Anda di halaman 1dari 39

MEMBANGUN STRUKTUR INDUSTRI KONSTRUKSI NASIONAL

YANG KOKOH, ANDAL DAN BERDAYASAING


SERTAMEMBERIKAN KESEMPATAN KEPADA PARA PELAKU
USAHA TUMBUH DAN BERKEMBANG SECARA ADIL MELALUI
RESTRUKTURISASI SISTEM
Editor
Akhmad Suraji & Krishna S Pribadi
Kontributor
Gde W Merati, Soeharsojo, Rizal Z Tamin, Muhammad Natsir, Ruslan Rivai, Sukistiarso,
Achmad Hanafiah, Muhammad Abduh, Ismono, Biemo W Soemardi, Darmatyanto Sapto Dewa,
Andreas Suhono, Sulistijo, Akhmad Suraji, Budi Karya, Djoko Orixahadi, Tri Joko Wahyu Adi,
Sapri Pamulu, Hari G Soeparto, Reini D Wirahadikusumah, Krishna S Pribadi, Agus
Gendroyono, Steven Budisusetija, Janty Komajaya, Krisna Mochtar.

RINGKASAN
(a) Indonesia sebagai negara sedang berkembang membutuhkan banyak infrastruktur dan
properti. Kontraktor sebagai pelaku utama (focal firm) dari industri konstruksi nasional
dituntut memiliki kapasitas, kompetensi dan dayasaing dalam menyelenggarakan
konstruksi. Pertanyaan penting adalah apakah klasifikasi, kualifikasi dan spesialisasi para
pelaku usaha konstruksi ini sudah membentuk struktur usaha yang kokoh, andal dan
berdayasaing. Pertanyaan lainnya adalah apakah perilaku (conduct) dalam industri
konstruksi memberi peluang yang sama bagi semua pelaku usaha konstruksi tersebut,
termasuk penciptaan lapangan usaha bagi pelaku usaha konstruksi skala mikro kecil dan
menengah secara kondusif.
(b) Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, GAPENSI, LPJK dan BP
KONSTRUKSI KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM, menggagas dan melaksanakan 3
(tiga) seri diskusi nasional dalam bentuk seminar dan lokakarya membangun industri
konstruksi yang kokoh, andal dan dayasaing dan menunjang pemerataan kesempatan kerja
bagi seluruh pelaku jasa konstruksi. Diskusi nasional ini telah berhasil mengungkap
berbagai permasalahan ketimpangan struktur, distorsi pasar, kemitraan semu, rantai pasok
rentan dan marginalisasi kontraktor mikro, kecil dan menengah.
(c) Rantai suplai konstruksi nasional belum terintegrasi secara konstruktif. Pelaku usaha jasa
konstruksi dengan berbagai skala usaha belum saling berkooperasi dan berkolaborasi
dalam suatu model kemitraan yang saling menguntungkan (win-win partnership).
Kontraktor skala kecil belum mendapatkan posisi yang kuat dalam sistem subkontrak
dengan perusahaan besar.
(d) Ketimpangan struktur pasar dan industri konstruksi. Secara hipotetik, 85% nilai pasar
konstruksi dikuasai oleh kontraktor non kecil dengan jumlah 5% dari total 160.000 badan
usaha, sedangkan 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh kontraktor kecil dengan
jumlah 85% dari total 160.000 badan usaha. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di
pasar konstruksi skala kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi.
(e) Struktur industri konstruksi nasional didominasi oleh pelaku usaha jasa konstruksi berbagai
skala bersifat umum. Spesialisasi usaha jasa konstruksi masih belum berkembang dan
spesialisasi dipandang akan mempersempit peluang usaha. Keterbatasan kesempatan usaha
bagi kontraktor skala kecil. Kontraktor skala besar seperti BUMN masih ditengarahi
memiliki dominasi dan bahkan melakukan praktik mengambil pasar konstruksi skala kecil
menengah serta ekploitasi subkontraktor.
(f) Kontraktor besar dinilai belum ikut serta memberdayakan atau memberi kesempatan
kepada kontraktor skala kecil lokal dimana pekerjaan konstruksi berada. Kapasitas,
kompetensi dan dayasaing kontraktor skala kecil terbatas. Permasalahan ini dipicu oleh
keterbatasan kompetensi SDM, akses permodalan dan kemampuan peralatan/ teknologi.

(g) Pemerintah perlu mewujudkan good construction governance dengan karakteristik


partisipatory, concensus oriented, accountable, transparent, responsive, effective &
efficient, equitable & inclusive, dan follow the rule of law sebagai prasyarat utama
membangun struktur industri konstruksi nasional. Prasyarat ini untuk memastikan korupsi
diminimalisasi, pandangan minoritas dipertimbangkan dengan baik dan suara dari pihak
yang rentan diperhatikan dalam pengambilan keputusan (kebijakan),
(h) Pemerintah perlu mengembangkan keseimbangan ideal komposisi kontraktor generalis dan
kontraktor spesialis seperti Jepang, Amerika dan Inggris memiliki komposisi hampir 30:70
dan China dengan 50:50 melalui pendekatan restrukturisasi pasar (playing field) dan sistem
/ model kemitraan yang saling menguntungkan.
(i) Pemerintah perlu menggunakan pengadaan infrastruktur oleh Pemerintah sebagai media
utama (playing ground) untuk memberikan kebijakan memihak (affirmative policy) yang
memicu perkuatan struktur industri konstruksi nasional, termasuk
(1) mengembangkan segmentasi pasar,
(2) memberi insentif bagi kontraktor skala kecil menengah spesialis,
(3) melakukan memaketkan pekerjaan bagi usaha skala kecil,
(4) menciptakan model-model kemitraan antar pelaku usaha jasa konstruksi,
(5) menciptakan peluang/ kesempatan kerja bagi pelaku usaha jasa konstruksi daerah,
(j) Pemerintah perlu mendorong semua pihak untuk menegakkan etika dalam industri
konstruksi yang merupakan kunci penting dalam memperkuat struktur industri konstruksi
dan membangun kemitraan berdasarkan trust, reciprocity, dan synergy agar tercipta
kerjasama saling menguntungkan antar rantai suplai konstruksi dengan menjunjung tinggi
etika pribadi, etika profesional dan etika usaha.
(k) Pemerintah perlu meninjau ulang atau melakukan restrukturisasi biaya proyek konstruksi
(cost structure) agar komponen / elemen biaya dalam penyelenggaraan konstruksi menjadi
lebih jelas. Perhitungan biaya proyek berdasarkan satuan pekerjaan dengan komponen
harga satuan bahan, upah tenaga kerja dan alat tidak mengakomodasi biaya para tenaga ahli
/ insinyur profesional,
(l) Pemerintah perlu mengembangkan model subkontrak dan bahkan termasuk sistem
perlindungan subkontraktor melalui kebijakan memihak termasuk payment security acts
sebagai upaya menghilangkan praktek pay when to get paid atau kontraktor utama hanya
akan membayar subkontraktor kalau sudah dibayar oleh pemilik proyek.
(m) Pemerintah, melalui pembinaan konstruksi, perlu menfasilitasi pengembangan usaha di
sektor konstruksi dengan upaya-upaya antara lain:
(1) Mengembangkan kerjasama kemitraan melalui prinsip kooperasi dan kompetisi,
(2) Meningkatkan
produktifitas,
efisiensi,
kreatifitas
dan
inovasi
secara
berkesinambungan,
(3) Mendorong integrasi nilai dari rantai suplai konstruksi,
(4) Merevitalisasi profesionalisme dan nasionalisme,
(5) Merestrukturisasi sistem industri konstruksi,
(6) Mentransformasi struktur industri konstruksi,
(7) Membina kontraktor skala kecil menengah yang ingin menjadi kontraktor spesialis
melalui inkubator bisnis konstruksi dan pelatihan SDM,
(8) Merevitalisasi peran asosiasi badan usaha agar mampu membina dan memperjuangkan
kepentingan anggotanya,
(9) Meningkatkan aksesibilitas permodalan, pengurangan beban pajak bagi subkontraktor,
dan mengeluarkan standard form of subcontract,
(n) Pemerintah perlu segera menformulasikan restrukturisasi pasar konstruksi (playing field)
dan pengembangan model-model pemaketan proyek (project packaging) dan kemudian
diikuti dengan restrukturisasi industri konstruksi. Selanjutnya, reformulasi regulasi usaha
dan kebijakan memihak (affirmative policy) perlu dilakukan untuk memastikan bahwa
industri konstruksi menjadi semakin efisien, efektif, produktif, inovatif dan kompetitif serta
menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan mampu bermain secara profesional di pasar
global.

A. PENGANTAR
1. Latar Belakang
(1) Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang membutuhkan industri
konstruksi yang kokoh, handal dan berdayasaing dalam menghasilkan
berbagai bangunan baik berfungsi sebagai infrastruktur maupun properti.
Pemerintah Indonesia memperkirakan bahwa investasi infrastruktur hingga
2025 mencapai lebih kurang IDR 2000 T (MP3EI, 2011). Dikun (2011)
menyatakan bahwa Indonesia perlu membangun infrastruktur lebih banyak
dan lebih cepat. Oleh karena itu, industri konstruksi nasional harus mampu
memperkuat struktur (structure), menyehatkan perilaku (conduct) dan
meningkatkan kinerja (performance) secara terus menerus agar dapat
merespon pasar (demand) dari baik pengadaan properti maupun infrastruktur
yang semakin besar baik dari sisi volume maupun nilai serta kompleksitas.
(2) Industri konstruksi adalah usaha-usaha yang melakukan proses rancang dan
bangun untuk mendirikan suatu bangunan baik yang akan berfungsi sebagai
infrastruktur maupun properti baik diselenggarakan oleh Pemerintah, Swasta
maupun Masyarakat atau gabungan dari mereka. Hasil industri konstruksi
membentuk modal bruto tetap (gross fixed capital formation) dalam bentuk
lingkungan terbangun (built environment) bagi pembangunan sosial ekonomi
(construction driven socio-economic development). Industri konstruksi ini
melibatkan pelaku usaha mulai dari penyelenggara, konsultan keinsinyuran,
kearsitekturan, dan konsultan manajemen, kontraktor, subkontraktor,
pemasok material, pemasok peralatan, pemasok pekerja dan para pekerja
sendiri-sendiri maupun berkelompok. Para pelaku usaha di sektor konstruksi
ini bekerja mengikuti siklus hidup dari pengembangan aset terbangun (life
cycle of built asset development).
(3) Industri konstruksi nasional melibatkan 182.800 perusahaan kontraktor
dengan kualifikasi besar (1%), kualifikasi menengah (12%) dan kualifikasi
kecil (87%). Komposisi ini didominasi perusahaan kontraktor umum (general
contractors) dan sedikit perusahaan kontraktor khusus (specialist
contractors).Secara hipotetik, 85% nilai pasar konstruksi dikuasai oleh nonkecil dengan jumlah 13% dari total 182.800 badan usaha, sedangkan 15%
nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh kontraktor kecildengan jumlah 87%
dari total 182.800 badan usaha. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha
di pasar konstruksi skala kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi. Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana menstrukturkan kembali sistem industri
konstruksi (restructuring the industry) sehingga para pelaku usaha di sektor
konstruksi khususnya perusahaan kontraktor tersebut mampu menjadi tuan
rumah di negeri sendiri dan kemudian juga mampu memperluas pangsa pasar
di luar negeri.
(4) Dalam rangka mencari formulasi bagaimana memembangun industri
konstruksi nasional tersebut, Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional
(GAPENSI), Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN)
dan Badan Pembinaan Konstruksi (BP Konstruksi) Kementerian Pekerjaan
Umum bekerjasama menyelenggarakan 3 (tiga) seri diskusi dalam bentuk
seminar dan lokakarya nasional. Secara umum, tujuan kegiatan ini adalah
menghasilkan suatu dokumen dalam format makalah posisi (position paper)
yang mengartikulasikan berbagai permasalahan kontemporer mutakhir di
sektor konstruksi, perspektif berbagai pihak terhadap permasalahan tersebut
dan rekomendasi kerangka kerja (framework) serta rencana tindak (action

2.

