Anda di halaman 1dari 33

BAB III

BATUAN KARBONAT

III.1. PENDAHULUAN

Batuan karbonat didefinisikan sebagai batuan dengan kandungan material

karbonat lebih dari 50% yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang

tersemenkan atau kristalin hasil presipitasi langsung, sedangkan batugamping

adalah batuan yang mengandung kalsium karbonat hingga 95% sehingga tidak

semua batuan karbonat merupakan batugamping.

Batuan karbonat memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan

batuan klastik terrigenous. Batuan karbonat dapat terbentuk dari hasil presitipasi

dan juga akumulasi dari fragmen-fragmen skeletal di sekitarnya. Pada batuan

karbonat penamaan dikarekteristikkan dengan komposisi sedimen yang

terkandung dan sekaligus sebagai penciri lingkungan pengendapannya, variasi

dari ukuran fragmen tidak terpengaruh oleh rezim arus. Batuan klastik terrigenous

terbentuk dari hasil disintegasi batuan asalnya yang kemudian tertransportasikan

menuju ke tempat pengendapan yang pada nantinya bentuk tekstur dan struktur

yang terdapat pada batuan tersebut menunjukkan hubungan rezim arusnya.

Berikut tabel yang menggambarkan perbedaan karakteristik antara batuan

karbonat dengan batuan klastik terrigenous.

III.2. ARTI PENTING BATUAN KARBONAT

Batuan karbonat mempunyai nilai ekonomi yang penting karena

mempunyai porositas yang memungkinkan untuk terkumpulnya minyak dan gas

31
alam. Terutama pada batuan karbonat yang telah mengalami proses dolomitisasi,

sehingga hal ini menjadi perhatian khusus pada geologi minyak bumi. Sebagai

contoh, 80% dari reservoar karbonat yang terdapat di Amerika Utara dan 50%

reservoar karbonat yang terdapat di seluruh dunia adalah dolomit, sehingga akhir–

akhir ini banyak perusahan minyak yang melakukan penelitian secara khusus

mengenai sedimentolog karbonat (R.J.A Reijers, Manual of Carbonat

Sedimentology).

Disamping sebagai reservoar minyak dan gas alam, batuan karbonat dapat

juga sebagai reservoar air tanah. Adanya porositas dan permeabilitas yang

demikian serta mineral–mineral batuan karbonat yang mudah bereaksi maka

batuan karbonat dapat menjadi tempat terkumpulnya endapan–endapan bijih,

sebagai contoh adalah mineral–mineral timah dan seng yang ditemukan di

Missippi Valley dan di Pine Point, N.W.T., Canada (Blatt, Middleton dan Murray,

Origin of Sedimentery Rock ).

III.3. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud mempelajari batuan karbonat adalah untuk mengetahui proses

pembentukan batuan karbonat dengan metode-metode pengamatan megaskopis,

mikroskopis, test noda kimia dan tes asam.

Tujuan dari mmpelajari batuan karbonat adalah untuk pengklasifikasian

(penamaan), penafsiran lingkungan pengendapan, mengetahui proses–proses

diagenesa yang terjadi pada batuan karbonat, dan aspek–aspek lainnya yang

berhubungan dengan batuan karbonat.

32
III.4. PEMBAHASAN UMUM BATUAN KARBONAT

III.4.1. Pembentukan Sedimen Karbonat

Meskipun tidak semua, kebanyakan sedimen karbonat adalah hasil dari

proses kimia atau biologi yang hidup pada lingkungan laut bersih, hangat dan

dangkal. Secara umum, beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan

akumulasi maksimum sedimen karbonat adalah lingkungan yang mempunyai:

a. Kedalaman cukup, tidak terlalu dalam atau terlalu dangkal.

b. Kondisi hangat, tidak terlalu panas atau terlalu dingin.

c. Kadar garam yang cukup, tidak terlalu tawar dan terlalu asin.

d. Jernih, tidak terlalu banyak sedimen klastik darat.

e. Makanan cukup, tetapi tidak terlalu banyak.

Berikut ini akan dibicarakan tiga faktor utama yang mengontrol

produktivitas sedimen karbonat: letak geografis dan iklim, cahaya dan salinitas.

A. Letak Geografis dan Iklim

Secara umum tata letak geografis dan iklim dapat mengontrol laju

pertumbuhan kehidupan penghasil sedimen karbonat. Daerah yang mempunyai

latitud tinggi mempunyai suhu dingin yang tentu saja menghambat

pertumbuhan kehidupan yang memerlukan kehangatan untuk hidup. Sedangkan

daerah yang mempunyai latitud rendah (tropis dan subtropis) mempunyai suhu

keseharian hangat. Di daerah ini berbagai kehidupan yang memproduksi

sedimen karbonat akan tumbuh lebih baik.

