Anda di halaman 1dari 3

Kejutan Memancing

Oleh: Abu
Cuaca hari itu cerah, sesuai dengan yang diharapkan Zunaidi dan Abdul. Tadi malam, mereka
berjanji untuk berangkat memancing di sungai yang agak jauh. Mereka akan memancing
sedikit lebih lama dari biasanya. Tentunya, selain alat pancing, mereka juga mempersiapkan
bekal untuk perut mereka. Pagi menjelang siang itu, mereka berangkat menaiki sepeda motor
Abdul. Perjelanan mereka akan melewati sawah nan luas. Di tengah atau dipinggiran sawah,
terlihat pohon mangga, kelapa, jambu, atau pohon lainnya. Di bawah pohon-pohon itu
biasanya ada gubuk tempat petani berteduh atau istirahat. Sawah yang luas ini tiap tahun
makin berkurang luasnya. Sawah-sawah di daerah ibukota dan sekitarnya ini sudah mulai
habis. Sawah-sawah yang luas itu sudah menjadi rumah, kebun tanaman muda dan tua. Tidak
ada yang bisa menghalangi pengalihan fungsi lahan itu. Di hulu, sang petani menanam kelapa
sawit, yang mennyebabkan terganggunya pengairan sawah yang di hilir. Hingga, pada
akhirnya pesawah di hilir pun mengalihkan fungsi lahan sawahnya.
“Kemana semua orang ini, Dul?” Tanya Zunaidi.
“Kurang tau Di, mereka kan memang tidak bersawah saat ini.” Jawab Zunaidi.
“Apa karena para petani tidak bersawah makanya harga beras di daerah kita ini mahal tak
terkontrol? Tidak ada lagi beras yang murah, soalnya padi dari hasil petani kita pun kayaknya
sudah habis.” Kata Abdul.
“Bagaimana, ya, Dul? Tanya Zunaidi lagi.
“Apanya yang bagaimana, Di? Tanya Abdul balik.
“Bulan puasa semakin dekat, yang seharusnya disambut dengan bahagia, malah kita merasa
khawatir.” Sampai Zunaidi lagi.
“Apa yang kau khawatirkan, Zunaidi?” Tanya Abdul dengan serius.
“Petani di daerah kita banyak yang menyerah. Pupuk makin hari, makin tidak dapat lagi
terjangkau mereka harganya. Belum lagi hama dari padi itu, semua bercampur-campur.
Sehingga petani banyak hampir merugi dalam bertani.” Jawab Zunaidi.
“Iya, ya.” Dalam hati Abdul.
Bagaimana orang-orang seperti kami tidak khawatir tentang datangnya bulan puasa. Khawatir
itu juga ternyata mengalir di darahku ketika mendengar keluh kesah para orang tua.
“Apakah tahun ini kita masih akan berbuka atau sahur dengan nasi.”
Sudah tiga kali pak Burhan panen jagung, para petani tetap saja belum bisa bersawah.
Alasannya tidak ada air. Irigasi yang buruk penyebab tidak bersawahnya petani. Ketika
waduk irigasi sawah itu masyarakat yang urus, mereka tidak pernah absen bersawah. Irigasi
yang dirawat dengan alat-alat seadanya. Bahkan terlihat sepele karena irigasi itu hanya
dibendung dengan bambu-bambu. Namun, saat pemerintah yang bertanggung jawab
mengurus waduk itu, bukannya mempermudah petani untuk bersawah, malah menyusahkan.
Harusnya, para petani sudah dua kali panen, namun karena pembangunan waduk itu tidak
kunjung selesai, yang dirugikan siapa? Ya, petani, mereka tidak bisa bersawah.
“Tidak ada yang indah disini, Dul.” Ucap Zunaidi, sambil menantap hamparan tanah luas
yang ditumbuhi rumput tebal.
“Saat ini, ya, begini lah, Di. Petani kita sebenarnya butuh pendampingan pemahaman dan
modal. Ya, pemerintah kita sudah memberikan itu. Dinas pertanian kita menugaskan
Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) untuk membantu masyarakat. Nyatanya, petani kita