3.

plan) dari pemangku kepentingan industri konstruksi nasional untuk


membangun struktur industri konstruksi yang kokoh, andal dan berdayasaing
serta memperluas kesempatan usaha bagi pelaku usaha skala mikro, kecil dan
menengah.
Maksud & Tujuan
(5) Maksud makalah posisi (position paper) ini adalah memberikan perspektif
membangun struktur industri konstruksi nasional yang kokoh, andal dan
berdayasaing melalui identifikasi permasalahan dan gambaran penyelesaian
permasalahan tersebut. Sedangkan tujuan position paper ini adalah
menghasilkan rekomendasi strategi, kebijakan dan rencana aksi untuk
meningkatkan kapasitas industri konstruksi nasional agar mampu memberi
nilai tambah berkelanjutan, mampu menyesuaikan denganperubahan nasional
dan global serta menjadi pelaku utama di negeri sendiri dan mempunyai
peluang berperan global.
(6) Position paper ini merupakan konsolidasi dari position paper tentang
restrukturisasi industri konstruksi nasional, pengembangan kemitraan dalam
rantai pasok konstruksi, peningkatan kapasitas usaha mikro, kecil dan
menengah di sektor konstruksi dan peningkatan kompetensi SDM Konstruksi.
Position paper tersebut disusun, disampaikan dan dibahas oleh representasi
Pemerintah, Pelaku Usaha di sektor konstruksi dan Akademisi.
Metodologi
(7) Position paper ini dirumuskan melalui 3 (tiga) seri pertemuan nasional dalam
bentuk seminar dan lokakarya yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan
industri konstruksi baik berasal dari Pemerintah, pelaku usaha di sektor
konstruksi dan peneliti/ akademisi perguruan tinggi. Seminar nasional ini
bertujuan memetakan masalah dan mengakumulasi isu-isu strategis seputar
struktur industri konstruksi dan pengembangan kesempatan kerja. Seminar
nasional ini telah membahas good governance dalam pengembangan industri
konstruksi, kebijakan dalam pengadaan infrastruktur oleh Pemerintah yang
berkaitan dengan pengadaan pekerjaan konstruksi, peran asosiasi badan
usaha, pengalaman kerjasama kontraktor besar dan kontraktor kecil serta
membahas rekomendasi kepada pemerintah sebagai pembina konstruksi.
(8) Hasil seminar pertama adalah bahwa good governance dalam industri
konstruksi nasional masih menjadi masalah utama. Struktur pasar dan
struktur industri konstruksi masih mengalami ketidak seimbangan.
Perusahaan kontraktor spesialis juga belum tumbuh secara terstruktur. Di
samping itu, kerjasama antara kontraktor besar, menengah dan kecil serta
mikro belum memiliki model yang saling menguntungkan. Kontraktor besar
belum semuanya mengambil peran pembinaan terhadap kontraktor mikro,
kecil dan menengah. Kapasitas, kompetensi dan dayasaing kontraktor skala
mikro, kecil dan menengah masih rendah dan memiliki keterbatasan akses
permodalan, keterbatasan kompetensi SDM dan keterbatasan penguasaan
teknologi dan sistem manajemen.
(9) Pertemuan nasional seri kedua dilaksanakan dalam bentuk lokakarya. Dalam
lokakarya ini, sejumlah 4 (empat) position paper yang masing-masing
disusun bersama oleh representasi pemerintah, pelaku usaha dan
akademisidan 4 (empat) position paper yang masing-masing disusun oleh
representasi pemilik proyek swasta, pemilik pemerintah dan representasi
otoritas moneter dan perbankan. Lokakarya ini bertujuan merumuskan
kerangka kerja (framework) bagaimana merestrukturisasi industri konstruksi

4.

5.

nasional (Natsir, Rivai, & Rizal, 2012), memperkuat kemitraan dalam rantai
pasok konstruksi (Sukistiarso, Hanafiah, & Abduh, 2012) peningkatan
kapasitas usaha skala mikro, kecil dan menengah di sektor konstruksi
(Ismono, Saptodewo, & Soemardi, 2012) serta strategi peningkatan
kompetensi SDM Konstruksi (Suhono, Mulyo, & Suraji, 2012). Perumusan
hal-hal tersebut dilakukan melalui suatu diskusi kelompok kerja (working
group discussion) dan konsinyasi serta kemudian diverifikasi melalui
pertemuan nasional ketiga dalam bentuk seminar nasional. Hasil dari
lokakarya dan konsinyasi tersebut dirumuskan dalam bentuk dokumen
position paper ini.
Manfaat
(10) Dokumen position paper ini dikontribusikan secara khusus kepada
Pemerintah sebagai rekomendasi kebijakan pembinaan konstruksi baik dalam
bentuk pengaturan, pemberdayaan maupun pengawasan dan kepada LPJK
sebagai rekomendasi perencanaan program dan kegiatan pengembangan
industri konstruksi nasional serta kepada pelaku usaha di sektor konstruksi
sebagai rekomendasi pengembangan korporasi dan pengembangan usaha.
(11) Pendayagunaan position paper ini membutuhkan komitmen dan kemauan
bersama
semua
pemangku
kepentingan
(stakeholders)
industri
konstruksinasional untuk menempatkan konstruksi menjadi industri (KK
MRK ITB, 2007) dan bukan sekedar perdagangan jasa perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan (procurement) dalam suatu penyelenggaraan
konstruksi tetapi sebagai meso economic systems (Carracus, 2004 dan Barret,
2005) dan life cycle of the built asset development(Ruddock, 2009) serta
berorientasi bagi the finest built environment yang bernilai tambah bagi
kesejahteraan, keadaban dan kedaulatan bangsa (Suraji et al, 2007).
Sistematika
(12) Position paper ini terdiri dari 5 (lima) bagian utama. Bagian pertama dari
position paper ini menjelaskan secara umum gambaran industri konstruksi
nasional saat ini. Bahasan ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman
tentang posisi dan kondisi industri konstruksi. Selanjutnya, bagian kedua
position paper ini menjelaskan permasalahan yang dihadapi (perceived
problems) berdasarkan hasil seminar dan lokakarya nasional.
(13) Bagian ketiga position paper ini membahas postur ideal industri konstruksi
sebagai referensi dalam restrukturisasi industri konstruksi nasional.
Selanjutnya, substansi utama dari position paper ini dijelaskan pada bagian
keempat dan kelima. Dalam bagian ini, prasyarat dan model restrukturisasi
serta strategi dan kebijakan yang diperlukan. Selanjutnya, position paper ini
juga merekomendasikan rencana aksi bagi pencapaian restrukturisasi tersebut
kepada Pemerintah, LPJK dan Asosiasi, Korporasi dan Individu.

B. GAMBARAN INDUSTRI KONSTRUKSI NASIONAL


1. Kontribusi Terhadap Perekonomian
(14) Sektor konstruksi merupakan salah satu sektor perekonomian yang penting di
Indonesia karena menyediakan berbagai bangunan yang berfungsi sebagai
infrastruktur dan prasarana yang menjadi pembentuk modal tetap(gross fixed
capital formation) bagi berbagai kegiatan ekonomi masyarakat. Sektor ini
juga menjadi penarik berbagai kegiatan industri penunjang konstruksi, seperti
industri bahan dan peralatan konstruksi, perbankan dan asuransi, serta
melibatkan berbagai profesi dan aktifitas lainnya. Sektor konstruksi

2.

berkontribusi cukup besar terhadap PDB nasional, antara 8 sampai 10 persen


(Suraji et al, 2011) dan memberikan kesempatan kerja bagi lebih dari 5 juta
tenaga kerja langsung dan lebih dari 10 juta harian (BPS, 2010) melalui lebih
dari 175.000 badan usaha konstruksi baik sebagai konsultan, kontraktor,
pemasok material dan peralatan konstruksi maupun pemasok tenaga kerja.
(15) Suraji, Pribadi, Widjajanto (2011) melaporkan bahwa kontribusi sektor
konstruksi terhadap produk domestik bruto (PDB) adalah 660.967,5 milyar
rupiah (2010) berdasarkan harga berlaku dan 150.063.3 milyar rupiah (2010)
berdasarkan harga konstan (2000). Selanjutnya, BPS (2011)
mempublikasikan bahwatingkat pertumbuhan produk domestik oleh sektor
konstruksi dari kwartal I (2011) sampai dengan kuartal IV (2011) adalah
4,5%sedangkan kuarter II (2011) hingga kuarter II (2011) mencapai 7,4%.
Pertumbuhan investasi di sektor konstruksi terus berubah dari 8,5% (2007),
7,5% (2008), 7,1% (2009) dan 7,0% (2010). Angka-angka tersebut
menunjukkan bahwa peran sektor konstruksi terhadap pembangunan nasional
perlu dipandang sebagai suatu sistem ekonomi meso oleh Pemerintah.
Struktur Pasar Konstruksi Domestik
(16) Pasar konstruksi dikonsepsikan sebagai permintaan (demand) barang/ jasa
yang diperlukan untuk suatu rangkaian proses produksi suatu bangunan
(Natsir, 2012). Selanjutnya, Natsir (2012) menjelaskan bahwa pasar
konstruksi memiliki karakteristik antara lain (i) sesuai permintaan (buyer
depended), (ii) satu pembeli banyak penjual (oligopolistik monopsoni), (ii)
pembli (client/owner) menentukan delivery system dan skema pembiayaan
dan (iv) persaingan ketat. Struktur pasar (market structure) adalah
karakteristik pasar yang mempengaruhi kompetisi dan penentuan harga dan
menentukan entry barriers dan power distribution yang meliputi quality,
scale, share dan benefit. Perilaku pasar (market conduct) adalah serangkaian
strategi persaingan yang diadopsi oleh pelaku usaha yang meliputi (i) strategi
pemasaran dan pelaksanaan proyek, (ii) perilaku penentuan harga, (iii)
penelitian dan inovasi, (iv) investasi dan (v) taktik yang legal. Kinerja pasar
(market performance) mencerminkan manfaat ekonomi yang meliputi
penyelenggaraan proyek dalam rangka memenuhi spesifikasi (efektifitas),
tingkat keuntungan terkait dengn biaya pemasaran dan margin, dan
fleksibilitas dan integrasi harga (efisiensi).
(17) Pasar konstruksi dapat distrukturkan berdasarkan distribusi sumber dana.

(Natsir, 2012) *Kemenhub, Kemenpera, Kemendiknas; ** Proses Update


Pada tahun 2012 ini, total nilai pasar konstruksi diperkirakan mencapai
hingga 500 T rupiah dengan sumber pembiayaan APBN, ABPD, BUMN,

BUMD, PMDN, PMA dan Gabungan. Pasar konstruksi gabungan,


pemerintah (APBN/APBD) masih menduduki porsi yang plaing besar disusul
oleh pasar konstruksi BUMN Infrastruktur dan Properti seperti Pertamina dan
PLN. Secara spesifik pasar konstruksi kegiatan hulu migas menunjukkan
bahwa Total nilai komitmen pengadaan barang dan jasa Januari Desember
2011 yang melalui persetujuan BPMIGAS dan diadakan oleh KKKS sendiri
adalah US$ 11,81 Miliar dengan persentase TKDN sebesar 60,63% (cost
basis). Selanjutnya, nilai TKDN barang dan jasa menunjukkan bahwa
proporsi Nilai TKDN Barang (cost basis) adalah US$ 1,30 Milyar (TKDN
37,60%), sedangkan Nilai TKDN Jasa (cost basis) adalah US$ 5,35 Milyar
(TKDN 71,23%).Produsen barang / jasa dan tenaga kerja di kegiatan usaha
hulu migas menunjukkan proporsi lebih besar oleh PMDN (86% untuk jasa
dan 65% untuk barang), demikian juga untuk tenaga kerja nasional (96,64%)
(Natsir, 2012).
(18) Pasar konstruksi tersebut memiliki modalitas informasi pasar, market entry,
sistem transaksi dan jaminan mutu (Parikesit et al, 2005, Natsir, 2012).
Meskipun tidak spesifik, Pemerintah telah mengeluarkan pengaturan pasar
dan industri konstruksi meliputi informasi pasar dengan peraturan
perundangan yaitu UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik),
PP No. 30/2000 tentang Pembinaan Jasa Konstruksi), PP No. 38/2007
tentang Pembagian Kewenangan), PP No. 65/2007 tentang Standar Pelayanan
Minimum) dan PP No. 61/2010 tentang Pelaksanaan UU No. 14/2008.
Selanjutnya, peraturan perundangan terkait market entry meliputi UU No.
18/1999 tentang Jasa Konstruksi, UU No. 7/1994 tentang Ratifikasi WTO,
PP No. 28/2000 dan perubahaannya tentang Usaha dan Peran Masyarakat
Jasa Konstruksi, PP No. 29/2000 dan perubahaannya tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Perpres No. 54/2010 beserta petunjuk
pelaksanaannya tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dan
Peraturan Menteri dan Direksi BUMN terkait Pengadaan Barang dan Jasa
dilingkungan BUMN. Peraturan perundangan terkait penjaminan mutu
mencakup UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, , PP No. 28/2000 dan
perubahaannya tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, PP No.
29/2000 dan perubahaannya tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, dan
SNI terkait penyelenggaraan konstruksi. Selanjutnya, peraturan perundangan
terkait sistem transaksi UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, PP No.
28/2000 dan perubahaannya tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa
Konstruksi, PP No. 29/2000 dan perubahaannya tentang Penyelenggaraan
Jasa Konstruksi, Perpres No. 54/2010 beserta petunjuk pelaksanaannya
tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dan Peraturan Menteri dan
Direksi BUMN terkait Pengadaan Barang dan Jasa dilingkungan BUMN.
(19) Asimetri informasi pasar konstruksi akan menyebabkan terjadinya distorsi
pasar dimana pasar tertentu hanya dikases oleh sekelompok badan usaha yang
dekat dengan sumber informasi, sehingga tidak terjadi persaingan yang sehat
serta mengurangi efisiensi penyelenggaraan konstruksi. Informasi struktur
pasar konstruksi yang tidak memadai akan menyulitkan dalam formulasi
kebijakan perkuatan struktur industri konstruksi, sehingga kebijakan yang
dihasilkan menjadi tidak efektif atau bahkan Counter Productive. Tanpa
pengawasan yang baik terhadap BUJK Asing dalam memenuhi ketentuan
liberalisasi perdagangan dan perpres 36/2011 tidak akan terjadi transfer of

knowledge yang diharapkan.Pelayanan SBU yang tidak sesuai akan menjadi


entry barrier (Natsir, 2012).

