Anda di halaman 1dari 5

EKONOMI BIAYA TINGGI PD SEKTOR JASA

KONSTRUKSI DAN SOLUSINYA


Oktober 11, 2008
estudioarch teknik sipil Tinggalkan komentar

Sektor jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan
nasional, mengingat sektor jasa Konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan baik
yang berupa sarana maupun prasarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan
perkembangan berbagai sektor. Sektor jasa Konstruksi inipun sangat mendukung dalam
menumbuhkembangkan berbagai produk, baik berupa barang maupun jasa, sehingga baik
secara langsung maupun tidak langsung ikut mendukung berkembangnya industri-industri
potensial di Indonesia.
Perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya disertai kesepakatan dunia tentang
pasar bebas (free market) dengan ditandai adanya APEC (Asia Pasifik, tahun 2020) dan
AFTA (Asean, tahun 2003) menuntut dunia jasa Konstruksi Nasional untuk selalu survive
dalam menghadapi persaingan pasar yang semakin kompetitif. Kesulitan utama sektor jasa
konstruksi nasional dalam memenangkan persaingan bebas adalah ekonomi biaya tinggi
(high cost economy). Hal ini disebabkan oleh terlanjurnya budaya korupsi, kolusi dan
nepotisme, sebagaimana diakui oleh Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia (GAPENSI)
dan Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) bahwa sektor jasa Konstruksi penuh dengan
berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan, baik yang bernuansa korupsi, kolusi maupun
nepotisme. Penyimpangan dan kecurangan tersebut dilakukan oleh oknum-oknum dari
hampir semua pihak yang terlibat dalam sektor ini, baik langsung maupun tidak langsung
[“Bisnis Indonesia”, 28 Juli 1997].
Akibat dari berbagai macam budaya kecurangan, sektor jasa konstruksi nasional sulit
untuk dapat bersaing di era pasar bebas (free market). Dimana kontraktor dan konsultan
asing yang sudah terbiasa dengan budaya bersih, dinamis dan profesional akan dengan mudah
merajalela melahap peluang bisnis konstruksi di negara kita.
Dalam upaya ikut memikirkan nasib sektor jasa Konstruksi yang semakin terpuruk
(collaps) dirasa penting untuk mempelajari sekaligus memberikan solusi dalam upaya
pemangkasan biaya ekonomi tinggi proyek yang selama ini menjadikan “gembosnya” sektor
dunia konstruksi nasional. Sehingga hal ini diharapkan dapat memberikan angin segar bagi
perkembangan dunia konstruksi.

Potret Terpurunya Sektor Jasa Konstruksi Nasional


Menurut data dari Ikhtisar Jasa Konstruksi di Indonesia antara tahun 1991 – 1996 yang
diterbitkan oleh Biro Pusat Statistik tahun 1998 [disadur dari makalah Hartopo, 1999]
disebutkan bahwa sektor jasa konstruksi nasional sebelum mengalami krisisi ekonomi
mempunyai pertumbuhan tertinggi dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya (Pertanian,
Pertambangan, Industri dll) yaitu sebesar 13,71 persen pertahun. Prosentase pertumbuhan
tersebut telah melampaui pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 7,85 persen pertahun.
Tetapi setelah krisis moneter menerpa sejak pertengahan tahun 1997 kondisi Jasa konstruksi
berubah menjadi sektor usaha yang sangat parah pertumbuhannya dibanding sektor ekonomi
lainnya.
Keterpurukan sektor jasa konstruksi nasional sangat berdampak sekali terhadap
pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan sektor jasa terbanyak yang mempekerjakan
tenaga manusia adalah sektor jasa konstruksi, sehingga dengan terpuruknya sektor ini
menyebabkan banyaknya tenaga kerja yang ter PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), otomatis
jumlah pengangguran semakin banyak, dan hal ini menyebabkan kemandegan total pada
sektor ekonomi lainnya. Dengan kata lain sektor jasa konstruksi merupakan sektor utama
yang menjadi pemicu terhadap kesuksesan sektor ekonomi lainnya.
Bila kita telaah lebih jauh, indikasi keterpurukan dunia jasa konstruksi sebenarnya sudah
terlihat jauh-jauh hari sebelum krisis ekonomi terjadi. Indikasi tersebut dapat dilihat pada
maraknya budaya penyimpangan dan kecurangan yang dilakukan pihak-pihak terkait.
Penyimpangan dan kecurangan yang bernuansa korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan
budaya lumrah yang selalu terjadi pada setiap proyek konstruksi. Hal inilah yang menjadi
biaya ekonomi tinggi pada dunia jasa konstruksi dan sekaligus menjadi penyebab utama dari
keterpurukan tersebut.
Pimpinan Proyek (Pimpro) sebagai wakil pemilik proyek sudah lazim memberikan proyek
kepada kontraktor-kontraktor tertentu yang loyal dan menjanjikan imbalan tinggi. Tender
proyek hanya dilakukan sebagai alat untuk menjustifikasi proses, sedangkan pemenangnya
sudah ditentukan terlebih dahulu. Proses permainan tender (unfair) seperti ini selanjutnya
menimbulkan “efek bola kerambol”, kesalahan dari satu pihak akan bergulir kesemua dan
menjadikan kesalahan total yang menggerogoti keberadaan proyek. Kontraktor yang telah
“membeli” tender proyek dengan harga tinggi akan menurunkan kualitas produk jasa yang
diberikan dengan mengerjakan tidak sesuaibestek yaitu dengan mengurangi kualitas dan
kuantitas bahkan menghilangkan item pekerjaan yang semestinya. Untuk dapat dengan aman
melakukan hal tersebut tentunya kontraktor harus dapat berkolusi dengan pihak-pihak terkait
(perencana, pengawas dan owner), usaha tersebut tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Akibat dari kecurangan semacam itu, sudah dapat diperkirakan; pertama, dari segi ekonomi,
nilai nominal dana yang dipergunakan untuk membiayai proyek yang bersangkutan akan jauh
berkurang dari nilai nominal yang sesungguhnya. Bukan sesuatu hal yang mustahil jika dana
yang benar-benar dipergunakan pada proyek jasa konstruksi hanya 60% saja, sedangkan 40%
selebihnya habis “menguap” di tengah jalan [Suara Merdeka, edisi 4 Oktober 1997]. Hal
tersebut mengimplikasikan bahwa ekonomi biaya tinggi pada sektor jasa ini pada akhirnya
akan mengakibatkan kebocoran uang negara yang sangat besar. Sebagaimana dilansir oleh
Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo yang dikutip Arbi Sanit (1996), bahwa dana
pembangunan Indonesia menguap sekitar sepertiga setiap tahunnya.
Kedua, dari segi kualitas, kondisi seperti ini pada gilirannya mengakibatkan produk yang
dihasilkan oleh kontraktor yang bersangkutan sangat buruk, jauh dari yang
dipersyaratkanbestek. Banyak bangunan sarana prasarana (jalan, gedung-gedung umum, dll)
yang baru selesai dibangun mengalami kerusakan sebelum masa pemakaian, bahkan dalam
tahap pemeliharaan sudah memerlukan perbaikan-perbaikan yang serius, pada akhirnya
mengakibatkan pembengkakan biaya proyek.

Biaya Ekonomi Tinggi pada Proses Proyek Konstruksi


Proses perkembangan proyek (project development) menurut Sutjipto (1997) dapat
diurutkan mulai dari; gagasan dasar, pembuatan kerangka acuan kerja (Term Of
Reference /TOR), studi kelayakan, pra-rancangan, rancangan detail, tender, pelaksanaan
konstruksi, pengawasan dan pengendalian, sampai dengan pemeliharaan dan
operasional. Bila kita amati dimana saja biaya ekonomi tinggi terjadi ? Biaya ekonomi tinggi
terjadi pada semua proses perkembangan suatu proyek, mulai dari owner dalam menggagas
suatu proyek sampai dengan masa pemeliharaan dan operasional proyek.
Pada proyek-proyek pemerintah khusunya yang didanai pinjaman luar negeri (loan) dan
APBN, biasanya proses mulai dari gagasan dasar – pembuatan TOR – studi kelayakan dan
prarancangan disiapkan/ dibuat pihak pusat. Pihak daerah sebagai pewakil pemilik proyek
hanya melakukan proses pelaksanaan konstruksi. Hal tersebut biasanya yang menyebabkan
timbulnya biaya ekonomi tinggi baik secara teknis maupun non teknis.
Gagasan dasar proyek terkadang tidak mencerminkan bahwa proyek tersebut benar-benar
perlu secara urgensinya. Gagasan dasar yang dituangkan dalam Daftar Usulan Proyek (DUP)
banyak sekali yang dibuat sedemikian rupa agar semata-mata masuk ke dalam Daftar Isian
Proyek (DIP).Interest kepentingan pribadi atau instansti terkadang banyak berperan
dibanding dengan keperluan masyarakat luas.
Pada proyek Sejuta Hektar Lahan Gambut dapat kita lihat jelas bahwa gagasan dasar dari
proyek tidaklah jelas, bahkan studi kelayakan yang telah dilaksanakan tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Pra-rancangan sampai rancangan detail yang dibuat konsultan
perencana (yang notabene dibuat di pusat) banyak sekali yang tidak sesuai dengan keadaan
sesungguhnya, sehingga dapat dikata bahwa prancangan yang dilakukan seperti “beli kucing
didalam karung”. Pihak Perencana yang dikontrak pihak pusat banyak merencanakan sesuai
imajinasinya tanpa menyesuaikan dengan riil lapangan.
Ironisnya, pada proyek-proyek pemerintah yang didanai dari pinjaman luar negeri
(loan project), original design yang tidak sesuai dengan kondisi proyek, ternyata malah
menjadi kondisi yang menguntungkan bagi owner (direksi pekerjaan). Pekerjaan revisi-revisi
terhadap desain awal banyak yang dimanfaatkan sebagai “jalan” untuk membuat item
pekerjaan baru, yang notabene dengan munculnya item pekerjaan baru otomatis additional
cost dapat dimunculkan. Mudahnya persyaratan direksi dalam mengajukan pekerjaan
tambah-kurang (change order) merupakan salah satu biaya ekonomi tinggi pada proyek,
karena disinilah awal mulai “tawar-menawar” dan “titipan” dari pihak direksi (owner) dengan
pihak kontraktor terjadi.
Pada tahap pelaksanaan pekerjaan konstruksi ekonomi biaya tinggi dapat jelas terlihat. TOR
awal yang tidak jelas dan pelaksanaan tender yang tidak benar (unfair), merupakan
penyebab utama hal tersebut. Proyek-proyek besar yang mestinya ditangani oleh Kontraktor
yang memiliki reputasi dan kualifikasi tertentu malah dikerjakan oleh Kontraktor yang
kurang berpengalaman dan tidak memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Akibatnya
Kontraktor pemegang kontrak akan menyerahkan pekerjaan tersebut ke bas borong, dan
otomatis mutu dari hasil pekerjaan bas borong (sub kontraktor) akan jauh lebih rendah,
karena telah berkurangnya standar harga kontrak semula menjadi harga sub kontrak.
Akhirnya hasil pekerjaan baik kualitas maupun kuantitas banyak yang menyimpang dari
ketentuan bestek.
Bila proyek-proyek besar dilakukan dengan proses yang tidak benar (seperti kasus-
kasus di atas), sektor industri jasa konstruksi akan semakin terpuruk dan menjadi kendala
besar bagi perkembangan pembangunan nasional.

Upaya Menuju Perbaikan


Menyadari pentingya industri jasa konstruksi nasional dalam mendukung program
pemerintah, maka sudah selayaknya bila para pelaku bisnis menaruh harapan kepada
pemerintah untuk melakukan langkah-langkah yang lebih mendorong terciptnya iklim usaha
yang lebih kondusif yang memungkinkan industri jasa konstruksi dapat tumbuh kembali serta
berkembang sehingga mampu bersaing baik di dalam maupun di luar negeri. Langkah-
langkah kondusif yang semestinya dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memangkas
biaya ekonomi tinggi pada proyek (high cost economy in project) adalah sebagai berikut:
1. melaksanakan dengan konsekuen Undang-Undang Jasa Konstruksi No 18 Tanggal 7 Mei
1999, serta terus mensosialisaikannya kepada pihak-pihak terkait, dan pada akhirnya
harus diikuti dengan tindakan sangsi terhadap pihak-pihak yang tidak melaksanakan
ketentuan hukum,
2. agar tidak terjadi proyek akibat interest pihak tertentu, gagasan dasar proyek dan studi
kelayakan proyek harus benar-benar berdasarkan urgensi masyarakat luas, sehingga
Daftar Usulan Proyek (DUP) yang diajukan pihak owner harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan dan permintaan urgensinya dari masyarakat luas (dalam hal ini diwakili
DPRDsetempat),
3. agar tidak terjadi perancanaan “beli kucing di dalam karung”, seharusnya kontrak antara
konsultan perencana dilakukan oleh direksi wilayah (dimana proyek itu berada), karena
bila dilakukan oleh owner pusar tentu kontrol dan pengendalian terhadap hasil dari
perencanaan akan relatif lemah, karena yang mengetahui secara detail kasus proyek
adalah pemilik proyek / direksi wilayah/ daerah,
4. diberlakukan dan diharuskan adanya pihak Konsultan Supervisi yang bertugas sebagai
pelaksana pengawasan pekerjaan dan pengawasan pendanaan, terutama pada proyek-
proyek yang didanai APBN dan pinjaman luar negeri (loan),
5. memberikan ketentuan eskalasi harga yang realistis bagi proyek-proyek yang sedang
berjalan dan dalam proyek-proyek mendatang rumusan eskalasi harga dapat dicantumkan.
Apabila pihak pemerintah sudah dapat menerapkan hal ini berarti dapat dijadikan contoh
oleh sektor swasta yang terkadang dalam hal ini selalu menunggu pedoman dari pihak
pemerintah atau kesepakatan dari pihak yang terkait dalam pembangunan suatu proyek.
Kebijakan tentang eskalasi harga pada proyek-proyek yang sedang berlangsung sangat
memberikan ketenangan dan kepastian pelaksanaan proyek. Diharapakan rumusan
eskalasi harga tersebut dapat merujuk pada proyek-proyek besar yang berskala
international, yang biasanya dibiayai dana pinjaman Luar Negeri. Dimana biasanya baik
konsultan perencana, konsultan supervisi dari pihak asing maupun yang mengadakan
kerjasama dengan pihak lokal, dan kontraktornyapun melibatkan perusahaan asing yang
mengadakan kerjasama baik joint operation atau jaoit venture dengan pihak lokal.
6. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di industri jasa konstruksi, semestinya
pemerintah menyiapkan anggaran untuk kepentingan pelatihan dan sertifikasi kualifikasi
dari masing-masing pihak yang terkait dalam industri jasa konstruksi, sehingga unsur/
pihak terkait dalam proyek harus terlebih dahulu memiliki sertifikat layak kerja (sertifikat
ISO).
7. Memberikan peran yang sangat luas kepada asosiasi pelaku industri jasa konstruksi (dalam
hal ini Lembaga Pembina Jasa Konstruksi – LPJK) dalam melakukan pengawasan/
pengaturan baik meliputi sertifikasi, kualifikasi bagi para pihak yang terkait, yang selama
ini ditangani langsung oleh pemerintah,
8. Membudayakan pemberian wewenang dalam hal pengawasan pelaksanaan kepada
masyarakat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hal ini sekaligus pengontrol
dalam hal pengetrapan Undang-undang Jasa Konstuksi yang melibatkan masyarakat
dalam pengawasan pelaksanaan proyek,
9. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah hendaknya transparan dan tidak
memungkinkan tumbuhnya Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) dalam usaha jasa
konstruksi.

Penutup
Dalam usaha untuk mengembalikan kondisi dunia industri jasa konstruksi nasonal
mau tidak mau kita harus berusaha memangkas biaya ekonomi tinggi pada proyek. Biaya
tersebut biasanya muncul dalam budaya tidak sehat yang salama ini tumbuh dan membudaya
pada pihak-pihak terkait, sehingga pengetrapan Undang-Undang Jasa Konstruksi No 18
Tahun 1999 yang jauh lebih memahami hal tersebut dibanding Undang-Undang sebelumnya
harus di pandu dan diberlakukan secara konsisten oleh pemerintah dan seluruh pihak yang
terkait.
Sudah tentu kita merindukan dunia industri jasa konstruksi bangkit kembali menjadi
sektor utama yang sangat menjanjikan dan sebagai pemacu pergerakan ekonomi di seluruh
sektor usaha. Dengan bangkitnya kondisi dunia industri jasa konstruksi tentunya akan
memberikan angin segar bagi perkembangan dunia usaha dan pembangunan nasional.
Pustaka
1. Arbi Sanit, “Poltik untuk Pemerintahan yang Bersih”, makalah diampaikan dalam
SeminarPembangunan Tanpa Kebocoran, Pekerjaan Rumah Pemerintah Pasca
Pemilu 1997/ SU MPR 1998, diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Kritis Indonesia
(FMKI), Bandung, 25 Agustus 19996.
2. Bisnis Indonesia, edisi 28 Juli 1997
3. Hartopo, “Dampak Krisis ekonomi Pada Industri Jasa konstruksi Nasional”, makalah
disampaikan dalam Seminar Revival of Asian Economy by and for Sustainable
Construction Project, FT-UAJY Yogyakarta, 1999.
4. Suara Merdeka, edisi 4 Oktober 1997.
5. Sutjipto, R, “Outline Konsep Dasar Manajemen Konstruksi” makalah disampaikan pada
Training Pembuatan Buku Manajemen Konstruksi Perguruan Tinggi Swasta, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Cisarua-Bogor, 1997
6. Undang-Undang Jasa Konstruksi No 18, Tanggal 7 Mei 1999, Tahun 1999.

Anda mungkin juga menyukai