Anda di halaman 1dari 198

MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

Ikatan Akuntan Indonesia a


MANAJEMEN PERPAJAKAN
MODUL CHARTERED ACCOUNTANT
Hak Cipta @2015, Ikatan Akuntan Indonesia
Hak cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang menerjemahkan, mencetak ulang, memperbanyak, atau
menggunakan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik, mekanik
atau cara lainnya, yang saat ini diketahui atau nanti ditemukan, termasuk menggandakan dan mencatat, atau
menyimpan dalam sistem penyimpanan dan penyediaan informasi, tanpa izin tertulis dari Ikatan Akuntan
Indonesia.

Ikatan Akuntan Indonesia tidak bertanggungjawab atas kerugian yang dialami oleh pihak yang melakukan
atau menghentikan suatu tindakan dengan mendasarkan pada materi dalam buku ini, baik kerugian yang
disebabkan oleh kelalaian atau hal lainnya.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113:


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud

CA
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara

A
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta

W
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana

S
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus

I
juta rupiah).

S
3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf

A
a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana

E
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).

B
4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau

H
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

I
© Hak cipta dilindungi Undang–Undang

A
ER MANAJEMEN PERPAJAKAN

P Mei 2015

Diterbitkan oleh:

Jl. Sindanglaya No. 1, Jakarta Pusat 10310


Telp. 021) 31904232 (hunting)
Fax. (021) 3900016
Home page: www.iaiglobal.or.id
Email: iai-info@iaiglobal.or.id

Dilarang memperbanyak tanpa seizin Ikatan Akuntan Indonesia

b Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Sambutan Ketua Dewan Pengurus Nasional


Ikatan Akuntan Indonesia

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah menetapkan sebutan Chartered Accountant


Indonesia (CA) sebagai kualifikasi akuntan profesional Indonesia sesuai panduan
standar internasional.

Penetapan sebutan CA dilaksanakan dalam rangka melaksanakan tujuan pendirian


IAI yaitu untuk membimbing perkembangan akuntansi serta mempertinggi mutu
pendidikan akuntan; dan mempertinggi mutu pekerjaan akuntan. Kualifikasi ini
juga ditetapkan untuk menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada

A
profesi akuntan, memberikan perlindungan terhadap pengguna jasa akuntan,
serta mempersiapkan akuntan Indonesia menghadapai tantangan profesi dalam

C
perekonomian global.

A
Sebagai anggota International Federation of Accountants (IFAC), IAI telah
meluncurkan CA untuk menaati Statement Membership Obligations (SMO) &

W
Guidelines IFAC. IFAC telah menetapkan International Education Standards (IES) 7

S
yang memuat kerangka dasar dan persyaratan minimal untuk memperoleh kualifikasi

I
sebagai seorang akuntan profesional. IAI berkewajiban untuk mematuhi IES 7

S
tersebut sebagai panduan utama pengembangan akuntan profesional di Indonesia.

A
Adanya kualifikasi akuntan profesional dengan sebutan CA, diharapkan dapat

E
menjamin dan meningkatkan mutu pekerjaan akuntan yang profesional dan memiliki
daya saing di tingkat global.

B
Sejalan dengan tujuan tersebut Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan

H
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 25/PMK.01/2014 tentang Akuntan Beregister

I
Negara yang telah disahkan pada tanggal 3 Februari 2015. PMK tersebut merupakan
amanat dari UU Nomor 34 Tahun 1954 Pasal 6 yang mengamanahkan kepada

A
Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai kebijakan pelaksanaan

R
untuk pemakaian gelar Akuntan.

E
Sesuai ketentuan PMK Nomor 25/PMK.01/2014, salah satu persyaratan untuk

P
menyandang gelar Akuntan seseorang harus lulus pendidikan profesi akuntan atau
lulus ujian sertifikasi akuntan profesional. PMK juga menyatakan bahwa pendidikan
profesi akuntansi mencakup perkuliahan dan ujian sertifikasi akuntan profesional.

Selain itu, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 153 tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Program Profesi Akuntan mengatur bahwa
pendidikan program profesi akuntan (PPAk) diselenggarakan oleh perguruan tinggi
bekerjasama dengan IAI.

Permendikbud tersebut juga menyatakan mahasiwa yang dinyatakan lulus PPAk


berhak menggunakan gelar profesi dibidang akuntansi dan memperoleh sertifikat
profesi akuntansi setelah dinyatakan lulus seluruh uji kompetensi akuntan.
Uji kompetensi akuntan merupakan ujian sertifikasi akuntan profesional yang
diselenggarakan oleh IAI.

Ikatan Akuntan Indonesia i


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Sebagai organisasi yang mewadahi seluruh Akuntan Indonesia, IAI bertekad


memberikan kontribusi optimal bagi profesi, masyarakat, dan bangsa ini. Melalui
pengelolaan keprofesian yang maksimal dan berkelanjutan, penataan aktivitas
keprofesian dan pengembangan kompetensi akuntan profesional, IAI harus menjadi
sandaran profesionalisme para Akuntan Profesional, agar mereka bisa berkarya
secara maksimal bagi negeri ini.

Indonesia yang kini menjadi anggota G-20, memiliki ukuran ekonomi yang sangat
besar, yang harus dikelola secara profesional dan berkelanjutan. Kebutuhan akan
Akuntan Profesional diyakini akan terus meningkat seiring cepatnya pertumbuhan
perekonomian Indonesia dewasa ini. Karena itulah, IAI, bersama-sama pemerintah
dan stakeholders lainnya, berkewajiban memastikan proses regenerasi dan kaderisasi

A
Akuntan Profesional berjalan dengan baik.

C
Apalagi di tingkat regional, berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
membutuhkan antisipasi yang tepat dari profesi akuntan Indonesia. Di tingkat

A
global, pergeseran peta kekuatan ekonomi global pastinya akan menjadi tantangan
tersendiri bagi Akuntan Profesional Indonesia. CA yang diluncurkan IAI pada 19

W
Desember 2012, telah menjadi identitas Akuntan Profesional Indonesia yang akan

S
menjaga profesionalisme akuntan Indonesia untuk bersaing di kancah regional. CA

I
menjadi tonggak bersejarah bagi profesi akuntan Indonesia pada umumnya, dan IAI

S
pada khususnya.

A
Modul CA ini disusun oleh IAI mengacu pada standar kompetensi dan silabus ujian
CA. IAI juga berkomitmen untuk selalu meng-update modul ini dari waktu ke waktu,

E
sesuai dengan perkembangan dan dinamika yang terjadi. Modul ini merupakan salah

B
satu referensi bagi calon peserta ujian sertifikasi CA. Para peserta ujian CA tentu
harus melengkapi dengan materi lainnya agar pemahamannya lebih komprehensif.

H
Para peserta wajib memperkaya diri dengan studi kasus yang pastinya akan sangat

I
bermanfaat bagi pengembangan diri para calon Akuntan Profesional.

A
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu

R
terbitnya modul CA ini. Harapan kami, modul ini akan menjadi referensi berharga
bagi para peserta dalam menghadapi ujian sertifikasi CA.

PE Jakarta, Mei 2015

Prof. Mardiasmo, Ak., CA


Ketua Dewan Pengurus Nasional Ikatan Akuntan Indonesia

ii Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

DAFTAR ISI
BAB I
OVERVIEW KUP (KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN)........................................ 1
1.1 Pengantar............................................................................................................................................................. 2
1.2 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).............................................................................................................. 4
1.3 Pembayaran Pajak dan Pelaporan Pajak........................................................................................................ 7
1.4 Surat Pemberitahuan.......................................................................................................................................... 9
1.5 Sanksi Perpajakan............................................................................................................................................... 12
1.6 Pembukuan dan Pencatatan............................................................................................................................. 15
1.7 Pemeriksaan Pajak.............................................................................................................................................. 16

A
1.8 Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak.......................................................................................... 18
1.9 Pembayaran Utang Pajak.................................................................................................................................. 20

C
1.10 Penyelesaian Sengketa Pajak............................................................................................................................. 21
1.11 Pengadilan Pajak................................................................................................................................................. 23

A
1.12 Penagihan Pajak.................................................................................................................................................. 26

W
BAB II

S
OVERVIEW PAJAK PENGHASILAN...................................................................................................... 29

I
2.1 Skema Overview Pajak Penghasilan................................................................................................................ 30

S
2.2 Subjek Pajak Penghasilan dan Pengecualiannya......................................................................................... 30
2.3 Objek Pajak Penghasilan dan Pengecualiannya............................................................................................ 31

A
2.4 Beban-beban Yang Boleh Dijadikan Sebagai Pengurang Penghasilan...................................................... 33

E
2.5 Beban Yang Tidak Boleh Dijadikan Sebagai Pengurang Penghasilan...................................................... 34
Rekonsiliasi Laba Fiskal dengan Laba Komersial.......................................................................................

B
2.6 35
2.7 Perhitungan Pajak Penghasilan Akhir Tahun............................................................................................... 36

H
BAB III

I
OVERVIEW PAJAK PERTAMBAHAN NILAI......................................................................................... 39

A
3.1 Sifat, Karakteristik dan Keunggulan PPN................................................................................................... 40
3.2 Objek PPN........................................................................................................................................................... 41

R
3.3 Pengusaha Kena Pajak....................................................................................................................................... 43

E
3.4 Pengertian Penyerahan dan yang Tidak Termasuk dalam Pengertian Penyerahan BKP..................... 46
3.5 BKP dan atau JKP dan Jenis Barang dan/atau Jasa yang tidak Dikenakan PPN.................................. 49

P
3.6 Saat Terutangnya PPN dan Tata Cara Faktur Pajak.................................................................................. 54
3.7 Tata Cara Retur/Pengembalian dengan Menggunakan Nota Retur (untuk BKP)
dan Nota Pembatalan (untuk JKP)................................................................................................................. 57
3.8 Mekanisme Pemungutan PPN oleh Pemungut PP...................................................................................... 59
3.9 Pajak Penjualan atas Barang Mewah............................................................................................................ 62
3.10 PPN dan PPnBM atas Importasi.................................................................................................................. 62
3.11 Pajak Masukan................................................................................................................................................ 63
3.12 Tata Cara Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena
Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang
tidak Terutang Pajak.......................................................................................................................................... 66
3.13 Fasilitas Pembebasan PPN dan PPN tidak Dipungut................................................................................. 73
3.14 Kawasan Bebas................................................................................................................................................ 73

Ikatan Akuntan Indonesia iii


MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB IV
PENGERTIAN DASAR MANAJEMEN PAJAK....................................................................................... 75
4.1 Pengertian Manajemen Pajak dan Perencanaan Pajak................................................................................ 76
4.2 Pengertian Tax Avoidance (Penghindaran Pajak) dan Tax Evasion (Penyelundupan Pajak)............... 78
4.3 Kebijakan Anti Tax Avoidance......................................................................................................................... 79

BAB V
PEMILIHAN SUMBER PEMBIAYAAN (I)............................................................................................ 81

BAB VI
PEMILIHAN SUMBER PEMBIAYAAN (II)........................................................................................... 87

BAB VII

A
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA
DAN PENGHASILAN LAINNYA............................................................................................................ 93

C
7.1 Tax Planning Pengelompokkan Jenis Penghasilan untuk Menghitung

A
Angsuran Masa PPh Pasal 25.......................................................................................................................... 94
7.2 Pengelompokkan Jenis Penghasilan................................................................................................................ 95

W
7.3 Foreign Exchange Revenue................................................................................................................................ 96

S
7.4 Rekonsiliasi Peredaran Usaha dan Penghasilan Lainnya dengan DPP PPN

I
Keluaran dan DPP PPh yang Dipotong/Dipungut...................................................................................... 96

S
7.5 Berbagai Pengujian untuk Menguji Kebenaran Perhitungan Peredaran Usaha..................................... 97
7.6 Pengendalian atas Bea Keluar (Pajak Ekspor) atas Penjualan Ekspor yang

A
Terutang Bea Keluar.......................................................................................................................................... 99

E
BAB VIII

B
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS UNSUR-UNSUR
BEBAN POKOK PENJUALAN DAN PENGURANG PENGHASILAN BRUTO........................................ 101

H
8.1 Capital Expenditure dan Revenue Expenditure.............................................................................................. 102

I
8.2 Foreign Exchange Loss........................................................................................................................................ 102
8.3 Pemilihan Metode Persediaan.......................................................................................................................... 102

A
8.4 Pemilihan Metode Penyusutan........................................................................................................................ 104

R
8.5 Menyiasati SE-46/PJ.4/1995........................................................................................................................... 105
8.6 Cadangan Kerugian Piutang Tak Tertagih.................................................................................................... 106

E
8.7 Biaya Entertainment........................................................................................................................................... 107

P
8.8 Persyaratan-Persyaratan Beban Promosi Sesuai Peraturan Perpajakan.................................................... 107
8.9 Pengujian untuk Menguji Kebenaran Beban Pokok Penjualan................................................................ 107
8.10 Ekualisasi Beban Pokok Penjualan dan beban Operasional dengan DPP PPN Masukan................... 108

BAB IX
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PAJAK PENGHASILAN (PPH) PASAL 21................. 109
9.1 Memahami Petunjuk Teknis yang Berlaku untuk PPh Pasal 21 Sebagaimana
Diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. Per-31/PJ/2012 dan Peraturan yang
Terkait dengan PPh Pasal 21............................................................................................................................ 110

iv Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB X
TAX PLANNING PADA WITHHOLDING TAX (PPH POTONG PUNGUT)
SELAIN PPH PASAL 21....................................................................................................................... 115
10.1 Pengantar............................................................................................................................................................. 116
10.2 Jenis-Jenis PPh Potong Pungut........................................................................................................................ 116
10.3 Saat Terutangnya PPh Potong Pungut........................................................................................................... 123
10.4 Saat Penyetoran dan Pelaporan PPh Potong Pungut................................................................................... 124
10.5 Sanksi-Sanksi Pajak Terkait.............................................................................................................................. 124
10.6 Perencanaan Pajak pada PPh Potong Pungut............................................................................................. 124

BAB XI
PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN ATAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

A
DAN/ATAU PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH................................................................ 129
11.1 Pada Tahap Pendirian Perusahaan.................................................................................................................. 130

C
11.2 Pada Saat Pelaksanaan Kegiatan Usaha.......................................................................................................... 135
11.3 Pada Saat Pembubaran Perusahaan................................................................................................................ 140

BAB XII
A
W
PERENCANAAN PAJAK DENGAN PEMANFAATAN BERAGAM FASILITAS PERPAJAKAN................. 147

S
12.1 Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh).................................................................................................................... 148

I
12.2 Fasilitas PPN dan Pembebasan Bea Masuk................................................................................................... 156

S
BAB XIII

A
KONSEP DASAR PERPAJAKAN INTERNASIONAL............................................................................... 163

E
13.1 Perpajakan Internasional................................................................................................................................... 164
13.2 Juridical Double Taxation vs. Economical Double Taxation........................................................................ 165

B
13.3 Anti Tax Avoidance............................................................................................................................................ 168
13.4 Pengertian dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda............................................................................... 172

H
13.5 Transfer Pricing................................................................................................................................................ 172

BAB XIV

AI
INVESTASI ASING DI INDONESIA....................................................................................................... 175

R
14.1 Jenis-Jenis Investasi Asing................................................................................................................................ 176
14.2 Investasi Asing yang Bersifat Langsung (Foreign Direct Investment)....................................................... 177

E
14.3 Perbedaan Perlakuan Pajak antara Subsidiary Company (Anak Perusahaan)

P
dengan Branch (Cabang Perusahaan)............................................................................................................. 177
14.4 Pengakuan Laba Anak Perusahaan (Subsidiary Company) dan
Cabang Perusahaan (Branch)........................................................................................................................... 178
14.5 Perencanaan Pajak (Tax Planning) pada Investasi Asing.......................................................................... 179
14.6 Skema Tax Planning pada Anak Perusahaan................................................................................................ 180

Ikatan Akuntan Indonesia v


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

vi Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab I SW
I
Overview KUPAS
E
(KetentuanBUmum dan
Tata Cara
IH Perpajakan)
RA
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 1
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB I
Overview KUP
(Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan)

1.1 Pengantar

1.1.1 Pengertian dan Fungsi Pajak


Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro pajak adalah:

A
“Iuran rakyat kepada Kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk

C
membayar pengeluaran umum”.

A
Sedangkan menurut Prof. Dr. P.J.A. Andriani, pajak adalah:

W
“Iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) terutama oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-

S
peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah

I
untuk membiayai pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara menyelenggarakan pemerintahan”.

S
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

A
1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang atau peraturan pelaksanaannya.

E
2. Tidak ada timbal balik secara langsung bagi yang membayarnya
3. Dalam penerapannya bersifat dapat dipaksakan.

B
4. Dipungut oleh negara q.q Pemerintah baik pusat maupun daerah.
5. Pajak dipungut untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

IH
Fungsi pajak ada dua yaitu:

A
1. Fungsi Penerimaan (budgetair).

R
Dalam fungsi ini maka pajak merupakan sumber dana yang diperuntukkan untuk pembiayaan
pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.

E
2. Fungsi mengatur (reguleren).

P
Dalam fungsi ini pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di
bidang ekonomi dan sosial.

1.1.2 Asas-asas Pemungutan Pajak


Dalam bukunya ”Wealth of Nations” Adam Smith mengemukakan empat asas dalam pemungutan pajak
yaitu:
1. Equality (keseimbangan berdasarkan kemampuan).
2. Certainty (kepastian).
3. Convinience of payment (saat dan waktu yang tepat).
4. Efficiency.

1.1.3 Tinjauan Aspek Hukum


Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah dengan Wajib Pajak (WP). Karena itu hukum pajak
dibedakan menjadi dua yaitu:

2 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

1. Hukum Pajak Materiil, yaitu hukum pajak yang memuat norma-norma yang menerangkan keadaan,
perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak (obyek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subyek
pajak), berapa besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya utang pajak,
serta hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak.
Yang dapat dikategorikan sebagai Hukum Pajak materiil adalah :
a. UU PPN.
b. UU PPh.
c. UU PBB.
d. UU Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan.
e. UU Bea Materai.
2. Hukum Pajak Formal, memuat tata cara untuk melaksanakan hukum pajak materiil menjadi
kenyataan, hukum pajak ini memuat hak dan kewajiban WP, hak dan kewajiban fiskus, dan tata cara

A
penetapan uang pajak, dan lainnya.

C
Termasuk ke dalam Hukum Pajak Formal ini adalah:
a. UU Pengadilan Pajak (d/h BPSP).

A
b. UU PPSP.
c. UU KUP.

1.1.4 Jenis Pajak

SW
I
1. Menurut sifatnya

S
a. Pajak langsung

A
Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain,
tetapi harus menjadi beban langsung WP yang bersangkutan, contohnya: Pajak Penghasilan

E
(PPh)

B
b. Pajak tidak langsung
Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahlan ke pihak lain,

H
contohnya: Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

I
2. Menurut obyeknya

A
a. Pajak subyektif
Pajak subyektif adalah pajak yang berdasarkan pada subyeknya kemudian baru dicari syarat

R
obyektifnya. Contohnya: Pajak Penghasilan (PPh)

E
b. Pajak obyektif
Pajak obyektif adalah pajak yang berdasarkan pada obyeknya tanpa memperhatikan siapa

P
atau bagaimana keadaan subyeknya. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
3. Menurut siapa pemungutnya
a. Pajak pusat
Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat untuk membiayai pengeluaran
pemerintah pusat atau membiayai rumah tangga negara.
b. Pajak daerah
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga daerah.

1.1.5 Cara Pengenaan/Pemungutan Pajak


1. Stelsel Nyata
Pengenaan pajak disasarkan pada keadaan sebenarnya dari penghasilan yang diterima pada suatu
tahun pajak, dengan demikian pemungutannya dapat dilakukan pada akhir tahun. Keuntungan
dari cara ini adalah bahwa pajak dikenakan/dihitung berdasarkan penghasilan sebenarnya

Ikatan Akuntan Indonesia 3


MANAJEMEN PERPAJAKAN

yang diterima dalam suatu tahun pajak. Kelemahannya adalah penghitungan pajak baru dapat
dilakukan pada akhir tahun pajak setelah penghasilan sebenarnya diketahui.
2. Stelsel Fiktif
Pengenaan pajak didasarkan pada asumsi berdasarkan undang-undang bahwa penghasilan
yang diterima oleh WP adalah sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Kelebihan cara ini
adalah bahwa pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun.
Kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan penghasilan riil yang diterima atau
keadaan sebenarnya.
3. Stelsel Campuran
Cara ini merupakan kombinasi antara kedua cara diatas dimana pada awal tahun pajak dan masa
pajak berjalan besarnya pajak dihitung berdasarkan penghasilan tahun sebelumnya kemudian
baru pada akhir tahun pajak besarnya pajak tahun tersebut disesuaikan dengan kenyataan yang

A
sebenarnya. Bila hasil perhitungan pajak akhir tahun menunjukkan bahwa besarnya pajak yang

C
harus dibayar lebih besar dari asumsi awal tahun maka WP harus membayar kekurangannya.
Tetapi apabila kenyataan menunjukkan sebaliknya maka kelebihan pembayaran pajak dapat

A
diminta kembali.

W
1.1.6 Sistem Pemungutan Pajak

IS
Sistem pemungutan pajak terdiri atas official assesment system, self assesment system dan withholding system.

1.2 Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)


AS
BE
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada WP sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam

H
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

AI
Setiap orang yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif sesuai dengan ketentuan perpajakan
wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk dicatat sebagai sebagai wajib pajak

R
sekaligus untuk mendapatkan NPWP.

E
1.2.1 Fungsi NPWP

P
1. Sebagai sarana dalam administrasi perpajakan.
2. Dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan.
3. Dipergunakan untuk semua hal yang berhubungan dengan dokumen perpajakan.
4. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi tertentu yang mewajibkan untuk mencantumkan
NPWP dalam setiap dokumen yang diwajibkannya.

1.2.2 Kewajiban Mendaftarkan Diri


1. WP Badan.
Wajib mendaftarkan diri pada KPP/KP4 dimana badan tersebut berkedudukan.
2. WP Perseorangan/Orang Pribadi.
Wajib mendaftarkan diri pada KPP/KP4 dimana orang tersebut bertempat tinggal.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Wajib mendaftarkan diri pada KPP badan dan orang asing.
4. Cabang atau Perwakilan dari Orang Pribadi/Badan.
Wajib mendaftarkan diri pada KPP/KP4 dimana orang/badan tersebut melakukan kegiatan.

4 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

5. Pengusaha Kena Pajak.


Pengusaha Kena Pajak adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan
usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud di luar daerah pabean, melakukan usaha
jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean, yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan
perubahannya.

1.2.3 Tempat Pendaftaran


1. Pendaftaran dilakukan di KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal (orang pribadi), tempat
kedudukan (Badan) atau tempat kegiatan usaha WP yang bersangkutan.
2. Untuk orang pribadi jika memiliki rumah pada dua atau lebih wilayah kerja KPP maka ditentukan

A
berdasarkan pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan. Jika tempat pusat kepentingan

C
pribadi dan ekonomi tidak dapat ditentukan maka dilihat tempat orang pribadi tersebut yang lebih
lama ditinggali.

1.2.4 Tata Cara Pendaftaran


A
W
1. WP akan mendaftarkan diri wajib mengisi Formulir Pendaftaran Wajib Pajak.

IS
2. Pengisian dan penandatanganan formulir dapat dilakukan oleh WP sendiri atau orang lain yang
diberikan kuasa khusus.

S
3. Penyampaian formulir pendaftaran WP yang telah diisi dan ditandatangani tersebut dapat dilakukan

A
oleh WP sendiri atau orang lain yang diberi kuasa penuh.

E
Lampiran yang diperlukan pada formulir pendaftaran adalah:
1. WP Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha/pekerjaan bebas

B
a. Fotokopi KTP/Kartu Keluarga bagi penduduk Indonesia
b. Paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal lurah

H
atau kepala desa bagi orang asing

I
2. WP Orang Pribadi yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas

A
a. Fotokopi KTP/Kartu Keluarga bagi penduduk Indonesia
b. Paspor ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal lurah

R
atau kepala desa bagi orang asing

E
c. Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari Instansi yang berwenang

P
minimal lurah atau kepala desa
3. WP Badan
a. Fotokopi akte pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan penunjukkan dari Kantor
Pusat bagi BUT.
b. Fotokopi KTP/Kartu Keluarga bagi penduduk Indonesia, atau paspor ditambah surat keterangan
tempat tinggal dari Instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing,
dari salah satu pengurus (Direksi) aktif
c. Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari instansi yang berwenang
minimal lurah atau kepala desa
d. Surat Persetujuan penanaman modal asing dari BKPM untuk WP PMA.
4. Bendaharawan sebagai WP Pemungut/Pemotong
a. Fotokopi Surat penunjukkan sebagai bendaharawan dan Fotokopi KTP Bendaharawan.
5. Joint Operation (JO) sebagai WP Pemungut/Pemotong
a. Fotokopi Perjanjian Kerjasama sebagai Joint Operation
b. Fotokopi Kartu NPWP masing-masing anggota JO.
c. Fotokopi KTP/Kartu Keluarga bagi penduduk Indonesia, atau paspor ditambah surat keterangan

Ikatan Akuntan Indonesia 5


MANAJEMEN PERPAJAKAN

tempat tinggal dari Instansi yang berwenang minimal lurah atau kepala desa bagi orang asing,
dari salah satu pengurus JO aktif
6. Cabang atau Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
Jika WP (Orang Pribadi atau Badan) membuka pabrik atau cabang lain di lokasi yang berlainan
dengan tempat tinggal atau tempat kedudukan maka dapat memilih melakukan:
a. Desentralisasi yaitu dengan mendaftar ke KPP tempat pabrik/cabang itu berlokasi (KPP Lokasi/
cabang) dengan kewajiban pajak PPh Pasal 21/23/26 dan PPN
b. Pemusatan pelaporan PPN pada satu KPP yaitu pada kantor tempat kedudukan berada (kantor
pusat)
Pendaftaran dilakukan dengan melampirkan Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar Kantor Pusat /
Domisili
7. Wanita Kawin tidak pisah harta melampirkan fotokopi Surat Keterangan Terdaftar suaminya atau

A
NPWP suaminya.

C
Jangka waktu penyelesaian pendaftaran adalah sebagai berikut:
1. NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar adalah satu hari kerja sejak diterima lengkap formulir

A
pendaftaran dan dokumen yang disyaratkan.
2. Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah tiga hari kerja sejak diterima lengkap pelaporan

W
dan dokumen yang disyaratkan.

S
3. NPWP, Surat Keterangan Terdaftar dan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah tiga hari

I
kerja sejak diterima lengkap formulir pendaftaran dan pelaporan serta dokumen yang disyaratkan.

1.2.5 Penghapusan NPWP


1. Tata cara Penghapusan NPWP

AS
E
a. Bagi WP orang pribadi yang meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan syaratnya adalah

B
adanya pemberitahuan tertulis dari ahli waris yang dilengkapi dengan fotokopi akte kematian.
b. Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan syaratnya adalah

H
fotokopi surat nikah atau akte perkawinan.

I
c. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai subyek pajak sesudah selesainya pembagian
dengan syarat adanya surat pernyataan dari ahli waris.

A
d. WP badan yang telah dilikuidasi secara resmi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

R
undangan yang berlaku dengan syarat adanya akte pembubaran dan neraca likuidasi.
e. BUT yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai BUT dengan syarat adanya surat atau

E
dokumen lain yang mendukung hal tersebut.

P
f. WP orang pribadi lainnya yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai WP berdasarkan Laporan
Hasil Pemeriksaan Lapangan.
Selain syarat-syarat administrasi tersebut di atas maka juga harus dipenuhi syarat-syarat berikut:
a. Telah melunasi utang pajak yang ada
b. Telah dilakukan PSL yang hasilnya menyatakan bahwa tidak terdapat utang pajak atau adanya
utang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena WP Orang Pribadi telah meninggal dunia
dan tidak meninggalkan warisan, atau WP tidak dapat ditemukan lagi, atau WP tidak mempunyai
kekayaan lagi.
2.Tata cara pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)
a. WP mengajukan permohonan pencabutan PKP.
b. Permohonan tersebut diajukan setelah lewat jangka waktu 3 bulan setelah akhir tahun pajak.
c. Pencabutan PKP ini dilakukan dalam hal:
a) PKP pindah ke KPP lain.
b) PKP bubar atau likuidasi.
c) PKP tidak memenuhi syarat lagi sebagai PKP.

6 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

d) PKP yang jumlah peredarannya dalam satu tahun pajak tidak melebihi batasan Pengusaha
Kecil PPN.
d. Telah dilakukan PSL.
e. DJP harus memberikan keputusan dalam jangka waktu tiga bulan sejak permohonan diterima.

1.2.6 WP Pindah KPP


Dalam praktek bisa saja WP yang terdaftar dalam suatu KPP karena suatu hal (pindah alamat atau berubah
status permodalannya) pindah ke KPP yang lain maka WP tersebut wajib mengisi surat pemberitahuan
pindah yang diajukan ke KPP lama.

Berdasarkan surat pemberitahuan tersebut maka KPP lama akan menerbitkan surat pindah dimana surat ini
melalui WP diserahkan ke KPP baru. Bila WP mengajukan surat pemberitahuan pindah tersebut langsung

A
ke KPP baru maka tindasan surat tersebut wajib dikirim oleh WP ke KPP lama.

C
1.2.7 Jangka Waktu Pendaftaran NPWP dan Pelaporan Pengukuhan PKP

A
1. WP Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan wajib mendaftarkan
diri untuk memperoleh NPWP paling lama satu bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.

W
2. WP Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha/pekerjaan bebas apabila dalam suatu bulan/masa

S
pajak memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah melebihi PTKP setahun wajib mendaftarkan

I
diri untuk memperoleh NPWP paling lambat pada akhir bulan berikutnya.

S
3. WP Orang Pribadi yang penghasilannya masih dibawah PTKP setahun dapat mengajukan
permohonan untuk memperoleh NPWP.

A
4. WP Orang Pribadi yang melakukan usaha/pekerjaan bebas dan WP Badan wajib melaporkan

E
usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP sebelum melakukan penyerahan barang Kena Pajak dan

B
atau Jasa Kena Pajak bagi yang memenuhi ketentuan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
5. WP sebagai pengusaha kecil yang:
a. Memilih sebagai PKP wajib mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP

IH
b. Sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran brutonya telah
melampaui batasan yang ditentukan bagi Pengusaha Kecil, wajib melaporkan usahanya untuk

A
dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya.

ER
P
1.3 Pembayaran Pajak dan Pelaporan Pajak

1.3.1 Batas waktu Pembayaran/Penyetoran dan Pelaporan

No Jenis Pajak Batas Bayar Batas Pelaporan


1 PPh 21 Tgl 10 masa pajak berikut Tgl 20 masa pajak berakhir
Yang pemungutannya dilakukan oleh Dit.Bea Cukai disetor dalam jangka
PPh Ps.22 impor, PPN dan PPn BM
2 waktu sehari setelah Pemungutan dilakukan dan dilaporkan paling lambat 7
Impor
hari setelah batas waktu penyetoran.
harus dilunasi sendiri oleh WP bersamaan dengan saat pembayaran bea
PPh Ps.22 impor, PPN dan PPn BM
3 masuk dan apabila ditunda atau dibebaskan, harus dilunasi pada saat
Impor
penyelesaian dokumen import
Disetor pada hari yang sama dengan Dilaporkan oleh Bendaharawan
4 PPh Pasal 22 Bendaharawan saat pembayaran atas penyerahan paling lambat 14 hari setelah masa
barang pajak berakhir

Ikatan Akuntan Indonesia 7


MANAJEMEN PERPAJAKAN

No Jenis Pajak Batas Bayar Batas Pelaporan


PPh Pasal 22 atas penyerahan
hasil produksi oleh Pertamina, Dilaporkan oleh pihak yang
Dilunasi oleh WP yang membeli
5 penyerahan bbm dan gas oleh badan menyerahkan barang paling lambat
sebelum penebusan Delevery Order
usaha lain, penyerahan gula pasir 20 hari setelah masa pajak berakhir
oleh Bulog
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh
6 Tanggal 10 masa pajak berikutnya 20 hari setelah masa pajak berakhir
Badan tertentu
Tanggal 10 masa pajak berikutnya
7 PPh Ps.23/26 20 hari setelah masa pajak berakhir
setelah masa pajak terutang
8 PPh Ps.25 Tanggal 15 masa pajak berikutnya 20 hari setelah masa pajak berakhir
akhir bulan ketiga setelah tahun pajak
9 PPh Ps.29/SPT Tahunan PPh OP Sebelum SPT Tahunan disampaikan

A
berakhir

C
akhir bulan keempat setelah tahun
10 PPh Ps.29/SPT Tahunan PPh Badan Sebelum SPT Tahunan disampaikan
pajak berakhir

A
Paling lama akhir bulan berikutnya
PPN dan PPnBM yang terutang Paling lama akhir bulan berikutnya
11 setelah berakhirnya masa pajak dan
dalam satu Masa Pajak setelah berakhirnya masa pajak
sebelum SPT disampaikan

W
PPN dan PPnBM Bendaharawan

S
12 Tgl.7 Masa pajak berikutnya 14 hari setelah masa pajak berakhir
Pemerintah

I
PPN dan PPnBM yang dipungut oleh

S
13 Tgl.15 masa pajak berikutnya 20 hari setelah masa pajak berakhir
Pemungut PPN

A
Catatan: apabila tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur maka pembayaran dan penyetoran

E
dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya, demikian pula bila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada

B
hari libur maka pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya

1.3.2 Tempat Pembayaran

IH
Pembayaran dan Penyetoran Pajak dapat dilakukan di:

A
1. Kantor Pos dan Giro

R
2. Bank-bank yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Anggaran (bank persepsi).
3. Untuk fiskal luar negeri, di loket-loket pembayaran yang telah disediakan di pelabuhan keberangkatan.

E
4. Pembayaran dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).

P
Catatan: Pegawai Direktorat Jenderal Pajak tidak dibenarkan menerima setoran pajak dari WP

1.3.3 Pemindahbukuan (Pbk)


1. Dasar Pemindahbukuan
a. Adanya kelebihan pembayaran Pajak yang besarnya dinyatakan dalam Surat Keputusan Kelebihan
Pembayaran Pajak (SKKPP atau SKPLB).
b. Telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang besarnya dinyatakan
dalam SKKPP (SKPLB).
c. Adanya Surat Keputusan lain yang menyebabkan timbulnya kelebihan pembayaran pajak,
Misalnya: SK Keberatan, SK Peninjauan Kembali.
d. Adanya pembayaran yang lebih besar dari pajak terutang dalam surat ketetapan pajak yang
mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak
e. Adanya pemberian bunga terhadap WP akibat keterlambatan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak.

8 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

f. Adanya kesalahan dalam mengisi SSP baik yang menyangkut WP sendiri maupun Wajib Pajak
lain.
g. Adanya pemecahan setoran Pajak yang berasal dari 1 SSP menjadi beberapa jenis pajak atau
setoran dari beberapa Wajib Pajak.
2. Tata Cara Pemindahbukuan
a. Diajukan kepada Kepala KPP yang berwenang melaksanakan pemindahbukuan
b. Diajukan secara tertulis dengan melampirkan (SSP asli, Pemberitahuan Impor Barang (PIB) asli
dalam hal impor, bila pemecahan ada daftar WP, untuk Pbk Pasal 23 ada bukti koreksi dan surat
pernyataan, alasan-alasan lain yang menguatkan/mendukung permohonan Pbk)
c. Dalam hal nama dan pemegang asli SSP (yang mengajukan PBK) tidak sama dengan nama dan
NPWP yang tercantum dalam SSP, maka pada permohonan disamping harus melampirkan
tersebut pada huruf a s.d f juga harus melampirkan surat pernyataan dari Wajib Pajak yang nama

A
dan NPWP-nya tercantum dalam SSP tersebut yang menyatakan bahwa SSP tersebut sebenarnya

C
bukan pembayaran pajak untuk kepentingan sendiri dan tidak keberatan dipindahbukukan
kepada Wajib Pajak yang mengajukan PBK.

A
1.4 Surat Pemberitahuan

SW
SI
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh WP digunakan untuk melaporkan penghitungan pajak dan
atau pembayaran pajak, obyek pajak, dan atau bukan obyek pajak dan atau harta dan kewajiban , menurut

A
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Surat Pemberitahuan harus diisi dengan benar,

E
lengkap dan jelas.

B
Surat Pemberitahuan (SPT) terdiri dari :

1. SPT Masa yaitu Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa pajak

IH
2. SPT Tahunan yaitu Surat Pemberitahuan untuk suatu tahun pajak atau bagian dari tahun pajak.

A
1.4.1 Fungsi Surat Pemberitahuan

R
1. Bagi WP PPh adalah untuk melaporkan, mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang

E
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan:
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan

P
atau pemungutan pihak lain dalam 1 tahun pajak atau bagian tahun pajak.
b. Penghasilan yang merupakan obyek pajak dan atau bukan obyek pajak
c. Harta dan kewajiban
d. Penyetoran dan pemotong atau pemungut pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 masa
pajak.
2. Bagi PKP adalah untuk mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan:
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran
b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP dan atau melalui
pihak lain dalam satu masa pajak
3. Bagi pemotong atau pemungut pajak sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

Ikatan Akuntan Indonesia 9


MANAJEMEN PERPAJAKAN

1.4.2 Tempat Pengambilan SPT


Surat Pemberitahuan (SPT) dapat diambil di :

1. Kantor Pelayanan Pajak


2. Kantor Penyuluhan Pajak
3. Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
4. Kantor Wilayah DJP
5. Kantor Pusat DJP
6. Melalui homepage DJP: http://www.pajak.go.id

1.4.3 Penyampaian atau Pelaporan SPT

A
1. SPT dapat disampaikan secara langsung atau melalui Pos secara tercatat ke KPP atau Kantor
Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan setempat, atau melalui jasa ekspedisi atau jasa kurir

C
yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
2. Tanda bukti dari Kantor Pos dianggap sebagai tanda bukti tanggal penerimaan SPT sepanjang SPT

A
tersebut telah lengkap
3. Untuk Wajib pajak Badan SPT harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi

W
4. Apabila SPT yang mengisi dan menandatangani orang lain bukan WP, harus melampirkan surat

S
kuasa khusus.

I
5. SPT harus dilengkapi dengan lampiran yang telah ditentukan termasuk neraca dan perhitungan rugi

S
laba (bagi WP yang wajib melakukan pembukuan)

A
6. Penyampaian SPT dapat juga dilakukan dengan media eletronik atau juga disebut SPT dalam bentuk
digital. Penyampaian SPT Digital dilakukan dilakukan khusus untuk SPT Masa PPh, SPT Masa

E
PPN, dan SPT Tahunan PPh. Yang dimaksud dengan penyampaian SPT dalam bentuk digital adalah

B
penyampaian SPT dengan menggunakan media komputer (CD, Floppy disk) atau secara elektronik.
Aplikasi untuk e-SPT atau SPT Digital ini diberikan secara cuma-cuma oleh DJP, cara pelaporan

H
dengan media elektronik adalah:

I
Cara 1: Menggunakan media komputer

A
a. WP membawa form. SPT Induk hasil cetakan aplikasi e-SPT yang telah ditandatangani.
b. File data SPT yang tersimpan dalam media komputer disertakan dalam form tersebut.

R
Cara 2: Menggunakan cara eletronik

E
a. WP membawa form. SPT Induk hasil cetakan aplikasi e-SPT yang telah ditandatangani disertai

P
Berita Acara Serah Terima Informasi SPT.
b. Dalam hal ini WP mengirim SPT secara elektronik (on-line)

1.4.4 Jangka Waktu Penyampaian SPT - (Lihat Bagian 1.3)

1.4.5 Penundaan Penyampaian SPT Tahunan/Perpanjangan Penyampaian SPT Tahunan


Syarat Pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan adalah:
1. Pemberitahuan diajukan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh berakhir dengan
menyebutkan alasan-alasannya.
2. Menyampaikan perhitungan sementara pajak penghasilan pajak yang terutang dan dilampiri
Laporan Keuangan sementara tahun pajak.
3. Melampirkan bukti pelunasan atas kekurangan pajak yang terutang apabila menurut penghitungan
sementara kurang bayar.
4. Pemberitahuan menggunakan formulir 1770Y (OP) /1771Y (Badan)

10 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

5. Jangka waktu penyampaian pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan sama dengan jangka waktu
penyampaian SPT Tahunan yaitu paling lama akhir Maret tahun berikutnya atau 3 bulan setelah
akhir tahun pajak.
6. Penundaan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 2 bulan dari batas waktu
penyampaian SPT Tahunan PPh berakhir ( PER 21/PJ/2009 tanggal 2 Maret 2009).
7. Dalam hal Wajib Pajak belum siap untuk menyampaikan SPT Tahunan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada Pemberitahuan Perpanjangan Penyampaian SPT Tahunan yang
diajukan sebelumnya, maka Wajib Pajak masih dapat menyampaikan Pemberitahuan Perpanjangan
SPT Tahunan lagi sepanjang tidak melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam angka 7.

1.4.6 Pembetulan SPT Tahunan


1. Apabila terjadi kekeliruan atau kesalahan dalam pengisian SPT atau terjadi perubahan pada Laporan

A
Keuangan WP yang berakibat pada kesalahan/kekeliruan penghitungan Pajak penghasilan dalam

C
SPT tahunan/masa maka Wajib Pajak dapat membetulkan sendiri SPT dengan menyampaikan
pernyataan tertulis dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan,

A
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat
Pemberitahuan harus disampaikan paling lama dalam jangka waktu 2 tahun sebelum daluarsa

W
penetapan (5 tahun)(Pasal 8 ayat (1) dan (1a) UU KUP).

S
2. Apabila atas pembetulan SPT Tahunan yang berakibat utang pajak menjadi lebih besar maka

I
dikenakan sanksi sebesar 2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang bayar dihitung sejak saat

S
penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan tersebut. (Pasal
8 ayat (2) UU KUP).

A
3. Apabila atas pembetulan SPT Masa yang berakibat utang pajak menjadi lebih besar maka dikenakan

E
sanksi sebesar 2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar dihitung sejak saat penyampaian

B
SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan tersebut. (Pasal 8 ayat (2a) UU
KUP).
4. Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan

IH
penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan WP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 (dalam mengisi SPT), maka apabila WP dengan kemauan sendiri mengungkapkan

A
ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah

R
pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% dari jumlah
pajak yang kurang dibayar maka terhadap ketidakbenaran perbuatan WP tersebut tidak akan

E
dilakukan penyidikan (Pasal 8 ayat (3) UU KUP).

P
5. Sekalipun Dirjen Pajak telah melakukan melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal
Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, WP dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan
dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikannya, yang
mengakibatkan:
a. Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar,
c. Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil ;atau
d. Jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
Atas pengungkapannya ini maka WP harus melunasi pajak yang kurang dibayar ditambah sanksi
sebesar 50% dari pajak yang kurang bayar dan harus dilunasi sendiri oleh WP sebelum laporan tersendiri
dimaksud disampaikan ke KPP dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan. (Pasal 8 ayat (4) dan (5)).
6. Dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan, WP dapat
membetulkan SPT tahunan PPh yang telah disampaikan dalam hal WP menerima Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding mengenai surat ketetapan pajak tahun pajak sebelumnya yang
menyatakan rugi fiskal yang berbeda dari ketetapan yang diajukan keberatan atau Keputusan

Ikatan Akuntan Indonesia 11


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Keberatan yang diajukan Banding, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding tersebut.

1.4.7 WP yang Dikecualikan dari Penyampaian SPT (PMK 183/PMK.03/2007)


1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang penghasilan netonya di bawah PTKP bebas menyampaikan SPT
Masa PPh Pasal 25 dan Tahunan.
2. WP OP yang tidak menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25.

1.4.8 Sanksi Pajak yang Terkait dengan Penyampaian SPT


1. Denda administrasi Pasal 7 UU KUP

A
2. Sanksi administrasi berupa bunga Pasal 8 ayat (2) UU KUP jo Pasal 19 ayat (3) UU KUP
3. Sanksi administrasi berupa kenaikan Pasal 13 ayat (3) huruf a UU KUP yaitu bahwa bila SPT

C
Tahunan terlambat disampaikan berdasarkan waktu yang ditetapkan dalam Surat Teguran maka WP
dikenakan sanksi berupa kenaikan sebesar 50% dari jumlah pajak penghasilan yang kurang bayar/

A
tidak dibayar; atau 100% dari PPh Pasal 21 yang tidak/kurang dipotong atau tidak/kurang dipungut,

W
atau tidak/kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi kurang atau tidak disetorkan; atau
100% dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar.

IS
4. Sanksi Pidana
a. Karena kealpaan, SPT Tahunan tidak disampaikan atau disampaikan tapi isinya tidak benar dan

S
perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana

A
dimaksud dalam Pasal 13A, dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 bulan atau
selama-lamanya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya 2 kali jumlah pajak terutang (Pasal 38

E
KUP)

B
b. Karena sengaja, SPT Tahunan tidak disampaikan atau disampaikan tapi isinya tidak benar,
dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 tahun dan denda setinggi-tingginya 4 kali

H
jumlah pajak terutang (Pasal 39 ayat (1) huruf b dan c UU KUP)

AI
R
1.5 Sanksi Perpajakan

E
Dalam UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan telah pula diatur pengenaan

P
sanksi perpajakan, yang pada garis besarnya dibagi dalam 3 (tiga) Jenis sanksi administrasi yaitu:

1. Sanksi administrasi berupa bunga, yang terdiri dari:


a. Bunga Pasal 8 ayat (2), yaitu bunga atas pembetulan SPT Tahunan berdasarkan kemauan
WP sendiri yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, besarnya bunga adalah 2%
perbulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung dari saat penyampaian SPT berakhir
sampai dengan tanggal pembayaran kekurangan pajak akibat pembetulan tersebut.
b. Bunga Pasal 8 ayat (2a), yaitu bunga atas pembetulan SPT Masa berdasarkan kemauan WP sendiri
yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, besarnya bunga adalah 2% perbulan atas
jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan
tanggal pembayaran kekurangan pajak akibat pembetulan tersebut.
c. Bunga Pasal 9 ayat (2a) jo Pasal 14 yaitu bunga atas keterlambatan membayar atau menyetor PPh
Pasal 21/22/23/25 atau PPN dan PPnBM, yang besarnya 2% sebulan yang dihitung dari jatuh
tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan, untuk paling lama 24 bulan.
d. Bunga Pasal 9 ayat (2b) jo Pasal 14 yaitu bunga atas keterlambatan membayar atau menyetor PPh

12 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Pasal 29 (SPT Tahunan), yang besarnya 2% sebulan yang dihitung dari berakhirnya batas waktu
penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan, untuk paling lama 24 bulan.
e. Bunga Pasal 13 ayat (2) jo Pasal 13 ayat (1) huruf a dan e, yaitu bunga atas kekurangan pajak yang
terutang dalam SKPKB, yang besarnya 2% sebulan untuk selama-lamanya 24 bulan dihitung
sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak
sampai diterbitkannya SKPKB.
f. Bunga Pasal 14 ayat (3) jo Pasal 14 ayat (1) huruf a dan b, yaitu bunga atas Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, dan apabila dari hasil penelitian terhadap Surat
pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah hitung dan atau salah
tulis, yang besarnya 2% sebulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun pajak
atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya STP.

A
g. Bunga Pasal 19 ayat (1) yaitu, bunga penagihan atas jumlah yang masih harus dibayar menurut

C
SKPKB/SKPKBT dan tambahan jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan Surat keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar

A
pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar, yang besarnya 2% sebulan dihitung
dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya STP,

W
dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.

S
h. Bunga Pasal 19 ayat (2) yaitu bunga yang dikenakan apabila WP diperkenankan untuk mengangsur

I
atau menunda pembayaran pajak, yang besarnya 2% sebulan, dan bagian dari bulan dihitung

S
penuh 1 bulan.
i. Bunga Pasal 19 ayat (3) yaitu bunga atas kekurangan pembayaran akibat permohonan perpanjangan

A
jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh (Penundaan penyampaian SPT Tahunan) yang

E
besarnya 2% sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya kewajiban menyampaikan SPT Tahunan
sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut, dan bagian dari bulan

B
dihitung penuh satu bulan.
j. Bunga Pasal 13 ayat (5) yaitu bunga yang dikenakan dalam hal SKPKB diterbitkan melebihi

H
jangka waktu 5 tahun sebagai akibat WP setelah jangka waktu 5 tahun tersebut dipidana,

I
karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat

A
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yang besarnya adalah 48% dari jumlah pajak yang tidak atau

R
kurang bayar.

E
k. Terhadap PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian PM dikenai sanksi

P
administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung
dari tanggal penerbitan Surat Keputusan pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP)
sampai dengan tanggal penerbitan STP dan bagian dari bulan dihitung 1 bulan penuh.
2. Sanksi administrasi berupa kenaikan
a. Pasal 8 ayat (5), yaitu apabila WP dengan kemauan sendiri membetulkan SPT yang telah
disampaikan dengan mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian
Surat Pemberitahuan yang telah disampaikannya yang mengakibatkan pajak yang masih harus
bayar menjadi lebih besar maka dikenakan sanksi kenaikan sebesar 50% dari atas pajak yang
kurang bayar itu.
b. Pasal 13 ayat (3) jo pasal 13 ayat (1) huruf b, yaitu kenaikan apabila SPT tidak disampaikan dalam
jangka waktu yang telah ditentukan dan setelah ditegur secara tertulis tidak juga menyampaikan
SPT dalam batas waktu sebagaimana telah ditentukan dalam Surat Teguran yang besarnya kenaikan
adalah 50% untuk PPh, 100% untuk PPh yang dipotong/dipungut dan 100% untuk PPN.
c. Pasal 13 ayat (3) jo pasal 13 ayat (1) huruf d, yaitu apabila WP tidak menyelenggarakan atau
melaksanakan pembukuan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU KUP atau tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (3) UU KUP dengan besarnya kenaikan adalah

Ikatan Akuntan Indonesia 13


MANAJEMEN PERPAJAKAN

50% untuk PPh, 100% untuk PPh yang dipotong/dipungut dan 100% untuk PPN
d. Pasal 13 ayat (3), yaitu apabila WP yang seharusnya memungut atau memotong PPh Pasal 21//23/26
dan PPN ternyata tidak melakukan kewajibannya tersebut atau telah melakukan kewajibannya
tersebut namun tidak semuanya, atau melakukan pemungutan/pemotongan namun tidak atau
kurang menyetorkan pemungutan/pemotongannya tersebut dikenakan kenaikan sebesar 100%.
e. Pasal 13 ayat (3) jo Pasal 13 ayat (1) huruf c yaitu apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai
PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenakan tarif 0 % (nol persen) dengan besarnya kenaikan 100%.
f. Pasal 13A, yaitu: apabila WP karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara dan apabila kealpaannya tersebut pertama kali dilakukan maka dikenakan

A
sanksi administrasi berupa kenaikan 200% dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan

C
melalui penerbitan SKPKB
g. Pasal 15 ayat (2) KUP, yaitu apabila diterbitkan SKPKBT maka sanksinya adalah kenaikan

A
sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Sanksi kenaikan ini tidak dikenakan apabila
SKPKBT ini diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari WP atas kehendak sendiri dengan

W
syarat DJP belum mulai melakukan pemeriksaan.

S
h. Pasal 17C, yaitu apabila kepada WP dengan kriteria tertentu telah diterbitkan Surat Keputusan

I
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan

S
harus diterbitkan SKPKB maka dengan sanksi kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan
pembayaran pajak.

A
3. Sanksi administrasi berupa denda.

E
a. Pasal 7 ayat (1) KUP, yaitu apabila WP terlambat menyampaikan SPT dalam batas waktu yang

B
telah ditentukan dengan besarnya denda Rp50.000 untuk SPT Masa dan Rp100.000 untuk SPT
Tahunan.
b. Pasal 8 ayat (3), yaitu apabila WP sebelum dilakukan tindakan penyidikan mau mengungkapkan

IH
ketidakbenaran perbuatannya, maka dendanya adalah sebesar 150% dari jumlah pajak yang
kurang dibayar.

A
c. Pasal 14 ayat (4), yaitu apabila Pengusaha yang dikenakan PPN tetapi tidak melaporkan usaha

R
kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, atau Pengusaha yang tidak
dikukuhkan sebagai PKP membuat Faktur Pajak, atau Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai

E
PKP tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak

P
mengisi Faktur Pajak dengan lengkap, maka dikenakan sanksi denda sebesar 2% dari dasar
Pengenaan Pajak. .
d. Pasal 38, yaitu: apabila WP tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan
Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan
yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan
perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13A di denda palng sedikit 1 kali jumlah pajak yang terutang atau kurang
dibayar dan paling banyak 2 kali jumlah pajak yang terutang atau kurang dibayar atau dipidana
kurung paling singkat 3 bulan atau paling lama 1 tahun
e. Pasal 44B, yaitu apabila dalam tingkat penyidikan, berdasarkan permintaan Menteri Keuangan
untuk kepentingan penerimaan negara, tindakan penyidikan itu dihentikan maka WP dikenakan
sanksi denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak
seharusnya dikembalikan.

