Anda di halaman 1dari 31

RANCANGAN PROGRAM INTERVENSI KONSELING ADLER

DALAM MENGATASI INFERIORITY FEELING PADA DEWASA


AWAL

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Kajian Aktual Psikologi
Klinis

Disusun oleh:

Rindu Qory Suryani 1511418039

Shafa Kirana Dewani 1511418089

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2021
BAB I
PENDAHULUAN

Usia dewasa awal merupakan usia transisi, dimana individu mulai mencicipi masa
dewasa yang mana sebelumnya telah melewati masa remaja. Menurut Hurlock (1999: 246)
individu yang berada pada fase dewasa awal diawali pada usia 18 tahun hingga 40 tahun.
Menginjak masa baru yang belum pernah dilalui sebelumnya, tentu memiliki banyak
tantangan yang harus dihadapi, mulai dari perkembangan diri, keluarga, lingkungan, bahkan
target masa depan. Tidak jarang, banyak individu yang merasakan bahwa berada pada usia
yang termasuk ke dalam masa dewasa awal cukup sulit dan melelahkan.

Kesulitan menghadapi banyak hal menjadikan tantangan tersendiri pada individu


yang memasuki usia dewasa awal, karena muncul perasaan takut, cemas, ragu, khawatir,
rendah diri, tidak percaya diri, dan semacamnya, sehingga mereka membutuhkan solusi untuk
menangani permasalahan yang sedang dihadapinya. Hurlock (dalam Kartika, 2017)
menyebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi terlalu cepat dan drastis
akan menyebabkan keraguan, perasaan tidak mampu dan tidak aman, serta dapat
mengakibatkan perilaku yang kurang baik. Perasaan-perasaan tersebut dapat disebut dengan
Inferiority Feeling atau perasaan inferior.

Inferiority Feeling menurut Reber (2010: 512) adalah perasaan atau sikap terlalu
kritis dan cenderung bersifat negatif yang dialami individu. Perasaan inferior yang dimiliki
oleh setiap orang merupakan hal yang wajar dan masing-masing individu memiliki tingkat
perasaan inferior yang berbeda-beda. Inferiority Feeling sering kali ditandai dengan perasaan
tidak mampu dari dalam diri ketika menghadapi sesuatu. Dilanjutkan Kartika (2017), bahwa
jika seseorang mengalami inferiority feeling, maka cenderung akan menarik diri dengan
lingkungannya karena merasa terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan dengan
hanya dibumbui kekuatan yang minim.

Hal tersebut sesuai dengan subjek yang menjadi sasaran dalam pelaksanaan
kegiatan ini, dimana subjek adalah sekelompok mahasiswa yang menginjak usia dewasa awal
dengan banyak kegiatan yang diikuti. Berdasarkan hasil asesmen yang sudah dilaksanakan,
banyak subjek yang mengaku bahwa mereka sering membandingkan dirinya dengan orang
lain dalam beberapa aspek, seperti akademik dan fisik. Oleh karena itu, hasil asesmen yang
telah asesor buat, merumuskan bahwa subjek mengalami perasaan inferior (Inferiority
Feeling) yang jika tidak dilakukan intervensi akan dapat menghambat perkembangan diri ke
arah yang lebih positif. Setelah mengetahui permasalahan yang dialami subjek, maka asesor
berusaha merancang suatu metode intervensi yang tepat untuk dilakukan oleh subjek agar
dapat mengurangi atau menghilangkan perasaan inferior yang tumbuh di dalam diri mereka.
Untuk mengatasi permasalahan inferior kali ini, asesor merumuskan suatu metode
intervensi yang mengacu pada teori Adler yang disebut dengan “Intervensi Konseling Adler”.
Intervensi konseling Adler memiliki tujuan untuk mengurangi munculnya perasaan rendah
diri atau inferior, memperbaiki kebiasaan yang keliru dalam persepsi, menentukan tujuan
hidup, meningkatkan kasih sayang pada orang lain, serta menambah kegiatan pada individu
yang mengalami inferiority feeling (Corey, 1990).

Perasaan inferior yang muncul di banyak kasus yang dialami oleh masyarakat
Indonesia khususnya di usia dewasa awal, tidak lain adalah banyaknya tuntutan dan standar
yang masyarakat ciptakan, bahwa setiap individu harus memiliki penampilan yang baik
(good looking), berprestasi, memiliki keterampilan yang luar biasa, serta segala hal yang
mengharuskan individu menjadi sempurna. Maraknya kasus tersebut yang menyebabkan
perasaan inferior muncul di kalangan dewasa awal, membuat pembahasan kasus dengan
solusi rancangan program intervensi kali ini memiliki skala prioritas penyelesaian masalah
yang cukup tinggi karena dianggap penting pada saat ini.

Manfaat dari rancangan program intervensi yang asesor lakukan, selain untuk
memberikan solusi kepada subjek, juga sebagai suatu rekomendasi agar ketika menemukan
sekelompok lain dengan permasalahan yang menunjukkan gejala-gejala yang telah
disebutkan dalam hasil laporan asesmen, dapat memberikan suatu intervensi yang tepat.
Karena di era sekarang, yang mana teknologi semakin berkembang dengan pesat dan seluruh
informasi dapat diakses dengan mudah, jika pemanfaatannya tidak dilakukan dengan baik,
maka dapat memberikan dampak yang negatif bagi individu hingga tercipta suatu masalah
baru yang mungkin dapat menyebabkan munculnya perasaan inferior karena standar yang
dibuat masyarakat. Sehingga harapannya, dari laporan rancangan program intervensi kali ini
dapat mengurangi inferiority feeling yang terjadi di masyarakat, khususnya di kalangan
kelompok mahasiswa dewasa awal yang menjadi subjek.
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi subjek berupa perasaan inferior (inferiority


feeling), disebabkan oleh subjek yang kerap kali membandingkan diri mereka dengan teman-
temannya, memperlihatkan bahwa perasaan inferior pada diri subjek termasuk dalam kategori
yang cukup berat, hal ini dikarenakan kondisi diri kebanyakan subjek yang belum menerima
diri mereka secara utuh sebagai seorang individu yang memiliki keunikan tersendiri dan tidak
sama dengan orang lain. Selain itu, kondisi lingkungan dari kebanyakan subjek yang telah
diketahui, baik pertemanan, keluarga, maupun lingkungan akademik yang kurang
memberikan afirmasi serta dukungan kepada subjek membuat kondisi inferiority feeling yang
dirasakan oleh mereka semakin bertambah parah.

Perasaan inferior dalam lingkup pertemanan yang ditunjukan oleh subjek dengan
kebiasaan membanding-bandingkan bentuk fisik diri mereka dengan teman-temannya,
pencapaian diri mereka dengan teman-temannya, perasaan tidak pantas untuk dicintai dan
diterima oleh teman-temannya, dan perasaan tidak diterima di lingkungan pertemanan yang
luas. Kemudian dalam lingkup keluarga, orang tua kebanyakan subjek tidak memberikan
dukungan, baik dari segi materi maupun psikologis. Dalam lingkup akademik, mereka
merasa tertinggal secara akademik dan tidak memiliki gambaran masa depan yang sesuai
dengan bidang ilmu yang dipelajari saat ini.

