Anda di halaman 1dari 14

TUGAS KLIPPING PBAK

KASUS KORUPSI E – KTP SETYA NOVANTO

NAMA : MUTHIA QURROTA AINI

NIM : 232412035

PROGRAM STUDI DIII FARMASI

AKADEMI FARMASI BUMI SILIWANGI BANDUNG 2023


Membongkar Skandal Korupsi e-KTP

Tempo.co
Setelah kembali menetapkan Ketua DPR, Setya Novanto, sebagai tersangka
dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP (10/11/2017), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak langsung bergerak cepat. Lembaga anti-
rasuah tersebut harus segera melimpahkan perkara ke pengadilan dan menahan
Novanto.

Pengumuman penetapan Setya Novanto sebagai tersangka disampaikan


langsung oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang pada Jum’at, 10 November
2017. Menurut Saut, Novanto disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider
Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP. Ketua Partai Golkar tersebut diduga menguntungkan diri atau orang lain
atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan dan jabatan, serta turut
mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.

Sejak dikalahkan dalam praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan


akhir September lalu, berbagai komponen masyarakat mendesak agar KPK
kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. Selain karena banyak
kejanggalan dalam pertimbangan yang digunakan hakim untuk memenangkan
Setya Novanto, juga pada dasarnya putusan praperadilan tidak menghilangkan
perbuatan pidana yang disangkakan.

Apalagi dugaan keterlibatan Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP


sudah sangat terang benderang. Berdasarkan catatan Kompas, setidaknya ada 13
fakta dalam persidangan yang menjelaskan peran Novanto. Di antaranya mantan
Dirjen Dukcapil Irman menyebut, Andi Narogong pernah mengatakan bahwa
kunci penentu anggaran proyek e-KTP bukanlah Komisi II DPR, melainkan Setya
Novanto dan Setya Novanto disebut mendapat bagian 7 persen dalam proyek
pengadaan e-KTP.

Karena itu, ketika KPK menetapkan kembali Setya Novanto sebagai


tersangka masyarakat menyambut gembira. Paling tidak menunjukan bahwa KPK
tidak lumpuh dan tetap memiliki keberanian meski terus ditekan dari segala
penjuru, termasuk kriminalisasi terhadap pimpinan. Secara tidak langsung, KPK
memperlihatkan kepada masyarakat bahwa mereka masih bisa dijadikan sebagai
harapan, di tengah korupsi yang makin marak dan krisis kepercayaan kepada
aparat penegak hukum.

Dari sisi substansi kasus, penetapan Setya Novanto sebagai tersangka juga
merupakan langkah penting dalam upaya membongkar dan menuntaskan mega-
korupsi e-KTP. Sebab berdasarkan fakta persidangan, Novanto memainkan peran
yang sangat vital dalam proses perencanaan anggaran dan penentuan pemenang
proyek.

Walau mengaku sudah mengantongi dua alat bukti, tapi KPK tetap harus
berhati-hati dan belajar dari pengalaman sebelumnya. Jangan sampai langkah
mereka kandas lagi di sidang praperadilan. Karena sudah hampir pasti Setya
Novanto dan kuasa hukumnya akan mengajukan kembali praperadilan.

Tidak ada jalan lain bagi KPK selain mempercepat langkah untuk
membongkar skandal korupsi e-KTP. Paling tidak ada dua cara yang bisa dipakai.
Pertama, segera melimpahkan perkara ke pengadilan. Menurut pakar Hukum Tata
Negara Mahfud MD, dengan segera “melimpahkan” kasus ke pengadilan Tipikor,
maka tak ada waktu lagi bagi Novanto untuk mengajukan praperadilan kembali.
Berdasarkan aturan, tersangka tidak bisa mengajukan praperadilan jika kasus sudah
dilimpahkan ke pengadilan. Karena sudah masuk ke pokok perkara, bukan
prosedur lagi.

Kedua, secepatnya menahan Setya Novanto. Tujuannya untuk


mengantisipasi penghilangan alat bukti. Apalagi sebelumnya sudah ada upaya
untuk menghapus jejaknya dalam kasus e-KTP. Berdasar fakta persidangan
Novanto pernah memerintahkan Diah Anggraini (Mantan Sekretaris Jenderal
Kementerian Dalam Negeri - saksi sidang E-KTP) untuk menyampaikan pesan
kepada Irman agar mengaku tidak mengenal Novanto ketika ditanya oleh penyidik
KPK.