3.

Postur Perusahaan Konsultan dan Kontraktor Konstruksi


(20) Industri konstruksi melibatkan berbagai pelaku usaha perdagangan barang
dan atai jasa yang bergerak dalam suatu rangkaian rantai suplai konstruksi
dari hulu hingga hilir, seperti konsultan, kontraktor, pemasok material dan
pemasok peralatan serta pemasok tenaga kerja. Perbandingan postur
kualifikasi konsultan dan kontraktor dapat dilihat pada tabel berikut ini.

(LPJKN, 2012 dalam Natsir, 2012)


Data mutakhir badan usaha konsultan dan kontraktor konstruksi yang
teregistrasi secara nasional (consulting and contracting companies) tahun
2012 menunjukkan bahwa perusahaan kontraktor memiliki postur kualifikasi
1% (1.742) besar, 12 % (21.032) menengah dan 87% kecil (160.026),
sedangkan postur kualifikasi perusahaan konsultan adalah 7% besar (449),
4% (264) menengah dan 89% kecil (5.892) (LPJKN, 2012).Postur klasifikasi
kontraktor nasional adalah kontraktor gedung (22.437), kontraktor pelabuhan
(3.203), kontraktor bedung/ bendungan (937), kontraktor EPC (5) dan
kontraktor jalan (17.716) serta kontraktor jembatan (8.850). Jumlah
kontraktor MIGAS (kontraktor kontrak kerjasama) adalah 500 perusahaa
(Ismono, 2012). Tabel di bawah ini menggambarkan postur profesi
keinsinyuran untuk rancang bangun infrastruktur pekerjaan umum (Ismono,
2012).

(21) Jumlah perusahaan konsultan dan kontraktor asing dari negara-negara ASIA,
EROPA dan USA yang beroperasi dan tergistrasi di Indonesia terus
bertambah sejak tahun 2004. Tabel berikut ini menggambarkan postur

perusahaan konsultan dan kontraktor asing di Indonesia (Natsir, 2012)

(Natsir, 2012)
Pada lima tahun terakhir pertambahan konsultan dan kontraktor asing di
Indonesia sangat besar dan sejak pencanangan MP3EI naik hingga 22,2%
sehingga akumulasi jumlah mreka sampai tahun 2012 mencapai 255
perusahaan.
(22) Perusahaan konsultan dan kontraktor dari negara-negara ASIA sebagaimana
terlihat pada tabel di bawah ini semakin bertambah pasar konstruksi domestik
sejak tahun 2005 serta terdorong liberalisasi perdagangan barang dan jasa
serta
perjanjian
bilateral
antara
kedua
negara.
.

Perusahaan konsultan dan kontraktor asing dari Jepang mencapai 80


perusahaan pada tahun 2012 dan menguasai pangsa pasar konstruksi
domestik bersamaan kehadiran hibah dan pinjaman Pemerintah Jepang
kepada Indonesia. Perusahaan konsultan dan kontraktor dari Korea juga
bertambah secara signifikan pasca pencanangan MP3EI dan mencapai jumlah
60 perusahaan atau nasik (72%) dari tahun 2010 (33 perusahaan). Perusahaan
konsultan dan kontraktor dari China juga mengikuti ekspansi ke Indonesia
dan hingga tahun 2012 berjumlah 39 perusahaan atau naik 21,9% dibanding
tahun 2010 (32), kemudian disusul oleh perusahan konsultan dan kontraktor
dari India. Jumlah perusahaan konsultan dan kontraktor dari Eropa yang
beroperasi di Indonesia tidak bertambah secara signifikan sejak tahun 2008
hingga 2012 berkisar 30 perusahaan, sedangkan jumlah perusahaan konsultan
dan kontraktor dari USA dan Canada juga tidak berubah banyak sejak tahun
2008 yaitu 7-8 perusahaan.
(23) Modalitas industri konstruksi (supply side) meliputi kapasitas (kapital, SDM
dan Teknologi), model usaha, katalog produk dan rantai pasok (Parikesit et al,
2005; Natsir, 2012). Peraturan perundangan terkait kapasitas dan model usaha
industri konstruksi adalah UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, PP No.
28/2000 dan perubahaannya tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa
Konstruksi, dan peraturan LPJK tentang klasifikasi dan kualifikasi. Model
usaha seperti DB, PBC, BOT dan lain-lain belum diatur. Pengaturan
segmentasi kapasitas industri konstruksi (kapital, SDM, teknologi) dan
penerapannya secara konsisten sangat diperlukan guna menjaga rasionalitas
supply demand (pasar) (Natsir, 2012).
4.

Indikator Bisnis di Sektor Konstruksi


(24) Indikator Konstruksi Nasional ini diolah dari data indikator konstruksi (BPS,
2010). BPS (2010) melaporkan hasil survai nasional terhadap lebih dari 3000
perusahaan di sektor konstruksi untuk mengetahui prospek dan kondisi bisnis,
masalah bisnis dan pertumbuhan yang terjadi, disamping hal-hal lainnya.

Bagian tulisan ini hanya mengungkap berbagai indikator bisnis di sektor


konstruksi. Pertama adalah indeks prospek bisnis yang menunjukkan
kenaikan yang dinamis sejak tahun 2004 hingga tahun 2010. Tetapi indek
kondisi bisnis menunjukkan kecenderungan menurun sejak 2008.
70,00
60,00
50,00
40,00
Business Condition
30,00

Business Prospect

20,00
10,00
0,00
2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

Dalam laporan indikator konstruksi 2010, BPS menyatakan bahwa periode


2004-2010 menunjukkan mayoritas pengusaha lebih optimis terhadap kondisi
dan prospek bisnis yang ditunjukkan nilai indeks lebih besar 50 dengan nilai
53, 17 untuk indeks kondisi bisnis dan 54,33 untuk indeks prospek bisnis.
(25) BPS (2010) juga mengukur indeks masalah bisnis di sektor konstruksi.
80,00
Acess to Credit
70,00
60,00

Interest Rate
Competition
Demand Decreasing

50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
BPS (2010) diolah

0,00
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Hasil survai BPS (2010) untuk permasalahan bisnis pada periode 2004-2010
menunjukkan bahwa pengusaha di sektor konstruksi masih menganggap
cukup bermasalah dalam menjalankan bisnisnya yang ditunjukkan dengan
nilai indeks untuk akses kridit, suku bunga terus turun dari 40 hingga 10.
Demikian juga dengan permasalahan akses kridit dan suku bunga juga
mengalami cukup bermasalah yang ditunjukkan dengan nilai indeksterus

turun dari 70 hingga kurang dari 40. Menurut hasil survai BPS (2010)
masalah utama yang dihadapi oleh para pengusaha di sektor konstruksi adalah
(i) tidak stabilnya harga bahan bangunan, (ii) penurunan permintaan, (iii) dan
tingkat persaingan yang tinggi. Gambar berikut ini menjelaskan permasalahan
harga dan suplai material, tenaga kerja terampil, adminstrasi birokrasi dan
kondisi
atau
situasi
politik
dan
keamanan.
.
80,00
70,00
60,00

Price of Construction
Materials

50,00

Supply of Construction
Materials

40,00

Skill Human Resources

30,00

Administraction
Bearucracy

20,00

Politic and Security

10,00
0,00
2002

2004

2006

2008

2010

2012

Laporan BPS (2010) menjelaskan bahwa para pengusaha di sektor konstruksi


menyatakan harga bahan bangunan sangat menentukan kontrak pekerjaan dan
bila harga bahan bangunan tidak stabil maka kondisi ini akan merugikan para
kontraktor karena sering terjadi waktu jeda antara penandatanganan kontrak
dan pelaksanaan pekerjaan.
5. Tantangan Industri Konstruksi Nasional
(26) Industri konstruksi nasional mau tidak mau suka tidak suka menghadapi
tantangan besar di masa depan, baik terkait pencapaian visi Indonesia 2025,
2050 maupun 2100 maupun berbagai perubahan sosial, ekonomi dan politik
dunia yang sangat dinamis. Pemerintah menghendaki untuk Mengangkat
Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia di
tahun 2025 dan 8 besar dunia pada tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi
tinggi yang inklusif dan berkelanjutan (Menko Perekonomian, 2010) dalam
Suhono (2011). Pencapaian cita-cita ini perlu mendapat dukungan
ketersediaan infrastruktur yang banyak dan berkualitas. Berdasarkan skenario
pertumbuhan ekonomi lebih besar 6% maka diperlukan investasi infrastruktur
sebesar 5% PDB. Indonesia diperkirakan membutuhkan 1600T rupiah
investasi infrastruktur hingga tahun 2025 dan 7000 T rupiah hingga tahun
2045 (Suhono, 2011).
(27) Kebutuhan investasi infrastruktur di 6 koridor ekonomi sangat besar (MP3EI,
2011). Para pelaku usaha di sektor konstruksi akan menghadapi permintaan
yang besar tetapi dengan tututan dan persaingan yang juga semakin besar dan
sampai dengan 2015 nilai investasi infrastruktur mencapai 1.409.830,555
milyar
rupiah
yang
akan
menjadi
pasar
konstruksi.

200000
180000
160000
140000
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0

TOTAL INVESTASI DI
SUMATERA

D.

E.

Bandara & Hub.Udara

Plabuhan, Pantai & Hub.Laut

Rel KA & Hub.Darat

Gedung & Perumahan


C.

F.

Jaringan IT & Telekomunikasi

B.

Energi,Power Plant & Transmisi

A.

SDA,Drainase & Air Bersih

Jalan & Jembatan

TOTAL INVESTASI DI
JAWA

G.

H.

TOTAL INVESTASI DI
KALIMANTAN
TOTAL INVESTASI DI
SULAWESI
TOTAL INVESTASI DI
NUSRA BALI
TOTAL INVESTASI DI
MALUKU PAPUA

MP3EI (2011) diolah

Gambar di atas ini menunjukkan estimasi besaran nilai investasi (dalam


milyar rupiah) 2010 2015 untuk berbagai jenis bangunan untuk
infrastruktur transportasi, infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman,
infrastruktur energi dan infrastruktur telekomunikasi.
(28) Seiring dengan bertambahnya permintaan infrastruktur tersebut di atas,
Industri konstruksi juga akan menghadapi tantangan peningkatan kebutuhan
SDM
Konstruksi
2010-2015
di
berbagai
koridor
ekonomi.
7.000
6.000

Jalan &
Jembatan
SDA,Drainase
& Air Bersih
Gedung &
Perumahan

4.000

Rel KA &
Hub.Darat

3.000

Plabuhan,Pan
tai &
Hub.Laut
Bandara &
Hub.Udara

x 1,000 Orang

5.000

2.000
1.000
0

Energi,Power
Plant &
Trnsmisi
Jaringan IT &
Telekomunik
asi

PusbinKPK (2011)

Gambar di atas ini menunjukkan bahwa kebutuhan SDM Konstruksi yang

berkompeten dalam bekerja di bidang infrastruktur pekerjaan umum,


permukiman, transportasi, energi dan telekomunikasi di berbagai daerah
dalam periode 2010 2015. Permintaan terhadap SDM Konstruksi yang
berkompenten akan menjadi tantangan industri konstruksi. Kebutuhan SDM
Konstruksi untuk penyelenggaraan infrastruktur pekerjaan umum dan energi
menunjukkan porsi yang paling besar di koridor Sumatera dan Jawa. Khusus
untuk kebutuhan SDM Konstruksi untuk penyelenggaraan bangunan
permukiman dan gedung menunjukkan di Jawa sangat tinggi.