33
B. Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya mengontrol distribusi organisme penghasil karbonat yang

membutuhkan cahaya untuk fotosintesis. Penetrasi cahaya dipengaruhi oleh

kedalaman air, latitud, dan kejernihan air. Radiasi cahaya menembus air, ini

diserap dengan cepat pada bagian atas laut. Setiap perubahan kedalaman 30-50

m, intessitas cahaya berkurang 1% dari level cahaya permukaan. Batas

kedalaman pertumbuhan koral secara geografis bervariasi, pertumbuhan koral

aktif di Carribbean berkisar dari 40 sampai 60 m, sedangkan didaerah Indo-

Pasifik hanya 15 sampai 90 m.

Material klastik yang diangkut dari darat dan dikirim ke paparan atau

cekungan melalui transportasi sungai dan/atau angin juga akan mempengaruhi

penetrasi cahaya. Masuknya sedimen silisiklastik menghasilkan partikel halus,

lempung dan lanau tersuspensi, yang dapat menurunkan kejernihan

(transparansi) air dan fotosintesa. Hal ini tentu akan mengakibatkan

terganggunya pertumbuhan ganggang karbonat, yang merupakan penghasil

utama sedimen karbonat.

C. Salinitas (kadar garam)

Perbedaan dan kelimpahan biota menunjukkan semua faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan kalkareus. Pada kondisi laut terbuka yang normal,

perubahan salinitas dapat mengakibatkan hilangnya sejumlah jenis fauna yang

tidak tahan terhadap perubahan salinitas ini. Peningkatan salinitas menurunkan

keanekaragaman biota dan salinitas di atas 40% kebanyakan invertebrata

34
menghilang, meskipun ganggang kalkareous tetap akan memproduksi sedimen

terhadap waktu.

III.4.2. Komposisi Mineral Karbonat

Beberapa mineral yang penting dan umum yang terdapat pada batuan

karbonat adalah:

1. Aragonite (CaCO3): merupakan mineral batuan karbonat yang paling labil,

kristal orthorombik, berbentuk jarum atau serabut, umumnya diendapkan

secara kimiawi langsung dari presipitasi air laut.

2. Kalsit (CaCO3): merupakan mineral batuan karbonat yang lebih stabil,

kristal hexagonal, biasanya merupakan hablur kristal yang bagus dan jelas.

Dijumpai sebagai hasil rekristalisasi aragonit, serta sebagai semen pengisi

ruang antar butir dan rekahan. Sangat umum terdapat pada batugamping.

3. Dolomit (CaMg(CO3)2): merupakan mineral yang hampir serupa dengan

mineral kalsit, namun secara petrografis dapat dibedakan dari indeks

refraksinya. Mineral dolomit dapat terjadi langsung dari presipitasi air laut,

namun lebih sering terjadi sebagai akibat dari pergantian (replacement)

mineral kalsit.

4. Magnesit (MgCO3): merupakan kristal hexagonal, dapat terjadi sebagai

akibat pergantian dari kalsit dan dolomit, namun sering terjadi sebagai

akibat dari rombakan dari batuan yang mengandung magnesium silikat.

35
Pada batuan karbonat masih dijumpai beberapa mineral lainnya, namun

secara umum kurang mempunyai arti penting, seperti: Siderit, Ankerit, dan

Rodokrosit.

III.5. BUTIRAN, SEMEN, DAN LUMPUR KARBONAT

Secara umum, Dunham (1962) membagi partikel-partikel sedimen

karbonat kedalam dua bagian, yaitu dengan berdasarkan ukurannya. Untuk

partikel-partikel yang lebih besar dari 0,02 mm (dapat diamati dengan loupe),

disebut sebagai yang termasuk di dalamnya adalah butiran kerangka (skeletal

grains), butiran rombakan (detrital grains), pellests, lumps dan butiran yang

berlapis konsentrik (coatedgrains). Sedangkan untuk partikel-partikel yang

berukuran lebih kecil dari 0,02 mm disebut sebagai limemud

A. Butiran Karbonat

1. Butiran kerangka (Skeletal grains)

Butiran kerangka (Skeletal grains) adalah butiran yang merupakan bagian yang

keras dari organisme dalam batugamping, baik itu yang masih utuh, maupun yang

sudah pecah. Butiran-butiran yang dapat dimasukkan kedalam bagian ini adalah

fragmen koral, molluska, sisa ganggang dan cangkang foraminifera.

2. Butiran Rombakan (detrital grains)

Butiran Rombakan (detrital grains) adalah butiran yang merupakan hasil

rombakan dari batuan yang telah ada sebelumnya. Pembentukannya dapat berasal

dari material-material lumpur ataupun dapat berasal dari pecahan-pecahan batuan

yang keras. Pembentukannya berlangsung sesaat setelah pengendapan

36
berlangsung. Butiran rombakan ini dapat berasal dari sekitar pegendapan ataupun

juga berasal dari sekitar pengendapan ataupun juga berasal dari pengendapan yang

jauh. Apabila berasal dari sekitarnya (secara lokal) maka butiran rombakan ini

dapat memberikan indikasi bahwa ia terbentuk pada lingkungan pengendapan

yang mempunyai kondisi energi gelombang yang tinggi. Sedangkan yang

termasuk dalam butiran rombakan ini adalah Intraklas dan Lithoklas.