14 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Selain sanksi administrasi di atas, maka terdapat juga sanksi Pidana yang dikenakan dalam hal:

1. Wajib Pajak karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya
tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang
dibayar.
2. Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan tanpa hak NPWP
/PKP atau tidak menyampaikan SPT, atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar, atau menolak
untuk dilakukan pemeriksaan, atau memperlihatkan pembukuan/dokumen palsu, atau tidak
menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau meminjamkan buku,
catatan, atau dokumen lainnya atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut,

A
sehingga dapat menimbulkan kerugian negara dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda
paling sedikit 2 kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan denda paling

C
banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
3. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan tanpa

A
hak NPWP/PKP atau tidak menyampaikan SPT, atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar
dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak dipidana dengan

W
penjara paling lama 2 tahun dan denda setinggi-tingginya 4 kali jumlah restitusi yang dimohon dan

S
atau kompensasi yang dilakukan oleh WP.

SI
1.6 Pembukuan dan Pencatatan

EA
B
Dalam Pasal 1 angka 26 UU KUP yang dimaksud dengan Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang
dilakukan secara teratur, untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,

H
modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang dan jasa, yang ditutup

I
dengan menyusun laporan keuangan berupa laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi dan penghasilan
komprehensif lain setiap tahun pajak berakhir.

1.
A
Yang Wajib Pembukuan

R
a. WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

E
b. WP Badan di Indonesia.

P
Dengan ketentuan pokok pembukuan sebagai berikut:
a. Harus diselenggarakan di Indonesia dengan:
1) Menggunakan huruf Latin.
2) Menggunakan angka Arab.
3) Menggunakan satuan mata uang Rupiah.
4) Disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing (bahasa Inggris yang diijinkan oleh
Menteri Keuangan.
b. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas
c. Sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan
biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
d. Buku-buku, catatan-catatan, atau dokumen-dokumen lain wajib disimpan selama 10 tahun di
Indonesia. Wajib Pajak yang melakukan pembukuan secara elektronik atau program aplikasi
online wajib menyimpan soft copy di Indonesia selama 10 tahun.
e. WP yang dapat menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain Rupiah
beserta syarat-syaratnya adalah:
1) WP dalam rangka penanaman modal asing

Ikatan Akuntan Indonesia 15


MANAJEMEN PERPAJAKAN

2)
WP dalam rangka kontrak karya pertambangan
3)
WP dalam rangka kontrak bagi hasil pertambangan/pengeboran
4)
Bentuk Usaha Tetap.
5)
WP yang berafisiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri.
6)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi:
i. Bahasa asing dan mata uang selain Rupiah adalah bahasa Inggris dan mata uang Dolar
Amerika Serikat
ii. Mendapat ijin dari Menteri Keuangan
permohonan ijin Kementerian Keuangan harus dilampiri: fotokopi SPT Tahunan terakhir
(bagi WP yang telah berdiri lebih dari satu tahun)/fotokopi NPWP dan akta pendirian
(bagi WP yang baru berdiri dalam tahun berjalan)
2. Yang Wajib Pencatatan

A
a. WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan

C
peraturan perundangan-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan netonya
dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

A
b. WP Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
Dengan ketentuan pokok pencatatan sebagai berikut:

W
a. Pencatatan dalam suatu tahun pajak meliputi jangka waktu 12 bulan mulai tanggal 1 Januari s.d

S
31 Desember

I
b. Terdiri dari data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto , dan/

S
atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk

A
penghasilan yang bukan obyek pajak dan penghasilan yang dikenakan pajak yang bersifat final.
c. Bagi Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu jenis usaha dan atau tempat usaha, pencatatan

E
harus dapat menggambarkan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto dari masing-

B
masing jenis usaha dan atau tempat usaha.
3. Norma Penghitungan

H
Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah pedoman untuk menentukan penghasilan neto Wajib

I
Pajak karena wajib pajak tersebut tidak wajib melakukan/menyelenggarakan pembukuan.

A
Adapun syarat-syarat untuk dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ini adalah:
a. Peredaran bruto dalam satu tahun tidak mencapai Rp4.800.000.000

R
b. Memberitahukan kepada DJP u.p. KPP dimana WP terdaftar dalam jangka waktu 3 bulan pertama

E
dari tahun buku.

P
c. Menyelenggarakan pencatatan
Jika tidak memberitahukan ke DJP dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Apabila
WP tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan, atau tidak memperlihatkan
pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau cara lain yang ditetapkan Menteri Keuangan.

1.7 Pemeriksaan Pajak

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan mengolah data dan atau
keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain
dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

1. Tujuan Pemeriksaan
a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian

16 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

hukum, keadilan dan pembinaan kepada Wajib Pajak, pemeriksaan ini dilakukan dalam hal:
1) Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
2) SPT Tahunan PPh menunjukkan rugi.
3) Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah
ditetapkan.
4) Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Dirjen Pajak.
5) Adanya indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan
yang tidak dipenuhi.
b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
1) Pemberian NPWP secara jabatan.
2) Penghapusan NPWP.

A
3) Pengukuhan atau Pencabutan PKP.

C
4) WP mengajukan keberatan.
5) Pengumpulan bahan untuk penyusunan norma penghitungan penghasilan neto.

A
6) Pencocokan data dan atau alat keterangan.
7) Penentuan WP berlokasi di daerah terpencil.

W
8) Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN.

S
9) Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk tujuan lain selain

I
tujuan di atas.

S
2.Jenis Pemeriksaan
a. Pemeriksaan rutin

A
Pemeriksaan yang bersifat rutin dilakukan terhadap Wajib Pajak

E
b. Pemeriksaan khusus

B
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap WP berkenaan dengan adanya masalah yang secara khusus
berkaitan dengan WP tersebut.
c. Pemeriksaan bukti permulaan

IH
Pemeriksaan untuk mencari atau mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana perpajakan.

A
d. Pemeriksaan WP lokasi

R
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap cabang, perwakilan, pabrik atau tempat usaha dari WP
yang berlokasi diluar KPP domisili. Permintaan pemeriksaan berasal dari KPP domisili.

E
e. Pemeriksaan tahun berjalan

P
Pemeriksaan terhadap WP yang dilakukan dalam tahun berjalan untuk jenis-jenis pajak tertentu
dan untuk mengumpulkan data atau keterangan atas kewajiban pajak lainnya.
3.Ruang Lingkup Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Lapangan
Yang meliputi suatu jenis pajak atau seluruh jenis pajak untuk tahun berjalan dan atau tahun-
tahun sebelumnya dan atau untuk tujuan lain yang dilakukan di tempat Wajib Pajak. Pemeriksaan
dapat dilakukan dengan Pemeriksaan Lengkap atau Pemeriksaan Sederhana Lapangan
b. Pemeriksaan Kantor
Yang meliputi suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya
yang dilakukan di kantor DJP q.q. KPP. Pemeriksaan hanya dapat dilaksanakan dengan
Pemeriksaan Sederhana.
4.Pemeriksaan Ulang dan Perluasan Pemeriksaan
a. Pemeriksaan Ulang
Dapat dilakukan berdasarkan instruksi atau persetujuan Direktur Jenderal Pajak, yang diberikan
apabila terdapat:

Ikatan Akuntan Indonesia 17


MANAJEMEN PERPAJAKAN

1) Indikasi bahwa WP melakukan tindak pidana di bidang perpajakan


2) Adanya data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang dapat mengakibatkan
penambahan pajak terutang
3) Sebab-sebab lain berdasarkan instruksi Dirjen Pajak
b. Perluasan Pemeriksaan
Dapat dilakukan berdasarkan instruksi atau persetujuan Direktur Jenderal Pajak, yang diberikan
apabila terdapat:
1) Indikasi bahwa WP melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
2) Adanya data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang dapat mengakibatkan
penambahan pajak terutang
3) Sebab-sebab lain berdasarkan instruksi Dirjen Pajak

1.8 Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak

CA
1.8.1 Surat Tagihan Pajak (STP)

A
W
a. Pengertian

S
Surat Tagihan Pajak (STP) adalah Surat untuk melakukan penagihan pajak dan atau sanksi

I
administrasi berupa denda dan atau bunga.

S
STP ini sama kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak.
b. Fungsi

A
1) Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak

E
2) Sarana untuk mengenakan sanksi berupa bunga atau denda

B
3) Sarana untuk menagih Pajak
c. Alasan diterbitkannya STP (Pasal 14 ayat (1) UU No.16 tahun 2000)
1) PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar

IH
2) Hasil penelitian Surat pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan atau salah hitung

A
3) Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga

R
4) Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN tetapi tidak melaporkan
kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP

E
5) Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak atau pengusaha

P
yang telah dikukuhkan sebagai PKP tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur
pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.
6) PKP melaporkan FP tidak sesuai dengan masa penerbitan FP;
7) PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan.
d. Sanksi dalam STP antara lain;
1) Sanksi administrasi berupa denda Rp100.000 (SPT Masa selain SPT Masa PPN) dan Rp500.000
(SPT Masa PPN) jika WP tidak atau terlambat menyampaikan SPT Masa dan Rp1.000.000 jka
tidak atau terlambat menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan atau Rp100.000 (SPT Tahunan OP)
2) Sanksi administrasi berupa denda 2% dari DPP apabila Pengusaha yang dikenakan PPN tetapi
tidak melaporkan usaha kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak,
atau Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai PKP membuat Faktur Pajak, atau Pengusaha
yang telah dikukuhkan sebagai PKP tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak
tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi Faktur Pajak dengan lengkap
3) Sanksi administrasi berupa bunga apabila Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT
berdasarkan kemauan WP sendiri yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar,
besarnya bunga adalah 2% dari jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung dari saat

18 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran kekurangan pajak akibat
pembetulan tersebut
4) Sanksi administrasi berupa bunga keterlambatan membayar atau menyetor PPh Pasal
21/22/23/25 atau PPN dan PPnBM, yang besarnya 2% sebulan yang dihitung dari jatuh tempo
pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1
(satu) bulan, untuk paling lama 24 bulan
5) Sanksi administrasi berupa bunga Pasal 19 ayat (3) yaitu bunga atas kekurangan pembayaran
akibat permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh (Penundaan
penyampaian SPT Tahunan) yang besarnya 2% sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya
kewajiban menyampaikan SPT Tahunan sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan
pembayaran tersebut, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan
6) Sanksi administrasi berupa bunga atas Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau

A
kurang dibayar, dan apabila dari hasil penelitian terhadap Surat pemberitahuan terdapat

C
kekurangan pembayaran sebagai akibat salah hitung dan atau salah tulis, yang besarnya
2% sebulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun pajak atau tahun pajak

A
sampai dengan diterbitkannya STP

W
1.8.2 Surat Ketetapan Pajak

S
a. Pengertian

I
Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi SKPKB, SKPLB, SKPN dan SKPKBT.

S
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
1) SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah

A
kredit pajak, jumlah pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah

E
yang masih harus dibayar.

B
2) SKPKB dapat diterbitkan dalam jangka waktun 5 tahun dalam hal:
i. Berdasarkan hasil pemeriksaan/keterangan lain
ii. SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Tegoran

IH
iii. Berdasarkan hasil pemeriksaan PPN/PPnBM disimpulkan bahwa terdapat PPN yang
seharusnya tidak dikompensasikan atau dikenakan tarif 0%.

A
iv. Kewajiban Pasal 28 dan Pasal 29 KUP tidak dipenuhi

R
3) SKPKB dapat diterbitkan meskipun jangka waktu 5 tahun telah lewat dalam hal WP dipidana
karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan oleh pengadilan yang telah mempunyai

E
kekuatan hukum yang tetap.

P
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
1) SKPLB adalah surat ketetapan pajak yangmenentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau seharusnya tidak
terutang.
2) SKPLB diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan
3) Dalam hal terdapat permohonan restitusi atas SPT LB, maka SKPLB harus diterbitkan paling
lambat 12 bulan dari tanggal SPT LB diterima.
4) Dalam hal permohonan restitusi atas SPT LB diajukan oleh WP dengan kriteria tertentu,
maka DJP setelah melakukan penelitian harus menerbitkan Surat Keputusan Pendahuluan
Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) paling lambat 3 bulan sejak permohonan diterima
(untuk PPh) dan 1 bulan sejak permohonan diterima (untuk PPN).
5) Bila SKPKPP telah diterbitkan , maka DJP masih dapat melakukan pemeriksaan terhadap WP
dimaksud dan bila hasil pemeriksaan tersebut berupa SKPKB, jumlah kekurangan pajaknya
dikenakan sanksi kenaikan sebesar 100%.
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan

Ikatan Akuntan Indonesia 19


MANAJEMEN PERPAJAKAN

jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang atau tidak ada kredit pajak. SKPKN diterbitkan
berdasarkan hasil pemeriksaan.
e. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
1) SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan (dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sebelumnya).
2) SKPKBT dapat diterbitkan dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat pajak terutang,
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak apabila ditemukan data baru
(novum) dan atau data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan
jumlah pajak yang terutang.
3) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPKBT ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan
100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Kenaikan ini tidak akan dikenakan apabila
SKPKBT diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari WP atas kehendak sendiri, dengan

A
syarat Dirjen Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.

C
4) Apabila jangka waktu 5 tahun telah lewat, SKPKBT tetap dapat diterbitkan apabila ditambah
sanksi 48% dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar dalam hal wajib pajak setelah lewat

A
jangka waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan.
f. Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak (Pasal 36 ayat (1) UU KUP)

W
(lebih lanjut dibahas di Penyelesaian sengketa Pajak)

S
1) Dirjen Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat mengurangkan atau

I
membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar

S
2) Permohonan pengurangan atau pembatalan tersebut diajukan untuk suatu ketetapan pajak
dan diajukan tidak melebihi jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterbitkannya STP, SKPKB

A
atau SKPKBT

E
3) Setiap permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar harus
menyebutkan jumlah pajak yang menurut penghitungan WP seharusnya terutang.

B
4) Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan paling lama 6 bulan sejak tanggal
permohonan diterima.

H
5) Terhadap keputusan pembatalan surat ketetapan pajak dapat diajukan permohonan kembali

I
kepada Direktur Jenderal paling lama 3 bulan sejak tanggal diterbitkannya keputusan

A
tersebut.
6) Permohonan pada angka 5 hanya dapat diajukan oleh WP paling banyak 2 kali.

ER
P
1.9 Pembayaran Utang Pajak

Pada dasarnya pembayaran utang pajak yang timbul karena diterbitkan STP atau surat ketetapan pajak
berupa SKPKB/SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan/Surat Keputusan Keberatan/Keputusan Banding
yang hasilnya menimbulkan adanya Pajak yang masih harus dibayar harus dilunasi paling lambat 30 hari
dari tanggal terbit STP/SKPKB/SKPKBT atau Surat Keputusan Keberatan/Banding tersebut, serta utang
pajak yang timbul karena kekurangan pembayaran PPh yang masih harus dibayar (PPh Pasal 29) dalam SPT
Tahunan PPh harus dibayar paling lambat tanggal 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun pajak.

Namun kepada WP masih diberikan kesempatan untuk dapat mengangsur atau menunda pembayaran
Utang Pajak tersebut yaitu:

1. Pajak yang masih harus dibayar dalam STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan/Surat
Keputusan Keberatan/Keputusan Banding yang hasilnya menimbulkan adanya Pajak yang masih
harus dibayar

20 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

2. Kekurangan pembayaran PPh (PPh Pasal 29) dalam SPT Tahunan PPh

Yang dapat mengajukan permohonan adalah:

1. WP yang mengalami kesulitan likuiditas.


2. WP yang mengalami keadaan di luar kekuasaannya.
3. Tidak mempunyai utang pajak yang telah jatuh tempo

Tatacara Pengajuan Permohonan angsuran atau Penundaan:

1. Diajukan secara tertulis kepada Ka KPP dimana WP terdaftar sebagai Wajib Pajak dan diajukan
dalam jangka waktu 15 hari sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran utang pajak berakhir disertai
dengan alasan dan jumlah pembayaran pajak yang dimohon diangsur/ditunda dengan dilampiri
bukti-bukti yang menguatkan alasan permohonan tersebut.

A
2. Bersedia memberikan jaminan memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan

C
pertimbangan Kepala Kantor Pelayanan Pajak, kecuali apabila Kepala Kantor Pelayanan Pajak
menganggap tidak perlu. Jaminan tersebut dapat berupa dapat berupa bank garansi, perhiasan,

A
kendaraan bermotor, gadai dari barang bergerak lainnya. Penyerahan hak milik secara kepercayaan,
hipotik, penanggung utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah atau sertifikat deposito.

W
3. Ka KPP menerbitkan Keputusan yang dapat menerima seluruh/sebagian atau menolak permohonan

S
tersebut dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari sejak permohonan diterima lengkap.

I
4. Surat Keputusan Angsuran Pembayaran Pajak atau Surat Keputusan Penundaan Pembayaran Pajak

S
dinyatakan tidak berlaku lagi apabila Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan,
gugatan atau banding, atau pengurangan/penghapusan sanksi atau pengurangan/pembatalan surat

A
ketetapan pajak, yang berkaitan dengan utang pajak yang diizinkan untuk diangsur atau ditunda.

E
5. Terhadap utang pajak yang telah diterbitkan surat keputusan angsuran atau penundaan pembayaran,

B
tidak dapat lagi diajukan permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran.
6. Apabila Wajib Pajak yang mengajukan permohonan mengangsur, ternyata mempunyai Surat

H
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) maka pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang telah

I
ditetapkan tersebut langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak yang ada
7. Apabila permohonan mengangsur atau menunda pembayaran dikabulkan baik sebagian maupun

A
seluruhnya maka atas angsuran atau penundaan tersebut dikenakan sanksi bunga sebesar 2% sebulan

R
(Pasal 19 ayat (2) UU KUP).

E
Selain melalui cara diatas, pembayaran utang pajak yang terdapat dalam STP/SKPKB/SKPKBT atau Surat

P
Keputusan Pembetulan/Surat Keputusan Keberatan/Keputusan Banding yang hasilnya menimbulkan adanya
Pajak yang masih harus dibayar dapat dilakukan dengan cara pemindahbukuan baik melalui permohonan
WP atau dilakukan secara jabatan oleh DJP (bila ada SKPLB pengembalian/restitusi pajak lainnya misalnya
SKPKPP atau pemberian imbalan bunga).

1.10 Penyelesaian Sengketa Pajak

1.10.1 Pembetulan (Pasal 16 UU No.16 tahun 2009)


Dalam Pasal 16 ayat (1) UU No.16 Tahun 2000 jo PER-48/PJ/2009 disebutkan bahwa DJP karena jabatan atau
permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan pajak karena terdapat:

1. Kesalahan tulis
2. Kesalahan hitung
3. Kekeliruan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yaitu:

Ikatan Akuntan Indonesia 21


MANAJEMEN PERPAJAKAN

a. Kekeliruan dalam penerapan tarif,


b. Kekeliruan penerapan persentase norma penghitungan penghasilan neto
c. Kekeliruan penerapan sanksi administrasi
d. Kekeliruan ptkp
e. Kekeliruan penghitungan PPh dalam tahun berjalan
f. Kekeliruan dalam pengkreditan

Pengertian membetulkan dalam ayat ini dapat berarti menambah atau mengurangkan atau menghapuskan,
tergantung dari sifat kesalahan dan kekeliruannya. Dalam pembetulan ini tidak mengandung sesuatu yang
dipersengketakan atau mengandung argumentasi yuridis antara fiskus dengan Wajib Pajak.

Apabila masih terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam Surat Keputusan Pembetulan ini maka WP dapat
mengajukan kembali permohonan Pembetulan kepada DJP, atau DJP dapat melakukan pembetulan lagi

A
karena jabatan.

1.10.2 Keberatan (Pasal 25 dan 26 UU No.16 tahun 2009)

C
A
Dalam Pasal 25 dan 26 UU No.28 Tahun 2000 jo PER Dirjen Pajak Nomor 49/PJ/2009 diatur mengenai tata
cara penyelesaian sengketa antara Wajib Pajak dengan Fiskus (DJP) pada tingkat internal DJP.

SW
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas SKPKB/SKPKBT/SKPLB/SKPN kecuali SKPKB Surat

I
Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan Pasal 13A UU KUP, pemotongan atau pemungutan pajak oleh

S
pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

A
Sengketa antara WP dengan Fiskus dalam keberatan merupakan sengketa yang bersifat material.

E
Syarat-syarat Pengajuan Keberatan:

B
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
2. Menyebutkan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong/dipungut atau jumlah

H
rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

I
3. Melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak

A
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
4. Satu surat keberatan untuk satu surat ketetapan.

R
5. Keberatan diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan atau

E
tanggal pemotongan atau pemungutan oleh pemotong atau pemungut pajak. Dalam hal Wajib Pajak

P
tidak dapat mengajukan surat keberatan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan karena sebab luar biasa
(diluar kekuasaan Wajib Pajak) harus disertai bukti pendukung adanya keadaan luar biasa (force
majeur) tersebut.

Surat Keberatan yang memenuhi syarat-syarat diatas harus diproses oleh DJP dan diterbitkan Surat
keputusannya dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.

Apabila syarat-syarat diatas tidak dipenuhi, maka surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak tidak
dianggap sebagai surat keberatan. Apabila jangka waktu 12 bulan tersebut fiskus belum memberikan
keputusan maka ketentuan yang menyebutkan bahwa surat keberatan dianggap diterima tidak berlaku.

22 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, mengatur
tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan
mengenai keberatannya.
Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses keberatan tetap dapat
diselesaikan.
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses
keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan
belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud
tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

A
1.10.3 Pengurangan dan Pembatalan ( Pasal 36 UU No.16 tahun 2009) jo PER-01/PJ/2007

C
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:

A
1. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang
terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi

W
tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

S
2. Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

I
3. Mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang

S
tidak benar; atau
4. Membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang

A
dilaksanakan tanpa:

E
a. Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau

B
b. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan wajib pajak.

Permohonan pengurangan atau pembatalan tersebut diajukan untuk suatu ketetapan pajak dan diajukan

H
tidak melebihi jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterbitkannya STP, SKPKB atau SKPKBT (untuk

I
pengurangan/penghapusan sanksi dalam STP/SKPKB/SKPKBT) atau SKPLB atau SKPN ( untuk

A
pembatalan:

R
1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
2. Setiap permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar harus

E
menyebutkan jumlah pajak yang menurut penghitungan WP seharusnya terutang.

P
3. Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan paling lama 6 bulan sejak tanggal permohonan
diterima.
4. Permohonan untuk nomor 1, 2 dan 3 paling banyak diajukan 2 kali.
5. Permohonan untuk nomor 4 hanya dapat dilakukan 1 kali.

1.11 Pengadilan Pajak

1. Pengertian dalam Pengadilan Pajak


a. Yang dimaksud Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk
Bea dan Cukai, dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan
Perundang-undangan yang berlaku
b. Keputusan adalah suatu penetatapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka
pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

Ikatan Akuntan Indonesia 23


MANAJEMEN PERPAJAKAN

c. Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau
Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan
yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak, berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan perpajakan termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang-undang penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
d. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak terhadap
suatu keputusan yang dapat diajukan banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
e. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh WP atau Penanggung Pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Pengadilan Pajak merupakan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa Sengketa Pajak

A
2.Wewenang Pengadilan Pajak

C
a. Banding
Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa atas

A
keputusan keberatan.
Selain itu Pengadilan Pajak dapat pula memeriksa dan memutus permohonan banding atas

W
keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang sepanjang peraturan

S
perundang-undangan yang terkait yang mengaturnya.

I
b. Gugatan

S
Dalam hal gugatan, Pengadilan Pajak hanya berwenang memeriksa dan memutus gugatan
sengketa atas:

A
1) Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang

E
2) Keputusan Pencegahan dalam rangka penagihan pajak

B
3) Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya
tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan

IH
4) Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan
dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26

A
3.Tata cara mengajukan Banding dan Gugatan

R
a. Siapa yang dapat mengajukan Banding/Gugatan

E
Yang dapat mengajukan banding adalah Wajib Pajak, sedangkan yang dapat mengajukan gugatan
adalah Penggugat yaitu dapat Wajib Pajak atau bukan Wajib Pajak.

P
Dalam mengajukan banding atau gugatan, Wajib Pajak dapat diwakili oleh:
1) Pengurus/Penanggung Pajak (WP Badan)
2) Kuasa Hukum (Konsultan Pajak, Kuasa Khusus, Pengacara)
3) Kurator (Jika WP dalam proses Pailit)
4) Ahli waris (dalam WP sudah meninggal dunia)
5) Bila dalam proses banding pemohon banding melakukan likuidasi, pengabungan,
pemecahan/pemekaran usaha, peleburan usaha, maka dapat diwakilkan oleh pihak yang
menerima pertanggungjawaban karena likuidasi, pengabungan, pemecahan/pemekaran
usaha, peleburan usaha dimaksud.
b. Tata cara Pengajuan Banding
1) Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak
2) Diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya keputusan yang akan
dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
3) Satu Surat Banding untuk 1 (Satu) Keputusan
4) Surat Banding memuat alasan-alasan yang jelas dan mencantumkan tanggal diterimanya

24 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

surat Keputusan yang dibanding serta dilampiri surat keputusan yang dibanding tersebut.
5) Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, maka banding
hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang tersebut telah dibayar sebesar 50% (lima
puluh persen)
6) Permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak.
Syarat 1) s.d 2) diatas merupakan syarat formal yang harus dipenuhi oleh Pemohon Banding
(WP, Pengurus, Kuasa Hukum, Kurator, atau penerima tanggung jawab dalam WP Likuidasi dll).
c. Tata cara Pengajuan Gugatan
1) Gugatan diajukan dengan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak
2) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan Penagihan Pajak adalah 14
Hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan
3) Jangka waktu untuk mengajukan gugatan selain gugatan terhadap pelaksanaan Penagihan

A
Pajak adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya Keputusan yang digugat

C
4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana angka 2) dan 3) diatas tidak dapat dipenuhi karena
keadaan diluar kekuasaan pemohon (force majeur) maka jangka waktu tersebut ditambah/

A
diperpanjang sampai 14 hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaaan
penggugat.

W
5) Satu surat gugatan terhadap satu pelaksanaan penagihan atau satu keputusan.

S
6) Gugatan diajukan oleh penggugat dengan disertai alasan-alasan yang jelas dengan

I
mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan Penagihan atau keputusan yang digugat dan

S
dilamiri salinan dokumen yang digugat.
Syarat 1) s.d 2) diatas merupakan syarat formal yang harus dipenuhi oleh Penggugat.
4.Putusan Pengadilan Pajak
Putusan pengadilan pajak dapat berupa:

EA
B
a. Menolak.
b. Mengabulkan seluruhnya.

H
c. Mengabulkan sebagian.

I
d. Menambah pajak yang harus dibayar.
e. Membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung.

A
f. Membatalkan.

R
g. Tidak dapat diterima.
Untuk ”Putusan Tidak dapat diterima” yang menyangkut kompentensi/kewenangan, dapat

E
diajukan gugatan ke Badan Peradilan lainnya. Putusan Peradilan Pajak untuk perkara banding

P
diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan sejak Surat banding diterima, dan untuk Surat Gugatan
diselesaikan dalam jangka waktu 6 bulan sejak Surat Gugatan diterima. Dalam hal-hal khusus
jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 3 bulan.
5. Peninjauan Kembali
Walaupun Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa
Sengketa Pajak namun pihak-pihak yang bersengketa masih dapat mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Peninjauan Kembali
ini hanya dapat diajukan 1 kali saja. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar dalam mengajukan
Peninjauan Kembali adalah:
a. Apabila putusan Pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian
oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan yang apabila diketahui
pada tahap persidangan di Pengadilan pajak akan menghasilkan keputusan yang berbeda.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali

Ikatan Akuntan Indonesia 25


MANAJEMEN PERPAJAKAN

yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b (putusan mengabulkan sebagian/seluruhnya)
dan c (mengenai menambah pajak yang harus dibayar) UU PP.
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-
sebabnya.
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Jangka waktu pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah:
a. Jika berdasarkan alasan adanya suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui
setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu, adalah 3 bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat
tersebut atau sejak putusan Hakim pengadilan Pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Jika terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan yang apabila diketahui

A
pada tahap persidangan di Pengadilan pajak akan menghasilkan keputusan yang berbeda, adalah

C
3 bulan terhitung sejak ditemukannya surat/bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus
dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.

A
c. Jika berdasarkan alasan selain a dan b, adalah paling lambat 3 bulan sejak Putusan dikirim.

SW
I
1.12 Penagihan Pajak

AS
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,

E
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang yang telah disita.

B
Penagihan Pajak dilaksanakan oleh Juru Sita Pajak (sekarang=Pejabat Sita), yang dilengkapi dengan:

IH
1. Tanda Pengenal Juru Sita Pajak
2. Surat Paksa atau,

A
3. Surat Perintah Melakukan Penyitaan

R
Rangkaian tindakan Penagihan Pajak:

No

1 PE Kegiatan

Surat Teguran
Saat dan kondisi Penerbitan/
Pelaksanaan
7 hari, Penanggung pajak
tidak melunasi utang pajak
Uraian

Diterbitkan setelah 7 hari sejak tanggal


jatuh tempo STP/surat ketetapan pajak
Diterbitkan setelah lewat waktu 21 hari
2 Surat Paksa 21 hari
sejak diterbitkannya Surat Teguran
Surat Perintah Dilaksanakan dalam waktu 2 x 24 jam
3 Melakukan Penyitaan 2 x 24 Jam terhitung sejak tanggal Surat Paksa
(SPMP) diberitahukan kepada PP
Pengumuman Lelang Dilaksanakan paling cepat 14 hari sejak
4 14 hari
(I) Penyitaan
Lelang ( untuk Dilaksanakan paling cepat 14 hari sejak
5 14 hari
barang bergerak) pengumuman lelang di media masa

26 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Saat dan kondisi Penerbitan/


No Kegiatan Uraian
Pelaksanaan
Pengumuman lelang Paling cepat 14 hari sejak pengumuman
6 14 hari
(II) lelang pertama
Lelang (Barang tak Dilaksanakan paling cepat 14 hari sejak
7 14 hari
Gerak) pengumuman lelang II di media masa

Surat Paksa diberitahukan kepada:

1. Untuk Orang Pribadi


a. Penanggung pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan

A
b. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha penanggung
pajak, apabila penanggung pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai.

C
c. Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila
WP telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi.

A
d. Para ahli waris apabila WP telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
2. Untuk Badan

W
a. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat

S
kedudukan badan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan.

I
b. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Juru Sita

S
tidak dapat menjumpai salah seorang pada angka 1 diatas.

A
3. Dalam hal tertentu:
a. Dalam hal WP dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas

E
atau Balai Harta Peninggalan

B
b. Dalam hal WP dinyatakan bubar atau likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau
badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator

H
c. Dalam hal WP menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan

I
kewajiban perpajakan, Surat Paksa diberitahukan kepada penerima kuasa tersebut
d. Apabila Surat Paksa tidak dapat diberitahukan kepada huruf a dan b di atas maka Surat Paksa

A
disampaikan melalui Pemerintah Daerah Setempat

R
e. Apabila WP/PP tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usahanya atau tempat kedudukannya,
penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan Surat Paksa pada papan

E
pengumuman kantor pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau

P
cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Penyitaan dilakukan terhadap barang milik:

1. Penanggung pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau di tempat
lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai
pelunasan utang tertentu.
2. Penanggung Pajak orang pribadi
3. Untuk Penanggung Pajak Badan, penyitaan dapat dilakukan terhadap barang milik perusahaan,
pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik ditempat
kedudukan, di tempat tinggal mereka, maupun di tempat lain.

Ikatan Akuntan Indonesia 27


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

28 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab II SW
SI
Overview PAJAKA
PENGHASILAN BE
IH
RA
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 29
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB II
OVERVIEW PAJAK PENGHASILAN

2.1 Skema Overview Pajak Penghasilan

Gambar 2.1: Overview Pajak Penghasilan

A
Kompensasi Kerugian

PPh Orang Pribadi

C
Perhitungan Pajak Penghasilan
Tarif Pajak Penghasilan
Akhir Tahun
PPh Badan
Subjek PPh dan Pengecualiannya Pasal 2 UU PPh

A
Kredit Pajak Penghasilan
Objek PPh dan Pengecualiannya Pasal 4 UU PPh

W
Overview Pajak
Penghasilan (PPh) Beban yang boleh dijadikan
Pasal 6 UU PPh
sebagai pengurang penghasilan

S
Penyesuaian Fiskal Positif

I
Beban yang tidak boleh dijadikan
Penyesuaian Fiskal Negatif Pasal 9 UU PPh
sebagai pengurang penghasilan

S
Rekonsiliasi Fiskal

Beda Permanen

A
Beda Temporer

BE
IH
2.2 Subjek Pajak Penghasilan dan Pengecualiannya

A
1. Yang menjadi Subjek Pajak, menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah:

R
a. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

E
b. Badan; dan
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

P
2. Pengecualian Subjek Pajak Penghasilan
a. Badan perwakilan negara asing;
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal
bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak
menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta
negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan
syarat:
a) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
b) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
c) pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan
usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

30 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

2.3 Objek Pajak Penghasilan dan Pengecualiannya

2.3.1 Objek Pajak Penghasilan


Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana yang diubah terakhir
kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi objek pajak
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

A
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh

C
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;

A
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3. Laba usaha;

W
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk;

S
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai

I
pengganti saham atau penyertaan modal;

S
b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh
perseroan, persekutuan dan badan lainnya;

A
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan

E
usaha, reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang

B
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan,
badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan

H
usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,

I
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara

A
pihak-pihak yang bersangkutan; dan
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda

R
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

E
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran

P
tambahan pengembalian pajak;
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aset;
14. Premi asuransi;
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak;
17. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah;
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan

Ikatan Akuntan Indonesia 31


MANAJEMEN PERPAJAKAN

umum dan tata cara perpajakan; dan


19. Surplus Bank Indonesia.

2.3.2 Penghasilan yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak Penghasilan


Pengecualian objek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat (3) Undang – Undang Pajak Penghasilan, yaitu:

1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang
berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang
diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;

A
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan

C
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan

A
Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

W
3. Warisan;

S
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

I
huruf b UU PPh sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

S
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh

A
bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan

E
norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,

B
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
7. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam

H
negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal

I
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

A
a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima

R
dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh

E
lima persen) dari jumlah modal yang disetor.

P
8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif;
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan
pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat
badan pasangan usaha tersebut:
a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-
sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang

32 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan
14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib
Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

2.4 Beban-beban yang Boleh dijadikan Sebagai Pengurang Penghasilan

CA
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk

A
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:

1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:

W
a. Biaya pembelian bahan;

S
b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi,

I
dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;

S
c. Bunga, sewa, dan royalti;

A
d. Biaya perjalanan;
e. Biaya pengolahan limbah;

E
f. Premi asuransi;

B
g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
h. Biaya administrasi; dan

H
i. Pajak kecuali Pajak Penghasilan;

I
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran
untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun

A
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU Pajak Penghasilan;

R
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan

E
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;

P
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal
Pajak; dan
c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah
yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/
pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan
dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
d. Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih
debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh;
Yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;(PMK

Ikatan Akuntan Indonesia 33


MANAJEMEN PERPAJAKAN

No. 57/PMK.03/2010)
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah. (PP No. 93 Tahun 2010)

A
2.5 Beban yang Tidak Boleh Dijadikan sebagai Pengurang Penghasilan

C
Berdasarkan Pasal 9 Undang – Undang Pajak Penghasilan, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena

A
Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang

W
dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

S
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau

I
anggota;

S
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

A
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit,
sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak

E
piutang;

B
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;

H
c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

I
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

A
f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha

R
pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; (PMK No. 81/PMK.03/2009)

E
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi

P
beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan
premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura
dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian
atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; (PMK No.
83/PMK.03/2009)
5. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
6. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

34 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

7. Pajak Penghasilan;
8. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungannya;
9. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham;
10. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang undangan di bidang perpajakan.

2.6 Rekonsiliasi Laba Fiskal dengan Laba Komersial

A
Penyesuaian fiskal diperlukan karena terdapat beberapa perbedaan antara prinsip pembukuan menurut

C
laporan keuangan secara fiskal dengan laporan keuangan secara komersial. Hal ini disebabkan karena
secara komersial diatur oleh PSAK dan secara fiskal diatur oleh UU Pajak Penghasilan dan peraturan

A
pelaksanaannya.

1.Penyesuaian Fiskal Positif

W
a. Penyesuaian fiskal positif akan mengakibatkan jumlah penghasilan menjadi lebih besar sehingga

S
menaikkan pajak terutang, pada umumnya timbul akibat biaya-biaya yang secara komersial diakui,

I
tetapi tidak diakui secara fiskal.

S
b. Penyesuaian fiskal positif itu dikelompokkan dalam beberapa bagian, yaitu:

A
1) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham, sekutu, atau
anggota;

E
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberian dividen terselubung yang dapat berupa

B
pembayaran premi asuransi jiwa pemegang saham, pembayaran biaya listrik dan telepon rumah
pemegang saham, biaya pemeliharaan kendaraan pribadi pemegang saham, pembayaran PBB

H
rumah pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.

I
2) Pembentukan dan pemupukan dana cadangan;

A
Pembentukan dan pemupukan dana cadangan dalam penyesuaian fiskal tidak termasuk
pemupukan cadangan bagi usaha perbankan dan asuransi, sewa guna usaha dengan hak opsi,

R
dan cadangan biaya reklamasi bagi usaha pertambangan.

E
3) Penggantian atau imbalan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan kenikmatan;

P
4) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang
memiliki hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan;
5) Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan;
Termasuk dalam kategori ini adalah pemberian beasiswa yang tidak memiliki ikatan dengan
perusahaan.
6) Pajak penghasilan;
7) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau CV yang modalnya tidak
terbagi atas saham;
8) Sanksi administrasi di bidang perpajakan;
9) Selisih penyusutan komersial di atas penyusutan fiskal;
10) Selisih amortisasi komersial di atas amortisasi fiskal;
11) Biaya yang ditangguhkan pengakuannya;
12) Penyesuaian fiskal positif lainnya.
Contoh pengeluaran yang termasuk kelompok ini adalah:
i. Perjalanan dinas pegawai tanpa disertai bukti-bukti;
ii. Pembagian bonus, tantiem, gratifikasi, maupun jasa produksi yang dibebankan pada laba

Ikatan Akuntan Indonesia 35


MANAJEMEN PERPAJAKAN

ditahan;
iii. PPh ditanggung perusahaan atas sewa rumah yang ditempati pegawai;
iv. Biaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan di luar negeri;
v. Pajak masukan untuk perolehan BKP/JKP sesuai dengan Pasal 9 UU PPh;
vi. Biaya entertainment yang tidak dibuatkan daftar nominative;
vii. Biaya promosi yang tidak didukung bukti;
viii. Kerugian pengalihan harta yang tidak digunakan untuk usaha;
ix. Macam-macam biaya yang tidak didukung oleh bukti-bukti.
2.Penyesuaian Fiskal Negatif
a. Penyesuaian fiskal negatif mengakibatkan jumlah penghasilan menjadi lebih kecil sehingga
menurunkan pajak terutang.
b. penyesuaian fiskal negatif dikelompokkan menjadi:

A
1) Selisih penyusutan komersial di bawah penyusutan fiskal;

C
2) Selisih amortisasi komersial di bawah amortisasi fiskal;
3) Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya;

A
4) Penyesuaian fiskal positif lainnya.
Beda Permanen dan Temporer

W
3.
a. Beda Permanen

IS
1) Timbul sebagai akibat adanya perbedaan pengakuan antara fiskal dan pembukuan yang tidak
akan terpulihkan di masa yang akan datang.

S
2) Contoh: non deductible expenses, objek PPh Final

A
b. Beda Temporer
1) Timbul karena perbedaan metode antara akuntansi komersial dengan fiskal yang akan

E
terpulihkan di masa yang akan datang.

B
2) Contoh: karena perbedaan metode penyusutan atau masa manfaat aset antara fiskal dan
komersial.

IH
A
2.7 Perhitungan Pajak Penghasilan Akhir Tahun

ER
Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan BUT, pada akhir tahun pajak dilakukan perhitungan pajak terutang
untuk tahun bersangkutan. Pajak yang terutang dikurangi dengan kredit pajak untuk tahun pajak yang

P
bersangkutan, baik pajak yang telah dipotong oleh pihak lain maupun pajak yang disetor sendiri, akan
menghasilkan kurang bayar atau lebih bayar.

1. Kompensasi kerugian
Apabila penghasilan bruto setelah dikurangi dengan pengurangan yang diperkenankan diperoleh
kerugian, kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama
lima tahun berturut-turut, dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun terjadinya kerugian tersebut.
Misalnya, Wajib Pajak PT ABC mengalami kerugian fiskal tahun pajak 2011. Kerugian tersebut dapat
dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2012, 2013, 2014, 2015, dan 2016.
Apabila setelah kerugian tersebut dikompensasikan sampai dengan tahun 2016 masih terdapat sisa
kerugian yang belum dikompensasikan, sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan
dengan penghasilan neto atau laba fiskal tahun 2017 atau sesudahnya.
2.Tarif Pajak
a. Tarif Pajak Penghasilan WP Badan Dalam Negeri dan BUT
Sejak 1 Januari 2010, tarif pajak penghasilan WP Badan Dalam Negeri dan BUT adalah 25%.
b. Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri

36 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1: Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi Dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp50.000.000 5%


Di atas Rp50.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 15%
Di atas Rp250.000.000 sampai dengan Rp500.000.000 25%
Di atas Rp500.000.000 30%

CA
Untuk keperluan penerapan tarif pajak atas Penghasilan Kena Pajak, jumlah Penghasilan Kena
Pajak dibulatkan dahulu ke bawah dalam ribuan rupiah penuh. Misalnya: Penghasilan Kena Pajak

A
sebesar Rp231.450.990. Untuk penerapan tarif dibulatkan ke bawah menjadi Rp231.450.000
c. Kredit Pajak Penghasilan

W
Kredit pajak penghasilan terdiri dari:

S
a) PPh pasal 21 (khusus untuk WP Orang Pribadi-Pemotongan dari pekerjaan).

I
b) PPh pasal 22 (Pemungutan pajak oleh pihak lain).

S
c) PPh pasal 23 (Pemotongan pajak dari modal dan jasa).

A
d) PPh pasal 24 (Kredit Pajak Luar Negeri).
e) PPh pasal 25 (Cicilan Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak).

BE
IH
RA
PE

Ikatan Akuntan Indonesia 37


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

38 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab III SW
SI
Overview PAJAK A
PERTAMBAHAN E
B NILAI
IH
RA
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 39
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB III
OVERVIEW PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

3.1 Sifat, Karakteristik dan Keunggulan PPN

3.1.1 Multi Stage Tax


Artinya PPN dikenakan pada setiap mata rantai mulai jalur produksi maupun distribusi hingga ke konsumen
akhir. Barang yang beredar di dalam negeri (daerah pabean) baik yang berasal dari produksi pabrikan dalam
negeri maupun impor, akan langsung dikenakan PPN sejak barang tersebut mulai diproduksi ataupun mulai

A
masuk ke dalam daerah pabean pada saat importasi hingga jalur distribusi dan berakhir di konsumen akhir.

C
A
Produksi oleh pabrikan:
- Bahan baku

W
- Upah langsung

S
- Overhead

I
Distributor

S
Distributor Retailer
Utama
Importasi oleh Importir

A
baik berupa barang

E
utuh maupun bahan
Konsumen
baku atau barang

B
Akhir
setengah jadi

IH Diolah lebih lanjut

A
menjadi barang utuh
yang siap dipasarkan

ER
P
1. Level Produksi oleh Pabrikan Dalam Negeri atau Level Importasi oleh Importir Dalam Negeri
Pabrikan akan membayar PPN atas perolehan barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP)
yang dibutuhkan oleh pabrikan untuk memproduksi produknya.
Importir harus membayar PPN impor atas BKP yang diimpornya sebelum barang tersebut
didistribusikan kepada distributor utama ataupun sebelum barang tersebut diolah lebih lanjut hingga
menjadi barang yang siap dipasarkan.
2. Level Distribusi Sejak dari Distributor Utama Hingga ke Retailer
Distributor utama akan membayar PPN kepada pabrikan atau importir atas BKP yang diperolehnya
dan kemudian memungut PPN atas penyerahan kepada distributor atau retailer, demikian seterusnya
retailer pun akan dipungut PPN oleh distributor atau distributor utama dan retailer akan memungut
PPN atas penyerahan kepada konsumen akhir.
3. Level Akhir: Konsumen Akhir
Pada akhirnya PPN akan menjadi beban yang ditanggung oleh konsumen akhir.

40 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3.1.2 Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri


PPN hanya dikenakan di dalam negeri (daerah pabean) dan menjadi tanggungan konsumen akhir.
Walaupun PPN dikenakan di setiap mata rantai mulai jalur produksi dan distribusi namun PPN akan
menjadi tanggungan konsumen akhir, hal ini dikarenakan adanya mekanisme pengkreditan atas PPN
yang dibayar oleh pabrikan/distributor utama/distributor/retailer; hanya konsumen akhir yang tidak lagi
melakukan pengkreditan atas PPN yang dibayarnya.

PPN yang telah dibayar oleh importir/pabrikan/distributor utama/distributor/retailer selanjutnya disebut


sebagai pajak masukan dan PPN yang dipungut oleh importir/pabrikan/distributor utama/distributor/
retailer disebut sebagai pajak keluaran. Konsumen akhir hanya membayar PPN kepada retailer namun
tidak lagi melakukan pemungutan PPN; sehingga tidak ada lagi mekanisme pengkreditan pajak masukan
terhadap pajak keluaran di level konsumen akhir.

3.1.3 Pajak Tidak Langsung

CA
PPN tidak dipungut langsung oleh negara kepada konsumen akhir, melainkan dipungut oleh pihak-pihak

A
yang terlibat dalam mata rantai jalur produksi dan distribusi. Pembayaran PPN kepada para pihak di mata
rantai produksi dan distribusi dianggap sebagai pembayaran langsung ke kas negara.

3.1.4 PPN Merupakan Pajak Objektif

SW
I
Suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya keadaan,

S
peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak.

A
Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar PPN ditentukan oleh adanya objek pajak.

E
Dengan berbagai karakteristik yang telah disebutkan dimuka, PPN memiliki keunggulan dan kelemahan.

B
Keunggulan PPN:

H
1. Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.

I
2. Netral dalam perdagangan lokal dan internasional.
3. Ditinjau dari besar pendapatan Negara, PPN mendapat predikat sebagai money maker. Karena

A
konsumen selaku pemikul beban pajak tidak merasa dibebani oleh pajak tersebut sehingga

R
memudahkan fiskus untuk memungutnya.

E
Kelemahan PPN:

P
1. Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan pajak tidak langsung lainnya, baik di pihak
administrasi pajak maupun di pihak pengusaha kena pajak.
2. Menimbulkan dampak regresif, yaitu semakin tinggi tingkat kemampuan konsumen, semakin ringan
beban pajak yang dipikul.
3. PPN sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak.
4. PPN menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak terhadap tingkat
kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Ikatan Akuntan Indonesia 41


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3.2 Objek PPN

Secara keseluruhan objek PPN diatur pada Pasal 4, Pasal 16C, dan Pasal 16D Undang-undang Nomor 8 tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana
terakhir telah diubah dengan Undang-undang nomor 42 tahun 2009 (selanjutnya disebut UU PPN). Jumlah
objek PPN yang diatur pasal 4 UU PPN ada 8 objek sehingga keseluruhan terdapat 10 objek PPN.

Pasal 4 ayat (1) UU PPN, PPN dikenakan atas:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
2. Impor Barang Kena Pajak;
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

A
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

C
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

A
8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

W
Pasal 16 C UU PPN

S
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan

I
usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak

S
lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Pasal 16 D UU PPN

EA
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aset yang menurut tujuan

B
semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aset yang Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

IH
Objek PPN pada pasal 4 ayat (1) UU PPN secara ringkas dapat dikelompokkan sebagai berikut :

A
1. Penyerahan BKP dan JKP, meliputi:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha

R
b. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak

E
c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak

P
d. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
e. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
2. Perolehan BKP dan JKP, meliputi:
a. Impor Barang Kena Pajak
b. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
c. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

Terkait dengan objek PPN yang diatur Pasal 4 ayat (1), Pasal 16C dan 16D UU PPN dapat disimpulkan
bahwa kewajiban untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) tidak berlaku untuk semua objek
PPN, melainkan hanya objek PPN sebagai berikut:

1. Objek PPN yang termasuk dalam kelompok Penyerahan BKP dan JKP, meliputi:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
b. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak

42 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

d. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.


e. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
2. Objek PPN Pasal 16 D UU PPN yang menyatakan:
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aset yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aset
yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf
b dan huruf c.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang melakukan
kegiatan:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean


2. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud

A
3. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

C
4. Ekspor Jasa Kena Pajak
5. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean

A
Berlawanan dengan pengertian pengusaha kena pajak, objek PPN terkait dengan kelompok Perolehan BKP

W
dan JKP berikut ini dan objek PPN Pasal 16 C UU PPN, tidak mewajibkan untuk dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak, meliputi:

1. Impor Barang Kena Pajak;

IS
S
2. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
3. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

A
4. Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam

E
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau

B
digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Artinya siapapun (baik berstatus sebagai PKP maupun bukan PKP) yang melakukan kegiatan

H
1. Impor Barang Kena Pajak;

I
2. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
3. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

A
4. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang

R
pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain;
Wajib membayar PPN yang terutang atas kegiatan tersebut.

PE

Ikatan Akuntan Indonesia 43


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3.3 Pengusaha Kena Pajak

Berdasarkan objek PPN, pengusaha dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Bukan PKP
Pengusaha
Pengusaha Kecil
Memilih
PKP dikukuhkan
sebagai PKP
PKP bukan
Pengusaha
Kecil

A
Memilih
tidak

C
dikukuhkan
sebagai PKP

A
W
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pengusaha dapat dibedakan sebagai pengusaha kena pajak (PKP)

S
dan bukan PKP; sebagaimana dijelaskan di muka PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP

I
dan JKP baik di dalam negeri maupun dalam rangka ekspor.

S
PKP lebih lanjut dikelompokkan atas PKP Pengusaha Kecil dan PKP bukan Pengusaha Kecil. PKP yang

A
masuk kriteria sebagai pengusaha kecil (berdasarkan PMK 197/PMK.03/2013, yang berlaku sejak 1 Januari
2014) adalah:

BE
Pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak dalam rangka kegiatan usahanya dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak
lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

IH
Pengusaha dengan kriteria sebagai Pengusaha Kecil dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak.

RA
Kewajiban untuk Dikukuhkan Sebagai PKP dan Sanksi Terhadap PKP
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang no. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan

E
sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 (selanjutnya disebut UU

P
KUP) menyatakan bahwa Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha,
dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Jadi untuk wajib pajak orang pribadi ataupun badan yang baru memulai kegiatan usahanya, setelah
mendaftarkan diri dan mendapatkan NPWP maka jika WP tersebut melakukan penyerahan BKP dan/atau
JKP yang memenuhi persyaratan untuk dikukuhkan sebagai PKP maka WP tersebut wajib melaporkan
untuk dikukuhkan sebagai PKP.

Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor
Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik
di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan
usaha dilakukan.

44 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Dikarenakan PPN terutang di lokasi terjadinya penyerahan BKP dan/atau JKP, maka tempat pengukuhan
PKP wajib dilakukan di lokasi-lokasi terjadinya penyerahan tersebut.

PKP yang memiliki lebih dari satu tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang dapat memilih 1 (satu) tempat
atau lebih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang.

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan Pajak
Pertambahan Nilai Terutang, Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara
tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang akan dipusatkan.

Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-19/PJ/2010 tentang Penetapan Satu Tempat
atau Lebih Sebagai Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang, menyatakan bahwa Dalam hal Pengusaha

A
Kena Pajak memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai
Terutang, Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada

C
Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat-tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang akan dipusatkan.

A
Walaupun Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-19/PJ/2010 memakai istilah pemberitahuan

W
secara tertulis, namun pemberitahuan ini lebih bersifat permohonan yang memerlukan persetujuan, hal ini

S
diatur pada pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) PER-19/PJ/2010 yang menyatakan bahwa:

SI
Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) harus memenuhi persyaratan:

A
a. Memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipilih sebagai
Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang;

E
b. Memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang akan dipusatkan;

B
dan
c. Dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan secara terpusat pada

H
tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan

I
Nilai Terutang.

A
Kepala Kantor Wilayah atas nama Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas)
hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) menerbitkan:

a.

ER
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat Pajak Pertambahan
Nilai Terutang, dalam hal pemberitahuan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

P
Pasal 4; atau
b. Surat Pemberitahuan Penolakan Pemusatan Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang, dalam hal
pemberitahuan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pemusatan PKP ini berlaku otomatis tanpa diperlukan permohonan dalam hal wajib pajak terdaftar di
Kantor Pelayanan Pajak Madya dan KPP yang berada di lingkungan Kantor Wilayah DJP WP Besar, dan
Kanwil DJP Jakarta Khusus (Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER - 28/PJ/2012).

Namun demikian khusus untuk pengusaha yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
tidak dapat melakukan pemusatan tempat PPN terutang (Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER -
25/PJ/2013).

