Nim : 2102014278
Kelas : 5 B Manajemen Sore
Mata kuliah : Kepemimpinan dan Kepemimpinan Hindu
ARTIKEL
1. KHARISMATIK
Pemimpin karismatik sering dianggap sebagai sosok orator yang mahir menyampaikan
visi.
Pasalnya, seorang pemimpin karismatik mengandalkan gaya berbahasa yang fasih, pesona
daya tarik, dan kemampuan “merayu” demi mencapai tujuan tersebut.
Seorang pemimpin berkarisma paham pentingnya menjadi panutan yang baik untuk bisa
mendapatkan kepercayaan publik.
Maka, mereka sering memilih terjun ke lapangan di garda terdepan untuk langsung
mempromosikan visinya.
Itu kenapa tidak jarang pula seorang pemimpin sampai rela berkorban bersama dengan
“pengikutnya”.
Dengan kepercayaan diri tinggi, mereka dapat mempertahankan kontak mata dengan
siapa pun lawan bicara mereka dan membuat orang lain merasa bahwa pendapat dan visi
mereka berharga.
Aura kehadiran yang kuat juga membantu para pemimpin karismatik mengasah
keterampilan mendengarkan mereka.
Alih-alih memikirkan harus berkata apa selanjutnya, mereka memusatkan perhatian pada
apa yang dikatakan lawan bicaranya dengan aktif mendengarkan.
Bahkan, mereka merasa penting untuk bisa menempatkan diri pada posisi orang tersebut
dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan.
Baca Juga: Membangun Relasi Antara Bos dan Karyawan yang Baik
3. Kemampuan dalam me-manage situasi
Pemimpin karismatik juga tahu bagaimana memanfaatkan body language dan membaca
atmosfer lingkungan untuk membuat orang lain merasa nyaman.
Banyak yang mahir dalam merajut kata-kata yang tepat dan efektif untuk menyampaikan
pesan, baik itu saat berbicara empat mata ata di hadapan ribuan orang.
Para pemimpin ini memiliki kemampuan untuk keluar dari kerangkeng diri mereka
sendiri dan mengkritik bagaimana mereka berperilaku dan berinteraksi, dengan harapan
dapat memunculkan dampak yang lebih relevan di masyarakat.
Pemimpin percaya akan kemampuan diri sendiri untuk menghadapi tantangan secara
langsung.
Mereka juga bersedia melawan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda tentang
kelompok atau organisasinya.
Sebab, mereka memiliki keyakinan terhadap visi dan misi yang dipegang teguh.
7. Rendah hati
Para pemimpin karismatik yang efektif menghargai nilai, bakat, dan keterampilan yang
dimiliki setiap orang.
Pemimpin dapat membuat karyawan merasa menjadi bagian dari tim terpadu yang
berjuang untuk tujuan yang sama.
1. Peningkatan loyalitas
Perusahaan yang dipimpin karismatik cenderung kohesif karena pekerjanya memiliki
tujuan yang jelas.
Tujuan mereka adalah membuat karyawan merasa bahwa pekerjaan mereka penting dan
bakat mereka diapresiasi.
Hal ini pada akhirnya dapat meningkatkan loyalitas dan kontribusi aktif dari setiap
karyawan. Risiko turnover pun dapat diturunkan.
2. Pembibitan pemimpin baru
Karisma yang terpancar dari pemimpin dan manajer dapat memacu karyawan di bawah
mereka untuk menjadi calon pemimpin selanjutnya.
Berangkat dari mencontohkan sebagai panutan, pemimpin pun dapat “mewarisi” gaya
kepemimpinan karismatik yang sama pada penerus selanjutnya.
Pada akhirnya, calon pemimpin berikutnya akan mengadopsi gaya manajemen yang sama
dan menjadi kultur dalam perusahaan tersebut.
3. Produktivitas tinggi
Para pemimpin ini sangat terampil dalam mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat dari
orang-orang yang mereka kelola.
Maka kesalahan diperlakukan sebagai peluang belajar untuk aktualisasi diri, bukan
konsekuensi yang perlu hukuman.
Karyawan didorong untuk menemukan solusi lain untuk masalah ketika rencana semula
tidak berhasil.
Kekurangan
1. Salah fokus
Kekuatan mereka untuk memengaruhi orang lain bisa membutakan.
Para pemimpin karismatik kadang menjadi tidak responsif terhadap bawahan atau
konstituen mereka.
Ini bisa membuat mereka terlena dan menjadi sombong, sehingga justru banting setir
mengubah arah haluan organisasi.
Ia juga rentan melakukan pelanggaran finansial atau etika karena merasa percaya mereka
berada di atas hukum.