3. Pellets

Pellets merupakan masif, berbentuk ellips ataupun oval dan tidak menunjukan

adanya struktur dalam (internal structure). Yang termasuk didalam jenis butiran

ini antara lain fecal pellets dan favreina.

5. Lumps

Lumps merupakan butiran karbonat yang komposit (mengelompok) dan

mempunyai kenampakan bentuk permukaan yang tidak teratur. Terbentuk sesaat

setelah proses sedimentasi berlangsung. Yang termasuk dalam jenis butiran ini

antara lain adalah bathyroidal lumps, incrusted lumps dan grapstone.

6. Butiran yang berlapis konsentrik

Butiran yang berlapis konsentrik merupakan butiran karbonat yang mempunyai

sebuah inti yang dikelilingi oleh beberapa selaput tipis CaCo3 secara konsetrik.

Yang termasuk di dalam jenis butiran ini adalah Oolit, Pisolit dan Onkolit.

B. Semen

Semen adalah komponen karbonat yang berupa kristal kalsit yang jelas dan

secara mikroskopis akan mempunyai kenampakan yang jernih, berukuran 0,02-1

mm, berperan sebagai material pengisi ruang antar butir ataupun suatu rekahan

37
(cavity filling) dan terbentuk pada saat diagenesa. Lumpur karbonat ini lebih

dikenal dengan istilah sparit.

C. Lumpur Karbonat

Lumpur karbonat merupakan partikel karbonat yang berukuran, yaitu sekitar

kurang dari 4 mikron dan secara mikroskopis akan mempunyai kenampakan yang

keruh kecoklatamn. Dapat terbentuk baik secara mekanis maupun secara kimiawi

pada saat pengendapan berlangsung. Lumpur karbonat ini umumnya dikenal

dengan istilah mikrit.

III.6. KLASIFIKASI BATUAN KARBONAT

Klasifikasi batuan karbonat yang dgabi menjadi beberapa macam

klasifikasi antara lain Grabau (1904), Folk (1959), Dunham (1962), Embry dan

Klovan (1971) dan Plumpey et Al (1962) dan lain-lain.

A. Klasifikasi Grabau (1904)

Menurut klasifikasi Grabau, batugamping dapat dibagi menjadi 5 macam,

yaitu:

1. Calcirudite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya lebih besar daripada

pasir (>2 mm).

2. Calcarenite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya sama dengan pasir

(1/16 – 2 mm).

3. Calcilutite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya lebih kecil dari pasir

(<1/16 mm).

4. Calcipulverite, yaitu batugamping hasil presipitasi kimiawi, seperti

38
batugamping kristalin.

5. Batugamping organik, yaitu hasil pertumbuhan organisme secara insitu

seperti terumbu dan stromatolite.

B. Klasifikasi Folk (1959)

Klasifikasi batuan karbonat menurut Folk didasarkan pada 3 macam

komponen utama penyusun batuan karbonat, yaitu butiran (allochems), micrite

dan sparit.

1. Allochem, yaitu material karbonat sebagai hasil presipitasi kimiawi atau

biokimia yang telah mengalami transportasi (intrabasinal), analog dengan

butiran pasir atau gravel pada batuan asal daratan. Allochem ada 4 macam

yaitu intraclast, oolite, pelet dan fosil.

2. Microcrystalline calcite ooze (micrite), yaitu material karbonat yang

berdiameter 1-4 mikron, translucent, dan berwarna kecoklatan (dalam

asahan tipis). Sedangkan dalam handspecimen, micrite bersifat opak dan

dull, berwarna putih, abu-abu, abu-abu kecoklatan atau hitam. Micrite

analog deengan lempung pada batulempung atau matrik lempung pada

batupasir.

3. Sparry calcite cements atau (sparite), yaitu komponen yang berbentuk

butiran atau kristal yang berdiameter 4 mikron (4-10 mikron) dan

memperlihatkan kenampakan yang jernih dan mozaik dalam asahan tipis,

berfungsi sebagai pore filling cement. Sparite analog dengan semen pada

clean sandstone.

39
Gambar III.1. Klasifikasi batuan karbonat secara grafis (folk, 1959)

C. Klasifikasi Dunham, 1962, Dalam Flugel, 2004

Klasifikasi Dunham (1962) didasarkan pada tekstur deposisi dari

batugamping yang dikaji menggunakan sayatan tipis. Dasar yang dipakai oleh

Dunham (1962) untuk menentukan tingkat energi adalah fabrik dari batuan.

Bila batuan bertekstur mud supported diinterpretasikan terbentuk pada energi

rendah karena Dunham (1962) beranggapan lumpur karbonat hanya terbentuk

pada lingkungan yang berarus tenang sebaliknya batuan dengan fabrik grain

supported terbentuk pada energi gelombang kuat sehingga hanya

komponen butiran yang dapat mengendap. Batugamping dengan kandungan

40
beberapa butir (< 10 %) di dalam matrik lumpur karbonat disebut mudstone

dan bila mudstone tersebut mengandung butiran tidak saling bersinggungan

disebut wackestone. Namun bila antar butirannya saling bersinggungan disebut

packstone atau grainstone. Packstone mempunyai tekstur grain- supported dan

biasanya memiliki matriks mud.