Pada sisi lain, Novanto pun tidak kooperatif. Berbagai alasan digunakan
guna menghindar dari panggilan para penyidik KPK. Mulai dari sedang reses,
berada di daerah pemilihan (dapil), hingga meminta surat persetujuan dari
presiden. Paling fenomenal adalah terserang berbagai penyakit seperti vertigo,
penurunan fungsi ginjal, hingga jantung ketika menetapkannya sebagai tersangka
untuk pertama kali.

KPK harus belajar dari pengalaman sebelumnya. Para tersangka korupsi


kerap melakukan berbagai manuver untuk menghindar dari proses hukum. Jika
tidak bergerak cepat, bukan tidak mungkin serangan akan makin kencang dan KPK
kembali terjegal. (Ade)
Segera Adili Setya Novanto

Nasional Tempo.co
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, Jumat
(24/11) lalu mengatakan penyidik KPK tengah bekerja keras untuk menyelesaikan
berkas perkara korupsi proyek KTP Elektronik yang melibatkan tersangka Setya
Novanto, Ketua DPR RI. Upaya keras ini dilakukan agar berkas Setya segera
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Indikasi mempercepat berkas perkara ini dapat dilihat upaya KPK


memeriksa Setya sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP sebanyak tiga kali
dalam kurun waktu seminggu yaitu Senin (20/11), Selasa (21/11), dan Kamis
(23/11). KPK juga telah memeriksa istri Setya Novanto yaitu Deistri Astriani
Tagor dan mencegahnya untuk bepergian ke luar negeri.

Selain bergegas agar berkas pokok perkara selesai, KPK juga telah
mempersiapkan diri menghadapi permohonan praperadilan jilid kedua yang
diajukan oleh Setya Novanto. KPK tidak ingin kembali kalah dalam sidang
permohonan praperadilan yang akan dilaksanakan Kamis (30/11) di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan.

Upaya permohonan praperadilan Setya Novanto jilid kedua mendatang tentu


saja sangat mengkhawatirkan dan bukan tidak mungkin status tersangka korupsi
Setya Novanto akan kembali lepas. Apalagi jika mencermati rekam jejak dari
Hakim Kusno (Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) yang nantinya
menjadi hakim tunggal permohonan Praperadilan yang diajukan Novanto,

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch saat menjabat sebagai Hakim


Pengadilan Negeri Pontianak, Hakim Kusno, tercatat pernah membebaskan empat
terdakwa kasus korupsi yaitu Dana Suparta, Muksin Syech M
Zein, dan Riyu dalam perkara korupsi Program Pembangunan Infrastruktur
Pedesaan di Kab Kapuas Hulu tahun Anggaran 2013 (Vonis tanggal 8 Desember
2015) dan Suhadi Abdullani, perkara korupsi jual beli tanah untuk pembangunan
terminal antar negara di belakang Terminal Induk Singkawang (Vonis tanggal 22
Februari 2017). Selain itu Hakim Kusno pada 13 April 2017 pernah menjatuhkan
vonis ringan yaitu 1 tahun penjara kepada terdakwa, Zulfadhli, anggota DPR RI,
dalam perkara korupsi dana bantuan sosial Provinsi Kalimantan Barat tahun
anggaran 2006-2008 yang diduga merugikan keuangan Negara hingga Rp 15
miliar.

Melihat rekam jejak Hakim Kusno maka tidak ada pilihan lain bagi KPK
untuk mempercepat proses pelimpahan berkas perkara Setya Novanto ke
Pengadilan Tipikor dan sekaligus untuk menutup peluang Setya Novanto lolos dari
proses hukum.

Pada aspek hukum dengan segera mengadili Setya Novanto ke Pengadilan


Tipikor maka diharapkan dapat mempercepat penuntasan dugaan korupsi proyek
pengadaan KTP-E yang merugikan negara hingga Rp 2,3 trilyun. Selain Setya
Novanto, sejauh ini komisi antirasuah sudah menetapkan lima orang tersangka.
Mulai dari kalangan birokrat, swasta serta politisi turut serta dijerat oleh
KPK. Selain itu merujuk ke dakwaan Jaksa KPK setidaknya masih ada 52 nama-
nama yang diduga memperoleh keuntungan dari mega proyek ini.

