NIM : 232412035
Tempo.co
Setelah kembali menetapkan Ketua DPR, Setya Novanto, sebagai tersangka
dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP (10/11/2017), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak langsung bergerak cepat. Lembaga anti-
rasuah tersebut harus segera melimpahkan perkara ke pengadilan dan menahan
Novanto.
Dari sisi substansi kasus, penetapan Setya Novanto sebagai tersangka juga
merupakan langkah penting dalam upaya membongkar dan menuntaskan mega-
korupsi e-KTP. Sebab berdasarkan fakta persidangan, Novanto memainkan peran
yang sangat vital dalam proses perencanaan anggaran dan penentuan pemenang
proyek.
Walau mengaku sudah mengantongi dua alat bukti, tapi KPK tetap harus
berhati-hati dan belajar dari pengalaman sebelumnya. Jangan sampai langkah
mereka kandas lagi di sidang praperadilan. Karena sudah hampir pasti Setya
Novanto dan kuasa hukumnya akan mengajukan kembali praperadilan.
Tidak ada jalan lain bagi KPK selain mempercepat langkah untuk
membongkar skandal korupsi e-KTP. Paling tidak ada dua cara yang bisa dipakai.
Pertama, segera melimpahkan perkara ke pengadilan. Menurut pakar Hukum Tata
Negara Mahfud MD, dengan segera “melimpahkan” kasus ke pengadilan Tipikor,
maka tak ada waktu lagi bagi Novanto untuk mengajukan praperadilan kembali.
Berdasarkan aturan, tersangka tidak bisa mengajukan praperadilan jika kasus sudah
dilimpahkan ke pengadilan. Karena sudah masuk ke pokok perkara, bukan
prosedur lagi.
Pada sisi lain, Novanto pun tidak kooperatif. Berbagai alasan digunakan
guna menghindar dari panggilan para penyidik KPK. Mulai dari sedang reses,
berada di daerah pemilihan (dapil), hingga meminta surat persetujuan dari
presiden. Paling fenomenal adalah terserang berbagai penyakit seperti vertigo,
penurunan fungsi ginjal, hingga jantung ketika menetapkannya sebagai tersangka
untuk pertama kali.
Nasional Tempo.co
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, Jumat
(24/11) lalu mengatakan penyidik KPK tengah bekerja keras untuk menyelesaikan
berkas perkara korupsi proyek KTP Elektronik yang melibatkan tersangka Setya
Novanto, Ketua DPR RI. Upaya keras ini dilakukan agar berkas Setya segera
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Selain bergegas agar berkas pokok perkara selesai, KPK juga telah
mempersiapkan diri menghadapi permohonan praperadilan jilid kedua yang
diajukan oleh Setya Novanto. KPK tidak ingin kembali kalah dalam sidang
permohonan praperadilan yang akan dilaksanakan Kamis (30/11) di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan.
Melihat rekam jejak Hakim Kusno maka tidak ada pilihan lain bagi KPK
untuk mempercepat proses pelimpahan berkas perkara Setya Novanto ke
Pengadilan Tipikor dan sekaligus untuk menutup peluang Setya Novanto lolos dari
proses hukum.
Nasional Tempo
Setnov divonis 15 tahun penjara, denda sebesar 500 juta rupiah subsider 3
(tiga) bulan kurungan, pidana tambahan sebesar 7,3 juta USD dikurangi 5 miliar
rupiah yang sudah disetorkan ke negara, dan pencabutan hak politik 5 (lima) tahun
pasca pidana badannya selesai. Vonis ini tidak berbeda jauh dari tuntutan Jaksa
Penuntut umum, yang menuntut Setnov dengan pidana penjara 16 tahun, denda 1
miliar rupiah subsider 6 (enam) bulan kurungan.
Pada 23 April 2018, ada 77% peserta japat menyatakan bahwa pidana
penjara seumur hidup merupakan hukuman yang pantas dijatuhkan terhadap Setya
Novanto. Masih dari akun Twitter @SahabatICW, pada 24 April 2018 56% peserta
japat menyatakan ketidakpuasannya terhadap putusan Setya Novanto.