2. PATERNALISTIK
Meski nampak positif, namun gaya kepemimpinan ini mungkin tidak cocok untuk semua
situasi. Bawahan mungkin menganggap pimpinan terlalu campur tangan karena
memegang otoritas dan pengaruh yang kuat di dalam organisasi. Seperti apa yang
dipikirkan oleh seorang anak tentang bapak: apa yang dianggap terbaik oleh seorang
bapak belum tentu terbaik menurut anak.
pimpinan adalah dominan. Mereka adalah figur otoritas yang tahu apa yang terbaik untuk
organisasi. Sehingga, mereka menjadi sosok yang dominan dan tegas. Selain itu, mereka
selalu membuat keputusan akhir dan mengharapkan bawahan untuk patuh dan setia.
pimpinan peduli dengan bawahan. Mereka juga menunjukkan rasa hormat terhadap
kepentingan atau kesejahteraan bawahan. Sehingga, ketika mengambil keputusan, mereka
mempertimbangkan bagaimana dampaknya terhadap bawahan mereka. Selain itu, mereka
mendorong bawahan untuk menjadi seorang yang lebih baik, lebih terampil dan maju.
Mereka memberikan kesempatan kepada bawahan untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan mereka, termasuk memberi bawahan sumber daya yang diperlukan.
pimpinan membangun lingkungan kerja yang bersahabat. Bawahan melihat rekan kerja dan
pemimpin sebagai sebuah keluarga dan begitu juga sebaliknya. Itu menghasilkan manfaat,
seperti komitmen, kekompakan, dan kepuasan berbasis tim.
pimpinan memiliki pengaruh yang kuat di dalam organisasi. Di satu sisi, mereka
menunjukkan jalan kepada bawahan untuk mencapai tujuan tertentu. Di sisi lain, mereka
menetapkan aturan, kebijakan, sanksi dan penghargaan ketika menjalankan wewenang.
Pengaruh yang kuat juga dicirikan oleh kontrol, kekuasaan dan otoritas.
pimpinan berusaha menjaga hubungan dekat dengan bawahan mereka. Pemimpin baik hati
dan mendorong semangat kerja. Selain itu, mereka juga merangsang bawahan untuk untuk
memberikan pendapat positif dalam pengambilan keputusan.
pimpinan memiliki integritas yang kuat. Mereka memberi contoh yang baik kepada bawahan,
misalnya disiplin diri. Selain itu, mereka memberikan penekanan pada keadilan dan
kesamaan dalam pengambilan keputusan. Dan mereka membuat perbedaan yang jelas antara
kepentingan organisasi dan pribadi.
3. bawahan patuh. Mereka mematuhi berbagai aturan dan peraturan karena pikir itu
semua demi kepentingan mereka. Selain itu, kepatuhan juga datang dari rasa hormat
mereka kepada pimpinan. Sebagai hasilnya, organisasi beroperasi dengan normal
dengan penyimpangan yang minimal.
4. loyalitas dan retensi tinggi. Bawahan merasa keberadaan mereka diakui dan
kebutuhan mereka diperhatikan. Akhirnya, itu menumbuhkan loyalitas tinggi kepada
pimpinan dan organisasi. Selain itu, lingkungan kerja yang bersifat kekeluargaan
membuat mereka betah. Akhirnya, mereka enggan untuk meninggalkan perusahaan
karena mungkin sulit untuk menemukan lingkungan yang sama.
1. pimpinan kurang adil. Pimpinan mungkin tidak obyektif ketika membuat pilihan atau
keputusan. Mereka mungkin lebih memihak beberapa bawahan atas yang lain. Itu
akhirnya memunculkan kecemburuan dan kebencian, meracuni lingkungan tempat
kerja.
2. pilih kasih dan aturan yang kaku memunculkan masalah lainnya, yakni demotivasi.
Itu meningkatkan tekanan dan ketidakpercayaan diantara bawahan. Akhirnya, mereka
tidak loyal ke organisasi.
4. bawahan terlalu tergantung pada pimpinan karena terlalu memanjakan mereka. Atasan
terlalu mendikte apa yang terbaik bagi bawahan. Akhirnya, mereka tidak tumbuh
menjadi mandiri. Sebaliknya, mereka semakin tergantung pada pemimpin, bahkan
untuk menyelesaikan tugas yang diberikan.
3. MILITERLISTIS
Kepemimpinan Tipe Militeristik
Militerisme adalah suatu pemerintahan yang didasarkan pada jaminan keamanannya terletak
pada kekuatan militernya dan mengklaim bahwa perkembangan dan pemeliharaan militernya
untuk menjamin kemampuan itu adalah tujuan terpenting dari masyarakat
Kelemahan
· Bawahan/anggota tidak memiliki hak dan kontribusi apapun dalam pengambilan
keputusan, terlalu kaku dan formal
· Kurang menghargai pendapat anggota, anggota hanya bisa berpendapat jika diminta
pendapatnya saja serta terlalu bergantung pada atasan.