Ikatan Akuntan Indonesia 45


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Sanksi terkait PKP diatur sebagai berikut:

1. Pasal 13 ayat (1) huruf e juncto pasal 13 ayat (2) UU KUP yang menyatakan:
a Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
e Apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai

A
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

C
2.Pasal 14 ayat (1) huruf d, e, f juncto Pasal 14 ayat (4) UU KUP yang menyatakan:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:

A
d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur
pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;

W
e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur

S
pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak

I
Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:

S
i. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau

A
ii. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat

E
(5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;

B
f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur
pajak;

H
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,

I
huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi

A
administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

R
3.Pasal 14 ayat (1) huruf g juncto Pasal 14 ayat (5) UU KUP yang menyatakan:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:

E
g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan

P
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984
dan perubahannya.
Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih
kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
4. Sanksi Pidana sebagaimana diatur Pasal 39 ayat (1) huruf a dan b
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak;
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali

46 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak
terutang yang tidak atau kurang bayar.
5. Sanksi Pidana Pasal 39A
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. Menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan
pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b. Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam
faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

3.4 Pengertian Penyerahan dan yang Tidak Termasuk dalam Pengertian Penyerahan BKP
CA
A
Memahami pengertian penyerahan adalah salah satu syarat mutlak untuk memahami terutang atau tidak

W
terutangnya pengalihan BKP; artinya jika ada pengalihan BKP namun pengalihan tersebut belum termasuk

S
dalam pengertian penyerahan sebagaimana diatur Pasal 1A UU PPN maka pengalihan tersebut tidak/belum

I
terutang PPN.

S
Pasal 1A ayat (1) UU PPN menyatakan:

A
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

E
a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;

B
b. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha
(leasing);

H
c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;

I
d. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;

A
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aset yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;

R
f. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang

E
Kena Pajak antar cabang;
g. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan

P
h. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan
yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha
Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna
usaha/SGU (leasing).

Yang dimaksud dengan “pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)”
adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan
hak opsi.

Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna
usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena
Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee). Pengertian penyerahan secara
SGU (leasing) hak opsi ini harus dibedakan dengan pengertian bahwa jasa SGU hak opsi termasuk sebagai
jasa keuangan yang tidak termasuk sebagai jasa kena pajak sebagaimana diatur pasal 4A ayat (3) UU PPN.

Ikatan Akuntan Indonesia 47


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Jadi walaupun SGU Hak opsi termasuk dalam kategori penyerahan namun atas jasa SGU Hak opsi (yang
menghasilkan bunga leasing) maka atas jasa SGU hak opsi (bunga leasing) tersebut tidak dikenakan/tidak
dipungut PPN oleh lessor.

Yang dimaksud dengan “pemakaian sendiri” adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri,
pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.

Yang dimaksud dengan “pemberian cuma-cuma” adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik
barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi
kepada relasi atau pembeli.

Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI (PP) No. 1 Tahun 2012 menyatakan sebagai berikut:

1) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan penyerahan Barang Kena

A
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai

C
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
2) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

A
meliputi pemakaian sendiri untuk:
a. tujuan produktif; atau

W
b. tujuan konsumtif.

S
3) Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif tidak

I
dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kecuali

S
pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan penyerahan yang:
a. tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau

A
b. mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

E
4) Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak

B
dalam rangka pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

H
Yang dimaksud dengan “Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan

I
produktif ” adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan

A
untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan

R
manajemen.

E
Yang dimaksud dengan “Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan

P
konsumtif ” adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak ada kaitan dengan
kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
manajemen.

Contoh pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak:

1. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif:
a. Pabrikan minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para
tamu.
b. Pabrikan sepatu dalam rangka promosi membeli topi dengan logo merek sepatu pabrik tersebut
dan sebagian dibagikan kepada karyawannya.
c. Perusahaan telekomunikasi selular memberikan fasilitas bebas biaya telepon selular kepada para
direksinya.
2. Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata
digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Pengusaha

48 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

yang bersangkutan:
a. Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha
mengangkut suku cadang.
b. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai
pengeras jalan di lingkungan pabrik.
c. Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional
perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.
3. Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata
digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya:
a. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai bahan
pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.
b. Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood)

A
untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak.

C
c. Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan
penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya.

A
Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

W
1. Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;

S
2. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;

I
3. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

S
4. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

A
Pasal 1A ayat (2) UU PPN menyatakan:

E
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

B
a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang;

H
b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;

I
c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha
Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;

A
d. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,

R
dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima
pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan

E
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang

P
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
Barang Kena Pajak berupa aset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak
dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan/atau aset berupa kendaraan bermotor sedan dan station
wagon yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf c tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.

Hal ini selaras dengan pengenaan PPN Pasal 16D; dimana untuk penyerahan kendaraan jenis sedan dan
station wagon, dikarenakan berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan c pajak masukannya tidak dapat
dikreditkan, maka penyerahan kembali atas kedua jenis mobil ini, tidak dikenakan PPN Pasal 16D, (kecuali
untuk PKP yang melakukan kegiatan usaha sewa dan/atau jual beli jenis kendaraan ini).

Ikatan Akuntan Indonesia 49


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3.5 BKP dan atau JKP dan Jenis Barang dan/atau Jasa yang tidak Dikenakan PPN

Secara hirarkis BKP dan JKP sebagai bagian objek PPN dapat digambarkan sebagai berikut:

Barang & Jasa BKP tertentu bersifat strategis yang impor &
yang tidak penyerahannya mendapat pembebasan PPN
dikenai PPN
Barang &
Jasa BKP tertentu bersifat strategis yang impor &
Barang & Jasa penyerahannya mendapat pembebasan PPN
Kena Pajak
(BKP & JKP)
BKP dan/atau JKP tertentu yang impornya dan/

A
atau penyerahannya mendapat pembebasan
PPN

C
A
BKP tertentu yang impornya mendapat
pembebasan Bea Masuk dan PPN tidak
dipungut

SW
I
BKP & JKP yang penyerahannya terutang PPN

AS
Dari diagram dimuka dapat terlihat bahwa BKP & JKP yang penyerahannya terutang PPN hanya salah 1

E
dari 5 kelompok BKP & JKP. Walaupun BKP & JKP yang penyerahannya terutang PPN hanya salah 1 dari 5
kelompok BKP & JKP, namun jumlah dan jenisnya sangat banyak, sehingga kita dapat mengasumsikan pada

B
dasarnya semua barang dan jasa adalah barang dan jasa kena pajak yang terutang PPN kecuali:

H
1. Barang dan Jasa yang tidak dikenai PPN sebagaimana diatur pasal 4A ayat (2) dan (3) UU PPN.

I
2. BKP tertentu bersifat strategis yang Impor & penyerahannya mendapat pembebasan PPN sesuai PP
No.12 Tahun 2001 yang telah diubah terakhir dengan PP No. 31 Tahun 2007.

A
3. BKP dan/atau JKP tertentu yang impor & penyerahannya mendapat pembebasan PPN sesuai PP

R
No.146 Tahun 2000 yang telah diubah dengan PP No.38 Tahun 2003.
4. BKP tertentu yang impornya mendapat pembebasan Bea Masuk dan atas PPN nya mendapat fasilitas

E
tidak dipungut sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 231/KMK.03/2001 yang terakhir

P
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 70/PMK.011/2013.

Barang dan Jasa yang tidak dikenai PPN sebagaimana diatur pasal 4A ayat (2) dan (3) UU PPN.

Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang
sebagai berikut:

1. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:
a. Minyak mentah (crude oil);
b. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
c. Panas bumi;
d. Asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit,
felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit,
mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk,
tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan

50 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

trakkit;
e. Batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
f. Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
2. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak meliputi:
a. Beras;
b. Gabah;
c. Jagung;
d. Sagu;
e. Kedelai;
f. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
g. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti,

A
dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan,

C
diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
h. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;

A
i. Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak
mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;

W
j. Buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci,

S
disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan

I
k. Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu

S
rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.

A
3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan

E
dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan

B
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga.

H
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:

1.

I
Jasa pelayanan kesehatan medis;

A
Jasa pelayanan kesehatan medis meliputi:

R
a. jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
b. jasa dokter hewan;

E
c. jasa ahli kesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;

P
d. jasa kebidanan dan dukun bayi;
e. jasa paramedis dan perawat;
f. jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
g. jasa psikolog dan psikiater; dan
h. jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
2. Jasa pelayanan sosial;
a. jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo;
b. jasa pemadam kebakaran;
c. jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
d. jasa lembaga rehabilitasi;
e. jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan
f. jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.
3. Jasa pengiriman surat dengan perangko;

Ikatan Akuntan Indonesia 51


MANAJEMEN PERPAJAKAN

4. Jasa keuangan;
Jasa keuangan meliputi:
a. Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito,
tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
b. Jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan
menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
c. Jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
1) sewa guna usaha dengan hak opsi;
2) anjak piutang;
3) usaha kartu kredit; dan/atau
4) pembiayaan konsumen;
5. Jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan

A
6. Jasa penjaminan.

C
7. Jasa asuransi
Yang dimaksud dengan “jasa asuransi” adalah jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian,

A
asuransi jiwa, dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis
asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian asuransi,

W
dan konsultan asuransi.

S
8. Jasa keagamaan

I
Jasa keagamaan meliputi:

S
a. jasa pelayanan rumah ibadah;
b. jasa pemberian khotbah atau dakwah;

A
c. jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan

E
d. jasa lainnya di bidang keagamaan.
9. Jasa pendidikan;

B
Jasa pendidikan meliputi:
a. jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan

H
umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan

I
keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan

A
b. jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
10. Jasa kesenian dan hiburan;

R
11. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;

E
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang dilakukan

P
oleh instansi pemerintah atau swasta yang tidak bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang
bertujuan komersial.
12. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
13. Jasa tenaga kerja;
Jasa tenaga kerja meliputi:
a. jasa tenaga kerja;
b. jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung
jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
c. jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
Peraturan Menteri Keuangan No.83/PMK.03/2012 tentang Kriteria dan/atau Rincian Jasa Tenaga
Kerja yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai mengatur sebagai berikut:
Dalam hal jasa penyediaan tenaga kerja tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3, jasa penyediaan tenaga kerja dimaksud merupakan jasa yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
Atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak

52 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan Dasar Pengenaan Pajak.
Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah penggantian, yang meliputi
seluruh tagihan yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha jasa atas penyerahan jasa
penyediaan tenaga kerja kepada pengguna jasa, termasuk imbalan yang diterima tenaga kerja berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan sejenisnya. kecuali:
Dalam hal tagihan atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja dirinci dalam Faktur Pajak dengan
memisahkan antara tagihan atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja yang diterima oleh
pengusaha jasa dan imbalan yang diterima oleh tenaga kerja, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah nilai lain. Nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah
seluruh tagihan yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha jasa atas penyerahan jasa
penyediaan tenaga kerja kepada pengguna jasa, tidak termasuk imbalan yang diterima tenaga kerja
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan sejenisnya.

A
14. jasa perhotelan;

C
15. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
16. jasa penyediaan tempat parkir;

A
Jasa penyediaan tempat parkir tidak terutang PPN, namun jasa pengelolaan tempat parkir merupakan
jasa yang terutang PPN.

W
17. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;

S
18. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan

I
19. jasa boga atau katering.

S
BKP tertentu bersifat strategis yang impor & penyerahannya mendapat pembebasan PPN sesuai PP No.12

A
tahun 2001 yang telah diubah terakhir dengan PP No. 31 Tahun 2007 meliputi:

E
1. Barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas,

B
tidak termasuk suku cadang; harus ada SKB (Surat Keterangan Bebas) Pemungutan PPN dan dalam
jangka waktu 5 tahun tidak boleh dialihkan; jika dialihkan maka akan diterbitkan SKPKB.
2. Makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas

IH
dan ikan;
3. Barang hasil pertanian;

A
Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:

R
a. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
b. Peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau

E
c. Perikanan baik dari penangkapan atau budidaya, yang dipetik langsung, diambil langsung

P
atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk
memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan
dalam lampiran peraturan pemerintah ini.
4. Bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran atau
perikanan;
5. Air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh perusahaan air minum;
6. Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) watt; dan
7. Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI).

BKP dan/atau JKP tertentu yang impor & penyerahannya mendapat pembebasan PPN sesuai PP No.146
Tahun 2000 yang telah diubah dengan PP No.38 Tahun 2003.Meliputi:
1. Barang Kena Pajak Tertentu yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
adalah:
a. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, alat
angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan khusus
lainnya, serta suku cadangnya yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, Tentara Nasional

Ikatan Akuntan Indonesia 53


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) atau oleh pihak lain yang
ditunjuk oleh Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI untuk melakukan impor tersebut, dan
komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri, yang diimpor oleh PT (PERSERO)
PINDAD, yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan Departemen
Pertahanan,TNI atau POLRI;
b. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
c. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
d. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan,
kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat
keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan
Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara
Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan

A
Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;

C
e. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan
manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh

A
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan
atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan

W
Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau

S
reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;

I
f. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana

S
yang diimpor dan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, dan komponen atau
bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia,

A
yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau

E
pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia;
dan

B
g. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan atau TNI untuk
penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk

H
mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI atau pihak

I
yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan atau TNI.”

A
2. Barang Barang Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak

R
Pertambahan Nilai adalah:
a. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama

E
mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri

P
Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah;
b. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, alat
angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli dan kendaraan angkutan khusus
lainnya, serta suku cadangnya yang diserahkan kepada Departemen Pertahanan, TNI atau
POLRI, dan komponen atau bahan yang diperlukan dalam pembuatan senjata dan amunisi oleh
PT (PERSERO) PINDAD untuk keperluan Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI;
c. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
d. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
e. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan,
kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat
keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia yang diserahkan kepada dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan
Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai,
Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
f. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatanmanusia,
peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diserahkan kepada dan digunakan oleh

54 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan
atau pemeliharaan pesawat udara yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan
Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan atau
reparasi Pesawat Udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
g. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana
yang diserahkan kepada dan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia dan
komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh PT (PERSERO) Kereta
Api Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk
perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta
Api Indonesia;
h. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara
wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan Nasional yang diserahkan

A
kepada Departemen Pertahanan atau TNI.”

C
3.Jasa Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai adalah:

A
a. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan
Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara

W
Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi:

S
a) Jasa persewaan kapal;

I
b) Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh;

S
c) Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal;
b. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi:

A
a) Jasa persewaan pesawat udara;

E
Perusahaan angkutan udara niaga nasional sebagai pihak yang menyewa pesawat.

B
b) Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara;
c. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia;
d. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan sebagaimana dimaksud

IH
dalam Pasal 2 angka 1 dan pembangunan tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah;
e. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana; dan

A
f. Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan dalam rangka

R
penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung
pertahanan nasional.”

PE
BKP tertentu yang impornya mendapat pembebasan Bea Masuk dan atas PPN nya mendapat fasilitas tidak
dipungut sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 231/KMK.03/2001 yang terakhir diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan No. 70/PMK.011/2013.

BKP tertentu yang mendapat fasilitas pembebasan PPN dan sekaligus mendapat fasilitas PPN tidak dipungut
atas impornya adalah: barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu minyak dan gas
bumi serta panas bumi.

Dengan syarat:

1. Barang tersebut belum dapat diproduksi dalam negeri;


2. Barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan;
atau
3. Barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan
industri.

Ikatan Akuntan Indonesia 55


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3.6 Saat Terutangnya PPN dan Tata Cara Faktur Pajak

Secara umum PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP memungut PPN pada saat melakukan
penagihan atau pada saat diterimanya uang muka jika adanya uang muka penjualan yang mendahului
penyerahan barang dan/atau jasa kena pajak.

Pemungutan PPN oleh PKP (dengan bukti berupa faktur pajak) sangat terkait dengan saat terutangnya
PPN. Saat terutangnya PPN lebih lanjut diatur pada Pasal 17 ayat (1) s.d. (10) PP No.1 Tahun 2012 yang
menyatakan sebagai berikut:

1. Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah terjadi pada saat:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak;

A
b. Impor Barang Kena Pajak;

C
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;

A
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;

W
g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau

S
h. Ekspor Jasa Kena Pajak.

I
2. Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan

S
Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya Pajak

A
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah

E
pada saat pembayaran.
3. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:

B
a. Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang
bergerak, terjadi pada saat:

IH
1) Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak
ketiga untuk dan atas nama pembeli;

A
2) Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang
untuk pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau

R
sebaliknya dan/atau penyerahan antar cabang;

E
3) Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa

P
angkutan; atau
4) Harga atas penyerahan Barang Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada
saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi
yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten.
b. Penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang
tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang
Kena Pajak berwujud tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
c. Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud, terjadi pada saat:
1) Harga atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diakui sebagai piutang atau
penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai
dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; atau
2) Kontrak atau perjanjian ditandatangani, atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan
untuk dipakai secara nyata, sebagian atau seluruhnya, dalam hal saat sebagaimana dimaksud
pada angka 1 tidak diketahui.
d. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aset yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat

56 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

yang terjadi lebih dahulu di antara saat:


a) Ditandatanganinya akta pembubaran oleh Notaris;
b) Berakhirnya jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar;
c) Tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perusahaan dibubarkan; atau
d) Diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha
atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen
yang ada.
e. Pengalihan barang kena pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
dan pengambilalihan usaha yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 1A ayat (2) huruf d Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai atau perubahan bentuk usaha, terjadi pada saat:
a) Disepakati atau ditetapkannya penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha sesuai hasil Rapat Umum Pemegang

A
Saham yang tertuang dalam perjanjian penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,

C
pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha; atau
b) Ditandatanganinya akta mengenai penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau

A
pengambilalihan usaha, atau perubahan bentuk usaha oleh Notaris.
4. Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi pada saat Barang Kena

W
Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.

S
5. Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi pada saat:

I
a. Harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat

S
diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang
berlaku umum dan diterapkan secara konsisten;

A
b. Kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada huruf a

E
tidak diketahui; atau
c. Mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau

B
seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak.
6. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean

H
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e terjadi pada saat:

I
a. Harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan

A
sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
b. Harga jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut

R
ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau

E
c. Harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar

P
baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya, yang terjadi lebih dahulu.
7. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
terjadi pada tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian, dalam hal terjadinya Pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) tidak diketahui.
8. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terjadi pada saat
Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.
9. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terjadi pada
saat Penggantian atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang diekspor tersebut dicatat atau diakui
sebagai piutang atau penghasilan.
10. Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terjadi pada saat Penggantian
atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.

Sebagai bukti pemungutan PPN oleh PKP atas penyerahan BKP dan/atau JKP, PKP akan menerbitkan
faktur pajak. Faktur pajak dibuat pada saat terutangnya PPN sebagaimana dijelaskan di atas. Dikecualikan
dari ketentuan tersebut adalah faktur pajak gabungan dimana Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1

Ikatan Akuntan Indonesia 57


MANAJEMEN PERPAJAKAN

(satu) Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak
dan/atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender paling lambat pada akhir
bulan penyerahan. Lebih lanjut Peraturan Menteri Keuangan No. 151/PMK.011/2013 tentang Tata Cara
Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak mengatur sebagai berikut:

Pasal 7
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan.
1. sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak.
2. Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap
tidak menerbitkan Faktur Pajak.
3. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.

A
Pasal 15

C
Dalam hal terdapat pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak yang Faktur Pajaknya telah diterbitkan, Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak harus

A
melakukan pembatalan Faktur Pajak.

W
Pasal 16
1. Atas Faktur Pajak berbentuk elektronik yang salah dalam pengisian, atau salah dalam penulisan sehingga

IS
tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas, dan benar, Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan
Faktur Pajak tersebut dapat menerbitkan Faktur Pajak pengganti.

S
2. Atas hasil cetak Faktur Pajak berbentuk elektronik yang rusak atau hilang, Pengusaha Kena Pajak yang

A
membuat Faktur Pajak berbentuk elektronik tersebut dapat melakukan cetak ulang Faktur Pajak.
3. Atas Faktur Pajak berbentuk elektronik yang rusak atau hilang, Pengusaha Kena Pajak dapat

E
mengajukan permintaan data Faktur Pajak berbentuk elektronik kepada Direktorat Jenderal Pajak.

Pasal 17

B
(1) Atas Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) yang rusak, salah dalam pengisian, atau salah dalam

IH
penulisan, sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas dan benar, Pengusaha Kena Pajak
yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut dapat menerbitkan Faktur Pajak pengganti.

A
(2) Atas Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) yang hilang, baik Pengusaha Kena Pajak yang

R
menerbitkan maupun pihak yang menerima Faktur Pajak tersebut dapat membuat copy dari Faktur
Pajak dan dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak.

E
Tata cara Penerbitan Faktur Pajak Pengganti/Pembetulan Faktur Pajak yang salah dan keliru, dapat dilihat

P
dalam Lampiran VI huruf A Peraturan Dirjen Pajak No.PER - 24/PJ/2012.

3.7 Tata Cara Retur/Pengembalian dengan Menggunakan Nota Retur (untuk BKP) dan Nota
Pembatalan (untuk JKP)

Dasar hukum: Peraturan Menteri Keuangan No. 65/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengurangan Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena
Pajak yang Dikembalikan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang Dibatalkan.

Pasal 2
1. Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh Pembeli, Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang
Kena Pajak yang dikembalikan tersebut dapat mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual dan mengurangi:

58 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak Pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena
Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak
yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah
ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
c. biaya atau harta bagi Pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena
Pajak yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan
(dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
2. Dalam hal Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya
oleh Penerima Jasa, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut mengurangi
Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:

A
a. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak Penerima Jasa, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa

C
Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
b. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak Penerima Jasa, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai

A
atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai
biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau

W
c. biaya atau harta bagi Penerima Jasa yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak

S
Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya

I
atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.

S
3. Pengembalian Barang Kena Pajak dianggap tidak terjadi dalam hal Barang Kena Pajak yang

A
dikembalikan diganti dengan Barang Kena Pajak yang sama, baik dalam jumlah fisik, jenis maupun
harganya.

Pasal 4
1.
BE
Dalam hal terjadi Pengembalian Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),

H
Pembeli harus membuat dan menyampaikan nota retur kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual.

I
2. Nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus mencantumkan:

A
a. Nomor urut nota retur;
b. Nomor, kode seri, dan tanggal faktur pajak dari barang kena pajak yang dikembalikan;

R
c. Nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak pembeli;

E
d. Nama, alamat, nomor pokok wajib pajak pengusaha kena pajak penjual;
e. Jenis barang, jumlah harga jual barang kena pajak yang dikembalikan;

P
f. Pajak pertambahan nilai atas barang kena pajak yang dikembalikan, atau pajak pertambahan
nilai dan pajak penjualan atas barang mewah atas barang kena pajak yang tergolong mewah yang
dikembalikan;
g. Tanggal pembuatan nota retur; dan
h. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota retur.
3. Nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada saat Barang Kena Pajak
dikembalikan.
4. Bentuk dan ukuran nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan kebutuhan
administrasi Pembeli.
5. Contoh bentuk dan ukuran nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
6. Nota retur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat paling sedikit dalam rangkap 2 (dua) yaitu:
a. Lembar ke-1: untuk Pengusaha Kena Pajak Penjual;
b. Lembar ke-2: untuk arsip Pembeli.

Ikatan Akuntan Indonesia 59


MANAJEMEN PERPAJAKAN

7. Dalam hal Pembeli bukan Pengusaha Kena Pajak, nota retur dibuat paling sedikit dalam rangkap 3
(tiga), dan lembar ke-3 harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pembeli terdaftar.
8. Pengembalian Barang Kena Pajak dianggap tidak terjadi dalam hal:
a. Nota retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b. Nota retur tidak dibuat pada saat barang kena pajak tersebut dikembalikan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c. Nota retur tidak disampaikan sebagaimana dimaksud ayat (7).

Pasal 5
1. Dalam hal terjadi pembatalan penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2), Penerima Jasa harus membuat dan menyampaikan nota pembatalan kepada Pengusaha Kena
Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak.

A
2. Nota pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus mencantumkan:

C
a. Nomor nota pembatalan;
b. Nomor, kode seri dan tanggal faktur pajak dari jasa kena pajak yang dibatalkan;

A
c. Nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak penerima jasa;
d. Nama, alamat, nomor pokok wajib pajak pengusaha kena pajak pemberi jasa kena pajak;

W
e. Jenis jasa dan jumlah penggantian jasa kena pajak yang dibatalkan;

S
f. Pajak pertambahan nilai atas jasa kena pajak yang dibatalkan;

I
g. Tanggal pembuatan nota pembatalan; dan

S
h. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota pembatalan.
3. Nota pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada saat Jasa Kena Pajak

A
dibatalkan.

E
4. Bentuk dan ukuran nota pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan
kebutuhan administrasi Pembeli.

B
5. Contoh bentuk dan ukuran nota pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak

H
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

I
6. Nota pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat paling sedikit dalam rangkap 2 (dua)

A
yaitu:
a. Lembar ke-1: untuk Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak;

R
b. Lembar ke-2: untuk arsip Penerima Jasa.

E
7. Dalam hal Penerima Jasa bukan Pengusaha Kena Pajak, nota pembatalan dibuat paling sedikit dalam

P
rangkap 3 (tiga), dan lembar ke-3 harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Penerima
Jasa terdaftar.
8. Pembatalan Jasa Kena Pajak dianggap tidak terjadi dalam hal:
a. Nota pembatalan tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2);
b. Nota pembatalan tidak dibuat pada saat jasa kena pajak dibatalkan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c. Nota pembatalan tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7).

60 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3.8 Mekanisme Pemungutan PPN oleh Pemungut PP

Secara umum, mekanisme pemungutan PPN dilakukan oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/
atau JKP, namun demikian UU PPN juga mengatur mekanisme pemungutan PPN yang berbeda dengan
mekanisme umum pemungutan PPN oleh PKP, yaitu Pemungutan PPN oleh Pemungut PPN.

Angka 27 Pasal 1 UU PPN menyatakan:

Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang
ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh
Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada
bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.

A
Pasal 16A UU PPN menyatakan:
1. Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak

C
kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.

A
2. Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

W
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

S
Penjelasan Pasal 16A ayat (1)

I
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena

S
Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka Pemungut Pajak Pertambahan Nilai berkewajiban

A
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang dipungutnya. Meskipun demikian, Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut

E
Pajak Pertambahan Nilai tetap berkewajiban untuk melaporkan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak

B
Pertambahan Nilai.

Yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN adalah:

1.

IH
Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan pembayaran yang
dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan

A
Belanja Daerah, yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi,

R
Kabupaten, atau Kota. (Keputusan Menteri Keuangan No. 563/KMK.03/2003)
2. Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin adalah:

E
a. Kontraktor kontrak kerja sama pengusahaan minyak dan gas bumi; dan

P
b. Kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi,
yang meliputi kantor pusat, cabang, maupun unitnya. (Peraturan Menteri Keuangan No. 73/
PMK.03/2010)
3. Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
(Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.03/2012)

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut oleh Bendaharawan
Pemerintah dalam hal:
1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak merupakan
pembayaran yang terpecah-pecah;
2. Pembayaran untuk pembebasan tanah;
3. Pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut dan/
atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
4. Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh PT (Persero)

Ikatan Akuntan Indonesia 61


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Pertamina;
5. Pembayaran atas rekening telepon;
6. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; atau
7. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan Perundang-
undangan yang berlaku tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak
dipungut oleh Kontraktor atau Pemegang Kuasa/Pemegang Izin dalam hal:

1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
terutang dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
2. Pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan

A
perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak

C
dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
3. Pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina

A
(Persero);
4. Pembayaran atas rekening telepon;

W
5. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau

S
6. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan perundang-

I
undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai

S
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

A
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak
dipungut oleh Badan Usaha Milik Negara dalam hal:

1.

BE
Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) termasuk jumlah
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang

H
terutang dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

I
2. Pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang menurut ketentuan
perundang-undangan di bidang perpajakan mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak

A
dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;

R
3. Pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak oleh PT Pertamina
(Persero);

E
4. Pembayaran atas rekening telepon;

P
5. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan; dan/atau
6. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang dan/atau jasa yang menurut ketentuan perundang-
undangan di bidang perpajakan tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran


1. Rekanan wajib membuat Faktur Pajak dan SSP atas setiap penyerahan BKP dan/atau JKP kepada
Pemungut PPN.
2. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dibuat sesuai dengan ketentuan di bidang
perpajakan.
3. SSP sebagaimana dimaksud pada angka 1 diisi dengan membubuhkan NPWP serta identitas Rekanan,
tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh Pemungut PPN sebagai penyetor atas nama Rekanan.
4. Dalam hal penyerahan BKP selain terutang PPN juga terutang PPnBM, maka Rekanan harus
mencantumkan juga jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak.
5. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dibuat dalam rangkap 3 (tiga):

62 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

a. Lembar kesatu untuk Pemungut PPN;


b. Lembar kedua untuk Rekanan; dan
c. Lembar ketiga untuk Pemungut PPN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.
6. SSP sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dibuat dalam rangkap 5 (lima) dengan peruntukkan
sebagai berikut:
a. Lembar kesatu untuk Rekanan;
b. Lembar kedua untuk KPPN melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos;
c. Lembar ketiga untuk Rekanan yang dilampirkan pada SPT Masa PPN;
d. Lembar keempat untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos; dan
e. Lembar kelima untuk Pemungut PPN yang dilampirkan pada SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN.
7. Pemungut PPN yang melakukan pemungutan wajib membubuhkan cap “Disetor Tanggal ..............”
dan menandatanganinya pada Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 5.

A
8. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN atau PPN dan PPnBM.

C
Penyetoran PPN oleh Pemungut PPN paling lambat dilakukan tanggal 15 bulan berikutnya dan
SPTMasa bagi Pemungut PPN dilaporkan paling lambat akhir bulan berikutnya.

A
Rekanan melaporkan Faktur pajak yang diterbitkan pada saat rekanan menerima pelunasan tagihan.

SW
I
3.9 Pajak Penjualan atas Barang Mewah

S
Disamping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga

A
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap:

E
1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang

B
menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
2. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

H
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena

I
Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak

A
yang tergolong mewah.

R
Karena dikenakan hanya sekali saja, PPnBM tidak mengenal mekanisme pengkreditan. Pengenaan PPnBM

E
sama seperti PPN akan bermuara menjadi beban konsumen akhir.

P
3.10 PPN dan PPnBM atas Importasi

Baik PPN maupun PPnBM atas BKP Impor dihitung dari Nilai Impor.

Nilai Impor = CIF ditambah Bea Masuk (BM) dan/atau Bea Masuk Tambahan (berupa, bea masuk anti
dumping, bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk imbalan/pembalasan) dan/atau cukai serta
pungutan lainnya berdasarkan UU Kepabeanan (seperti sanksi administrasi kepabeanan).

Bea Masuk dan Bea Masuk tambahan berupa persentase dihitung dari CIF.
CIF = Cost (FOB) + Freight + Insurance
Untuk pengangkutan melalui laut maka Freight-nya:

Ikatan Akuntan Indonesia 63


MANAJEMEN PERPAJAKAN

1. 5% dari FOB (Free on Board) untuk barang yang dikirim dari negara ASEAN,
2. 10% dari FOB untuk Asia-Non Asean atau Australia,
3. 15% untuk negara selain dari keduanya.

Sedangkan untuk pengangkutan udara ditentukan berdasarkan Tarif International Air Transport Association
(IATA).

Asuransi ditetapkan 0,5% dari nilai Cost and Freight (CFR).


Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, Barang Kena Cukai terdiri dari:

1. Etil alkohol (EA) atau etanol


2. Minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA)
3. Hasil tembakau

Sanksi administrasi kepabeanan, berdasarkan PP 28 tahun 2008 dapat berupa:

1. Nilai rupiah tertentu;


CA
A
2. Nilai rupiah minimum sampai dengan maksimum (Rp5 juta s/d Rp75 juta)
3. Persentase tertentu dari bea masuk yang seharusnya dibayar (10% dihitung dari BM atas keterlambatan

W
menyetor BM);

S
4. Persentase tertentu minimum sampai dengan maksimum dari kekurangan pembayaran bea masuk

I
atau bea keluar.

S
a. Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sehingga
mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda

A
paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak

E
1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.

B
b. Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk penghitungan bea
masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. Apabila

H
diakibatkan oleh adanya kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan sehingga mengakibatkan

I
kekurangan pembayaran bea masuk, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit
100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu

A
persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.

R
Dihitung dengan tahapan:
a. Kurang bayar (%) = (BMSD – BMTD) / BMTD x 100%

E
b. Kurang bayar (%) —> Golongan % Denda

P
c. Denda = Golongan % Denda x (BMSD – BMTD)
BMSD: Bea masuk yang seharusnya dibayar
BMTD: Bea masuk yang telah dibayar
Golongan % Denda:
a. Kurang bayar s/d 25%: –> denda sebesar 100%
b. di atas 25% s/d 50%: –> denda sebesar 200%
c. di atas 50% s/d 75%:–> denda sebesar 400%
d. di atas 75% s/d 100%:–> denda sebesar 700%
e. di atas 100%:–> denda sebesar 1000%
5. Persentase tertentu minimum sampai dengan maksimum dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
Orang yang tidak memenuhi ketentuan tentang pembebasan bea masuk yang ditetapkan menurut
Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi
berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar
dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar. Dihitung
dengan tahapan:

64 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

a. PID = BM fasilitas yang disalahgunakan / Total BM yang mendapat fasilitas) x 100%


b. PID (%) —> Golongan % Denda
c. Denda = Golongan % Denda x BMSDB
d. PID: Perhitungan Interval Denda
e. Golongan % denda:
1) Kurang bayar s/d 20% :–>100%
2) Di atas 20% s/d 40% :–> 200%
3) Di atas 40% s/d 60% :–> 300%
4) Di atas 60% s/d 80% :–> 400%
5) Di atas 80% s/d 100% :–> 500%

Untuk menghitung BM, BMT, Cukai dan pungutan lainnya berdasarkan UU Kepabeanan, termasuk

A
PPN dan PPnBM, satuan mata uang asing harus dikurskan menjadi Rupiah menggunakan kurs
berdasarkan keputusan Menteri Keuangan (Kurs Pajak).

C
3.11 Pajak Masukan
A
Pasal 1 angka 24 UU PPN menyatakan:

SW
SI
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
karena:

1.
2.
perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau

EA
B
3. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau
4. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau

H
5. impor Barang Kena Pajak.

(2)

AI
Terkait Pajak Masukan Pasal 9 UU PPN mengatur sebagai berikut:

Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang

R
sama.

E
(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang

P
terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang
terutang pajak, Pajak Masukan (PM) selain PM dari perolehan/impor barang modal maka PM-nya
tidak dapat dikreditkan.
(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya
merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak
Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
(4a) Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan
pengembalian pada akhir tahun buku.
(4b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimasud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak
Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa

Ikatan Akuntan Indonesia 65


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;


c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa
Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
f. Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak
berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
(4d) Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian

A
pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri

C
Keuangan.
(4e) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana

A
dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.

W
(4f) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal

S
Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan

I
sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang

S
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Perubahannya.
(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang

A
pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang

E
terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.

B
(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang
pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk

H
penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang

I
dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman

A
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(6a) Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan

R
pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak

E
tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak

P
Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.
(6b) Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana
dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya
dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan
Pajak Masukan.
(7a) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan
kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak
Masukan.
(7b) Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur ketentuan Pasal 9 ayat (7), (7a) dan (7b) adalah Peraturan
Menteri Keuangan No: 74/PMK.03/2010.

66 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Pengusaha Kena Pajak yang dapat menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak
Masukan adalah Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku
tidak melebihi Rp 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah).
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan
pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu sebesar:
a. 60% (enam puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Jasa Kena Pajak; atau
b. 70% (tujuh puluh persen) dari Pajak Keluaran untuk penyerahan Barang Kena Pajak.
Sehingga PPN yang disetor oleh PKP yang melakukan penyerahan JKP hanya 40% dari PPN yang
dipungutnya dan untuk PKP yang melakukan penyerahan BKP harus menyetor 30% dari PPN yang
dipungutnya.
(8) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi
pengeluaran untuk:

A
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai

C
Pengusaha Kena Pajak;
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung

A
dengan kegiatan usaha;
c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali

W
merupakan barang dagangan atau disewakan;

S
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar

I
Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

S
e. dihapus;
f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi

A
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan

E
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa
Kena Pajak;

B
g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

H
Pasal 13 ayat (6);

I
h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan

A
penerbitan ketetapan pajak;
i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan

R
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu

E
dilakukan pemeriksaan; dan

P
j. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena
Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).
(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa
Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum
dilakukan pemeriksaan.

Pasal 12 ayat (2) PP No.1 Tahun 2012:

Atas Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi baik karena di luar
kekuasaan Pengusaha Kena Pajak atau keadaan kahar, tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak
Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah
dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya untuk perolehan Barang Kena Pajak yang musnah
atau rusak tersebut.

Ikatan Akuntan Indonesia 67


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Terkait Pasal 9 ayat (6) UU PPN yang menyatakan:

Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak
juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang
terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk
penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.

Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur hal ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 78/
PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak
yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak; yang telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.011/2014.

3.12 Tata Cara Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang
CA
A
Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak

W
1. Pengertian Umum

S
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak

I
Terutang Pajak antara lain:

S
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan dan/atau memanfaatkan kegiatan usaha terpadu
(integrated), misalnya Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan jagung (jagung bukan

A
merupakan Barang Kena Pajak), dan juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung

E
merupakan Barang Kena Pajak), yang sebagian jagung yang dihasilkannya dijual kepada pihak
lain dan sebagian lainnya diolah menjadi minyak jagung.

B
b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan dan/atau memanfaatkan kegiatan usaha terpadu
(integrated), misalnya Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan tandan buah segar (TBS) kelapa

H
sawit (TBS kelapa sawit merupakan Barang Kena Pajak strategis), dan juga mempunyai pabrik

I
minyak kelapa sawit/CPO, yang seluruh TBS kelapa sawit yang dihasilkannya diolah lebih lanjut

A
menjadi minyak kelapa sawit/CPO (minyak kelapa sawit/CPO merupakan Barang Kena Pajak).
c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak

R
terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang

E
perhotelan, disamping melakukan usaha jasa di bidang perhotelan, juga melakukan penyerahan

P
jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha.
d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya
terutang dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya Pengusaha Kena Pajak
yang kegiatan usahanya menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena Pajak berupa roti juga
melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang merupakan jasa yang tidak dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai.
e. Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, misalnya pengusaha
pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan berupa rumah mewah yang terutang
Pajak Pertambahan Nilai dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
Untuk Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang
Tidak Terutang Pajak sebagaimana tersebut di atas, perlakuan pengkreditan Pajak Masukan adalah
sebagai berikut:

68 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

a. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya
digunakan untuk kegiatan yang terkait dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai, dapat dikreditkan seluruhnya, seperti misalnya:
1) Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak
jagung;
2) Pajak Masukan untuk perolehan alat-alat perkantoran yang hanya digunakan untuk kegiatan
penyerahan jasa persewaan kantor;
3) Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan
kelapa sawit, yang seluruh TBS kelapa sawit yang dihasilkan diolah sendiri oleh pemilik
kebun kelapa sawit atau titip olah dengan menggunakan fasilitas pengolahan Pengusaha Kena
Pajak lain menjadi minyak kelapa sawit/CPO;
b. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata

A
hanya digunakan untuk kegiatan yang terkait dengan penyerahan yang tidak terutang Pajak

C
Pertambahan Nilai atau mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai, tidak dapat dikreditkan seluruhnya, misalnya:

A
1) Pajak Masukan untuk pembelian truk yang digunakan untuk jasa angkutan umum, karena
jasa angkutan umum bukan merupakan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak

W
terutang Pajak Pertambahan Nilai;

S
2) Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah

I
sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari pengenaan

S
Pajak Pertambahan Nilai.
c. Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang belum

A
dapat dipastikan penggunaannya untuk Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang

E
Tidak Terutang Pajak, pengkreditannya menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan
Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini, misalnya:

B
1) Pajak Masukan untuk perolehan truk yang digunakan baik untuk perkebunan jagung maupun
untuk pabrik minyak jagung, yang sebagian jagung tersebut dijual kepada pihak lain dan

H
tidak diolah sendiri oleh pemilik kebun jagung menjadi minyak jagung;

I
2) Pajak Masukan untuk perolehan komputer yang digunakan baik untuk kegiatan penyerahan

A
jasa perhotelan maupun untuk kegiatan penyerahan jasa persewaan kantor.

R
Contoh Perhitungan

Contoh 1:
1.
2.
PE
Pengusaha Kena Pajak B adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri pembuatan sepatu.
Pada bulan Januari 2014, Pengusaha Kena Pajak B tersebut membeli generator listrik yang
dimaksudkan untuk digunakan seluruhnya untuk kegiatan pabrik dengan nilai perolehan sebesar
Rp100.000.000 dengan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp10.000.000.
3. Pajak Masukan atas perolehan generator listrik sebesar Rp10.000.000 secara keseluruhan dikreditkan
pada Masa Pajak Januari 2014.
4. Masa manfaat generator listrik tersebut sebenarnya adalah 5 (lima) tahun, tetapi untuk penghitungan
kembali Pajak Masukan ini, masa manfaat generator listrik tersebut ditetapkan 4 (empat) tahun,
sehingga alokasi pengkreditan Pajak Masukan untuk setiap tahunnya adalah sebesar:

Rp10.000.000
------------------- = Rp2.500.000
4

Ikatan Akuntan Indonesia 69


MANAJEMEN PERPAJAKAN

5.Selama tahun 2014 ternyata generator listrik tersebut digunakan:


a. untuk bulan Januari sampai dengan Juni 2014:
a) 10% untuk perumahan karyawan dan direksi;
b) 90% untuk kegiatan pabrik, dan
b. untuk bulan Juli sampai dengan Desember 2014:
a) 20% untuk perumahan karyawan dan direksi;
b) 80% untuk kegiatan pabrik.
Berdasarkan data tersebut di atas, rata-rata penggunaan generator listrik untuk kegiatan pabrik
adalah:

90% + 80%
-------------- = 85%

A
2

C
6. Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk tahun buku 2014 dapat dilakukan

A
paling lambat pada Masa Pajak Maret 2015. Pengusaha Kena Pajak B melakukan penghitungan
kembali Pajak Masukan pada Masa Pajak Februari 2015. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan

W
untuk tahun buku 2014 seharusnya sebesar:

IS
Rp10.000.000

S
85% x ---------------- = Rp2.125.000
4

7.

EA
Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan mengurangi Pajak Masukan untuk Masa
Pajak Februari 2015 adalah sebesar:


B
Rp2.500.000 - Rp2.125.000 = Rp375.000

8.

IH
Penghitungan kembali Pajak Masukan seperti perhitungan di atas dilakukan sampai dengan masa

A
manfaat generator listrik berakhir.

R
Contoh 2:

E
1. Pengusaha Kena Pajak C adalah perusahaan yang menghasilkan TBS kelapa sawit, dan memproses

P
TBS kelapa sawit tersebut menjadi minyak kelapa sawit/CPO, minyak inti sawit/PKO dan produk dari
minyak kelapa sawit lainnya yang merupakan Barang Kena Pajak, serta selanjutnya hanya menjual
minyak kelapa sawit/CPO, minyak inti sawit/PKO, dan produk dari minyak kelapa sawit lainnya
kepada pihak di luar Pengusaha Kena Pajak C.
2. Pada bulan Februari 2014 Pengusaha Kena Pajak C melakukan pembelian barang berupa pupuk,
bahan bakar untuk alat berat di perkebunan sawit, peralatan administrasi kantor dan pemanfaatan
jasa berupa jasa kontraktor, dan sewa alat berat untuk perkebunan yang digunakan untuk pemupukan,
pemeliharaan, pembangunan sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit serta administrasi
kantor di kebun sebesar Rp400.000.000 dengan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp40.000.000.
3. Pada bulan Februari 2014 Pengusaha Kena Pajak C melakukan pembelian bahan kimia dan bahan
penolong lainnya untuk mengolah TBS kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit/CPO dan minyak
inti sawit/PKO sebesar Rp200.000.000 dengan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp20.000.000.
4. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak C pada masa Februari
2014 adalah sebesar Rp40.000.000,00 + Rp20.000.000,00 = Rp60.000.000,00.

70 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Contoh 3:
1. Pengusaha Kena Pajak D adalah perusahaan yang menghasilkan TBS kelapa sawit, dan memproses
TBS kelapa sawit tersebut menjadi minyak kelapa sawit/CPO, minyak inti sawit/PKO, dan produk
dari minyak kelapa sawit lainnya yang merupakan Barang Kena Pajak dengan titip olah menggunakan
fasilitas pengolahan Pengusaha Kena Pajak E. Selanjutnya, Pengusaha Kena Pajak D hanya menjual
minyak kelapa sawit/CPO, minyak inti sawit/PKO, dan produk dari minyak kelapa sawit lainnya.
2. Pada bulan Maret 2014, Pengusaha Kena Pajak D melakukan pembelian barang berupa pupuk, bahan
bakar untuk alat berat di perkebunan sawit, peralatan administrasi kantor dan pemanfaatan jasa
berupa jasa kontraktor, dan sewa alat berat untuk perkebunan yang digunakan untuk pemupukan,
pemeliharaan, pembangunan sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit serta administrasi
kantor di kebun sebesar Rp300.000.000 dengan Pajak Pertambahan Nilai Rp30.000.000.Selain itu,
Pengusaha Kena Pajak D juga membayar jasa titip olah kepada Pengusaha Kena Pajak E sebesar

A
Rp25.000.000,00 dengan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000.

C
3. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak D pada masa Maret
2014 adalah sebesar Rp30.000.000 + Rp2.500.000 = Rp32.500.000.

A

Contoh 4:

W
1. Pengusaha Kena Pajak F adalah perusahaan integrated (terpadu) yang bergerak di bidang perkebunan

IS
jagung dan pabrik minyak jagung. Sebagian jagung yang dihasilkannya diolah lebih lanjut menjadi
minyak jagung dan sebagian lainnya dijual kepada pihak lain.

S
2. Pada bulan April 2014, Pengusaha Kena Pajak F membeli truk yang digunakan baik untuk perkebunan

A
jagung maupun untuk pabrik minyak jagung dengan harga perolehan sebesar Rp200.000.000 dan
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp20.000.000.

E
3. Berdasarkan data-data yang dimiliki, diperkirakan persentase rata-rata jumlah penyerahan minyak

B
jagung terhadap penyerahan seluruhnya adalah sebesar 70%, sedangkan 30% merupakan penyerahan
jagung kepada pihak lain.

H
4. Berdasarkan data tersebut maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam SPT Masa PPN Masa

I
Pajak April 2014 sebesar:

A
Rp20.000.000 X 70% = Rp14.000.000

5.

ER
Selanjutnya diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2014 adalah Rp100.000.000.000,
yang berasal dari penjualan jagung kepada pihak lain sebesar Rp40.000.000.000 dan penjualan minyak

P
jagung sebesar Rp60.000.000.000.
6. Masa manfaat truk sebenarnya adalah 5 (lima) tahun, tetapi untuk tujuan penghitungan Pajak
Masukan berdasarkan Peraturan Menteri ini ditetapkan 4 (empat) tahun.
7. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama tahun buku
2014 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2015 adalah:

Rp60.000.000.000 Rp20.000.000
X = Rp3.000.000
Rp100.000.000.000 4

Ikatan Akuntan Indonesia 71


MANAJEMEN PERPAJAKAN

8. Alokasi Pajak Masukan atas perolehan truk untuk tiap tahun buku sesuai masa manfaat truk tersebut
adalah:

Rp14.000.000
= Rp 3.500.000
4

9. Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan mengurangi Pajak Masukan untuk Masa
Pajak Maret 2015 adalah sebesar:

Rp3.500.000 - Rp3.000.000 = Rp500.000

A
10. Penghitungan kembali Pajak Masukan seperti perhitungan di atas dilakukan setiap tahun sampai

C
dengan masa manfaat truk berakhir.

A
Contoh 5:
1. Kelanjutan dari contoh 4, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2015 adalah

W
Rp100.000.000.000, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp10.000.000.000 dan penjualan

S
minyak jagung sebesar Rp90.000.000.000.

I
2. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama tahun buku

S
2015 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2016 adalah:

A
Rp90.000.000.000 Rp20.000.000

E
X = Rp4.500.000

B
Rp100.000.000.000 4

3. Alokasi Pajak Masukan atas perolehan truk untuk tiap tahun buku sesuai masa manfaat truk tersebut

IH
adalah:

A
Rp14.000.000

R
= Rp3.500.000
4

4.

PE
Jadi Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan menambah Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2016 adalah sebesar:

Rp4.500.000 - Rp3.500.000 = Rp1.000.000



Contoh 6:
1. Kelanjutan dari contoh 5, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2016 adalah
Rp100.000.000.000, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp30.000.000.000 dan penjualan
minyak jagung sebesar Rp70.000.000.000.
2. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama tahun buku
2016 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2017 adalah:

Rp70.000.000.000 Rp20.000.000
X = Rp3.500.000
Rp100.000.000.000 4

72 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3. Alokasi Pajak Masukan atas perolehan truk untuk tiap tahun buku sesuai masa manfaat truk tersebut
adalah:

Rp14.000.000
= Rp3.500.000
4

4. Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali adalah sebesar:

Rp3.500.000 - Rp3.500.000 = Rp0



Contoh 7:

A
1. Kelanjutan dari contoh 6, diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2017 adalah

C
Rp100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp50.000.000.000,00 dan penjualan
minyak jagung sebesar Rp50.000.000.000,00.

A
2. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan truk yang dapat dikreditkan selama tahun buku
2017 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2018 adalah:

Rp 50.000.000.000

SW
Rp20.000.000

I
X = Rp2.500.000

S
Rp 100.000.000.000 4

A
3. Alokasi Pajak Masukan atas perolehan truk untuk tiap tahun buku sesuai masa manfaat truk tersebut

E
adalah:



Rp14.000.000
= Rp3.500.000
B
IH
4

A
4. Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan mengurangi Pajak Masukan untuk Masa

R
Pajak Maret 2018 adalah sebesar:

E
Rp3.500.000 - Rp2.500.000 = Rp1.000.000

5.
P
Penghitungan Pajak Masukan sebagaimana perhitungan di atas tidak perlu lagi dilakukan pada tahun
2019.

Ikatan Akuntan Indonesia 73


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Contoh 8:
1. Pengusaha Kena Pajak F tersebut pada contoh 4, pada bulan Mei 2014 membeli bahan bakar solar
untuk truk yang digunakan baik untuk sektor perkebunan dan distribusi jagung kepada pihak
lain maupun untuk sektor pabrikasi dan distribusi minyak jagung sebesar Rp50.000.000 dan Pajak
Pertambahan Nilai sebesar Rp5.000.000;
2. Pengusaha Kena Pajak F dimaksud mengkreditkan Pajak Masukan tersebut berdasarkan perkiraan
persentase perbandingan jumlah penyerahan yang terutang Pajak terhadap penyerahan seluruhnya
sebesar 70%, sehingga Pajak Masukan yang dikreditkan dalam SPT Masa PPN Masa Pajak Mei 2014
adalah sebesar:

Rp5.000.000 X 70% = Rp3.500.000

A
3. Selanjutnya diketahui bahwa total peredaran usaha selama tahun buku 2014 adalah Rp100.000.000.000,

C
yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp40.000.000.000 dan penjualan minyak jagung sebesar
Rp60.000.000.000.

A
4. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang dapat
dikreditkan selama tahun buku 2014 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2015 adalah:

Rp60.000.000.000

SW
I
X Rp5.000.000 = Rp3.000.000

S
Rp100.000.000.000

A
5. Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang telah dikreditkan pada Masa Pajak

E
Mei tahun 2014 adalah Rp3.500.000.

B
6. Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan mengurangi Pajak Masukan untuk Masa
Pajak Maret 2015 adalah sebesar:

IH
Rp3.500.000 - Rp3.000.000 = Rp500.000

A
Contoh 9:

R
1. Sama dengan contoh 8, namun diketahui. total peredaran usaha selama tahun buku 2014 adalah

E
Rp100.000.000.000,00, yang berasal dari penjualan jagung sebesar Rp10.000.000.000,00 dan penjualan
minyak jagung sebesar Rp90.000.000.000,00.

P
2. Penghitungan kembali Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang dapat
dikreditkan selama tahun buku 2014 yang dilakukan pada Masa Pajak Maret 2015 adalah:

Rp90.000.000.000
X Rp5.000.000 = Rp4.500.000
Rp100.000.000.000

3. Pajak Masukan atas perolehan bahan bakar solar untuk truk yang telah dikreditkan pada Masa Pajak
Mei tahun 2014 adalah Rp3.500.000.
4. Jadi, Pajak Masukan yang harus diperhitungkan kembali dengan menambah Pajak Masukan untuk
Masa Pajak Maret 2015 adalah sebesar:

Rp4.500.000 - Rp3.500.000 = Rp1.000.000

74 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3.13 Fasilitas Pembebasan PPN dan PPN Tidak Dipungut

Pasal 16 B UU PPN menyatakan:

1. Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik
untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
c. impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean; dan
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, diatur

A
dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak

C
yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
3. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena

A
Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat
dikreditkan.

SW
3.14 Kawasan Bebas

SI
Berdasarkan PP No. 10 Tahun 2012:

EA
B
Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, yang selanjutnya
disebut Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan

IH
Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.

A
Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean diberikan pembebasan bea masuk,
pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan/atau

R
pembebasan cukai.

E
Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean melalui pelabuhan atau bandar

P
udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), tidak dipungut PPN.

Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang tidak melalui pelabuhan
atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dipungut PPN dan/atau
cukai Barang Kena Pajak yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean
terutang Pajak Pertambahan Nilai.

Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas,
tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Penyerahan Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean
ke Kawasan Bebas yang penyerahannya tidak dilakukan di Kawasan Bebas, dikenai Pajak Pertambahan
Nilai. Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak
dipungut Pajak Pertambahan Nilai.

