Anda di halaman 1dari 8

Pendidikan Kewarganegaraan

FILSAFAT PANCASILA

DOSEN :
Dr. Suparno, SH., MH

MUHAMAD FAHRIZAL
4322130008
FAKULTAS TEKNIK
PENGERTIAN FILSAFAT

Istilah ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, (philosophia), tersusun dari kata
philos yang berarti cinta atau philia yang berarti persahabatan, tertarik
kepada dan kata sophos yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan,
ketrampilan, pengalaman praktis, inteligensi (Bagus, 1996: 242). Dengan
demikian philosophia secara harfiah berarti mencintai kebijaksanaan.
Adapun istilah ‘philosophos’ pertama kali digunakan oleh Pythagoras (572 -
497 SM) untuk menunjukkan dirinya sebagai pecinta kebijaksanaan (lover of
wisdom), bukan kebijaksanaan itu sendiri. Selain Phytagoras, filsuf-filsuf lain
juga memberikan pengertian filsafat yang berbedabeda.
Pengertian filsafat menurut beberapa filsuf,
yaitu antara lain :
a. Plato.
Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan
kebenaran yang asli.
b. Aristoteles.
Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung
di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan
estetika (filsafat keindahan).
c. Al Farabi.
Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang alam maujud bagaimana hakekat
yang sebenarnya.
d. Rene Descartes.
Filsafat adalah kumpulan segala pengetahuan dimana Tuhan, alam dan
manusia menjadi pokok penyelidikan.
e. Immanuel Kant.
Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menjadi pokok pangkal dari segala
pengetahuan, yang didalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui?
f. Langeveld.
Filsafat adalah berpikir tentang masalah-masalah yang akhir dan yang
menentukan, yaitu masalah-masalah yang mengenai makna keadaan,
Tuhan, keabadian dan kebebasan.
g. Hasbullah Bakry.
Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam
mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya sejauh yang
dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya
setelah mencapai pengetahuan itu. (Abbas Hamami M., 1976;2-3)
h. N. Driyarkara.
Filsafat adalah permenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebab
‘ada’ dan ‘berbuat’ permenungan tentang kenyataan (reality) yang sedalam-
dalamnya, sampai ke ‘mengapa’ yang penghabisan.
i. Notonagoro.
Filsafat itu menelaah hal-hal yang menjadi obyeknya dari sudut intinya yang
mutlak dan yang terdalam, yang tetap dan yang tidak berubah, yang disebut
hakekat.
j. IR. Poedjawijatna.
Filsafat ialah ilmu yang berusaha untuk mencari sebab yang sedalam-
dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.

PENGERTIAN PANCASILA
SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia mengandung pengertian
sebagai hasil perenungan mendalam dari para tokoh pendiri negara (the
founding fathers) ketika berusaha menggali nilai-nilai dasar dan merumuskan
dasar negara untuk di atasnya didirikan negara Republik Indonesia. Hasil
perenungan itu secara resmi disahkan bersamaan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 sebagai
Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia.
Urgensi Pancasila sebagai sistem filsafat atau yang dinamakan filsafat
Pancasila, artinya refleksi filosofis mengenai Pancasila sebagai dasar
negara. Sastrapratedja (2001) dalam Dikti (2016; 147) menjelaskan makna
filsafat Pancasila sebagai berikut:
Pengolahan filsofis Pancasila sebagai dasar negara ditujukan pada
beberapa aspek:
• Pertama, agar dapat diberikan pertanggungjawaban rasional dan
mendasar mengenai sila-sila dalam Pancasila sebagai prinsip-prinsip
politik.
• Kedua, agar dapat dijabarkan lebih lanjut sehingga menjadi
operasional dalam bidang-bidang yang menyangkut hidup bernegara.
• Ketiga, agar dapat membuka dialog dengan berbagai perspektif baru
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
• Keempat, agar dapat menjadi kerangka evaluasi terhadap segala
kegiatan yang bersangkut paut dengan kehidupan bernegara,
berbangsa, dan bermasyarakat, serta memberikan perspektif
pemecahan terhadap permasalahan nasional. Pertanggungjawaban
rasional, penjabaran operasional, ruang dialog, dan kerangka evaluasi
merupakan beberapa aspek yang diperlukan bagi pengolahan filosofis
Pancasila, meskipun masih ada beberapa aspek lagi yang masih dapat
dipertimbangkan.
Tujuan filsafat adalah mencari hakekat dari sesuatu obek/gejala secara
mendalam. Sedangkan pada ilmu pengetahuan empiris hanya membicarakan
gejala-gejala. Jadi dalam filsafat itu harus refleksi, radikal , dan integral.
Refleksi disini berarti manusia menangkap obyeknya secara intensional dan
sebagai hasil dari proses tersebut yakni keseluruhan nilai dan makna yang
diungkapkan manusia dari obyek-obyek yang dihadapinya.
Radikal adalah berasal dari kata radix (berarti akar). Jadi filsafat itu radikal
berarti filsafat harus mencari pengetahuan sedalam-dalamnya (sampai
keakar-akarnya). Disamping itu filsafat itu radikal karena berusaha untuk
mencari hakekat dari obyek yang dibahas. Filsafat tidak berhenti pada
pengetahuan periferis (kulit atau penampakannya) tetapi filsafat ingin
menembus hingga inti masalah dengan mencari manakah faktor-faktor yang
fundamental yang membentuk adanya sesuatu.
Filsafat itu integral berarti mempunyai kecenderungan untuk memperoleh
pengetahuan yang utuh sebagai suatu keseluruhan. Jadi filsafat ingin
memandang obyeknya secara integral.
Sistem filsafat menurut Louis of Kattsoff adalah kumpulan ajaran yang
terkoordinasikan. Suatu sistem filsafat haruslah memiliki ciri-ciri tertentu yang
berbeda dengan sistem lain, misalnya sistem ilmiah.
Realitas yang dihadapi manusia sangat luas, mencakup segala sesuatu baik
hal-hal yang dapat ditangkap dengan indera maupun yang dapat ditangkap
dengan akal. Sebagai makhluk yang berakal, manusia dapat melampaui
pengalamannya sehingga dapat menangkap kenyataan yang di luar
pengalaman. Realitas yang bersifat spiritual (kerokhanian), misalnya hakikat
atau esensi sesuatu hal tidak dapat ditangkap dengan indera akan tetapi
hanya dapat dimengerti atau difahami dengan perantaraan akal.

