sapi
prepartum dapat meningkatkan metabolisme kalsium dan memiliki pengaruh positif
terhadap kesehatan hewan tersebut. NRC (2001) menyatakan bahwa pada sapi perah yang
memasuki laktasi 1, DCAD yang ideal ialah 24 mEq/kg BK untuk mengurangi risiko
gangguan metabolis. Lean dan DeGaris (2010) menyatakan bahwa ransum sapi perah masa
transisi yang baik memiliki nilai DCAD kurang dari 80 mEq/kg. Kandungan DCAD yang
melebihi normal akan menyebabkan terjadinya milk fever. Selain itu, kadar kalium pakan
yang terlalu tinggi akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia. Kadar kalsium dan fosfor
masing-masing disediakan sebanyak 0,39% dan 0,24% dari bahan kering ransum atau
dengan perbandingan 1,4:1,0 (Suranindyah et al. 2020).
Strategi nutrisi lain yang telah diselidiki untuk mencegah hipokalsemia adalah
penggabungan senyawa yang mampu menahan mineral makanan, termasuk kalsium,
menurunkan ketersediaan kalsium untuk penyerapan usus. Penambahan zeolit A pada diet
prepartum yang tidak diasamkan menghasilkan peningkatan konsentrasi kalsium serum di
sekitar partus dan performa postpartum yang sama jika dibandingkan dengan hewan yang
menerima diet dasar yang sama tanpa penambahan pengikat kalsium (Caixeta dan
Omontese 2021).
Penggunaan suplemen kalsium oral profilaksis selama awal laktasi telah diusulkan
sebagai strategi untuk mengatasi defisit kalsium selama beberapa hari pertama laktasi,
terutama untuk kasus hipokalsemia subklinis. Tidak seperti pemberian kalsium secara
intravena, bolus kalsium oral membentuk peningkatan konsentrasi kalsium darah yang
lebih berkelanjutan tanpa meningkatkan konsentrasi kalsium darah mendekati tingkat
kardiotoksik. Pemberian suplemen kalsium segera setelah partus telah terbukti
meningkatkan fungsi leukosit polimorfonuklear . Suplementasi kalsium oral menurunkan
risiko satu atau lebih gangguan kesehatan, yaitu retensi plasenta, displaced abomasum,
metritis, dan mastitis (Caixeta dan Omontese 2021).
III SIMPULAN
Pengetahuan mengenai manajemen pakan dan komposisi dalam pakan yang dibutuhkan
dan relevan dengan kondisi sapi pada periode transisi penting untuk dimiliki. Peternak dan praktisi
peternakan dapat mengoptimalkan manajemen pakan sapi pada periode transisi untuk mendukung
kesehatan dan kesejahteraan hewan, serta meningkatkan performa dan produktivitas sapi selama
fase tersebut. Komposisi dalam pakan yang mendukung keseimbangan energi pada masa transisi
sapi yang penting untuk diperhatikan berupa keseimbangan kation dan anion, serat kasar, protein,
lemak, Se, serta vitamin E. Praktik manajemen pakan yang tepat diharapkan dapat menghasilkan
peningkatan efisiensi pakan, penurunan risiko masalah kesehatan, dan hasil yang lebih baik dalam
industri peternakan sapi.
IV DAFTAR PUSTAKA
Aleri W, Hine BC, Pyman MF, Mansell PD, Wales WJ, Mallard B, Fisher AD. 2016. Periparturient
immunosuppression and strategies to improve dairy cow health during the periparturient
period. Research in Veterinary Science. 108: 8–17.
Arora SP. 1989. Pencernaan Mikrobia pada Ruminansia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Bakshi MPS, Wadhwa M, Makkar HPS. 2017. Feeding of high-yielding bovines during transition
phase. CAB Reviews. 12(6): 1-28.
Baktiani SCW, Wahyudi I. 2005. Perbedaan efektivitas pemberian vitamin e 100 iu dengan aspirin
81mg untuk pencegahan preeklamsia pada primigravida. Jurnal Kedokteran Brawijaya.
21(3): 122-126.
Basini G, Tamanini C. 2000. Selenium stimulates estradiol production in bovine granulose cell
possible involvement of nitric oxide. Domestic Animal Endocrinology. 18: 1-17.
Bourne N, Laven R, Wathes DC, Martinez T, McGowan M. 2007. A meta analysis of the effects
of vitamin e supplementation on the incidence of retained foetal membranes in dairy cows.
Theriogenology. 67(3): 494-501
Butler ST, Marr AL, Pelton SH, Radcliff RP, Lucy MC, Butler WR. 2003. Insulin restores GH
responsiveness during lactation-induced negative energy balance in dairy cattle: effects on
expression of IGF-I and GH receptor 1A. Journal of Endocrinology 176(2): 205-217.
Butler WR. 2000. Nutritional interactions with reproductive performance in dairy cattle.
Anim Reprod Sci. 60: 449-457.
Desfrida R. 2021. Formulasi ransum sapi perah transisi berbasis keseimbangan kation-anion dan
NDF menggunakan bahan pakan lokal [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
El-Shahat K, Abdel Monem UM. 2011. Effect of dietary supplementation with vitamin e and/or
selenium on metabolic and reproductive performance of egyptian baladi ewes under
subtropical conditions. World Applied Sciences Journal. 12(9): 1492-1499.