Ikatan Akuntan Indonesia 75


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB) dan Pengusaha Kawasan Berikat


Fasilitas PPN tidak dipungut dan pembebasan PPN untuk Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB) atau
Pengusaha Kawasan berikat: Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) dan (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor:
147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor: 120/PMK.04/2013, yang menyatakan:

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) tidak dipungut atas:

1. Pemasukan barang dari tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan Berikat untuk diolah lebih
lanjut;
2. Pemasukan kembali barang dan Hasil Produksi Kawasan Berikat dalam rangka subkontrak dari

A
Kawasan Berikat lain atau perusahaan industri di tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan
Berikat;

C
3. Pemasukan kembali mesin dan/atau cetakan (moulding) dalam rangka peminjaman dari Kawasan
Berikat lain atau perusahaan di tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan Berikat;

A
4. Pemasukan Hasil Produksi Kawasan Berikat lain, atau perusahaan di tempat lain dalam daerah
pabean yang bahan baku untuk menghasilkan hasil produksi berasal dari tempat lain dalam daerah

W
pabean, untuk diolah lebih lanjut oleh Kawasan Berikat;

S
5. Pemasukan hasil produksi yang berasal dari Kawasan Berikat lain, atau perusahaan di tempat

I
lain dalam daerah pabean yang bahan baku untuk menghasilkan hasil produksi tesebut berasal

S
dari tempat lain dalam daerah pabean, yang semata-mata akan digabungkan dengan barang Hasil

A
Produksi Kawasan Berikat untuk diekspor; atau
6. Pemasukan pengemas dan alat bantu pengemas dari tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan

E
Berikat untuk menjadi satu kesatuan dengan Hasil Produksi Kawasan Berikat.

B
Penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), tidak dipungut Pajak

IH
Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, diberikan atas pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah
lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat.

A
Barang yang mendapat fasilitas pembebasan PPN ataupun PPN tidak dipungut adalah barang yang bukan

R
merupakan barang untuk dikonsumsi di Kawasan Berikat, seperti makanan, minuman, bahan bakar minyak,

E
dan pelumas. Atas Pemasukan barang impor ke Kawasan Berikat belum diberlakukan ketentuan pembatasan
di bidang impor kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

76 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab IV SW
SI
PENGERTIAN DASAR
A
MANAJEMEN E
B PAJAK
IH
RA
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 77
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB IV
PENGERTIAN DASAR MANAJEMEN PAJAK

4.1 Pengertian Manajemen Pajak dan Perencanaan Pajak

4.1.1 Manajemen Pajak (Tax Management)


Secara umum manajemen pajak didefinisikan sebagai suatu usaha menyeluruh yang dilakukan terus-
menerus oleh wajib pajak agar semua hal yang berkaitan dengan urusan perpajakan dapat dikelola dengan
baik, ekonomis, efektif dan efisien, sehingga dapat memberikan kontribusi maksimum bagi kelangsungan

A
usaha wajib pajak tanpa mengorbankan kepentingan penerimaan negara.

C
Adapun tujuan akhir yang ingin dicapai dari manajemen pajak adalah optimalisasi dan/atau minimalisasi
beban pajak yang dapat dicapai tidak hanya dengan melakukan suatu perencanaan yang matang, melainkan

A
juga harus melewati tahap pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan
(controlling) yang baik dan terkendali. Beberapa pengertian Manajemen Pajak menurut para ahli adalah

W
sebagai berikut:

IS
Menurut Ladiman Djaiz, Manajemen Pajak berarti melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,

S
pengkoordinasian dan pengawasan mengenai perpajakan yang tujuannya adalah untuk peningkatan
efisiensi. Peningkatan efisiensi berarti meningkatkan laba atau penghasilan. Sophar Lumbantoruan, dalam

A
bukunya yang berjudul Akuntansi Pajak juga mengemukakan bahwa secara umum “manajemen

E
pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang
dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan”.

B
Lebih lanjut Erly Suandy menyebutkan bahwa tujuan manajemen pajak mempunyai dua tujuan,
yakni; 1). Menerapkan peraturan perpajakan secara benar dan 2). Usaha efisiensi untuk mencapai

H
laba dan likuiditas yang seharusnya, dimana keduanya dapat dicapai melalui: i). Perencanaan pajak

I
(tax planning), ii). Pelaksanaan kewajiban perpajakan dan hak perpajakan (tax compliance), iii).

A
Pengendalian pajak (tax control).

R
Jadi, pada dasarnya Manajemen pajak memiliki beberapa fungsi, yakni:

E
1. Fungsi Perencanaan pajak (fungsi Planning)

P
2. Fungsi Pengorganisasian perpajakan (fungsi organizing)
3. Fungsi Pelaksanaan perpajakan (fungsi actuating)
4. Fungsi Pengawasan perpajakan (fungsi controlling)

Motivasi Manajemen Pajak

Tujuan utama dari dilakukannya manajemen pajak adalah untuk melaksanakan kewajiban perpajakan
dengan benar dan meminimalisasi beban pajak untuk maksimalisasi Net Profit After Tax. Manajemen
pajak tidak dimaksudkan untuk mengelak dari kewajiban perpajakan melalui cara-cara yang melanggar
aturan perpajakan. Meski demikian, dalam praktik sulit dibedakan antara cara-cara yang tidak dan
yang melanggar aturan perpajakan, salah satunya karena banyak ketentuan perpajakan yang multi
tafsir (dapat diinterpretasikan berbeda-beda).

Gunadi, mengutip Simon James dan Chistopher Nobes menyebutkan bahwa motivasi dilakukannya
tax management, diantaranya adalah: (i) tingginya tarif pajak (high tax rates); (ii) kekurang
gamblangan (imprecise) ketentuan, baik rumusan eksplisit ketentuan maupun semangat, maksud

78 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

dan tujuan implisitnya; (iii) terlalu kecilnya sanksi (insufficient penalties); (iv) kekurangwajaran atau
kekurangmerataan (inequity); dan (v) distorsi dalam sistem perpajakan.

Motivasi lain dilakukannya manajemen pajak, menurut Simon James dan Chistopher Nobes, adalah
kekurangwajaran dan ketidakmerataan. Faktor ini biasanya dikaitkan dengan prinsip manfaat/
benefit (benefit received principle) dari pembayaran pajak dalam kaitannya dengan azas keadilan dan
kemerataan. Konsepsi dari prinsip manfaat/benefit ini kurang lebih adalah bahwa pajak merupakan
harga yang harus dibayar sehubungan dengan manfaat/benefit yang diterima dari pelayanan publik
oleh pemerintah. Sehingga mereka yang mendapatkan manfaat/benefit lebih besar seharusnya
membayar pajak lebih besar. Konsekuensinya, apabila mereka merasa bahwa kualitas pelayanan dan
public goods yang disediakan pemerintah kurang memadai atau tidak setimpal dengan pajak yang
mereka bayarkan, wajib pajak kemudian cenderung untuk melakukan tindak manajemen pajak.

Syarat Manajemen Pajak yang Baik

C
Tax management yang baik harus memenuhi 3 (tiga) persyaratan utama yaitu: (i) tidak melanggar/A
A
bertentangan dengan ketentuan/peraturan yang berlaku; (ii) secara bisnis masuk akal (reasonable),
karena tax management merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari corporate global strategy; dan

W
(iii) didukung oleh bukti-bukti yang memadai, baik dari segi pencatatan akuntansi-keuangannya,

S
maupun segi hukum perjanjian/perikatannya (seperti: bukti tagihan/invoices, kontrak/perjanjian, dan

I
dokumentasi pendukung lainnya).

S
4.1.2 Perencanaan Pajak ( Tax Planning)

A
Perencanaan Pajak (Tax Planning) merupakan langkah awal yang menjadi bagian kritikal dari

E
keseluruhan manajemen pajak yang lebih besar. Perencanaan yang baik juga mensyaratkan adanya

B
pengendalian terhadap pemenuhan semua kewajiban perpajakan (tax compliance/ tax administration)
agar risiko perpajakan karena adanya kesalahan pengurusan (mis-organizing) dapat dihindari, sehingga
penghematan pajak (tax saving) dapat tercapai.

IH
Perencanaan Pajak (Tax Planning) merupakan tahap awal untuk melakukan analisis secara sistematis

A
berbagai alternatif perlakuan perpajakan dengan tujuan untuk mencapai pemenuhan kewajiban
perpajakan yang optimum. Setelah Tax Planning dilakukan, maka tahapan berikutnya adalah

R
melaksanakan fungsi pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian perpajakan. Beberapa

E
pengertian Perencanaan Pajak (Tax Planning) menurut para ahli, antara lain:

P
Dictionary of Tax Terms, Barron’s Business Guides menyebutkan bahwa “tax planning is a systematic analysis
of differing tax options aimed at the minimization of tax liability in current and future tax periods”. Bahwa
perencanaan pajak adalah suatu analisis sistematik atas pilihan-pilihan pajak yang berbeda yang bertujuan
untuk meminimalkan kewajiban/utang pajak baik saat kini maupun waktu mendatang.

Menurut Susan M. Lyons menyebutkan bahwa “tax planning is an arrangement of a person’s business and/
or private affair in order to minimize tax liability”. Sementara itu Muhamad Zain menyebutkan bahwa tax
planning adalah perbuatan yang sifatnya mengurangi beban pajak secara legal dan bukan mengurangi
kesanggupan memenuhi kewajiban perpajakannya melunasi utang-utang pajaknya.

Secara konseptual perencanaan pajak meliputi baik pengurangan pajak secara permanen maupun
kemungkinan penangguhannya. Penghematan pajak dapat diperoleh dari perencanaan pajak dengan
melibatkan beberapa konsep seperti: pemanfaatan pengecualian pajak, pengurangan tarif pajak menyeluruh,
maksimalisasi pengurangan penghasilan, percepatan pengeluaran, penundaan objek pajak, strukturisasi
transaksi kena pajak menjadi tidak kena pajak, dan sebagainya.

Ikatan Akuntan Indonesia 79


MANAJEMEN PERPAJAKAN

4.2 Pengertian Tax Avoidance (Penghindaran Pajak) dan Tax Evasion (Penyelundupan Pajak)

Menurut Fuad Bawazier dalam makalahnya, Manajemen Pajak (Tax management) yang bertujuan untuk
meminimalisir (atau menganulir) beban pajak secara umum, dapat ditempuh melalui cara: (i) penghindaran
pajak (tax avoidance); dan (ii) penyelundupan pajak (tax evasion). Pembedaan keduanya, oleh Simon James
dan Christopher Nobes, didekati dari aspek legalitas, dimana tax avoidance umumnya dianggap sebagai
upaya tax management yang legal karena lebih banyak memanfaatkan “loopholes” yang ada dalam peraturan
perpajakan yang berlaku (lawfull), sedangkan tax evasion cenderung mengarah pada sesuatu tindak pidana
perpajakan yang illegal, berada di luar bingkai ketentuan perpajakan (unlawfull).

S.I. Chelvathurai, dalam bukunya membedakan pengertian Tax Avoidance dan Tax Evasion, sebagai berikut:

“Tax avoidance is used to denote the reduction of tax liability through legal means. In an extended or pejorative

A
sense, however, the terms is also used to describe tax reductions achieved by artificial arrangements of personal

C
or business affairs by taking advantage of loopholes and anomalies in the law”.

“Tax evasion is usually defined as the reduction of tax by illegal means, including the omission of taxable

A
income or transactions from tax declaration by fraudulent means”.

W
Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa baik tax avoidance (penghindaran pajak) maupun tax evasion

S
(penyelundupan pajak) sama-sama bertujuan untuk mengurangi/meminimalisir utang pajak. Dalam hal ini

I
tax avoidance dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar ketentuan yang berlaku yakni dengan cara

S
memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam ketentuan yang berlaku, sedangkan tax evasion

A
dilakukan dengan cara-cara yang bersifat ilegal (melanggar ketentuan yang berlaku).

E
Dalam buku-buku literatur perpajakan Indonesia, penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan
sebagai kegiatan yang legal (misalnya meminimalkan beban pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan) dan

B
penyelundupan pajak (tax evasion/tax fraud) diartikan sebagai kegiatan yang ilegal (misalnya meminimalkan
beban pajak dengan memanipulasi pembukuan). Menurut Gunadi penghindaran (avoidance) terutama

H
melibatkan komersialisasi dan pemanfaatan secara efektif kebijakan pajak yang legitimate dan defiasi teknis

I
dan ambiguitas dalam peraturan perundang-undangan. Sementara itu, penyelundupan atau penggelapan

A
pajak dan sejenisnya (tax evasion) terutama terjadi dengan penghilangan atau kurang melaporkan objek
pajak yang kadangkala didukung dengan rekayasa legal, akuntansi dan administratif lainnya.

ER
Prasetyo mengutip pendapat Prebble dalam tulisannya menyebutkan bahwa tax avoidance mempunyai
beberapa karakteristik, antara lain: Transaksinya seringkali semu, transaksi yang dilaksanakan tidak

P
mempunyai makna secara ekonomis yang berarti, tidak terdapatnya unsur risiko dan adanya usaha-usaha
untuk mengeksploitasi celah-celah dalam peraturan perpajakan.

Penghindaran pajak dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu:(i) Menahan diri, yaitu wajib pajak tidak melakukan
sesuatu yang bisa dikenai pajak (ii) Pindah lokasi, adalah memindahkan lokasi usaha atau domisili yang tarif
pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah dan (iii) Penghindaran pajak secara yuridis. Perbuatan ini
dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak.
Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidakjelasan undang-undang (loopholes).

Tax Evasion merupakan suatu tindakan untuk meminimalkan beban pajak dengan cara melawan ketentuan
pajak (ilegal) yang dapat dihukum dengan sanksi pidana. Merupakan usaha aktif wajib pajak dalam
hal mengurangi, menghapus, manipulasi ilegal terhadap utang pajak atau meloloskan diri untuk tidak
membayar pajak sebagaimana yang telah terutang menurut aturan perundang-undangan. Contoh dari
upaya ini berupa memperkecil laporan jumlah (under declare revenue) atau bahkan melaporkan kerugian
(manipulate the losses) sehingga penghasilan kena pajak berkurang dan otomatis jumlah pajak terutang lebih
kecil atau bahkan tidak membayar pajak sama sekali. Sedangkan pada kenyataannya jumlah pendapatan

80 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

yang diterima lebih besar dan tidak mengalami kerugian.

Terkait dengan aspek legalitas tax management untuk kasus Indonesia, Mohammad Yusuf berpendapat
bahwa rambu-rambu yang dapat dipakai untuk menentukan apakah tax management itu legal (tax
avoidance) atau tidak (tax evasion), adalah ketentuan pidana Pasal 38, 39, 41, 41A, 41B, dan 43 Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir oleh Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Acceptable Tax Avoidance & Unacceptable Tax Avoidance


Rohatgi menyebutkan bahwa di banyak Negara penghindaran pajak dibedakan atas penghindaran pajak yang
diperbolehkan (acceptable tax avoidance/tax planning/tax mitigation) dan yang tidak diperbolehkan (unacceptable
tax avoidance). Artinya, penghindaran pajak dapat dianggap illegal apabila transaksi yang dilakukan semata-mata

A
untuk tujuan penghindaran pajak atau tidak mempunyai tujuan bisnis yang baik (bonafide business purpose).

C
Antara satu Negara dengan Negara lainnya dapat saja mempunyai pandangan yang berbeda tentang skema
apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Suatu

A
transaksi akan disebut sebagai unacceptable tax avoidance atau aggressive tax avoidance apabila memiliki
ciri-ciri: i). tidak memiliki tujuan usaha yang baik, ii). Semata-mata untuk menghindari pajak, iii). tidak

W
sesuai dengan spirit & intension of parliament, dan iv). Adanya transaksi yang direkayasa agar menimbulkan

S
biaya-biaya atau kerugian. Sebaliknya suatu transaksi digolongkan sebagai acceptable tax avoidance apabila

I
memenuhi karakteristik: memiliki tujuan usaha yang baik, bukan semata-mata untuk menghindari pajak,

S
sesuai dengan spirit & intention of parliament dan tidak melakukan transaksi yang direkayasa.

A
Senada dengan hal di atas Kessler menyatakan bahwa bentuk tax avoidance yang dilarang adalah jika

E
tindakan wajib pajak benar menurut “letter of the law” tapi tidak benar atau tidak sesuai dengan maksud
pembuat undang-undang (spirit and intension of parliament). Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan

B
bahwa istilah tax avoidance lebih komplek daripada istilah tax evasion.

IH
A
4.3 Kebijakan Anti Tax Avoidance

R
Dalam upaya menghadapi praktik-praktik penghindaran pajak khususnya yang dilakukan oleh perusahaan

E
multinasional, pada umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang

P
bersifat khusus (Specific Anti Avoidance Rule/SAAR) yang diatur dalam undang-undang domestiknya,
seperti: controlled foreign company, arm’s length rule, advance pricing agreement, dan debt to equity ratio.

Dalam praktik di beberapa negara, specific anti avoidance rule efektif dalam upaya menangkal praktik-
praktik penghindaran pajak dan memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Selain ketentuan yang
bersifat khusus tersebut, di banyak negara juga diterbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak
yang bersifat umum (General Anti Avoidance Rule/GAAR). Tujuan dibuatnya ketentuan pencegahan
penghindaran pajak yang bersifat umum ini adalah untuk mengantisipasi praktik penghindaran pajak
yang belum diatur dalam ketentuan yang bersifat khusus atau untuk melawan tindakan tax avoidance yang
pada saat dibuatnya peraturan belum belum dikenal. Hal tersebut dilakukan dengan alasan bahwa terdapat
kecenderungan praktik penghindaran pajak dari tahun ke tahun semakin canggih dan sulit untuk dideteksi
serta ditangkal hanya dengan mengandalkan Specific Anti Avoidance Rule. Dalam hal ini tax planning yang
dilakukan oleh wajib pajak tidak lagi bersifat defensive tax planning, melainkan sudah semakin offensive
yang sering dikenal dengan istilah aggresive tax planning. Lebih jauh Cooper mengatakan bahwa General
Anti Avoidance Rule harus memuat pembedaan antara transaksi yang tergolong acceptable tax avoidance
dan yang tergolong unacceptable tax avoidance karena tidak semua penghindaran pajak bersifat offensive.

Ikatan Akuntan Indonesia 81


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

82 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab V SW
I
PEMILIHAN AS
BE
SUMBER PEMBIAYAAN (I)
IH
RA
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 83
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB V
PEMILIHAN SUMBER PEMBIAYAAN (I)

Salah satu kunci sukses dalam memulai bisnis adalah melalui pembiayaan. Dalam pembiayaan tersebut,
strategi yang dapat dilakukan oleh suatu perusahaan terdiri dari dua bentuk yaitu melalui pembiayaan
internal dan pembiayaan eksternal. Biasanya, perusahaan menggunakan laba ditahan (retained earning)
dalam melakukan pembiayaannya. Hal ini terjadi ketika perusahaan mengalami arus kas positif (net positive
cash flow) tetapi tidak membagikan laba ditahan tersebut kepada pemilik perusahaannya. Perusahaan
membatasi ekspansi dengan membeli properti baru, pabrik, dan perlengkapan hanya dari arus kas kegiatan

A
operasi yang menggunakan strategi pembiayaan internal. Pembiayaan eksternal adalah strategi dimana kas
datang dari sumber selain arus kas positif perusahaan. Berikut ini akan menguraikan mengenai dampak dari

C
pembiayaan melalui internal dan eksternal. Terdapat dua bentuk dari pembiayaan eksternal dari pendanaan

A
melalui modal dan utang.

W
1. Dampak dari Menahan Laba (Pendanaan Internal)

S
Metode pendanaan internal ini tidak praktis ketika suatu perusahaan baru memulai bisnisnya. Alasannya,

I
setiap ada aliran arus kas positif atas kegiatan operasi (atau penjualan aset) dipakai untuk membiayai

S
pertumbuhan perusahaan. Namun, dalam rencana jangka panjang, perusahaan dapat merencanakan suatu
transisi dari pembiayaan eksternal berubah menjadi pembiayaan internal.

EA
Jika dibandingkan dengan utang (yang secara eksplisit dalam suatu perjanjian mensyaratkan pembayaran
imbalan bunga secara berkala), modal (dimana pemilik sering mengharapkan pengembalian arus kas,

B
seperti dividen), laba ditahan secara umum bukan merupakan suatu pembatasan pembayaran. Sebagai
tambahan, dengan menggunakan pembiayaan internal maka akan membuat suatu perusahaan tumbuh

H
tanpa memberikan kewenangan manajemen (atau bagian dari peningkatan nilai perusahaan di masa depan)

I
kepada pemilik modal baru.

A
Hukum pajak merubah pengaruh pilihan pendanaan internal. Perubahan hukum pajak ini terjadi dalam

R
suatu kondisi jika pajak diharapkan meningkat atau menurun. Jika suatu pajak diharapkan meningkat,
penerimaan yang cukup harus ditahan untuk menutupi pajak yang tidak dibayar ketika suatu transaksi

E
terjadi (seperti pajak penghasilan). Hal yang sama juga terjadi jika suatu pajak menurun maka memerlukan

P
tambahan dana internal. Waktu dan aspek nilai waktu dari pendanaan internal menguntungkan dengan
alasan bahwa tidak ada jeda waktu untuk melakukan investasi ketika perusahaan membutuhkan kemudahan
untuk menulis cek, para manajer dapat mengendalikan waktu dari keuntungan pajak dan pengurangan
biaya.11

Kondisi pasar tentunya akan mempengaruhi pilihan pajak. Jika pendanaan eksternal mahal, maka pendanaan
internal dapat digunakan lebih banyak. Namun, apabila pendanaan eksternal murah, maka pendanaan
internal dapat digunakan lebih sedikit. Demikian pula, halnya dengan sifat bisnis mempengaruhi kelayakan.
Margin laba yang tinggi membutuhkan kemampuan untuk menggunakaan pendanaan yang lebih tinggi.
Demikian pula, margin laba yang rendah membutuhkan kemampuan untuk menggunakan pendanaan
yang lebih rendah.12

Nilai tambah melalui pembiayaan internal mempunyai potensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
nilai tambah melalui pembiayaan eksternal. Alasannya, tidak ada nilai peningkatan arus kas ataupun

11 Karayan dan Swenson,”Strategic Business Tax Planning”, Willey (2006), hal. 126
12 Karayan dan Swenson,”Strategic Business Tax Planning”, Willey (2006), hal. 127

84 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

peningkatan nilai perusahaan yang dibagikan dengan seseorang selain pemilik aslinya. Nilai tambah pada
saat pembiayaan internal lebih tinggi daripada pembiayaan melalui utang ketika peningkatan arus kas dari
ekspansi atas pembiayaan utang lebih rendah daripada kas yang dialihkan untuk membayar utang (seperti,
permintaan pembayaran bunga berkala dan pembayaran pokok utang). Pendanaan internal juga dapat
menambah nilai atas pembiayaan modal, terutama ketika nilai dari perusahaan meningkat karena faktor
yang tidak langsung terkait dengan proyek yang dibiayai (seperti, ketika spekulasi membuat pasar bergairah
untuk perusahaan dot-com yang menjadi terbuka (go public) pada akhir tahun 1990). Tetapi, karena sumber
internal biasanya lebih terbatas daripada pendanaan eksternal – pertimbangan berapa banyak orang-orang
dapat membayar untuk rumah, mobil, atau gelar MBA melalui utang – ada batasan pada bagaimana nilai
dapat dilakukan melalui pendanaan internal.13

Ketika ada situasi yang tidak langsung mengubah keuntungan pada pembiayaan internal, maka terdapat

A
keuntungan terbatas dengan tidak adanya biaya transaksi. Tetapi, peningkatan nilai perusahaan tidak
selalu memajaki sampai ada pertukaran transaksi, seperti penjualan saham perusahaan. Dengan demikian,

C
strategi pendanaan internal yang menyokong nilai ekuitas perusahaan dipegang oleh pemilik yang ada
dapat menimbulkan keuntungan pajak yang cukup.14

2.
A
Dampak dari Pendanaan Melalui Modal (Equity Financing) dan Distribusi Laba (Distributing Dividend)

SW
Pendanaan dalam bentuk modal dilakukan oleh perusahaan melalui penjualan kepemilikan saham biasa

I
perusahaan tersebut (baik kepada pemegang saham baru atau pemegang saham yang sudah ada). Contoh

S
lain, seperti persekutuan (“CV”) yang menjual bagian kemitraannya kepada investor baru (atau menerima
kontribusi modal baru dari kemitraan yang sudah ada).

EA
Pembiayaan modal juga ada dalam berbagai bentuk. Kebanyakan yang biasa adalah kontribusi kepada modal
– selalu dalam bentuk kas tetapi terkadang dalam bentuk properti – oleh para mitra dalam persekutuan atau

B
pemilik dari perusahaan terbatas, bersama dengan penerbitan saham modal (capital stock) oleh perusahaan.
Untuk selanjutnya, selalu hanya saham biasa yang diterbitkan. Pemilik saham biasa seringkali memiliki

H
kontrol suara (voting control) dari perusahaan, dan mereka mempunyai keuntungan (dan kerugian) dari

I
memiliki kepemilikan sisa (residual ownership). Sebagai contoh, pembayaran kepada pemegang saham
biasa dilakukan hanya setelah semua permohonan pembiayaan eksternal lain dibayarkan. Semua yurisdiksi

A
membolehkan dividen dibayarkan hanya diluar penerimaan bersih dan melalui kebijakan dari manajemen.

R
Pemilik saham istimewa selalu tidak mempunyai hak suara (voting right) tetapi mereka harus dibayar pada

E
jumlah dividen tertentu, dimana dihitung sama dengan bunga. Sekuritas hybrid (Hybrid Securities) adalah

P
beberapa kombinasi di atas, yang biasanya dalam bentuk utang yang dapat dikonversi menjadi modal.

Dalam perencanaan strategis, manajer mencari struktur modal optimal dalam jangka panjang. Perpaduan
optimal dari utang dan modal untuk organisasi tergantung dari tujuan perusahaan.Untuk organisasi
nirlaba, utang dapat dicegah untuk menjamin kelangsungan program selama penurunan ekonomi, dimana
dapat mengurangi kontribusi yang tidak diharapkan. Sama halnya, seperti organisasi yang berorientasi
keuntungan, perpaduan utang atas modal yang dicari oleh manajemen adalah satu yang memaksimalkan
ekuitas pemilik. Ini adalah fungsi dari risiko dan pengembalian yang diharapkan.15

Untuk bentuk paling umum dari bisnis, perusahaan, tujuannya adalah meningkatkan nilai pemegang saham.
Jika saham perusahaan secara publik diperjualbelikan, teori keuangan saat ini – seperti model harga barang
modal (Capital Aset Pricing Model) mengindikasikan bahwa harga pasar yang mereka perdagangkan secara
implisit diperhitungkan atas kedua risiko dan pengembaliannya.16

13 Karayan dan Swenson,”Strategic Business Tax Planning”, Willey (2006), hal. 128
14 Karayan dan Swenson,”Strategic Business Tax Planning”, Willey (2006), hal. 129
15 Karayan dan Swenson,”Strategic Business Tax Planning”, Willey (2006), hal. 130
16 Karayan dan Swenson,”Strategic Business Tax Planning”, Willey (2006), hal. 131

Ikatan Akuntan Indonesia 85


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Dalam menambah pemilihan waktu, aspek nilai waktu dari keuntungan pajak adalah penting dalam
keputusan struktur modal. Untuk para investor, pemilihan waktu pembayaran dapat direkayasa sehingga
pembayaran dilakukan dalam meminimalisasi pajak. Dividen dapat dibayarkan ketika tarif pajak menurun,
atau dividen terbatas dapat dibayarkan, sehingga pengembalian saham dilakukan dalam rangka pemberian
penghargaan. Dengan demikian, pajak ditunda dan kemudian ditransformasi ke dalam penghasilan dari
keuntungan modal yang dipajaki dengan tarif rendah.17

Para investor bebas pajak dapat menginginkan distribusi saat ini, seperti dividen, untuk menunda arus
kas (seperti, menunggu untuk menjual saham dihargai untuk mentransformasi penghasilan menjadi
keuntungan modal (capital gain)). Mereka juga dapat mengabaikan kepada bunga terhadap dividen.Jika
perusahaan mengetahui bahwa para kliennya dapat dibebaskan pajak, perusahaan dapat menerbitkan utang
atau ekuitas berdasarkan kebutuhannya, tanpa memperhatikan status pajak dari investor.18

A
Dari perspektif perusahaan, nilai uang saat ini dari arus kas pajak dari utang melawan ekuitas adalah

C
fungsi dari status pajak perusahaan dan biaya modal (cost of capital) sebelum pajak. Dengan demikian, jika
pemegang saham perusahaan menginginkan untuk menerima nominal dividen dalam pengembalian untuk

A
saham yang dihargai, perusahaan dapat secara dramatis meningkatkan nilai uang saat ini dari saham untuk
membiayai pembayaran dividen hanya setelah jangka waktu tertentu.19

W
Dengan menerbitkan saham atau sekuritas yang dapat dikonversikan ke ekuitas, perusahaan dapat

IS
mengaktifkan baik mereka sendiri atau para investor mereka untuk mengubah penghasilan sesungguhnya
(ordinary income) menjadi keuntungan modal (capital gain) atau penghasilan kena pajak menjadi

S
penghasilan tidak kena pajak.20

3.

EA
Dampak dari Pendanaan melalui Utang (Debt Financing) Terutama oleh Pemegang Sahamnya
Berbeda dengan pendanaan melalui modal, bentuk pendanaan dalam bentuk utang dapat berupa pinjaman

B
jangka pendek (seperti pembiayaan pembelian melalui pembelian kredit) atau pinjaman jangka panjang
(seperti meningkatkan kas dengan menjual obligasi atau jaminan properti (mortgaging property)).

H
Apabila mahasiswa yang membayar uang sekolah dan membeli buku dengan kartu kredit berarti mereka

I
menggunakan pinjaman jangka pendek. Apabila mahasiswa mengajukan pinjaman berarti menggunakan

A
strategi pembiayaan melalui utang jangka panjang.

R
Utang jangka pendek (short-term debt) tersedia dalam beberapa bentuk. Utang jangka pendek mengacu

E
kepada pinjaman yang harus dibayar kembali dalam setahun, tetapi sebutannya juga diterapkan pada waktu
jatuh tempo sampai dengan 5 tahun. Utang jangka pendek juga dikarakterisasi seluruhnya dengan tingkat

P
bunga yang lebih tinggi daripada utang jangka panjang (long-term debt), tetapi dapat menjadi bebas bunga.
Kredit perdagangan, dimana penyedia barang membolehkan pembeli untuk membeli dengan kredit, sering
diperluas dengan bebas bunga selama 30 hari. (sama juga, orang-orang menggunakan kartu kredit biasanya
membutuhkan waktu 30 hari.)

Sama halnya dengan utang jangka pendek, utang jangkapanjang juga mempunyai berbagai bentuk. Untuk
perusahaan besar, ini seringkali terdiri dari obligasi (dijamin dengan aktiva tertentu) dan surat utang (tidak
dijamin dengan aktiva tertentu), tetapi ada sejumlah pengaturan lainnya.

Aspek penting dari pembiayaan utang adalah solvabilitas/leverage (kemampuan perusahaan membayar
utang-utangnya karena asetnya melebihi utang-utangnya), yang dapat membawa dampak menguntungkan
atau merugikan. Utang membolehkan investasi ekuitas untuk mengendalikan lebih atas aset, dimana

17 Karayan dan Swenson,”Strategic Business Tax Planning”, Willey (2006), hal. 141
18 Karayan dan Swenson,”Strategic Business Tax Planning”, Willey (2006), hal. 142
19 Karayan dan Swenson,”Strategic Business Tax Planning”, Willey (2006), hal. 143
20 Karayan dan Swenson,”Strategic Business Tax Planning”, Willey (2006), hal. 145

86 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

menambahkan nilai ketika peningkatan arus kas dari ekspansi pembiayaan utang melebihi kas yang dialihkan
ke utang. Dengan kata lain, utang menambahkan nilai ketika utang meningkatkan arus kas dalam kelebihan
pembayaran bunga berkala yang diperlukan dan pembayaran pokok. Ketika hal ini terjadi, pengembalian
solvabilitas lebih tinggi daripada tanpa solvabilitas.

Sebagai contoh, andaikan untuk setiap USD1 yang diinvestasikan dalam perlengkapan, perusahaan dapat
membuat keuntungan USD 1.15.Jika ongkos pinjaman perusahaan adalah 10%, setiap dollar yang dipinjam
bersih 5% dari keuntungan sebelum pajak. Jika perusahaan dapat meminjam sebanyak yang mereka mau,
5% ini, disejumlah besar unit, memindahkan ke dalam keuntungan yang besar dan nilai tambahan ekonomis
(economic value added atau EVA). Sebaliknya, karena jumlah pembiayaan tersedia secara internal hampir
lebih terbatas daripada yang tersedia jika sumber eksternal juga dicari, jumlah unit-unit yang dapat dibuat
lebih terbatas, dengan demikian membatasi total keuntungan.

A
Risiko mempengaruhi pilihan pembiayaan termasuk risiko operasi dan risiko keuangan. Risiko operasi

C
dapat menghasilkan dari siklus ekonomi. Jika siklus ekonomi atau perusahaan menurun, arus uang dapat
menurun, mempengaruhi kemampuan perusahaan membayar bunga dan pokok bunga. Risiko keuangan

A
muncul dari fluktuasi tingkat bunga. Alasannya, utang memiliki risiko keuangan yang lebih. Risiko lebih
tinggi adalah untuk utang.

W
Tetapi, biaya sering lebih rendah pada pembiayaan utang. Alasan utamanya adalah bahwa pembayaran

IS
bunga pada umumnya dapat mengurangi pajak. Dalam situasi ini, mereka bertindak sebagai pelindung
pajak (tax shield) untuk mengurangi keseluruhan pajak entitas. Tetapi, makin tinggi menggunakan utang,

S
makin tinggi risiko kebangkrutan atau mahalnya negosiasi utang. Ini menurunkan EVA.

A
Nilai tambah juga menurun pada beberapa poin karena pemberi pinjaman membebankan tingkat bunga

E
lebih tinggi untuk tambahan bunga sebagai risiko kegagalan perusahaan yang meningkat. Ini menetralkan

B
peningkatan pengembalian dari investasi solvabilitas.

Struktur modal optimal – perpaduan terbaik antara utang dan modal – bervariasi berdasarkan industri

H
dan dari waktu ke waktu. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa industri dikarakterisasi

I
oleh margin keuntungan kecil, jadi pembiayaan eksternal lebih diinginkan. Berikutnya, peminjam dapat

A
membuat patokan terhadap norma industri dan menyediakan pinjaman lebih kepada perusahaan dalam
industri tertentu. Juga, perusahaan dengan tarif pajak pajak yang tinggi memperoleh keuntungan dari utang

R
karena perlindungan pajak. Sebagai tambahan, secara strategis ada interaksi antara status pajak pesaing dan

E
struktur modal optimal perusahaan.

P
Contoh
Dalam hal siklus hidup, perusahaan dalam tahap awal selalu tidak mempunyai sumber internal dan
membutuhkan pembiayaan eksternal. Karena fluktuasi biaya– yaitu biaya transaksi – dari utang biasanya
adalah separuh dari modal (sekitar 5% vs 10%), utang mungkin berguna. Tipe dari bunga yang digunakan
tergantung pada struktur aset; jika perusahaan adalah padat modal, pinjaman sekuritas (secured loans) atau
obligasi dapat digunakan lebih dari surat utang.

Seperti disebutkan terdahulu, ketika mencoba meningkatkan nilai, penting untuk mempertimbangkan
risiko. Sebagai contoh, utang memiliki risiko yang tinggi daripada modal karena membutuhkan pembayaran
berkala. Tetapi, pajak penghasilan dapat bertindak untuk mengurangi beberapa dari risiko untuk investor,
dan risiko yang rendah dapat dilalui dalam perusahaan dalam membentuk tingkat bunga rendah.

Sebagai contoh, dalam perpajakan Amerika Serikat, banyak pembayaran bunga dapat mengurangi pajak,
sedangkan pembayaran dividen hampir selalu tidak. Hal yang sama terjadi, jika perusahaan gagal dalam
berutang, sisa saldo menjadi kerugian dari biaya yang dikurangkan dari peminjam. Jika peminjam adalah

Ikatan Akuntan Indonesia 87


MANAJEMEN PERPAJAKAN

perusahaan pembuat pinjaman – biasanya pinjaman jangka waktu tertentu atau pendanaan jangka pendek
- kerugian dibebankan tanpa batas. Tetapi, jika peminjam bukan bergerak dalam bisnis tersebut, sebagai
contoh, individu yang berinvestasi obligasi – kerugian adalah kerugian modal. Kerugian tersebut dibatasi
dengan nilai tertentu.

Sebagai tambahan, untuk memperhalus pengaruh dari kerugian, ketentuan pajak penghasilan dapat
menekan investasi yang menguntungkan.Sebagai contoh, dalam banyak sistem pajak dunia, keuntungan
yang tidak dapat dipajaki sampai investasi dijual atau dialihkan. Selanjutnya, dalam banyak sistem ada juga
tidak dikenakan pajak semuanya atas keuntungan dibangun selama kehidupan seseorang atas properti yang
dipegang sampai mati.

Di banyak sistem pajak penghasilan, bisnis yang menderita kerugian operasional dapat mendapatkan
keuntungan pajak dengan membawa kerugian tersebut kembali untuk mengurangi keuntungan.

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

88 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab VI SW
S I
PEMILIHAN SUMBER
A
PEMBIAYAAN E
B (II)
IH
RA
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 89
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB VI
PEMILIHAN SUMBER PEMBIAYAAN (II)

Factoring
Dalam kondisi normal, ketika perusahaan memperoleh piutang dari pelanggan. Piutang tersebut akan
ditagihkan ke pelanggan sehingga dapat memperoleh kas. Ketika kas diperoleh piutang akan hilang dan
kas perusahaan akan bertambah. Itu adalah keadaan normalnya, pada kondisi sekarang sudah terjadi
perubahan dan sudah mulai banyak perusahaan yang melakukan penjualan piutangnya ke entitas lain.
Hal ini dilakukan untuk segera memperoleh kas, dan mempercepat cash-to-cash operating cycle. Kegiatan

A
melakukan penjualan piutang ke pihak lain disebut dengan factoring atau di masyarakat lebih dikenal

C
dengan anjak piutang.

Adapun alasan perusahaan melakukan anjak piutang diantaranya adalah:

1.
A
Bisa jadi hal ini merupakan satu-satunya sumber untuk memperoleh kas. Ketika keadaan kas sudah

W
menipis, kemampuan perusahaan untuk memperoleh pinjaman dana akan berkurang, kas yang tipis

S
bisa menjadi penghalang kemampuan perusahaan untuk membayar bunga pinjaman.

I
2. Waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk dikeluarkan untuk penagihan memakan waktu yang lama dan

S
biaya yang besar. Lebih mudah bagi perusahaan untuk menjual piutangnya dan dengan memperoleh
kas yang lebih cepat dan menghemat waktu dan biaya untuk melakukan penagihan.

1. Nasabah

EA
Dalam aktivitas anjak piutang akan terlibat tiga entitas yaitu:

B
Nasabah adalah pihak yang menjual piutang. Biasanya merupakan pihak Penyedia Barang/penjual yang
melakukan transaksi dengan penggalan/pemberi secara kredit.

H
2. Perusahaan anjak piutang

I
Perusahaan anjak piutang adalah perusahaan pembiayaan ataupun bank yang membeli piutang dari
nasabah (perusahaan yang menjual piutang).

A
3. Debitur

R
Debitur adalah pihak yang memiliki utang kepada nasabah, dalam anjak piutang kewajiban membayar
utangnya dialihkan kepada perusahaan anjak piutang, sehingga nantinya debitur akan membayar

E
utangnya kepada perusahaan anjak piutang bukan kepada nasabah.

P
Skema transaksi dalam aktivitas anjak piutang dapat dilihat dengan skema di bawah ini:

(d)
Customer Perusahaan
(Debitur) (Factoring)
(e)

(a)

(b)
Supplier (c)
(Nasabah)

90 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Keterangan:

a) Penyedia barang dan pelanggan melakukan transaksi jual beli secara kredit sehingga penyedia barang
memperoleh piutang dari pelanggan.
b) Penyedia barang melakukan penjualan piutang kepada perusahaan anjak piutang.
c) Perusahaan anjak piutang membeli piutang dari penyedia barang dengan pembayaran tunai.
d) Perusahaan menagih pembayaran piutang dari pelanggan.
e) Pelanggan melunasi utangnya kepada perusahaan anjak piutang.

Dalam anjak piutang, perusahaan melakukan tiga fungsi:

1. Pemeriksaan piutang,
2. Memberikan pinjaman (pembayaran piutang), dan

A
3. Menanggung risiko default pelanggan.

C
Leasing

A
Leasing, adalah suatu kontrak antara pemilik aktiva yang disebut dengan lessor dan pihak lain yang
memanfaatkan aktiva tersebut yang disebut lessee untuk jangka waktu tertentu. Salah satu manfaat leasing

W
adalah lessee dapat memanfaatkan aktiva tersebut tanpa harus memiliki aktiva tersebut. Sebagai kompensasi

S
manfaat yang dinikmati, maka lessee mempunyai kewajiban membayar secara periodik sebagai sewa aktiva

I
yang digunakan. Manfaat lain adalah bahwa lessee tidak perlu menanggung biaya perawatan, pajak dan

S
asuransi.

A
Bentuk-bentuk leasing adalah:

E
1. Sale and lease back,

B
2. Operating leases, dan
3. Financial and capital leases.

IH
Bentuk yang pertama sale and lease back dimana perusahaan yang memiliki aktiva seperti tanah, bangunan
dan peralatan pabrik menjual aset tersebut kepada perusahaan lain dan sekaligus menyewa kembali aset

A
tersebut untuk periode tertentu. Pembeli aset tersebut bisa sebuah bank, perusahaan asuransi, perusahaan
leasing, pegadaian, atau investor individu. Biasanya aset tersebut dijual dengan harga pasar. Manfaat dari

R
sale and lease back ini adalah penjual atau lessee menerima pembayaran segera sebagai tambahan dana

E
yang dapat diinvestasikan ke investasi lain; dan bersamaan dengan itu lessee masih menggunakan aset yang

P
dijualnya selama jangka waktu perjanjian leasing. Lessee mempunyai kewajiban membayar secara periodik
sebesar harga jual ditambah dengan tingkat keuntungan yang disyaratkan lessor.

Bentuk leasing kedua adalah operating leasing yang sering disebut service leases atau direct leases. Jenis ini
pihak lessor menyediakan pendanaan sekaligus biaya perawatan yang keseluruhannya tercakup dalam
pembayaran leasing. Ciri utama bentuk leasing ini adalah bahwa harga perolehan aset tersebut sebagai
objek leasing tidak diamortisasikan secara penuh. Dengan kata lain pembayaran yang disyaratkan tidak
cukup untuk menutup keseluruhan harga perolehan dan biaya perawatan aset. Namun demikian jangka
waktu operating lease ini biasanya lebih pendek dari pada umur ekonomis yang diharapkan. Sehingga lessor
berharap dapat menyewakan kembali kepada pihak lain atau menjual aset tersebut untuk menutup harga
perolehan, biaya perawatan dan tingkat keuntungan yang disyaratkan.

Jenis leasing ketiga adalah financial leasing atau capital leasing. Bentuk leasing ini berbeda dengan operating
leases karena lessor tidak menanggung biaya perawatan, tidak dapat dibatalkan dan diamortisasikan secara
penuh. Dengan demikian lessor menerima pembayaran sebesar harga perolehan aset ditambah tingkat
keuntungan yang disyaratkan. Pada umumnya lessee juga harus membayar pajak dan asuransi aset objek

Ikatan Akuntan Indonesia 91


MANAJEMEN PERPAJAKAN

leasing tersebut. Perbedaan utama antara financial leases dengan operating leases adalah bahwa perusahaan
memperoleh aktiva yang baru bukan aktiva yang selama ini telah digunakan. Sering kali dalam bentuk
leasing ini melibatkan pihak ketiga yaitu pemberi pinjaman. Pihak ketiga ini memberi pinjaman kepada
lessor untuk membeli aktiva, misalnya 80% dibiayai dengan utang sedangkan selebihnya dari modal sendiri.
Sebagai pemilik aktiva, lessor berhak mengalokasikan harga perolehan aktiva sebagai depresiasi. Sementara
itu lessor juga dapat membebankan pembayaran bunga sebagai pengurang pajak.

6.1 Hybrid Financial Instruments11

Salah satu instrumen keuangan yang saat ini banyak digunakan oleh perusahaan dalam melakukan investasi

A
adalah “hybrid financial instruments”. Dari sisi pertimbangan komersial, inovasi instrumen keuangan

C
dengan menggunakan hybrid financial instruments akan memberikan keuntungan bagi perusahaan saat
menghadapi risiko investasi yang besar. Inovasi instrumen keuangan dalam hybrid financial instruments

A
dapat dilihat pada karakteristiknya yang mencampurkan karakteristik instrumen utang dan sekaligus
karakteristik instrumen modal, lihat Tabel 1 berikut.

SW
Tabel.1 Karakteristik Utang dan Penyertaan Modal

Utang

SI Penyertaan Modal

A
Dana akan dikembalikan dalam jangka waktu yang
Dana hanya akan dikembalikan pada saat likuidasi
telah ditetapkan

E
Imbalan dari utang harus tetap dibayar meskipun Imbalan dari penyertaan modal tergantung dari

B
penerima utang dalam keadaan merugi performa usaha penerima modal

Dalam keadaan likuidasi, pemberi utang (kreditor) Hak pemberi modal (pemegang saham) atas aset

H
memiliki hak prioritas untuk atas aset merupakan hak tagih terakhir setelah kreditor

AI
Pemberi utang (kreditor) tidak memiliki kontrol atas
perusahaan
Pemberi modal (pemegang saham) memiliki kontrol
atas perusahaan

R
Sumber:
Marjaana Helminen, The International Tax Law Concept of Dividend (The Netherlands: Kluwer Law International, 2010), 165-168

PE
Menurut Duncan, hybrid financial insruments didefinisikan sebagai instrumen keuangan yang memiliki
karakteristik ekonomi yang tidak konsisten, baik secara parsial maupun keseluruhan terhadap bentuk
legalnya. Sementara itu, OECD mendefinisikan hybrid financial instruments sebagai instrumen keuangan
yang diklasifikasikan berbeda diantara negara-negara yang terlibat dalam transaksi instrumen tersebut,
misalnya sebagai pinjaman di satu negara dan sebagai modal di negara lainnya2. Contoh hybrid financial
instruments yang sering ditemui, antara lain: saham preferen (preference shares), silent partnerships,
shareholder loan, participation bonds, convertible bonds, warrant bonds,dan profit participation loans.

Sebagai ilustrasi3, berikut ini adalah contoh transaksi yang menggunakan skema hybrid financial instrument:

Subjek Pajak Dalam Negeri (“SPDN”) Perusahan di Negara B (“B Co”) dibiayai oleh SPDN Perusahaan di
Negara A dengan instrumen yang dikualifikasi sebagai ekuitas di Negara A tetapi sebagai utang di Negara
B. Jika pembayaran saat ini dilakukan berdasarkan instrumen, maka terdapat beban bunga yang dapat
dikurangkan untuk B Co berdasarkan hukum pajak Negara B. Penerima penghasilan di negara A menerima
dividen yang diperlakukan sebagai dividen yang dibebaskan untuk tujuan perpajakan Negara A.

11 Darussalam, Septriadi dan Kristiaji,” Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis Dalam Perspektif Perpajakan
Internasional, hal. 437-438

92 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Gambar 1. Pengurangan/Tanpa Memasukkan (No Inclusion) dengan Hybrid Financial Instrument

CA
A
W
Akibatnya, pengurang bersih muncul di negara B tanpa memasukan pendapatan yang sesuai di negara A.

S
Hasil yang sama juga dapat dicapai melalui penggunaan entitas hybrid (misalnya jika entitas diperlakukan

I
sebagai non-transparan di negara dimana ia diselenggarakan membuat pembayaran dikurangkan untuk

S
para pemegang saham, yang negaranya tinggal memperlakukan entitas asing sebagai transparan (unit tidak
kena pajak) sehingga mengabaikan pembayaran untuk tujuan pajak) dan transfer hybrid (misalnya jika dua

A
perusahaan masuk ke dalam penjualan dan pembelian kembali kesepakatan pengalihan saham dari special

E
purpose vehicle (SPV) dan satu negara memperlakukan transaksi sebagai penjualan dan pembelian kembali
saham SPV sementara negara lain memperlakukan transaksi sebagai pinjaman dijamin melalui saham SPV)

B
IH
RA
PE

2 OECD, Hybrid Mismatch Arrangements - Tax Policy and Compliance Issues (OECD Publishing: Paris, 2012),7.
3 OECD, Hybrid Mismatch Arrangements - Tax Policy and Compliance Issues (OECD Publishing: Paris, 2012),8-9.

Ikatan Akuntan Indonesia 93


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

94 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab VII SW
SI
TAX PLANNINGADAN
PENGENDALIANE
B ATAS
H USAHA DAN
PENGHASILAN
I
R A
PENGHASILAN LAINNYA
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 95
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB VII
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS
PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA

7.1 Tax Planning Pengelompokkan Jenis Penghasilan untuk Menghitung Angsuran Masa PPh
Pasal 25

7.1.1 Angsuran PPh Tahun Berjalan

A
Self assessment system yang dianut oleh sistem Pajak Penghasilan di Indonesia membuat beban penghitungan
dan pembuktian kebenaran pajak terutang menurut SPT berada pada WP sebagai pihak yang paling tahu

C
kebenaran jumlah Penghasilan Kena Pajak dan paling lengkap berkas data dan informasi perpajakannya.
Sistem pembayaran pajak sendiri sepanjang tahun atas PPh tahun berjalan, yang disebut angsuran PPh

A
tahun berjalan (PPh Pasal 25), didesain untuk percepatan penerimaan pajak, menjaga cash flow kas negara,
dan mencegah kesulitan pembayaran sekaligus sejumlah besar PPh yang dialami WP pada saat penyampaian

W
SPT tahunan.

IS
Sistem angsuran pajak tahun berjalan memerlukan taksiran penghasilan apakah berdasarkan penghasilan

S
tahun lalu (dengan teori bahwa jumlah penghasilan tahun berjalan adalah minimal sama dengan tahun
lalu) atau penghasilan dari bagian tahun berjalan disetahunkan. Penjelasan Pasal 1 UU PPh menyebutkan

A
bahwa WP dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima/diperoleh selama satu tahun pajak, karena itu

E
jumlah penghasilan dan PPh terutang yang sebenarnya baru diketahui setelah tahun pajak berakhir.

B
Karena kondisi bisnis, ekonomi dan usaha setiap tahun dapat berubah naik turun, agar tidak terjadi deviasi
signifikan pembayaran pajak tahun lalu dengan kondisi sekarang yang dapat mempengaruhi keuangan WP

H
atau negara, maka penyesuaian (dinamisasi) besaran angsuran harus dapat dilakukan. Namun di lain pihak,

I
karena proses dinamisasi besaran angsuran tahun berjalan selain masih bersifat sementara dan provisional

A
juga memerlukan pengaturan yang kompleks, maka dalam rangka kepastian hukum, terutama perencanaan
bisnis, dan simplifikasi pengaturan serta kemudahan pelaksanaan dan pengawasan administrasi, dengan

R
mengesampingkan keadilan dan tepat jumlah pajak yang memerlukan pengaturan seksama kadangkala

E
proses dinamisasi angsuran dikesampingkan sehingga kekurangan/kelebihan angsuran secara sederhana
terkoreksi dalam jumlah akhir (PPh Pasal 29/28) pada saat penyampaian SPT (Gunadi, 2013).

P
7.1.2 Angsuran PPh Pasal 25
Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan PPh Pasal 25 antara lain sebagai berikut:

1. KEP-537/PJ/2000 Tanggal 29 Desember 2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak dalam
Tahun Pajak Berjalan dalam Hal-Hal Tertentu.
2. PMK-255/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember 2008 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak
Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank,
Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib
Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat
Laporan Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
3. PMK-208/PMK.03/2009 Tanggal 10 Desember 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan
Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna
Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak

96 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Masuk Bursa Dan Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan
Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
4. PER-22/PJ/2008 Tanggal 21 Mei 2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 25.

7.2 Pengelompokan Jenis Penghasilan

Objek Pajak Penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah Penghasilan. Yang
dimaksud penghasilan menurut UU PPh yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai

A
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam

C
bentuk apapun.

Pengelompokan penghasilan berdasarkan sumbernya dibagi menjadi:

1.
A
Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium,

W
penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara dll.

S
2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan.

I
3. Penghasilan dari modal, yang berupa harta bergerak maupun harta tak bergerak, seperti bunga,

S
dividen, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau harta yang tidak dipergunakan untuk usaha,
dan lain-lain.

A
4. Penghasilan lain-lain adalah seperti hadiah, pembebasan utang, keuntungan selisih kurs, selisih lebih

E
karena penilaian kembali aktiva tetap, dan lain-lain.

B
Berdasarkan KEP - 537/PJ./2000 tentang penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan
dalam hal-hal tertentu, Penghasilan teratur adalah penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara

H
berkala sekurang-kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan

I
bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang

A
bersifat final. Tidak termasuk dalam penghasilan teratur adalah keuntungan selisih kurs dari utang/piutang
dalam mata uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan

R
penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.

E
Dasar penghitungan angsuran PPh adalah jumlah penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan

P
Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu setelah dikurangi dengan penghasilan tidak teratur yang
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah PPh
yang dihitung dengan dasar penghitungan dikurangi dengan PPh yang dipotong dan/atau dipungut serta
PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya
bulan dalam bagian tahun pajak.