C. PROBLEMATIKA INDUSTRI KONSTRUKSI YANG TERIDENTIFIKASI


1.

2.

Ketimpangan KomposisiJumlah Perusahaan Kontraktor


(29) Ketimpangan struktur pasar dan industri konstruksi. Secara hipotetik, 85%
nilai pasar konstruksi dikuasai oleh kontraktor non kecil dengan jumlah13%
dari total 182.800 badan usaha, sedangkan 15% nilai pasar konstruksi
diperebutkan oleh kontraktor kecil dengan jumlah 87% dari total 182.800
badan usaha. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di pasar konstruksi
dengan nilai kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi (Tamin, 2012).Struktur
industri konstruksi nasional didominasi oleh pelaku usaha konstruksi
berbagai skala yang memiliki sifat umum. Spesialisasi usaha jasa konstruksi
masih belum berkembang dan spesialisasi dipandang akan mempersempit
peluang usaha.
(30) Struktur usaha yang kokoh, andal, & berdaya saing belum terbentuk. Jumlah
kontraktor lebih dari 150.000 dan hampir 70%-80% berada di Jawa.
Kemitraan antara badan usaha besar, sedang, dan kecil belum terwujud secara
sinergis, saling menguntungkan dan resiprokal. Disamping itu, jumlah
kontraktor kecil lebih banyak bersifat umum; jumlah kontraktor swasta dan
daerah kecil; jumlah kontraktor spesialis hampir tidak ada (Tamin, 2012).
Struktur industri konstruksi terfragmentasi sehingga banyak transaksi dan
banyak kontrak. Dengan demikian, biaya transaksi tinggi sering terjadi.
Seharusnya terdiferensiasi menjadi generalis dan spedialis bila diarahkan
dapat terbangun dengan struktur yang seimbang (Soeparto, 2012).
(31) Stigmatisasi dalam industri konstruksi adalah (i) mengesankan menjadi
tempat permainan kotor, (ii) dimanfaatkan untuk meminta jatah, (iii)
persaingan sangat keras dapat cenderung berbahaya, (iv) lebih berdasar
ketrampilan dari pada pengetahuan, (iv) banyak Pekerjaan dilakukan
dilapangan, (vi) biaya murah
dan nilai tambah rendah; (vii) cara
berhubungan yang cenderung memicu conflict/bersifat adversarial; (viii)
terfragmentasi, terpecah pecah dan berasal dari banyak latar belakang berbeda
dan (ix) entry barrier rendah dan persaingan berdasarkan harga murah. Secara
umum kondisi tersebut menjadikan industri konstruksi kurang efisien, kurang
produktif, kurang innovatif(Soeparto, 2012).
Kualitas dan Produktifitas Perusahaan Kontraktor Rendah
(32) Kualitas pekerjaan kontraktor masih rendah yang ditandai oleh konstruksi
cepat rusak, kecelakaan konstruksi tinggi, kegagalan konstruksi dan bangunan
mulai terjadi. Selain itu, produktifitas kontraktor rendah, daya saing lemah,
kalah bersaing dengan kontraktor asing yang beroperasi di Indonesia, sedikit
yang berhasil masuk pasar global, tidak responsif terhadap permintaan tinggi
tenaga kerja konstruksi regional, tidak ada kontraktor tenaga kerja konstruksi

(Labor Contractor) dan lapangan usaha terbatas dan belum berkembang


(KBLI) (Tamin, 2012). Kapasitas, kompetensi dan dayasaing kontraktor skala
kecil terbatas. Permasalahan ini dipicu oleh keterbatasan kompetensi SDM,
akses permodalan dan kemampuan peralatan/ teknologi. Disamping itu,
permasalah spesifik pelaku usaha di sektor konstruksi adalah adanya lack of
true competition, lack of good governance. Selanjutnya, kebijakan subcontracting tidak dikembangkan secara khusus. Pengawasan, pemihakan
pelaku usaha kecil, spesialis, dan daerah kurang dilakukan secara sistematis.
BUMN tidak mendapat mandat khusus pembinaan pelaku usaha kecil dan
spesialis.Kebijakan pembinaan terhadap usaha kecil belum intensif seperti
bantuan pendanaan, pelatihan SDM dan manajemen serta pengembangan
inovasi teknologi dan penyediaan sistem asuransi dan jaminan yang
kompetitif.
3. Kemitraan Saling Menguntungkan Antar Kontraktor Belum Terbentuk
(33) Rantai suplai konstruksi nasional belum terintegrasi secara konstruktif.
Pelaku usaha jasa konstruksi dengan berbagai skala usaha belum saling
berkooperasi dan berkolaborasi dalam suatu model kemitraan yang saling
menguntungkan (win-win partnership). Kontraktor skala kecil belum
mendapatkan posisi yang kuat dalam sistem subkontrak dengan perusahaan
besar. Disamping itu, kontraktor kecil mengalami banyak hambatan
mendapatkan pekerjaan subkontrak dari kontraktor besar. Pada prakteknya,
hambatan tersebut antara lain adanya hubungan KKN (Kenal Konco Nyantol
Proyek); Kemampuan subkontraktor baik dari segi SDM, peralatan maupun
permodalan; kebiasaan kewajiban membayar bayar fee proyek terlebih dulu
yang berkisar 8% dari nilai proyek dan full finance tanpa uang mukaserta
harus bersedia dibayar apabila pekerjaan sudah selesai 100%. Disamping itu,
kontraktor kecil juga kesulitan mendapatkan dukungan modal dari perbankan
dan menghadapi pembayaran yang sering molor sangat lama atau bahkan
tidak sesuai perjanjian dan terkadang tidak dibayar. Kontraktor kecil juga
sangat susah mendapatkan kepercayaan dari main kontraktor (Gendroyono,
2012). Secara umum, permasalahan usaha skala kecil menengah Indonesia
adalah (i) akses pasar, (ii) SDM, (iii) manajemen, (iv) akses permodalan, (v)
dan IT & production technology (Bank BRI, 2012). Resiko pembiayaan
untuk sektor konstruksi adalah (i) performance kontraktor tidak sesuai standar
sehingga pelaksanaan kontrak terganggu dan pembayaran tagihan oiw
bouwheer ke rekening kontraktor bank pemberi kredit mengalami delay dan
atau dibelokan ke bank lain (Bank BRI, 2012).
(34) Keterbatasan kesempatan usaha bagi kontraktor skala kecil. Kontraktor skala
besar seperti BUMN masih ditengarahi memiliki dominasi dan bahkan
melakukan praktik mengambil pasar konstruksi skala kecil menengah serta
ekploitasi subkontraktor.
Kontraktor besar dinilai belum ikut serta
memberdayakan atau memberi kesempatan kepada kontraktor skala kecil
lokal dimana pekerjaan konstruksi berada.Penggolongan usaha yang kurang
tepat, dan batasan pasar yang tidak mendukung sehingga mempersempit
peluang usaha perusahan kecil maka kesempatan mereka hanya menjadi
subkontraktor, sehingga diperlukan pengaturan segmentasi pasar yang sehat.
Peraturan perundangan sebenarnya cukup melindungi subkontraktor, namun
sayang karena tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelaku, maka
timbullah
banyak
permasalahan-permasalahan
dalam
subkontrak.(Gendroyono, 2012).

4.

Kelembagaan Pembinaan dan Pengembangan


(35) Peran pembinaan pemerintah belum efektif dan kurang tegas dinyatakan siapa
yang mewakili pemerintah. Disamping itu, koordinasi yang lemah antara
stakeholders dan saling mengharapkan antara pemerintah dan
LPJKN/D.Peran LPJKN/D terbatas dan kemampuan pendanaan yang
terbatas. Disamping itu, lembaga ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan
pendanaan dari
pemerintah. Dalam kondisi keterbatasan tersebut,
konsentrasi peran masih sebatas sertifikasi dan registrasi badan usaha, tenaga
ahli dan tenaga terampil. Sistem dan tatakelola proses sertifikasi masih
diwarnai oleh conflict of interest. Namun demikian, sudah ada sedikit
harapan kemajuan dalam penelitian dan pengembangan. Lembaga sudah
mulaimendorong pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. Disamping itu,
inisiatif pengaturan penilai ahli, arbitrase, dan mediasi, serta peningkatan
partisipasi masyarakat sudah ada (Tamin, 2012).
5. Kelemahan Rantai Pasok Konstruksi
(36) Kompetisi antar rantai pasok yang dimiliki oleh kontraktor belum terjadi di
Indonesia. Kondisi ini terjadi karena (i) Kompetisi semu, (ii) Tidak menjadi
sebuah keharusan dari owner, (iii) Hubungan antar rantai pasok yang ada
belum berjangka panjang, (iv) dan Tidak ada loyalitas dalam rantai pasok.
Disamping itu, perbedaan hubungan antara tahap lelang dan tahap
pelaksanaan juga sering terjadi disebabkan oleh kontraktor belum memiliki
rantai pasok yang loyal dan stabil, aturan memaksa untuk tidak dapat
mencantumkan keseluruhan rantai pasok, tidak ada keharusan dari owner dan
pengawasan dalam pelaksanaan pengelolaan rantai pasok, dan hubungan yang
tidak berjangka panjang dalam rantai pasok. Permasalahan lain adalah
lokalisasi kontraktor dalam arti kontraktor lokal melakukan pekerjaan untuk
pekerjaan lokal tidak terjadi di Indonesia. Kondisi ini disebabkan oleh
intervensi kontraktor nasional, kontraktor lokal tidak terbina dan terjadi
vertical integration yang dilakukan oleh BUMN, meskipun kontraktor BUMN
memiliki alasan profesionalitas yang valid pula dalam hal ini, sulit
mendapatkan mitra kerja local yang memenuhi standar kualitas. Beberapa
pemerintah daerah telah menggunakan aksi afirmatif dengan memaksa
kontraktor BUMN bermitra dengan lebih dari satu kontraktor local untuk
pekerjaan konstruksi yang bernilai besar. Namun tetap isyu profesionalitas
masih ada, sehingga perlu tambahan biaya untuk mengakomodasi aksi
afirmatif ini bagi kontraktor BUMN (Abduh, 2012).
6. Kontraktor Selon dan Keterbatasan Kompetensi
(37) Pengalamanpraktikal pada pengadaan pekerjaan konstruksi oleh nonpemerintah menunjukkan adanya perikatan kesepakatan para kontraktor
secara terselubung dan kemudian cenderung berusaha mempengaruhi
/mengatur proses tender. Disamping itu, di lapangan juga muncul adanya
kontraktor selon yang artinya seseorang yang bisa mempunyai 1001
perusahaan konstraktor dengan berbagai keahlian. Tender terbuka akan
membuka peluang kontraktor selon untuk mengikuti dan mengatur mitra
yang lain dan justru tidak profesional. Kenyataan juga menunjukkan bahwa
klien non-pemerintah juga mengalami permasalahan mutu pekerjaan
kontraktor. Kecuali kontraktor besar dan bernama, masih banyak kontraktor
yang belum memenuhi standard mutu dan belum handal dan efektif dalam
pengendalian waktu dan klien merasa bagaikan membeli kucing dalam
karung.Permasalahan tersebut selalu menimbulkan effort tambahan bagi tim

7.

