Anda di halaman 1dari 2

Melirik Mbah Tugiyem, Lebih dari 15 Tahun Menjadi Pedagang

Bunga Nyekar: Sering Memilih Tidur di Pasar Ketimbang Pulang

Tugiyem (85) sedang menjaga lapak dagangan dengan susur tembakau


di tangannya.

Siang menyingsing sore, Pasar Raya Salatiga yang menjadi ikon sekaligus salah
satu pusat pertumbuhan perekonomian kota salatiga terlihat masih ramai. Lalu-
lalang masyarakat dari berbagai kalangan yang sengaja datang melihat-lihat dan
membeli barang, beberapa pedagang yang sedang sibuk merapikan dagangan
untuk pulang, dan beberapa kemacetan-kemacetan kecil juga masih nampak
terekam di beberapa titik jalan. Salah satunya di depan gerbang utama pasar.

Sekitar 100 meter lebih dari arah selatan gerbang utama pasar, tepatnya sebelah
kanan tenda penjual Mie Ayam dan Bakso, seorang wanita paruh baya dengan
susur tembakau di mulutnya sedang memilah-milah kelopak mawar yang ia jual.

Mbah Tugi, sapaan yang kerap diucapkan oleh pedagang-pedagang di sekitarnya.


Dengan nama asli Tugiyem (85), saban hari ia berangkat dari rumahnya, Getasan
pada jam 04.30 dini hari dan sampai pasar sekaligus mangkal setengah jam
setelahnya. Sampai pukul enam petang, baru-lah ia beres-beres untuk pulang
dijemput anak perempuannya menggunakan sepeda motor, dan tak jarang juga
ikut nebeng mobil Pick Up sayur.

Statusnya sebagai salah satu pedagang di pasar raya tergolong senior. Lebih dari
15 tahun menjadi waktu yang tak sebentar baginya, terlebih ia juga sudah
beberapa kali pindah tempat lapak. Bunga yang ia jual cukup beragam, yakni
kelopak mawar, kantil, bakung, kenanga, dan melati dengan harga yang cukup
beragam pula tergantung bunga apa yang diinginkan pembeli.
Saat ini, letak dagangannya cukup strategis, yakni di salah satu pertigaan jalan
yang mengarah ke belakang pasar. Meski begitu, ia mengaku bahwa dagangannya
tidak selalu ramai. Keadaan-keadaan tersebut kadang berbuntut ia "tombok" ke
distributor bahan dagangannya.

"Selain dengan sehat, ia bergerak dengan ditopang oleh prinsip yang kuat".
Rasanya, istilah tersebut dapat menggambarkan semangat dari Mbah Tugi.
Keinginan kuat untuk tidak ingin merepoti anak-cucu selagi masih sehat dan
bergerak menjadikan ia sampai saat ini terus bergelut, di area pasar demi mengais
selembar uang dengan keuntungan yang tidak menjanjikan.

Dengan bermodalkan selimut kain yang dibawa dari rumah, ia mengaku tak jarang
memilih tidur di emperan salah satu toko perabot rumah tangga yang berada tepat
di belakang lapak dagangannya demi dapat bangun dan membuka lapak lebih dini.
Ia berharap, kesehatan dan panjang umur yang dikaruniai oleh Tuhan kepadanya
untuk masih dapat dirasakan, agar ia kuat untuk terus berjualan dan tidak
merepotkan anak-cucunya.

Anda mungkin juga menyukai