Contoh: Penghasilan teratur wajib pajak A dari usaha dagang dalam tahun 2013 adalah Rp48.000.000,, dan
penghasilan tidak teratur dari mengontrakkan rumah selama 3 tahun yang dibayar secara sekaligus di tahun
2013 adalah Rp72.000.000. Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut sekaligus diterima di tahun
2000, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2014
adalah hanya berdasarkan penghasilan teratur tersebut.

Perencanaan Pajak dalam hal perhitungan angsuran masa PPh Pasal 25 terkait juga dengan pemisahan
antara Penghasilan Teratur dan Penghasilan Tidak Teratur. Perhitungan Angsurannya sedikit berbeda
terkait dengan kondisi adanya Penghasilan Tidak Teratur, karena atas penghasilan tidak teratur tersebut
harus dikeluarkan terlebih dahulu dari perhitungan Angsuran PPh Pasal 25.

Ikatan Akuntan Indonesia 97


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Penghasilan teratur merupakan penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan,
harta dan atau modal, kecuali penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Sedangkan penghasilan tidak teratur dapat berupa keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata
uang asing dan keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan
dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil. Penghasilan tidak teratur ini
dapat dipotong/dipungut pajak oleh pihak yang memberikan penghasilan. Terkait dengan penghasilan
teratur dan tidak teratur, maka penghitungan angsuran pajak dalam tahun, maka penghitungan PPh Pasal
25 bagi WP yang memperoleh penghasilan tidak teratur adalah sebagai berikut:

Perencanaan Pajak yang bisa dilakukan terkait pengelompokan jenis penghasilan adalah untuk meminimalkan
pembayaran Angsuran PPh Pasal 25. Jika penghasilan Tidak Teratur tadi tidak dikelompokkan dan tidak di

A
catat sesuai dengan transaksi yang sebenarnya, maka Angsuran PPh Pasal 25 yang dibayar setiap bulannya
menjadi lebih besar dan bisa jadi akan berefek menjadi Lebih Bayar pada SPT Tahunan PPh Badan tahun

C
berikutnya.

A
{( Penghasilan Netto menurut SPT Tahun PPh Tahun Pajak yang lalu – Penghasilan
Tidak Teratur) X tarif Ps17 } – Pph 22,23 & 24

SW 12

SI
A
7.3 Foreign Exchange Revenue

E
Keuntungan selisih kurs dapat disebabkan oleh fluktuasi kurs mata uang asing atau karena adanya

B
kebijaksanaan Pemerintah di bidang moneter. Contoh transaksi yang dapat menimbulkan selisih kurs
seperti piutang dagang yang ditagih dalam mata uang asing, kas/bank dalam USD, deposito dalam USD,

H
pembayaran di muka dalam USD, pinjaman dalam mata uang asing, dll. Berdasarkan UU PPh Pasal 4 ayat

I
(1) huruf l, keuntungan selisih kurs merupakan obyek Pajak Penghasilan.

A
Terdapat dua pilihan pembukuan valas, yaitu:

R
1. Berdasar kurs tetap (kurs historis), dengan mengakui keuntungan selisih kurs pada saat realisasi

E
valas, dan
2. Berdasar kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun (per

P
tanggal neraca), dengan mengakui keuntungan selisih kurs pada setiap akhir tahun dan saat realisasi.

Untuk transparansi antara akuntansi pajak dan akuntansi komersial, agar administrasi pajak mudah dengan
biaya administrasi dan biaya kepatuhan murah, maka dalam rangka transparansi pajak dan akuntansi, UU
PPh memilih mengikuti praktik pembukuan WP yang diselenggarakan secara taat asas sesuai dengan SAK
yang berlaku di Indonesia (Gunadi, 2013), saat ini kita mengacu kepada PSAK 10 tentang Transaksi dalam
Mata Uang Asing.

98 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

7.4 Rekonsiliasi Peredaran Usaha dan Penghasilan Lainnya dengan DPP PPN Keluaran dan
DPP PPh yang Dipotong/Dipungut

Dalam melakukan perencanaan pajak, Wajib Pajak perlu melakukan rekonsiliasi peredaran usaha dan
penghasilan lainnya dengan omzet PPN. Ini merupakan salah satu cara untuk mendeteksi adakah PPN yang
kurang setor atau PPh yang justru kurang bayar. Pada pemeriksaan pajak, rekonsiliasi antara penghasilan
yang dilaporkan pada SPT Badan dan Dasar Pengenaan Pajak untuk Pajak Keluaran pada SPM PPN adalah
suatu hal yang lazim. Oleh karena itu, Wajib Pajak sebaiknya melakukan rekonsiliasi peredaran usaha secara
rutin. Selain itu, rekonsiliasi ini juga berguna untuk mengurangi besarnya penalti jika terdapat kesalahan.

Frekuensi melakukan rekonsiliasi ini sangat bergantung kepada kondisi dan kebutuhan Wajib Pajak. Wajib
Pajak yang rutin mengalami lebih bayar (misalnya Wajib Pajak yang rutin melakukan ekspor atau melakukan

A
transaksi terhadap pemungut PPN) akan lebih rutin melakukan rekonsiliasi dibandingkan Wajib Pajak
yang lebih banyak melakukan transaksi di dalam negeri dan bukan kepada Pemungut PPN. Penyusunan

C
rekonsiliasi secara rutin akan memudahkan Wajib Pajak menemukan akar permasalahan dari rekonsiliasi
dan solusi untuk menuntaskan permasalahan tersebut.
Rekonsiliasi Penghasilan

A
W
Peredaran Usaha sebagaimana tercantum pada SPT Badan = xxx

S
Peredaran Usaha sebagaimana tercantum pada SPM PPN = xxx

I
Selisih xxx

AS
Peredaran Usaha pada SPT Badan Lebih Besar Dibandingkan Peredaran Usaha pada SPM PPN
Dalam hal peredaran usaha sebagaimana tercantum pada PPh Badan lebih besar dibandingkan peredaran

E
usaha sebagaimana tercantum pada SPM PPN, maka terdapat kemungkinan bahwa terdapat penyerahan

B
BKP dan JKP yang belum dipungut PPNnya. Atas kekurangan pungut PPN ini adalah merupakan objek
PPN kurang bayar 2% per bulan, maksimal 24 bulan. Selain atas penalti bunga 2%, atas penyerahan yang

H
kurang pungut tersebut juga terutang penalti 2% dari DPP penyerahan yang belum dipungut PPN karena

I
Wajib Pajak belum menerbitkan Faktur Pajak.

A
Peredaran Usaha pada SPT Badan Lebih Kecil Dibandingkan Peredaran Usaha pada SPM PPN

R
Dalam hal peredaran usaha sebagaimana tercantum pada PPh Badan lebih kecil dari Penyerahan BKP dan/

E
atau JKP sebagaimana tercantum pada SPM PPN, maka terdapat kemungkinan bahwa terdapat penghasilan
yang belum dilaporkan di PPN. Atas kekurangan lapor penghasilan ini adalah merupakan objek PPh Badan

P
dengan tarif Pasal 17 (untuk penghasilan yan melebihi 50 milyar per tahunnya) atau Pasal 31e (untuk
penghasilan yang melebihi 4,8 milyar namun kurang dari 50 milyar per tahunnya) dan penalti 2% per bulan,
maksimal 24 bulan.

Hal-hal yang menyebabkan perbedaan pencatatan peredaran usaha pada SPT Badan dan Penyerahan BKP
dan JKP SPM PPN (Reconciling Items):

1. Terdapat penghasilan yang diakui pada PPh Badan namun bukan objek PPN, contoh bunga, dividen,
pendapatan selisih kurs.
2. Terdapat nota retur pajak keluaran yang beda waktu.
3. Selisih kurs atas penggunaan mata uang asing, dimana biasanya penjualan yang dicatat pada buku
besar menggunakan kurs yang ditetapkan perusahaan, dan nilai penyerahan BKP dan JKP pada SPM
PPN menggunakan kurs KMK.
4. Terdapat penghasilan yang diakui sebagai penyerahan BKP dan/atau JKP namun bukan objek PPh
melainkan merupakan biaya, contoh pemakaian sendiri, penyerahan antar cabang, pemberian cuma-cuma.

Ikatan Akuntan Indonesia 99


MANAJEMEN PERPAJAKAN

5. Terdapat penjualan aset yang dikenakan PPN (PPN Pasal 16D), namun dicatat laba/rugi atas penjualan
aset pada Laporan Keuangan Laba Rugi Wajib Pajak.
6. Uang muka penjualan yang telah diakui sebagai obyek PPN namun masih dilaporkan di neraca pada
SPT PPh Badan.
7. Terdapat penyerahan BKP dan JKP yang dicatat pada penghasilan lain-lain pada SPT Badan.

7.5 Berbagai Pengujian Untuk Menguji Kebenaran Perhitungan Peredaran Usaha

Dalam pemeriksaan pajak, terdapat beberapa cara untuk menguji kebenaran perhitungan peredaran usaha
selain rekonsiliasi peredaran usaha yang dilaporkan pada SPM PPN dan pada SPT Badan. Dalam hal Wajib

A
Pajak akan diperiksa, ada baiknya Wajib Pajak mempersiapkan pengujian standar, kertas kerja terkait

C
dan dokumen tambahan sehingga dapat mengetahui terlebih dahulu jika terdapat kesalahan yang dapat
dikoreksi dan mengkoreksinya sebelum pemeriksaan pajak berlangsung. Tujuan akhirnya adalah untuk

A
meminimalisir penalti jika memang terdapat kesalahan Wajib Pajak yang mengakibatkan terdapat pajak
kurang bayar.

W
1. Pengujian dokumen

S
Dalam hal ini, Pemeriksa melakukan pengecekan dokumen secara sampling untuk mengetahui dan

I
mengecek kebenaran nilai uang dan barang.

S
2. Uji Arus Uang

A
Uji arus uang dilakukan dengan melakukan rekonsiliasi antara penerimaan pada bank atau kas
dengan penjualan atau peredaran usaha Wajib Pajak. Namun perlu diingat bahwa nilai penerimaan

E
mungkin tidak akan sama dengan nilai peredaran usaha karena nilai penerimaan telah dikuranngi

B
atau ditambahkan dengan biaya administrasi bank atau nilai pajak terutang/dipungut. Perbedaan
juga dapat terjadi jika penjualan Wajib Pajak tidak murni berbasis cash basis. Selain melakukan

H
rekonsiliasi, Wajib Pajak juga perlu melampirkan dokumen terkait seperti bank voucher, rekening

I
koran dan lain-lain.

A
Pengeluaran kas/bank : xxx

R
Saldo akhir kas/bank : xxx (+)
Total : xxx

E
Saldo awal kas/bank : xxx (-)

P
Penerimaan kas/bank : xxx
Peredaran Usaha Menurut SPT Badan : xxx
Selisih : xxx
3. Uji Arus Piutang
Dalam pemeriksaan, salah satu cara yang digunakan untuk menguji kebenaran peredaran usaha
adalah uji arus piutang. Uji arus piutang ini dilakukan jika sebagai besar penjualan atau peredaran
usaha berbasis kredit.
Pelunasan : xxx
Piutang Akhir : xxx (+)
Total : xxx
Piutang Awal : xxx (-)
Peredaran Usaha Menurut Uji Arus Piutang : xxx
Peredaran Usaha Menurut SPT Badan : xxx
Selisih : xxx

100 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Hal-hal yang menyebabkan perbedaan peredaran usaha menurut uji arus piutang dan SPT Badan :
a. Terdapat kesalahan dalam pencatatan piutang awal atau akhir, misalnya saja karena ada
penjurnalan utang yang bersifat mengurangi piutang dalam piutang awal.
b. Nilai pelunasan yang diambil tidak selalu terkait dengan pembayaran karena penjualan BKP atau
JKP, namun bisa saja karena reimbursement.
c. Terdapat pajak terutang/dipungut yang termasuk dalam nilai piutang namun tidak termasuk
dalam nilai penjualan, misalnya PPN.
4. Uji Arus Barang
Uji arus barang dilakukan melakukan rekonsiliasi antara akun persediaan dengan nilai penjualan.
Selain melakukan rekonsiliasi, Wajib Pajak juga perlu melaporkan dokumen terkait seperti kartu
gudang, time sheet, invoice, delivery order, purchase order dan lain-lain. Selisih dapat terjadi jika
misalnya terdapat pengembalian barang dari beda tahun atau selisih kurs.

Penjualan dalam unit


Pembelian
Saldo Awal Persediaan
: xxx
: xxx (+)
CA
A
Total : xxx

W
Piutang Awal : xxx (-)
Penjualan per unit menurut Uji Arus Barang : xxx

IS
Nilai rata-rata penjualan per unit : xxx (x)
Total Penjualan menurut Uji Arus Barang : xxx

S
Peredaran Usaha Menurut SPT Badan : xxx

A
Selisih : xxx

7.6
BE
Pengendalian atas Bea Keluar (Pajak Ekspor) atas Penjualan Ekspor yang Terutang Bea Keluar

1.

IH
Bea Keluar

A
Berdasarkan PMK No. 67/PMK.011/2010 jo PMK No. 128/PMK.011/2011, yang dimaksud dengan
Bea Keluar adalah pungutan negara berdasarkan Undang- Undang Kepabeanan yang dikenakan

R
terhadap barang ekspor.

E
Perhitungan Bea Keluar adalah sebagai berikut:
a. Dalam hal Tarif Bea Keluar ditetapkan berdasarkan persentase dari Harga Ekspor (advalorum),

P
Bea Keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

Tarif Bea Keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Ekspor per Satuan Barang x Nilai Tukar Mata
Uang.

b. Dalam hal Tarif Bea Keluar ditetapkan secara spesifik, Bea Keluar dihitung berdasarkan rumus
sebagai berikut:

Tarif Bea Keluar Per Satuan Barang Dalam Satuan Mata Uang Tertentu x Jumlah Satuan Barang
x Nilai Tukar Mata Uang.

Informasi mengenai jenis barang yang dikenakan bea keluar dapat dilihat dalam Lampiran I, II dan
III PMK No. 67/PMK.011/2010 jo PMK No. 128/PMK.011/2011.

Ikatan Akuntan Indonesia 101


MANAJEMEN PERPAJAKAN

2. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh Wajib Pajak terkait dengan bea keluar
a. Memastikan jenis barang yang diekspor apakah dikenakan Bea Keluar atau tidak.
b. Memastikan tarif bea keluar yang relevan untuk jenis barang yang diekspor.
c. Jika terdapat ketidakjelasan mengenai pengenaan bea keluar, Wajib Pajak dapat mencoba untuk
mengajukan permohonan penegasan kepada instansi terkait dalam hal ini dapat diajukan
kepada Dirjen Bea Cukai.

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

102 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab VIII SW
I
TAX PLANNINGAS
BE
DAN PENGENDALIAN ATAS
UNSUR-UNSUR
IH BEBAN
POKOK R APENJUALAN DAN
P E
PENGURANG PENGHASILAN
BRUTO

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 103
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB VIII
TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN
ATAS UNSUR-UNSUR BEBAN POKOK PENJUALAN
DAN PENGURANG PENGHASILAN BRUTO

8.1 Capital Expenditure dan Revenue Expenditure

Secara akuntansi, pengeluaran terkait dengan perolehan aset tetap dibagi menjadi dua yaitu capital

A
expenditure dan revenue expenditure.

C
Capital expenditure merupakan pengeluaran yang bertujuan untuk memperoleh suatu aset atau untuk
menambah nilai ekonomis aset tersebut di masa yang akan datang. Perlakuan akuntansinya adalah dengan

A
mengapitalisasikan besar biaya yang dikeluarkan sebagai aset. Revenue expenditure merupakan pengeluaran
yang dikeluarkan dengan tujuan untuk memperoleh penghasilan pada periode di mana pengeluaran dan

W
beban tersebut terjadi, masa manfaatnya hanya satu periode saja. Perlakuan akuntansinya adalah dengan

S
mencatat biaya yang dikeluarkan sebagai beban.

SI
Dalam pajak, capital expenditure tidak dapat dibebankan sekaligus dalam suatu laporan keuangan. Untuk
membebankan capital expenditure, Wajib Pajak harus menggunakan metode depresiasi atau amortisasi. Hal

A
ini diatur dalam UU Pajak Penghasilan (UU No. 36 tahun 2008) pasal 9 ayat (2). Sementara itu, revenue

E
expenditure sepanjang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sehubungan
dengan kegiatan usaha, boleh dibebankan seluruhnya dalam suatu laporan keuangan. Dengan demikian,

B
penting bagi Wajib Pajak untuk mengetahui jenis pengeluaran yang dilakukannya terkait dengan aset tetap.

IH
A
8.2 Foreign Exchange Loss

R
Kerugian selisih kurs mata uang asing merupakan salah satu beban yang boleh dibebankan menurut pasal

E
6 ayat (1e) UU Pajak Penghasilan. Hal ini juga diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor

P
SE – 03/PJ.31/1997.

Waktu pembebanan kerugian atas selisih kurs akibat adanya fluktuasi kurs dilakukan sesuai dengan
pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dan dilakukan secara taat asas:
1. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tetap (kurs historis), maka
pembebanan dilakukan pada saat terjadinya realisasi atas perkiraan mata uang asing tersebut;
2. Apabila Wajib Pajak menggunakan sistem pembukuan berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia atau
kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun, pembebanannya dilakukan pada setiap akhir tahun
berdasarkan kurs tersebut.

104 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

8.3 Pemilihan Metode Persediaan

Menurut UU Pajak Penghasilan pasal 10 ayat (6), ada dua metode yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak
dalam menilai persediaan barang dan pemakaian persediaan untuk menghitung harga pokok penjualannya
yaitu first in first out (mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama) dan weighted average (merata-
ratakan nilai persediaan).

Masing-masing metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ketika Wajib Pajak telah
memilih salah satu metode di atas dalam menilai persediaannya, Wajib Pajak tersebut harus konsisten
dengan pilihannya.

Perbandingan Metode First In First Out dan Weighted Average

A
Data Perusahaan ABC pada tahun 2010 adalah sebagai berikut:

C
Unit Harga Total
Saldo Awal Kas Rp7.000.000

A
Saldo Awal Laba Ditahan Rp10.000.000
Saldo Awal Persediaan 4.000 Rp3.000 Rp12.000.000
Pembelian 6.000

SW
Rp4.000 Rp24.000.000

I
Penjualan 5.000 Rp12.000 Rp60.000.000

S
Beban Operasi Rp10.000.000

A
Pajak 40%

E
Perhitungan Harga Pokok Penjualan untuk masing-masing metode adalah sebagai berikut

B
Harga Pokok Penjualan - FIFO
Unit Harga Total

IH
Penjualan 5.000
Saldo Awal Persediaan 4.000 Rp3.000 Rp12.000.000

A
Pembelian 1.000 Rp4.000 Rp4.000.000

R
Harga Pokok Penjualan Rp16.000.000

E
Harga Pokok Penjualan - Average Method

P
Unit Harga Total
Saldo Awal Persediaan 4.000 Rp3.000 Rp12.000.000
Pembelian 6.000 Rp4.000 Rp24.000.000
Total 10.000 Rp36.000.000
Biaya Per Unit Rp3.600
Harga Pokok Penjualan 5.000 Rp3.600 Rp18.000.000

Ikatan Akuntan Indonesia 105


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Perhitungan Laba Bersih untuk masing-masing metode adalah sebagai berikut


Average FIFO
Penjualan Rp60.000.000 Rp 60.000.000
Harga Pokok Penjualan (Rp18.000.000) (Rp16.000.000)
Margin Laba Rp42.000.000 Rp44.000.000
Beban Operasi (Rp10.000.000) (Rp10.000.000)
Laba Sebelum Pajak Rp32.000.000 Rp34.000.000
Beban Pajak (Rp12.800.000) (Rp13.600.000)
Laba Bersih Rp19.200.000 Rp20.400.000

A
Summary Perbandingan Metode Average dan FIFO

C
Persediaan Margin Laba Pajak Laba Bersih Laba Ditahan Kas
Average

A
Rp18.000.000 Rp42.000.000 Rp12.800.000 Rp19.200.000 Rp29.200.000 Rp20.200.000
Cost
FIFO Rp20.000.000 Rp44.000.000 Rp13.600.000 Rp20.400.000 Rp30.400.000 Rp19.400.000

S
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat terlihat bahwa:
W
I
1. Penggunaan metode FIFO akan menghasilkan Harga Pokok Penjualan yang lebih kecil dibandingkan

S
metode Average sehingga laba bersih perusahaan akan menjadi lebih besar dan beban pajak yang harus
ditanggung Wajib Pajak juga lebih besar.

A
2. Penggunaan metode Average menyebabkan jumlah kas yang dimiliki oleh perusahaan lebih banyak

E
dibandingkan dengan metode FIFO karena adanya penghematan dalam pembayaran pajak.

B
IH
8.4 Pemilihan Metode Penyusutan

A
Dalam melakukan penyusutan aset tetap, perpajakan hanya mengizinkan penggunaan dua jenis metode

R
penyusutan yaitu metode garis lurus dan saldo menurun. Khusus untuk aset dalam bentuk bangunan,
metode yang diizinkan hanya garis lurus saja. Hal ini diatur dalam UU Pajak Penghasilan pasal 11.

PE
Selain metode, UU Pajak Penghasilan juga menentukan umur manfaat dari masing-masing aset. Pajak
membagi kelompok aset bukan bangunan menjadi 4 kelompok. Adapun klasifikasi dari masing-masing
kelompok aset diatur dalam PMK 96/PMK.03/2009.

Baik metode garis lurus maupun saldo menurun, sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan masing-
masing. Ketika Wajib Pajak telah memilih salah satu metode di atas dalam menilai persediaannya, Wajib
Pajak tersebut harus konsisten dengan pilihannya.

Perbandingan Metode Garis Lurus dan Saldo Menurun


Data Aset Perusahaan ABC adalah sebagai berikut:
Jenis Harta : Mesin
Tanggal Pembelian : 1 Januari 2008
Harga Perolehan : Rp250,000,000
Masa Manfaat Fiskal : 8 tahun (Kelompok 2)

106 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Perhitungan Biaya Penyusutan Metode Garis Lurus dan Saldo Menurun adalah sebagai berikut:
(dalam Rupiah)

Penyusutan Fiskal Efisiensi PPh (25%)


Tahun MGL MSM MGL MSM Perbedaan
2008 31.250.000 62.500.000 7.812.500 15.625.000 7.812.500
2009 31.250.000 46.875.000 7.812.500 11.718.750 3.906.250
2010 31.250.000 35.156.250 7.812.500 8.789.063 976.563
2011 31.250.000 26.367.188 7.812.500 6.591.797 (1.220.703)
2012 31.250.000 19.775.391 7.812.500 4.943.848 (2.868.652)
2013 31.250.000 14.831.543 7.812.500 3.707.886 (4.104.614)

A
2014 31.250.000 11.123.657 7.812.500 2.780.914 (5.031.586)

C
2015 31.250.000 33.370.972 7.812.500 8.342.743 530.243
Notes

A
MGL: Metode Garis Lurus

W
MSM : Metode Saldo Menurun

IS
Apabila ditinjau berdasarkan tabel di atas, maka dapat terlihat bahwa untuk tiga tahun pertama, Metode

S
Saldo Menurun menyebabkan beban penyusutan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Metode Garis
Lurus yang berdampak pada lebih kecilnya jumlah laba bersih yang dihasilkan dan lebih kecilnya beban

A
pajak yang ditanggung oleh Wajib Pajak dibandingkan dengan metode garis lurus. Penggunaan metode

E
saldo menurun dapat membantu Wajib Pajak dalam menghemat pajak di tahun-tahun awal.

B
H
8.5 Menyiasati SE-46/PJ.4/1995

AI
SE-46/PJ.4/1995 merupakan peraturan yang mengatur tentang perlakuan biaya bunga yang dibayar atau
terutang dalam hal Wajib Pajak memperoleh penghasilan berupa bunga deposito atau tabungan lainnya.

R
Menurut peraturan ini, besarnya bunga pinjaman yang boleh dibebankan oleh Wajib Pajak adalah:

1.

2.
E
Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya dengan atau lebih kecil dari jumlah rata-rata dana

P
yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka bunga pinjaman tersebut
seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
Apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dari jumlah rata-rata yang ditempatkan dalam bentuk
deposito atau tabungan lainnya, maka bunga pinjaman yang boleh dibebankan hanya sebesar
bunga yang dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman yang melebihi jumlah rata-rata dana yang
ditempatkan dalam deposito.

Contoh Perhitungan Bunga Pinjaman yang Boleh Dibebankan


PT A mendapatkan pinjaman dari pihak ketiga dengan batas maksimum sebesar Rp200.000.000 dan tingkat
bunga pinjaman 20%. Dari jumlah tersebut diambil pada bulan Februari Rp125.000.000; Juni Rp25.000.000
dan Rp50.000.000 diambil pada bulan Agustus. Selain itu, PT A juga memiliki deposito dengan perincian
berikut:

Bulan Februari s/d Maret sebesar Rp25.000.000; bulan April s/d Agustus sebesar Rp46.000.000; dan bulan
September s/d Desember sebesar Rp50.000.000.

Ikatan Akuntan Indonesia 107


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Jangka Waktu
Rata-Rata Pinjaman Pinjaman Jumlah
(bulan)
Januari - 1 -
Februari s/d Mei Rp125.000.000 4 Rp500.000.000
Juni s/d Juli Rp150.000.000 2 Rp300.000.000
Agustus s/d Desember Rp200.000.000 5 Rp1.000.000.000
Total Rp1.800.000.000
Rata-Rata Pinjaman/Bulan
=Rp1.800.000.000/12 Rp150.000.000

Rata-Rata Deposito

Januari
Deposito

-
Jangka Waktu
(bulan)
1
CA Jumlah

A
Februari s/d Maret Rp25.000.000 2 Rp50.000.000
April s/d Agustus Rp46.000.000 5 Rp230.000.000

W
September s/d Desember Rp50.000.000 4 Rp200.000.000

S
Total Rp480.000.000

I
Rata-Rata Deposito/Bulan

S
=Rp480.000.000/12 Rp40.000.000

A
Karena jumlah rata-rata pinjaman per bulan lebih besar dibandingkan rata-rata deposito per bulan, maka

E
besar bunga pinjaman yang boleh dibebankan menurut pajak adalah sebesar:
= 20% x (Rp150.000.000 - Rp40.000.000) = Rp22.000.000.

B
Terlepas dari poin sebelumnya, Peraturan ini juga memberikan pengecualian di mana bunga pinjaman

H
dapat dibebankan sesuai dengan pasal 6 ayat (1) UU Pajak Penghasilan dalam hal:

1.

I
Dana pinjaman tersebut disimpan/ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas jasanya

A
dikenakan pajak bersifat final.

R
2. Adanya keharusan untuk menempatkan dana dalam jumlah tertentu pada suatu bank dalam bentuk
deposito sepanjangan jumlahnya semata-mata untuk memenuhi keharusan tersebut, misalnya cadangan

E
biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan di Bank Pemerintah.

P
3. Adanya bukti bahwa penempatan deposito atau tabungan dananya berasal dari tambahan modal dari
sisa laba setelah pajak.

8.6 Cadangan Kerugian Piutang Tak Tertagih

Pasal 9 ayat (1c) UU Pajak Penghasilan menyebutkan bahwa pembentukan atau pemupukan dana cadangan
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali:

1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa
guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yang meliputi cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan
sendiri untuk perusahaan asuransi serta cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa.

108 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan yaitu cadangan penjaminan untuk
lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara
stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.
4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yaitu cadangan biaya untuk kegiatan yang
bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha
pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.
5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan yaitu cadangan biaya penanaman kembali
bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas hutan yang telah dieksploitasi
untuk usaha terkait dengan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan,
dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha
pengolahan limbah industri yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi perusahaan yang

A
mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,

C
pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan hasil pengolahan limbah industri.

Besarnya cadangan piutang tak tertagih yang boleh dibebankan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri

A
Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.011/2012.

SW
I
8.7 Biaya Entertainment

AS
Biaya entertainment merupakan salah satu jenis biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
sepanjang biaya tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Untuk

E
dapat membebankannya, Wajib Pajak harus membuat daftar nominatif seperti yang dilampirkan oleh Surat

B
Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-27/PJ.22/1986 tentang biaya entertainment dan sejenisnya.

Dalam hal manajemen pajak, Wajib Pajak harus membuat daftar ini agar seluruh biaya entertainment yang

H
berhubungan dengan usaha dapat dibebankan.

AI
R
8.8 Persyaratan-Persyaratan Beban Promosi Sesuai Peraturan Perpajakan

PE
Biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 02/PMK.03/2010. Besarnya biaya promosi yang boleh dibebankan merupakan akumulasi dari jumlah:

1. Biaya periklanan di media elektronik, media cetak, dan/atau media lainnya,


2. Biaya pameran produk,
3. Biaya pengenalan produk baru, dan/atau
4. Biaya sponsorship yang berkaitan dengan promosi produk.

Apabila Wajib Pajak melakukan promosi dalam bentuk pemberian sampel produk, maka biaya promosi yang
dapat dibebankan adalah sebesar harga pokok sampel produk yang diberikan sepanjang harga tersebut belum
dibebankan dalam perhitungan harga pokok penjualan. Pemberian imbalan berupa uang dan/atau fasilitas
kepada pihak lain yang tidak berkaitan langsung dengan penyelenggaraan promosi serta biaya promosi
yang bukan merupakan objek pajak dan/atau yang telah dikenai pajak bersifat final tidak termasuk dalam
biaya promosi yang dapat dibebankan. Wajib Pajak harus membuat daftar nominatif atas biaya promosi
sesuai dengan format yang dilampirkan dalam PMK Nomor 02/PMK.03/2010 dan melampirkannya dalam
SPT Tahunan Badan.

Ikatan Akuntan Indonesia 109


MANAJEMEN PERPAJAKAN

8.9 Pengujian untuk Menguji Kebenaran Beban Pokok Penjualan

Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-04/PJ/2012 menyebutkan bahwa terdapat beberapa teknik yang dapat
digunakan pemeriksa untuk mendapatkan temuan dalam pemeriksaannya seperti pemanfaatan informasi
internal dan/atau eksternal Direktorat Jenderal Pajak, pengujian keabsahan dokumen, evaluasi, analisis
angka-angka, penelusuran angka-angka (tracing), penelusuran bukti, pengujian keterkaitan, ekualisasi atau
rekonsiliasi, permintaan keterangan atau bukti, konfirmasi, inspeksi, pengujian kebenaran fisik, pengujian
kebenaran perhitungan matematika, wawancara, uji petik, teknik audit berbantuan Komputer, dan teknik-
teknik pemeriksaan lainnya.

Dalam menguji kebenaran beban pokok penjualan, pemeriksa dapat melakukan teknik pengujian keterkaitan
yaitu pengujian yang dilakukan untuk meyakini suatu transaksi berdasarkan pengujian atas mutasi pos-pos

A
lain yang terkait atau berhubungan dengan transaksi tersebut. Adapun pos yang berkaitan dalam rangka
pengujian keterkaitan untuk menguji kebenaran beban pokok penjualan antara lain:

1. Pembelian – Pelunasan Utang Usaha

C
A
2. Barang Masuk/Keluar – Mutasi Persediaan

W
Pengujian Keterkaitan berhubungan dengan beban pokok penjualan:

S
1. Pengujian arus barang yaitu untuk memastikan kebenaran semua unit barang yang keluar ataupun

I
masuk ke gudang dengan mempertimbangkan aspek-aspek seperti pemakaian sendiri, barang rusak,

S
sampel, pemberian cuma-cuma, retur pembelian, barang dalam pengiriman, dan lainnya.

A
2. Formula:

E
HPP = Saldo Awal Persediaan + Pembelian – saldo Akhir Persediaan

B
Pengujian arus utang yaitu untuk memastikan pembelian barang secara kredit.

H
Formula:

AI Pembelian =
Saldo Akhir Utang Usaha + Pembelian Tunai + Pelunasan Utang Usaha – Saldo Awal Utang Usaha +/- Penyesuaian

ER
P
8.10 Ekualisasi Beban Pokok Penjualan dan Beban Operasional dengan DPP PPN Masukan

Secara teori, seharusnya besarnya nilai Pajak Masukan yang dimiliki oleh Wajib Pajak adalah 10% dari total
pembelian yang dilakukannya. Namun, pada kenyataannya sering terjadi perbedaan antara Pajak Masukan
dan pembelian yang disebabkan karena beberapa hal:

1. Wajib Pajak tidak sepenuhnya melakukan pembelian dari Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga tidak
ada Faktur Pajak yang diterima.
2. Wajib Pajak telah melakukan pembayaran uang muka kepada pemasok, namun barang belum dikirim
dan belum diterima. Wajib Pajak telah menerima faktur pajak masukan dari pemasok sesuai dengan
peraturan PPN.
3. Wajib Pajak menerima Faktur Pajak Masukan selain dari pemasok barang dagang akibat adanya
transaksi lain seperti pembelian aset tetap, pengangkutan barang, dan transaksi lain dengan pemasok
lainnya yang menunjang kegiatan operasional.

110 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

4. Wajib Pajak menerima Faktur Pajak cacat sehingga tidak dapat dikreditkan.

Dengan melakukan ekualisasi (Rekonsiliasi), Wajib Pajak dapat mengetahui perbedaan yang ada serta
mencari tahu penyebab atas perbedaan tersebut. Hal ini dilakukan sebagai persiapan dalam memberikan
tanggapan kepada Account Representative apabila Wajib Pajak diperiksa oleh otoritas pajak.

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

Ikatan Akuntan Indonesia 111


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

112 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab IX SW
SI
TAX PLANNINGADAN
PENGENDALIANE
B ATAS
H
PAJAK PENGHASILAN
I
A
(PPH)RPASAL 21
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 113
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB IX
Tax planning dan pengendalian
atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

9.1 Memahami Petunjuk Teknis yang Berlaku untuk PPh Pasal 21 Sebagaimana Diatur Dalam
Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 dan Peraturan yang Terkait dengan PPh Pasal 21

9.1.1 Memahami Objek PPh Pasal 21

A
Jenis penghasilan
Pemberi penghasilan

C
Benefit in cash Benefit in kind
Pemerintah Objek PPh Bukan objek PPh

A
Bukan Wajib Pajak (WP) Objek PPh Objek PPh
WP yang dikenakan PPh Final Objek PPh Objek PPh

W
WP yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus Objek PPh Objek PPh

IS
WP lainnya Objek PPh Bukan objek PPh

AS
Pemberi penghasilan bukan WP antara lain badan perwakilan negara asing dan organisasi internasional
yang digolongkan sebagai bukan subyek pajak berdasarkan menurut Peraturan Menteri Keuangan. WP

E
yang dikenakan PPh final antara lain WP yang bergerak di bidang persewaan tanah/bangunan dan jasa
konstruksi. WP yang dikenakan PPh berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit) adalah:

1.
B
Charter pesawat (KMK No. 475/KMK.04/1996);

H
2. Perusahaan pelayaran dalam negeri (KMK No. 416/KMK.04/1996);

I
3. Perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri (KMK No. 417/KMK.04/1996); dan
4. WPLN yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia (KMK No. 634/KMK.04/1994).

RA
9.1.2 Memahami saat Terutangnya Pajak

E
Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 menyatakan bahwa pemotongan Pajak

P
Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan
dilakukan pada akhir bulan:
1. Terjadinya pembayaran; atau
2. Terutangnya penghasilan yang bersangkutan; atau
3. Tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

9.1.3 Memahami Perlakuan Akuntansi untuk PPh Pasal 21

1. Pajak ditanggung karyawan

Nama Akun Debit Kredit

Biaya gaji Rp1.000.000

Kas/Bank Rp950.000

Utang PPh Pasal 21 Rp50.000

114 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

2. Pajak ditanggung perusahaan

Nama Akun Debit Kredit

Biaya gaji Rp1.050.000

Kas/Bank Rp1.000.000

Utang PPh Pasal 21 Rp50.000

3. Diberikan tunjangan pajak (gross up)

Nama Akun Debit Kredit

A
Biaya gaji Rp1.052.632

Kas/Bank Rp1.000.000

Utang PPh Pasal 21

C Rp52.632

A
Bagi karyawan, model pertama (pajak ditanggung karyawan) merupakan model yang paling tidak disukai

W
karena pajak dipotong dari gaji yang diterimanya sehingga take home pay-nya hanya Rp950.000.

IS
Sedangkan model 2 dan 3, pajak menjadi beban perusahaan sehingga perusahaan perlu mempertimbangkan

S
PPh Badannya.

A
Perhatikan ilustrasi berikut:

E
Uraian PPh ditanggung perusahaan Tunjangan PPh

B
LR Internal LR Fiskal LR Internal LR Fiskal
Laba sebelum tunjangan Rp1.500.000 Rp1.500.000 Rp1.500.000 Rp1.500.000

IH
Biaya operasional
Gaji Rp1.000.000 Rp1.000.000 Rp1.000.000 Rp1.000.000

A
PPh Rp50.000

R
Tunjangan PPh Rp52.632 Rp52.632

E
Rp1.050.000 Rp1.500.000 Rp1.052.632 Rp1.052.632

P
Penghasilan neto Rp450.000 Rp500.000 Rp447.368 Rp447.368
PPh yang dibayar:
PPh Badan (25%) Rp125.000 Rp11.842
PPh Pasal 21 (5%) Rp50.000 Rp52.632
Rp175.000 Rp164.474

Ikatan Akuntan Indonesia 115


MANAJEMEN PERPAJAKAN

9.1.4 Menentukan Pemberian bagi Karyawan dalam Bentuk Benefit In Cash atau Benefit In Kind
Strategi efisiensi PPh Pasal 21 dan PPh Badan yang berkaitan dengan biaya kesejahteraan karyawan
tergantung dari kondisi perusahaan.

1. Pada perusahaan yang mempunyai penghasilan bruto lebih dari Rp50 milyar sehingga tidak mendapat
fasilitas pengurangan tarif PPh dan pengenaan PPh Badannya tidak final, seminimal mungkin
memberikan kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura dan kenikmatan (benefit in kind)
karena pemberian ini merupakan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
(nondeductible expense).
2. Bagi perusahaan yang masih menderita rugi, pemberian natura dan kenikmatan (benefit in kind) akan
menurunkan PPh Pasal 21, sementara PPh Badan tetap nihil.

A
Perhatikan ilustrasi berikut:

C
(Dalam Rupiah)

A
Uraian PPh ditanggung Perusahaan Tunjangan PPh
LR Internal LR Fiskal LR Internal LR Fiskal
Laba sebelum tunjangan 1.000.000

SW 1.000.000 1.000.000 1.000.000

I
Biaya operasional

S
Benefit in kind 600.000

A
Benefit in cash 600.000 600.000

E
Tunjangan PPh 31.579 31.579

B
600.000 0 631.579 631579
Penghasilan neto 400.000 1.000.000 368.421 368.421

H
PPh yang dibayar:

I
PPh Badan (25%) 250.000 92.105

A
PPh Pasal 21 (5%) 0 31.579

R
250.000 123.684

E
9.1.5 Mengelola Pemberian Uang Tip yang Dicatat dalam Biaya Entertainment

P
Jika perusahaan membebankan pemberian uang tip, uang pengurusan dokumen atau izin, uang jamuan
pimpinan proyek dalam biaya entertainment atau biaya lain-lain dan tidak dapat melengkapi pemberian
tersebut dengan daftar nominatif, maka pemberian tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto sehingga pada akhir tahun harus dikoreksi fiskal untuk menghitung PPh Badan.

Agar penghematan PPh dapat dilakukan, perusahaan dapat mereklasifikasi biaya tersebut dalam pemberian
honor atau imbalan kepada pihak ketiga. Perlakuan atas pajaknya adalah dengan melakukan gross-up
sehingga penghematan pajaknya dapat optimal. Namun, jika perusahaan masih menderita merugi yang
berarti PPh Badannya nihil, maka pembebanan ke biaya entertainment dapat dilakukan untuk melakukan
penghematan pajak.

116 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Perhatikan ilustrasi berikut:


(Dalam Rupiah)

Uraian PPh ditanggung Perusahaan Tunjangan PPh


LR Internal LR Fiskal LR Internal LR Fiskal
Laba sebelum tunjangan 1.000.000 1.000.000 1.000.000 1.000.000
Biaya operasional
Benefit in kind 600.000
Benefit in cash 600.000 600.000
Tunjangan PPh 31.579 31.579

A
600.000 0 631.579 631579
Penghasilan neto 400.000 1.000.000 368.421 368.421

C
PPh yang dibayar:

A
PPh Badan (25%) 250.000 92.105
PPh Pasal 21 (5%) 0 31.579

W
250.000 123.684

IS
9.1.6 Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan Objek PPh Pasal 21

1.
AS
Prosedur yang perlu ditempuh untuk melakukan ekualisasi adalah:

Akun-akun yang merupakan objek PPh Pasal 21, khususnya yang terkait dengan pegawai tetap,

E
dikelompokkan dalam satu akun.

B
2. Setiap transaksi yang masih terkait dengan objek PPh Pasal 21 diberi kode khusus pada deskripsinya.
Ini untuk memudahkan proses ekualisasi pada akhir tahun sebelum SPT PPh Pasal 21 Masa Desember

H
dilaporkan ke kantor pajak.

I
3. Pada akhir tahun, seluruh objek PPh Pasal 21 yang tersebar di akun-akun biaya menurut buku besar

A
dikumpulkan menjadi satu dan ditandingkan dengan penghitungan PPh Pasal 21 Masa Desember.
4. Jika masih terdapat selisih yang disebabkan oleh penghasilan pegawai tetap, maka teliti akun yang

R
menampung iuran Jamsostek dan pastikan bahwa iuran Jaminan Hari Tua tidak termasuk dalam obyek

E
PPh Pasal 21.
5. Jika selisih disebabkan dari penghasilan selain pegawai tetap, maka teliti kelompok penghasilan yang

P
belum dipotong pajaknya.

Contoh Proses Ekualisasi Biaya yang Terkait dengan PPh Pasal 21


PT XYZ adalah perusahaan pembiayaan (leasing) dengan 2 (dua) cabang yang terdaftar di KPP B dan KPP
C. Kantor pusat terdaftar di KPP A. Tahun Buku PT XYZ sama dengan tahun takwim. Pada awal tahun
2013, Kantor Pusat PT XYZ diperiksa all taxes oleh KPP A atas tahun pajak 2012. Sebagai tindak lanjut
pemeriksaan tersebut, terhadap kantor cabang PT XYZ juga dilakukan pemeriksaan oleh KPP di masing-
masing lokasi. Pemeriksaan oleh KPP lokasi tersebut diselesaikan tepat waktu sebelum jangka waktu
pemeriksaan selesai. Pada pembahasan akhir hasil temuan pemeriksaan (closing conferrence), diberikan
data hasil temuan/perhitungan oleh tax auditor sebagai berikut:
- Objek PPh Pasal 21 menurut Pemeriksa Rp22.257.844.284
- Objek PPh Pasal 21 menurut SPT PPh Pasal 21 Desember Rp18.000.000.000
Koreksi Rp 4.257.844.284
Terdapat koreksi atas objek PPh 21 yang dilaporkan di Kantor Pusat berdasarkan hasil ekualisasi dengan
biaya yang dilaporkan dalam laporan laba rugi komersial 2012.

Ikatan Akuntan Indonesia 117


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Pembebanan Biaya dalam Laporan Laba Rugi Komersial


No. Uraian Jumlah (Rp)
1. Gaji dan upah 7.978.566.206
2. Lembur non-staf 644.252.755
3. Honor part-timer 37.067.959
4. THR dan bonus 1.322.590.100
5. Tunjangan PPh Pasal 21 1.547.500.000
6. Medical insurance 388.902.137
7. Jamsostek (JHT dan THT) 24.743.043
8. Iuran pensiun 279.619.164
9. Tunjangan lain-lain 419.237.466

A
10. Tunjangan transport 68.477.300

C
11. Komisi 9.546.888.154
Jumlah 22.257.844.284

A
Objek PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT PPh Pasal 21

W
- Penghasilan bruto pegawai tetap Rp15.000.000.000

S
- Penghasilan bruto selain pegawai tetap Rp 3.000.000.000

I
Jumlah Rp18.000.000.000

S
Ekualisasi Objek PPh pasal 21 dengan Biaya di SPT Tahunan PPh Badan

A
Jumlah beban dalam SPT Tahunan PPh Badan Rp22.257.844.284

E
Dikurangi:
Pembayaran ke Jamsostek (JHT dan THT) Rp 24.743.043

B
i. luran pensiun 279.619.164
ii. Provisi atas imbalan pascakerja 75.000.000

H
iii. Pembayaran gaji honorer di bawah PTKP 37.067.959

I
iv. Objek PPh Pasal 21 yang dilaporkan di cabang:

A
- KPP B 2.118.058.956
- KPP C 586.258.750

R
- Jumlah pengurangan Rp 4.120.747.872

E
Objek PPh Pasal 21 Kantor Pusat menurut hasil ekualisasi Rp18.137.096.412

P
Objek PPh Pasal 21 menurut SPT PPh Pasal 21 18.000.000.000
Objek PPh 21 yang belum dipotong Rp 137.096.412

118 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab X SW
I
TAX PLANNINGAS
BE
PADA WITHHOLDING TAX
H PUNGUT)
(PPh POTONG
I
SELAINRAPPh PASAL 21
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 119
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB X
TAX PLANNING PADA WITHHOLDING TAX
(PPh POTONG PUNGUT) SELAIN PPh PASAL 21

10.1 Pengantar

Sistem withholding tax (di Indonesia dikenal dengan sistem Pemotongan atau Pemungutan/pot put)
merupakan sistem perpajakan dimana pihak ketiga baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak
Badan Dalam Negeri diberi kepercayaan oleh peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan

A
kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan.

C
Dalam sistem ini pihak ketiga tersebut memiliki peran aktif untuk melaksanakan kewajiban memotong atau
memungut, menyetorkan pajak yang telah dipotong/dipungut tersebut ke Kas Negara dan melaporkan pajak

A
yang telah dipotong/dipungut, dan disetorkan tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak dimana pihak pemotong/
pemungut tersebut terdaftar.

W
Penerapan withholding tax system dalam pemotongan pajak penghasilan telah menguntungkan dari segi

S
I
efisiensi waktu, akuntabilitas data, biaya, serta kinerja terhadap diri wajib pajak (WP) dan fiskus. Dalam

S
hal ini withholding tax system memberikan manfaat untuk pemerintah (Ditjen Pajak ) antara lain, dapat
meningkatkan kepatuhan secara sukarela karena pembayar pajak secara tidak langsung telah membayar

A
pajaknya, pengumpulan pajak secara otomatis bagi pemerintah tanpa mengeluarkan biaya administrasi

E
pemungutan, meningkatkan penerimaan pajak (optimalisasi perluasan objek pajak), merupakan penerapan
azas kemudahan (convenience of tax system), serta meningkatkan penerimaan pajak (optimalisasi perluasan

B
objek pajak).

H
Dalam praktiknya penerapan system withholding , khususnya dalam hal ini PPh potong & pungut di

I
Indonesia cukup kompleks karena banyaknya pasal dalam UU PPh yang berlaku yang mengatur mengenai
pemotongan dan pemungutan pajak ini. Pasal-pasal yang mengatur mengenai PPh pot-put ini antara lain

A
adalah: Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 21/26, Pasal 22, Pasal 23/26 dan Pasal 24. Disamping itu teknis

R
pelaksanaannya diatur menurut peraturan pemerintah, peraturan menteri keuangan, dan peraturan
direktur jenderal pajak. Kompleksitas juga ditunjukkan dengan beragamnya obyek dan tarif PPh pot-put,

E
sifat pemotongannya yang final dan tidak final, juga dasar pengenaannya ada yang berbasiskan jumlah

P
bruto (gross amount) sebelum PPN dan ada pula yang dikenakan dari nilai perkiraan neto (net estimated
income). Demikian pula halnya dengan saat terutangnya yang variatif, mulai saat dibayar, tersedia untuk
dibayar, sampai saat jatuh tempo.

10.2 Jenis-Jenis PPh Potong Pungut

10.2.1 PPh Pasal 22


1. Objek PPh Pasal 22
Kegiatan usaha di bidang impor dan kegiatan usaha di bidang lain yang memperoleh pembayaran
atas barang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah yang dilakukan dengan atau melalui pemungut-pemungut yang ditunjuk itu saja yang dapat
dipungut Pajak Penghasilan.

120 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

2. Pemungut Pajak
Penunjukan Pemungut PPh Pasal 22 dilakukan tanpa Surat Keputusan Kepala KPP (secara otomatis)
a) Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
b) Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau Lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga
negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang;
c) Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan
dengan mekanisme uang persediaan (UP);
d) Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi
delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
barang kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
e) BUMN/BUMD yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja

A
Negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD);

C
f) Bank Indonesia (BI), Perusahaan Pengelola Set (PPA), PT Telkom, PT PLN, PT Garuda Indonesia,
PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina dan bank bank BUMN yang melakukan pembelian

A
barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun dari non APBN;
g) Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja

W
(industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan

S
industri antara dan industri hilir), industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil

I
produksinya kepada distributor di dalam negeri. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen

S
Pemegang Merek (APM), dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan
bermotor di dalam negeri;

A
h) Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan

E
bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
i) Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan,

B
dan perikanan, atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul untuk keperluan
industrinya atau ekspornya.

IH
Tarif pungutan dan Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 22

No

RA
Objek Pajak Tarif DPP

E
1 Atas impor:

P
Angka Pengenal Impor (API)
2,5%
Nilai impor
Kecuali atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu
0,5%
sebesar

tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API) 7,5% Nilai impor


Pemenang hasil lelang impor yang tak dikuasai 7,5% Harga jual lelang
2 Pembelian Barang Dalam Negeri
Harga pembelian tidak termasuk
Oleh Bendaharawan pemerintah, BUMN/BUMD, dan Pajak Pertambahan Nilai.
1,5%
Badan-badan tertentu. (terutang dan dipungut pada saat
pembayaran)
Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau Harga pembelian tidak termasuk
ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang Pajak Pertambahan Nilai.
0,25%
bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, (terutang dan dipungut pada saat
peternakan, dan perikanan. pembelian)

Ikatan Akuntan Indonesia 121


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3 Terutang dan dipungut pada


saat penerbitan surat perintah
Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pengeluaran barang (delivery
pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak,
order).
bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
Kepada agen/penyalur pajak
bersifat final selain itu tidak final.

a. Bahan bakar minyak


0,25% Penjualan tidak termasuk PPN
• Penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar
umum Pertamina;
0,3% Penjualan tidak termasuk PPN
• Penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar
umum bukan Pertamina;
0,3% Penjualan tidak termasuk PPN
• Penjualan kepada pihak lain

A
b. Bahan bakar gas 0,3% Penjualan tidak termasuk PPN
c. Pelumas 0,3% Penjualan tidak termasuk PPN

C
4 Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam
(Terutang dan dipungut saat
negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang

A
penjualan)
usaha:

W
industri semen, 0,25% DPP PPN

S
industri kertas, 0,1% DPP PPN

I
industri baja, 0,3% DPP PPN

S
industri otomotif, oleh Agen Tunggal Pemegang Merek
DPP PPN

A
(ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir 0,45%
umum kendaraan bermotor.

E
industri farmasi. 0,3% DPP PPN

10.2.2 Pajak Penghasilan Pasal 23

B
H
1. Objek PPh Pasal 23

I
Objek PPh pasal 23 adalah penghasilan yang diterima oleh wajib pajak yang berasal dari:

A
a. Bunga, dividen dan royalti yang diterima wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi;
b. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak badan;

R
c. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain yang telah dipotong PPh

E
pasal 21.
2. Pemotong Pajak

P
Pemotong PPh pasal 23 yaitu:
a. Badan Pemerintah;
b. Subjek pajak badan dalam negeri;
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri;
d. Orang Pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk oleh DJP, yaitu:
a) Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat), pengacara, konsultan yang melakukan
kerja bebas.
b) Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan pembukuan.

122 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

No. Objek Pajak Tarif DPP

Dividen: 15% Penghasilan Bruto


1. • yang diterima oleh badan dengan kepemilikan kurang dari 25%.
• yang diterima oleh orang pribadi (pasal 17 ayat 2C). 10% Penghasilan bruto

2. Bunga 15% Penghasilan bruto


3. Royalti 15% Penghasilan bruto

Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh
4. 15% Penghasilan bruto
pasal 21.

A
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali
Jumlah bruto tidak
5. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah 2%
termasuk PPN

C
dikenakan PPh final.

Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, Jumlah bruto tidak

A
6. 2%
jasa konsultasi, selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21. termasuk PPN

Jumlah bruto tidak

W
7. Imbalan sehubungan dengan jasa lain (PMK No. 244/PMK.03/2008). 2%
termasuk PPN

10.2.3 PPh Pasal 26

IS
S
1. Objek PPh Pasal 26

A
Secara garis besar berdasarkan penerapannya, objek PPh pasal 26 dibagi menjadi 3 kelompok:
a. Objek PPh yang dipotong sebesar 20 % dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan,

E
b. Objek PPh yang dipotong PPh 26 yang dipotong pajak 20% dari perkiraan penghasilan neto,

B
yaitu: Objek PPh yang dipotong PPh 26 yang dipotong pajak sebesar 20% dari Penghasilan Kena
Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, atau yang biasa disebut

H
Branch Profit Tax.