Dunham (1962) memakai istilah boundstone untuk batugamping dengan

fabrik yang mengindikasikan asal-usul komponen-komponen yang direkatkan

bersama selama proses deposisi (misalnya pengendapan terumbu).

Tekstur pengendapan yang tidak teramati dengan jelas karena

rekristalisasi sangat lanjut. Batugamping kristalin.

Gambar. III.2. Klasifikasi batuan karbonat (Dunham 1962, dalam Flugel, 2004).

D. Klasifikasi Menurut (Embry Dan Klovan, 1971 Dalam Flugel, 2004).

Embry dan Klovan memodifikasi klasifikasi Dunham (1962) dengan

membagi batugamping menjadi dua kelompok besar yaitu autochtonous

41
limestone berupa batugamping yang komponen-komponen penyusunnya terikat

secara organis selama deposisi dan allochtonous limestone berupa batugamping

yang komponen-komponen penyusunnya tidak terikat secara organis selama

proses deposisi.

Pembagian allochtonous dan autochtonous limestone oleh Embry dan

Klovan (1971) telah dilakukan oleh Dunham tetapi tidak terperinci. Dunham

hanya memakainya sebagai dasar klasifikasi batugamping yang tidak terikat

(packstone, mudstone, wackestone, grainstone) dan terikat (boundstone),

sedangkan Embry dan Klovan (1971) membagi lagi boundstone menjadi tiga

kelompok yaitu framestone, bindstone, dan bafflestone, berdasarkan atas

komponen utama terumbu yang berfungsi sebagai perangkap sedimen. Selain

itu, juga ditambahkan nama kelompok batuan yang mengandung komponen

berukuran lebih besar dari 2 mm sebanyak >10 %. yakni rudstone untuk

component-supported dan floatstone untuk matrix supported.

42
Gambar III.3. Klasifikasi batuan karbonat (Embry dan Klovan 1971)

III.7. LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUAN KARBONAT

Pembagian dan penentuan lingkungan pengendapan batuan karbonat

sangat tergantung pada lokasi dan aspek-aspeknya, yang antara lain aspek-aspek

tersebut meliputi tingkat pertumbuhan dari organisme penyusunya, ukuran dan

kondisi dari lingkungan tempat batuan karbonat tersebut diendapkan. Dengan

demikian beberapa ahli dalam memberikan penamaan model lingkungan

pengendapan batuan karbonat sering mempergunakan istilah-istilah berbeda.

Beberapa model lingkungan pengendapan batuan karbonat beserta fasies-

fasiesnya antara lain:

1. Model lingkungan pengendapan karbonat (James,1979, dalam Flugel,

43
2004).

2. Model lingkungan pengendapan karbonat (Wilson, 1975).

3. Model lingkungan pengendapan karbonat (Luis Pomar, 2004)

III.7.1. Model Lingkungan Pengendapan Karbonat (James, 1979, Dalam

Flugel, 2004).

Menurut James, lingkungan pengendapan batuan karbonat di bagi menjadi

beberapa lingkungan yakni Back Reef, Reef Flat, Reef Crest, Reef Front dan

Fore Reef dimana masing–masing lingkungan pengendapan ini mempunyai

ciri dan litologi tertentu sebagai penyusunnya. Maka James mendefinisikan

lingkungan pengendapan karbonat sebagai berikut :

1. Back Reef , merupakan lingkungan yang dicirikan dengan litologi berupa

bafflestone dan floatstone dimana energi sedimentasi yang rendah material

sedimentasi tinggi di pengaruhi dari bentuk dan morfologi dari lingkungan

back reef ini yang berada di belakang terumbu sehingga gelombang atau

ombak yang besar dari laut terbuka kurang mempengaruhi wilayah ini.

Secara biologi daerah ini dihuni oleh koral dengan jenis atau bentuk

globular dan branching.

2. Reef Flat, merupakan lingkungan yang dicirikan dengan litologi berupa

rudstone dan grainstone merupakan hasil dan didominasi dari rombakan

karbonat dimana energi sedimentasi yang sedang material sedimentasi

tinggi di pengaruhi dari bentuk dan morfologi dari lingkungan reef flat ini

yang berada di dataran terumbu sehingga gelombang atau ombak yang besar

44
dari laut terbuka cukup mempengaruhi wilayah ini. Secara biologi daerah ini

dihuni oleh jenis hewan moluska.