Perasaan tidak percaya diri, minder, membanding-bandingkan, hingga merasa tidak


yakin akan kemampuan yang dimiliki kerap kali muncul pada individu yang menginjak usia
dewasa awal. Perasaan-perasaan tersebut muncul dan semakin berkembang terlebih lagi
ketika individu tersebut merasa ada orang lain yang lebih dominan di atasnya, sehingga
pikiran dan perasaannya berkalut dengan rasa takut pada diri sendiri, mereka sering bertanya-
tanya, apakah dirinya mampu menjadi seperti orang lain atau tidak. Individu yang merasa
inferior akan berusaha mencapai tujuan hidupnya sesempurna mungkin, mengikuti standar
dan contoh dari orang lain yang dominan. Seperti yang dikatakan Adler (dalam Alwisol,
2009), bahwa kehidupan manusia termotivasi oleh dorongan untuk mengatasi perasaan
inferior dan menjadi superior, sehingga tingkah lakunya ditentukan oleh pandangan mengenai
masa depan, tujuan dan harapan, maka individu mencoba hidup menjadi sempurna.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perasaan inferior muncul tidak hanya karena


lingkungan yang cenderung lebih dominan saja, namun juga dapat berasal dari keluarga,
dimana keluarga yang masih minim apresiasi dan support atas perilaku seseorang hingga
membuat mereka kurang percaya diri, tidak yakin dengan kemampuannya, dan merasa
inferior. Menurut Fitriani, dkk (2017) inferiority feeling muncul karena beberapa faktor, yaitu
sikap orang tua, kekurangan fisik, keterbatasan mental, dan kekurangan sosial. Jika
permasalahan yang ada pada usia kanak-kanak ini tidak terselesaikan, hal ini akan terus
berlanjut hingga ia memasuki usia dewasa dan membentuk kerangka tetap yang
menggambarkan dirinya dengan perasaan inferior yang belum terselesaikan tersebut.

Subjek yang menjadi sasaran dalam pelaksanaan kegiatan ini menunjukkan perasaan
inferior mereka dari aspek fisik berupa bentuk tubuh yang dianggap tidak ideal, sesuai
dengan standar kecantikan orang di dunia, khususnya Indonesia. Kemudian dari aspek sosial
berupa kondisi lingkungan pertemanan mereka yang dirasa jauh terlihat lebih keren jika
dibandingkan. Sedangkan untuk aspek akademik, kebanyakan subjek merasa tertinggal secara
akademik. Serta aspek keluarga yang kurang mendukung dan memberi afirmasi pada subjek,
selain itu kondisi ekonomi keluarga yang kurang mendukung mengharuskan orang tua
bekerja terus menerus yang membuat tidak adanya intimasi pada anak juga menjadi salah
satu faktor inferior pada dewasa awal. Hal tersebut terus membuat subjek merasa inferior
atau rendah diri setiap harinya.

Permasalahan yang muncul dan perlu dihadapi oleh subjek yang menjadi sasaran
dalam pelaksanaan kegiatan ini, tentu sangat berhubungan dengan ruang lingkup yang telah
dijabarkan. Mereka menceritakan bahwa hampir setiap orang tua meraka sangat sibuk dan
jarang memiliki waktu untuk dihabiskan bersama, bahkan subjek merasa bahwa rumah
hanyalah tempat singgah dan bukan untuk menetap. Lingkungan sosial yang mana
kebanyakan subjek yang menjadi sasaran pelaksanaan kegiatan ini adalah seorang
organisatoris, juga sangat berhubungan dengan permasalahan yang dialami mereka. Serta
bidang akademik dalam pendidikan yang saat ini ditempuh kerap kali membuat kebanyakan
subjek merasa tertinggal dan sulit mengejar ketertinggalan.
BAB III
METODE PELAKSANAAN

Berdasarkan analisis dari kasus yang dialami oleh kebanyakan subjek, keluarga
menjadi faktor utama pembentuk perasaan inferior pada subjek. Sebab mereka mengaku
bahwa mereka merasa tertekan dengan sikap dan perkataan yang diberikan oleh keluarga
kepada mereka. Mereka juga kerap kali mendapatkan perlakuan yang tidak sewajarnya yang
membuat mereka semakin merasa inferior. Dalam dunia pertemanan, banyak dari mereka
juga sering dihadapkan dengan perasaan bahwa teman-temannya tidak mampu memahami
dan membuat seolah-olah mereka menolak kehadirannya. Mereka juga berpikir tidak
memiliki kemampuan mumpuni untuk merencanakan masa depan dan untuk bersaing dengan
teman-teman di usia mereka.

Namun sebetulnya hal tersebut hanya berada dalam pikiran subjek saja, pada
kenyataannya hal tersebut belum pernah mereka coba. Dengan demikian, dari analisis kasus
tersebut menunjukkan bahwa adanya permasalahan pada aspek kognitif dan juga afeksi dari
subjek. Jika hal ini tidak segera disadari dan ditangani, cepat atau lambat akan memunculkan
permasalahan baru pada diri sekelompok subjek tersebut. Sebenarnya, dalam menangani
permasalahan inferiority feeling dapat menggunakan beberapa macam intervensi, namun
asesor memilih untuk menanggapi kasus yang sedang dialami oleh subjek dengan satu
intervensi yang dianggap sesuai dan dapat dilakukan.

Dalam menangani kasus inferiority feeling, intervensi tepat yang akan dilakukan guna
mereduksi dan mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh sekelompok subjek yang menjadi
sasaran pelaksanaan kegiatan berupa pendampingan dan forum konsultasi konseling
kelompok. Model atau bentuk konseling yang diterapkan untuk subjek dengan inferiority
feeling kali ini adalah menggunakan bentuk konseling Adler yang berfokus pada perasaan
inferior sekelompok individu, dimana konseling Adler memiliki tujuan untuk mereduksi
intensitas perasaan negatif, berupa perasaan rendah diri atau inferiority feeling, memperbaiki
kebiasaan-kebiasaan yang salah namun dibenarkan dalam persepsi subjek, membantu
menetapkan tujuan hidup, membantu menumbuhkan kasih sayang terhadap orang lain, serta
membantu subjek untuk meningkatkan kegiatan positif dalam kehidupan mereka.

Pelaksanaan konseling kelompok ini dibagi menjadi beberapa tahap, tahapan yang
akan dilakukan dalam konseling kelompok ini, yaitu:

1. Menciptakan hubungan terapeutik yang tepat antara konselor dengan konseli.


2. Mengenali dinamika psikologi klien.
3. Memberikan dukungan pada para klien untuk terbebas dari kasus.
4. Memberikan bantuan kepada klien untuk terbebas dari kasus sesuai dengan aspek yang
mengalami gangguan.

Dalam praktik pelaksanaan intervensi dengan kasus inferiority feeling pada dewasa
awal ini, asesor mengacu kepada proses konseling milik Adler (dalam Arief, 2019) yang
mana membutuhkan waktu selama 60 menit - 90 menit secara langsung dengan bertemu tatap
muka pada setiap sesi, dengan jumlah 7 sesi, dimana masing-masing sesinya membutuhkan
jumlah pertemuan yang berbeda berkisar antara 1 - 3 kali pertemuan dengan masing-masing
kelompok hanya diisi oleh 2-3 orang saja.
BAB IV
GAMBARAN INTERVENSI YANG AKAN
DITERAPKEMBANGKAN

Dalam melakukan intervensi klinis dengan metode konseling kelompok dalam kasus
inferiority feeling pada dewasa awal, kami selaku asesor memilih untuk menggunakan
pendekatan psikoanalisis Adler dan menerapkan konseling Adlerian sebagai bantuan
intervensi yang diberikan untuk menangani inferiority feeling yang dirasakan kelompok
dewasa awal. Seperti yang kita ketahui, bahwa Adler merupakan salah satu tokoh psikologi
dengan pandangan humanistik yang dikenal dengan salah satu teorinya mengenai inferiority.

Berdasarkan pendapat Adler mengenai Psikologi Individual, bahwa manusia tidak


dikendalikan semata-mata untuk memenuhi kesenangannya sendiri tetapi sebaliknya,
seseorang dimotivasi oleh rasa tanggung jawab sosial dan kebutuhan untuk berhasil. Adler
juga mengungkapkan bahwa manusia terlahir dengan perasaan inferior dan perasaan inferior
yang ada pada setiap manusia bukanlah suatu hal buruk, melainkan sebuah motivasi untuk
mencapai kondisi superior. Adler juga memandang bahwa manusia adalah pencipta dan
ciptaan dari kehidupan mereka sendiri, maksudnya manusia mengembangkan cara yang unik
dalam menjalani hidup untuk maju ke depan dan ekspresi tujuan hidup mereka. Adler juga
meyakini bahwa persepsi seseorang terhadap masa lalu dan persepsi mereka pada peristiwa
awal kehidupan memiliki pengaruh yang berkelanjutan (Corey&Gerald,1990)

Berdasarkan teori Psikologi Individual milik Adler (Corey & Gerald,1990), terdapat
tujuh prinsip dasar, yaitu:

1. Prinsip Rasa Rendah Diri (Inferiority Principle)

Prinsip ini menjelaskan bahwa manusia dilahirkan dengan perasaan rendah diri dimana
individu akan merasa rendah diri saat terdapat individu lain yang memiliki kemampuan
meraih sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh dirinya. Perasaan ini muncul saat individu
ingin menyaingi dan menyamai kekuatan dan kemampuan orang lain.