8.

tender untuk menyelesaikan hal non teknis bila hal tersebut muncul.
Kontraktor kecil masih banyak yang tidak bisa memenuhi target biaya, mutu
dan waktu yang direncanakan (Karya, 2012).
Ketimpangan Kompetensi & Perlindungan SDM Konstruksi
(38) Industri konstruksi pada 2011 diperkirakan memiliki 6.34 jt tenaga kerja
konstruksi dengan komposisi 60% merupakan unskill labour (3,8 jt), 30%
merupakan skill labour (1,9 jt) dan 10% merupakan tenaga ahli (634 rb)
dengan kondisi kurang dari 7% yang telah tersertifikasi (Suhono, 2012).
Kondisi tersebut ditambah dengan berbagai permasalah SDM di sektor
konstruksi misalnya investasi SDM (recruitment) yang keliru baik di
kontraktor maupun di konsultan akibat cara-cara procurement yang tidak
tepat maupun demi kelangsungan hidup.Pengakuan, penghargaan dan
perlindungan kompetensi SDM di sektor konstruksi yang masih terbatas baik
disebabkan belum adanya undang-undang profesi keinsinyuran dan
kearsitekturan, ketimpangan billing rate dan belum adanya asuransi profesi
(indemnity professional insurance). Disamping itu, profesionalisme, etika dan
hukum belum ditegakkan serta body of knowledge sertifikasi belum berjalan
dan banyak yang belum mengenal Contiuning Professional Development
(CPD) (Mulyo, 2012).
(39) Permasalahan lain terkait pengembangan kompetensi SDM di sektor
konstruksi mencakup antara lain koordinasi antar dan inter lembaga pelatihan
belum terbentuk; Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) baru saja
disepakati melalui PP Nomor 8 tahun 2012; Dualisme sistem sertifikasi
profesi (BNSP & LPKJN); keterbatasan anggaran pemerintah; belum
optimalnya standard kompetensi, penyelenggaraan pelatihan dan uji bagi
SDM konstruksi; keterbatasan sarana dan prasarana pelatihan; dan belum
berkembangnya sistem informasi pembinaan kompetensi dan pelatihan
konstruksi. Disamping itu, implementasi sertifikasi profesi masih terdistorsi.
Sertifikasi profesi dilakukan belum secara sistematis dan benar-benar
obyektif melalui uji kompetensi sesuai SKKNI. Sertitifikasi profesi belum
merupakan solusi penjaminan profesionalisme praktek profesi keinsinyuran
dan kearsitekturan tetapi masih menjadi bagian dari transaction cost economy
yang tinggi serta hanya menjadi kebutuhan administratif bukan kebutuhan
profesinalisme individu praktek profesi. Sertifikasi profesi masih menjadi
sumber pengumpulan dana asosiasi dan belum menjadi kebutuhan individu
(Suhono & Suraji, 2012).
Distorsi Pada Pengadaan dan Kontrak Konstruksi Pemerintah
(40) Etika usaha di sektor konstruksi masih belum terinternalisasi secara
menyeluruh. Permasalah etika pada pengadaan dan pelaksanaan kontrak
kontrak pemerintah adalah Peminjaman User ID, Peminjaman nama
perusahaan, Sub-kontrak di luar kendali, Penggunaan produk sub-standar,
Pekerjaan dibawah standar atau spek teknis, dan Pemalsuan progres fisik.
Disamping itu, kekurang pahaman terhadap peraturan perundangan misalnya
Pemahaman terhadap Peraturan pengadaan, Pemahaman terhadap dokumen
lelang, Pemahaman terhadap konsep ketentuan-ketentun kontrak termasuk
persyaratan administrasi, kualifikasi dan teknis serta penawaran harga juga
mempengaruhi distorsi pengadaan dan pelaksanaan kontrak (LKPP, 2012).
(41) Penyimpangan proses pemilihan penyedia jasa sering terjadi misalnya (i)
terbukti melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, kecurangan dan/atau
pemalsuan dalam proses Pengadaan; (ii) mempengaruhi ULP/Pejabat

Pengadaan/PPK/pihak lain yang berwenang dalam bentuk dan cara apapun,


baik langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan Dokumen
Pengadaan dan/atau HPS yang mengakibatkan terjadinya persaingan tidak
sehat; (iii) melakukan persekongkolan dengan Penyedia lain untuk mengatur
Harga Penawaran diluar prosedur pelaksanaan Pengadaan, sehingga
mengurangi/ menghambat/memperkecil dan/atau meniadakan persaingan
yang sehat dan/atau merugikan orang lain; (iv)
membuat dan/atau
menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar untuk
memenuhi persyaratan Pengadaan ditentukan dalam Dokumen Pengadaan;
(v) mengundurkan diri dari pelaksanaan Kontrak dengan alasan yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh ULP/Pejabat
Pengadaan; (vi) membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau
keterangan lain yang tidak benar untuk memenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam Dokumen Pengadaan; (vii) mengundurkan diri pada masa
penawarannya masih berlaku dengan alasan yang tidak dapat diterima oleh
ULP/Pejabat Pengadaan;(viii) menolak untuk menaikkan nilai jaminan
pelaksanaan untuk penawaran dibawah 80 % HPS; (ix) mengundurkan
diri/tidak hadir bagi calon pemenang dan calon pemenang cadangan pada saat
pembuktian kualifikasi dengan alasan yang tidak dapat diterima dalam
pengadaan barang/pekerjaan konstruksi dan jasa lainnya; (x) mengundurkan
diri/tidak hadir bagi pemenang dan pemenang cadangan pada saat klarifikasi
dan negosiasi teknis dan biaya dengan alasan yang tidak dapat diterima
dalam pengadaan jasa konsultansi; (xi) memalsukan data tentang TKDN;
(xii) mengundurkan diri bagi pemenang dan pemenang cadangan pada saat
penunjukan Penyedia dengan alasan yang tidak dapat diterima; (xiii)
mengundurkan diri dari pelaksanaan penandatanganan kontrak dengan alasan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan/atau tidak dapat diterima oleh
PPK (LKPP, 2012)
(42) Pelanggaran pada pelaksanaan kontrak mencakup antara lain (i) terbukti
merakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pelaksanaan
kontrak yang diputuskan oleh instansi yang berwenang; (ii) menolak
menandatangani Berita Acara Serah Terima Pekerjaan; (iii) mempengaruhi
PPK dalam bentuk dan cara apapun, baik langsung maupun tidak langsung
guna memenuhi keinginannya yang bertentangan dengan ketentuan dan
prosedur yang telah ditetapkan dalam Kontrak, dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan; (iv) melakukan perbuatan lalai/cidera janji dalam
melaksanakan kewajiban dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan sehingga dilakukan pemutusan kontrak sepihak
oleh PPK; (v) meninggalkan pekerjaan sebagaimana yang diatur kontrak
secara tidak bertanggungjawab; (vi) memutuskan kontrak secara sepihak
karena kesalahan Penyedia; (vii) tidak menindaklanjuti hasil rekomendasi
audit pihak yang berwenang yang mengakibatkan timbulnya kerugian
keuangan Negara, dan (viii) melakukan pemalsuan dokumen yang berkaitan
dengan pelaksanaan kontrak termasuk pertanggungjawaban keuangan (LKPP,
2012).

D. IDEALISASI INDUSTRI KONSTRUKSI NATIONAL


1. Pelajaran dari Postur Kontraktor Negara Lain
(43) Negara-negara seperti USA, Jepang dan UK serta China memiliki postur
kontraktor umum dan spesialis yang proporsional. Komposisi kontraktor
generalis dan kontraktor spesialis seperti Jepang, Amerika dan Inggris
memiliki komposisi hampir 30:70 dan China dengan 50:50. Tabel berikut ini
menggambarkan komposisi kontraktor umum dan spesialis di negara lain.

Sumber: Wu Jia Ming et.al (2003) dan BP Konstruksi dalam Tamin (2012).
(44) China mengalami sebelum 2001 jumlah kontraktor 90.000 perusahaan dengan
komposisi 74% umum; 26% spesialis. Sesudah 2002, Pemerintah China
melakukan restrukturisasi sehingga menjadi 64.600 perusahaan dengan 52%
umum dan 48% spesialis melalui suatu new qualification standards dan
pembinaan yang progresif. Workshop terbatas Gapensi dan Tsinghua
University (Beijing, 20 Juli 2012) dan diskusi Gapensi dan CHINCA
(Beijing, 20 Juli 2012) menginformasikan bahwa jumlah kontraktor di China
kurang lebih 30.000. Struktur klasifikasi dan kualifikasin kontraktor di China,
sangat natural; struktur kontraktor berbentuk piramid dengan kontraktor
besar: jumlah sedikit; harus mampu memperbesar skala ekonomi, cross
region; transnational, multi project. Kemudian kontraktor spesiali biasanya
perusahaan kecil, kemampuan terbatas, perlu fleksibel, responsif kepada
pasar dan jumlah seharusnya bisa banyak jika dibina dengan baik. Dalam hal
ini, faktor yang mempengaruhi demand kontraktor spesialis akan sangat
tergantung ada tidaknya kontraktor besar serta peluang usaha terbatas, ada
proteksi regional dan departemental, kompetisi dari kontraktor asing rendah
dan ada proteksi. Pada umumnya kontraktor besar adalah BUMN, belum
modern;, driving force untuk maju lemah dan semangat kompetisi rendah.
Bagi kontraktor besar swasta juga tidak ada insentif untuk melakukan subcontracting dan margin rendah. Intinya tidak terjadi kompetisi yang sehat,
terutama akibat proteksi, yang dapat mendorong ko-operasi kontraktor umum
dan kontraktor spesialis. Faktor penghambat supply kontraktor spesialis
adalah peraturan per-UU-an belum mendukung dan melindungi kepentingan
kontraktor kecil dan kontraktor besar mengeksploitasi kontraktor sedang dan
kecil dan menyulitkan masuk menjadi kontraktor spesialis, serta margin
kontraktor kecil rendah dan pembayaran owner sering bermasalah.
Disamping itu, kapasitas rendah (teknologi, peralatan, manajemen, & inovasi)
dan peluang subcontracting dari kontraktor besar tidak terbuka karena mereka
terjepit. Subcontracting system merupakan media untuk menghubungkan
demand dan supply kontraktor spesialis dan rantai subcontracting mengurangi
transaction cost general contractor dan sebaliknya kontraktor spesialis ikut
menikmati kontrak besar. Sebagai catatan di China, subcontracting dilarang
karena mal praktek. Pada level kebijakan di lingkup industri adalah promote

competition dengan buka pasar internasional hapus regional dan deparmental


melalui peraturan per-UU-an melindungi kepentingan kontraktor kecil,
melakukan pengawasan sub-contracting, promoting insurance and security
system; pembinaan kontraktor spesialis: teknologi, tenaga kerja, manajemen,
inovasi, membagi kelompok kontraktor: general contracting, professional
contracting, labor contracting, mengembangkan advanced project contracting
(CM, DB, BOT, dll. dalam proyek besar dan kompleks; serta joint venture,
dan partnership. Dalam kebijakan lingkup perusahaan adalah merumuskan
strategi spesialisasi, isu market di bidang apa permintaan tinggi, dan masalah
kompleks; isu teknologi: mulai dengan paten; harus balance antara teknologi
ada dengan yang advance; kapasitas inovasi;isu efisiensi manajemen: belum
cukup mendapat perhatian (mutu, biaya, waktu, inovasi, manajemen,
hubungan bisnis, manajemen efisiensi, marketing;isu partnership dengan
kontraktor besar (brand building).
(45) Jepang adalah negara yang mempunyai sistem hubungan kontraktor umum
dan spesialis. Jepang mempunyai tradisi melakukan kooperasi kontraktor
besar dan kontraktor spesialis (dango system). Sistem ini membentuk
hubungan kontraktor besar, subkontraktor, dan vendor bersifat tetap
dan
jangka panjang mencakup juga training dan education dan didukung dengan
kemampuan teknologi, peralatan, dan manjemen. kontraktor besar menangani
manajemen umum; subcontractor dan vendor menangani manufacture dan
assembly serta produksi parts. Pada tahun 1993, Jepang memiliki 150 general
contractors dan 525.000 sub-contractors dengan 75% bermodal rendah dan
80% mempunyai jumlah pegawai kurang dari 10 pegawai. Kontraktor umum
melakukan kemitraan dengan subkontraktor dengan intervensi sampai ke
manajemen, metoda dan tenaga kerja. Kondisi ini menciptakan hal positif
yaitu efisiensi (production bukan sales) dan negatif yaitu rentan jika ada krisis
karena kontraktor kecil menjadi korban. Oleh karena itu untuk fleksibilitas
terdapat 2 kelompok tenaga kerja yaitu regular (permanen, temporary, dan
part time) dan non-regular. Hal negatif terbesar dari dango system (arisan)
adalah tidak ada kompetisi
dan pemain baru serta daya saing rendah.
Pada tahun 1993 mulai dilakukan reformasi sistem transaksi beralih beralih
dari closed designated bidding system menjadi competitive bidding system.
Kemudian Jepang melakukan deregulasi, membuka konstruksi Jepang
terhadap pemain asing dan
materials dari luar negeri dan mulai
melakukan promosi kompetisi tetapi tetap memfasilitasi kontraktor lemah
untuk mendapat pekerjaan dan dana murah.
2. Pelajaran dari Idealisasi Industri Konstruksi Negara-Negara Lain
(46) Negara-negara lain seperti Inggris, Australia, Singapore dan Malaysia sangat
memberi perhatian luar biasa terhadap industri konstruksi. Negara-negara
tersebut, baik berkembang maupun maju, telah melakukan revitalisasi
transformasi konstruksi berdasarkan konsep yang mendasar dan implementasi
yang tegas. Era globalisasi telah mendorong berbagai negara maju dan
berkembang mencanangkan suatu peta jalan (roadmap) untuk membangun
industri konstruksi menjadi kelas dunia. Pada tahun 1998 dan 1999, dua
laporan telah dipublikasikan di UK dan Australia yang berisi hasil kajian
nasional tentang tantangan dan permasalahan industri konstruksi nasional
mereka. Laporan tersebut telah merekomendasikan target-target dan inisiatif
kunci dari industri konstruksi.