3. Reef Crest, merupakan lingkungan yang dicirikan dengan litologi berupa

bindstone dimana energi sedimentasi yang tinggi material sedimentasi

rendah di pengaruhi dari bentuk dan morfologi dari lingkungan reef crest ini

yang berada di bagian depan terumbu sehingga gelombang atau ombak yang

besar dari laut terbuka sangat mempengaruhi wilayah ini baik dari bentuk

koral dan biologi yang hidup. Secara biologi daerah ini dihuni oleh jenis

koral dengan bentuk encrusting.

4. Reef Front, merupakan lingkungan yang dicirikan dengan litologi berupa

bafflestone, framestone dan bindstone dimana energi sedimentasi yang

tinggi material sedimentasi sedang dan didominasi oleh keberadaan koral di

pengaruhi dari bentuk dan morfologi dari lingkungan reef front ini yang

berada di bagian depan terumbu setelah reef crest sehingga gelombang atau

ombak yang besar dari laut terbuka cukup mempengaruhi wilayah ini baik

dari bentuk koral dan biologi yang hidup. Secara biologi daerah ini dihuni

oleh jenis koral dengan bentuk encrusting, massive, branching dan plate-

like.

5. Fore Reef, merupakan lingkungan yang dicirikan dengan litologi berupa

rudstone dan grainstone dimana energi sedimentasi yang sedang material

sedimentasi tinggi dan didominasi oleh debris hasil rombakan material di

pengaruhi dari bentuk dan morfologi dari lingkungan fore reef ini yang

berada di bagian paling depan terumbu setelah reef front dan merupakan

45
bagian paling dalam berbaatasan langsung dengan laut lepas sehingga

gelombang atau ombak yang besar dari laut terbuka cukup mempengaruhi di

bagian dekat permukaan dan energi gelombang sedang hingga rendah

mendominasi di bagian bawah. Secara biologi daerah ini dihuni oleh jenis

biologi berupa moluska dan beberapa koloni koral.

Gambar III.4. Lingkungan Pengendapan Karbonat (James,1979, dalam Flugel, 2004).

III.7.2. Model Lingkungan Pengendapan Karbonat (Wilson, 1975)

Wilson (1975) mengemukakan sesuai penampang yang ideal yang

memeperlihatkan jalur fasies secara standard dan interpretasi lingkungan

pengendapan pada tepi paparan adalah sebagai berikut:

1. Basin Fasies

Lingkungan Basin Fasies ini merupakan lingkungan yang terlalu dalam dan

gelap bagi kehidupan organisme benthonik dalam menghasilkan karbonat,

sehingga adanya karbonat hanya tergantung kepada pengisian oleh material

yang berukuran butir halus dan merupakan hasil runtuhan planktonik.

46
2. Open Shelf Fasies

Merupakan lingkungan air yang mempu yai kedalaman dari beberapa puluh

meter sampai beberapa ratus meter, umumnya mengandung oksigen,

berkadar garam normal, dan mempunyai sirkulasi air yg baik.

3. Toe of Slope Karbonat Fasies

Lingkungan ini berupa lereng cekungan bagian bawah, dengan material-

material endapannya berasal dari daerah yang dangkal. Kedalaman, kondisi,

gelombang dan kandungan oksigen masih serupa dengan fasies.

4. Fore Slope Fasies

Merupakan lingkungan yang umumnya terletak di atas bagian bawah

pxygenation level sampai di atas batas dasar yang bergelombang, dengan

material endapannya yang berupa hasil rombakan.

5. Organic (ecologic) Reef Facies

Lingkungan ini mempunyai sifat karakteristik dari ekologinya tergantung

kepada energi air, kemiringan lereng, pertumbuhan organisme, banyaknya

kerangka atau jalinan organisme, bagian yang ada di atas permukaan dan

terjadinya sedimentasi.

6. Sand on Egde of Platform Facies

Merupakan daerah pantai yang dangkal, daerah gosong-gosong pada daerah

pantai ataupun bukit-bukit pasir. Kedalamannya antara 5-10 meter sampai

diatas permukaan laut, pada lingkungan ini cukup memperoleh oksigen,

akan tetapi jarang dijumpai kehidupan organisme laut.

47
7. Open Platform Facies

Lingkungan ini terletak pada selat, danau dan teluk di bagian belakang

daerah tepi paparan. Kedalaman pada umumnya hanya beberapa puluh

meter saja, dengan kadar garam yang bervariasi dan sirkulasi airnya sedang.

8. Restricted Platform Facies

Merupakan endapan sedimen yang halus yang terjadi pada daerah yang

dangkal, pada telaga ataupun danau. Sedimen yang lebih kasar hanya terjadi

secara terbatas, yaitu pada daerah kanal ataupun pada daerah pasang surut.

Lingkungan ini terbatas untuk kehidupan organisme, mempunyai salinitas

yang beragam, kondisi reduksi dengan kandungan oksigen, sering

mengalami diagenesa yang kuat.

9. Platform Evaporit

Platform Evaporite merupakan lingkungan supratidal dengan telaga

pedalaman dari darah ambang terbatas atau resticted marine yang

berkembang ke dalam lingkungan evaporite (salinitas dan bergaram).

Mempunyai iklim panas dan kering, kadang-kadang terjadi air pasang.