I
2. Pemungut Pajak

A
Berdasarkan Peraturan DirJen Nomor PER – 52//PJ/2009 tentang tata cara pemotongan, penyetoran
dan pelaporan pajak penghasilan pasal 26 atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di

R
Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima

E
atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT di Indonesia, yang ditunjuk sebagai pemotong
PPh Pasal 26 adalah:

P
a. Badan Pemerintah.
b. Subjek Pajak badan dalam negeri.
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
d. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP, yaitu akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT
(kecuali camat), pengacara, konsultan yang melakukan pekerjaan bebas orang pribadi yang
menjalankan usaha dan yang menyelenggarakan pembukuan.

Ikatan Akuntan Indonesia 123


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

No Objek Pajak Tarif DPP

1 Dividen 20 % atau tarif P3B Penghasilan Bruto

Bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap, dan


2 20 % atau tarif P3B Penghasilan Bruto
imbalan sehubungan dengan pengembalian utang

Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan


3 20 % atau tarif P3B Penghasilan Bruto
penggunaan harta

4 Hadiah dan penghargaan 20 % atau tarif P3B Penghasilan Bruto

5 Pensiunan dan pembayaran berkala lainnya 20 % atau tarif P3B Penghasilan Bruto

A
Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia yang

C
6 diterima Wajib Pajak Luar Negeri, selain Bentuk Usaha 20 % atau tarif P3B Penghasilan Bruto
Tetap di Indonesia

A
Penghasilan Bruto
Dibayarkan tertanggung kepada perusahaan asuransi di 10 % atau tarif P3B

W
luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang

S
Dibayarkan perusahaan asuransi di Indonesia kepada
7

I
perusahaan asuransi di luar negeri 2 % atau tarif P3B Penghasilan Bruto

S
Dibayarkan perusahaan reasuransi di Indonesia kepada
perusahaan asuransi diluar negeri 1 % atau tarif P3B

A
Penghasilan Bruto

E
Penghasilan dari penjualan saham yang diperoleh Wajib
8 5% Harga Jual

B
Pajak Luar Negeri selain BUT

Laba setelah pajak BUT, kecuali laba setelah pajak Laba BUT dikurangi PPh BUT di
9 20 % atau tarif P3B

H
tersebut ditanamkan kembali di Indoensia Indonesia

AI
10.2.4 Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 (PPh Final)

R
1. Objek PPh Pasal 4 ayat (2)

E
a. Bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan perdagangannya di bursa

P
efek (PP No. 16 Tahun 2009).
b. Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek (PP 41/1994 jo.PP 14/1997). Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan
saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final.
c. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI (PP 131/2000). Atas penghasilan berupa bunga
deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang
bersifat final. Termasuk bunga yang harus dipotong Pajak Penghasilan yaitu bunga yang diterima
atau diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui bank yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia.
d. Penghasilan berupa hadiah atas undian (PP 132/2000). Atas penghasilan berupa hadiah undian
dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat
final.
e. Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan (PP 29/1996 jo PP 5/2002). Atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan
berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, rumah
kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri, wajib dibayar Pajak Penghasilan.

124 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

f. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi (PP 52/2008 jo PP 40/2009). Jasa konstruksi adalah
layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan
konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Pekerjaan konstruksi
adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan
beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata
lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau
bentuk fisik lain.
g. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan (PP 48/1994 jo PP 71/2008).
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan.
h. Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri (PP 19/2009).
i. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi (PP

A
15/2009). Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di

C
Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

A
2. Pemungut Pajak

W
No. Objek Pajak Pemungut Pajak

IS
• Penerbit obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang
Bunga dan diskonto obligasi yang ditunjuk.

S
1. diperdagangkan dan atau dilaporkan • Perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara
perdagangannya di bursa efek. dan/atau pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual

A
obligasi pada saat transaksi.

E
Penghasilan dari transaksi penjualan saham di
2. Penyelenggara bursa efek.
bursa efek.

B
H
Bunga deposito dan tabungan serta diskonto Bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
3.
SBI. cabang bank luar negeri di Indonesia dan Bank Indonesia.

4.

AI
Penghasilan berupa hadiah atas undian. Penyelenggara undian.

R
• Penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai pemotong pajak.

E
• Hal penyewa bukan sebagai pemotong pajak maka pajak
Penghasilan atas sewa tanah dan atau
5. penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang

P
bangunan.
pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh
penghasilan.

• Dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran, dalam hal


pengguna jasa merupakan pemotong pajak.
6. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
• Disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa
bukan merupakan pemotong pajak.

• Membayar sendiri pajak penghasilan yang terutang.


Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah
7. • Dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang melakukan
dan atau bangunan.
pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar-menukar.

Dividen yang diterima atau diperoleh wajib Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku
8.
pajak orang pribadi dalam negeri. pembayar dividen.

Bunga simpanan yag dibayarkan oleh koperasi Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada
9.
kepada anggota koperasi orang pribadi. anggota koperasi orang pribadi.

Ikatan Akuntan Indonesia 125


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3. Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak (DPP)

No Objek Pajak Tarif DPP Keterangan

Bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan


dan atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek.
15% Jumlah bruto bunga WPDN
Bunga dari obligasi dengan kupon sesuai dengan masa
20% kepemilikan obligasi. WPLN selain BUT
Selisih lebih harga jual
15% atau nilai nominal di WPDN
Diskonto dari obligasi dengan kupon atas harga perolehan
20% obligasi, tidak termasuk WPLN selain BUT

A
bunga berjalan.
15% Selisih lebih harga jual WPDN

C
1. Diskonto dari obligasi tanpa bunga atau nilai nominal di atas
20% harga perolehan obligasi. WPLN selain BUT

A
0%
untuk tahun 2009 sampai

W
dengan tahun 2010.
Jumlah yang diterima

S
dan/atau diperoleh wajib

I
untuk tahun 2011 sampai
pajak reksadana yang
Bunga dan/atau diskonto dari obligasi 5% dengan tahun 2013.

S
terdaftar pada badan
pengawas pasar modal
untuk tahun 2014 dan

A
dan lembaga keuangan.
seterusnya.

E
15%

B
Penghasilan dari transaksi penjualan saham di
bursa efek:

H
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Jumlah bruto nilai
0,1% -

I
orang pribadi atau badan. transaksi penjualan.

A
Dalam hal saham
2. perusahaan

R
diperdagangkan di bursa
Dari nilai saham
efek setelah 1 Januari
Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak perusahaan pada saat

E
0,5% 1997, maka nilai saham
Penghasilan. penutupan bursa diakhir
ditetapkan sebesar

P
tahun 1996.
harga saham pada saat
penawaran umum
perdana.
20%
WPDN dan BUT
3. Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI Dari jumlah bruto.
WPLN
20%
Dari jumlah bruto
4. Penghasilan berupa hadiah atas undian 25% -
hadiah undian.
-

Dari jumlah bruto nilai


5. Penghasilan atas sewa tanah dan atau bangunan 10% persewaan tanah dan/
atau bangunan.

126 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

No Objek Pajak Tarif DPP Keterangan

Penghasilan dari usaha jasa konstruksi:


Pelaksanaan Konstruksi (a) 2% kualifikasi usaha kecil.
tidak memiliki kualifikasi
Pelaksanaan Konstruksi (b) 4%
Jumlah pembayaran atau usaha.
jumlah penerimaan
6. kualifikasi usaha
Pelaksanaan Konstruksi selain (huruf a dan b) 3% pembayaran atau jumlah
menengah dan besar.
yang merupakan bagian
Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan dari nilai kontrak jasa memiliki kualifikasi
4% konstruksi.
Konstruksi usaha.
Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan tidak memiliki kualifikasi
6%
Konstruksi usaha.

A
5% Jumlah bruto nilai -

C
pengalihan hak
atas tanah dan/atau

A
bangunan.

Jumlah bruto nilai

W
1% pengalihan. atas pengalihan hak

S
Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atas Rumah Sederhana
7.

I
dan atau bangunan dan Rumah Susun
Sederhana yang

S
dilakukan oleh Wajib
Pajak yang usaha

A
pokoknya melakukan
pengalihan hak

E
atas tanah dan/atau
bangunan

B
Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak Jumlah penghasilan
8. 10% -
orang pribadi dalam negeri berupa dividen.

IH
0% bunga simpanan sampai
dengan Rp240.000 per

A
bulan.
Bunga simpanan yag dibayarkan oleh koperasi
9. Jumlah bruto bunga

R
kepada anggota koperasi orang pribadi
bunga simpanan lebih
dari Rp240.000 per

E
10% bulan.

P
10.3 Saat Terutangnya PPh Potong Pungut

1. Untuk PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 , saat terutangnya pajak adalah pada saat dibayarkan, disediakan
untuk dibayar atau telah jatuh tempo pembayarannya.
2. Untuk PPh Pasal 4 ayat (2), saat terutangnya pajak adalah saat pembayaran atau saat terutang, mana
yang lebih dahulu.
3. Untuk PPh Pasal 22, saat terutangnya pajak antara lain adalah, saat pembayaran Bea Masuk atau saat
penyelesaian dokumen PIB (untuk impor), saat pembayaran, saat penjualan, saat penerbitan delivery
order, saat pembelian, tergantung objeknya masing-masing.

Ikatan Akuntan Indonesia 127


MANAJEMEN PERPAJAKAN

10.4 Saat Penyetoran dan Pelaporan PPh Potong Pungut

1. Penyetoran PPh potong pungut dilakukan ke kas paling lambat tanggal 10 bulan berikut dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP).
2. Pelaporan PPh dilakukan ke KPP tempat pemotong/pemungut terdaftar paling lambat tanggal 20
bulan berikut dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa (SPM).

10.5 Sanksi-sanksi Pajak Terkait

Sanksi pajak yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban PPh potong pungut antara lain adalah sanksi

A
kurang potong (2% dari pajak yang kurang dipotong), sanksi terlambat potong (2% perbulan dari pajak

C
yang terlambat dipotong), salah potong misalnya seharusnya memotong PPh Pasal 23 tapi dipotong PPh
Pasal 21 (dianggap tidak memotong), sanksi tidak memotong, sanksi memotong tapi tidak menyetorkan,

A
dll. Bagi pihak yang dipotong juga terdapat sanksi pajak, antara lain: sanksi 100% dari pajak terutang jika
pihak yang dipotong tidak memiliki NPWP, sanksi pajak yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan jika

W
tidak memenuhi persyaratan-persyaratan pengkreditan.

IS
10.6 Perencanaan Pajak pada PPh Potong Pungut

AS
E
Karena sistem withholding tax (dalam hal ini PPh potong pungut) melibatkan dua pihak, yakni pihak pemberi
penghasilan sebagai pihak pemotong/pemungut dan pihak penerima penghasilan sebagai pihak yang

B
dipotong/dipungut, maka untuk mencapai efisiensi yang maksimal, perencanaan pajak pada PPh Potong
Pungut harus difokuskan pada dua sisi, yakni sisi sebagai wajib potong manakala perusahaan melakukan

H
pembayaran atas objek PPh potong pungut dan sisi sebagai pihak yang dipotong manakala perusahaan

I
menerima/memperoleh penghasilan yang merupakan objek PPh potong pungut. Hal ini dikarenakan dapat

A
saja dalam masa pajak yang sama perusahaan berada pada posisi sebagai wajib potong dan sekaligus berada
pada posisi pihak yang dipotong.

Contoh:

ER
P
Pada laporan rugi laba PT A terdapat objek PPh potong pungut baik pada pos penghasilan maupun pada
pos biaya, sebagai berikut:
Pada pos penghasilan:
1. Penghasilan royalti dari PT B ( objek PPh pasal 23)
Penghasilan dari sewa peralatan dari PT C (objek PPh pasal 4 ayat (2)/PPh final)
Pada pos biaya:
a. Biaya bunga pinjaman kepada PT C (objek PPh pasal 23)
b. Biaya sewa showroom kepada PT D (objek PPh pasal 4 ayat (2)/PPh final)
c. Biaya jasa konsultan pajak XYZ ( objek PPh pasal 23)

Apabila objek PPh potong pungut tersebut ada pada pos penghasilan berarti PT A merupakan pihak yang
dipotong PPh potong pungut, sedangkan apabila objek PPh potong pungut ada pada pos biaya berarti PT
merupakan pihak yang wajib memotong PPh potong pungut tersebut.

128 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

10.6.1 Perencanaan Pajak pada Posisi sebagai Pemotong


Pada posisi sebagai pemotong, perusahaan memiliki kewajiban yang wajib dilaksanakan dan apabila
perusahaan tidak atau lalai melaksanakan kewajiban tersebut, maka secara otomotis perusahaan akan
terkena sanksi pajak. Adapun kewajiban perusahaan sebagai wajib potong PPh potong pungut adalah:

1. Kewajiban untuk memotong PPh atas objek PPh potong pungut, dilakukan dengan menggunakan
sarana bukti potong.
Pada kewajiban memotong atas objek PPh potong pungut, terdapat beberapa sanksi pajak yang
terkait, seperti: sanksi kurang potong (2% dari pajak yang kurang dipotong), sanksi terlambat potong
(2% perbulan dari pajak yang terlambat dipotong), salah potong misalnya seharusnya memotong
PPh Pasal 23 tapi dipotong PPh Pasal 21 (dianggap tidak memotong), sanksi tidak memotong, dll.
2. Kewajiban menyetorkan PPh yang telah dipotong ke Kas Negara dengan menggunakan sarana Surat

A
Setoran Pajak (SSP).

C
Pada kewajiban menyetorkan pajak yang telah dipotong, terdapat beberapa sanksi pajak terkait,
seperti: sanksi terlambat setor (2% perbulan dari pajak yang terlambat disetor), sanksi kurang setor

A
(2% dari pajak yang kurang disetor), sanksi tidak menyetor, dll.
3. Kewajiban melaporkan PPh yang telah dipotong dan disetor tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak

W
tempat perusahaan terdaftar dengan menggunakan sarana SPT Masa (SPM).

S
Pada kewajiban melapor terdapat sanksi pajak terkait, seperti: terlambat lapor (terkena sanksi

I
administrasi sebesar Rp100.000). Adapun tujuan dari perencanaan pajak pada posisi sebagai wajib

S
potong adalah untuk mencapai efisiensi dengan cara menghindari sanksi-sanksi pajak terkait dengan
pelaksanaan tiga kewajiban di atas.

A
Untuk menghindari sanksi pajak terkait dengan kewajiban perpajakan di atas, maka perusahaan

E
harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kapan saat terutangnya PPh potong pungut tersebut.

B
b. Apa saja yang merupakan objek PPh potong pungut dan berapa tarif pajaknya.
c. Kapan PPh potong pungut harus dibayarkan ke kas Negara.

H
d. Kapan PPh yang telah dipotong tersebut harus dilaporkan ke KPP.

I
e. Apa saja sanksi terkait dengan ketiga kewajiban tersebut.

A
4. Perencanaan pajak pada posisi sebagai pihak yang dipotong.

R
10.6.2 Perencanaan Pajak pada Posisi sebagai Pihak yang Dipotong

E
Pada posisi sebagai pihak yang dipotong, perusahaan memiliki hak pengkreditan atas PPh yang telah

P
dipotong oleh pihak ketiga terhadap PPh Badan perusahaan (sepanjang PPh yang dipotong tidak tergolong
PPh final). Hak pengkreditan tersebut tidak bersifat otomatis, karena untuk dapat mengkreditkan perusahaan
harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, yakni:

1. Harus didukung oleh bukti potong asli (atau legalisir sesuai asli).
2. Tahun pengkreditan harus sesuai dengan tahun yang tertera pada bukti potong.
3. Jenis pajak yang tercantum pada bukti potong dan SSP harus benar (atau didukung oleh Surat
Pemindahbukuan yang diterbitkan oleh KPP jika terjadi kesalahan jenis PPh yang dipotong).

Adapun tujuan dari perencanaan pajak pada posisi sebagai pihak yang dipotong adalah untuk mencapai
efisiensi dengan cara memaksimalkan pemanfaatan hak pengkreditan tersebut. Untuk itu perusahaan harus
selalu memperhatikan persyaratan untuk dapat melakukan pengkreditan PPh potong pungut di atas.

Ikatan Akuntan Indonesia 129


MANAJEMEN PERPAJAKAN

10.6.3 Hal Lain yang Harus Diperhatikan Terkait dengan Perencanaan Pajak pada PPh Potong Pungut
1. Jika terjadi kesalahan potong
Bagi pihak pemotong/pemungut pajak, jika terjadi kesalahan pemotongan yang mengakibatkan
timbulnya sanksi pajak (salah potong dianggap tidak memotong), misalnya seharusnya dipotong
PPh pasal 23, akan tetapi dipotong PPh pasal 21, maka langkah yang harus segera diambil adalah
dengan mengajukan permohonan pemindahbukuan ke KPP tempat pemotong terdaftar. Agar pajak
yang telah dipotong tersebut dapat dijadikan kredit pajak oleh pihak yang dipotong, maka pihak
yang dipotong harus diberikan bukti SK pemindahbukuan tersebut. Jadi dengan adanya Surat
Keputusan Pemindahbukuan (SK PBK), maka pihak pemotong akan terhindar dari sanksi dianggap
tidak memotong, sedangkan pihak yang dipotong terhindar dari sanksi tidak dapat mengkreditkan
pajak yang telah dipotong

A
2. Jika pihak penerima penghasilan tidak mau dipotong pajak (kontrak “net of tax”)
Jika pihak penerima penghasilan akan menerima penghasilan tanpa dipotong pajak, maka kewajiban

C
menyetorkan pajak yang terutang tetap harus dilakukan, namun kewajiban menanggung beban
pajak tersebut menjadi beralih kepada pihak pemberi penghasilan (pihak pemotong). Ada 2 (dua)

A
cara yang dapat dilakukan, yakni:

W
1. Pihak pemberi penghasilan menanggung sendiri pajak yang terutang sebesar tarif yang terutang.
Jika pihak pemberi penghasilan memilih cara ini, maka jumlah pajak yang ditanggung sendiri

IS
tersebut tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak.

S
2. Meng-gross up pajak yang terutang. Dengan melakukan gross up maka konsekwensinya pajak yang

A
dibayar ke Kas Negara menjadi lebih besar dari yang seharusnya. Namun dengan cara ini, pihak
pemberi penghasilan dapat membebankan pajak yang dibayarnya tersebut sebagai pengurang

E
penghasilan bruto.

B
Catatan: Pemilihan cara a) atau cara b) didasarkan atas seberapa besar perusahaan (pemberi
penghasilan) berkepentingan terhadap pembebanan biaya. Jika perusahaan ingin membebankan

IH
pajaknya sebagai biaya, maka pilihan cara b) lebih efisien dan sebaliknya.

A
10.6.4 Khusus untuk Pembayaran kepada WPLN, perlu diperhatikan apakah penghasilan yang

R
diberikan kepada pihak WPLN tersebut merupakan passive income (bunga, dividen dan royalti) atau
active income (penghasilan dari jasa atau kegiatan), karena perlakuan pajaknya akan berbeda manakala

E
kita bertransaksi dengan WPLN mitra perjanjian (tax treaty partner) dan WPLN Non treaty partner.

P
1. Perlakuan pajak jika WPLN tersebut merupakan resident negara treaty partner:
Untuk passive income yang diterima WPLN treaty partner, pihak pembayar di Indonesia wajib
memotong PPh Pasal 26 dengan menggunakan tarif tax treaty yang bersangkutan (reduced rate
treaty) dengan persyaratan dilampirkannya Certificate of Resident (COR)/Certificate of Domicile
(COD) yang sekarang dikenal dengan sebutan Form DGT – 1 dan Form DGT - 2 pada SPT Masa
PPh Pasal 26. Dalam hal ini Indonesia sebagai negara sumber tetap memiliki hak pemajakan atas
passive income tersebut, tanpa melihat apakah WPLN tersebut memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT)
di Indonesia atau tidak. Dalam hal WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka pihak pembayar
di Indonesia wajib memotong PPh Pasal 23 (bukan PPh pasal 26).

Sebaliknya untuk active income yang diterima WPLN treaty partner, pihak pembayar di Indonesia
tidak wajib memotong PPh Pasal 26 manakala WPLN tersebut tidak memiliki Bentuk Usaha Tetap
(BUT) di Indonesia (dalam hal ini hak pemajakan ada pada Negara domisili sesuai dengan artikel
tentang “business profit” tax treaty) dengan persyaratan dilampirkannya COR/COD. Apabila WPLN
tersebut memiliki BUT di Indonesia, maka pihak pembayar di Indonesia wajib memotong PPh Pasal
23 (bukan PPh Pasal 26).

130 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Pada beberapa tax treaty (Indonesia-Luxemburg, Indonesia- Pakistan, Indonesia- Jerman, Indonesia
– Switzerland), atas pembayaran imbalan jasa teknik (active income) kepada WPLN yang merupakan
resident negara tersebut pihak pembayar di Indonesia wajib memotong PPh Pasal 26 dengan reduced
rate tax treaty dari imbalan bruto (mirip dengan pemajakan atas passive income), meskipun WPLN
tersebut tidak memiliki BUT di Indonesia, sepanjang jasa teknik tersebut dilakukan di Indonesia.
2. Perlakuan pajak jika WPLN tersebut bukan merupakan resident negara treaty partner (non treaty partner):
Untuk passive income yang diterima WPLN non treaty partner, pihak pembayar di Indonesia wajib
memotong PPh Pasal 26 dengan menggunakan tarif Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu 20%
dari jumlah bruto jika WPLN tersebut tidak memiliki BUT di Indonesia. Dalam hal WPLN tersebut
memiliki BUT di Indonesia, maka pihak pembayar di Indonesia wajib memotong PPh Pasal 23
sebesar 15% dari jumlah bruto.

A
Sebaliknya untuk active income yang diterima WPLN non treaty partner, pihak pembayar di Indonesia

C
wajib memotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto jika WPLN tersebut tidak memiliki
Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Dalam hal WPLN tersebut memiliki BUT di Indonesia,

A
maka pihak pembayar di Indonesia wajib memotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto.

W
10.6.5 Rekonsiliasi Obyek Pemotongan PPh Pot-Put

S
Pembahasan rekonsiliasi/ekualisasi objek pemotongan PPh pot-put ini dapat dilakukan tinjauannya dari 2

I
(dua) aspek, yaitu: aspek perusahaan sebagai pihak pemberi penghasilan (pemotong) dan segi perusahaan

S
selaku pihak penerima penghasilan (pihak yang dipotong).

A
1. Rekonsiliasi obyek PPh pot-put bagi perusahaan selaku pemotong

E
Upaya manajemen pajak yang terukur apabila perusahaan bertindak selaku pemotong pajak
(withholding tax agent), salah satunya adalah melakukan rekonsiliasi/ekualisasi atas kewajiban

B
pemotongan PPh pot-put. Caranya adalah dengan membandingkan objek pemotongan PPh pot-put
berdasarkan angka yang tertera dalam laporan keuangan dengan dasar pengenaan pajak yang telah

H
dilaporkan perusahaan dalam SPT Masa PPh pot-put yang bervariasi, mulai dari pemotongan PPh

I
Pasal 4 ayat (2), 15, 21/26, 22, dan 23/26, tergantung objeknya.

A
2. Rekonsiliasi obyek PPh pot-put bagi perusahaan selaku pihak yang dipotong

R
Selaku penerima penghasilan yang merupakan objek PPh pot-put, perusahaan akan dipotong
pajaknya oleh pelanggan. Untuk kepentingan perpajakan, perusahaan dapat melakukan rekonsiliasi

E
objek PPh pot-put berdasarkan bukti potong yang diterima dari pelanggan dengan penghasilan yang

P
dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan atau audit report laporan keuangannya. Perbedaan atau
selisih angka rekonsiliasi akan berakibat adanya eksposure atas kewajiban PPh badan perusahaan
dan/atau berkonsekuensi pada penetapan PPN apabila penghasilan tersebut adalah juga merupakan
objek PPN.

Catatan: selisih perbedaan akibat rekonsiliasi harus dapat dijelaskan dan didukung oleh bukti-bukti
yang memadai untuk menghindari koreksi fiskus jika terjadi pemeriksaan pajak.

Ikatan Akuntan Indonesia 131


MANAJEMEN PERPAJAKAN

10.6.6 Mengelola perbedaan interpretasi mengenai objek pajak pada suatu transaksi
Dalam praktik di lapangan, sering terjadi perbedaan interpretasi antara wajib pajak dengan fiskus atas
objek PPh potong pungut dalam suatu transaksi. Contohnya: pembayaran sehubungan dengan informasi
berkenaan dengan pengalaman di bidang ilmu pengetahuan, perdagangan dan industry. Dalam praktik
sering terjadi dispute antara royalti dengan imbalan jasa teknik terkait dengan pembayaran tersebut. Padahal
perlakuan pajak antara keduanya berbeda.
Untuk menghindari timbulnya koreksi akibat adanya perbedaan interpretasi tersebut wajib pajak
harus memahami benar substansi dari transaksi tersebut dan memahami cirri-ciri yang membedakan
kedua objek pajak tersebut.

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

132 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab XI SW
SI
PERENCANAANADAN
PENGENDALIANE
B ATAS
H
PAJAK PERTAMBAHAN
I
A
NILAIRDAN/ATAU PAJAK
P E
PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 133
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB XI
PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN
ATAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN/ATAU
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH

11.1 Pada Tahap Pendirian Perusahaan

1. Waktu pelaporan kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

A
Walaupun peraturan perpajakan tidak mensyaratkan kapan waktu seharusnya melaporkan kegiatan
usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP, namun keterlambatan pengukuhan PKP akan menyebabkan

C
beberapa kerugian dan pemborosan dikarenakan hal-hal sebagai berikut:

A
a. Pasal 9 ayat 8 huruf a UU PPN menyatakan:
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi

W
pengeluaran untuk:

S
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai

I
Pengusaha Kena Pajak;

S
Dengan terlambatnya waktu pengukuhan PKP maka seluruh pajak masukan yang faktur pajaknya
diterbitkan pada tanggal sebelum pengukuhan PKP tidak dapat dikreditkan.

A
b. Pasal 13 ayat (1) huruf e juncto Pasal 13 ayat (2) KUP yang menyatakan:

E
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa

B
Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:

H
apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai

I
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana

A
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga

R
sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai

E
dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

P
Dengan terlambatnya waktu pengukuhan PKP maka ada kemungkinan KPP akan melakukan
pengukuhan secara jabatan atau KPP akan melakukan penghitungan atas PPN yang seharusnya
terutang sebelum PKP tersebut dikukuhkan sebagai PKP.
2. Tempat atau lokasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang dipilih untuk dilaporkan sebagai tempat
pengukuhan PKP dalam hal perusahaan memiliki satu atau lebih kantor cabang.
Untuk memutuskan tempat atau lokasi KPP yang akan dipilih untuk dilaporkan sebagai tempat
pengukuhan PKP dalam hal perusahaan memiliki satu atau lebih kantor cabang, hal yang harus
diperhatikan adalah:
Pasal 15 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2012
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak harus
dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Selain itu juga ketentuan perpajakan mengatur bahwa PPN terutang di lokasi terjadinya penyerahan
barang/jasa kena pajak.
Untuk itu, KPP yang akan dipilih untuk dilaporkan sebagai tempat pengukuhan PKP adalah KPP
yang membawahi kantor cabang (lokasi) atau tempat kedudukan (domisili) dimana perusahaan
melakukan penyerahan BKP/JKP.

134 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

3. Kepastian bahwa barang dan/atau jasa yang akan dihasilkan merupakan BKP dan/atau JKP yang
terutang PPN atau tidak terutang PPN atau termasuk BKP dan/atau JKP yang penyerahannya
mendapat pembebasan PPN.
Terkait hal ini yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
Secara hirarkis BKP dan JKP sebagai bagian objek PPN dapat digambarkan sebagai berikut:

Barang & Jasa BKP tertentu bersifat strategis yang impor &
yang tidak penyerahannya mendapat pembebasan PPN
dikenai PPN

BKP tertentu bersifat strategis yang impor &


Barang & Jasa penyerahannya mendapat pembebasan PPN

Barang & Jasa


Kena Pajak
(BKP & JKP)
CA
BKP dan/atau JKP tertentu yang impornya
dan/atau penyerahannya mendapat
pembebasan PPN

A BKP tertentu yang impornya mendapat

W
pembebasan Bea Masuk dan PPN tidak

S
dipungut

SI BKP & JKP yang penyerahannya terutang


PPN

EA
Memastikan bahwa produk yang akan diproduksi apakah termasuk BKP dan/atau JKP yang terutang

B
PPN atau tidak terutang PPN atau termasuk BKP dan/atau JKP yang penyerahannya mendapat
pembebasan PPN, merupakan faktor yang sangat krusial karena:

H
a. Jika sejak awal kegiatan usaha sudah dapat dipastikan bahwa produk perusahaan tidak termasuk

I
dalam kategori barang atau jasa kena pajak maka perusahaan tidak perlu mengukuhkan dirinya

A
sebagai Pengusaha Kena Pajak dan berusaha mengendalikan pajak masukan atas perolehan
barang atau jasa untuk kegiatan produksinya.

R
b. Jika sejak awal kegiatan usaha sudah dapat dipastikan bahwa produk perusahaan termasuk

E
dalam kategori barang atau jasa kena pajak yang penyerahannya mendapat pembebasan PPN,

P
maka perusahaan harus mengukuhkan dirinya sebagai Pengusaha Kena Pajak, namun atas pajak
masukan secara keseluruhan tidak dapat dikreditkan; hal ini tentu akan berpengaruh terhadap
penetapan harga jual yang seharusnya menjadi lebih tinggi karena pajak masukan terkait biaya
produksi akan menjadi bagian dari harga pokok penjualan.
c. Jika sejak awal kegiatan usaha, perusahaan ragu dan tidak yakin apakah produknya termasuk
dalam kategori BKP dan/atau JKP yang terutang PPN atau tidak terutang PPN atau termasuk
BKP dan/atau JKP yang penyerahannya mendapat pembebasan PPN; maka sebaiknya perusahaan
sejak awal meminta penegasan dengan surat ke Direktur Jenderal Pajak agar punya kepastian
hukum atas PPN produk yang dihasilkannya. Sangat merugikan sekali jika perusahaan sejak awal
sudah meyakini bahwa produknya termasuk kategori barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN
atau penyerahannya mendapat pembebasan PPN; padahal produk perusahaan tersebut termasuk
kategori BKP dan/atau JKP yang terutang PPN.

Ikatan Akuntan Indonesia 135


MANAJEMEN PERPAJAKAN

4. Hal lain untuk efisiensi PPN:


a. Pemusatan tempat pelaporan PPN dan/atau PPnBM
Jika PKP yang baru berdiri ataupun sudah beberapa waktu menjalani kegiatan usaha, memiliki
beberapa lokasi/cabang dan/atau tempat kedudukan yang melakukan penyerahan BKP/JKP,
maka PKP tersebut dapat melakukan permohonan untuk memilih satu atau lebih tempat sebagai
tempat pelaporan PPN (Pemusatan PPN).
Pemusatan PPN memiliki beberapa manfaat antara lain:
1) Memudahkan PKP dalam memenuhi kewajiban administrasi mulai dari penerbitan faktur
pajak hingga pelaporan SPT Masa PPN dan/atau PPnBM dikarenakan langsung di bawah
koordinasi yang dipusatkan.
2) Membuat biaya administrasi dan pelaporan kewajiban PPN menjadi lebih efisien karena tidak
perlu dilakukan di seluruh cabang/lokasi.

A
3) Meminimalisir kesalahan, baik kesalahan penghitungan dan pengisian faktur pajak maupun

C
kesalahan pelaporan SPT Masa PPN dan/atau PPnBM dikarenakan ada koordinasi dan
pengawasan yang terpusat.

A
4) Memudahkan koordinasi dengan bagian akuntansi dan pelaporan keuangan sehingga
memudahkan Perusahaan untuk melakukan ekualisasi dan kontrol antara kewajiban PPN

W
dengan objek-objek PPN yang dilaporkan di Laporan Keuangan.

S
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan Pajak

I
Pertambahan Nilai Terutang, Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan

S
secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang akan

A
dipusatkan.

E
Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-19/PJ/2010 tentang Penetapan Satu

B
Tempat atau Lebih Sebagai Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang, menyatakan:
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak memilih 1 (satu) tempat atau lebih sebagai Tempat Pemusatan Pajak
Pertambahan Nilai Terutang, Pengusaha Kena Pajak dimaksud harus menyampaikan pemberitahuan

IH
secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang akan

A
dipusatkan.

R
Walaupun Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-19/PJ/2010 memakai istilah pemberitahuan
secara tertulis, namun pemberitahuan ini lebih bersifat permohonan yang memerlukan persetujuan,

E
hal ini diatur pada pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) PER-19/PJ/2010 yang menyatakan:

P
Pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) harus memenuhi
persyaratan:
1) memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipilih sebagai
Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang;
2) memuat nama, alamat, dan NPWP tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang akan
dipusatkan; dan
3) dilampiri surat pernyataan bahwa administrasi penjualan diselenggarakan secara terpusat
pada tempat Pajak Pertambahan Nilai terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan Pajak
Pertambahan Nilai Terutang.
Kepala Kantor Wilayah atas nama Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) menerbitkan:
1) Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Persetujuan Pemusatan Tempat Pajak
Pertambahan Nilai Terutang, dalam hal pemberitahuan memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4; atau

136 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

2) Surat Pemberitahuan Penolakan Pemusatan Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang, dalam
hal pemberitahuan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pemusatan PPN berlaku otomatis tanpa diperlukan permohonan dalam hal wajib pajak terdaftar di
Kantor Pelayanan Pajak Madya dan KPP yang berada di lingkungan Kantor Wilayah DJP WP Besar,
dan Kanwil DJP Jakarta Khusus (Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER - 28/PJ/2012).
Walaupun pemusatan PPN berlaku otomatis untuk WP yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak
Madya dan KPP yang berada di lingkungan Kantor Wilayah DJP WP Besar, dan Kanwil DJP Jakarta
Khusus, namun untuk WP yang baru memulai kegiatan usahanya tidak dapat langsung mendaftar di
KPP tertentu tersebut karena penetapan WP yang terdaftar di KPP tertentu tersebut ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
b. Batasan hanya pajak masukan atas barang modal saja yang dapat dikreditkan sebelum perusahaan

A
mulai berproduksi.
Pasal 9 ayat (2a) dan ayat (8) huruf j UU PPN mengatur bahwa:

C
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang
terutang pajak, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan.

A
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi

W
pengeluaran untuk:

S
j. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena

I
Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).

S
Dengan batasan hanya pajak masukan yang berasal dari perolehan barang modal saja yang dapat
dikreditkan; maka sebelum perusahaan didirikan harus dibuat perencanaan yang matang mengenai

A
waktu kapan dimulainya berproduksi; secara perpajakan waktu dimulainya berproduksi adalah

E
waktu dimana PKP baik sebagai produsen maupun bukan sebagai produsen yang menghasilkan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak mulai ada melakukan kegiatan:

B
1) Penyerahan Barang Kena Pajak;
2) Penyerahan Jasa Kena Pajak;

H
3) Ekspor Barang Kena Pajak; atau

I
4) Ekspor Jasa Kena Pajak.

A
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2014).

R
Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk memulai waktu berproduksi akan semakin
memboroskan beban pajak dikarenakan banyaknya pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan

E
(kecuali hanya pajak masukan untuk perolehan barang modal saja).

P
Jika suatu perusahaan dihadapkan pada situasi yang sulit dimana ternyata untuk memulai
waktu berproduksi tetap dibutuhkan waktu yang cukup lama, maka sebaiknya perusahaan
mempertimbangkan untuk tetap bisa memproduksi dalam skala kecil dahulu sehingga syarat
dimulainya berproduksi telah terpenuhi walaupun dalam skala/kapasitas kecil dan seluruh pajak
masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP dapat dikreditkan.
c. Pertimbangan untuk meminta restitusi atau tidak restitusi atas kelebihan pajak masukan atas
perolehan barang modal sebelum dimulainya berproduksi.
UU PPN memperbolehkan PKP untuk meminta pengembalian (restitusi) kelebihan pajak masukan
atas barang modal yang dikreditkan (Pasal 9 ayat (4b) huruf UU PPN) tanpa menunggu akhir tahun.
Pertimbangan untuk restitusi harus dipertimbangkan dengan cermat dikarenakan hal-hal sebagai
berikut:
a) Permohonan restitusi akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan pajak.
Sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan ketetapan pajak yang menetapkan besaran
kelebihan atau kekurangan pembayaran pajak karena permohonan restitusi, Direktur Jenderal
Pajak akan melakukan pemeriksaan pajak.

Ikatan Akuntan Indonesia 137


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Terkait hal ini tentu harus dipertimbangkan risiko adanya temuan/koreksi pemeriksaan pajak
yang justru akan memperbesar risiko pajak perusahaan. Pertimbangan untuk melakukan restitusi
PPN dapat ditempuh jika PKP yakin bahwa kondisinya “auditable”.
b) Direktur Jenderal Pajak akan menerbitkan ketetapan pajak paling lambat 12 bulan sejak
permohonan restitusi disampaikan.
Jika PKP memperhitungkan bahwa sebelum batas waktu 12 bulan, perusahaan sudah
akan berproduksi dan akan menyebabkan PPN menjadi kurang bayar (walaupun sudah
memperhitungkan pajak masukan atas perolehan barang modal) maka sebaiknya pertimbangan
untuk melakukan restitusi dibatalkan saja.
c) Pertimbangan kemungkinan adanya kegagalan berproduksi setelah PKP mendapatkan
restitusinya.
Jika PKP telah mendapat pengembalian kelebihan pajak masukan, namun PKP tersebut dianggap

A
gagal berproduksi, maka selain PKP harus mengembalikan restitusi yang telah diterimanya; juga

C
kepadanya dikenakan sanksi administrasi Pasal 14 ayat (5) KUP berupa bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali, dihitung dari tanggal penerbitan Surat

A
Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan tanggal penerbitan Surat
Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

W
Ukuran waktu kegagalan berproduksi menurut Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/

S
PMK.03/2014 adalah:

I
Keadaan gagal berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 adalah:

S
1) Suatu keadaan bagi Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usaha utamanya sebagai produsen
yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jangka waktu

A
paling lama 3 (tiga) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan

E
kegiatan:
• Penyerahan Barang Kena Pajak;

B
• Penyerahan Jasa Kena Pajak;
• Ekspor Barang Kena Pajak; atau

H
• Ekspor Jasa Kena Pajak, yang berasal dari hasil produksinya sendiri.

I
2) Suatu keadaan bagi Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usaha utamanya selain sebagai

A
produsen yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan

R
tidak melakukan kegiatan:

E
• Penyerahan Barang Kena Pajak;

P
• Penyerahan Jasa Kena Pajak;
• Ekspor Barang Kena Pajak; atau
• Ekspor Jasa Kena Pajak.
Oleh karenanya penting bagi PKP sebelum mempertimbangkan restitusi atas kelebihan
pengkreditan pajak masukan atas perolehan/impor barang modal, harus dipertimbangkan masak-
masak kapan batas waktu dimulainya berproduksi agar tidak melewati batas waktu sebagaimana
diatur pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.03/2014.
d) Pertimbangan kebutuhan cashflow.
Pertimbangan untuk melakukan restitusi biasanya alasan utama dikarenakan adanya kebutuhan
cashflow; namun alasan kebutuhan cashflow tersebut harus di-trade off dengan tiga pertimbangan
yang sudah dikemukakan di atas.
d. Memanfaatkan fasilitas pembebasan PPN atas perolehan/impor barang modal.
Berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2001 yang telah diubah terakhir dengan PP Nomor 31 Tahun
2007, barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun
terlepas, tidak termasuk suku cadang termasuk dalam jenis BKP tertentu bersifat strategis yang
impor & penyerahannya mendapat pembebasan PPN.

138 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Untuk menghemat cashflow PKP dapat melakukan permohonan agar diterbitkan Surat Keterangan
Bebas pemungutan PPN baik atas perolehan ataupun impor barang modal berupa mesin dan
peralatan pabrik.
e. Memilih jenis kendaraan tertentu
Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN menyatakan bahwa pengkreditan pajak masukan tidak dapat
diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa
sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; Pada saat perusahaan
sudah memulai produksi dan berencana untuk pengadaan kendaraan, maka agar pajak masukan atas
perolehan kendaraan dapat dikreditkan, PKP harus menghindari pemilihan kendaraan jenis sedan
dan station wagon.
f. Pertimbangan ditetapkan menjadi Pengusaha Kawasan Berikat.
Jika perusahaan yang didirikan dipastikan akan berorientasi ekspor secara dominan, maka agar

A
cashflow perusahaan dapat digunakan secara maksimal untuk kebutuhan modal kerja, perusahaan

C
dapat mempertimbangkan untuk ditetapkan menjadi pengusaha Kawasan Berikat. Dengan
ditetapkannya perusahaan sebagai pengusaha kawasan berikat maka atas penyerahan BKP dan/atau

A
JKP berikut ini mendapat fasilitas PPN tidak dipungut:
1) Pemasukan barang dari tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan Berikat untuk diolah lebih

W
lanjut;

S
2) Pemasukan kembali barang dan Hasil Produksi Kawasan Berikat dalam rangka subkontrak dari

I
Kawasan Berikat lain atau perusahaan industri di tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan

S
Berikat;
3) Pemasukan kembali mesin dan/atau cetakan (moulding) dalam rangka peminjaman dari Kawasan

A
Berikat lain atau perusahaan di tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan Berikat;

E
4) Pemasukan Hasil Produksi Kawasan Berikat lain, atau perusahaan di tempat lain dalam daerah
pabean yang Bahan Baku untuk menghasilkan hasil produksi berasal dari tempat lain dalam

B
daerah pabean, untuk diolah lebih lanjut oleh Kawasan Berikat;
5) Pemasukan hasil produksi yang berasal dari Kawasan Berikat lain, atau perusahaan di tempat

H
lain dalam daerah pabean yang Bahan Baku untuk menghasilkan hasil produksi tersebut berasal

I
dari tempat lain dalam daerah pabean, yang semata-mata akan digabungkan dengan barang Hasil

A
Produksi Kawasan Berikat untuk diekspor; atau
6) Pemasukan pengemas dan alat bantu pengemas dari tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan

R
Berikat untuk menjadi satu kesatuan dengan Hasil Produksi Kawasan Berikat.

E
Penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak

P
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), tidak dipungut Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, diberikan atas pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang akan diolah
lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat.

Barang yang mendapat fasilitas pembebasan PPN ataupun PPN tidak dipungut adalah barang yang bukan
merupakan barang untuk dikonsumsi di Kawasan Berikat, seperti makanan, minuman, bahan bakar
minyak, dan pelumas.

Atas pemasukan barang impor ke Kawasan Berikat belum diberlakukan ketentuan pembatasan di bidang
impor kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ikatan Akuntan Indonesia 139


MANAJEMEN PERPAJAKAN

11.2 Pada Saat Pelaksanaan Kegiatan Usaha

11.2.1 Pengendalian atas Pajak Keluaran dan Faktur Pajak Tertentu


Maksud dari pengendalian atas pajak keluaran adalah memastikan bahwa semua objek PPN yang PPN-nya
harus dipungut oleh PKP berdasarkan ketentuan perundang-undangan PPN, telah dipenuhi dan tidak ada
yang terlewati. Untuk itu sebaiknya selalu dilakukan koordinasi antara divisi/subdivisi perpajakan dengan
bagian operasional lain perusahaan agar setiap rencana selalu dikonsultasikan dengan Divisi/subdivisi
perpajakan. Kelalaian memungut PPN atas suatu objek PPN akan merugikan perusahaan karena jika
dilakukan pemeriksaan atau verifikasi atau himbauan selain akan dikenakan PPN yang seharusnya terutang,
juga akan dikenakan sanksi administrasi, setidak-tidaknya sanksi administrasi pasal 13 ayat (2) KUP sebesar
2% per bulan maksimum sanksi untuk 24 bulan dan sanksi denda pasal 14 ayat (4) KUP sebesar 2% dari

A
Dasar Pengenaan PPN. Padahal PPN bukanlah pajak yang menjadi beban pihak perusahaan, melainkan
menjadi beban pihak yang dipungut yang akhirnya bermuara kepada konsumen akhir; namun kelalaian

C
memungut PPN atas suatu objek PPN, selain akan dikenakan sanksi administrasi juga akan ditagihkan
pokok PPN-nya kepada PKP yang bersangkutan dan tentu saja menjadi beban PKP tersebut.

A
Kewajiban memungut PPN terkait erat dengan objek PPN; berdasarkan Pasal 4 ayat (1l) juncto Pasal 16C

W
dan 16D Undang-undang PPN, yang menjadi objek PPN adalah:

S
1. Penyerahan BKP dan JKP, meliputi:

I
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

S
b. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

A
c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
d. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

E
e. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.

B
2. Perolehan BKP dan JKP, meliputi:
a. Impor Barang Kena Pajak.

H
b. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

I
Pabean;
c. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

A
3. Pasal 16 C UU PPN

R
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau

E
digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

P
4. Pasal 16 D UU PPN
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan
aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(8) huruf b dan huruf c.

Walaupun:

1. Impor Barang Kena Pajak.


2. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
3. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

Tidak terkait dengan pajak keluaran bahkan terkait dengan pajak masukan, namun PIB dan PPN Impor
harus disetor sendiri oleh PKP yang melakukan impor; demikian juga dengan PPN atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean, menjadi kewajiban PKP yang membayarkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau jasa kena

140 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

pajak tersebut untuk menyetorkan PPN-nya ke kas negara. PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang telah disetor
oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan sebagai pajak masukan; namun kelalaian menyetorkan PPN
atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean selain akan ditagihkan pokok pajaknya dan dikenakan sanksi administrasi Pasal
13 ayat (2) dan Pasal 14 ayat (4) KUP; PPN yang disetor tersebut tidak dapat dikreditkan sebagai pajak
masukan (Pasal 9 ayat (8) huruf h UU PPN).

Termasuk dalam pengendalian pajak keluaran adalah adanya transaksi perusahaan yang termasuk dalam
ketegori pemberian cuma-cuma dan pemakaian sendiri.
Berdasarkan Pasal 1A UU PPN, pemberian cuma-cuma dan pemakaian sendiri termasuk dalam pengertian
penyerahan yang terutang PPN. Yang dimaksud dengan “pemakaian sendiri” adalah pemakaian untuk

A
kepentingan PKP yang bersangkutan, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun
bukan produksi sendiri.

C
Yang dimaksud dengan “pemberian cuma-cuma” adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik

A
barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi
kepada relasi atau pembeli.

W
Pasal 5 Peraturan Pemerintah RI (PP) Nomor 1 Tahun 2012 menyatakan sebagai berikut:

1.

IS
Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan penyerahan Barang Kena

S
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

A
2. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat

E
(1) meliputi pemakaian sendiri untuk:

B
a. Tujuan produktif; atau
b. Tujuan konsumtif.

H
3. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif tidak

I
dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan penyerahan yang:

A
a. tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau

R
b. mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
4. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak

E
dalam rangka pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan

P
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Yang dimaksud dengan “Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan
produktif ” adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan
untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
manajemen.

Yang dimaksud dengan “Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan
konsumtif ” adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak ada kaitan dengan
kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan
manajemen.

Ikatan Akuntan Indonesia 141


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Contoh pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak:

1. Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif:
a. Pabrikan minuman ringan menggunakan hasil produksinya untuk konsumsi karyawan atau para
tamu.
b. Pabrikan sepatu dalam rangka promosi membeli topi dengan logo merek sepatu pabrik tersebut
dan sebagian dibagikan kepada karyawannya.
c. Perusahaan telekomunikasi selular memberikan fasilitas bebas biaya telepon selular kepada para
direksinya.
2. Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata
digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Pengusaha
yang bersangkutan:

A
a. Pabrikan truk mempergunakan sendiri truk yang diproduksinya untuk kegiatan usaha
mengangkut suku cadang.

C
b. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai
pengeras jalan di lingkungan pabrik.

A
c. Perusahaan telekomunikasi menggunakan saluran teleponnya untuk kegiatan operasional
perusahaan dalam berkomunikasi dengan mitra bisnisnya.

W
3. Pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang nyata-nyata

S
digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya:

I
a. Pabrikan minyak kelapa sawit menggunakan limbahnya berupa kulit dari inti sawit sebagai bahan

S
pembakaran boiler dalam proses pabrikasi.

A
b. Pabrikan kayu lapis (plywood) menggunakan hasil produksinya berupa kayu lapis (plywood)
untuk membungkus kayu lapis (plywood) yang akan dipasarkan agar tidak rusak.

E
c. Perusahaan telekomunikasi menggunakan sambungan saluran teleponnya untuk melakukan

B
penyerahan jasa provider internet kepada konsumennya.

Jadi yang harus diperhatikan oleh PKP adalah pengeluaran perusahaan berupa pemberian cuma-cuma dan

H
pemakaian sendiri yang sifatnya konsumtif baik dalam rangka biaya promosi maupun pemberian bantuan

I
barang dan jasa, karena kedua penyerahan tersebut sudah merupakan objek PPN yang harus dipungut PPN-

A
nya. Kelalaian memungut PPN atas pemberian cuma-cuma dan pemakaian sendiri, selain akan ditagihkan
pokok pajaknya juga akan dikenakan sanksi administrasi Pasal 13 ayat (2) KUP dan Pasal 14 ayat (4) KUP

R
yang tentu akan memboroskan keuangan perusahaan.

PPN.

PE
Hal lain yang harus diperhatikan adalah memastikan adanya penghasilan lain-lain yang merupakan objek

Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPN antara lain menyatakan:


Penyerahan barang yang dikenai pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;


2. Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
3. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
4. Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

Jadi jika ada penghasilan lain-lain diluar usaha tetapi diperoleh perusahaan masih terkait dengan kegiatan
usahanya maka penghasilan tersebut memenuhi syarat sebagai objek PPN.

142 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Pengendalian Terhadap Faktur Pajak Keluaran


Pengendalian terhadap faktur pajak keluaran merupakan hal yang penting agar tidak memboroskan
keuangan perusahaan karena adanya sanksi administrasi yang disebabkan faktur pajak yang diterbitkan
oleh PKP tersebut tidak memenuhi syarat formal dan material.

Agar faktur pajak yang diterbitkan PKP memenuhi syarat formal maka PKP harus memperhatikan ketentuan
faktur pajak yang diatur Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN juncto Peraturan Dirjen Pajak No. PER - 24/
PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka
Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak; sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak No. 08/PJ/2013.

Selain masalah pembuatan, pembetulan atau penggantian, dan pembatalan faktur pajak, hal yang harus

A
diperhatikan PKP terkait faktur pajak adalah waktu penerbitan dan pelaporan faktur pajak.

C
Terkait waktu penerbitan faktur pajak, hal yang harus diperhatikan PKP adalah:

1. Faktur Pajak atas penjualan yang dibuat “terlalu cepat” dibandingkan dengan pelunasan atas tagihan

A
penjualan akan menyebabkan kesulitan cashflow.

W
Berdasarkan PP No.1 Tahun 2012 PPN terutang pada saat dilakukan penyerahan BKP dan/atau JKP

S
kecuali adanya penerimaan uang muka yang mendahului penyerahan BKP dan/atau JKP. Didasarkan

I
atas hal ini maka faktur pajak harus diterbitkan pada saat terjadinya penyerahan BKP dan/atau JKP

S
atau pada saat diterimanya uang muka penjualan. Penerbitan faktur pajak keluaran pada suatu
masa pajak, mengharuskan PKP Penerbit faktur pajak untuk menyetorkan kekurangan PPN akibat

A
penerbitan faktur pajak tersebut paling lambat sebelum dilaporkannya SPT Masa PPN di akhir

E
bulan berikutnya. Kewajiban untuk menyetorkan PPN atas faktur pajak yang diterbitkan di akhir
bulan berikutnya (sebelum pelaporan SPT Masa PPN) dapat memboroskan cashflow perusahaan jika

B
Perusahaan pembeli/penerima BKP/JKP sangat lambat dalam melakukan pembayaran atas tagihan
penjualan/penyerahan BKP/JKP yang PPN-nya sudah harus terlebih dulu disetor oleh perusahaan

IH
yang melakukan penjualan/penyerahan BKP/JKP. Untuk mengatasi hal ini sebaiknya perusahaan
memperlakukan pembeli/penerima BKP/JKP yang pembayarannya lebih lama dari 1 bulan maka:

A
a. Diwajibkan menyetorkan uang muka setidak-tidaknya sejumlah PPN yang akan disetorkan oleh

R
perusahaan, sehingga perusahaan tidak perlu mengorbankan cashflow-nya untuk membayarkan

E
terlebih dahulu PPN atas tagihan yang belum dilunasi oleh Pembeli tersebut.
b. Jika Pembeli tersebut tidak bersedia menyetorkan uang muka, maka strategi yang dapat dipakai

P
adalah melakukan penyerahan BKP/JKP dan menerbitkan faktur pajak pada saat penyerahan di
awal bulan, sehingga diharapkan dalam jangka waktu dua bulan ke depan Pembeli tersebut sudah
melunasi tagihan perusahaan dan perusahaan tidak perlu mengorbankan cashflow-nya untuk
membayarkan terlebih dahulu PPN yang terutang.

2. Faktur Pajak yang dibuat terlambat akan dikenakan sanksi administrasi.


Keterlambatan menerbitkan faktur pajak dari waktu yang seharusnya akan dikenakan sanksi
administrasi pasal 14 ayat (4) KUP bahkan jika keterlambatannya melebihi batas waktu 3(tiga) bulan
dari waktu seharusnya dibuat faktur pajak, maka PKP yang bersangkutan dianggap tidak menerbitkan
faktur pajak. Oleh karena hal ini maka sebaiknya perusahaan harus mempunyai pengendalian yang
memadai agar tidak ada faktur pajak yang terlambat diterbitkan; sehingga perusahaan terhindar dari
sanksi administrasi yang tidak perlu.