(47) Di UK, pemerintah melalui telah mengeluarkan suatu konsep dasar


membangun industri konstruksi yang dikenal dengan Constructing the
Team (Egan, 1994) sebagai upaya untuk memulai suatu a radical
movement for change in the British Construction Industry dan Rethinking
Construction (DETR, 1998). Secara mendasar, pemerintah Inggris ingin
mendapatkan suatu konsep (i) meningkatkan efisiensi dan kualitas dari
konstruksi di UK, (ii) memperkuat embrio perubahan di sektor konstruksi,
(iii) membuat industri konstruksi lebih responsif terhadap kebutuhan
pelanggan dan atau pengguna. Rekomendasi yang dikeluarkan Egan Report
untuk peningkatan dan perubahan yang harus dilakukan oleh industri
konstruksi adalah: (i) mengintegrasikan proses disain dan konstruksi, (ii)
peningkatan standarisasi, (iii) mengakhiri tender kompetitif, dan (iv) phase
out kontrak pembangunan formal. Dalam rangka mencapai target peningkatan
di sektor konstruksi, CTF yang dibentuk oleh pemerintah UK
mengidentifikasi pendorong perubahan sebagai berikut: (i) committed
Leadership, (ii) a focus on the customer, (iii) integrating of the process and
the team around the product, (iv) quality driven agenda, dan (v) commitment
to people.
(48) Pada tahun 1997, pemerintah Australia membentuk National Building and
Construction Committee untuk memberikan saran kepada pemerintah tentang
upaya memperkuat dan meningkatkan industri konstruksi nasional. Komite
ini mengeluarkan suatu agenda perubahan dalam dokumen Building for
Growth (ISR, 1999). Laporan dari komite ini menjelaskan berbagai solusi
dan pendorong perubahan untuk industri konstruksi. Langkah-langkah yang
direkomendasikan adalah sebagai berikut: (i) integrating the supply chain, (ii)
industrialisation and increasing the knowledge base, (iii) benchmarking, (iv)
project delivery mechanisms, (v) innovation and R & D, (vi) sustainable
construction, and (vii) the alignment of Australian Standards with
Internasional Standars to reduce conflict and avoid the need of the industry to
work with differing requirements.
(49) Rekomendasi dari komite ini juga mendorong industri konstruksi Australia
untuk mengadopsi suatu advance industrial model yang bercirikan: (i)
inreased automation, (ii) advance logistical systems, (iii) long term strategic
planning, (iv) supply chain development, (v) quality management systems
and, (vi) just in time techniques. Disamping itu, dalam rangka meningkatkan
daya saing dan peningkatan secara terus menerus dari produk dan jasa,
industri konstruksi membutuhkan keterlibatan dalam disain, pengembangan,
komersialisasi dan diffusi yang efektif dari produk bangunan, sistem dan
layanan. Permasalahan mendasar yang membutuhkan penelitian dan
pengembangan mencakup, (i) site based production, (ii) project size and
complexity, (iii) risk of failure, (iv) competitive bidding contracts, (v)
changing finance systems.
(50) Sebagai negara maju di ASEAN, Singapore juga mengeluarkan suatu peta
jalan dalam menjadikan industri konstruksi mereka kelas dunia. Negara ini
mengeluarkan konsep Reinventing Construction (S&P, 1999) atau lebih
dikenal dengan istilah Construction 21. Upaya ini diinisiasi untuk
meningkatkan produktifitas Industri konstruksi Singapore melalui suatu a
radical structuring of its process, procedures and practices. Panitia pengarah
yang dibentuk oleh pemerintah Singapore menetapkan visi Industri
Konstruksi Singapore untuk abad 21 adalah to be a world class builder in the

knowledge age. Transformasi yang dibutuhkan oleh industri konstruksi


Singapore menuju a knowledge and high value added industry agar
menjadi industri: (i) a professional, productive and progressive industry, (ii) a
knowledge workforce, (iii) superior capabilities through synergistic
partnerships, (iv) integrated process for high buildability, (v) contributor to
wealth through cost competitiveness, (vi) construction expertise as an export
industry. Dalam rangka mencapai hasil yang dingingkan tersebut,
Construction 21 dari Singapore ini merekomendasikan 6 (enam) langkah
strategis untuk membangun industri konstruksi, sebagai berikut: (i) enhancing
the professionalism of the industry, (ii) raising the skills level, (iii) improving
Industry practices and techniques, (iv) adopting an Integrated approach to
construction, (vi) developing and external wing, and (vii) a collective
championing effort for the construction industry.
(51) Malaysia sebagai negara berkembang di ASEAN juga mengeluarkan agenda
untuk membangun industri konstruksi. Pemerintah negara ini
mengembangkan suatu Construction Industry Master Plan 2010 . Visi
industri konstruksi Malaysia 2020 adalah the Malaysian Construction
Industry Shall Be Among the Best In the World. Master plan pengembangan
industri konstruksi Malaysia mencakup 6 (enam) strategic thrust, sebagai
berikut: (i) integrating the construction industry and its value chain to
enhance efficiency and improve productivity, (ii) benefiting from
globalisation, (iii) strive for environment-friendly and sustainable
construction processes and resource management, (iv) embedding intelligence
to construction output, (v) achieving flexibility in both output and production
processes to meet customers needs, and (vi) construction entrepreneurs will
increasingly be required to provide total solutions. Dalam konteks ini
kebutuhan perubahan paradigma di Industri konstruksi Singapore adalah: (i)
3P Industry: professional, productive and progressive, (ii) knowledge
industry, (iii) distributed manufacturing process, (iv) integrated process, (v)
low cost through high productivity, and (vi) generator of wealth / quality
lifestyles.
(52) Pemerintah Malaysia telah mendorong industri konstruksi negara ini untuk
melakukan perubahan paradigma juga. Paradigma yang dibangun oleh
Industri Konstruksi Malaysia adalah sebagai berikut: (i) professional, (ii) a
career, (iii) clean and unclustered, (iv) productivity driven, (v) modularised
system built and technology dependant, (vi) high quality, environmental
friendly, (vii) co-operative competition in networked fragmentation, (viii)
global, (ix) completely profiled, (x) new material & intelligent, and (xi) more
self regulatory.Berangkat dari perubahan paradigma tersebut, secara praktif
membangun industri konstruksi nasional adalah mentransformasikan industri
konstruksi dari paradigma lama menuju paradigma baru. Paradigma baru
merupakan refleksi dari wajah industri konstruksi kelas dunia. Oleh karena
itu, baik pemerintah Singapore maupun Malaysia menggunakan strategic
thrust membangun industri konstruksi dalam kerangka menjadikan
paradigma baru industri konstruksi mereka. Belajar dari radical
transformation atau radical movement for change dari berbagai negara
tersebut di atas, pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya yang strategis
dalam kerangka meletakan dan melekatkan paradigma baru industri
konstruksi Indonesia.

3.

ArahananIdealisasi Industri Konstruksi


(53) Struktur usaha dikonsepsikan sebagai ukuran perusahaan (firm size),
konsentrasi (concentration) dan differensiasi produk (product differentiation).
Menata struktur usaha berarti memperbesar peluang atau lapangan kerja dan
memberikan nilai tambah bagi industri konstruksi. BusinessDictionary.com
(diakses 10 Juli 2012) mendefinisikan business structure is organization
framework legally recognized in a particular jurisdiction for conducting
commercial activities, such as sole-proprietorship, partnership, and
corporation.
(54) Penyesuaian klasifikasi usaha di sektor konstruksi dari klasifikasi berbasis
ASMET kepada KBLI (klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia) yang
setara CPC (central product classification). Usulan KBLI (BPS, 2009)
mengklasifikasikan lapangan usaha di sektor konstruksi menjadi (i)
Konstruksi gedung; (ii) Konstruksi jalan, (iii) Konstruksi jembatan, (iv)
Konstruksi pelabuhan, (v) Konstruksi bandar udara, (vi) Konstruksi irigasi,
pengendalian banjir & pengaman pantai, (vii) Konstruksi penyediaan air
minum dan sanitasi, (viii) Konstruksi jalan rel, (ix) Konstruksi stasiun kereta
api, (x) Konstruksi instalasi pembangkit listrik dan telekomunikasi, (xi)
Konstruksi bangunan lainnya (Tamin, 2012).
(55) Jenis usaha di sektor konstruksi dikategorsikan berdasarkan tahapan
pengkajian, perencanaan, perancangan, pembuatan (pelaksanaan),
pengoperasian, pemeliharaan, pengubahan/penambahan, pembongkaran, dan
pembuatan kembali suatu bangunan. Selanjutnya, terdapat kemungkinan
spesialisasi yang luas untuk berbagi peran dan meningkatkan daya saing
pelaku usaha, misalnya pelaksanaan konstruksi dari komponen
(S/G/A/M/E/C/ manufaktur) dari 11 lapangan usaha tersebut di atas serta
pengembangan spesialisasi kontraktor spesialis struktur, geoteknik, arsitektur,
M/E, civil, dll dan peluang spesialisasi dari tinjauan project life cycle,
misalnya kontraktor spesialis operasi; pemeliharaan, rehabilitasi, dll (Tamin,
2012)
(56) Konsepsi peningkatan daya saing dengan (a) Peningkatan produktifitas &
efisiensi yang dicapai melalui kompetisi yang sehat; misalnya kompetisi antar
kontraktor dan dengan adanya kompetisi, kontraktor berjuang meningkatkan
produktifitas dan efisiensi; mutu baik dan harga murah dan kompetisi menjadi
penting (kasus Cina, Jepang, juga Indonesia) serta perlu kebijakan
menghapus proteksi; kontraktor umum besar bisa lintas propinsi. (b)
Peningkatan kapasitas kreatifitas dan inovasi melalui upaya lebih maju; perlu
transdisiplin; dalam pihak yang akan berkompetisi (kontraktor
subkontraktor manufaktur supplier produsen); jangka panjang.
Kemudian mengembangkan supply chain; ko-operasi dan kolaborasi dan
perlu kebijakan sub-contracting.
(57) Menggabungkan ko-operasi dan kompetisi dan kompetisi antara supply chain,
dan mengembangkan integrated value chain melalui (i) kemitraan antara
kontraktor dalam menyelesaikan proyek (joint operation) atau mendapat
proyek jangka panjang (joint venture); (ii) kemitraan antara owner dan
kontraktor beserta seluruh supply chainnya setelah pemenang proyek
ditetapkan untuk mensukseskan proyek; (iii) penerapan alternative project
delivery system atau bukan hanya traditional D-B-B, tetapi juga DB,
Performance Based Contract, PPP. Kedepan proyek konstruksi semakin besar
dan kompleks; investor atau kontraktor umum semakin memerlukan

kontraktor spesialis, manufaktur, dan vendor/supplier untuk berko-operasi


dan kolaborasi meningkatkan daya saing seluruh rantai suplai konstruksi
melalui struktur interaksi seperti tergambar di bawah ini (Tamin, 2012).

E. RESTRUKTURISASI INDUSTRI KONSTRUKSI NASIONAL


1.

2.