lebih paham dari pada mereka. Bahkan, sekarang mereka malah jualan ke petani.” Jawab
Abdul.
“Itulah, kalau bukan petani atau orang yang paham pertanian penyuluhnya, jatuh-jatuhnya
jadi lahan bisnis bagi mereka petani ini, ya.” Sambung Zunaidi.
Tujuan pemancingan mereka hampir sampai. Setelah melewati jalan berbatu di tengah sawah,
dan setapak di pinggir aliran sungai. Mereka menuju hilir sungai Barumun*. Ada beberapa
tempat pemancingan yang banyak ikannya disana.
Sesampainya mereka di lokasi, mereka langsung mulai memancing. Melempar mata kail
lengkap dengan umpannya, menunggu sambil menghisap rokok. Tidak ada yang spesial dari
memancing kali ini, kecuali...
“Kok ada bau-bau busuk disini ya, Dul.” Ucap Zunaidi.
“Iya, ini, hilang timbul, hilang timbul baunya. Alaah, biasa lah mungkin. Palingan Biawak
atau Berang-berang yang mati, Di.” Jawab Abdul.
“Iya, ya. Kita disini saja lah, sudah terlanjur duduk dan melempar mata kail, dan yang
terpenting itu, sudah terlanjur dapat ikan.” Ucap Zunaidi sambil tertawa.
“Iya, baunya pun kan hilang timbulnya, datang angin, hilang baunya.” Jawab Abdul
Seperti biasa, beberapa ikan berhasil lepas, dan beberapa ikan bernasib tidak bagus hari ini.
Sehingga, Zunaidi dan Abdul mendapat lumayan banyak ikan. Tentu mereka merasa bahagia
dengan hasil tangkapan mereka.
“Lumayan untuk lauk dua hari, Dul.” Ucap Zunaidi sambil mengangkat ikan hasil
pancingannya.
“Iya, Di, lumayan lah, jauh-jauh kesini tidak sia-sia. Jadi, sudah sore ini, pulang kita?” Tanya
Abdul.
“Sebentar, aku mencuci muka dulu, baru kita pulang.” Jawab Zunaidi.
Semuanya biasa-biasa saja. Namun, adrenalin mereka berubah ketika tiba-tiba Zunaidi
melihat sesuatu yang mengambang di sungai itu. Tercium juga aroma busuk yang sangat
menyengat ketika Zunaidi mendekati benda warna coklat yang berada di pinggir sungai.
Zunaidi ternyata sangat penasaran dengan benda itu. Betul, saja, ketika penasaran Zunaidi
terjawab, dia hanya bisa memanggil Abdul.
“Abdul!” Teriak Zunaidi.
Sontak saja, Abdul yang sedang berberes barang kaget. Abdul melihat Zunaidi yang berdiri
kaku di pinggir sungai sambil memegang kayu. Sebelumnya, zunaidi membalikkan benda itu
dengan kayu yang ada di dekatnya. Namun, dia terkejut melihat benda itu adalah mayat yang
hanyut.
Kepanikan terjadi diantara mereka berdua. Abdul tidak berpikir panjang. Dengan keadaan
masih begitu gemetar, otaknya masih berpikir. Abdul berlari menuju Zunaidi dan menarik
mayat yang hanyut itu ke daratan. Bau busuk yang sangat menyengat itu terlihat tidak
mempengaruhi Abdul. Sedangkan Zunaidi sudah mual-mual.
“Yok, Dul, tinggalkan saja.” Ucap Zunaidi sambil berjalan menuju sepeda motor mereka.
“Jangan,” ucap Abdul. “Ini harus kita bawa, atau kita minta tolong ke orang lain, agar bisa
dibawa ke perkampungan sana.” Sambung Abdul.
“Jangan, Di. Aku sudah mulai muntah-muntah ini.” Ucap Zunaidi sambil terus mual-mual.
“Jadi, kita tinggalkan disini? Bagaimananya kau ini Zunaidi.” Balas Abdul agak keras.
“Ya, nanti kita dituduh macam-macam, atau paling jauh kita dituduh membunuhnya.” Ucap
Zunaidi sambil menaiki sepeda motor.
Di sore yang mulai gelap itu, mereka masih berdebat.

Anda mungkin juga menyukai