2. Prinsip Superior (Superiority Principle)

Berdasarkan konsep Adler, hanya terdapat satu dorongan yaitu dorongan superior
sebagai usaha untuk meninggalkan perasaan rendah diri. Superior disini merupakan superior
atas diri sendiri sebagai daya penggerak utama dalam hidup manusia untuk meningkatkan
kualitas diri bukan superior untuk membandingkan diri dengan orang lain.
3. Prinsip Gaya Hidup (Style of Life Principle)

Adler menyebutkan usaha individu untuk mencapai superioritas atau kesempurnaan


yang diharapkan, memerlukan cara tertentu sebagai gaya hidup (Style of Life). Gaya hidup
yang diikuti individu adalah kombinasi dari dua hal, yakni dorongan dari dalam diri (the
inner self driven) yang mengatur arah perilaku, dan dorongan dari lingkungan yang mungkin
dapat menambah, atau menghambat arah dorongan dari dalam tadi. Dari dua dorongan itu,
yang terpenting adalah dorongan dalam diri (inner self) itu.

Gaya hidup manusia tidak ada yang identik sama, sekalipun pada orang kembar.
Sekurang-kurangnya ada dua kekuatan yang dituntut untuk menunjukkan gaya hidup
seseorang yang unik, yakni kekuatan dari dalam diri yang dibawa sejak lahir dan kekuatan
yang datang dari lingkungan yang dimasuki individu tersebut. Dengan adanya perbedaan
lingkungan dan pembawaan, maka tidak ada manusia yang berperilaku dalam cara yang
sama.

Gaya hidup seseorang sering menentukan kualitas cara pandang yang bersifat tunggal
atas semua pengalaman yang dijumpai manusia. Misalnya, individu yang gaya hidupnya
sering memiliki perasaan diabaikan (feeling of neglect) dan perasaan tak disenangi (being
unloved) menafsirkan semua pengalamannya dari cara pandang tersebut. Gaya hidup yang
sudah terbentuk tak dapat diubah lagi, meskipun cara pengekspresiannya dapat berubah. Jadi
gaya hidup itu tetap atau konstan dalam diri manusia. Apa yang berubah hanya cara untuk
mencapai tujuan dan kriteria tafsiran yang digunakan untuk memuaskan gaya hidup.

4. Prinsip Diri Kreatif (Creative Self Principle)

Diri yang kreatif menurut Adler adalah faktor yang sangat penting dalam kepribadian
individu yang dipandang sebagai penggerak utama. Dengan prinsip ini Adler ingin
menjelaskan bahwa manusia adalah mampu menciptakan diri sesuai yang ia mau. Individu
menciptakan struktur pembawaan, menafsirkan kesan yang diterima dari lingkungan
kehidupannya, mencari pengalaman yang baru untuk memenuhi keinginan untuk superior,
dan meramu semua itu sehingga tercipta diri yang berbeda dari orang lain, yang mempunyai
gaya hidup sendiri, namun diri kreatif ini adalah tahapan di luar gaya hidup. Gaya hidup
bersifat mekanis dan kreatif, sedangkan diri kreatif lebih dari itu. Ia asli, membuat sesuatu
yang baru yang berbeda dari sebelumnya, yakni kepribadian yang baru. Individu mencipta
dirinya.

5. Prinsip Diri yang Sadar (Conscious Self Principle)

Kesadaran menurut Adler, adalah inti kepribadian individu. Meskipun tidak secara
eksplisit Adler mengatakan bahwa ia yakin akan kesadaran, namun secara eksplisit
terkandung dalam setiap karyanya. Adler merasa bahwa manusia menyadari segala hal yang
dilakukannya setiap hari, dan ia dapat menilainya sendiri. Manusia dengan tipe otak yang
dimilikinya dapat menampilkan banyak proses mental dalam satu waktu. Hal-hal yang tidak
tertangkap oleh kesadarannya pada suatu saat tertentu tak akan diperhatikan dan diingat oleh
individu.

Ingatan adalah fungsi jiwa, yang tidak bekerja secara efisien. Keadaan tidak efisien ini
adalah akibat kondisi yang tidak sempurna pada organ tubuh, khususnya otak. Adler tidak
menerima konsep ambang sadar dan alam tak sadar (preconsious dan uncounsious) Freud.
Hal ini dianggap sebagai mistik. Ia merasa bahwa manusia sangat sadar benar dengan apa
yang dilakukannya, apa yang dicapainya, dan ia dapat merencanakan dan mengarahkan
perilaku ke arah tujuan yang dipilihnya secara sadar.

6. Prinsip Tujuan Semu (Fictional Goals Principle)

Meskipun Adler mangakui bahwa masa lalu adalah penting, namun ia mengganggap
bahwa yang terpenting adalah masa depan. Yang terpenting bukan apa yang telah individu
lakukan, melainkan apa yang akan individu lakukan dengan diri kreatifnya itu pada saat
tertentu. Dikatakannya, tujuan akhir manusia akan dapat menerangkan perilaku manusia itu
sendiri. Tujuan yang dirumuskan individu adalah semua karena dibuat amat ideal untuk
diperjuangkan sehingga mungkin saja tidak dapat direalisasikan.

Tujuan fiksional atau semu ini tak dapat dipisahkan dari gaya hidup dan diri kreatif.
Manusia bergerak ke arah superioritas melalui gaya hidup dan diri kreatifnya yang berawal
dari perasaan rendah diri dan selalu ditarik oleh tujuan semu tadi. Tujuan semu yang
dimaksud oleh Adler ialah pelaksanaan kekuatan-kekuatan tingkah laku manusia. Melalui
diri keratifnya manusia dapat membuat tujuan semu dari kemampuan yang nyata ada dan
pengalaman pribadinya. Kepribadian manusia sepenuhnya sadar akan tujuan semu dan
selanjutnya menafsirkan apa yang terjadi sehari-hari dalam hidupnya dalam kaitannya
dengan tujuan semu tersebut.

7. Prinsip Minat Sosial (Social Interest Principle)

Manusia dilahirkan dikaruniai minat sosial yang bersifat universal. Dimulai pada
lingkungan keluarga, kemudian pada usia 4-5 tahun dilanjutkan pada lingkungan pendidikan
dasar dimana anak mulai mengidentifikasi kelompok sosialnya. Individu diajarkan untuk
memelihara dan memperkuat perasaan minat sosialnya ini dan meningkatkan kepedulian
pada orang lain. Melalui empati, individu dapat belajar apa yang dirasakan orang lain
sebagai kelemahannya dan mencoba memberi bantuan kepadanya.

Individu juga belajar untuk melatih munculnya perasaan superior sehingga jika saatnya
tiba, ia dapat mengendalikannya. Proses-proses ini akan dapat memperkaya perasaan
superior dan memperkuat minat sosial yang mulai dikembangkannya. Dikarenakan manusia
tidak sepenuhnya dapat mencapai superioritas, individu tetap memiliki perasaan
ketidakmampuan. Namun individu pun yakin bahwa masyarakat yang kuat dan sempurna
akan dapat membantunya mencapai pemenuhan perasaan superior. Gaya hidup dan diri
kreatif melebur dalam prinsip minat sosial yang pada akhirnya terwujud tingkah laku yang
ditampilkan secara keseluruhan.