Dalam pengertiannya sebagai pengetahuan yang menembus dasar-dasar


terakhir dari segala sesuatu, filsafat memiliki empat cabang keilmuan yang
utama (dalam Dikti, 2013), yaitu:
1) Metafisika; cabang filsafat yang mempelajari asal mula segala sesuatu
yang-ada dan yang mungkin-ada. Metafisika terdiri atas metafisika
umum yang selanjutnya disebut sebagai ontologi, yaitu ilmu yang
membahas segala sesuatu yang-ada.
2) Epistemologi; cabang filsafat mempelajari seluk beluk pengetahuan.
Dalam epistemologi, terkandung pertanyaan-pertanyaan mendasar
tentang pengetahuan, seperti kriteria apa yang dapat memuaskan kita
untuk mengungkapkan kebenaran.
3) Aksiologi; cabang filsafat yang menelusuri hakikat nilai. Dalam
aksiologi terdapat etika yang membahas hakikat nilai baik-buruk, dan
estetika yang membahas nilai-nilai keindahan.
4) Logika; cabang filsafat yang memuat aturan-aturan berpikir rasional.
Logika mengajarkan manusia untuk menelusuri struktur-struktur
argumen yang mengandung kebenaran atau menggali secara optimal
pengetahuan manusia berdasarkan bukti-buktinya.

PANCASILA SEBAGAI KESATUAN NILAI

Susunan Pancasila adalah hierarkhis dan mempunyai bentuk piramidal.


Kalau dilihat dari isi urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian
tingkat dalam luasnya isi, tiap-tiap sila yang di belakang sila lainnya
merupakan pengkhususan dari sila-sila yang dimukanya. Jadi diantara lima
sila ada hubungan yang mengikat satu dengan yang lain, sehingga Pancasila
merupakan satu kesatuan yang bulat.
Tentang rumusan hierarchies piramidal Pancasila tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Sila Pertama: Ke-Tuhanan yang Maha Esa adalah meliputi dan
menjiwai sila-sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
2. Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah diliputi dan
dijiwai oleh sila Ketuhanan yang Maha Esa, meliputi dan menjiwai sila-
sila persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Sila ketiga: Persatuan Indonesia adalah diliputi dan dijiwai oleh sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
meliputi dan menjiwai sila-sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
4. Sila keempat: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan / perwakilan adalah diliputi dan dijiwai oleh
sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, meliputi dan menjiwai sila Keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Sila Kelima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah
dijiwai dan diliputi oleh sila-sila Ketuhanan yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan.
Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan keseluruhan dapat dirumuskan pula
dalam hubungannya saling mengisi atau mengkualifikasi dalam rangka
hubungannya hierarkhis piramidal tersebut. Tiap-tiap sila mengandung
empat sila lainnya. Misalnya sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (Notonagoro, 1975).

Anda mungkin juga menyukai