· Suasana cenderung kaku karena lingkungan yang formal
· Pemimpin sukar dalam menerima kritikan dan saran dari bawahan
· Bawahan akan merasa tertekan dan tidak nyaman karena banyak aturan dan sifat keras
dari pemimpin
4. OTOKRASI
Setelah membaca artikel ini, tentu pemahaman kita akan sedikit memahami kenapa ada
jenis kepemimpinan dengan gaya otokrasi dan kamu akan lebih mengenal kelebihan dan
kekurangan dari gaya kepemimpinan yang kebanyakan orang tidak terlalu menyukainya.
Namun, sementara gaya kepemimpinan umumnya tidak disukai dalam berbagai diskusi
dan analisis, gaya kepemimpinan otokrasi ternyata masih merupakan gaya kepemimpinan
yang lazim diimplementasikan dalam budaya perusahaan atau organisasi kepemimpinan
modern.
Kurt Lewin, R. Lippit, dan R. K. White menerbitkan esai tentang “Patterns of aggressive
behavior in experimentally created social climates” (Pola perilaku agresif dalam
eksperimen menciptakan iklim sosial) dalam Journal of Psychology pada tahun 1939
yang menguraikan berbagai gaya kepemimpinan yang berbeda, diantaranya gaya otokrasi
atau otoriter.
Menurut Kurt Lewin, R. Lippit, dan R. K. White, seorang pemimpin otokrasi akan
membuat keputusan tanpa berkonsultasi dengan orang lain. Selain itu, menurut penelitian
mereka, gaya kepemimpinan otoriter akan menciptakan ketidakpuasan dalam kelompok.
Oleh karena itu, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan otokrasi
cocok untuk situasi dimana input tidak diperlukan, karena keputusan tidak akan berubah
berdasarkan masukan atau input yang diberikan. Singkatnya, jika hasilnya sama, tidak
perlu menghabiskan waktu untuk membahas opsi lain.
Penggunaan Gaya Otokrasi dalam 3 Situasi Konteks Modern
Kepemimpinan otokrasi sering digunakan dalam tiga situasi konteks modern berikut ini:
Tapi, dari beberapa situasi di atas yang mengedepankan gaya otokrasi yang cenderung
mampu memperlihatkan kehebatannya, tapi gaya ini juga mengalami kemunduran dan
bahkan sebuah kegagalan dari para pemimpin tertentu dalam catatan sejarah.
Misalnya, Mantan Presiden Amerika Serikat, Richard Nixon yang sering disebut-sebut
sebagai contoh pemimpin otokrasi.
Berikut ini 4 karakteristik utama dari gaya kepemimpinan otokrasi:
Terbatasnya input atau masukan terbatas, bahkan tidak ada sama sekali dari
bawahan.
Pemimpin membuat semua keputusan.
Pemimpin bertanggung jawab atas aturan, metode, dan proses yang digunakan tim
untuk mencapai tujuan.
Keterlibatan anggota kelompok dalam tugas dan keputusan memiliki porsi yang
tetap kecil atau tidak ada.
Kelebihan Gaya Kepemimpinan Otokrasi
Salah satu kekuatan kepemimpinan otokrasi berasal dari struktur proses pengambilan
keputusan yang menjamin keputusan diambil dengan cepat. Karena pemimpin sendiri yang
bertanggung jawab atas keputusan, pelaksanaannya dapat dilakukan dengan cepat.
Selain itu, gaya kepemimpinan ini dapat menguntungkan dalam memimpin kelompok-
kelompok kecil yang belum terorganisir dengan baik seperti memulai bisnis.
Tindakan seringkali harus diambil dengan cepat dan menciptakan visi untuk bisnis dapat
lebih mudah ketika seseorang yang bertanggung jawab atas keputusan, daripada
menghabiskan berhari-hari atau berbulan-bulan untuk mencapai konsensus.
Kepemimpinan otokrasi dapat memungkinkan organisasi untuk merampingkan operasinya
dan membuat kelangsungan hidup jangka panjang menjadi pilihan yang lebih layak, terutama
di masa yang penuh gejolak.
Proses berpikir cepat dan pengambilan keputusan ini juga dapat menguntungkan saat
menghadapi situasi yang menimbulkan stres atau sangat berdampak.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika militer, polisi dan lembaga tanggap respon pertama
lainnya cenderung lebih memilih model kepemimpinan gaya otokrasi.
Selain itu, gaya kepemimpinan dapat memberikan kelegaan dan ketenangan terhadap
karyawan di bidang industri dan organisasi lain juga ketika perusahaan mengalami masalah
yang besar.
Misalnya, bisnis mungkin berada di tengah situasi merger skala besar dan bawahan dapat
terus fokus pada tugas sehari-hari mereka dengan mudah di bawah model kepemimpinan
dimana mereka tidak perlu khawatir tentang keputusan atau perubahan.
Kelemahan Gaya Kepemimpinan Otokrasi
Di samping setiap kelebihan yang telah dijabarkan – tak ada gading yang tak retak, namun
ada kelemahan dari implementasi gaya kepemimpinan otokrasi.
Selama eksperimennya, Kurt Lewin, R. Lippit, dan R. K. White juga mencatat bahwa gaya
otokrasi kadang-kadang bisa menjadi demoralisasi.