Proses penguapan air laut yang terjadi akan menghasilkan gypsumdan

anhidrit.

48
Gambar III.5. Standar fasies karbonat pada tepi paparan (Wilson, 1975).

III.7.3. Model Lingkungan Pengendapan Batuan Karbonat (Luis Pomar,

2004)

Kebanyakan reef tumbuh di air dangkal dan kedalamannya terkontrol

dengan baik. Dua hal ini rentan terhadap pergantian muka air laut, yang bisa

disebabkan oleh eustasi dan proses tektonisme, dan rasio penurunan

cekungan. Kenaikan muka air laut identik dengan pertumbuhan reef, namun

jika kenaikan muka air laut lebih cepat dari pertumbuhan reef, maka reef

tersebut akan berhenti tumbuh (give up reef). Kenaikan muka air laut juga

mempengaruhi suplai nutrisi pada reef tersebut. Namun jika kondisi muka air

laut turun maka karbonat akan berpindah atau akan mati karena tersingkap, dan

memungkinkan terjadinya proses diagenesis. (Luis Pomar, 2004).

49
1. Back Reef Lagoon

Lagoon adalah suatu tempat yang dibatasi oleh pembatas, area dengan

energi yang r endah dibelakang reef crest/reef core. Dibeberapa sistem

patch reef mungkin dipisahkan oleh fasies inter-reef dari karakter yang lebih

ke open marine, dari pembatasnya, endapan lagoonal. Dicirikan oleh

endapan mudstone dan wackestone dengan lapisan yang horisontal dan

dibatasi dengan erosional pada permukaannya, mengandung fosil berupa

moluska, miliolid, ostracoda, stromatolit dan mangrove serta sering juga

terdapat sea grass bagian ini sering disebut inner back reef lagoon.

Sementara pada bagian outer back reef lagoon dicirikan dengan endapan

skeletal grainstone dan packstone dengan dominasi koral, fosil yang sering

dijumpai berupa koral, moluska, foraminifera, alga merah, rhodolite,

echinodermata, cacing, dan halimeda, dan terdapat juga pellet.

2. Reef Core

Reef core merupakan endapan yang tertinggi (puncak reef) hampir

tersingkap ke permukaan dan merupakan diperlakukan pada aktivitas

gelombang. Hasil morfologi reef dan komposisinya bergantung pada rezim

energi yang berkembang. Pada energi yang tinggi dominasi encrusting

organisme khususnya low encrusting growths of coralline algae. Pada

energi yang rendah sering ditemukan hydrozoan atau robust coral.

Dicirikan oleh endapan kerangka koral (boundstone) dengan skeletal

grainstone dan packstone, endapan berbentuk sigmnoidal, fosil yang sering

dijumpai koral, alga merah, foraminifera, bryozoa, cacing, moluska.

50
3. Fore Reef / Fore Reef - slope

Merupakan morfologi yang berkembang dari reef core, membentuk lereng

kira-kira 5 – 10o dan 10 – 30o. Dicirikan dengan endapan skeletal kasar

seperti packstone dan wackestone, terkadang juga didominasi oleh endapan

gravitasi dan sedimen pelagik. Kehadiran fosil seringkali berupa pecahan

koral, moluska, rhodolit, alga merah, biostrome, halimeda dan, foram

plankton.

4. Off Reef/Open Shelf

Morfologi hampir datar seperti halnya back reef lagoon, endapan yang

sering dijumpai adalah endapan halus seperti packstone dan wackestone,

dan endapan kasar seperti packstone dan grainstone. Endapan horisontal dan

sedikit sekali dijumpai bioturbasi, fosil yang sering dijumpai adalah

foram plankton, oyster laut dalam, echinodermata, pectinid, rhodolit,

pecahan alga merah, dan koral.

51
Gambar III.6. Model Capitan/Barrier Reef linier ( Pomar et al, 2004).

III.8. PEMERIAN BATUAN SEDIMEN KARBONAT

Batuan karbonat adalah batuan sedimen dengan komposisi yang dominan

(lebih dari 50%) terdiri dari mineral-mineral atau garam-garam karbonat, yang

dalam praktek secara umum meliputi batugamping dan dolomit.

Dalam praktikum, akan disajikan klasifikasi sebagai berikut :

A. Batugamping Klastik

Adalah Batugamping yang terbentuk dari pengendapan kembali detritus

batu gamping asal. Contoh : Kalsirudit, Kalkarenit, Kalsilutit

B. Batugamping Non Klastik

Terbentuk dari proses kimia maupun aktifitas organisme dan umum

monomineralik.

52
Dapat dibedakan :

Hasil biokimia : bioherm, biostorm

Hasil larutan kimia : travertin, tufa.

Hasil replacement : batu gamping fosfat, batu gamping

dolomit,batugamping silikat,dll.

III.8.1. PEMERIAN KARBONAT KLASTIK

Pemeriannya meliputi tekstur, struktur dan komposisi mineral.

