Anda di halaman 1dari 4

Nama : Indriyani

NPM : 10223014

Kelas : B23 S1 Manajemen

1. Rangkuman materi Thaqatul Insan

THAQATUL INSAN (POTENSI MANUSIA)

Allah Ta‟ala membekali manusia dengan at-thaqah –potensi-, yaitu as-sam‟u


(pendengaran), al-basharu (penglihatan), dan al-fuadu (hati). Banyak sekali firman Allah Ta‟ala
yang menyebutkan tentang hal ini, diantaranya adalah.

“Katakanlah: „Dia-lah Yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati‟. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (QS. Al-Mulk, 67: 23)

Allah Ta‟ala menganugerahkan telinga kepada manusia yang dengannya ia dapat


mendengarkan ajaran-ajaran agama Allah yang disampaikan kepadanya oleh rasul-rasul Allah.
Dianugerahi-Nya pula manusia mata yang dengannya ia dapat melihat, memandang dan
memperhatikan kejadian alam semesta ini. Diberi-Nya manusia hati, akal dan pikiran untuk
memikirkan, merenungkan, menimbang dan membedakan mana yang baik bagimu dan mana
yang tidak baik, mana yang bermanfaat dan mana pula yang tidak bermanfaat. Sebenarnya
dengan anugerah-Nya itu manusia dapat mencapai semua yang baik bagi dirinya sebagai
makhluk Allah.

Setelah manusia itu lahir, dengan hidayah Allah Ta‟ala segala bakat-bakat itu
berkembang. Akalnya dapat memikirkan tentang kebaikan, kejahatan, kebenaran dan kesalahan,
hak dan batal. Dan dengan bakat pendengaran dan penglihatan yang telah berkembang itu
manusia mengenali dunia sekitarnya dan mempertahankan hidupnya serta mengadakan
hubungan sesama manusia. Dan dengan perantaraan akal dan indra itu pengalaman dari
pengetahuan manusia dari hari ke hari semakin bertambah dan berkembang. Kesemuanya itu
merupakan rahmat dan anugerah Tuhan kepada manusia yang tidak terhingga.

Karena itu seharusnyalah manusia bersyukur kepada-Nya dengan menjalankan al-


mas‟uliyyah (tanggung jawab) yang telah dipikulkan kepadanya, yakni mempergunakan segala
nikmat Allah Ta‟ala itu untuk beribadah dan patuh kepada-Nya.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat, 51: 56)

Berkenaan dengan al-khilafah ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan manusia:

Pertama, manusia bukan pemilik yang hakiki („adamu haqiqatil mulkiyah), karena Pemilik yang
hakiki adalah Allah Ta‟ala.

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang
Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa,
Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS.
Al-Hasyr, 59: 23)

Allah itu merajai segala apa yang di bumi dan di langit, bertasbih kepada-Nya dengan
kehendak-Nya berdasarkan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya, suci dari segala yang tidak layak
dan tidak sesuai dengan ketinggian dan kesempurnaan-Nya. Tuhan Yang Maha Perkasa,
menundukkan segala makhluk-Nya dengan kekuasaan-Nya, Maha Bijaksana dalam mengatur hal
ihwal mereka. Dia-lah yang lebih mengetahui kemaslahatan mereka, yang akan membawa
mereka kepada kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat kelak.[3]

“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang
Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Jumu‟ah, 62: 1)

Kedua, manusia harus mengembannya sesuai dengan kehendak pihak yang mewakilkan
kepemimpinan tersebut ( at-tasharruf bi-iradatil mustakhlif), yakni Allah Ta‟ala.

Ketiga, dalam mengembannya manusia tidak boleh menentang peraturan yang telah
ditentukan oleh Allah Ta‟ala („adamut ta‟addi „alal hudud). Sebagai pengembang khilafah,
manusia wajib melaksanakan peraturan Allah dan menjaganya. Allah Ta‟ala menyebutkan
bahwa salah satu ciri-ciri orang beriman itu adalah,

“…dan yang memelihara hukum-hukum Allah.” (QS. At-Taubah, 9: 112)

Jadi, sebagai individu dan pemimpin, manusia harus berupaya menjaga diri dan umatnya
agar tidak melampaui batas dan ketentuan yang telah ditetapkan Allah Ta‟ala, yaitu berupa
syariat dan hukum-hukum-Nya demi kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.
Apa yang dikehendaki Allah Ta‟ala dari mereka yang telah diberi kekuasaan di muka
bumi?

Dia berfirman,

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma‟ruf dan mencegah dari perbuatan
yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al Hajj, 22: 41)

2. Pendapat saya tentang orang orang pada zaman Dahulu di masa jahiliyah yang tidak
menggunakan potensi hati yang di berikan olah allah yaitu seperti kembali ke zaman kebodohan
yang tidak memikirkan siapapun karena kebodohannya itu, patung buatannya sendiri dianggap
tuhannya. Anak perempuan sebagai penerus keturunannya dianggap rendah, tidak ada gunanya,
dan bahkan mendatangkan rasa malu. Wanita termasuk ibunya sendiri dianggap sekedar sebagai
harta dan boleh diwaris. Maka, harkat dan martabat manusia tidak dihargai.

Selain itu, oleh karena kebodohannya itu pula, manusia dirampas kehormatannya,
dijadikan budak, dan diperdagangkan. Seseorang tatkala dijadikan budak, maka diperlakukan
apapun sesuai dengan kemauan pemiliknya. Ketika itu ada jual beli manusia atau budak, bahkan
di juga terdapat pasar manusia.

Berbeda dengan zaman jahiliyah, masyarakat sekarang ini menamakan dirinya modern,
beradab, menghargai harkat dan martabat manusia. Kebodohan dianggap sudah hilang, atau masa
lalu. Antar manusia sudah saling memahami, menghormati, menjalin kasih sayang, dan
bertolong menolong. Siapa saja yang menggangu kehormatan seseorang, maka diadi atas dasar
hukum yang berlaku.
Sumber :

https://rasmulbayantarbiyah.wordpress.com/2020/08/11/thaqatul-insan-potensi-manusia/

https://risalah.id/thaqatul-insan/,
https://matericeramahdankultum.blogspot.com/2012/04/thaqatul-insan.html

Anda mungkin juga menyukai