Esposito G, Irons PC, Webb EC, Chapwanya A. 2014. Interactions between negative energy
balance, metabolic diseases, uterine health and immune response in
transition dairy cows. Animal Reproduction Science. 144(3-4): 60-71.
Larsen M, Kistensen NB. 2012. Efek strategi pemberian makan glukogenik dan ketogenik pada
glukosan splanknik dan metabolisme asam amino pada sapi Holstein transisi postpartum.
Jurnal Ilmu Susu. 95: 5946-5960.
Lean I, DeGaris P. 2010. Transition Cow Management. Australia: Dairy Australia.
Merdana IM, Sulabda IM, Putra IDAMW, Agustina IPS. 2020. Kadar glukosa darah sapi Bali pada
periode periparturien. Indonesia Medicus Veterinus. 9(2): 295–304.
Muktiani A. 2017. Korelasi antara konsumsi protein, energi dan bulan laktasi dengan produksi
susu sapi perah di kabupaten Semarang. Jurnal Litbang Provinsi Jawa Tengah. 5(2): 153-
160.
Nowak W, Mikula R, Zachwieja A, Paczyńska K, Pecka E, Drzazga K, Ślósarz P. 2012. The
impact of cow nutrition in the dry period on colostrums 66 quality and immune status of
calves. Polish Journal of Veterinary Science. 15(1): 72-78.
[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Washington DC
(WA): National Academy Pr.
Pavlata L, Pracek J, Filipek J, Pechova A. 2004. Influence of parenteral administration of selenium
and vitamin e during pregnancy on selected metabolic parameters and colostrums quality
in dairy cow at parturition. Vet Med Czech. 49(5): 149-155.
Permana AH, Hernaman I, Mayasari N. 2020. Profil protein darah sapi perah masa transisi dengan
indigofera zollingeriana sebagai pengganti konsentrat serta penambahan mineral dalam
pakan. Sains Peternakan. 18(1): 53-59.
Prasdini RA. 2014. Optimalisasi reproduksi sapi perah frisien holstein ( fh ) dengan penambahan
variasi dosis selenium-vitamin etm secara intramuskular[tesis]. Malang: Universitas
Brawijaya
Roche JR, Bell AW, Overton TR, Loor JJ. 2013. Nutritional management of the transition cow in
the 21 century – a paradigm shift in thinking. Animal Product Science. 53(9):1000-1023.
Spencer TE, Bazer FW. 2004. Review: conceptus signals for establishment and maintenance of
pregnancy. Reproductive Biology and Endocrinology. 2(49): 1-15.
Sun F, Cao Y, Cai C, Li S, Yu C, Yao J. 2016. Regulation of nutritional metabolism in transition
dairy cows: energy homeostasis and health in response to post-ruminal choline and
methionine. PloS one. 11(8)
Suranindyah Y, Astuti A, Widayati DT, Haryadi T, Muzayannah MAU. 2020. Pendampingan
peternak dalam pengelolaan pakan sapi perah periode transisi di kelompok Ploso Kerep,
Cangkringan, Sleman selama kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Indonesian Journal
of Community Engagement. 6(3): 186-194.
Suryanah, Nur H, Anggraeni. 2016. Pengaruh neraca kation anion ransum yang berbeda terhadap
bobot karkas dan bobot giblet ayam broiler. Jurnal Peternakan Nusantara. 2(1):2442-
2541.
Thatcher WW, Santos JEP, Silvestre FT, Kim IH, Staples CR. 2010. Perspective on physiological
endocrine and nutritional factors influencing fertility in post partum dairy cow. Reprod
Dom Anim. 45(3): 2-14.
Ransa CP, Tuturoong RAV, Pendong AF, Waani MR. 2020. Kecernaan NDF dan ADF pakan
lengkap berbasis tebon jagung pada sapi FH. Jurnal Zootech. 40(2):542-551.
Suhendra D, Anggiati GT, Sarah S, Nasrullah AF, Thimoty A, Utama DWC. 2015. Tampilan
kualitas susu sapi perah akibat imbangan konsentrat dan hijauan yang berbeda. Jurnal
Ilmu-Ilmu Peternakan. 25(1):42-46.
Venjakob PL, Borchardt S, Thiele G, Heuwieser W. 2016. Evaluation of ear skin temperature as a
cow-side test to predict postpartum calcium status in dairy cows. J. Dairy Sci. 99(8):6542–
6549.
Wawo FF, Pendong AF, Kaunang CL, Waani MR. 2020. Kecernaan NDF dan ADF ransum
komplit berbasis tebon jagung pada sapi peranakan ongole. Jurnal Zootech. 40(2):522-530.
Wheeler B. 2014. Guidelines for Feeding Dairy Cows. WorldCat [internet]. [diakses 2023 Mei
21]. https://www.worldcat.org/title/guidelines-for-feeding-dairy-cows/oclc/30761964.
Widhyari SD. 2005. Patofisiologi Sekitar Partus Pada Kambing Peranakan Etawah: Kajian peran
suplementasi zincum terhadap respons imunitas dan produktivitas [tesis]. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Wilkens MR, Nelson CD, Hernandez LL, McArt JAA. 2020. Symposium review: transition cow
calcium homeostatis-health effect of hypocalcemia and strategies for prevention. Journal
of Dairy Science. 103: 2902- 2927.