Pelaksanaan intervensi ini akan dilakukan dalam bentuk psikoedukasi kesehatan


mental yang berfokus pada bullying kepada kelompok subjek, pihak keluarga dan orang-
orang terdekat subjek dalam kelompok serta memfasilitasi keluarga dan teman subjek untuk
bercerita mengenai subjek berdasar sudut pandang mereka dan menjembatani antara
keinginan subjek dan lingkungan untuk menciptakan kondisi positif di lingkungannya,
kegiatan ini dilakukan terpisah antara kelompok subjek yang mengalami inferiority feeling
serta masing-masing keluarga dan teman dekat subjek.

Kemudian dilanjutkan dengan intervensi dengan bentuk pendampingan dan konsultasi


dengan konseling kelompok yang berfokus pada dewasa awal dengan inferiority feeling
dengan menggunakan pendekatan Psikologi Individu/Konseling Adlerian dengan teknik
komparatif dimana konselor berupaya untuk memposisikan dirinya sesuai dengan kondisi
yang dialami oleh subjek kemudian konselor mencoba untuk membantu subjek memecahkan
masalah subjek atas dasar tersebut.

Intervensi ini memiliki tujuan untuk mengupayakan adanya perubahan konsep diri
pada subjek yang awalnya buruk menjadi lebih positif dan membantu subjek menyadari
kelebihan dan memiliki tujuan yang realistis kedepannya. Selain itu intervensi ini juga
memiliki tujuan untuk membantu subjek mengurangi perasaan inferior dan meningkatkan
ketertarikan untuk berhubungan sosial, dan mengubah gaya hidup yang salah. Pihak-pihak
yang terlibat dalam kegiatan intervensi ini adalah dewas awal yang mengalami perasaan
inferior, keluarga subjek, dan juga teman dekat subjek.

Dalam melaksanakan konseling Adlerian, seoran konselor Adlerian dituntut untuk


mampu memiliki hubungan baik dengan klien, memandang kedudukan mereka setara,
membangun rasa saling percaya, saling menghormati, dan memiliki tujuan yang sama dalam
melakukan intervensi. Konselor dituntut untuk mencoba mengembangkan suatu hubungan
yang hangat, supportif, bersahabat, empati, dan setara dengan kliennya. Konselor juga harus
mendengarkan secara aktif dan menanggapi dengan cara yang sama seperti yang dilakukan
konselor yang berpusat pada manusia (James & Gilliland, 2003).

Setelah hubungan terbangun, konselor berkonsentrasi pada analisis gaya hidup klien,
termasuk memeriksa konstelasi keluarga, kenangan awal mimpi, dan prioritas. Usaha
konselor berikutnya adalah membantu klien untuk mengembngkan pencerahan, khususnya
dengan mengajukan pertanyaan terbuka dan membuat interpretasi. Untuk mencapai
perubahan tingkah laku, konselor menggunakan teknik spesifik: konfrontasi, mengajukan
“pertanyaan”, dorongan, bertindak “seandainya”, dan pemberian tugas.

Berdasarkan uraian mengenai gambaran rancangan intervensi yang akan dilakukan,


berikut merupakan jadwal program yang akan dilaksanakan yang mengacu pada program
yang dilakukan sebelumnya oleh Arief, 2009 :

Sesi Nama Kegiatan Durasi Kegiatan Tujuan Kegiatan

Sesi 1 Psikoedukasi kepada subjek Dilakukan 2x • Memberi pemahaman


Minggu Pertama dalam kelompok dan pertemuan, masing- kepada lingkungan
lingkungan subjek seperti masing 60 menit. subjek (teman dan
teman dekat dan juga keluarga keluarga) akan
mengenai kesehatan mental 1x di akhir kesehatan mental.
yang berfokus pada bullying rangkaian kegiatan • Memfasilitasi keluarga
intervensi selama dan teman subjek untuk
1. Apa itu Bullying? 60 menit. bercerita mengenai
2. Faktor Bullying subjek berdasar sudut
3. Dampak Bullying bagi pandang mereka.
korban • Menjembatani antara
4. Dampak Bullying bagi keinginan subjek dan
kesehatan mental lingkungan untuk
menciptakan kondisi
positif di
lingkungannya.

Sesi 2 Forming a Relationship Dilakukan 2x • Membangun hubungan


Minggu Pertama pertemuan, masing- antara subjek dengan
masing 60 menit. asesor.
• Memfasilitasi subjek
untuk menceritakan
mengenai perasaannya
baik yang negatif
maupun positif.
• Menentukan tujuan
intervensi dan
menjelaskan proses
intervensi kepada
subjek.
Sesi 3 Asesmen: Exploring Dilakukan 3x, • Melakukan penggalian
Minggu Kedua Psychologycal Dynamic ER masing-masing 60 - data terkait
90 menit. permasalahan subjek.
• Menggali data secara
mendalam terkait
kondisi lingkungan dan
kondisi diri subjek.

Sesi 4 Encouraging self Dilakukan 2x, • Membantu subjek


Minggu Kedua understanding and insight masing-masing 60 menemukan value diri
menit. dan memahami dirinya.
• Memfasilitasi subjek
untuk menyadari positi
dan negatif dirinya.
• Memfasilitasi subjek
untuk menuliskan
mimpi, harapan, serta
rencananya kedepan.

Sesi 5 Reorientation Dilakukan 2x, • Subjek menuliskan


Minggu Ketiga masing- masing 60 langkah-langkah nyata
menit. untuk mencapai tujuan-
tujuan.
• Subjek menuliskan
tantangan yang akan
hadapi dalam perjalanan
mencapai tujuan.
• Bersama subjek
mendiskusikan
mengenai tanggapan
klien tentang resiko
yang harus dihadapi.

Sesi 6 Re-education Dilakukan 1x • Meminta subjek


Mingu Ketiga selama 120 menit. menuliskan bentuk
koping yang akan ia
lakukan ketika
menghadapi tantangan
dalam proses
pencapaian tujuan
subjek.
• Diskusi bentuk-bentuk
koping dan
mengedukasi mengenai
bentuk koping adaptif
lainnya yang dapat
dilakukan ketika
menghadapi
permasalahan.

Sesi 7 Terminasi Dilakukan • Penutup rangkaian


Minggu sebanyak 1x kegiatan intervensi.
Keempat dengan waktu 60 - • Merefleksikan pikiran
90 menit dan perasaan subjek
terkait proses yang telah
dilakukan bersama
asesor.

4.1 Tabel Jadwal Pelaksanaan Intervensi


DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.


Arief, M. F. (2019). Penerapan Konseling Adlerian Untuk Mengurangi Perasaan
Inferior dan Meningkatkan Social Interest pada Pasien Skizofrenia. Prosiding
Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019, 136-142.
Corey, G. (1990). Teori dan Praktek Konseling Psikoterapi. Bandung: Refika
Aditama.
Fitriani, R., Hidayati, R. N., Apriani, I. D., & Zulkifli, M. (2017). I Positive Untuk
Mengurangi Inferiority Feeling. Psikostudia: Jurnal Psikologi, 6 (2), 42-49.
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
James, R. &. (2003). Theories and Strategies in Counseling and Psychotherapy.
Allyn&Bacon.
Kartika, J. N. (2017). Efektivitas Teknik Manajemen Diri untuk Mengatasi Inferiority
Feeling. Jurnal Penelitian Pendidikan, 56-65.
Reber, R. (2010). Kamus Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
LAMPIRAN
LAPORAN ASESMEN KAJIAN AKTUAL PSIKOLOGI KLINIS

INFERIORITY FEELING PADA DEWASA AWAL

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas Kajian Aktual Psikologi Klinis

Disusun oleh:

Rindu Qory Suryani 1511418039

Shafa Kirana Dewani 1511418089

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2021
A. Gambaran Lokasi/Subjek
R adalah seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di kota asalnya, yaitu
Semarang. Ia merupakan anak perempuan pertama di keluarganya yang lahir pada tanggal 05
Januari 2001 dan saat ini berusia 20 tahun. Dalam kesehariannya, R memperlihatkan perilaku
yang mengarah pada kemunculan perasaan insecure saat bertemu dengan orang lain dan teman-
teman yang berada dalam organisasi yang sama dengan dirinya. Ia merasa tidak percaya diri dan
merasa ada yang kurang dari dirinya. R merasa tidak puas dengan dirinya sendiri yang
mengakibatkan ia membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya
sempurna. Saat ia bertemu dengan orang yang menurut dia sempura, ia selalu memuji dengan
mengeluarkan kata “Cantik banget ya, gak kayak aku. Kok aku gak bisa kayak dia?”. R sering
merasa mempunyai bentuk fisik yang besar dan jauh dari standar kecantikan yang berlaku di
Indonesia. Ia juga merasa putus asa dan stress karena ia telah melakukan berbagai upaya untuk
merubah penampilannya namun tidak membuahkan hasil.
Secara akademik, R memiliki kemampuan akademik yang cukup baik, namun R merasa
kemampuan akademik yang ia miliki sangat tertinggal jauh dengan teman-temannya yang lain,
ditambah dengan organisasi yang ia ikuti memiliki banyak tuntutan tugas yang harus ia kerjakan,
sehingga waktu untuk R mengejar ketertinggalan semakin berkurang. Ia juga menjelaskan bahwa
ia tidak terlalu memahami ilmu yang sedang ia pelajari saat ini karena sejak awal ia tidak terlalu
menyukai bidang ilmu yang ia geluti saat ini. Keputusan untuk mengambil jurusan kuliah yang
saat ini ditempuh oleh R merupakan keputusan dari orang tuanya, sebab ia tidak diizinkan untuk
mengambil jurusan yang ia minati. Sehingga ia juga merasa sangat diatur oleh orang tuanya yang
menjadikan ia merasa tidak dapat mengambil keputusan sendiri untuk masa depannya.
Alasan memilih R sebagai subjek adalah dengan melihat fenomena yang dimunculkan
oleh R melalui kegiatan sehari-hari, peneliti merasa perlu melakukan penelusuran lebih lanjut
agar mengetahui yang sebenar-benarnya terjadi. Kepentingan atau urgensi dalam pemilihan topik
inferiority feeling pada subjek R yang sedang berada pada masa dewasa awal adalah melihat hal
tersebut kerap kali ditemukan pada individu yang sedang menempuh masa dewasa awal. Hal ini
didukung oleh Hurlock (Kartika, 2017) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan yang terjadi terlalu cepat dan drastis akan menyebabkan keraguan, perasaan tidak
mampu dan tidak aman, serta dapat mengakibatkan perilaku yang kurang baik. Dilanjutkan dalam
Kartika (2017) bahwa jika seseorang mengalami inferiority feeling, maka cenderung akan
menarik diri dengan lingkungannya karena merasa terjadi kesenjangan antara harapan dan
kenyataan dengan hanya dibumbui kekuatan yang minim.
Setuju dengan pendapat Kartika, bahwa memiliki perasaan inferior merupakan hal yang
wajar bagi setiap manusia. Kartono (2010) menjelaskan bahwa inferiority feeling merupakan
perasaan yanng muncul sejak individu berusia kanak-kanak. Perasaan ini umumnya muncul sebab
adanya perasaan tidak diterima dan perasaan terhimpit yang menyiksa batinnya. Menurut
Fitriani,dkk (2017) Inferiority feeling muncul karena beberapa faktor yaitu sikap orang tua,
kekurangan fisik, keterbatasan mental, dan kekurangan sosial. Jika permasalahan yang ada pada
usia kanak-kanak ini tidak terselesaikan, hal ini akan terus berlanjut hingga ia memasuki usia
dewasa dan membentuk kerangka tetap yang menggambarkan dirinya dengan perasaan inferiority
yang belum terselesaikan tersebut. Dengan melihat dan mengetahui permasalahan yang terjadi,
maka menurut peneliti permasalahan yang dialami R memiliki urgensi penelitian untuk dibahas.
B. Tujuan Asesmen
Dalam pelaksanaan asesmen tentu memiliki tujuan tertentu, utuk itu tujuan dari
dilakukannya asesmen pada kasus ini adalah guna menetapkan diagnosis kasus berdasarkan
gejala yang dirasakan oleh subjek, menggali informasi serta memperoleh gambaran dan
pemahaman mendalam mengenai inferiority feeling atau perasaan inferior yang dialami oleh
subjek serta mengetahui penyebab dan akibatnya yang kemudian dapat digunakan untuk
melakukan pemberian intervensi secara tepat.

C. Manfaat Asesmen
Adapun manfaat yang didapatkan dari proses asesmen klinis berdasarkan kasus tersebut,
yaitu:
1 Membantu memperoleh data mendalam mengenai gambaran kasus yang dialami oleh subjek
penelitian.
2 Membantu menentukan diagnosis yang tepat berdasarkan kasus subjek penelitian.
3 Membantu menentukan metode intervensi yang tepat sesuai dengan gejala yang dialami
subjek penelitian.