Sedangkan pada aspek politik, dengan diadilinya Setya Novanto diharapkan


dapat mendorong internal Partai Golkar untuk menggantinya sebagai Ketua Umum
Partai Golkar dan tentu saja mengganti figur lain yang lebih kredibel sebagai Ketua
DPR RI. (Emerson)
Vonis Setya Novanto Tidak Menjerakan
-Hakim sepatutnya menjatuhkan pidana penjara seumur hidup terhadap SN-

Nasional Tempo

Vonis yang dijatuhkan hakim terhadap Setya Novanto sangat disayangkan,


sepatutnya SN divonis pidana seumur hidup atas perbuatannya dalam perkara
korupsi KTP-El. Selain pidana penjara yang kurang memuaskan, pidana tambahan
uang pengganti yang dijatuhkan terhadap Setya Novanto juga tidak
merepresentasikan jumlah kerugian negara yang terjadi akibat korupsi KTP-El
yaitu sebesar 2,3 Triliun Rupiah. Jumlah pidana tambahan uang pengganti yang
dijatuhkan terhadap Setya Novanto hanya sekitar 22,69% dari total keseluruhan
kerugian negara korupsi KTP-El.

Setnov divonis 15 tahun penjara, denda sebesar 500 juta rupiah subsider 3
(tiga) bulan kurungan, pidana tambahan sebesar 7,3 juta USD dikurangi 5 miliar
rupiah yang sudah disetorkan ke negara, dan pencabutan hak politik 5 (lima) tahun
pasca pidana badannya selesai. Vonis ini tidak berbeda jauh dari tuntutan Jaksa
Penuntut umum, yang menuntut Setnov dengan pidana penjara 16 tahun, denda 1
miliar rupiah subsider 6 (enam) bulan kurungan.

Setya Novanto sudah sepatutnya dijatuhi vonis maksimal, mengingat


perilakunya yang tidak kooperatif sepanjang proses hukum, vonis ini
dikhawatirkan tidak menjerakannya, dan dapat menjadi preseden buruk bagi
terdakwa korupsi lainnya. Dukungan publik untuk menjatuhkan pidana maksimal
berupa penjara seumur hidup ini dapat dilihat dari hasil jajak pendapat (japat) yang
dilansir oleh akun Twitter @SahabatICW.

Pada 23 April 2018, ada 77% peserta japat menyatakan bahwa pidana
penjara seumur hidup merupakan hukuman yang pantas dijatuhkan terhadap Setya
Novanto. Masih dari akun Twitter @SahabatICW, pada 24 April 2018 56% peserta
japat menyatakan ketidakpuasannya terhadap putusan Setya Novanto.

Putusan melampaui tuntutan jaksa bukan hal yang baru. Dalam pemantauan
tren vonis ICW, pada semester I 2017 saja, ada paling tidak 15 terdakwa yang
diputus di atas tuntutan jaksa, dari keseluruhan 352 terdakwa yang perkaranya
dipantau. Dengan demikian, putusan hakim untuk tidak menghukum Setya
Novanto dengan pidana maksimal seumur hidup, sangat disayangkan, mengingat
yang bersangkutan sudah secara terang-terangan bersikap tidak kooperatif
sepanjang proses hukum.

Namun demikian, pertimbangan hakim untuk mengabulkan tuntutan jaksa


dan menjatuhkan putusan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Setya
Novanto, patut diapresiasi. Sebagaimana diketahui, penjatuhan pidana tambahan
berupa pencabutan hak politik masih jarang diterapkan terhadap terdakwa perkara
korupsi, Beberapa terpidana perkara korupsi yang juga dijatuhi pidana tambahan
berupa pencabutan hak politik antara lain, Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan
Ishaaq; Mantan Ketua MK, Akil Mochtar; Mantan Kakorlantas, Irjenpol Djoko
Susilo, dan Mantan Ketua DPD, Irman Gusman.