Prinsip Restrukturisasi
(58) Prinsip restrukturisasi industri konstruksi adalah menjaga kesetimbangan
antara struktur pasar (demand side) dengan struktur industri (supply side)
kemudian membuat klasifikasi dan kualifikasi pelaku industri konstruksi
sedemikian rupa sehingga menjamin semua dapat saling berinteraksi
menghasilkan nilai tambah tinggi. Restrukturisasi industri konstruksi ini
dilakukan dengan mengembangkan kerjasama kemitraan melalui prinsip
kooperasi dan kompetisi (koopetisi), meningkatkan produktifitas, efisiensi,
kreatifitas dan inovasi secara berkesinambungan, mendorong integrasi nilai
dari rantai suplai konstruksi, merevitalisasi profesionalisme dan nasionalisme,
merestrukturisasi sistem industri konstruksi, mentransformasi struktur
industri konstruksi, membina kontraktor skala kecil menengah yang ingin
menjadi kontraktor spesialis melalui inkubator bisnis konstruksi dan pelatihan
SDM, merevitalisasi peran asosiasi badan usaha agar mampu membina dan
memperjuangkan kepentingan anggotanya, dan meningkatkan aksesibilitas
permodalan, pengurangan beban pajak bagi subkontraktor, dan mengeluarkan
standard form of subcontract.
Prasyarat Restrukturisasi
(59) Good governance, etika usaha (code of ethic and code of conduct) dan
kapasitas profesional pelaku usaha di sektor konstruksi merupakan prasyarat
restrukturisasi (Tamin, 2012). Governance adalah the process of decisionmaking and the process by which decisions are implemented (or not
implemented). Good governance has 8 major characteristics (i) participatory,
(ii) responsive, (iii) consensus oriented, (iv) effective & efficient, (v)
accountable, (vi) equitable & inclusive, (vii) transparent, and (viii) follow the
rule of law (ESCAP, UNDP in Tamin, 2012). It assures that (i) corruption is
minimized, (ii) the views of minorities are taken into account; (iii) the voices

3.

of the most vulnerable in society are heard in decision making. It is also


responsive to the present and future needs of society (Tamin, 2012).
Model Restrukturisasi
(60) Restrukturisasi dimodelkan dengan restrukturisasi struktur usaha dengan
menentukan jumlah perusahaan dengan skala usaha kecil menengah dan besar
serta layanan yang disediakan. Gambar di bawah ini memodelkan struktur
kualifikasi usaha kecil, menengah dan besar dan cakupan layanan.

Soeparto (2012).
(61) Perusahaan generalis adalah mereka yang memberikan layanan dan
bertanggungjawab atas keseluruhan produksi suatu bangunan yang dilakukan
oleh berbagai pihak. A general contractor is the contractor with main
responsibility for the construction, improvement, or renovation project under
contract, and is the party signing the prime construction contract for the
project. The general contractor is the person or entity who hires all of the
subcontractors and suppliers for a project. It is an individual, partnership,
corporation, or other business entity that is capable of performing
construction work as a contractor with overall responsibility for the
satisfactory completion of a project using its own forces to perform or
supervise part of the work (uslegal.com, 7 Juni 2012). Sedangkan kontraktor
spesialis adalah mereka yang memberikan layanan dan bertanggungjawab
hanya pada bagian khusus/ tertentu dari keseluruhan produksi suatu
bangunan. "Specialty contractor" means a contractor who performs work on a
structure, project, development or improvement and whose operations as such
do not fall within the definition of "general contractor." (oregonlaw.com, 7
Juni 2012). A specialty contractor refers to a contractor whose scope of
practice is limited to a specific segment of electrical or alarm system
contracting established in a category adopted by board rule, including, but not
limited to, residential electrical contracting, maintenance of electrical
fixtures, and fabrication, erection, installation, and maintenance of electrical

advertising signs together with the interrelated parts and supports thereof.
Specialty contractors are craftsmen who require a license for practice. A
specialty contractors can greatly benefit the outcome of a project, favorably
impacting its budget, schedule, and quality. (uslegal.com, 7 Juni 2012).
(62) Model-model interaksi antara kontraktor utama dan subkontraktor bervariasi
tergantung dari project delivery system yang ditetapkan oleh klien/ owner.

4.

Gambar di atas ini menjelaskan bahwa kontraktor utama berlaku sebagai


general kontraktor dan sekaligus manajer konstruksi secara penuh untuk
semua pekerjaan serta hanya sebagian pekerjaan yang dikerjakan oleh
subkontraktor. sub-kontraktor dapat mengerjakan sebagian pekerjaan
Kontraktor Utama, memiliki Sumber Daya terkait, dan memiliki Teknologi
Umum. Sedangkan kontraktor spesialis dapat juga mengerjakan sebagian
pekerjaan Kontraktor Utama, memiliki Sumber Daya terkait dan memiliki
Teknologi Khusus. Selanjutnya, Supplier Produk Konstruksi mensuplai
produk ke Kontraktor Utama dan layanan terbatas sampai barang ke lokasi.
Supplier Tenaga Kerja mensuplai tenaga kerja ke Kontraktor Utama dan
memiliki keterampilan tertentu atau umum. Supplier Alat mensuplai alat dan
atau operator ke Kontraktor Utama (Abduh, 2012).
Strategi Restrukturisasi
(63) Struktur industri konstruksi yang kokoh, andal dan berdayasaing serta
berkeadilan merupakan visi pembinaan dan pengembangan industri
konstruksi nasional. Restrukturisasi sistem industri konstruksi dipilih menjadi
salah satustrategic thrust untuk menghantar pencapaian visi tersebut.
Selanjutnya, restrukturisasi ini jabarkan menjadi 6 (enam) strategi yaitu (i)
membangun nilai luhur, etika dan kapasitas profesional sebagai prasyarat
dasar, (ii) menata dan memperbesar pangsa pasar konstruksi, (iii) menata
struktur usaha, (iv) mengenalkan kemitraan (partnership) dalam rantai pasok
(supply chain) berdasarkan kooperasi, kolaborasi dan kompetisi untuk
menjamin peningkatan nilai tambah, (v) mengembangkan kebijakan
pemihakan (affirmative policy) bagi pelaku usaha skala mikro dan kecil, (vi)
menata ulang kerangka regulasi (regulatory framework), tata kelembagaan
(institutional setting) dan instrumen kebijakan (policy instruments).

(64) Strategi restrukturisasi pelaku usaha di sektor konstruksi dilakukan dengan (i)
menata ulang lapangan permainan (playing field) yang mengarah pada KBLI
(CPC) berdasarkan produk bangunan yang dihasilkan sebagai jenis usaha dan
bidang usaha berbasis life cycle of built asset developmentserta bentuk usaha
orang perseorangan dan badan usaha dengan kualifikasi dan spesialisasi dan
(ii) merubah dari interaksi dan transaksi konvensional menjadi supply chain
management integration. Gambar di bawah ini menjelaskan strukturisasi
lapangan usaha, jenis, bidang dan bentuk usaha konstruksi.

Spesialisasi kontraktor dapat juga dikaitkan dengan tahapan penyelenggaraan


konstruksi, misalnya kontraktor spesialis perawatan gedung atau spesialisai
dari pekerjaan tertentu dari keseluruhan atau sebagian penyelenggaraan
konstruksi. Sedangkan sistem rantai pasok konstruksi dapat digambarkan
berdasarkan struktur dan tatacara interaksi dan transaksi antar bagian dari
rantai pasok tersebut. Gambar ini menjelaskan rantai pasok konstruksi suatu
bangunan.

Rantai pasok konstruksi akan dipengaruhi oleh sistem penyelenggaraan


proyek (project delivery system) atau project packaging yang dipilih dan
ditetapkan oleh pihak klien / owner. Gambar di bawah ini menjelaskan
pengaruh project delivery system terhadap rantai pasok konstruksi.

Secara skematis, gambar di bawah ini (Soeparto, 2012) menjelaskan integrasi


rantai suplai dari engineering sampai dengan konstruksi dengan
menggunakan general contractor dengan rantai pasok subkontraktor dan

pemasok.

(65) Perubahan dari tradisional menjadi rantai pasok terintegrasi akan memperluas
kesempatan melalui kemitraan usaha saling menguntungkan dalam mensuplai
bangunan.

(66) Strategi restrukturisasi tersebut di atas membutuhkan peran pembinaan dari


Pemerintah dan pengembanan dari LPJK. Peran ini diperlukan untuk
mewujudkan interaksi struktur, perilaku dan kinerja rantai suplai konstruksi
sehingga lebih produktif. Gambar di bawah ini menjelaskan peran Pemerintah
(BP Konstruksi) dan LPJK dalam mendorong inovasi teknologi dan mengatur
demand. Disamping itu, Pemerintah dan LPJK dapat mengatur struktur pasar,
perilaku perusahaan, dan pengadaan yang akan membentuk perkuatan rantai
suplai.
(67) Pengaturan perudangan (Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 berserta
peraturan lanjutannya) menunjukkan bahwa, secara umum peta pengaturan
rantai pasok konstruksi dapat dilihat pada gambar berikut. Peraturan
perundangan tersebut hanya mengatur struktur dan hubungan antara struktur
hingga tier ke-2 dan hubungan antara pemilik dengan penyedia jasa, dan
hubungan antara penyedia jasa dengan sub-penyedia jasa. Pada bagian hulu

dari rantai pasok konstruksi tersebut, peraturan perundang tersebut tidak


menjamahnya, karena telah diatur oleh industri lain oleh Kementerian lain
seperti Kementrian Perdagangan, Perindustrian, ESDM dll. Dengan
demikian, maka kebijakan dan strategi pengembangan yang terkait dengan
rantai pasok konstruksi harus memperhatikan pengaturan industri di hulu.

(68) Untuk rantai pasok konstruksi yang berada dalam lingkup UUJK, maka
strategi restrukturisasi membutuhkan peran pembinaan dari Pemerintah dan
pengembanan dari LPJK. Peran ini diperlukan untuk mewujudkan interaksi
struktur dan perilaku rantai suplai konstruksi sehingga kinerja rantai pasok
lebih produktif. Di satu pihak, Pemerintah dan LPJK harus mempengaruhi
sisi demand dan juga sisi supply rantai pasok konstruksi. Sisi demand dapat
berupa demand terhadap pekerjaan untuk dilaksanakan oleh rantai pasok dan
teknologi yang harus diakomodasinya. Di lain pihak, sisi supply rantai pasok,
maka struktur dan perilaku rantai pasok konstruksi harus dikelola dengan
baik, agar terjadi kinerja rantai pasok tersebut yang efektir. Gambar di bawah
ini menjelaskan peran Pemerintah (BP Konstruksi) dan LPJK dalam
mendorong inovasi teknologi dan mengatur demand. Disamping itu,
Pemerintah dan LPJK dapat mengatur struktur pasar, perilaku perusahaan,

dan

pengadaan

yang

akan

membentuk

perkuatan

rantai

suplai.

(69) Bagi rantai pasok konstruksi pada bagian yang lebih hulu, yang tidak dikelola
oleh UUJK, maka kebijakan dan strategi pengembangan rantai pasok
konstruksi hanya sebatas mempengaruhi sisi demand berupa kebutuhan
pekerjaan serta persyaratan teknologi. Jika terdapat gambaran struktur dan
perilaku rantai pasok di daerah lebih hulu tersebut yang tidak kondusif, maka
Pemerintah (Kementrian PU) dan LPJK hanya dapat melakukan koordinasi
dan
audiensi
dengan
pihak
dan
kementrian
yang
terkait.

(70) Pengelolaan rantai pasok menjadi upaya kunci dalam restrukturisasi industri
konstruksi agar semua pelaku usaha dapat memberikan nilai tambah bagi
semua baik mereka sendiri maupun klien. Abduh (2012) menjelaskan bahwa
Supply Chain Management (SCM) atau Pengelolaan Rantai Pasok adalah
usaha koordinasi dan memadukan aktivitas penciptaan produk diantara pihak-

pihak dalam suatu rantai pasok untuk meningkatkan efisiensi operasi,


kualitas, dan layanan kepada pelanggan untuk mendapatkan sustainable
competitive advantage bagi semua pihak yang terkait dalam kolaborasi ini.
(71) Pengelolaan kimitraan dalam rantai pasok dilakuka dengan (i) pengembangan
Partnership berdasarkan prinsip bahwa a firm is only as good as its suppliers,
(ii) evaluasi dan Sertifikasi Pemasok melalui supplier evaluation based on
performance, dan Supplier certification (internal and external), kemudian (iii)
Pengembangan Pemasok melalui Pelatihan, Investasi pada operasi pemasok
dan penilaian kinerja pada saat pekerjaan dilakukan, serta (iv) Penghargaan
Pemasok melalui prinsip recognize and celebrate the achievements of their
best suppliers (Abduh, 2012).
(72) Kemitraan sangat penting untuk meningkatkan dayasaing, profesionalisme
dan struktur usaha yang proporsional (Soemardi, 2012). Kemitraan dapat
memperluas kesempatan usaha, meningkatkan kemampuan permodalan,
transfer of knowledge antar elemen kemitraan, resiko lebih terkelola dan
efisiensi pengunaan sumber daya (man, money, machine, material dan
method). Selanjutnya, Gambar di bawah ini menjelaskan model strategi
pengembangan kemitraan kontraktor generalis dan specialis (Soemardi,
2012).