D. Metode/Instrumen Asesmen
Dalam asesmen yang dilakukan, metode yang digunakan adalah wawancara, observasi,
dan tes grafis berupa DAP, BAUM, dan HTP. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan-
pertanyaan yang berdasar dari aspek-aspek inferiority feeling milik Fleming & Courtney, dengan
penjabaran sebagai berikut:
Fleming dan Courtney (dalam Robinson, Shaver, dan Wrightman, 1991) menjabarkan
inferiority feelings dalam alat ukurnya yang bernama Feeling of Inadequacy Scale yang
mengindikasikan perasaan tidak mampu dalam lima aspek berikut ini:
a. Social confidence
Merupakan perasaan kurang pasti, merasa kurang bisa diandalkan, dan kurangnya rasa
percaya pada kemampuan seseorang dalam situasi yang melibatkan orang lain. Faktor social
confidence lebih mendekati pada umur dan pengalaman (dalam Fleming dan Courtney 1984).
b. School abilities
Merupakan perasaan tidak mampu atau tidak berdaya terhadap kualitas, kekuatan, daya
kompetensi, kecakapan, keahlian, keterampilan, kesanggupan dalam melakukan tugas
akademik.
c. Self-regard
Penghormatan terhadap dirinya sendiri yang rendah atau kurangnya perhatian dan
pertimbangan terhadap kepentingan dan minatnya sendiri. Menurut Jorfi, dkk (2010) self-
regard adalah persepsi individu terhadap dirinya.
d. Physical appearance
Individu dengan inferiority feelings sangat memperhatikan penampilannya, dia akan
berusaha memperhatikan penampilan tubuhnya, ini merupakan salah satu bentuk untuk
mengkompensasikan inferiority feelings miliknya.
e. Physical abilities
Perasaan diri lebih lemah dalam hal kemampuan tubuh yang dimiliki serta potensi
individu untuk melakukan performasi yang berkaitan dengan fisiknya dibandingkan teman
atau kelompok sebayanya. Berdasarkan aspek-aspek yang diungkapkan oleh para tokoh di
atas dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini akan menggunakan aspek social
confidence, school ability, self-regard, physical appereance, dan physical abilities. Aspek-
aspek ini dirasa sudah bisa mewakili dalam pengukuran inferiority feeling.
Wawancara yang dilakukan dalam asesmen ini merupakan wawancara semi terstruktur
yang dilakukan sebanyak satu kali di awal yang digunakan untuk mengungkapkan adanya
keberadaan fenomena yang ingin diangkat. Kemudian wawancara selanjutnya dilakukan
dengan wawancara terstruktur dengan menggunakan interview guide yang sudah
dipersipakan sebelumnya yang disusun berdasarkan aspek-aspek dari variabel yang telah
ditentukan.
Kemudian untuk metode observasi, peneliti mengobservasi perilaku yang muncul
dan dilakukan oleh subjek penelitian selama proses wawancara berlangsung, seperti
reaksi non-verbal, gesture, intonasi suara, mimik wajah, dan lain sebagainya. Mills
(dalam Herdiansyah, 2015) menjelaskan, bahwa definisi observasi sebagai kegiatan
yang sudah direncanakan dan fokus untuk melihat dan mencatat semua perilaku atau
jalannya sistem dengan tujuan tertentu, serta mengungkap latar belakang munculnya
perilaku dan landasan sistem tersebut.
Yang terakhir digunakan adalah tes grafis yang berfungsi mengukur perbedaan-
perbedaan antar individu yang sama dalam situasi yang berbeda. Kegunaan tes
psikologi yang digunakan adalah untuk menelaah kepribadian subjek penelitian, dan
teknik proyektif merupakan cara dalam pengukuran yang lebih banyak digunakan
dalam ranah psikologi klinis. Dalam asesmen ini, teknik proyektif yang digunakan
adalah tes grafis, dimana subjek diminta untuk menggambar tiga bagian tes, antara
lain DAP (Draw A Person), BAUM dan HTP (House Tree Person).
Tes Draw A Person atau DAP merupakan salah satu contoh tes grafis, tes grafis itu
sendiri merupakan tes yang menggunakan teknik proyektif untuk melihat kepribadian
seseorang dari ekspresi gambar yang dibuatnya. Tes ini sering digunakan untuk
mengungkapkan emosi-emosi yang tidak dapat diungkapkan pada tes lain. Tes DAP
memberikan gambaran mengenai bagaimana individu memandang dirinya sendiri. Kelebihan
dari tes ini adalah mampu mengungkapkan emosi subjek, memiliki administrasi yang mudah,
dan waktu yang singkat. Namun tes ini juga memiliki kelemahan pada skoring yang kurang
objektif.
Tree-Drawing Test (TDT) yang juga dikenal sebagai Baum Test ('baum' yang berarti
'pohon' dalam bahasa Jerman). Penerapan dan penggunaan tes menggambar pohon pertama
kali dilakukan oleh Emil Jucker, yang digunakan untuk konsultasi pemilihan jurusan. Pohon
dipilih karena memiliki elemen penting dalam mitologi dunia, pohon memiliki karakteristik
yang hampir sama dengan manusia yang diartikan sebagai gambaran id,ego, dan superego.
Tes Baum bertujuan untuk memeriksa atau menilai karakter dan kepribadian individu serta
mengetahui cara individu mengekspresikan diri dilingkungannya seperti self image dengan
cara menganalisis pohon yang telah dibuat oleh individu terkait. Kelebihan tes ini adalah
mudah diadministrasikan, bersifat culture fair, waktu yang dibutuhkan singkat. Namun tes
ini juga memiliki kelemahan, yaitu skoring yang kurang objektif dan tidak dapat digunakan
pada subjek yang memiliki IQ rendah sebab gambar mereka cenderung sangat kecil.
House Tree Person Test (tes HTP) dijelaskan oleh Hogan (dalam Rahaju, 2014),
yaitu salah satu bentuk tes yang menggunakan hasil gambar lndividu untuk
mendapatkan data mengenai kepribadiannya. Tes Gambar (drawing test) tergolong
tes yang menggunakan teknik proyektif dengan dua karakteristik utama, yaitu
stimulus yang dihadirkan bersifat "kabur" (ambigous stimuli) dan bersifat free-
response format yang artinya semua respon individu adalah benar, karena respon
yang diberikan individu lebih ditentukan oleh dinamika kepribadian individu
tersebut. Dalam gambar HTP terdapat tiga komponen utama yang perlu digambar
oleh subjek, berupa rumah, pohon, dan orang. Gambar rumah dan pohon dalam tes
HTP akan mewakili figur orang tua individu atau lingkungan keluarganya.
Sedangkan gambar orang mewakili persepsi individu mengenai dirinya sendiri
meliputi body image, self-concept, sikap dan suasana hati.

E. Pihak yang Terlibat


Pihak yang terlibat dalam pengambilan data penelitian ini adalah Shafa Kirana Dewani
yang berperan sebagai penggali data (interviewer) dan subjek R sebagai interviewee yang
memberikan keterangan-keterangan keperluan data yang diambil. Kemudian ketika pelaksanaan
observasi, Shafa Kirana Dewani sebagai observer atau pengamat yang melihat dan
memperhatikan segala tingkah laku observee, dimana dalam penelitian ini yang menjadi observee
adalah R.

F. Rencana Pelaksanaan Asesmen

Waktu Jumlah Asesmen Pihak yang Metode Asesmen Tujuan Asesmen


Pelaksanaan Terlibat

24 aret 2021 1  Shafa Kirana Wawancara Melakukan Studi


Dewani Pendahuluan
 Subjek R Melihat Fenomena
Kasus

18 April 2021 2  Shafa Kirana Wawancara Melakukan


Dewani Penggalian Data
 Subjek R Observasi Kasus Terkait
Variabel yang
Telah Disepakati