A. Tekstur

Pemeriannya meliputi Tekstur, Struktur dan Komposisi Mineral.

Tabel III.1. Ukuran butir Batan Sedimen Karbonat Klastik


Nama butir Ukurun butir (mm)

Rudite >2

Arenit 0,062 –2

Lutite < 0,062

B. Struktur

Pemerian sama dengan batuan sedimen klastik.

C. Komposisi

Terdapat pemerian fragmen, matrik dan semen hanya terdapat perbedaan

istilah ( Folk, 1954 ), meliputi :

a. Allochem : sama seperti fragmen pada batuan sedimen klastik.

Macam – macam Allochem :

53
a) Kerangka organisme (skeletal), berupa cangkang binatang atau

kerangka hasil pertumbuhan.

b) Interclas , merupakan butiran – butiran dari hasil abrasi batugamping

yang telah ada.

c) Pisolit , merupakan butiran-butiran oolit berukuran lebih dari 2 mm.

d) Pellet , Fragmen menyerupai oolit tetapi tidak menunjukkan struktur

konsentris .

b. Mikrit : Merupakan agregat halus berukuran 1-4 mikron, berupa kristal-

kristal karbonat terbentuk secara biokimia atau kimia langsung dari

presipitisasi dari air laut dan mengisi rongga antar butir.

c. Sparit : Merupakan semen yang mengisi ruang antar butir dan rekahan,

berukuran halus (0,02-0,1 mm), dapat terbentuk langsung dari

sedimentasi secara insitu atau rekristalisasi dari mikrit.

III.8.2. PEMERIAN KARBONAT NON KLASTIK

Pemeriannya sama dengan pemerian batuan sedimen Non Klastik lainnya

hanya saja dalam jenis batuan memakai Karbonat Non Klastik.

Tabel III.2. Nama-nama Batuan Karbonat

54
III.9. METODE ANALISIS BATUAN KARBONAT

Secara umum analisis batuan karbonat di lakukan lapangan dan

laboratorium. Analisis batuan karbonat di lapangan dengan cara mengamati

kenampakan–kenampakan geologi dari batuan karbonat yang ada di lapangan,

kemudian melakukan penampang terukur (maesure section), dan melakukan

pendeskripsian batuan karbonat di lapangan, mengumpulkan informasi sebanyak–

banyaknya dan seteliti mungkin mengenai batuan karbonat, dimana data–data

lapangan ini nantinya akan sangat mendukung dalam melakukan pengambilan

kesimpulan pada analisis yang di lakukan laboratorium.

Metode analisis batuan karbonat yang dilakukan di Laboratorium

Sedimentologi, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral di Institut

Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta, meliputi :

1. Metode Tes Asam

2. Metode Noda Kimia

3. Metode Etsa

III.9.1. Metode Tes Asam

Metode analisis batuan karbonat dilakukan di laboratorium. Pembahasan

meliputi tujuan analisis, peralatan dan bahan yang digunakan, persiapan analisis,

prosedur analisis serta tahapan pengamatan. Metode analisis karbonat terdiri dari

5 metode, yaitu:

55
Metode ini digunakan untuk menganalisis kekuatan reaksi batuan karbonat

terhadap larytan HCL, dengan tujuan untuk menentukan kontaminasi relatif dari

gamping terhadap dolomit dan lempung.

a. Alat dan Bahan

1. Morter dan Pastel

2. Tabung reaksi

3. Pipet

4. Larutan HCL 0,1 N

b. Persiapan Analisis

Buat beberapa potongan contoh batuan karbonat dengan cara di tumbuk,

sehingga berukuran kurang lebih 2 mm.

c. Prosedur Analisis

1. Tuangkan HCL 0,1 N secukupnya ke dalam tabung reaksi

2. Masukkan potongan contoh batuan ke dalam tabung reaksi tersebut

3. Amati reaksi yang terjadi dengan memperhatikan gerakan-gerakan

partikel batuan

4. Lakukan percobaan minimal tiga kali.

d. Pengamatan

1. Bila reaksi kuat, butiran mengambang di permukaan dinamakan

batugamping murni

2. Bila reaksi agak kuat, butiran timbul tenggelam, dinamakan

batugamping dolomitan.

56
3. Bila reaksi lambat, butiran tetap pada dasar, dinamakan dolomit

gampingan.

4. Bila terjadi reaksi dinamakan dolomite.

e. Masukan Hasil Analisis Kedalam Tabel.

Catatan:

Pemberian asam yang terlalu kuat akan melarutkan seluruh butiran yang

dianalisis, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan dalam pengamatan.