Dalam sidang pembacaan putusan Setya Novanto tadi, terdapat fakta-fakta


persidangan yang patut ditelusuri lebih jauh oleh KPK. KPK sendiri masih
memiliki banyak pekerjaan rumah terkait penyelesaian korupsi KTP-El pada
waktu-waktu ke depan. Untuk itu, ICW mendorong agar:

1. KPK menelurusi dan menindaklanjuti informasi terkait sejumlah nama yang


kembali disebutkan karena diduga menerima sejumlah uang dalam “pengaturan”
proyek KTP-El di DPR RI;
2. KPK juga masih harus menyidik dugaan TPPU yang dilakukan oleh Setya
Novanto; dan

3. KPK harus menyidik dugaan keterlibatan korporasi sebagai pelaku atau


instrumen yang digunakan untuk melakukan korupsi dalam proyek KTP-El

Jakarta, 24 April 2018

Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW


Agar Jera, Setya Novanto Harus Dijerat dengan Regulasi
Pencucian Uang
“Setya Novanto bisa menjadi tersangka keenam yang dikenakan UU TPPU”

Antikorupsi.org, Jakarta, 7 Mei 2018

Vonis 15 tahun penjara terhadap Setya Novanto, mantan Ketua DPR dinilai
tidak menjerakan. Upaya pemiskinan dengan penggunaan regulasi pencucian uang
bisa menjadi alternatif. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus segera
menjerat Setya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

Setya sebelumnya telah dinyatakan hakim terbukti melakukan tindak pidana


korupsi dalam kasus KTP berbasis elektronik (E-KTP). Selain itu Setya juga
disebut menerima uang dari Johannes Marliem dan menyimpannya di beberapa
korporasi. Hal ini telah disampaikan dalam pembacaan vonis oleh Hakim Ketua
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Yanto, pada Selasa (24/4) lalu. “Setya
terbukti menerima uang dari Johannes Marliem, Direktur Biomorf Lone LLC, dan
menampung uangnya di PT Delta Energy dan OEM Investment”, kata Yanto.
Setya Novanto kemudian menyatakan menerima putusan 15 tahun penjara
dan tidak mengajukan banding. Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini pada Jumat
(4/5) lalu akhirnya dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Jawa
Barat.

Lalola Easter dari Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia


Corruption Watch (ICW) menyatakan ketidakpuasannya atas vonis yang
dijatuhkan hakim terhadap Setya Novanto. Menurut Lalola Easter seharusnya
Setya Novanto bisa dihukum maksimal dan harus dijerat dengan UU TPPU. Hal ini
karena merujuk putusan hakim bahwa sudah terlihat jelas ada aliran dana dan
peran aktif nama-nama yang disebutkan dalam mengalirkan dana.

Lalola menambahkan saat ini ia sedang menunggu langkah KPK pasca vonis
dijalankan Setya. “KPK sebenarnya sejak awal bisa menjerat Setya dengan UU
TPPU, tapi sekarang kita tunggu saja langkah KPK selanjutnya”, kata Lalola.

Dalam laman website KPK, hingga bulan Mei 2018 sudah ada 5 tersangka
korupsi yang dikenakan UU TPPU. Mereka adalah Bupati Nganjuk
Taufiqurrahman, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari dan pengusaha
PT Media Bangun Bersama Khairudin, Muhtar Ependy dalam kasus permohonan
keberatan hasil pilkada Kabupaten Empat Lawang dan Kota Palembang di
Mahkamah Konstitusi RI, dan Bupati Hulu Sungai Tengah, Abdul Latif.

Jika KPK mau Setya Novanto seharusnya bisa menjadi tersangka keenam
yang dikenakan UU TPPU. Adapun dalam UU TPPU berintikan penegak hukum
berdasarkan laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) dapat menyita semua aset dan kekayaan pelaku tindak pidana.

Setya Novanto divonis 15 tahun penjara, denda sebesar Rp 500 juta subsider
3 bulan kurungan, pidana tambahan sebesar 7,3 juta USD dikurangi Rp 5 miliar
yang sudah disetorkan ke negara, dan pencabutan hak politik 5 tahun.

“Tentu vonis Setya sangat disayangkan karena tidak dijatuhi hukuman


maksimal”, kata Lalola. Putusan hakim yang melampaui tuntutan jaksa bukanlah
hal yang baru, sesuai data ICW tentang Tren Vonis kasus korupsi selama tahun
2017 setidaknya ada 15 terdakwa kasus korupsi yang diputus di atas tuntutan jaksa,
imbuh Lalola.
Pencucian Uang Setya Novanto Harus Segera Diusut

foto makassar.terkini.id
Pada tanggal 14 Juni 2019, koruptor kasus korupsi KTP elektronik (KTP-el)
Setya Novanto diketahui pelesiran ke toko bangunan di Padalarang, Kabupaten
Bandung, bersama dengan istrinya. Ia dapat keluar dari selnya dengan dalih
berobat dan petugas yang bertanggungjawab mengawal Setya Novanto lalai
menjaganya. Medio April 2019 pun Ia juga pernah terlihat sedang makan di
warung Padang sekitar RSPAD Jakarta.