19 April 2021 1  Shafa Kirana Tes Grafis Melakukan


Dewani Penggalian Data
 Subjek R Kasus Terkait
Variabel yang
Telah Disepakati

G. Hasil Asesmen
Berdasarkan wawancara, observasi, dan tes grafis yang telah dilaksanakan, maka dapat
disimpulkan bahwa subjek mengalami perasaan inferior pada dirinya. Dalam wawancara
diperoleh informasi bahwa subjek R mengaku dirinya insecure akan kondisi fisiknya, dimana R
merasa dirinya tidak sesuai dengan standar kecantikan perempuan di Indonesia, menurut R
dirinya memiliki tubuh yang agak gemuk dan tidak terlalu tinggi.
Perasaan insecure muncul karena komentar-komentar orang lain yang menyinggung
dirinya. R sering overthinking dan rendah diri akan penampilan dirinya karena R merasa sudah
berusaha sebaik mungkin untuk menerima dirinya, namun melalui komentar dan perlakuan orang
lain yang membuat R kembali menjadi dirinya yang tidak dapat menerima. R berpikir bahwa
penampilan yang sesuai dengan standar kecantikan di Indonesia sangat dihargai dan dirinya ingin
mengikuti standar tersebut walaupun R sudah merasa dirinya berharga.
Berdasarkan hasil observasi juga menunjukkan bahwa subjek terlalu memperhatikan
penampilan, terbukti dengan perilakunya yang sering membenarkan dan merapihkan pakaian
yang dikenakannya, merasa tidak nyaman dengan pakaian yang digunakan, dan sering
membandingkan dirinya dengan orang-orang yang ada di sekitarnya ketika berada di keramaian.
Hal ini diperkuat dengan tes grafis yang memberikan hasil bahwa dengan komponen
kepala yang tidak lengkap, beberapa bekas penggunaan penghapus, dan inkonsistensi gambar
subjek. Selain itu garis gambar ragu-ragu, tipis, terputus-putus juga menunjukkan adanya keragu-
raguan dalam diri subjek dan juga ketakutan, rasa tidak aman, insecure, dan perasaan kurang
mampu. Subjek juga menunjukkan sikap ketergantungan kepada orang lain yang ditunjukkan
berdasarkan gambar kaki yang kecil dan terarsir.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumanty dkk (2018) bahwa penampilan
fisik adalah hal yang pertama kali dilihat saat seseorang berinteraksi dengan orang lain, oleh
karena itu tidak heran jika setiap individu sangat memperhatikan penampilan fisiknya. Perhatian
terhadap penampilan fisik, biasanya dominan dilakukan oleh wanita dalam rentang usia dewasa
awal karena tuntutan tugas masa perkembangannya. Hal ini juga disampaikan oleh Hurlock
bahwa dewasa awal adalah masa transisi dari masa remaja menuju dewasa dengan tugas
perkembangan mendapatkan suatu pekerjaan, mengelola rumah tangga, menjadi warga negara
yang baik, mengasuh anak, mencari teman hidup atau pasangan dan menikah.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Munawarah (2017) juga menjelaskan bahwa
kelebihan berat badan menyebabkan wanita mengalami tekanan pada standar kecantikan di
lingkungan sosial, mendapatkan julukan yang tidak disukai dan sering dijadikan bahan gurauan.
Perlakuan seperti itulah yang tidak disukai dapat menimbulkan perasaan rendah diri atau feeling
of inferiority yang menyebabkan seseorang menarik diri dari lingkungannya.
Diperkuat lagi dengan berdasarkan penelitian dari Alifa & Rizal (2020), bahwa sebagian
besar wanita dengan berat badan berlebih memiliki tingkat social comparison sedang, namun
tidak sedikit wanita yang meiliki ketidakpuasan tubuh pada kategori tinggi dan sangat tinggi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa wanita usia dewasa awal yang kelebihan berat badan
cenderung akan membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain dan merasa tidak puas akan
tubuh yang dimilikinya, maka dirinya akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi sesuai akan
standar kecantikan yang dipandang banyak orang.
R mengaku dirinya introvert dan kurang suka bergaul, sesuai dengan hasil observasi juga
menunjukkan bahwa dirinya tidak senang berada dalam keramaian. Namun karna merasa dalam
perkembangan zaman saat ini relasi penting, maka R berusaha untuk memiliki jaringan
pertemanan yang baik dengan cara mengikuti organisasi seperti BEM di kampusnya. Namun
karena banyaknya waktu yang perlu dibagi-bagi, R juga merasa tertinggal dari teman-temannya.
Hal itu membuat R merasa terkadang malas dalam mengerjakan tugas karena merasa sudah
tertinggal. Dibuktikan dengan data dari observasi bahwa R menunjukkan perilaku malas dan
kurang bersemangat dalam menegerjakan tugas. Dalam lingkungan keluarga juga R merasa tidak
dekat dengan orang tuanya, hal itu terjadi karena di rumah selalu merasa seperti anak kos yang
mana orang tua hanya ada pagi dan malam hari saja. Oleh karena itu R lebih sering menyimpan
segala perasaan senang dan gundahnya seorang diri.
Sesuai dengan hasil tes grafis yang ditunjukkan oleh gambar R, bahwa dirinya
menuliskan bahwa seseorang yang ada di gambar berusia 18 tahun dengan jenis kelamin laki-laki
dan sedang tidak melakukan hal apa-apa. Hal ini menunjukkan bahwa subjek tidak mampu
menghayati perkembangan di usianya dimana kemampuan emosi subjek masih berada pada usia
18 tahun, subjek juga memiliki kontrol emosi yang kaku dan merasa tertekan. Berdasarkan
analisis yang dilakukan pada Tes BAUM, didapatkan bahwa subjek memiliki rasa ingin
mendominasi, ingin berkuasa, dan memiliki ambisi yang besar. Namun subjek merasa kurang
mampu, memiliki perasaan lemah, ragu-ragu, labil, pengambilan keputusan tidak tegas, dan
memiliki kecemasan. Subjek juga memiliki kepribadian introvert dan berorientasi pada diri
sendiri. Selain itu subjek juga sering membanding-bandingkan dirinya. Hal tersebut terlihat dari
gambar subjek yang memperlihatkan tekanan garis pada gambar lemah.
Penelitian mengenai inferiority feeling secara akademik masih sangat jarang dilakukan
oleh peneliti. Namun terdapat satu penelitian yang mengungkapkan mengenai inferiority feeling
akademik. Menurut Strano dan Petrocelli (2005) tingkat perasaan rendah diri mempengaruhi
prestasi akademis individu. Perasaan rendah diri pada individu mempengaruhi motivasi untuk
berprestasi di lingkungan pendidikan, pandangan tidak realistis tentang diri mereka juga
memperkeruh pondasi motivasi individu untuk berjuang secara akademis. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa inferiority feeling merupakan mediator
dalam pencapaian prestasi akademik individu dengan menekan pada motivasi untuk menggapai
prestasi akademik itu sendiri.
Hal ini sesuai dengan Adler (Feist, 2017:77) yang menyatakan bahwa manusia terlahir
lemah dan memiliki perasaan inferior. Perasaan inferior mengakibatkan ketergantungan hubungan
dengan orang lain. Perasasan inferior yang terdapat dalam diri individu akan memunculkan
perasaan untuk berjuang mencapai superioritas.
Pada teori kompleks inferioritas menurut Adler (Feist, 2017:79) menyatakan bahwa
individu yang mengalami inferioritas berlebih secara tidak sadar menyembunyikan
kecenderungan untuk memikirkan diri sendiri dan mengabaikan orang lain. Adler (Feist, 2017:90)
menyatakan bahwa manusia memiliki pola sadar untuk melindungi diri akan rasa malu di muka
umum. Hal ini disebut dengan kecenderungan untuk melindungi (safeguarding tendencies).
Bentuk dari kecenderungan melindungi diri menurut Adler adalah membuat alasan, agresi, dan
menarik diri.
Diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Mosak (dalam Hasper, 2013)
menyatakan bahwa perasaan inferior muncul akibat dari rendahnya harga diri yang secara tidak
langsung bersinggungan dengan proses membandingkan diri dengan seseorang dan menyebabkan
munculnya perasaan terisolasi dan merasa tidak dimiliki.

H. Kesimpulan
Pada individu dengan usia dewasa awal cenderung lebih banyak mengalami masalah
inferiority feeling. Mayoritas individu yang mengalami permasalahan inferiority feeling adalah
individu wanita dewasa awal dimana mereka banyak mengkhawatirkan, merasa berkecil hati, dan
tidak mampu yang menjadikan mereka menjadi tidak percaya diri atas diri mereka, terutama
berkaitan dengan penampilan, bentuk tubuh, dan kemampuan yang berhubungan dengan
akademik dan karir. Perasaan ini muncul karena adanya perilaku membandingkan diri dengan
standar orang lain yang menurut individu sempurna. Hal ini menjadi peluang kemunculan
masalah psikologis lain seperti depresi dan juga kecemasan bahkan tidak menutup kemungkinan
memunculkan permasalahan pada gangguan makan, sebab menurut Afnan,dkk (2020) individu
akan merasa malu jika ia tidak masuk dalam kriteria standar tersebut dan mereka akan melakukan
apapun untuk dapat mencapai kriteria tersebut, ketika hal tersebut tidak kunjung tergapai maka
peluang kemunculan permasalahan psikologis lain akan muncul.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi pada subjek penelitian berdasarkan asesmen yang
telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa subjek mengalami perasaan inferior yang
cenderung mengarah pada aspek fisik. Subjek R merasa inferior pada penampilannya, terutama
bentuk tubuh yang dimiliki dan berusaha untuk menjadi sesuai dengan standar penilaian orang
lain. Subjek penelitian juga menunjukkan perasaan inferior mengenai kemampuannya dalam hal
akademik dimana dirinya merasa khawatir dan takut tertinggal padahal sebetulnya subjek mampu
untuk mengatasinya. Hal tersebut menjadi alasan kami memilih subjek R dan kasus ini untuk
diangkat sebab kasus ini menarik dan urgent untuk diperdalam lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Afnan, A., Fauzia, R., & Tanau, M. U. (2020). HUBUNGAN EFIKASI DIRI DENGAN STRES
PADA MAHASISWA YANG BERADA DALAM FASE QUARTER LIFE CRISIS.
Kognisia: Jurnal Mahasiswa Psikologi Online 3 (1), 23-29.
Alifa, A. N., & Rizal, G. L. (2020). HUBUNGAN SOCIAL COMPARISON DAN BODY
DISSATISFACTION PADA WANITA YANG MEMILIKI KELEBIHAN BERAT
BADAN (OVERWEIGHT). Jurnal Proyeksi Vol. 15 (2) , 110-119.
Feist, J., & Feist. (2017). Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.
Hasper, J. (2013). Management of Inferior Feelings and Addictive Behaviors. (Thesis) Adlerian
Counselling and Psychotherapy.
Herdiansyah, H. (2015). METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF UNTUK ILMU
PSIKOLOGI. Jakarta: Salemba Humanika.
Kartika, J. N. (2017). Efektivitas Teknik Manajemen Diri untuk Mengatasi Inferiority Feeling.
Jurnal Penelitian Pendidikan, 56-65.
Kartono, K. (2010). Patologi Sosial 3 Gangguan-Gangguan Kecemasan. Jakarta: Grafindo.
Munawarah R.A., R. R. (2017). Feeling of Inferiority Siswa Obesitas di SMPI Khaira Umah
Padang. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama Dan Jender.
Nurhayati, R., & Santoso, A. (2018). Hubungan antara Ekspresi Gambar Orang dan Faktor-
Faktor Kepribadian 16PF. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 165-182.
Rahaju, S. (2014). Pemanfaatan House Tree Person Testpada Asesmen Psikologi Perilaku
Kriminal Remaja. 119-128.
Robinson, J. P., Phillip, R. S., & Lawrence, S. W. (1991). Measures of Personality and Social
Psychological Attitudes. United States of America: Academic Press.
Strano, D. A., & Petricelli, J. V. (2005). A Preliminary Examination of the Role of Inferiority
Feeling in the Academic Achievement of College Students. The Journal of Individual
Psychology Vol. 61, 80-89.
Sumanty, D., Sudirman, D., & Puspasari, D. (2018). Hubungan Religiusitas dengan Citra Tubuh
pada Wanita Dewasa Awal. Jurnal Psikologi Islam dan Budaya, 9-28.
UNPAD, F. P. (2020, September 18). Makalah Tree Rest (BAUM) Class B. Retrieved Mei 2,
2021 from Studocu:
https://www.studocu.com/id/document/universitaspadjadjaran/pengantar-
psikodiagnostika/mandatoryassignments/makalah-tree-test-baum-class-b/6108530/view