Dalam penelitiannya yang meminta tim untuk melakukan tugas-tugas di bawah model
kepemimpinan tertentu, kelompok di bawah kepemimpinan otokrasi ini menunjukkan
peningkatan produktivitas, namun tidak memiliki kegembiraan dan menunjukkan tingkat
ketergantungan dan frustrasi yang tinggi.
Karena bawahan tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan, itu dapat menyebabkan
kebencian dalam kelompok. Jika orang tersebut merasa terlepas dari proses, kesediaan untuk
melakukan yang baik dapat memburuk.
5. LAISSEZ FAIRE
Kepemimpinan laissez-faire (laissez-faire leadership) merujuk pada gaya kepemimpinan di
mana pemimpin memberikan kebebasan luas kepada bawahan untuk membuat keputusan,
mengatur pekerjaan dan menjalankan tugas. Secara harfiah, laissez-faire berarti “biarkan
berbuat” atau “biarkan terjadi”.
Di lingkungan kepemimpinan ini, pemimpin menetapkan tujuan bagi organisasi. Tapi, mereka
menyerahkan bagaimana mencapainya kepada bawahan. Mereka memberikan otonomi luas
kepada bawahan tentang bagaimana mengatur kehidupan kerja dan melakukan pekerjaan.
Mereka sedikit atau tanpa campur tangan atau memberikan instruksi yang disengaja.
Kepemimpinan laissez-faire adalah kebalikan dari kepemimpinan otokratis di mana
pemimpin tidak memberikan otonomi. Pemimpin otokratis meminta bawahan untuk patuh
terhadap instruksi atau keputusan mereka tanpa penyimpangan. Meski memungkinkan
pengambilan keputusan yang cepat, kepemimpinan otokratis bisa berbahaya bagi moral dan
motivasi bawahan.
Kepemimpinan laissez-faire memberikan kesempatan besar bagi karyawan untuk
mengaktualisasikan diri dan mengembangkan diri. Itu penting untuk mendorong motivasi dan
moral bawahan.
Tapi, karena kontrol terlalu longgar dan umpan balik tidak memadai, organisasi bisa
kehilangan arah. Selain itu, beberapa bawahan mungkin lebih suka menunggu instruksi dan
melaksanakannya daripada bekerja secara mandiri.
Karakteristik kepemimpinan laissez-faire
Kepemimpinan laissez-faire memiliki beberapa karakteristik.
1. pemimpin menaruh kepercayaan tinggi kepada bawahan. Mereka membiarkan bawahan
mandiri dalam bekerja. Dengan begitu, mereka bisa mengaktualisasikan diri dan
menggunakan kreativitas, sumber daya, dan pengalaman mereka.
2. bawahan memiliki lebih banyak kendali atas pekerjaan mereka. Pemimpin mempercayai
dan memberi mereka otonomi. Sehingga, bawahan memiliki kebebasan dan tanggung
jawab penuh untuk melakukan pekerjaan dan mencapai target.
3. pengawasan adalah minimal. Pemimpin hanya sebatas menetapkan tujuan untuk dicapai
oleh bawahan. Mereka kemudian menyerahkan segalanya kepada bawahan, termasuk
tentang bagaimana mencapai tujuan tersebut. Bawahan harus membuat keputusan dan
mengatur pekerjaan mereka sendiri. Jadi, pemimpin sesedikit mungkin campur tangan.
4. pemimpin hanya akan turun tangan jika diperlukan. Mereka seminimal mungkin terlibat
dan memberikan instruksi atau bimbingan.
5. bawahan memiliki akses ke banyak sumber daya dan alat untuk mendukung pekerjaan
mereka. Dengan begitu, mereka bisa mandiri dalam mengatur pekerjaan, melakukan tugas
dan memecahkan masalah.
2. Kedua, kepercayaan kuat kepada bawahan mengarah pada motivasi yang tinggi. Bawahan
merasa mereka dihargai karena bisa membuat keputusan mandiri, mengatur kehidupan
kerja dan mengaktualisasikan diri.
3. Ketiga, bawahan memiliki kesempatan diri untuk mengembangkan diri. Karena mereka
bebas untuk melakukan pekerjaan, mereka bisa mengaktualisasikan diri dan menjadi lebih
kreatif untuk menemukan sendiri pemecahan masalah.
5. Kelima, turnover rendah. Bawahan yang puas dan termotivasi membuat lingkungan kerja
lebih nyaman. Mereka merasa dapat diandalkan dan percaya diri dalam pekerjaan,
mendorong mereka ingin bertahan di perusahaan.
2. Kedua, pemimpin menjadi malas. Mereka memberikan otonomi bukan untuk mendorong
bawahan mandiri dalam bekerja tapi karena menghindari pengambilan keputusan tentang
masalah pekerjaan. Karena alasan ini, mereka menyerahkan segalanya ke karyawan,
membuat mereka malas.