Ikatan Akuntan Indonesia 143


MANAJEMEN PERPAJAKAN

11.2.2 Pengendalian atas Pajak Masukan


Terkait pajak masukan yang harus diperhatikan adalah ketentuan yang diatur Pasal 9 ayat (8) Undang-
undang PPN.

Pasal 9 ayat (8) Undang-undang PPN menyatakan:


Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi
pengeluaran untuk:

a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha;

A
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan;

C
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

A
e. Dihapus;

W
f. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat,

IS
dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
g. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah

S
Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

A
ayat (6);
h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan

E
ketetapan pajak;

B
i. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang pajak masukannya tidak dilaporkan
dalam surat pemberitahuan masa pajak pertambahan nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan

H
pemeriksaan; dan

I
j. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena

A
Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).

R
Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN, secara berlawanan dapat diartikan bahwa Pajak masukan yang
dapat dikreditkan adalan pajak masukan yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Menyikapi hal

E
ini, perusahaan harus bisa memilah agar tidak terjadi suatu pajak masukan yang seharusnya bisa dikreditkan

P
tetapi tidak dikreditkan oleh perusahaan dan sebaliknya. Jika ada pajak masukan yang seharusnya bisa
dikreditkan tetapi perusahaan lalai tidak mengkreditkannya, maka hal ini dapat memboroskan cashflow
perusahaan jika PPN dalam masa tersebut secara keseluruhan masih kurang bayar; kebalikannya, jika ada
pajak masukan yang seharusnya tidak bisa dikreditkan tetapi oleh perusahaan lalai dikreditkan maka selain
akan terkena sanksi Pasal 13 ayat (2) KUP juga berisiko terkena sanksi Pasal 13 ayat (3) KUP dalam hal
terjadi kelebihan bayar PPN karena pengkreditan pajak masukan yang tidak seharusnya. Sanksi yang besar
ini tentu sangat memboroskan keuangan perusahaan.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN, secara berlawanan dapat diartikan bahwa Pajak masukan
yang dapat dikreditkan adalan pajak masukan yang faktur pajaknya memenuhi persyaratan formal dan
material sebagaimana diatur Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) UU PPN. Untuk itu pihak perusahaan harus
selalu mengecek fisik dari faktur pajak yang diterimanya agar memenuhi kedua persyaratan sebagaimana
diatur pasal Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) UU PPN.

144 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

11.2.3 Pengendalian atas Pemenuhan Kewajiban Administrasi PPN


Pasal 14 ayat (4) juncto Pasal 14 ayat (1) huruf f UU KUP mengatur bahwa keterlambatan Pengusaha Kena
Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak akan dikenakan sanksi
administrasi STP berupa denda 2% dari dasar pengenaan PPN. Agar terhindar dari sanksi Pasal 14 ayat (4)
ini, Perusahaan harus menjamin bahwa tidak ada keterlambatan dalam melaporkan faktur pajak yang telah
diterbitkan.

11.3 Pada Saat Pembubaran Perusahaan

Terkait dengan pembubaran perusahaan, hal yang harus diperhatikan perusahaan adalah ketentuan Pasal

A
1A ayat (1) huruf e UU PPN yang menyatakan:

C
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak adalah:

A
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aset yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,
yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.

W
Artinya pada saat pembubaran perusahaan, PKP yang bersangkutan harus memungut dan menyetorkan

IS
PPN yang terutang atas Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aset yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan. Jika pada saat

S
pembubaran perusahaan masih ada tersisa barang atau bahan baku yang telah rusak dan menjadi kerugian

A
perusahaan, maka pajak masukan atas perolehan barang atau bahan baku yang telah rusak tersebut tetap
dapat dikreditkan; demikian juga dengan adanya piutang yang tak tertagih hingga saat pembubaran

E
perusahaan, piutang tak tertagih tersebut tidak membuat pembatalan atas faktur pajak keluaran yang PPN

B
nya sudah disetorkan oleh perusahaan (PP No. 1 Tahun 2012).

IH
RA
PE

Ikatan Akuntan Indonesia 145


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Kasus: Perencanaan dan Pengendalian PPN

PT JAPANINDO SNACK (PT JS) adalah perusahaan patungan yang dibentuk antara PT INDOSNACK
MAKMUR (PT IM) dan JAPAN FOOD CORPORATION (JFC) dengan komposisi kepemilikan saham JFC
60% dan PT IM 40%.

PT JS berdiri Juli 2013 setelah mendapat persetujuan dari BKPM, pengurusan semua izin usaha, pengesahan
akta pendirian dan mendapat NPWP yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta Setiabudi Satu. Modal disetor
awal PT JS sebesar Rp500.000.000.000.

Sejak awal pembentukan PT JS, para pemilik sepakat agar PT JS dapat segera beroperasi maka PT JS akan
membeli 2 (dua) pabrik milik PT INDOSNACK JAYA (PT IJ) yang merupakan perusahaan satu grup dengan
PT IM. Dua pabrik milik PT IJ berlokasi di Sidoarjo dan Mojokerto. PT IJ terdaftar di KPP Madya Sidoarjo.

CA
Berikut data aset yang akan dijual oleh PT IJ kepada PT JS untuk masing-masing pabrik per 31 Juli 2013:
PABRIK SIDOARJO

No Jenis Aset

A
Nilai Buku Nilai Appraisal
Keterangan

W
(Rp) (Rp)

S
Nilai menurut NJOP Rp
1 Tanah 500.000.000 7.000.000.000

I
4.500.000.000

S
Nilai menurut NJOP Rp
2 Bangunan 6.455.500.000 20.000.000.000
10.000.000.000

A
3 Mesin dan peralatan pabrik 22.675.500.000 25.000.000.000

E
4 Peralatan kantor 1.350.000.000 1.500.000.000

B
Kendaraan:

H
-Jenis Minibus (10 Unit) 900.000.000 1.250.000.000 Perolehan sblm & ssdh 2010

I
5 -Jenis Jeep (2 unit) 120.000.000 200.000.000 Perolehan sebelum 2010

A
-Jenis sedan (5 Unit) 4.500.000.000 5.250.000.000 Perolehan sblm & ssdh 2010

R
-Jenis lainnya (25 unit) 5.250.000.000 6.000.000.000 Perolehan sblm & ssdh 2010

PE
Bahan baku & barang jadi
Jumlah

PABRIK MOJOKERTO
1.250.000.000
43.000.000.000
1.250.000.000
67.450.000.000

Nilai Buku Nilai Appraisal


No Jenis Aset Keterangan
(Rp) (Rp)
Nilai menurut NJOP Rp
1 Tanah 1.000.000.000 12.000.000.000
8.500.000.000
Nilai menurut NJOP Rp
2 Bangunan 12.460.000.000 48.000.000.000
35.000.000.000
3 Mesin dan peralatan pabrik 36.850.000.000 38.000.000.000
4 Peralatan kantor 2.150.000.000 2.400.000.000

146 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Kendaraan:

-Jenis Minibus (15 Unit) 1.350.000.000 1.800.000.000 Perolehan sblm & ssdh 2010

5 -Jenis Jeep (1 unit) 100.000.000 200.000.000 Perolehan sebelum 2010

-Jenis sedan (10 Unit) 7.500.000.000 8.500.000.000 Perolehan sblm & ssdh 2010

-Jenis lainnya (35 unit) 7.350.000.000 8.000.000.000 Perolehan sblm & ssdh 2010
6 Bahan baku & barang jadi 2.250.000.000 2.250.000.000
JUMLAH 71.010.000.000 121.150.000.000

Pada 22 Agustus 2013 ditandatangani akta penjualan aset oleh PT IJ kepada PT JS dengan harga penjualan

A
berdasarkan nilai appraiser per 31 Juli 2013.

C
Pertanyaan:
1. Kapan dan dimana sebaiknya PT JS melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai

A
Pengusaha Kena Pajak? Jelaskan alasannya!

W
2. Berapa nilai PPN yang harus dipungut oleh PT IJ dari transaksi pengalihan aset kepada PT JS?
Jelaskan!

IS
3. Berapa jumlah PPN yang dapat dikreditkan sebagai kredit pajak masukan PT JS dan apa saja syarat
yang harus dipenuhi agar PPN tersebut dapat dikreditkan sebagai pajak masukan PT JS?

S
4. Apakah pajak masukan yang dapat dikreditkan tersebut dapat direstitusi? Jika ya apa alasan dan

A
syaratnya?
5. Jika PPN atas perolehan aset PT JS dari pembelian ke PT IJ dapat direstitusi, apakah sebaiknya PPN

E
masukan tersebut direstitusi atau tetap dikompensasi? Apa dasar alasan yang harus dipertimbangkan

B
untuk mengambil keputusan restitusi atau kompensasi?

H
Lanjutan kasus

I
Setelah terjadi pengalihan aset PT JS memulai kegiatan operasional usahanya per 1 September 2013.

A
Sepanjang September s.d Desember 2013 terjadi transaksi-transaksi sebagai berikut:

R
September

E
1. Membeli bahan baku dan mesin yang diperlukan untuk kegiatan produksi secara impor dengan nilai
impor masing-masing, untuk bahan baku Rp25.000.000.000; Untuk mesin Rp20.000.000.000.

P
2. Membeli bahan baku di pasar domestik senilai Rp30.000.000.000
3. Membeli kendaraan jenis SUV untuk direksi senilai Rp3.000.000.000
4. Mengadakan acara gathering dan temu pers, membeli aksesoris untuk gift pada saat gathering senilai
Rp1.250.000.000.
5. Membayar sewa gedung kantor di Jalan Jend. Sudirman Jakarta senilai Rp10.000.000.000
6. Melakukan penjualan kepada para distributor yang telah ditunjuk senilai Rp80.000.000.000

Oktober
1. Membeli bahan baku secara impor dengan nilai impor Rp30.000.000.000 dan membeli bahan baku
di pasar domestik senilai Rp20.000.000.000
2. Membayar royalti kepada JFC (Japan) atas pemakaian merk milik PT JFC senilai ekuivalen
Rp10.000.000.000
3. Memberikan contoh produk secara gratis kepada para distributor dan beberapa perusahaan ternama
senilai Rp 2.500.000.000 (harga jual dengan laba termasuk didalamnya 20%)
4. Melakukan penjualan kepada para distributor yang telah ditunjuk senilai Rp90.000.000.000

Ikatan Akuntan Indonesia 147


MANAJEMEN PERPAJAKAN

November
1. Membeli bahan baku secara impor dengan nilai impor Rp40.000.000.000 dan membeli bahan baku
di pasar domestik senilai Rp20.000.000.000
2. Membayar royalti kepada PT IM atas pemakaian merk milik PT IM senilai Rp8.000.000.000
3. Memberikan produk perusahaan kepada:
a. Kepada para karyawan senilai Rp300.000.000 (harga jual dengan laba termasuk didalamnya 20%).
b. Beberapa panti asuhan di Jawa Timur senilai Rp400.000.000 (harga jual dengan laba termasuk
didalamnya 20%).
4. Melakukan penjualan kepada para distributor yang telah ditunjuk di seluruh Indonesia kecuali Pulau
Batam senilai Rp100.000.000.000.
5. Melakukan penjualan kepada distributor di kawasan bebas pulai Batam senilai Rp3.000.000.000

A
Desember

C
1. Membeli bahan baku secara impor dengan nilai impor Rp10.000.000.000 dan membeli bahan baku
di pasar domestik senilai Rp10.000.000.000

A
2. Menjual produk ke PT Pertamina senilai Rp2.000.000.000
3. Melakukan penjualan kepada para distributor yang telah ditunjuk senilai Rp70.000.000.000

Pertanyaan:

SW
I
1. Hitunglah jumlah PPN Masukan dan keluaran dari transaksi September sd Desember 2013; Lalu

S
tentukan berapa Jumlah PPN yang kurang/(lebih) bayar akhir masa Desember 2013!
2. Apa yang sebaiknya dilakukan oleh PT JS untuk menghemat cashflow-nya setidak-tidaknya

A
penghematan dari pembebasan PPN?

E
3. Bagaimana perlakuan PPN atas pejualan kepada Distributor di Kawasan Bebas Pulau Batam? Hal
apa saja yang harus diperhatikan oleh PT JS agar tidak terkena sanksi dari transaksi penjualannya

B
kepada distributor di kawasan bebas Pulau Batam?
4. Bagaimana perlakuan PPN atas pejualan kepada PT Pertamina? Hal apa saja yang harus diperhatikan

H
oleh PT JS agar tidak terkena sanksi dari transaksi penjualannya kepada PT Pertamina?

I
5. Jika tahun 2014 PT JS berencana melakukan pembelian kendaraan sebanyak 10 unit untuk keperluan

A
para manajer puncak PT JS, hal apa yang harus diperhatikan terkait dengan tax saving pada PPN ?
6. Berikan saran-saran agar PT JS

R
• Dapat menghemat cashflow PPN

E
• Dapat memaksimumkan pengkreditan pajak masukan

P
• Terhindar dari sanksi di bidang PPN

Jawaban
1. PT JS sebaiknya dikukuhkan sebagai PKP sebelum terjadinya pengalihan aset dari PT IJ yaitu
sebelum tanggal 22 Agustus 2013. PT JS sudah harus dikukuhkan sebagai PKP hal ini dilakukan agar
seluruh pajak masukan yang dibayarkan oleh PT JS kepada PT IJ dapat dikreditkan oleh PT JS. PT
JS sebaiknya melaporkan diri menjadi PKP di KPP Pratama Sidoarjo dan KPP Pratama Mojokerto
karena jika PT JS dikukuhkan sebagai PKP di Jakarta maka pajak masukan di Sidoarjo dan di
Mojokerto tidak dapat dikreditkan.

148 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

2.
Nilai Appraisal
No Jenis Aset PM dapat
Pabrik Sidoarjo Pabrik Mojokerto Total Keterangan
dikreditkan
1. Tanah 7.000.000.000 12.000.000.000 19.000.000.000 1.900.000.000
2. Bangunan 20.000.000.000 48.000.000.000 68.000.000.000 6.800.000.000
Mesin dan
3. 25.000.000.000 38.000.000.000 63.000.000.000 6.300.000.000
peralatan pabrik
4.. Peralatan kantor 1.500.000.000 2.400.000.000 3.900.000.000 390.000.000

Kendaraan: Kendaraan: Kendaraan: Kendaraan:

A
- Minibus 1.250.000.000 1.800.000.000 3.050.000.000 305.000.000

C
Sesuai Pasal
5. - Jeep *) 0 0 0 9(8) UU No.
18/2000

A
- Sedan *) 0 0 0
Sesuai Pasal

W
- Lainnya 6.000.000.000 8.000.000 6.008.000.000 9(8) UU No
18/2000

IS
Bahan baku dan
6. 1.250.000.000 2.250.000.000 3.500.00.000 600.800.000
barang jadi

S
Jumlah 62.000.000.000 104.458.000.000 166.458.000.000 16.645.800.000

A
*) Tidak dipungut PPN Pasal 16D karena Pajak Masukan atas perolehan aset tersebut tidak dapat dikreditkan

3.
4.
5. E
Seluruh Pajak Masukan dapat dikreditkan, syaratnya PT JS harus segera berproduksi

B
Ya dapat direstitusi, syaratnya harus ada kegiatan produksi
Sebaiknya dipertimbangkan bahwa restitusi akan membutuhkan waktu setidak-tidaknya 12 bulan

H
dan jika terjadi sengketa yang meningkat ke proses keberatan dan banding setidak-tidaknya paling

I
cepat butuh eaktu 3 x 12 bulan = 36 bulan.

Jawaban lanjutan
1.

RA
E
PM Dapat
Bulan DPP Pajak Masukan Pajak Keluaran

P
dikreditkan
September
Bahan baku Impor 25.000.000.000 2.500.000.000 2.500.000.000
Mesin impor 20.000.000.000 2.000.000.000 2.000.000.000
Bahan baku dari pasar
30.000.000.000 3.000.000.000 3.000.000.000
domestik
Pembelian SUV 3.000.000.000 300.000.000 300.000.000
Mengadakan Gathering 1.250.000.000 125.000.000
Pembayaran sewa gedung 10.000.000.000 1.000.000.000
Penjualan Kepada
distributor yang telah 80.000.000.000 8.000.000.000
ditunjuk

JUMLAH 169.250.000.000 8.925.000.000 8.000.000.000 7.800.000.000

Ikatan Akuntan Indonesia 149


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Oktober
Bahan baku impor 30.000.000.000 3.000.000.000 3.000.000.000
Bahan baku dari pasar
20.000.000.000 2.000.000.000 2.000.000.000
domestik
Royalti kepada PT JFC 10.000.000.000 1.000.000.000 1.000.000.000
Sample kepada distributor
2.500.000.000 208.333.333
(termasuk laba 20%)
Penjualan kepada
distributor yang telah 90.000.000.000 9.000.000.000
ditunjuk

JUMLAH 152.500.000.000 6.000.000.000 9.208.333.333 6.000.000.000

A
November

C
Bahan baku impor 40.000.000.000 800.000.000 800.000.000

A
Bahan baku dari pasar
20.000.000.000 400.000.000 400.000.000
domestik

W
Royalti kepada PT IM 8.000.000.000 1.200.000.000 1.200.000.000

S
Memberikan produk

I
kepada karyawan (harga 300.000.000 25.000.000

S
jual termasuk laba 20%)
Memberikan produk ke panti

A
asuhan di Jawa Timur (harga 400.000.000 33.333.333

E
jual termasuk laba 20%)
Penjualan kepada

B
distributor di seluruh 100.000.000.000 10.000.000.000
Indonesia

H
Dengan syarat

I
Penjualan kepada ada PP FTZ-03
distributor di kawasan 3.000.000.000 yang diendorse

A
-
bebas pulau Batam oleh KPP
Madya Batam

R
JUMLAH 171.700.000.000 2.400.000.000 10.058.333.333 2.400.000.000

E
Desember

P
Bahan baku impor 10.000.000.000 200.000.000 200.000.000
Bahan baku dari pasar
10.000.000.000 200.000.000 200.000.000
domestik
Pajak Keluaran
Penjualan Produk
2.000.000.000 dipungut oleh
ke PT Pertamina -
Pertamina
Penjualan kepada
distributor yang telah 70.000.000.000 7.000.000.000
ditunjuk
JUMLAH 92.000.000.000 400.000.000 7.000.000.000 400.000.000

150 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Resume Penghitungan PM (dapat


PK
PPN Desember 2013 dikreditkan)
Agustus - 16.645.800.000
September 8.000.000.000 7.800.000.000
Oktober 9.208.333.333 6.000.000.000
November 10.058.333.333 2.400.000.000
Desember 7.000.000.000 400.000.000
34.266.666.667 33.245.800.000
KURANG
PK - PM 1.020.866.667
BAYAR

2.

CA
Untuk menghemat cashflow PT JS dapat melakukan permohonan agar diterbitkan Surat Keterangan
Bebas pemungutan PPN baik atas perolehan ataupun impor barang modal berupa mesin dan

A
peralatan pabrik.
3. Penyerahan BKP berwujud ke kawasan bebas Pulau Batam mendapat fasilitas PPN tidak dipungut;

W
untuk itu PT JS harus meminta dokumen dari pembeli di Pulau Batam berupa dokumen PP FTZ-03
yang diendorse oleh KPP Madya Batam yang menyatakan mendapat fasilitas PPN tidak dipungut

IS
dan Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT JS harus di cap “PPN tidak dipungut sesua PP Nomor 10

S
Tahun 2012”.
4. Dikarenakan PT Pertamina sebagai BUMN ditunjuk sebagai pemungut PPN maka penyerahan PT JS

A
kepada PT Pertamina PPNnya dipungut oleh PT Pertamina untuk itu faktur pajak dibuat PT JS pada

E
saat penagihan dan dilaporkan pada masa PT Pertamina melunasi tagihan tersebut.
5. Menurut Pasal 9 ayat (8) UU PPN dinyatakan bahwa PPN atas perolehan kendaraan, termasuk biaya

B
perawatannya atas kendaraan jenis sedan dan station wagon.
6. Agar dapat menghemat cashflow PT JS dapat melakukan permohonan agar diterbitkan Surat

H
Keterangan Bebas pemungutan PPN baik atas perolehan ataupun impor barang modal berupa

I
mesin dan peralatan pabrik. PT JS harus mampu mengendalikan Pajak Masukan sehingga dapat

A
memaksimalkan pengelolaan cashflow dimana Pajak Masukan yang seharusnya dikreditkan telah
dapat dikreditkan dengan benar dan terhindar dari cacat material dan formal sehingga terhindar

R
dari sanksi administratif. Memohon pemusatan PPN di kantor pusatnya di Jakarta sehingga seluruh

E
Pajak Masukan di Jakarta pun dapat dikresitkan sebagai Pajak Masukan.

Ikatan Akuntan Indonesia 151


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

152 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab XII SW
S I
PERENCANAANAPAJAK
E
DENGAN PEMANFAATAN
B
BERAGAM IHFASILITAS
A
PERPAJAKAN
R
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 153
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB XII
PERENCANAAN PAJAK DENGAN
PEMANFAATAN BERAGAM FASILITAS PERPAJAKAN

12.1 Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh)

Fasilitas PPh dapat dibagi atas:

1. Fasilitas PPh untuk WP Badan yang berlaku umum

A
Berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif Pasal 17 Undang-undang PPh.

C
Pasal 31 E ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
terakhir diubah dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (selanjutnya disebut Undang-undang

A
PPh) memberikan fasilitas sebagai sebagai berikut:
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000 (lima

W
puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)

S
dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas

I
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000 (empat miliar

S
delapan ratus juta rupiah).
Fasilitas pengurangan tarif 50% dari tarif pasal 17 Undang-undang PPh ini berlaku umum untuk:

A
Semua WP Badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto kurang dari atau sampai dengan

E
Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar Rupiah) setahun, dengan syarat:

B
a. Atas peredaran brutonya tidak dikenakan PPh Final.
b. Pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-undang PPh dikenakan
atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000.
2.

IH
Fasilitas PPh untuk WP Badan yang berlaku khusus untuk kondisi, wilayah, dan/atau industri tertentu.
a. Fasilitas pengurangan tarif 5% lebih rendah dari tarif umum PPh Pasal 17 ayat (1) b UU PPh untuk

A
WP Badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh

R
persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya.

E
Fasilitas ini didasarkan pada Pasal 17 ayat (2b) Undang-undang PPh yang menyatakan:

P
Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40%
(empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima
persen) lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a)
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 17 ayat (2b) UU PPh adalah PP No. 77 Tahun
2013 Pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 77 Tahun 2013 menyatakan:
1) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka dapat memperoleh
penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari tarif Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan dalam negeri.
2) Penurunan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
Wajib Pajak Badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka setelah memenuhi
persyaratan:
a) Paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
dicatat untuk diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan masuk dalam penitipan

154 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

kolektif di lembaga penyimpanan dan penyelesaian;


b) Saham sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dimiliki oleh paling sedikit 300 Pihak;
c) masing-masing Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya boleh memiliki
saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang ditempatkan dan
disetor penuh; dan
d) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c harus dipenuhi
dalam waktu paling singkat 183 (seratus delapan puluh tiga) hari kalender dalam jangka
waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
b. Fasilitas Pasal 31A Undang-undang PPh diberikan kepada:
Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di
daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan
fasilitas perpajakan.

A
Bentuk fasilitas:

C
1) Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman
yang dilakukan;

A
2) Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
3) Kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan

W
4) Pengenaan pajak penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 sebesar

S
10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku

I
menetapkan lebih rendah.

S
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 31 A UU PPh adalah:

A
Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2007 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah No. 52 tahun 2011.

E
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur hal-hal sebagai berikut:

B
Pasal 1

H
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

I
1. Penanaman modal adalah investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang
digunakan untuk kegiatan utama usaha, baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan

A
dari usaha yang telah ada.

R
2. Aktiva tetap berwujud adalah aktiva berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1 (satu) tahun yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun lebih dahulu, yang

E
digunakan dalam operasi perusahaan, tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan atau

P
dipindahtangankan.
3. Perluasan dari usaha yang telah ada adalah suatu kegiatan dalam rangka peningkatan
kuantitas/kualitas produk, diversifikasi produk, atau perluasan wilayah operasi dalam rangka
pengembangan kegiatan dan produksi perusahaan.
4. Bidang-bidang usaha tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat
prioritas tinggi dalam skala nasional.
5. Daerah-daerah tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan.

Pasal 2 ayat (1)


Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi yang
melakukan penanaman modal pada:
a. Bidang-bidang usaha tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan
Pemerintah ini; atau
b. Bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran II Peraturan Pemerintah ini, dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.

Ikatan Akuntan Indonesia 155


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Pasal 2 ayat (2)


Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman
modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per
tahun;
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut:

Tarif Penyusutan &Amortisasi


Masa manfaat
Kelompok Aktiva Tetap Berwujud berdasarkan Metode
Menjadi
Garis Lurus Saldo Menurun
Bukan Bangunan :

A
Kelompok I 2 tahun 50 % 100 %

C
Kelompok II 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok III 8 tahun 12,5 % 25 %

A
Kelompok IV 10 tahun 10 % 20 %

W
Bangunan:

S
Permanen 10 tahun 10 % ----

I
Tidak Permanen 5 tahun 20 % ---

c.

AS
Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri
sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran

E
Pajak Berganda yang berlaku; dan

B
d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)
tahun dengan ketentuan:

H
1) tambahan 1 tahun: apabila penanaman modal baru pada bidang usaha yang diatur pada

I
ayat (1) huruf a dilakukan di kawasan industri dan kawasan berikat;
2) tambahan 1 tahun: apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima ratus) orang

A
tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut:

R
3) tambahan 1 tahun: apabila penanaman modal baru memerlukan investasi/pengeluaran
untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar

E
Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah);

P
4) tambahan 1 tahun: apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam
negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5%
(lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau
5) tambahan 1 tahun: apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi
dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahun ke 4 (empat).

Pasal 2 ayat (2a) & (3)


Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan setelah Wajib
Pajak merealisasikan rencana penanaman modal paling sedikit 80% (delapan puluh persen).
Menteri Keuangan menerbitkan keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan setelah
mempertimbangkan usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Pasal 3
Wajib Pajak yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), sebelum lewat
jangka waktu 6 (enam) tahun sejak tanggal pemberian fasilitas tidak boleh:

156 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

a. Menggunakan aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas untuk tujuan selain yang diberikan
fasilitas; atau
b. Mengalihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas kecuali aktiva
tetap yang dialihkan tersebut diganti dengan aktiva tetap baru.
Bidang-bidang usaha tertentu dan daerah tertentu yang mendapatkan fasilitas sebagaimana
dimaksud pasal 2 ayat (2): lihat lampiran i dan ii PP nomor 1 tahun 2007 sebagaimana terakhir
diubah dengan PP nomor 52 tahun 2011
Tatacara untuk mendapatkan fasilitas Pasal 31A UU PPh sebagaimana diatur oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 sebagaimana terakhir diubah dengan PP Nomor 52 Tahun 2011
adalah sebagai berikut:
1. Wajib Pajak mengajukan permohonan kepada Kepala BKPM untuk kemudian diusulkan
kepada Menteri Keuangan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 1 (satu) tahun sejak

A
izin penanaman modal atau izin perluasan penanaman modal diterbitkan oleh Kepala Badan

C
Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang.
2. Selanjutnya kepala BKPM menyampaikan usulan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur

A
Jenderal Pajak dengan dilampiri dokumen berupa:
a. Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;

W
b. Fotokopi surat permohonan Wajib Pajak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman

S
Modal;

I
c. Izin penanaman modal atau izin perluasan penanaman modal yang diterbitkan oleh Kepala

S
Badan Koordinasi Penanaman Modal atau instansi lain yang berwenang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

A
d. Rincian jenis dan nilai Penanaman Modal.

E
3. Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan persetujuan

B
atau penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari kerja terhitung sejak usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman modal
diterima secara lengkap.

IH
4. Jika wajib pajak mendapat persetujuan, maka untuk dapat memanfaatkan fasilitas Pajak
Penghasilan tersebut, Wajib Pajak mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak

A
untuk memperoleh keputusan mengenai realisasi Penanaman Modal sebesar 80% (delapan

R
puluh persen) dari rencana Penanaman Modal. (Peraturan Menteri Keuangan No. 144/
PMK.03/2012)

E
c. Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan PPh Badan dalam Rangka Penanamam Modal berdasarkan

P
Pasal 29 PP 94 Tahun 2010 untuk WP Badan yang melakukan penanaman modal baru yang
merupakan industri pionir, yang tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31A Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 29 ayat (1) dan (2) PP 94 tahun 2010 menyatakan:
Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal baru yang merupakan industri pionir,
yang tidak mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak
Penghasilan dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal.
Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah industri yang memiliki keterkaitan
yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru,
serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Fasilitas ini diberikan kepada:
WP Badan yang bergerak di Industri Pionir mencakup:
a. Industri logam dasar;
b. Industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak

Ikatan Akuntan Indonesia 157


MANAJEMEN PERPAJAKAN

bumi dan gas alam;


c. Industri permesinan;
d. Industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau
e. Industri peralatan komunikasi.
Dengan kriteria:
1. Mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari
instansi yang berwenang paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah);
2. Menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total
rencana penanaman modal tersebut di atas, dan tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya
pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan
3. Harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia .

A
Bentuk Fasilitas:

C
Tahap Pertama
Pembebasan Pajak Penghasilan badan dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)

A
Tahun Pajak dan paling singkat 5 (lima) Tahun Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya
produksi komersial.

Tahap Berikutnya

SW
I
Setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan tahap pertama,

S
Wajib Pajak diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 50% (lima puluh persen)

A
dari Pajak Penghasilan terutang selama 2 (dua) Tahun Pajak.

E
Dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai
strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas pembebasan

B
atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dengan jangka waktu melebihi jangka waktu yang
telah ditetapkan.

IH
Tata Cara untuk Mendapatkan Fasilitas Ini

A
Wajib Pajak menyampaikan permohonan kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal.

ER
Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal setelah berkoordinasi
dengan menteri terkait, menyampaikan usulan kepada Menteri Keuangan, dengan melampirkan

P
fotokopi:
a. Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. Surat persetujuan penanaman modal baru yang diterbitkan oleh Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal, yang dilengkapi dengan rinciannya; dan
c. Bukti penempatan dana di perbankan di Indonesia sebagaimana yang telah disyaratkan.

Penyampaian usulan oleh Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
harus disertai dengan uraian penelitian mengenai hal-hal sebagai berikut:

a. Ketersediaan infrastruktur di lokasi investasi;


b. Penyerapan tenaga kerja domestik;
c. Kajian mengenai pemenuhan kriteria sebagai industri pionir;
d. Rencana tahapan alih teknologi yang jelas dan konkret; dan
e. Adanya ketentuan mengenai tax sparing di negara domisili.

158 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Atas usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
yang disampaikan oleh Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
Menteri Keuangan menugaskan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan
Pajak Penghasilan badan untuk membantu melakukan penelitian dan verifikasi dengan
mempertimbangkan dampak strategis Wajib Pajak bagi perekonomian nasional. komite verifikasi
pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dibentuk oleh Menteri
Keuangan. Komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan
dalam melakukan fungsinya berkonsultasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Kemudian Komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan
badan menyampaikan hasil penelitian dan verifikasi kepada Menteri Keuangan disertai dengan
pertimbangan dan rekomendasi. Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Presiden
mengambil keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui pemberian fasilitas pembebasan

A
atau pengurangan Pajak Penghasilan badan.

C
(Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang pemberian fasilitas pembebasan
atau pengurangan Pajak Penghasilan badan).

A
d. Fasilitas Pajak untuk Industri di Kawasan Ekonomi Khusus.

W
Fasilitas ini diberikan kepada:

S
WP Badan yang melakukan kegiatan usaha industri di kawasan yang telah ditetapkan sebagai

I
kawasan ekonomi khusus.

S
Untuk saat ini kawasan yang sudah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah

A
KEK Bitung, KEK Sei Mangkei, KEK Tanjung Lesung dan KEK Morotai.

E
Bentuk Fasilitas:

B
Untuk PPh bisa berupa pengurangan atau pembebasan PPh dan untuk PPN mendapat fasilitas

H
PPN tidak dipungut.

I
(Undang-undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Terpadu).

A
e. Fasilitas Pajak untuk industri di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

R
Fasilitas ini diberikan kepada:

E
WP Badan yang melakukan kegiatan usaha industri di kawasan yang telah ditetapkan sebagai

P
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

Untuk saat ini kawasan yang sudah ditetapkan KAPET adalah : KAPET Batulicin, KAPET Natuna,
KAPET Biak, KAPET Samarinda, Sanga-Sanga dan Muara Jawa, dan Balikpapan; KAPET Sanggau,
KAPET Manado-Bitung, KAPET Mbay, KAPET Pare-pare, KAPET Seram, KAPET Bima, KAPET
Batui, KAPET Buton, Kolaka dan Kendari, KAPET Daerah Aliran Sungai Kahayan, Kapuas dan
Barito, dan KAPET Sabang.

Bentuk Fasilitas:
Fasilitas Pajak Penghasilan meliputi:

a. Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman
modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per
tahun;

Ikatan Akuntan Indonesia 159


MANAJEMEN PERPAJAKAN

b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut:

Kelompok Aktiva Tetap Berwujud Masa manfaat Tarif Penyusutan &Amortisasi


Menjadi berdasarkan Metode
Garis Lurus Saldo Menurun
Bukan Bangunan:
Kelompok I 2 tahun 50 % 100 %
Kelompok II 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok III 8 tahun 12,5 % 25 %
Kelompok IV 10 tahun 10 % 20 %

A
Bangunan:
Permanen 10 tahun 10 % ----

C
Tidak Permanen 5 tahun 20 % ---

c.
A
Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri

W
sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran

S
Pajak Berganda yang berlaku; dan

I
d. Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh)

S
tahun.

A
Fasilitas PPN

E
Kepada Pengusaha di Kawasan Berikat, untuk selanjutnya disebut PDKB, di dalam wilayah KAPET

B
dapat diberikan fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas:

H
a. Impor barang modal atau peralatan lain oleh PDKB yang berhubungan langsung dengan

I
kegiatan produksi;

A
b. Impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB;
c. Pemasukan Barang Kena Pajak dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya, untuk selanjutnya

R
disebut DPIL, ke PDKB untuk diolah lebih lanjut;

E
d. Pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut;

P
e. Pengeluaran barang dan atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB
lainnya dalam rangka subkontrak;
f. Penyerahan kembali Barang Kena Pajak hasill pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha Kena
Pajak di DPIL atau PDKB lainnya kepada Pengusaha Kena Pajak PDKB asal;
g. Peminjaman mesin dan atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada
perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal.

Tata cara untuk memperoleh Fasilitas PPh dan PPN di kawasan KAPET
WP mengajukan Permohonan fasilitas diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan disertai:

a. Surat Penunjukan Pelaksana Proyek dari Badan Pengelola KAPET;


b. Surat Keterangan Persetujuan Berusaha di Kawasan Berikat dari Penyelenggara Kawasan
Berikat, khusus untuk PDKB;
c. Daftar Barang yang dibeli/diperoleh yang telah diketahui oleh Badan Pengelola KAPET.

160 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Atas permohonan tersebut Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan.

Surat Keterangan PPN dan PPnBM Tidak Dipungut disampaikan kepada Direktur Jenderal Bea
dan Cukai untuk dilaksanakan.

Setelah menerima Surat Keterangan PPN dan PPnBM Tidak Dipungut dari Direktur Jenderal
Pajak, Direktur Jenderal Bea dan Cukai membubuhkan cap “PPN dan PPnBM Tidak Dipungut
eks Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perlakuan Perpajakan Di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu” dengan mencantumkan tanggal dan nomor Surat Keterangan
Direktur Jenderal Pajak tentang PPN dan PPnBM Tidak Dipungut pada dokumen Pemberitahuan
Impor Barang (PIB) dan formulir Bukti Pungutan Pajak dan Impor.

Tindasan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak disampaikan kepada Badan Pengelola KAPET,

A
instansi lain yang terkait, dan Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN/Ketua
Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam hal pemohon adalah perusahaan dalam rangka PMA/

C
PMDN.

A
Dasar hukum:

W
1. Peraturan Pemerintah Nomor: 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan Di Kawasan

S
Pengembangan Ekonomi Terpadu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah

I
Nomor 147 Tahun 2000.

S
2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 200/KMK.04/2000 tentang Perlakuan Perpajakan dan
Kepabeanan Di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu sebagaimana telah diubah dengan

A
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 11/KMK.04/2001.

E
f. Fasilitas PPh ditanggung Pemerintah atas Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan

B
Hibah atau Dana Pinjaman Luar Negeri.

Fasilitas ini diberikan kepada:

IH
kontraktor, konsultan dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka
pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana pinjaman

A
luar negeri.

R
Bentuk Fasilitas

E
Fasilitas Pajak Penghasilan:

P
i. Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh kontraktor,
konsultan dan pemasok (supplier) utama dari pekerjaan yang dilakukan dalam rangka
pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah dan atau dana
pinjaman luar negeri, ditanggung oleh Pemerintah.
ii. Untuk WP berbentuk BUT maka atas PPh Pasal 26 ayat (4) yang bersumber dari dari pekerjaan
yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan
dana hibah dan atau dana pinjaman luar negeri, juga ditanggung oleh Pemerintah.

Fasilitas Bea Masuk


Bea Masuk dan Bea Masuk Tambahan yang terutang atas impor dalam rangka pelaksanaan Proyek
Pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri, dibebaskan.

Ikatan Akuntan Indonesia 161


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Fasilitas PPN
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang atas impor serta
penyerahan Barang dan Jasa dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang dibiayai dengan
hibah atau dana pinjaman luar negeri, tidak dipungut.

Tatacara untuk Memperoleh Fasilitas:


Untuk PPh dengan pembuktian penunjukan sebagai kontraktor utama dari pekerjaan yang
dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana hibah
dan atau dana pinjaman luar negeri.

Untuk PPN
Daftar barang yang akan diimpor (master list) dibuat oleh Pemimpin Proyek (Pimpro) sesuai

A
dengan kontrak dan disyahkan oleh Pejabat Eselon I atau pejabat yang ditunjuk yang membawahi

C
proyek bersangkutan. Satu eksemplar kontrak beserta Masterlist disampaikan oleh Pimpro kepada
Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Satu eksemplar kontrak harus disampaikan

A
kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat dimana Kontraktor Utama terdaftar sebagai Wajib Pajak,
apabila belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, maka kontrak tersebut disampaikan kepada

W
Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing.

IS
Dasar Hukum:

S
1. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1995 tentang Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan Dalam

A
Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah yang Dibiayai dengan Hibah atau Dana Pinjaman

E
Luar Negeri sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25

B
Tahun 2001
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-4/PJ.03/2008 tentang Penegasan tentang

H
Pengenaan PPh Pasal 26 ayat (4) sehubungan dengan PPh yang Diterima atau Diperoleh BUT

I
yang melaksanakan Proyek Pemerintah yang Dananya berasal dari Hibah dan/atau Dana
Pinjaman Luar Negeri.

RA
12.2 Fasilitas PPN dan Pembebasan Bea Masuk

E
Pada bagian muka sudah diuraikan bahwa fasilitas PPN dan Pembebasan bea masuk diberlakukan pada:

P
1. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)
2. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
3. Impor impor serta penyerahan Barang dan Jasa dalam rangka pelaksanaan Proyek Pemerintah yang
dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri mengenai dasar hukum dan tatacaranya dapat
dilihat di bagian muka modul ini.

Khusus Fasilitas PPN dan/atau PPnBM dan/atau Bea Masuk selain ketiga hal yang sudah diuraikan dimuka,
berikut diuraikan Fasilitas yang khusus berlaku untuk PPN dan/atau PPnBM dan/atau Bea Masuk:
1. Fasilitas Pembebasan PPN untuk BKP tertentu bersifat strategis yang impor & penyerahannya
mendapat pembebasan PPN.
Sesuai PP Nomor 12 Tahun 2001 yang telah diubah terakhir dengan PP Nomor 31 Tahun 2007 BKP
tertentu bersifat strategis yang impor & penyerahannya mendapat pembebasan PPN adalah sebagai
berikut:
a. Barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas,
tidak termasuk suku cadang;

162 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

harus ada SKB (surat keterangan bebas) pemungutan PPN dan dalam jangka waktu 5 tahun tidak
boleh dialihkan; jika dialihkan maka akan diterbitkan SKPKB.
b. Makanan ternak, unggas, dan ikan, dan/atau bahan baku untuk pembuatan makanan ternak,
unggas dan ikan;
c. Barang hasil pertanian;
Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
i. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
ii. Peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau
iii. Perikanan baik dari penangkapan atau budidaya, yang dipetik langsung, diambil langsung
atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk
memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan
dalam lampiran peraturan pemerintah ini.

A
d. Bibit dan/atau benih dari barang pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran

C
atau perikanan;
e. Air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh perusahaan air minum;

A
f. Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) watt; dan;
g. Rumah susun sederhana milik (RUSUNAMI).

W
2.Fasilitas Pembebasan PPN untuk BKP dan/atau JKP tertentu yang impor & penyerahannya mendapat

S
pembebasan PPN.

I
Sesuai PP Nomor 146 Tahun 2000 yang telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2003 BKP dan/atau

S
JKP tertentu yang impor & penyerahannya mendapat pembebasan PPN adalah sebagai berikut:
a. Barang Kena Pajak Tertentu yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan

A
Nilai adalah:

E
i. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara,

B
alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan
khusus lainnya, serta suku cadangnya yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, Tentara
Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) atau oleh pihak

IH
lain yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI untuk melakukan impor
tersebut, dan komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri, yang diimpor oleh

A
PT (PERSERO) PINDAD, yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk

R
keperluan Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI;
ii. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);

E
iii. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;

P
iv. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan,
kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta
alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan
Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan
Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
v. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan
manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan
atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan
Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan
atau reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
vi. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana
yang diimpor dan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia, dan komponen atau
bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia,
yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau

Ikatan Akuntan Indonesia 163


MANAJEMEN PERPAJAKAN

pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api
Indonesia; dan
vii. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan atau TNI
untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan
untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Departemen Pertahanan, TNI
atau pihak yang ditunjuk oleh Departemen Pertahanan atau TNI.”
b. Barang Barang Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai adalah:
i. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama
mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri
Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah;
ii. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, alat

A
angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli dan kendaraan angkutan khusus

C
lainnya, serta suku cadangnya yang diserahkan kepada Departemen Pertahanan, TNI atau
POLRI, dan komponen atau bahan yang diperlukan dalam pembuatan senjata dan amunisi

A
oleh PT (PERSERO) PINDAD untuk keperluan Departemen Pertahanan, TNI atau POLRI;
iii. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);

W
iv. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;

S
v. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan,

I
kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat

S
keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia yang diserahkan kepada dan digunakan oleh
Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan

A
Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan

E
Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
vi. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan

B
manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diserahkan kepada dan digunakan
oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional dan suku cadang serta peralatan untuk

H
perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh

I
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa

A
perawatan atau reparasi Pesawat Udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
vii. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta

R
prasarana yang diserahkan kepada dan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia

E
dan komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh PT (PERSERO)

P
Kereta Api Indonesia, yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan
untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO)
Kereta Api Indonesia;
viii. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo
udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan Nasional yang
diserahkan kepada Departemen Pertahanan atau TNI.”
c. Jasa Kena Pajak Tertentu yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai adalah:
i. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan Penangkapan
Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan
Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi:
a. Jasa persewaan kapal;
b. Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh;
c. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal;
ii. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi:
a) Jasa persewaan pesawat udara;

164 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Perusahaan angkutan udara niaga nasional sebagai pihak yang menyewa pesawat.
b) Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara;
iii. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PERSERO) Kereta Api
Indonesia;
iv. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 angka 1 dan pembangunan tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah;
v. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana; dan
vi. Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan dalam rangka
penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung
pertahanan nasional.”
3. Fasilitas untuk BKP tertentu yang impornya mendapat pembebasan Bea Masuk dan atas PPN
nya mendapat fasilitas tidak dipungut sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/

A
KMK.03/2001 yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.011/2013.

C
BKP tertentu yang mendapat fasilitas pembebasan PPN dan sekaligus mendapat fasilitas PPN tidak
dipungut atas impornya adalah: barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi hulu

A
minyak dan gas bumi serta panas bumi.
Dengan syarat :

W
a. Barang tersebut belum dapat diproduksi dalam negeri;

S
b. Barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun belum memenuhi spesifikasi yang

I
dibutuhkan; atau

S
c. Barang tersebut sudah diproduksi dalam negeri, namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan
industri.
4.

A
Fasilitas PPN dan Kepabeanan untuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
Berdasarkan PP Nomor 10 Tahun 2012:

E
B
a. Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, yang
selanjutnya disebut Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum

H
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari

I
pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
b. Pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean diberikan pembebasan bea masuk,

A
pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan,

R
dan/atau pembebasan cukai.
c. Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean melalui pelabuhan

E
atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), tidak dipungut

P
PPN.
d. Pemasukan Barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean yang tidak melalui
pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2),dipungut
PPN dan/atau cukai.
e. Barang Kena Pajak yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean
terutang Pajak Pertambahan Nilai.
f. Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan
Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
g. Penyerahan Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang
penyerahannya tidak dilakukan di Kawasan Bebas, dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
h. Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas,
tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
5. Fasilitas PPN tidak dipungut dan kepabeanan untuk Pengusaha di Kawasan Berikat dan Pengusaha
Kawasan Berikat.
Fasilitas PPN tidak dipungut dan pembebasan PPN untuk Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB)

Ikatan Akuntan Indonesia 165


MANAJEMEN PERPAJAKAN

atau Pegusaha Kawasan berikat:


Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) dan (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang
Kawasan Berikat yang telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/
PMK.04/2013, yang menyatakan:
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) tidak dipungut atas:
a. Pemasukan barang dari tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan Berikat untuk diolah lebih
lanjut;
b. Pemasukan kembali barang dan Hasil Produksi Kawasan Berikat dalam rangka subkontrak dari
Kawasan Berikat lain atau perusahaan industri di tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan
Berikat;
c. Pemasukan kembali mesin dan/atau cetakan (moulding) dalam rangka peminjaman dari Kawasan

A
Berikat lain atau perusahaan di tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan Berikat;

C
d. Pemasukan Hasil Produksi Kawasan Berikat lain, atau perusahaan di tempat lain dalam daerah
pabean yang Bahan Baku untuk menghasilkan hasil produksi berasal dari tempat lain dalam

A
daerah pabean, untuk diolah lebih lanjut oleh Kawasan Berikat;
e. Pemasukan hasil produksi yang berasal dari Kawasan Berikat lain, atau perusahaan di tempat

W
lain dalam daerah pabean yang Bahan Baku untuk menghasilkan hasil produksi tersebut berasal

S
dari tempat lain dalam daerah pabean, yang semata-mata akan digabungkan dengan barang Hasil

I
Produksi Kawasan Berikat untuk diekspor;atau

S
f. Pemasukan pengemas dan alat bantu pengemas dari tempat lain dalam daerah pabean ke Kawasan
Berikat untuk menjadi satu kesatuan dengan Hasil Produksi Kawasan Berikat.

A
Penangguhan Bea Masuk, pembebasan Cukai, pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau

E
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), tidak dipungut
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor, diberikan atas pemasukan barang dari Kawasan Bebas yang

B
akan diolah lebih lanjut dan/atau digabungkan dengan hasil produksi di Kawasan Berikat.
Barang yang mendapat fasilitas pembebasan PPN ataupun PPN tidak dipungut adalah barang yang

H
bukan merupakan barang untuk dikonsumsi di Kawasan Berikat, seperti makanan, minuman, bahan

I
bakar minyak, dan pelumas.

A
Atas Pemasukan barang impor ke Kawasan Berikat belum diberlakukan ketentuan pembatasan di
bidang impor kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

ER
P

166 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Kasus: Pemanfaatan Tax Incentive

Kasus: CV TERNAK SAPI


CV TERNAK SAPI (CV TS) adalah perusahaan peternakan sapi yang kegiatan usahanya terbagi atas dua
divisi sebagai berikut:

1. Divisi pembibitan dan penggemukan sapi potong.


Yang menghasilkan sapi potong untuk dijual kepada pihak lain.
2. Divisi sapi perah.
Yang menghasilkan susu sapi murni yang kemudian diproses secara pasteurisasi sehingga menjadi
susu sapi murni yang siap dikonsumsi.

A
CV TS didirikan sejak tahun 2001 dan saat ini terdaftar di KPP Pratama Ciawi. Sepanjang tahun 2012 CV
TS memperoleh pendapatan yang berasal dari:

1. Penjualan susu murni senilai Rp50.000.000.000 (kapasitas 10.000.000 liter).

C
A
2. Penjualan sapi potong Rp50.000.000.000 (kapasitas 4.800 ekor sapi).

W
Untuk tahun 2013 CV TS berencana melakukan perluasan usaha untuk peningkatan kapasitas produksinya
dimana kapasitas produksi susu ditargetkan tiga kali lipat dari saat ini dan kapasitas produksi sapi potong

IS
ditargetkan menjadi 4 kali lipat dari kondisi saat ini.

S
Untuk keperluan perluasan usaha tersebut CV TS akan mengeluarkan belanja modal sebesar Rp75 Milyar

A
untuk perluasan usaha divisi sapi perah dan Rp150 milyar untuk perluasan usaha divisi sapi potong.

E
Pertanyaan:

B
1. Berikan pertimbangan Saudara agar CV TS dapat mengefisienkan beban pajak atas rencana perluasan
usahanya!

H
2. Berikan juga tatacara penghitungan penghematan pajaknya jika CV TS dapat memanfaatkan fasilitas

I
pajak yang ada!
3. Langkah-langkah apa saja yang harus ditempuh CV TS untuk dapat memanfaatkan fasilitas perpajakan

A
tersebut?

Jawaban:
1.

ER
Agar PT TS dapat mengefisienkan beban pajaknya CV TS dapat memanfaatkan fasilitas sebagaimana

P
diatur Pasal 17 ayat (2b) UU PPh dan menggabungkannya dengan fasilitas Pasal 31A UU PPh.
Untuk dapat memanfaatkan fasilitas Pasal 17 ayat (2b) UU PPh maka status CV TS diubah menjadi PT
lalu untuk dana perluasan usahanya PT TS bisa mendapatkan dana perluasan usaha tersebut dari emisi
saham baru di publik dengan jumlah saham yang diterbitkan mencapai 40% dari seluruh saham yang
beredar.
Dengan fasilitas ini PT TS Tbk akan mendapat pengurangan tarif PPh dari 25% menjadi 20%.
Selain itu untuk divisi penggemukan sapi potong PT TS Tbk dapat memperoleh tax allowance
berdasarkan Pasal 31A berupa:
a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang
dilakukan;
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. Kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun;
Jadi dengan memanfaatkan gabungan fasilitas Pasal 17 ayat (2b) UU PPh dan Pasal 31A UU PPh
maka PT TS Tbk selain mendapat tax allowance (khusus untuk divisi sapi potong) sekaligus mendapat
pengurangan tarif PPh menjadi 20% (untuk seluruh kegiatan usaha).

Ikatan Akuntan Indonesia 167


MANAJEMEN PERPAJAKAN

2. Jika CV TS dapat menerapkan langkah-langkah sebagaimana jawaban 1 di atas maka harus dilakukan
perbandingan hitungan sebagai berikut:
i. Jika CV TS tidak mengubah statusnya menjadi PT TS Tbk maka CV TS tidak mendapatkan satu
fasilitas apapun juga, namun atas pembagian laba kepada pemilik tidak dikenakan PPh (bukan
merupakan objek PPh).
ii. Jika CV TS mengubah statusnya hanya menjadi PT saja maka PT TS hanya akan dapat memanfaatkan
fasilitas PPh Pasal 31 A berupa tax allowance yang dapat dihitung sebagai berikut:

Estimasi Laba kena pajak (setelah perluasan) xxxxxxx


-/- 30% X Jumlah penanaman modal (xxxxxxxx)
-/- Selisih jumlah penyusutan atas aset perluasan yang dipercepat*) (xxxxxxxx)
Penghasilan kena pajak xxxxxxxx

*) untuk aset tetap (kecuali tanah) atas perluasan usaha sapi potong saja.

CA
A
Penghasilan kena pajak tersebut dikalikan tarif 25%.

W
Lalu untuk mengetahui penghematan pajaknya; selisihkan hasil penghitungan PPh dengan adanya

S
tax allowance dengan tidak adanya tax allowance; hasil selisih tersebut bandingkan dengan PPh

I
yang harus dibayar (tarif 10%) jika laba atas perluasan tersebut dibagikan ke pemilik; jika selisihnya

S
lebih besar selisih berdasarkan penghitungan yang mendapat fasilitas tax allowance maka sebaiknya
CV TS memanfaatkan fasilitas pasal 31A jika tidak maka status CV dapat dipertahankan.

EA
iii. Jika CV TS ingin memaksimalkan penghematan pajaknya maka CV TS memadukan fasilitas pasal
17 ayat (2b) UU PPh dengan fasilitas pasal 31A UU PPh yang penghitungannya sebagai berikut:

B
Estimasi Laba kena pajak (setelah perluasan) xxxxxxx

H
-/- 30% X Jumlah penanaman modal (xxxxxxxx)

I
-/- Selisih jumlah penyusutan atas aset perluasan yang dipercepat*) (xxxxxxxx)
Penghasilan kena pajak xxxxxxxx

RA
*) untuk aset tetap (kecuali tanah) atas perluasan usaha sapi potong saja.