I. Lampiran
a. Interview Guide
ASPEK PERTANYAAN
Social confidence 1. Menurut anda, apakah anda orang yang dapat
dipercaya?
2. Menurut anda, apakah lingkungan berpengaruh
terhadap kehidupan anda?
3. Bagaimana hubungan anda dengan teman anda?
4. Apakah menjalin relasi dengan orang lain penting bagi
anda? Mengapa?
5. Bagaimana hubungan anda dengan keluarga anda?
6. Apakah anda memiliki kekhawatiran dengan relasi
pertemanan anda?
7. Bagaimana sikap anda saat berjumpa dengan teman
baru?
School Abilities 8. Bagaimana kondisi perkuliahan anda akhir-akhir ini?
9. Apakah anda puas dengan pencapaian akademik anda?
10. Apakah anda merasa anda mampu bersaing dengan
teman-teman anda?
11. Apakah anda merasa khawatir dengan pencapaian anda
dalam bekerja atau pelajaran kuliah?
12. Mata kuliah apa yang paling anda kuasai?
13. Apa rencana anda setelah selesai kuliah nanti?
Self-Regards 14. Bagaimana deskripsi diri anda menurut anda sendiri?
15. Apakah anda menyukai diri anda saat ini?
16. Apakah menurut anda diri anda berharga? Mengapa?
17. Apakah anda sudah puas dengan kondisi diri anda?
18. Apa hal yang anda sukai dari diri anda? Mengapa?
19. Apakah ada hal yang harus dirubah dari diri anda?
Mengapa?
Physical Appearance 20. Seberapa penting penampilan untuk anda?
21. Apakah bentuk tubuh anda saat ini mengganggu?
mengapa?
22. Apakah anda puas dengan kondisi penampilan dan
fisik anda saat ini? Mengapa?
23. Apakah anda berniat merubah penampilan fisik anda
saat ini?
24. Apakah menurut anda penampilan fisik anda menarik
bagi lawan jenis anda? Mengapa?
25. Jika dibandingkan dengan teman anda, apakah
penampilan anda menarik?
Physical Abilities 26. Bagaimana kondisi kesehatan fisik anda saat ini?
27. Apakah anda merasa kesehatan anda terganggu?
28. Apakah kondisi kesehatan anda mengganggu aktivitas
anda saat ini?
29. Jika dibandingkan dengan teman anda, apakah anda
memiliki kemampuan fisik yang baik?
30. Apakah anda menyukai kegiatan fisik?

b. Tabel Observasi
1. Nama Observer: Shafa Kirana Dewani ‘
2. Nama Observee: R
3. Lokasi: Kamar masing-masing observee
4. Hari/tanggal: Minggu, 18 April 2021

NO PERILAKU CHECK

1. Merasa tidak nyaman dengan baju yang dikenakan V


2. Selalu merapihkan baju yang dikenakan dan berkaca dengan V
intensitas yang sering (lebih dari 3x)

3. Merasa kesulitan dan tidak mampu mengerjakan tugas -

4. Sering melihat sekitar dan mengeluarkan pernyataan yang V


bersifat membandingkan dirinya

5. Memunculkan perilaku tidak bersemangat dalam mengerjakan V


tugas

6. Merasa tidak nyaman dengan riasan yang digunakan -

7. Merasa tidak nyaman saat dikeramaian V

c. Hasil Tes Grafis


Berdasarkan hasil analisis terhadap gambar subjek R pada Tes DAP, yang pertama R
menuliskan usia tidak sesuai dengan usia kronologisnya saat ini, ia menuliskan bahwa seseorang
yang ada di gambar berusia 18 tahun dengan jenis kelamin laki-laki dan sedang tidak melakukan
hal apa-apa. Hal ini menunjukkan bahwa subjek tidak mampu menghayati perkembangan di
usianya dimana kemampuan emosi subjek masih berada pada usia 18 tahun, subjek juga memiliki
kontrol emosi yang kaku dan merasa tertekan. Gambar dengan jenis kelamin yang berlawanan
menunjukkan bahwa ia memiliki sikap ketergantungan tinggi terhadap orang tua yang berlawanan
jenis dengan dirinya. Selain itu hasil analisis juga menunjukkan bahwa subjek memiliki beberapa
hambatan dalam hubungan sosial, besifat kaku, memiliki defensive terhadap permusuhan atau
kesulitan mengontrol dorongan permusuhan, amarah, agresifitasm dan over kritik serta sadistik
verbal. Hal tersebut ditunjukkan dengan gambar bahu yang tegap kotak dan simetris, gambar
slash of mouth, mata bulat ditengah, dan arsiran rambut yang tidak rapih.
Selain itu berdasarkan gambar, subjek juga menunjukkan keragu-raguan yang
ditunjukkan dengan komponen kepala yang tidak lengkap, beberapa bekas penggunaan
penghapus, dan inkonsistensi gambar subjek. Selain itu garis gambar ragu-ragu, tipis, terputus-
putus juga menunjukkan adanya keragu-raguan dalam diri subjek dan juga ketakutan, rasa tidak
aman, insecure, dan perasaan kurang mampu. Subjek juga menunjukkan sikap ketergantungan
kepada orang lain yang ditunjukkan berdasarkan gambar kaki yang kecil dan terarsir.
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada Tes BAUM, didapatkan bahwa subjek
memiliki rasa ingin mendominasi, ingin berkuasa, dan memiliki ambisi yang besar. Namun
subjek merasa kurang mampu, memiliki perasaan lemah, ragu-ragu, labil, pengambilan keputusan
tidak tegas, dan memiliki kecemasan. Subjek juga memiliki kepribadian introvert dan berorientasi
pada diri sendiri. Selain itu subjek juga sering membanding-bandingkan dirinya. Hal tersebut
terlihat dari gambar subjek yang memperlihatkan tekanan garis pada gambar lemah dan terdapat
shading, lokasi gambar yang condong ke arah kiri, arah mahkota ke kanan, dahan tersebar, batang
condong ke arah kiri, dan akar yang tidak penuh serta ujungnya terbuka. Diperkuat dengan hasil
analisis pada Tes HTP yang menunjukkan subjek memandang dirinya lemah, merasa tidak aman,
ada ketergantungan pada lingkungan, ragu-ragu, labil dan tidak yakin terhadap diri sendiri yang
ditunjukkan pada gambar orang yang sangat kecil, rumah yang tidak dilengkapi pagar, garis
arsiran yang ragu-ragu.
LAMPIRAN INFORMED CONSENT

Anda mungkin juga menyukai