Tabel III.3. Hasil analisis tes asam

III.9.2. Metode Noda Kimia

Metode ini digunakan untuk mengetahui prosentase dari kalsit dan dolomit

sehingga nama batuan dapat ditentukan berdasarkan warna noda yang

dihasilkan. Dalam pelaksanaannya percobaan ini dapat dilakukan dengan dua

cara yaitu dengan larutan alizarin reds dan larutan tembaga nitrat.

a. Alat dan Bahan

1. Mesin Gerinda

2. Carborundum grade 100

57
3. Gergaji besi

4. Larutan alizarin reds

5. Batu asahan

6. Gelas becker

7. Larutan HCL 1%

8. Pipet

9. Aquadest

10. Kaca asah

b. Persiapan Analisis

Buat potongan contoh batuan karbonat berukuran 4x4x2 cm dengan salah

satu permukaan dibuat rata dan halus.

c. Prosedur analisis:

1. Contoh batuan dicuci hingga bersih

2. Teteskan HCL 1% pada permukaan yang rata, kemudian teteskan

Alizarin Red S hingga seluruh permukaan tertutup

3. Setelah kering dicuci perlahan-lahan dengan aquadest dan keringkan

kembali.

d. Pengamatan:

1. Amati warna noda yang dihasilkan, warna merah tua menunjukan

kadar kalsit.

2. Warna putih (tak bereaksi) menunjukkan kadar dolomit.

3. Gambar ketsanya pada kertas milimeter, hitung prosentase kadar kalsit

dan dolomit.

58
4. Masukkan dalam tabel, kemudian tentukan nama batuannya (lihat tabel

pettijohn, 1957).

Tabel III.4. Hasil analisis noda kimia

Tabel III.5. Klasifikasi campuran kalsit-dolomit


(Modifikasi dari Pettijohn, 1957)

III.9.3. Metode Etsa (Etching Method)

Maksud dari metode Etsa adalah untuk mempelajari tekstur pada batuan

karbonat serta kandungan fosil dengan cepat dan cukup teliti. Tujuan dari

metode ini untuk mengetahui keadaan lingkungan pengendapan dan penamaan

batuan menurut bebarapa klasifikasi.

a. Alat dan Bahan

1. Mesin gerinda

2. Pipet

59
3. Gergjai besi

4. Mikroskop binokuler

5. Batu asah

6. Carborundum grade 100

7. Kaca asah

8. Larutan HCL 1%

9. Gelas becker

10. Aquadest

b. Persiapan Analisis

Buat potongan contoh batuan karbonat yang berukuran 5x5x5 cm dengan

permukaan yang benar-benar rata dan licin.

c. Prosedur Analisis

a) Contoh batuan dengan dua permukaan rata dan licin dicuci dengan air

hingga bersih.

b) Dua macam cara analisis sebagai berikut:

1. Masukkan contoh batuan ke dalam gelas becker.

Tuangkan HCL 1% secukupnya hingga seluruh permukaan contoh

batuan terendam.

2. Masukkan contoh batuan ke dalam gelas becker dengan salah satu

permukaan terasah menghadap ke atas.

Tuangkan aquadest hingga permukaan air 1-2 cm di atas contoh

batuan. Teteskan HCL 1 % perlahan-lahan ke permukaan air sampai

60
seluruh permukaan contoh batuan bereaksi dan komponen pengotor

terlarutkan.

c) Contoh batuan yang teretsa dicuci dengan aquadest, kemudian

dikeringkan.

d) Amati di bawah mikroskop binokuler atau menggunakan loupe.

Catatan:

Sebelum contoh batuan direndam, supaya diberi tanda (nomor) dengan

spidol permanen.

d. Pengamatan

1. Buat sketsa batuan yang diamati.

2. Lakukan deskripsi megaskopis secara umum.

3. Lakukan deskripsi mikroskopis meliputi:

1) Konstitusi utama: kerangka, klastik, dan kristalin.

a. Jenis kerangka/butir:

Kerangka: koral, foraminifera, bryozoa, ganggang dan

sebagainnya.

b. Jenis klastik:

Klastik fragmental bioklastik (fragmen pecahan koral, moluska,

ganggang, foraminifera, crinoid dan sebagainya).

c. Jenis kristalin:

Dolomit atau kalsit dan teksturnya.

2) Kontitusi detritus: butiran mineral atau batuan dan ukurannya.

3) Masa dasar: Mikrit, Sparit atau sebagian-sebagian.

61
4) Hubungan butir dengan masa dasar: sebutkan butiran saling

bersentuhan, mengambang dalam masa dasar atau sebagian-

sebagian. Sebutkan pula persen (%) proporsi butiran terhadap masa

dasar.

5) Besar butir: pergunakanlah salah satu skala butir untuk batuan

karbonat serta ukurannya.

6) Pemilahan: terpilah baik, sedang, dan buruk.

7) Keadaan butir: utuh, pecah-pecah, bersudut, bundar atau bagian-

bagiannya.

8) Susunan butir: tersusun baik dan tak beraturan.

9) Nama batuan:

Klasifikasi Dunham (1962)

Embry dan Klovan (1971)

10) Kesimpulan: Penulisan a, b, dan c cantumkan prosentase tiap

komponen dengan jumlah seluruhnya 100%. Dalam pengamatan

fosil termasuk dalam istilah butiran.

62
Tabel III.6. Hasil analisis etsa

63

Anda mungkin juga menyukai