3. Ketiga, keberhasilan organisasi lebih banyak ditentukan oleh karyawan. Pemimpin hanya
memiliki peran yang sangat terbatas untuk dimainkan. Sehingga, jika bawahan tidak
memiliki kompetensi yang memadai, organisasi bisa berkinerja buruk.
4. Keempat, keputusan mungkin tidak konsisten satu sama lain. Karena bawahan memiliki
otoritas untuk mengambil keputusan, itu bisa mengarah pada ketidakjelasan atau
ketidakkonsistenan diantara keputusan mereka. Dan itu bisa buruk ketika konsistensi
diperlukan, misalnya dalam memberikan layanan pelanggan.
5. Kelima, lingkungan kerja tidak harmonis. Bawahan mengejar kepentingan diri dalam
mengambil keputusan. Selain mengarah pada ketidakkonsisten, itu juga bisa
menyebabkan hubungan mereka tidak harmonis dan bahkan mengarah pada konflik.
6. Keenam, kinerja organisasi memburuk. Itu dapat terjadi jika bawahan yang tidak
berpengalaman dan dibiarkan tanpa arahan.
7. Ketujuh, demotivasi muncul diantara beberapa bawahan. Memang, beberapa bawahan
suka dengan otonomi yang luas. Tapi, yang lain mungkin lebih suka menunggu instruksi
dan melaksanakannya. Mereka mengandalkan dukungan pimpinan ketika bekerja.
Sebagai hasilnya, tanpa instruksi dan dukungan, mereka mungkin merasa tertekan,
mengarah ke stres tinggi.
8. Kedelapan, karyawan baru sulit beradaptasi. Mereka sering membutuhkan lebih banyak
arahan dan instruksi sebelum benar-benar efektif bekerja. Tapi, karena kepemimpinan
laissez-faire tidak menyediakan itu, sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri.
6. POPULIS
Dengan hadirnya demokrasi digital semakin mengubah cara dan perilaku masyarakat bahkan
para elite politik atau pemimpin kita untuk berinteraksi berkomunikasi. Mereka dapat
melimpah luahkan segala bentuk kegiatan maupun aktivitas politik hingga memberikan
informasi kepada publik atau masyarakat terkait dengan kegiatan yang dilakukan setiap
saatnya.
ADVERTISEMENT
Antony Lee mengatakan gaya kepemimpinan populis pada kadar tertentu dianggap sebagai
sosok pahlawan. Sementara itu Margaret Canovan berpendapat tentang kaum populis, di
mana kaum populis menggalang dukungan melalui institusi demokrasi dengan mendekati
massa yang dianggap diwakilinya.
Gaya kepemimpinan populis memberikan warna tersendiri dalam percaturan politik dan
kekuasaan di Indonesia, menjadi tren tersendiri bagi para politisi. Mereka menganggap gaya
kepemimpinan populis merupakan aspek penting dalam membangun komunikasi politik dan
personal branding di tengah masyarakat. Oleh karena itu, karakteristik kepemimpinan populis
seakan diidentikan melalui sikap karismatik dan luapan perlawanan terhadap kaum elite.
Hadirnya media sosial sejatinya semakin memudahkan politisi untuk berkomunikasi langsung
dengan masyarakat. Melalui media sosial mereka juga dapat memperlihatkan dan membentuk
citra dirinya. Akan tetapi yang terjadi justru berbanding terbalik.
Yang dilakukan para elite politik atau para pemimpin justru tindakan atau kegiatan populis,
yaitu hal yang berkaitan dengan kepopuleran. Ini menjadi salah satu cara yang dilakukan oleh
pemimpin kita untuk menarik empat simpatisan dan bahkan salah satu bentuk upaya untuk
bisa mendapatkan suara pada pemilu nanti.
Dalam memenangkan kontestasi juga tidak sedikit para elite pemimpin bangsa atau elite
politik kita melakukan pencitraan diri terhadap segala bentuk tindakan yang dilakukan untuk
menarik simpatisan masyarakat.
Di sisi lain, data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017
menunjukkan, penetrasi masyarakat Indonesia terhadap internet mencapai 143, 26 juta jiwa.
Dari angka ini sebanyak 87,13 hingga 89,35 persen di antaranya menggunakan mediabsosial
FaceBook, WhatsApp, dan Instagram masing-masing sebesar 130 juta, 99,2 juta, dan53 juta
jiwa. Sebanyak 75 persen pengguna internet tersebut adalah penduduk Indonesia yang berusia
antara 13 hingga 18 tahun. Meningkatnya penetrasi masyarakat Indonesia terhadap dunia
maya memiliki pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Termasuk berpengaruh juga terhadap dinamika politik di Indonesia. Tentu dengan data yang
ditunjukkan di atas akan semakin mudah para pemimpin kita terus mencitrakan dirinya, terus
memberikan pesonanya kepada masyarakat bahwa sebenarnya yang dilakukannya itu betul-
betul seperti apa yang diinformasikan lewat media sosial mereka. Meskipun apa yang mereka
tampilkan belum tentu sesuai dengan realitasnya. Tidak selalu yang mereka tampilkan dalam
media sosial sama persis dengan apa yang mereka lakukan.
Harapannya dengan hadirnya demokrasi digital ini para elite politik atau pemimpin kita tidak
hanya sekadar melakukan pencitraan diri bahkan membenarkan diri mereka lewat ruang
publik. Tapi mereka lebih banyak berkontribusi memberikan pelayanan yang terbaik, sebagai
bentuk tanggung jawab dari seorang pemimpin. Pemimpin itu tidak hanya saja sekadar
familiar populis atau populer tapi mereka melakukan kerja nyata demi meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
7. ADMINSITRATIF
Kepemimpinan tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-
tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya biasanya terdiri dari teknokrat-teknokrat dan
administratur-administratur yang mampu menggerakkan dinamika modernisasi dan
pembangunan. Oleh karena itu dapat tercipta sistem administrasi dan birokrasi yang efisien
dalam pemerintahan. Pada tipe kepemimpinan ini diharapkan adanya perkembangan teknis
yaitu teknologi, indutris, manajemen modern dan perkembangan sosial ditengah masyarakat.
KEPEMIMPINAN EKSEKUTIF/ADMINISTRATIF
Eksekutif berasal dari istilah inggris to execute berarti menyelenggarakan atau melaksanakan.
Berarti executive sesungguhnya berarti “penyelenggara” atau “pelaksana”. Akan tetapi dalam
bahan kepustakaan administrasi dan manajemen istilah “eksekutif”- sebagai istilah
pengindonesiaan istilah executive biasanya diartikan bukan para tenaga pelaksana kegiatan –
kegiataan operasional, akan tetapi para tenaga penyelenggara kegiatan – kegiatan
kepemimpinan. Dengan perkataan lain, interpretasi yang paling lumrah diberikan tentang
seorang eksekutif adalah seorang yang karena diangkat atau ditunjuk, bertindak selaku
pimpinan sekelompok tenaga – tenaga pelaksana berbagai kegiatan operasional.
Jadi, berarti bahwa eksekutif adalah seseorang yang karena diiangkat atau ditunjuk
menduduki jabatan kepemimpinan tertentu dalam suatu organisasi, mempunyai hak dan
wewenang untuk menggerakkan sekelompok orang lain yang disebut bawahan dan para
bawahan itulah yang sesungguhnya memikul tanggung jawab untuk melaksanakan berbagai
kegiatan operasional organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi yang
bersangkutan.
Dari pengertian tersebut di atas terlihat bahwa kedudukan dan jabatan eksekutif
sesungguhnya terdapat dalam sebuah organisasi, baik dalam lingkungan pemerintahan, dalam
lingkungan bisnis, dalam organisasi kemiliteran, dalam organisasi politik, dalam organisasi
sosial dalam organisasi kebudayaan, dalam organisasi pendidikan, bahkan juga dalam suatu
negara sebagai organisasi.
Perilaku kepemimpinan ini menunjukkan ciri – ciri (karakteristik) sebagai berikut :
a. Bekerja dengan asumsi bahwa oraang lain dapat bekerja, saama abaiknya dengan
dirinya. Oleh karena itu setiap orang yang memiliki dan memperlihatkan potensi sesuai
dengan bidangnya perlu diberikan kesempatan memimpin
b. Cenderung mementingkan kualitas dalam melaksanakan tugas, karena
mempersyaratkan standar yang tinggi pada hasil yang hendak dicapai. Kualitas kemampuan
dan hasilnya lebih diutamakan dari pada aspek – aspek lainnya dalam berkerja
c. Berdisiplin dalam melaksanakan tugas – tugas, sehingga dapat meyakinkan dan
bahkan disegani oleh orang – orang yang dipimpin. Disiplin dipandang sebagai penunjang
utama terhadap kualitas kerja dan hasilnya.
d. Berusaha menunjukkan partisipasi aktif orang – orang yang dipimpin dengan
kemampuan yang memberikan motivasi yang memadukan kepentingan individu dengan
kepentingan bersama/organisasi.
e. Memiliki semangat, moral, loyalitas dan dedikasi kerja yang tinggi, sehingga menjadi
teladan bagi orang – orang yang dipimpinnya.
f. Mampu menunjukkan kesediaan berkerja keras, tanpa menekan dan memaksa orang –
orang yang dipimpinnya. Kesediaan berkerja keras itu tumbuh berdasarkan kesadaran dan
dilakukan secara ikhlas dan sukarela. Pemimpin memandang orang – oraang yang
dipimpinnya sebagai temaan aatau partner kerja, dan bukan sebagai bawahan atau anak buah,
sehingga sama – sama harus mampu berkerja keras untuak mencapai tujuan organisasinya.
g. Mampu menumbuhhkan rasa aman, karena dalam menunjukkan hubungan manusiawi
yang efektif memperlakukan orang lain sebagai orang dewasa yang matang dan bertanggung
jawab. Perlakuan seperti itu tidak berbeda dalam menghadapi anggota lama maupun anggota
baru.
h. Efisien dan efektif dalam berkerja. Oleh karena itu cenderug memiliki dorongan yang
besar untuk memberikan latihan – latihan agar setiap orang mempunyai peluang untuk
mempunyai peluang untuk mampu pula berkerja vsecara efektif dan efisien.
i. Mempunyai perhatian yang positif dalam menyelesaikan konflik – konflik yang
timbul. Konflik dipandang sebagai kejadian yang wajar dalam bergaul dan bekerja, karena
manusia memang berbeda kepentingannya. Konflik harus diselesaikan agar kerja sama dapat
diwujudkan dan dikembangkan secara maksimal. Dalam menyelesaikan konflik dan
perselisihan, selalu berlaku obyektif dan tidak memihak atau tidak senang menekan salah satu
pihak. Oleh karena itu pemimpin juga memilii kemampuan yang positif dalam menyelesaikan
dan mempertemukan perbedaan pendapat. Kemampuan itu merupakan dukungan yang positif
terhadap kemampuan menetapkan keputusan pada waktu yang tepat, cepat dan bermutu.
j. Terbuka terhadap kritik dan saran – saran, untuk memperbaiki kekeliruan dan
kesalahan – kesalahan dalam melaksanakan kepemimpinan.
k. Mampu memisahkan masalah – masalah yang perlu dan tidak peerlu di dalam
musyawarah atau rapat – rapat. Dengan demikian mampu pula memisahkan kegiatan –
kegiatan sesuai dengan prioritas sangat penting, penting, dan kurang/tidak penting.
8. DEMOKRATIF
Kepemimpinan demokratis berorientasi pada manusia dan memberikan bimbingan yang
efisien kepada para pengikutnya. Terdapat koordinasi pekerjaan pada semua bawahan,
dengan penekanan pada rasa tanggung jawab internal (pada diri sendiri) dan kerjasama yang
baik. kekuatan kepemimpinan demokratis tidak terletak pada pemimpinnya akan tetapi
terletak pada partisipasi aktif dari setiap warga kelompok.
Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu, mau mendengarkan nasehat
dan sugesti bawahan. Bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan bidangnya masing-
masing. Mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan
kondisi yang tepat. Gaya kepemimpinan demokratis sedikit banyak mirip dengan paham
politik demokrasi.
Kepemimpinan demokratis menuntut pembagian kekuasaan yang setara. Artinya, tidak ada
satu pihak yang lebih mendominasi dari lainnya dalam proses pengambilan keputusan
(decision making).
Gaya demokratis tidak menunjukkan hierarki. Pemimpin yang menganut gaya ini membuka
kesempatan sama besar bagi para anggota timnya untuk berpartisipasi lebih aktif untuk
mengambil keputusan.
Suara dari tiap-tiap anggota juga diperlakukan sama penting.
Di sini, ide boleh ditukar secara bebas tanpa dihakimi karena diskusi sangat dianjurkan. Peran
pemimpin adalah untuk menawarkan bimbingan dan kendali atas jalannya musyawarah.
Nah, pemimpin juga ditugasi untuk memutuskan siapa di dalam grup yang dapat
berkontribusi pada keputusan yang dibuat.
Namun, ini bukan berarti bahwa setiap keputusan harus selalu dibuat dalam grup. Bergantung
pada peran dan tanggung jawab perorangan, keputusan final mungkin hanya ada di tangan
pemimpin.
Seorang pemimpin mungkin dilimpahkan kekuasaan lebih dengan persetujuan dari anggota
tim mereka untuk membuat keputusan tertentu.
Gaya kepemimpinan demokratis memiliki banyak nama, yang termasuk:
Kepemimpinan partisipatif
Kepemimpinan bersama
Manajemen open-book
Pengambilan keputusan partisipatif
Gaya manajemen demokratif
Karakteristik Kepemimpinan Demokratis
Dari Cleverism, seorang psikolog organisasional keturunan Jerman-Amerika, Kurt Lewin,
mengatakan ada tiga elemen inti dari kepemimpinan demokratis, yaitu:
KESIMPULAN
Para pemimpin ini memiliki kemampuan untuk keluar dari kerangkeng diri mereka sendiri
dan mengkritik bagaimana mereka berperilaku dan berinteraksi, dengan harapan dapat
memunculkan dampak yang lebih relevan di masyarakat.
Dengan memberikan kebebasan untuk tumbuh dan mandiri, bawahan memiliki kesempatan
luas untuk mengeksplorasi sesuatu yang baru dan untuk mengatasi masalah.
Harapan dan perilaku rekan F. Sifat Pemimpin Militeristik Sifat-sifat pemimpin yang
militeristis antara lain ialah: a. Dalam menggerakkan bawahan untuk yang ditetapkan,
perintah mencapai tujuan digunakan sebagai alat utama b. Dalam komunikasi
menggunakan saluran formal c. Menggunakan sistem komando dalam perintah d.
Dalam menggerakkan bawahan sangat suka menggunakan pengkat dan jabatannya e.
Senang kepada formalitas yang berlebihan f. Menuntun disiplin yang tinggi dan
kepatuhan mutlak dari bawahan g. Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
f. Lebih banyak kritik dari pada memuji bawahanan G. Kelebihan Dan Kelemahan Tipe
Militeristik Kelebihan · Tegas dan tidak memiliki keraguan dalam bertindak dan
mengambil keputusan · Bawahan akan memiliki disiplin yang tinggi · Bawahan akan
merasa aman dan terlindungi · Hanya ada satu garis komando, sehingga jelas wewenang
dan tanggung jawabnya · Keputusan mudah diambil · Adanya kejelasan peran dan
tanggung jawab masing-masing dengan tingkat konsekuensi yang tinggi.
Suasana cenderung kaku karena lingkungan yang formal · Pemimpin sukar dalam
menerima kritikan dan saran dari bawahan · Bawahan akan merasa tertekan dan tidak
nyaman karena banyak aturan dan sifat keras dari pemimpin
Setelah membaca artikel ini, tentu pemahaman kita akan sedikit memahami kenapa ada jenis
kepemimpinan dengan gaya otokrasi dan kamu akan lebih mengenal kelebihan dan
kekurangan dari gaya kepemimpinan yang kebanyakan orang tidak terlalu menyukainya.
Namun, sementara gaya kepemimpinan umumnya tidak disukai dalam berbagai diskusi dan
analisis, gaya kepemimpinan otokrasi ternyata masih merupakan gaya kepemimpinan yang
lazim diimplementasikan dalam budaya perusahaan atau organisasi kepemimpinan modern.
Kurt Lewin, R. Lippit, dan R. K. White menerbitkan esai tentang “Patterns of aggressive
behavior in experimentally created social climates” (Pola perilaku agresif dalam eksperimen
menciptakan iklim sosial) dalam Journal of Psychology pada tahun 1939 yang menguraikan
berbagai gaya kepemimpinan yang berbeda, diantaranya gaya otokrasi atau otoriter.
Gaya kepemimpinan otokrasi cocok dengan situasi ketika ketidakmampuan untuk membuat
keputusan atau menerapkan proses prosedur yang jelas dapat menciptakan lebih banyak
masalah dan bahkan membuat orang dalam bahaya.
Tapi, dari beberapa situasi di atas yang mengedepankan gaya otokrasi yang cenderung
mampu memperlihatkan kehebatannya, tapi gaya ini juga mengalami kemunduran dan
bahkan sebuah kegagalan dari para pemimpin tertentu dalam catatan sejarah.
Kepemimpinan otokrasi dapat memungkinkan organisasi untuk merampingkan operasinya
dan membuat kelangsungan hidup jangka panjang menjadi pilihan yang lebih layak, terutama
di masa yang penuh gejolak.
Dalam penelitiannya yang meminta tim untuk melakukan tugas-tugas di bawah model
kepemimpinan tertentu, kelompok di bawah kepemimpinan otokrasi ini menunjukkan
peningkatan produktivitas, namun tidak memiliki kegembiraan dan menunjukkan tingkat
ketergantungan dan frustrasi yang tinggi.
Jadi, berarti bahwa eksekutif adalah seseorang yang karena diiangkat atau ditunjuk
menduduki jabatan kepemimpinan tertentu dalam suatu organisasi, mempunyai hak dan
wewenang untuk menggerakkan sekelompok orang lain yang disebut bawahan dan para
bawahan itulah yang sesungguhnya memikul tanggung jawab untuk melaksanakan berbagai
kegiatan operasional organisasi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi yang
bersangkutan.
Dari pengertian tersebut di atas terlihat bahwa kedudukan dan jabatan eksekutif
sesungguhnya terdapat dalam sebuah organisasi, baik dalam lingkungan pemerintahan, dalam
lingkungan bisnis, dalam organisasi kemiliteran, dalam organisasi politik, dalam organisasi
sosial dalam organisasi kebudayaan, dalam organisasi pendidikan, bahkan juga dalam suatu
negara sebagai organisasi.
Oleh karena itu setiap orang yang memiliki dan memperlihatkan potensi sesuai dengan
bidangnya perlu diberikan kesempatan memimpin b. Cenderung mementingkan kualitas
dalam melaksanakan tugas, karena mempersyaratkan standar yang tinggi pada hasil yang
hendak dicapai.
Kualitas kemampuan dan hasilnya lebih diutamakan dari pada aspek – aspek lainnya dalam
berkerja c. Berdisiplin dalam melaksanakan tugas – tugas, sehingga dapat meyakinkan
dan bahkan disegani oleh orang – orang yang dipimpin.