Putusan melampaui tuntutan jaksa bukan hal yang baru. Dalam pemantauan
tren vonis ICW, pada semester I 2017 saja, ada paling tidak 15 terdakwa yang
diputus di atas tuntutan jaksa, dari keseluruhan 352 terdakwa yang perkaranya
dipantau. Dengan demikian, putusan hakim untuk tidak menghukum Setya
Novanto dengan pidana maksimal seumur hidup, sangat disayangkan, mengingat
yang bersangkutan sudah secara terang-terangan bersikap tidak kooperatif
sepanjang proses hukum.
Vonis 15 tahun penjara terhadap Setya Novanto, mantan Ketua DPR dinilai
tidak menjerakan. Upaya pemiskinan dengan penggunaan regulasi pencucian uang
bisa menjadi alternatif. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera
menjerat Setya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
Lalola menambahkan saat ini ia sedang menunggu langkah KPK pasca vonis
dijalankan Setya. “KPK sebenarnya sejak awal bisa menjerat Setya dengan UU
TPPU, tapi sekarang kita tunggu saja langkah KPK selanjutnya”, kata Lalola.
Dalam laman website KPK, hingga bulan Mei 2018 sudah ada 5 tersangka
korupsi yang dikenakan UU TPPU. Mereka adalah Bupati Nganjuk
Taufiqurrahman, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari dan pengusaha
PT Media Bangun Bersama Khairudin, Muhtar Ependy dalam kasus permohonan
keberatan hasil pilkada Kabupaten Empat Lawang dan Kota Palembang di
Mahkamah Konstitusi RI, dan Bupati Hulu Sungai Tengah, Abdul Latif.
Jika KPK mau Setya Novanto seharusnya bisa menjadi tersangka keenam
yang dikenakan UU TPPU. Adapun dalam UU TPPU berintikan penegak hukum
berdasarkan laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) dapat menyita semua aset dan kekayaan pelaku tindak pidana.
Setya Novanto divonis 15 tahun penjara, denda sebesar Rp 500 juta subsider
3 bulan kurungan, pidana tambahan sebesar 7,3 juta USD dikurangi Rp 5 miliar
yang sudah disetorkan ke negara, dan pencabutan hak politik 5 tahun.
foto makassar.terkini.id
Pada tanggal 14 Juni 2019, koruptor kasus korupsi KTP elektronik (KTP-el)
Setya Novanto diketahui pelesiran ke toko bangunan di Padalarang, Kabupaten
Bandung, bersama dengan istrinya. Ia dapat keluar dari selnya dengan dalih
berobat dan petugas yang bertanggungjawab mengawal Setya Novanto lalai
menjaganya. Medio April 2019 pun Ia juga pernah terlihat sedang makan di
warung Padang sekitar RSPAD Jakarta.
Dalam kasus KTP-el yang nilai kerugian negaranya sekitar Rp2,3 triliun
nyatanya pengembalian uang korupsinya hanya sekitar Rp500 miliar. Hal ini
menunjukkan bahwa upaya asset recovery jauh dari panggang api. Maka dari itu
tidak heran jika Setya Novanto dapat melenggang bebas ke toko bangunan ketika
perbandingan antara nilai kerugian negara yang timbul dengan pengembaliannya
sangat timpang.
Keterkaitan TPPU dengan korupsi pada dasarnya sangat erat, baik dari segi
yuridis maupun realitas. Untuk yuridis sendiri korupsi secara spesifik disebutkan
sebagai salah satu predicate crime dalam Pasal 2 UU TPPU. Ini mengartikan
bahwa pencucian uang salah satunya dapat diawali dengan perbuatan korupsi. Oleh
sebab itu prinsip follow the money harus dilakukan pada setiap kasus agar Political
Expose Person dapat terbongkat.
Selain itu realitas hari ini menunjukkan bahwa para pelaku korupsi akan
selalu berusaha untuk menyembunyikan harta yang didapatkan dari praktik-praktik
rasuah. Dengan disembunyikannya harta tersebut maka seharusnya Pasal TPPU
dapat dikenakan pada setiap pelaku korupsi tak terkecuali Setya Novanto.