E
Penghasilan kena pajak tersebut dikalikan tarif 25% dikurangi 5% yaitu 20%.

3.
P
Langkah-langkah yang harus ditempuh CV TS untuk memanfaatkan fasilitas Pasal 17 ayat (2b)
adalah berubah bentuk menjadi PT TS lalu melakukan emisi saham publik (IPO). Kemudian untuk
mendapatkan fasilitas pasal 31A berupa tax allowance maka CV TS harus melakukan langkah-langkah
sebagai berikut:
i. Mengubah bentuk usaha menjadi PT
ii. Melaporkan dan mengurus persetujuan untuk mendapat fasilitas tax allowance melalui BKPM
ii. Syarat untuk mendapat fasilitas pasal 31A untuk sapi potong maka harus diperhatikan agar:
a. Jika dilakukan pembibitan maka pembibitan tersebut minimal 5.000 ekor/th
b. Jika dilakukan penggemukan sapi maka yang dilakukan penggemukan adalah sapi lokal dan
jumlahnya harus mininal 5.000 ekor/siklus.

168 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Kasus: PT Royal Property Tbk.


PT Royal Property TBK (PT RP Tbk) adalah perusahaan properti yang kegiatan usahanya meliputi penjualan
tanah, tanah dan bangunan, ataupun bangunan saja berupa unit-unit apartemen ataupun unit/kios mall.

Hingga akhir tahun 2013 PT RP Tbk telah menjual sahamnya di publik dengan komposisi 20% saham
publik sedangkan 80% saham PT RP Tbk dimiliki oleh grup Royal.

Untuk tahun 2014 PT RP Tbk berencana melakukan perluasan usaha sebagai berikut:

1. Memperluas kegiatan usaha sebagai pengembang yang akan menjual tanah dan bangunan diluar pulau
Jawa; untuk perluasan usaha ini PT RP Tbk membutuhkan tambahan belanja modal sebesar Rp300
Milyar.
Untuk kebutuhan tambahan belanja modal ini PT RP Tbk berencana menerbitkan emisi saham baru yang

A
akan dijual via Bursa Efek Indonesia sehingga total saham yang diperdagangkan di BEI menjadi 35%

C
2. Melakukan diversifikasi usaha dengan membangun kawasan wisata terpadu di Sukabumi; Untuk
diversifikasi usaha ini PT RP Tbk membutuhkan tambahan belanja modal sebesar Rp200 Milyar.

A
Untuk kebutuhan tambahan belanja modal diversifikasi ini PT RP Tbk berencana menerbitkan surat
utang yang akan dijual kepada investor strategis senilai Rp75 Milyar; kemudian sisanya mengambil

W
pinjaman bank.

Pertanyaan :

IS
S
1. Terkait rencana perluasan usaha dan diversifikasi usaha PT RP Tbk, Saudara diminta untuk

A
memberikan saran agar PT RP Tbk dapat memaksimumkan fasilitas perpajakan yang ada sehingga
dapat menghemat beban pajak perusahaan!

E
2. Langkah apa yang harus dilakukan oleh PT RP Tbk untuk dapat memenuhi syarat agar PT RP Tbk

B
dapat memanfaatkan fasilitas pajak yang ada?

H
Jawaban:

I
1. Untuk rencana perluasan usahanya sebaiknya PT RP Tbk melakukan emisi saham sd 40% (minimal)

A
sehingga PT RP Tbk bisa mendapat pengurangan tarif dengan pengurangan 5%; namun karena PT RP
Tbk kegiatan usahanya adalah pengalihan tanah dan/atau bangunan yang pengenaan PPh-nya final 5%

R
maka pengurangan tarif pasal 17 ayat (1) b UU PPh ini menjadi tidak berlaku.

E
Untuk itu agar PT RP Tbk dapat memanfaatkan fasilitas pengurangan tarif sesuai pasal 17 ayat (1)

P
b UU PPh maka sebaiknya dana hasil emisi saham baru dengan total keseluruhan saham beredar di
publik minimal 40% maka sebaiknya dana hasil emisi saham baru tersebut digunakan untuk perluasan
usaha membangun kawasan pariwisata terpadu (yang dikenakan PPh tidak final).
Dengan demikian maka PT RP Tbk akan mendapat 2 fasilitas sekaligus yaitu pengurangan tarif 5%
atas PPh hasil kegiatan usaha berupa kawasan wisata terpadu dan tax allowance sesuai pasal 31A UU
PPh berupa:
a. Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang
dilakukan;
b. Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. Kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun;
Hasil emisi saham 40% yang lebih tersebut selain dapat dipergunakan untuk pembangunan kawasan
wisata terpadu maka dapat pula digunakan untuk perluasan usaha sebagai developer; kekurangan dana
setelah ditutupi dari hasil emisi saham baru; barulah menggunakan pinjaman dengan penerbitan
obligasi.
2. Untuk mendapatkan fasilitas pasal 31A maka rencana perluasan dan perolehan fasilitasnya harus
mendapatkan persetujuan yang diurus melalui BKPM.

Ikatan Akuntan Indonesia 169


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

170 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab XIII SW
I
KONSEP DASARAS
PERPAJAKAN BE
H
INTERNASIONAL
I
R A
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 171
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB XIII
KONSEP DASAR PERPAJAKAN INTERNASIONAL

13.1 Perpajakan Internasional

Istilah “perpajakan internasional” mungkin dianggap sebagai istilah yang tidak cocok menurut Arnold,
definisi perpajakan internasional mengacu kepada aspek internasional dari hukum pajak penghasilan dari
suatu negara tertentu. Secara umum, hukum pajak tidak bersifat internasional. Setiap negara berdaulat1
berhak menciptakan hukum pajak di masing-masing di negaranya. Hukum perpajakan internasional

A
kemudian muncul dari praktek kebiasaan yang berlaku secara internasional atau berdasarkan peran
serta aktif dari organisasi internasional seperti Organization for Economic Co-operation and Development

C
(“OECD”) dan United Nation (“UN”)2.

A
Ketika suatu individu atau badan yang melakukan aktivitas perpajakan di lintas negara, maka mereka
biasanya akan dikenakan pajak di kedua negara dengan sistem perpajakan yang berbeda di masing-

W
masing negara3. Oleh karena itu, maka sangat mungkin timbul masalah perpajakan berganda atas kegiatan

S
yang mereka lalukan tersebut. Alasannya adalah masing-masing negara mempunyai hak memajaki atas

I
penghasilan yang diterimanya berdasarkan faktor-faktor yang terkait (personal nexus)4.

S
Untuk menghindari dampak pengenaan perpajakan berganda yang terjadi di kedua negara, maka diperlukan

A
suatu perangkat perjanjian yang bertujuan untuk membagi hak pemajakan atas suatu jenis penghasilan

E
yang diterima oleh suatu individu atau badan tersebut. Alasan kedua negara (negara sumber dan negara
domisili) tersebut mengenakan pajak adalah:

1.

B
Negara sumber berhak untuk memajaki penghasilan yang bersumber dari negaranya; dan

H
2. Negara domisili berhak untuk memajaki penghasilan karena pihak yang memperoleh penghasilan

I
tersebut adalah subjek pajak dalam negeri di negaranya;

A
Saat ini, persetujuan penghindaran perpajakan berganda (“P3B”) atau sering disebut tax treaties yang ada
berjumlah melebihi dari 2000 P3B. Dengan adanya P3B ini, maka suatu negara mitra P3B dibatasi dalam

R
mengenakan pajak secara signifikan. Akan tetapi, P3B secara umum tidak mengenakan pajak. Namun,

E
dibanyak negara, P3B tersebut secara eksklusif meringankan beban pajak yang ditanggung oleh subjek pajak

P
dalam negeri. Meskipun, P3B merupakan perjanjian yang mengikat antara kedua negara yang berdaulat,
tetapi secara umum tidak mempunyai pengaruh kepada wajib pajak kecuali P3B secara spesifik dimasukan
ke dalam sistem perpajakan suatu negara berdasarkan ketentuan domestik.

Ruang lingkup perpajakan internasional sangat luas. Hal ini menekankan pada semua masalah pajak yang
muncul berdasarkan hukum pajak penghasilan suatu negara meliputi beberapa faktor yang berkaitan
dengan kegiatan luar negeri. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah:
1. Aspek pajak penghasilan dari kegiatan barang dan jasa antar negara;
2. Kegiatan manufaktur antar negara yang dilakukan oleh perusahaan multinasional;
3. Investasi yang dilakukan antar negara oleh individu atau dana investasi;
1 Terdapat dua aspek kedaulatan suatu negara yang mana ruang lingkup yurisdiksi fiskal suatu negara tergantung dari:
a. Kedaulatan Nasional (National Sovereignity), berlaku untuk penduduk dan subjek pajak dalam negeri suatu negara.
Negara diperbolehkan untuk menerapkan dalam yurisdiksinya, pengenaan pajak, kepada penduduknya dan subjek pajak dalam negerinya
dimanapun mereka berada.
b. Kedaulatan Wilayah (Territorial Sovereignity), didefinisikan berdasarkan acuan dimana suatu negara dapat menuntut pajak (fiscal
assertion) atas subjek pajak luar negeri.
Hoor, “The OECD Model Tax Convention, A Comprehensive technical analysis” Legitech (2011), hal. 25.
2 Arnold and McIntyre, “International Tax Primer” Kluwer Law International (2002), hal. 2.
3 Hoor, “The OECD Model Tax Convention, A Comprehensive technical analysis” Legitech (2011), hal. 17.
4 Lang,”Introduction to the Law of Double Taxation Convention ” dalam “Double Taxation Conventions”, IBFD (2011), hal. 23.

172 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

4. Perpajakan oleh individu yang bekerja atau melakukan kegiatan bisnis di luar negara dimana mereka
selalu bertempat tinggal.

Apabila suatu kegiatan termasuk dalam salah satu faktor di atas, maka masalah perpajakan internasional
ini muncul berdasarkan hukum pajak paling tidak di kedua negara5. Oleh karena itu, setiap individu dan
perusahaan yang melaksanakan kegiatan antar negara biasanya dikenakan pajak di yurisdiksi yang berbeda.
Dengan demikian, konflik hak pemajakan berdasarkan hukum pajak domestik dari yurisdiksi yang
bersangkutan seringkali menghasilkan perpajakan berganda (atau lebih). Dua bentuk perpajakan berganda
dapat dibedakan menjadi perpajakan berganda secara yuridis (“Juridical Double Taxation”) dan perpajakan
berganda secara ekonomis (“Economical Double Taxation”)6.

13.2 Juridical Double Taxation vs. Economical Double Taxation

Perpajakan berganda secara yuridis seringkali muncul karena sebagian besar negara, menambahkan
CA
A
pengenaan pajaknya atas harta domestik dan transaksi ekonomi, mengenakan pajak atas transaksi yang
dilakukan dan modal yang terletak di negara lain sejauh bahwa memberikan keuntungan kepada wajib

W
pajak dalam negeri. Definisi dari perpajakan berganda secara yuridis menurut Commentary Pasal 1 OECD

S
Model adalah sebagai berikut:

SI
“International juridical double taxation can be generally defined as the imposition of comparable taxes in two
(or more) States on the same taxpayer in respect of the same subject matter and for identical periods.”

A
Terjemahannya adalah:

BE
“Perpajakan berganda internasional secara umum dapat didefinisikan sebagai pengenaan pajak yang
berbeda di dua (atau lebih negara) pada wajib pajak pajak yang sama berkaitan dengan jenis penghasilan
atau modal yang sama dalam periode yang sama.”

IH
Berdasarkan uraian dalam Commentary OECD Model di atas, maka elemen yang masuk dalam perpajakan
berganda secara yuridis7 adalah sebagai berikut:

a.
b.

RA
Dikenakan pajak sebanding;
Lebih dari satu negara;

E
c. Pada wajib pajak yang sama;

P
d. Terkait dengan penghasilan dan modal yang sama;
e. Pada periode yang sama;

Sebagai contoh, penghasilan atau modal luar negeri dari subjek pajak dalam negeri individu atau badan
hukum seringkali dikenakan pajak berdasarkan “prinsip domisili atau principle of residence”. Dengan
demikian, penghasilan dipajaki di negara domisili. Akan tetapi, pada saat yang sama negara sumber
dapat memajaki subjek pajak luar negeri terkait dengan transaksi atau modal dalam wilayahnya,
berdasarkan “prinsip sumber atau principle of source”. Pada akhirnya akan menghasilkan konflik atas
hak pemajakan, tiap negara yang berbeda saling mengklaim untuk memajaki penghasilan tersebut8.

5 Arnold and McIntyre, “International Tax Primer” Kluwer Law International (2002), hal. 3
6 Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi, “Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional”, DANNYDARUSSALAM Tax Center (2010), hal. 4-5.
Lihat juga Hoor, “The OECD Model Tax Convention, A Comprehensive technical analysisi” Legitech (2011), hal. 28
7 Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi, “Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional”, DANNYDARUSSALAM Tax Center (2010), hal. 4.
Lihat juga Hoor, “The OECD Model Tax Convention, A Comprehensive technical analysisi” Legitech (2011), hal. 28
8 Hoor, “The OECD Model Tax Convention, A Comprehensive technical analysis” Legitech (2011), hal. 28

Ikatan Akuntan Indonesia 173


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Untuk ilustrasi atas perpajakan berganda secara yuridis, maka dapat dilihat pada bagan berikut:

Gambar 13.1. Ilustrasi perpajakan berganda secara yuridis

Investor

Negara A
Negara B Dividen: EUR
1.050.000

A
PPh Pemotongan

C
A
Sumber: Hoor, “The OECD Model Tax Convention, A Comprehensive technical analysis” Legitech (2011), hal. 28

W
Penjelasan Gambar 13.1:

S
1. Investor perorangan yang merupakan SPDN di negara A berpartisipasi di perusahaan yang merupakan

I
SPDN di negara B (“B-Co”).

S
2. B-Co membagikan dividen berjumlah EURO 1.050.000 yang merupakan objek dari PPh pemotongan/
pemungutan dengan tarif sebesar 15% di negara B, sehingga jumlah PPh yang dipotong adalah

A
sebesar EURO 157.500. PPh pemotongan/pemungutan dipajaki dengan sudut pandang investor

E
sebagai subjek pajak luar negeri di negara B.
3. Sebagai tambahan, penghasilan dividen dikenakan pajak secara penuh sebagai bagian dari penghasilan

B
investor yang diterima dari berbagai sumber (worldwide income) di negara A.
4. Dengan demikian, investor dikenakan pajak berganda secara yuridis di negara A dan di negara B.

IH
Sebagai tambahan, perpajakan berganda dapat muncul jika suatu pihak (person) dianggap menjadi SPDN

A
dari dua (atau lebih) negara (sebagai contoh, kasus SPDN ganda), beberapa negara memajaki penghasilan
dari berbagai sumber meskipun berdasarkan kewarganegaraannya tanpa melihat status SPDN mereka.

berikut:

ER
Dalam kasus perpajakan berganda secara ekonomis9, Commentary OECD mendefinisikannya sebagai

P
“…economic double taxation, i.e.where two different persons are taxable in respect of the same income orcapital.”

Terjemahannya adalah sebagai berikut:

“…perpajakan berganda ekonomis, sebagai contoh dimana dua pihak yang berbeda dikenakan pajak terkait
dengan penghasilan dan modal yang sama…”

Berdasarkan uraian dalam Commentary OECD Model di atas, maka elemen yang digunakan untuk
menggambarkan perpajakan berganda secara ekonomis adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan dan Modal yang sama;
2. Dipajaki sebanding;
3. Lebih dari satu negara;
4. Pada periode yang sama;
5. Pada wajib pajak yang berbeda;

9 Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi,”Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional”, DANNYDARUSSALAM Tax Center (2010), hal. 5.

174 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Dengan demikian, berbanding terbalik dengan perpajakan berganda secara yuridis, perpajakan berganda
secara ekonomis melibatkan perpajakan dari wajib pajak yang berbeda10.

Gambar 13.2. Ilustrasi perpajakan berganda secara ekonomis

Investor
Penghasilan Kena Pajak:
EUR 1.050.000

Negara A
Negara B Dividen: EUR 1.050.000

CA
A
Penghasilan Kena Pajak: EUR 1.500.000
Tarif PPh: 30% (EUR 450.000)

SW
Sumber: Hoor, “The OECD Model Tax Convention, A Comprehensive technical analysis” Legitech (2011), hal. 29

Penjelasan Gambar 13.2:


1.

SI
Mengacu contoh sebelumnya, B-Co merealisasikan penghasilan kena pajak sejumlah EUR 1.500.000

A
yang dikenakan pajak dengan tarif sebesar 30% di negara B (= EUR 450.000).

E
2. Penghasilan setelah dikenakan pajak adalah sebesar (EUR 1.050.000 = EUR 1.500.000 – EUR 450.000)
didistribusikan kepada pemegang saham tunggal dari B-Co, yang merupakan SPDN individu di

B
negara A.
3. Disini, penghasilan dividen dipajaki di negara A sebagai bagian dari penghasilan investor yang

H
diperoleh dari berbagai negara.

I
4. Akibatnya, penghasilan yang sama dipajaki pada level B-Co di negara B dan pada level investor di

A
negara A.

R
Sebagai tambahan, perpajakan berganda ekonomis merupakan hasil dari konflik peraturan terkait

E
dengan pemasukan atau penguragan elemen positif dan negatif dari penghasilan dan modal, sebagai
contoh penyesuaian dalam transfer pricing. Jika kedua negara menginginkan untuk memecahkan masalah

P
perpajakan berganda ekonomis, mereka harus melakukan negosiasi bilateral.

10 Hoor, “The OECD Model Tax Convention, A Comprehensive technical analysis” Legitech (2011), hal. 29

Ikatan Akuntan Indonesia 175


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Berikut ini mencerminkan karakteristik perpajakan berganda secara yuridis dan ekonomis:

Gambar 13.3. Ringkasan karakteristik perpajakan berganda

Karakteristik Perpajakan Berganda

Perpajakan Berganda Yuridis Perpajakan Berganda Ekonomis

-
-
Identitas wajib pajak;
Identitas penghasilan dan modal;
-
-
C
Tidak ada identitas wajib pajak;
Identitas penghasilan dan modal;A
A
- Identitas tahun pajak; - Identitas tahun pajak;
- Identitas atau kesamaan pajak; - Identitas atau kesamaan pajak;

W
- Perpajakan lebih dari satu negara - Perpajakan lebih dari satu negara

IS
S
Sumber: Hoor, “The OECD Model Tax Convention, A Comprehensive technical analysis” Legitech (2011), hal. 30

EA
B
13.3 Anti Tax Avoidance

H
Dalam transaksi internasional banyak menciptakan peluang untuk melakukan penghindaran pajak.Tetapi

I
dalam konteks ini, istilah penghindaran pajak harus dibedakan dengan istilah tax evasion atau penyelewengan

A
pajak dan tax planning atau perencanaan pajak. Menurut Arnold, tax avoidance11 atau penghindaran pajak
berarti transaksi atau pengaturan yang dilakukan oleh wajib pajak untuk meminimalisir jumlah pajak

R
terutang secara sah12. Selain itu, tax avoidance mempunyai arti sebagai pemanfaatan secara legal dari

E
rezim pajak untuk memperoleh keuntungan, dengan mengurangi jumlah pajak yang terutang dengan cara

P
tersebut berdasarkan ketentuan domestiknya13. Berdasarkan Laporan Penghindaran Dan Penyelewangan
Pajak Internasional (Report on International Tax Avoidance and Evasion) yang dirilis oleh OECD pada tahun
1987 menyebutkan dalam kaitan ini14:

`Tax avoidance... is ofconcern to governments because such practices are contrary to fiscal equity, have serious
budgetary effects and distort international competition and capital flows’.

Terjemahannya adalah:

‘Penghindaran pajak... menjadi perhatian pemerintah karena praktik-praktik tersebut bertentangan dengan
ekuitas fiskal, memiliki efek anggaran serius dan mendistorsi persaingan internasional dan arus modal.’

11 Sinonim tax avoidance adalah tax mitigation yang digunakan oleh ahli pajak sebagai alternatif untuk memperhalus istilah tax avoidance.
Istilah ini juga digunakan di dalam ketentuan pajak dari beberapa yurisdiksi untuk membedakan tax avoidance yang diperkirakan oleh
pembuat peraturan dari aktivitas tax avoidance dengan mengeksploitasi celah peraturan pajak. Lihat Book LLC, “Tax Avoidance”, (2008), hal.
93.
12 Arnold/McIntyre, “International Tax Primer”, Kluwer Law International (2002), hal. 81.
13 Book LLC, “Tax Avoidance”, (2008), hal. 93
14 Merks, “Tax Evasion, Tax Avoidance and Tax Planning”, INTERTAX (2006), Vol. 34 Issue 5, hal. 273-274.

176 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Berdasarkan laporan yang dirilis OECD tersebut tidak secara tegas mendefinisikan pengertian dari tax
avoidance. Namun, dalam laporan tersebut pemerintah memberikan batasan kriteria penentuan suatu
kegiatan termasuk sebagai tax avoidance.

1. Hampir selalu ada unsur tidak sah (artificial) untuk itu atau, untuk menempatkan ini dengan cara
lain, berbagai pengaturan dalam skema yang tidak memiliki bisnis atau tujuan ekonomi sebagai
tujuan utama mereka;
2. Kerahasiaan juga mungkin bentuk penghindaran modern; dan
3. Penghindaran pajak sering mengambil keuntungan dari celah dalam hukum atau menerapkan
ketentuan hukum, untuk tujuan yang tidak dimaksudkan mereka.

Dalam sudut pandang pemerintah, tax avoidance cenderung tidak dapat diterima karena merupakan suatu
bentuk pengurangan pajak. Berbeda halnya dengan tax planning yang merupakan penghindaran pajak

A
yang dapat diterima meskipun oleh pemerintah. Namun dalam perkembangannya, perencanaan pajak

C
yang dilakukan oleh wajib pajak cenderung agresif, sehingga memberikan dampak risiko yang signifikan
terhadap penerimaan pajak dari suatu negara. Oleh karena itu, OECD pada tahun 2013 telah menerbitkan

A
Laporan Base Erosion Profit Shifting (“BEPS”) dan Rencana Aksi BEPS yang bertujuan untuk mengatasi
risiko perencanaan pajak secara agresif yang dilakukan secara berkoordinasi antar negara-negara. Tindakan

W
yang dilakukan oleh hanya oleh suatu negara tidak menjadi efektif untuk mengatasi risiko perencanaan

S
pajak secara agresif ini.

I
Sedangkan, tax evasion sendiri merupakan istilah umum yang berusaha untuk tidak membayar pajak secara

S
ilegal. Berbeda dengan tax evasion, tax planning dan tax avoidance terdiri dari tindakan oleh wajib pajak

A
untuk mengurangi beban pajak yang bukan merupakan tindak pidana.

E
Berdasarkan uraian di atas, maka berikut ini adalah ringkasan yang dapat membedakan antara tax avoidance,

B
tax planning dan tax evasion.

Tabel 13.1 Perbedaan antara tax avoidance, tax planning, dan tax evasion

IH
Kategori Pembeda Tax Evasion Tax Avoidance Tax Planning

A
Perilaku Hukum Ilegal Legal Legal

R
Kewajiban pajak, sanksi pajak, Tidak ada kewajiban Pajak
Konsekuensi Hukum Kewajiban Pajak
dan hukuman penjara dan tidak ada sanksi

E
Sudut Pandang Pemerintah Menolak Menolak Menerima

P
Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax planning, umumnya suatu
negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan sebagai berikut ini:

1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak yang bersifat khusus
untuk mencegah suatu skema transaksi penghindaran pajak tertentu seperti skema penghindaran
pajak dalam bentuk (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled
foreign corporation (CFC);
2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran pajak yang bersifat umum
untuk mencegah transaksi yang semata-mata dilakukan oleh subjek pajak untuk tujuan penghindaran
pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis.15

Selain itu, pada saat melakukan negosiasi P3B, kedua negara juga memasukkan ketentuan anti-abuse yang
bertujuan untuk menghindari dampak penggunaan P3B tersebut oleh pihak-pihak yang tidak berhak.

15 Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi,”Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional”, DANNYDARUSSALAM Tax Center (2010), hal. 201.

Ikatan Akuntan Indonesia 177


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Di Indonesia sendiri, dalam ketentuan undang-undang perpajakan dan P3B telah mengatur tentang GAAR,
SAAR dan Anti-Abuse. Adapun ketentuan GAAR, SAAR dan Anti-Abuse yang terdapat dalam Undang-
Undang Perpajakan Indonesia beserta P3B adalah sebagai berikut:

Tabel 13.2.
Ketentuan GAAR, SAAR dan Anti-Abuse yang terdapat dalam Undang-Undang Perpajakan Indonesia
beserta P3B

Ketentuan Undang-Undang Perpajakan Anti-


No. GAAR SAAR
Domestik dan P3B Abuse
Pasal 4 UU PPh Nomor 36/2008 berbunyi sebagai berikut:
“Yang menjadi objek pajak…, dengan nama dan dalam bentuk apa pun…”

A
1 Jika terdapat perbedaan antara bentuk hukum/skema dan substansi ekonomi, 
maka perlakuan perpajakan harus mengacu kepada bentuk substansi ekonomi.

C
(Substance Over Form)

A
Pasal 18 ayat (1) UU PPh Nomor 36/2008:
“Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya per-
2 bandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pa- 

W
jak berdasarkan Undang-undang ini.”

S
(Thin Capitalization)

I
Pasal 18 ayat (2) UU PPh Nomor 36/2008:

S
“Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib
Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain

A
badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai beri-
kut:

E
a. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah
3 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau 

B
b. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki
penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham
yang disetor.”

H
Peraturan Pelaksanaan: PER-59/PJ/2010

I
(Controlled Foreign Corporation)16

A
Pasal 18 ayat (3) UU PPh Nomor 36/2008:

R
“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya peng-
hasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk meng-

E
hitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubun-
gan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman

P
4 usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan 
metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjual-
an kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.”
Peraturan Pelaksanaan: PER‐32/PJ/2011, PER‐69/PJ/2011,PER‐22/PJ/2013, SE‐50/
PJ/2013, PER-48/PJ/2010.
(Transfer Pricing, Arm’s Length Principle, Transfer Pricing Audit, MAP, APA)
Pasal 18 ayat (3a, 3b, 3c, 3d) UU PPh Nomor 36/2008:
“(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib
Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk me-
5 nentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan is- 
timewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu
periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosia-
si setelah periode tertentu tersebut berakhir.”

16 Penjelasan lebih lanjut atas ketentuan CFC dapat lihat Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi,”Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional”,
DANNYDARUSSALAM Tax Center (2010), hal.217.

178 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

Ketentuan Undang-Undang Perpajakan Anti-


No. GAAR SAAR
Domestik dan P3B Abuse
Pasal 18 ayat (3a) UU PPh Nomor 36/2008:
“(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan
melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (spe-
6 cial purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya 
melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan
mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan
terdapat ketidakwajaran penetapan harga.”
Pasal 18 ayat (3c) UU PPh Nomor 36/2008:
“(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau
special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di nega-
ra yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang

A
7 mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertem- 
pat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat

C
ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan
atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indone-
sia.”

A
Pasal 18 ayat (3d) UU PPh Nomor 36/2008:
“(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri

W
dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan

S
8 lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat 

I
ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau seba-
gian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam

S
bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.”

A
Pasal 18 ayat (3d) UU PPh Nomor 36/2008:

E
“(3d) Besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan

B
9 lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat 
ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau seba-
gian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam

H
bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan

I
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.”

A
Anti-Penyalahgunaan P3B (Anti-Treaty Shopping)
10 Peraturan Pelaksanaan:

R

PER-61/62-2009 jo PER-24/25-2010

E
Limitation on Benefit Test

P
11 Peraturan Pelaksanaan: 
P3B Indonesia – USA
Beneficial Ownership Test17
Ketentuan: Pasal 26 UU PPh,
12 
Peraturan Pelaksanaan:
PER-61/62-2009 jo PER-24/25-2010 dan SE - 04/PJ.34/2005
Pertukaran Informasi (Exchange of Information)
Pasal 26 P3B
13 
Peraturan Pelaksanaan:
PMK 60/PMK/2004 dan PER-67/PJ/2009

17 Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi,”Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional”, DANNYDARUSSALAM Tax Center (2010), hal. 5.

Ikatan Akuntan Indonesia 179


MANAJEMEN PERPAJAKAN

13.4 Pengertian dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda18

Istilah “Penghindaran Perpajakan Berganda” telah dijelaskan pada butir I dan II di atas. Adapun tujuan
penghindraan pajak berganda sebagaimana disimpulkan oleh Baker adalah sebagai berikut:

1. Mengeliminasi perpajakan berganda untuk mencegah sesuatu yang tidak mempunyai harapan
(keputusasaan) dari perdagangan dan investasi internasional dan arus pergerakan orang;
2. Menyediakan kepastian karena kepada rezim pajak yang dihadapi oleh para investor dan pengusaha
-juga menghindari keputusasaan perdagangan dan investasi internasional;
3. Menyediakan kerjasama antara otoritas pajak untuk memerangi penghindaran pajak dan penggelapan
pajak;
4. Menyediakan pertukaran informasi dengan pandangan untuk memerangi penghindaran dan

A
penggelapan pajak dan juga tujuan untuk melaksanakan P3B dan hukum domestik dari negara yang
bersangkutan;

C
5. Mengeliminasi bentuk diskriminasi pajak tertentu;
6. Membagi penerimaan pajak antara kedua negara;

A
7. (secara jarang) menyediakan bantuan kerjasama dalam menagih penerimaan pajak;
8. “Membentuk hubungan fiskal” antara otoritas yang berwenang dari kedua negara.

SW
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat yang disimpulkan oleh Baker di atas, maka tujuan peghindaran pajak

I
tidak hanya mencegah terjadinya penghindaran pajak berganda dan penyelewengan pajak. Dengan demikian,

S
penghindaran pajak berganda ini juga bertujuan untuk mengadakan kerjasama, koordinasi dan sinkronisasi
atas implikasi perpajakan secara internasional dari kegiatan bisnis yang dilakukan oleh wajib pajak.

EA
B
13.5 Transfer Pricing

IH
Transfer Pricing, dalam perspektif perpajakan, adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan
oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Proses kebijakan tersebut menentukan pula besaran

A
penghasilan dari setiap entitas yang terlibat. Menurut Arnold dan McIntyre, harga transfer adalah setiap
harga yang ditetapkan oleh Wajib Pajak pada saat menjual, membeli, atau membagi sumber daya dengan

R
afiliasinya. Perusahaan-perusahaan multinasional menggunakan harga transfer untuk melakukan penjualan

E
dan pengalihan aset serta jasa dalam grup perusahaan.19

P
Dalam konteks rezim transfer pricing internasional, dianut norma arm’s length principle atau arm’s length
standard. Berdasarkan norma ini, suatu transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa
dianggap wajar apabila masing-masing pihak yang bertransaksi berperilaku selayaknya pihak-pihak yang
independen. Atau dari sisi praktis, perilaku pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut diperbandingkan
dengan perilaku pihak-pihak independen dalam transaksi – transaksi sejenis, serta dalam kondisi yang
serupa.20

Di Indonesia sendiri, isu transfer pricing telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Untuk menghadapi
transaksi perusahaan multinasional yang berkaitan dengan transfer pricing, otoritas pajak Indonesia telah
menerbitkan beberapa peraturan baik dalam ketentuan perpajakan internasional dan domestik. Adapun
ketentuan-ketentuan terkait dengan transfer pricing adalah sebagai berikut:

18 Baker,”Introductory Topics” dalam “Double Taxation Conventions”, Sweet & Maxwell, 2012, hal. B-4-B-6.Untuk penjelasan lebih lanjut dapat
lihat Darussalam, Hutagaol, dan Septriadi,”Konsep dan Aplikasi Perpajakan Internasional”, DANNYDARUSSALAM Tax Center (2010), hal.7.
19 Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji,” Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional”, DANNY-
DARUSSALAM Tax Center (2013), hal. 9
20 Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji,” Transfer Pricing: Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional”, DANNY-
DARUSSALAM Tax Center (2013), hal. 19

180 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

1. Pasal 9 P3B Indonesia dengan Negara Mitra P3B;


2. Pasal 18 ayat (2), dan (4) UU PPh No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan;
3. PER-32/PJ/2011 jo PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa;
4. PER-22/2013 dan SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa;
5. PER-69/PJ/2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement);
6. PER-48/PJ/2010 tengtang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement
Procedure) berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;

Atas transaksi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, apabila tidak memenuhi prinsip harga
dalam transaksi yang wajar (“Arm’s Length Principle”), maka otoritas pajak diberikan kewenangan untuk

A
menentukan kembali harga transfer yang wajar atas transaksi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional
tersebut.

Studi Kasus: Pemanfaatan Tax Treaty


C
A
SPDN Individu di Negara H menerima penghasilan dividen dari Negara L. Berdasarkan P3B antara Negara

W
H dan Negara L, Negara H dapat memajaki atas penghasilan dari dividen tersebut. Akan tetapi, berdasarkan

S
pasal 10 P3B Negara H dan Negara L tersebut, penghasilan dividen dapat dipajaki oleh Negara L tetapi tidak

I
lebih dari 15%. Berdasarkan Pasal 23 P3B tersebut, Negara H tetap dapat memajaki atas penghasilan dari

S
dividen tersebut dengan cara menerapkan metode pengkreditan atas penghasilan yang diterima dari Negara
L tersebut. Bagaimana cara SPDN Individu di Negara H memanfaatkan fasilitas P3B tersebut apabila dalam

A
memanfaatkan P3B, Negara L memberikan persyaratan administrasi berupa Surat Keterangan Domisili

E
untuk membuktikan bahwa SDPN Individu di Negara H benar-benar SPDN di Negara H tersebut?

B
IH
RA
PE

Ikatan Akuntan Indonesia 181


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

182 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
Bab XIV SW
S
INVESTASI ASING
I
DI
A
INDONESIA BE
IH
R A
P E

Chartered Accountant Indonesia MODUL


Ikatan Akuntan Indonesia 183
MANAJEMEN PERPAJAKAN

BAB XIV
INVESTASI ASING DI INDONESIA

14.1 Jenis-jenis Investasi Asing

14.1.1 Penggolongan Investasi Asing dilihat dari tujuannya


Menurut Hady ditinjau dari tujuannya, investasi dapat digolongkan ke dalam dua jenis investasi:

1. Jenis investasi yang pertama adalah portofolio investment, yaitu investasi dalam bentuk aset-aset

A
keuangan seperti saham (stock), obligasi (bond) dan bentuk-bentuk surat berharga lainnya. Sifat
pergerakan arus portofolio investment dari dan ke seluruh penjuru dunia melalui pasar uang

C
internasional relatif cepat.
2. Jenis investasi yang kedua adalah Direct Investment yaitu investasi secara nyata dalam bentuk

A
pendirian perusahaan, pembangunan pabrik, pembelian barang modal, lahan, bahan baku. Dalam
hal ini investor terlibat langsung dalam manejemen perusahaan dan mengontrol aktivitas penanaman

W
modal tersebut

IS
Direct Investment biasanya dimulai dengan pendirian cabang perusahaan atau pembelian saham

S
mayoritas dari suatu perusahaan domestik. Dalam konteks internasional, bentuk investasi ini
biasanya dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan aktivitas investasi umumnya di bidang

A
manufaktur, ekstrasi dan eksplorasi sumber daya alam, industri jasa, dan sebagainya.

BE
14.1.2 Penggolongan Investasi Asing dilihat dari bentuknya
Dilihat dari bentuknya menurut Ongwamuhana (l991:46-47) penanaman modal asing dapat dibedakan ke
dalam beberapa bentuk yakni:

1.

IH
Pendirian Subsidiary Company (pendirian anak perusahaan). Penanaman Modal Asing berbentuk

A
subsidiary company didirikan di negara tempat investasi dan biasanya sepenuhnya dimiliki serta
berada di bawah pengawasan induk perusahaan di negara tempat asal investor. Bentuk subsidiary ini

R
dapat juga dioperasikan sebagai perusahaan asing terdaftar dengan izin berusaha yang dikeluarkan

E
oleh negara tempat investasi dan tunduk pada ketentuan.
Pembentukan cabang perusahaan luar negeri (Foreign Branch) atau melakukan kontrak keagenan

P
2.
dengan perusahaan lokal. Investasi berbentuk cabang perusahaan atau bentuk keagenan akan efektif
dari segi biaya apabila skala usaha relatif masih kecil atau penanaman modal yang dilakukan bersifat
sementara atau untuk jangka pendek.
3. Melakukan kerjasama (Joint Venture) dengan perusahaan lokal. Investasi yang dilakukan dalam
bentuk kerjasama dengan perusahaan lokal dimaksudkan untuk menghindari risiko karena belum
dipahaminya kondisi pasar di Negara tempat investasi. Di negara yang iklim sosial dan politiknya
mudah berubah, bentuk investasi ini lebih aman bagi investor asing.
4. Perikatan kontrak pemberian jasa (Service Contract). Investasi bentuk ini adalah berupa pemberian
jasa teknik atau jasa manajemen dari perusahaan asing kepada perusahaan lokal dengan imbalan
pembayaran royalti, komisi jasa manajemen, imbalan jasa konsultasi dan jasa tenaga ahli. Pembayaran
tersebut biasanya dikenakan pajak yang dilakukan secara pemotongan di muka (withholding tax).
5. Investasi bentuk lainnya. Bentuk lainnya dari usaha penanaman modal asing biasanya dapat berupa
perjanjian untuk pemakaian merek dagang atau lisensi, atau perjanjian pendanaan dalam rangka
menjualkan atau membelikan barang dan jasa untuk pasar lokal.

184 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

14.2 Investasi Asing yang Bersifat Langsung (Foreign Direct Investment)


Gunadi dalam bukunya menyebutkan bahwa Foreign Direct Investment (FDI) dapat dilakukan dengan dua cara:

1. Mengoperasikan anak perusahaan (subsidiary company)


Anak perusahaan dapat terjadi dengan pendirian badan baru yang dikenal dengan nama PT PMA
(Penanaman Modal Asing) atau dengan pembelian sebagian besar saham badan Indonesia yang
sudah berjalan.
Anak perusahaan merupakan entitas legal mandiri terpisah dari induk perusahaan walaupun
permodalannya dipenuhi dan atau usahanya dikendalikan oleh induk perusahaan. Sebagai entitas
terpisah dari induk perusahaan, anak perusahaan mempunyai eksistensi sendiri dan bukan
merupakan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dari WPLN dimaksud. Apabila berdasarkan kenyataan anak
perusahaan tersebut bertindak sebagai agen (dependent agent) atau mewakili kepentingan induk

A
perusahaan, anak perusahaan tersebut berpeluang untuk dapat menjadi BUT.

C
Dilihat dari perspektif hukum antara anak perusahaan (subsidiary company) dan induk perusahaan
(parent company) merupakan entitas legal terpisah (separate entity), dengan demikian secara fiskal

A
antara anak dan induk perusahaan dapat melakukan transaksi bisnis sepanjang nilai transaksi yang
digunakan wajar (arm’s length price). Hal tersebut didasarkan atas alasan bahwa anak perusahaan

W
dengan induk perusahaan memiliki hubungan istimewa.

S
2. Mengoperasikan cabang perusahaan (branch)

I
Cabang perusahaan asing pada dasarnya merupakan divisi yang didirikan di wilayah geografis

S
yang terpisah. Dilihat dari perspektif hukum, cabang (branch) bukan merupakan komponen dari

A
kantor pusatnya atau bukan merupakan entitas yang terpisah. Menurut kacamata pajak hubungan
antara kantor pusat dengan cabang merupakan entitas tunggal (single entity). Pengoperasian cabang

E
perusahaan luar negeri di Indonesia akan memunculkan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan berstatus

B
Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN), sedangkan pengoperasian anak perusahaan luar negeri di
Indonesia akan menimbulkan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri (WPDN).

IH
A
14.3 Perbedaan Perlakuan Pajak antara Subsidiary Company (Anak Perusahaan) dengan

R
Branch (Cabang Perusahaan)

E
14.3.1 Subsidiary Company (Anak Perusahaan)

P
1. Anak perusahaan dibentuk atas dasar penyertaan saham dari induk perusahaan di luar negeri
2. Anak perusahaan berstatus Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) karena telah memenuhi kriteria
didirikan di Indonesia sesuai pasal 2 ayat (3) Undang Undang Pajak Penghasilan.
3. Penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia meliputi penghasilan yang berasal dari dalam negeri
maupun dari luar negeri (world wide income).
4. Hubungan antara anak perusahaan di dalam negeri dengan induk perusahaan di luar negeri bersifat
separate entity (entitas legal yang terpisah).
5. Antara anak perusahaan di dalam negeri dengan induk perusahaan di luar negeri dapat melakukan
transaksi satu sama lain, sebagai konsekuensi dari separate entity antara anak perusahaan di dalam
negeri dengan induk perusahaan di luar negeri. Namun demikian transaksi tersebut harus memenuhi
kriteria harga wajar (arm’s length price), karena antara anak perusahaan dengan induk perusahaan
terdapat hubungan istimewa sebagaimana memiliki saham lebih dari 25% pada anak perusahaan.

Ikatan Akuntan Indonesia 185


MANAJEMEN PERPAJAKAN

14.3.2 Branch (Cabang Perusahaan)


1. Branch (Cabang Perusahaan) merupakan kepanjangan tangan dari Kantor Pusat (Head Office) di
luar negeri.
2. Cabang perusahaan luar negeri di Indonesia berstatus Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) sesuai pasal
2 ayat (4) Undang Undang Pajak Penghasilan.
3. Penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia adalah hanya penghasilan yang bersumber dari
dalam negeri.
4. Hubungan antara Cabang Perusahaan di dalam negeri dengan Kantor Pusat di luar negeri bersifat
single entity (entitas tunggal).
5. Antara Cabang perusahaan di dalam negeri dengan kantor pusat di luar negeri secara pajak tidak
diperkenankan melakukan transaksi sebagai konsekwensi dari single entity, kecuali transaksi
pembayaran bungan pinjaman dari Cabang perusahaan di dalam negeri kepada Kantor Pusat di luar

A
negeri pada bisnis Perbankan.

C
A
14.4 Pengakuan Laba Anak Perusahaan (Subsidiary Company) dan Cabang Perusahaan (Branch)

14.4.1 Pengakuan Laba Anak Perusahaan

SW
I
Sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri, anak perusahaan luar negeri di Indonesia dikenakan pajak atas

S
penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (world wide income). Pada umumnya

A
pajak (PPh Badan) dikenakan atas dasar basis neto, yakni Penghasilan dikurangi dengan biaya-biaya yang
diperkenankan (deductible expenses), kecuali pada usaha-usaha tertentu yang pajaknya bersifat final (seperti

E
perusahaan konstruksi, real estate, dll). Sisa laba setelah Pajak yang dikirim oleh anak perusahaan kepada

B
induk perusahaan di luar negeri dikenakan pajak atas dividen (PPh Pasal 26) sebesar 20% atau tarif tax treaty.

H
14.4.2 Pengakuan Laba Cabang Perusahaan

I
Cabang perusahaan luar negeri merupakan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berstatus Subjek Pajak Luar

A
Negeri. Cabang Perusahaan dikenakan pajak (PPh Badan) atas penghasilan yang bersumber dari dalam
negeri. Untuk perusahaan yang berstatus Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, definisi penghasilan

R
sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang Undang Pajak Penghasilan meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.

2. E
Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai

P
(attributable principle);
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di
Indonesia yang sejenis dengan dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia (force of
attraction principle);
3. Penghasilan dividen, bunga, royalty, sewa, hadiah, maupun penghasilan dari penjualan harta yang
diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta
atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud (effectively connected income rules).

Catatan:
Untuk Cabang Perusahaan luar negeri (BUT) yang berasal dari negara treaty partner, pengakuan penghasilan
yang dikenakan pajak di Indonesia mengacu pada ketentuan tax treaty yang bersangkutan (diatur dalam
article business profit).

Adapun biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana disebutkan di atas, boleh
dikurangkan dari penghasilan BUT. Disamping itu, dalam menentukan besarnya laba suatu BUT, biaya

186 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya yang berkaitan dengan usaha
atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini
besarnya persentase alokasi biaya kantor pusat pada BUT di Indonesia adalah sebesar perbandingan antara
omzet BUT dengan omset Kantor Pusat x 100%.

Pembayaran kepada kantor pusat yang tidak diperbolehkan dibebankan sebagai biaya sebagai konsekuensi
dari single entity antara BUT dan Kantor pusat di luar negeri, biaya-biaya tersebut meliputi: (i) royalti
atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya; (ii) imbalan sehubungan
dengan jasa manajemen dan jasa lainnya; (iii) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha
perbankan; dan (iv) kerugian selisih kurs mata uang asing yang terjadi akibat fluktuasi nilai rupiah pada
perkiraan utang kepada kantor pusat.

Sisa laba setelah pajak (Penghasilan Kena Pajak/PKP dikurangi PPh Badan) yang dikirim ke kantor pusat

A
dikenakan Branch Profit Tax / PPh pasal 26 ayat (4) sebesar 20% atau tarif tax treaty. Jika sisa laba setelah

C
pajak Cabang Perusahaan (BUT) tidak dikirimkan ke kantor Pusat di luar negeri, melainkan ditanamkan
kembali dalam usaha baru atau perluasan usaha di Indonesia, maka Cabang Perusahaan luar negeri tersebut

A
dibebaskan dari pengenaan Branch Profit Tax.

SW
I
14.5 Perencanaan Pajak (Tax Planning) pada Investasi Asing

14.5.1 Faktor-faktor Yang Harus Diperhatikan

AS
Zakaria dalam makalah seminarnya menyebutkan bahwa dalam menyusun suatu tax planning khususnya

E
bagi investor asing yang akan melakukan investasi di negara lain, ada hal-hal yang mendapat perhatian, yakni:

B
1. Sistem perpajakan di negara tempat investasi,
2. Konsep penghasilan yang dianut,

H
3. Besarnya tarif PPh Badan (corporate income tax),

I
4. Ada tidaknya withhoding tax dan besarnya tarif withholding tax (khususnya dividen),

A
5. Ada tidaknya tax holiday atau tax facilities,
6. Perbedaan perlakuan perpajakan terhadap susidiary dan branch,

R
7. Perbedaan perlakuan perpajakan terhadap perusahaan domestic dan PMA,

E
8. Perlakuan perpajakan terhadap joint operation/consortium,

P
9. Perlakuan perpajakan terhadap off-shore service,
10. Perlakuan perpajakan terhadap turn key project,
11. Sistem depresiasi dan amortisasi,
12. Sistem kompensasi kerugian vertikal,
13. Besarnya DER (Debt Equity Ratio),
14. Kebebasan repatriasi modal,
15. Perlakuan perpajakan atas penjualan saham,
16. Control foreign exchange,
17. Ada tidaknya tax treaty serta tax facilities yang tercantum dalam tax treaty yang bersangkutan,
18. Perlakuan perpajakan terhadap perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa (associated
enterprise),
19. Sistem foreign tax credit dan sistem VAT (Value Added Tax).
Khusus dalam Foreign Direct Investment, beberapa factor penting lainnyayang harus diperhatikan
dalam memilih bentuk Subsidiary Company (anak perusahaan) atau Branch (cabang perusahaan)
antara lain adalah:

Ikatan Akuntan Indonesia 187


MANAJEMEN PERPAJAKAN

20. Apakah jenis usaha yang akan dipilih termasuk dalam Daftar Negative list BKPM? Jika termasuk
dalam Daftar Negative List BKPM, maka otomatis usaha tersebut tidak dapat dijalankan.
21. Seberapa besar kepentingan perusahaan di luar negeri untuk melakukan transaksi dengan perusahaan
yang dibentuk di Indonesia? Semakin banyak transaksi antara perusahaan di luar negeri dengan
perusahaan yang dibentuk di Indonesia, maka bentuk Subsidiary Company (pengoperasian anak
perusahaan) akan semakin efektif untuk dipilih, karena hubungan antara induk perusahaan (parent
company) dengan anak perusahaan (subsidiary company) di Indonesia merupakan entitas legal yang
terpisah, dimana keduanya dapat melakukan transaksi.
22. Fasilitas-fasilitas perpajakan yang diberikan oleh Pemerintah terhadap Subsidiay company dan
Branch.
23. Faktor-faktor lain yang takkalah penting untuk diperhatikan adalah faktor non pajak, seperti: faktor
politik, keamanan, prasarana penunjang, akses pasar, dll.

CA
A
14.6 Skema Tax Planning pada Anak Perusahaan

W
Pada FDI yang berbentuk Subsidiary Company (anak perusahaan), upaya efesiensi pajak secara global pada

S
umumnya dilakukan dengan menggunakan dua (2) skema, yakni: skema pre tax dan skema post tax. Skema

I
Pre tax dilakukan manakala tarif pajak di negara host country ( negara tempat investasi) lebih tinggi dari

S
pada tarif pajak yang berlaku di negara home country (negara domisili investor). Skema Pre tax dilakukan
dengang memaksimalkan biaya-biaya yang dibayarkan kepada induk perusahaan (parent company) di luar

A
negeri (tentunya dengan memperhatikan kewajaran harga transaksi). Dengan demikian Penghasilan Kena

E
Pajak host country menjadi kecil. Sebaliknya skema post tax dilakukan manakala tarif pajak host country lebih
kecil daripada tarif pajak home country. Skema post tax dilakukan dengan menunda pemberian dividen dari

B
anak perusahaan kepada induk perusahaan di luar negeri. Pemberian dividen dari anak perusahaan kepada
induk perusahaan di luar negeri dilakukan pada saat penghasilan kena pajak induk perusahaan di luar

H
negeri kecil.

1.

AI
Bentuk-bentuk Usaha Awal Sebelum Mendirikan Anak Perusahaan.
Mendirikan anak perusahaan asing (Subsidiary Company) di Indonesia memerlukan biaya yang

R
sangat tinggi. Bagi perusahaan manufaktur sebelum mendirikan anak perusahaan dan mendirikan
pabrik di Indonesia, perusahaan dapat mengoperasikan bentuk-bentuk Usaha awal untuk

E
memperkenalkan produknya terlebih dahulu dan mengetahui apakah produk tersebut diminati oleh

P
masyarakat Indonesia. Adapun bentuk-bentuk usaha awal yang dapat dipilih adalah:
2. Mendirikan Kantor Perwakilan Dagang ASing (Trade Representative Office)/TRO
Kantor ini semata-mata hanya melakukan promosi produk, pameran, iklaln dan riset awal, berupa
riset-riset persiapan sebelum mendirikan pabrik di Indonsia. Kantor ini tidak melakukan transaksi
jual belli produk. Apabila konsumen di Indonesia berminat untuk membeli barang tersebut, maka
konsumen langsung bertransaksi dengan Kantor Pusat perusahaan asing tersebut di luar negeri.
Perlakuan perpajakan atas pendirian Kantor Perwakilan Dagang Asing adalah:
a. Jika kantor pusatnya merupakan penduduk (resident) negara Treaty Partner, maka sesuai
ketentuan article 5 paragraph (3) Tax treaty yang bersangkutan, TRO bukan merupakan Bentuk
Usaha Tetap (BUT), sehingga sesuai ketentuan artikel Business Profit Tax treaty, Indonesia
sebagai negara sumber tidak memiliki hak pemajakan atas penghasilan yang diterima kantor
pusat dari hasil penjualan produk di Indonesia. Apabila Kantor Pusat merupakan penduduk
(resident) negara non treaty partner, maka penghasilan kantor pusat dari penjualan produk di
Indonesia dikenakan PPh pasal 15.

188 Ikatan Akuntan Indonesia


MANAJEMEN PERPAJAKAN

b. TRO tidak mempunyai kewajiban melaporkan SPT PPh Badan Tahunan, melainkan hanya
berkewajiban membuat List of Expenses.
c. TRO terutang PPh Potong Pungut apabila terdapat transaksi yang merupakan objek PPh potong
pungut.
d. Penghasilan yang diterima/diperoleh karyawan-karyawan TRO, baik asing maupun lokal
merupakan objek PPh pasal 21/26.
3. Mengikat kontrak keagenan dengan perusahaan local di Indonesia. Kontrak keagenan yang
dibentuk sebaiknya adalah keagenan bebas (independent agent).
Dalam hal ini yang menjualkan produk perusahaan luar negeri tersebut adalah pihak agen transaksi
jual beli produk dilakukan antara konsumen dengan agen. Agen akan menerima komisi keagenan dari
perusahaan luar negeri. Jika kontrak keagenan yang dibentuk adalah keagenan bebas (independent
agent), maka perusahaan luar negeri tersebut tidak dianggap sebagai memiliki BUT di Indonesia,

A
sehingga Indonesia tidak mempunyai hak pemajakan atas penghasilan yang diterima/diperoleh

C
Agen bebas tersebut.
4. Mengikat kontrak dengan pedagang perantara lokal.

A
Dalam hal ini perusahaan pedagang perantara tersebut hanya membantu melakukan promosi
atas produk kantor pusat agar dapat dijual di Indonesia. Apabila ada konsumen di Indonesia yang

W
berminat, maka konsumen dapat langsung melakukan transaksi dengan kantor pusat di luar negeri.

S
Dengan cara ini Indonesia tidak memiliki hak pemajakan atas penghasilan kantor pusat dari hasil

I
penjualan produk di Indonesia.

AS
BE
IH
RA
PE

Ikatan Akuntan Indonesia 189


MANAJEMEN PERPAJAKAN

CA
A
SW
SI
EA
B
IH
RA
PE

190 Ikatan Akuntan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai