Sektor jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan
nasional, mengingat sektor jasa Konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan baik
yang berupa sarana maupun prasarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan
perkembangan berbagai sektor. Sektor jasa Konstruksi inipun sangat mendukung dalam
menumbuhkembangkan berbagai produk, baik berupa barang maupun jasa, sehingga baik
secara langsung maupun tidak langsung ikut mendukung berkembangnya industri-industri
potensial di Indonesia.
Perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya disertai kesepakatan dunia tentang
pasar bebas (free market) dengan ditandai adanya APEC (Asia Pasifik, tahun 2020) dan
AFTA (Asean, tahun 2003) menuntut dunia jasa Konstruksi Nasional untuk selalu survive
dalam menghadapi persaingan pasar yang semakin kompetitif. Kesulitan utama sektor jasa
konstruksi nasional dalam memenangkan persaingan bebas adalah ekonomi biaya tinggi
(high cost economy). Hal ini disebabkan oleh terlanjurnya budaya korupsi, kolusi dan
nepotisme, sebagaimana diakui oleh Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia (GAPENSI)
dan Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) bahwa sektor jasa Konstruksi penuh dengan
berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan, baik yang bernuansa korupsi, kolusi maupun
nepotisme. Penyimpangan dan kecurangan tersebut dilakukan oleh oknum-oknum dari
hampir semua pihak yang terlibat dalam sektor ini, baik langsung maupun tidak langsung
[“Bisnis Indonesia”, 28 Juli 1997].
Akibat dari berbagai macam budaya kecurangan, sektor jasa konstruksi nasional sulit
untuk dapat bersaing di era pasar bebas (free market). Dimana kontraktor dan konsultan
asing yang sudah terbiasa dengan budaya bersih, dinamis dan profesional akan dengan mudah
merajalela melahap peluang bisnis konstruksi di negara kita.
Dalam upaya ikut memikirkan nasib sektor jasa Konstruksi yang semakin terpuruk
(collaps) dirasa penting untuk mempelajari sekaligus memberikan solusi dalam upaya
pemangkasan biaya ekonomi tinggi proyek yang selama ini menjadikan “gembosnya” sektor
dunia konstruksi nasional. Sehingga hal ini diharapkan dapat memberikan angin segar bagi
perkembangan dunia konstruksi.
Penutup
Dalam usaha untuk mengembalikan kondisi dunia industri jasa konstruksi nasonal
mau tidak mau kita harus berusaha memangkas biaya ekonomi tinggi pada proyek. Biaya
tersebut biasanya muncul dalam budaya tidak sehat yang salama ini tumbuh dan membudaya
pada pihak-pihak terkait, sehingga pengetrapan Undang-Undang Jasa Konstruksi No 18
Tahun 1999 yang jauh lebih memahami hal tersebut dibanding Undang-Undang sebelumnya
harus di pandu dan diberlakukan secara konsisten oleh pemerintah dan seluruh pihak yang
terkait.
Sudah tentu kita merindukan dunia industri jasa konstruksi bangkit kembali menjadi
sektor utama yang sangat menjanjikan dan sebagai pemacu pergerakan ekonomi di seluruh
sektor usaha. Dengan bangkitnya kondisi dunia industri jasa konstruksi tentunya akan
memberikan angin segar bagi perkembangan dunia usaha dan pembangunan nasional.
Pustaka
1. Arbi Sanit, “Poltik untuk Pemerintahan yang Bersih”, makalah diampaikan dalam
SeminarPembangunan Tanpa Kebocoran, Pekerjaan Rumah Pemerintah Pasca
Pemilu 1997/ SU MPR 1998, diselenggarakan oleh Forum Masyarakat Kritis Indonesia
(FMKI), Bandung, 25 Agustus 19996.
2. Bisnis Indonesia, edisi 28 Juli 1997
3. Hartopo, “Dampak Krisis ekonomi Pada Industri Jasa konstruksi Nasional”, makalah
disampaikan dalam Seminar Revival of Asian Economy by and for Sustainable
Construction Project, FT-UAJY Yogyakarta, 1999.
4. Suara Merdeka, edisi 4 Oktober 1997.
5. Sutjipto, R, “Outline Konsep Dasar Manajemen Konstruksi” makalah disampaikan pada
Training Pembuatan Buku Manajemen Konstruksi Perguruan Tinggi Swasta, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Cisarua-Bogor, 1997
6. Undang-Undang Jasa Konstruksi No 18, Tanggal 7 Mei 1999, Tahun 1999.