Pelesirannya Setya Novanto merupakan fenomena gunung es yang telah


lama terdeteksi semenjak Gayus Tambunan tertangkap ketika sedang menyaksikan
pertandingan tenis di Bali. Ada delapan kasus yang mencuat terkait napi korupsi
yang pelesiran. Namun sayangnya mekanisme evaluasi terhadap tata kelola Lapas
yang dilakukan oleh Kemenkumham pun belum berjalan optimal. Apalagi dengan
adanya jual beli fasilitas, suap menyuap di dalam Lapas memperparah kondisi
tersebut.

Di lain sisi penegak hukum pun juga berkontribusi terhadap banyaknya


koruptor yang masih dapat menikmati uang korupsinya meskipun sedang berada di
balik jeruji. Hal tersebut tergambar dari catatan ICW mengenai penindakan kasus
korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan catatan
Indonesia Corruption Watch selama tahun 2016 hingga 2018 Komisi Antirasuah
hanya 15 perkara korupsi yang dikenakan pasal pencucian uang dari 313 perkara.
Ini memperlihatkan bahwa visi mengenai asset recovery belum menjadi prioritas.

Dampak yang timbul karena tidak diterapkannya perampasan aset terhadap


koruptor yaitu terjaringnya Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husen dalam operasi
tangkap tangan bersama dengan koruptor kasus korupsi Bakamla, Fahmi
Darmawansyah yang dilakukan oleh KPK. Dari kejadian tersebut menunjukkan
bahwa koruptor yang berada di dalam Lapas sekalipun masih memiliki sumber
daya ekonomi untuk membayar fasilitas mewah di dalam sel.

Dalam kasus KTP-el yang nilai kerugian negaranya sekitar Rp2,3 triliun
nyatanya pengembalian uang korupsinya hanya sekitar Rp500 miliar. Hal ini
menunjukkan bahwa upaya asset recovery jauh dari panggang api. Maka dari itu
tidak heran jika Setya Novanto dapat melenggang bebas ke toko bangunan ketika
perbandingan antara nilai kerugian negara yang timbul dengan pengembaliannya
sangat timpang.

Keterkaitan TPPU dengan korupsi pada dasarnya sangat erat, baik dari segi
yuridis maupun realitas. Untuk yuridis sendiri korupsi secara spesifik disebutkan
sebagai salah satu predicate crime dalam Pasal 2 UU TPPU. Ini mengartikan
bahwa pencucian uang salah satunya dapat diawali dengan perbuatan korupsi. Oleh
sebab itu prinsip follow the money harus dilakukan pada setiap kasus agar Political
Expose Person dapat terbongkat.

Selain itu realitas hari ini menunjukkan bahwa para pelaku korupsi akan
selalu berusaha untuk menyembunyikan harta yang didapatkan dari praktik-praktik
rasuah. Dengan disembunyikannya harta tersebut maka seharusnya Pasal TPPU
dapat dikenakan pada setiap pelaku korupsi tak terkecuali Setya Novanto.

Dalam UU TPPU juga mengakomodir sebuah instrumen yang mana dapat


memaksimalkan pemulihan kerugian negara. Pasal 77 UU TPPU memungkinkan
untuk menggunakan model pembalikan beban pembuktian, dimana beban
pembuktian ada pada terdakwa untuk menjelaskan asal usul hartanya. Jika itu tidak
dapat dijelaskan maka dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim untuk merampas
harta tersebut

Oleh karenanya KPK harus segara merealisasikan pernyataan yang pernah


disampaikan pada saat penuntutan korupsi KTP-el bulan Maret 2018 terhadap
terdakwa Setya Novanto. Jaksa dari KPK menyampaikan bahwa kasus yang
melibatkan Setya Novanto bercitarasa pencucian uang sebab telah tergambar pola
transaksi yang dilakukannya yaitu melalui Money Changer.

Maka dari itu, Indonesia Corruption Watch mendesak agar:

1. Komisi Pemberantasan Korupsi segera mengenakan pasal pencucian uang


terhadap Setya Novanto untuk merampas aset yang dimilikinya

2. Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan dapat mengoptimalkan


pengembalian aset dari kasus korupsi KTP-el.

Jakarta, 21 Juni 2019

Anda mungkin juga menyukai