(73) Pengembangan kemitraan membutuhkan perubahan paradigma di industri


konstruksi dari orientasi hanya keuntungan menjadi peningkatan dayasaing,
dari berbagi-bagi proyek menjadi penciptaan nilai tambah, dari pasif,
berbekal dukungan politik dan nepotisme menjadi budaya kreatif dan inovatif
berbekal iptek (Soemardi, 2012). Disamping itu, bersinergi dalam orientasi
kemitraan usaha strategis, menciptakan networking pada tingkat nasional,
regional dan internasional, peningkatan kompetensi, kapasitas dan kapabilitas
berkelanjutan dan kegiatan riset dan pengembangan secara nasional
(Soemardi, 2012). Strategi restrukturisasi perlu diikuti dengan program
pengembangan kapasitas kontraktor kecil menengah. Pengembangan
kapasitas ini perlu dibarengi dengan pembenahan eksternal melalui

pembinaan badan usaha spesialis dan subkontraktor spesialis dengan


pengutamaan dari sisi kualitas bukan kuantitas. Perijinan dikembangkan
melalui sistem yang dirancang jangka panjang agar masing-masing
perusahaan dapat berkembang dan meningkatkan profesionalitasnya. Suatu
program pengkondisian agar perusahaan kecil menengah merger dan
memperkuat diri dari aspek modal, ketrampilan dan mutu produk.(Soemardi,
2012)
5.

Kebijakan Restrukturisasi
(74) Restrukturisasi sistem industri konstruksi dengan 6 (enam) strategi tersebut
pada penjelasan nomor 62 tersebut di atas perlu ditindaklanjuti dengan
kebijakan (a course of actions). Arahan kebijakan restrukturisasi sistem
industri konstruksi mencakup (i) menegakkan good governance dengan
memperkuat pengawasan, (ii) mempercepat perubahan klasifikasi ASMET
menjadi KBLI, (iii) mengembangkan project packaging systems dan project
delivery system untuk efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan konstruksi,
(iv) mengembangkan segmentasi pasar konstruksi bagi perluasan kesempatan
usaha bagi perusahaan skala mikro dan kecil, (v) melakukan sinkronisasi
peraturan perundangan, (vi) mengubah definisi generalis dan spesialis dari
berdasarkan jumlah bidang usaha menjadi konsepsi baru yang sesuai,
termasuk membuka peluang kontraktor labour (labour supply contractors),
(vii) mengembangkan sistem subcontracting yang berkeadilan, (viii)
meningkatkan kapasitas dan fasilitasi bagi kontraktor spesialis dalam
pengembangan kompetensi SDM, inovasi teknologi dan manajemen,
dukungan dan akses pendanaan / permodalan, serta penjaminan, (ix)
mendukung pengelolaan rantai pasok dengan menerapkan persaingan
berbasis persaingan rantai pasok dan melarang vertical integration dimulai
dari Kontraktor BUMN sebagai contoh, (x) meningkatan kapasitas kontraktor
lokal melalui pengelolaan rantai pasok kontraktor nasional sebagai
pemberdayaan dan tindakan keberpihakan, (xi) mengembangkan sistem
informasi konstruksi Indonesia yang mengintegrasi seluruh rantai pasok
konstruksi (pelaku usaha, pemasok, produsen), (xii) mengharuskan kontraktor
asing melakukan kerjasama yang nyata dan melarang kemitraan semu (no
sleeping partner policy), (xiii) mengharuskan kontraktor nasional melakukan
kerjasama dengan kontraktor daerah melalui joint operation dan subkontrak
dengan melengkapi jaminan pembayaran (payment security).
(75) Kebijakan restrukturisasi tersebut di atas selanjutnya dibarengi dengan
kebijakan (i) memutakhirkan peraturan perundangan untuk industri
konstruksi, termasuk pengaturan sertifikasi badan usaha, perizinan usaha,
pengaturan sertifikasi profesi dan keterampilan serta pembiayaan
pengembangan industri konstruksi melalui levy (ii) sinkronisasi kedudukan
(positioning), tugas pokok dan fungsi, tanggungjawab dan kewenangan LPJK
dan BP Konstruksi.
(76) Kebijakan restrukturisasi tersebut diperlukan untuk merespon berbagai isu
strategis bahwa tidak berjalannya good governance mengganggu proses
spesialisasi usaha, pendekatan supply chain management belum berjalan
secara terstruktur, pendayagunaan program CSR dari kontraktor besar
termasuk BUMN kepada kontraktor kecil menengah yang mitra dalam rantai
suplainya belum dilakukan secara sistemik. Disamping itu, kebijakan
restrukturisasi juga penting dilakukan untuk mengatasi isu strategis bahwa

elemen-elemen supply chain konstruksi seperti industri alat berat, material


dan SDM serta sistem pendukung untuk permodalan dan penjaminan belum
terintegrasi. Kebijakan ini juga penting untuk merespon isu strategis lainnya
yaitu bahwa pengukuran kinerja spesialisasi belum dilakukan, usaha kecil
menengah di daerah tidak diberi kesempatan sebagai subkontraktor, peraturan
yang tidak mendukung spesialisasi misalnya kecil versus non kecil,
pembatasan pekerjaan konstruksi yang boleh disubkontrakan, keharusan
SKA/SKT yang terlalu berat untuk suatu pekerjaan konstruksi sederhana,
ketidaksinkronan antar peraturan, dan termasuk pengaturan terhadap
subkontrakting kurang memadai penegakan implementasinya. Disamping itu,
kebijakan ini diperlukan untuk merespon pandangan bahwa usaha konstruksi
spesialisasi skala kecil menengah tidak mungkin berkembang karena
instrumen kebijakan (NSPK) dan sistem pengadaan yang tidak mendukung
(Abduh, 2012)
(77) Kebijakan pro-kemitraan. Kebijakan ini mencakup kewajiban perusahaan
kontraktor besar nasional dan asing bermitra dengan perusahaan kontraktor
kecil menengah untuk setiap pekerjaan konstruksi, penguatan penguasaan
administrasi kontrak untuk pekerjaan konstruksi maupun perikatan
subkontrak sebagai instrumen kepastian hukum antar pihak. Selanjutnya,
pengaturan subklasifikasi dan subkualifikasi untuk mendorong spesialisasi
usaha dan meningkatkan kapasitas manajemen badan usaha kontraktor untuk
pengelolaan perusahaan. Kebijakan pro-kemitraan ini perlu didukung dengan
reformulasi dan rekondisi kebijakan eksisting seperti peningkatan kapasitas
penanggungjawab badan usaha dan penanggungjawab teknik untuk
kontraktor kecil menengah, penghargaan kinerja badan usaha konstruksi
(construction business award) bagi kualifikasi kecil spesialis, konsolidasi
sistem pendukung usaha konstruksi, seperti perbankan, asuransi dan rantai
pasok melalui forum business matchingantara penyedia material dan
peralatanberbasis e-logistic dan pemutakhiran dan pendayagunaan sistem
informasi pembinaan konstruksi untuk pengembangan usaha kecil menengah
(Abduh, 2012).
(78) Kebijakan perkuatan kontraktor kecil menengah.Pengembangan sistem
dan pendampingan teknis bagi peralihan dari perusahaan kontraktor skala
kecil menengah umummenjadi perusahaan kontraktor kecil menengah
spesialis. Kebijakan ini perlu kemudian dibarengi dengan pemberian insentif
dan afirmatif bagi mereka yang mampu mengembangkan diri sebagai
kontraktor kecil menengah spesialis. Pengembangan kapasitas kontraktor
kecil dan menengah spesialis tersebut sangat penting dilakukan agar mereka
dapat mandiri dan tumbuh, berkembang dan berbuah secara berkelanjutan.
Pengembangan kapasitas kontraktor kecil ini dilakukan agar kontraktor skala
kecil menengah spesialis mempunyai kemampuan untuk membayar overhead
karyawannya, membiayai peningkatan kompetensi karyawan, memiliki
kemampuan mengelola pekerjaan konstruksi secara efisien dan efektif
(produktif) (Ismono, Saptodewo & Soemardi, 2012). Disamping itu,
kapasitas, kompetensi dan kapabilitas mereka diperlukan untuk menjamin
manajemen
keselamatan konstruksi (people, public, property and
environment) (Suraji, 2009).
(79) Kebijakan perkuatan kapasitas small medium scale contracting companies
tersebut di atas perlu mempertimbangkan hal-hal antara lain (i) diperlukan
suatu survai detail kapasitas dan kualifiaksi kontraktor perlu dilakukan

berdasarkan azas nyata dan obyektif, (ii) keseimbangan agar perusahaan


konstruksi yang besar semakin besar dan yang kecil menengah juga
berkembang, (iii) pengertian local content untuk pekerjaan konstruksi di
daerah bisa diartikan sebagai persyaratan partisipasi kontraktor di daerah, (iv)
etos kerja, kapasitas, kompetensi dan dayasaing kontraktor di daerah masih
belum sebanding dengan kontraktor nasional dan asing, (v) penghilangan
persyaratan besaran 20% pekerjaan harus disubkontrakan pada pengadaan
pemerintah, (vi) terlalu mudah memberi perizinan pada kontraktor baru dan
(vii) kesepahaman pembatasan jumlah kontraktor yang sehat secara nasional
maksimal 30.000 baik kecil, menengah dan besar. Disamping itu, dukungan
permodalan dan penjaminan bagi kontraktor kecil menengah perlu
dirumuskan dalam regulasi yang tepat (Ismono, Saptodewo, & Soemardi,
2012).
(80) Kebijakan rantai pasok konstruksi.Kebijakan ini mencakup perkuatan
sistem subleting, subcontracting dan partnership. Perkuatan rantai pasok perlu
memisahkan antara pembinaan dari pengelolaan proyek. Perkuatan sistem
tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan CSR untuk pembinaan dari
kontraktor besar kepada kontraktor kecil menengah spesialis sebagai bagian
dari keluarga rantai suplainya. Pembinaan terhadap spesialisasi dari rantai
pasok ini harus didahului dengan penerapan good governance. Selanjutnya,
Pemerintah bersama LPJK membuat NSPK mengenai standar subletting,
subcontracting dan partnership termasuk mengatur pembatasan bidang usaha
atau reklasifikasi dengan memperjelas definisi / konsepsi dan implementasi
spesialisasi. Memonitoring dan evaluasi terhadap kinerja kontraktor kecil
menengah spesialis harus dilakukan untuk perbaikan berkesinambungan.
Kebijakan rantai pasok ini perlu didukung dengan pembatasan dominasi
kontraktor besar badan usaha milik negara di berbagai daerah dengan
menyediakan kuota pasar bagi subkontraktor kecil menengah di daerah
tersebut (Abduh, 2012). Dalam rangka mentransformasi kontraktor kecil
menengah menjadi spesialis, suatu pengkajian pangsa pasar dan kebutuhan
pendampingan teknis perlu dilakukan secara komprehensif serta
pemberlakuan persyaratan bahwa kontraktor besar terutama BUMN untuk
memberikan porsi minimum 20% dari total kontrak pekerjaan konstruksi
disubkontrakkan kepada kontraktor kecil menengah spesialis (Ismono,
Saptodewo, & Soemardi, 2012).
(81) Kebijakan peningkatan kompetensi dan penghargaan SDM Konstruksi.
Kebijakan restrukturisasi industri konstruksi perlu dibarengi dengan
kebijakan penghargaan dan perlindungan SDM Konstruksi. Kebijakan ini
diperlukan untuk memperkuat pendidikan dan pelatihan bagi SDM
Konstruksi melalui (i) penggunaan dana CSR perusahaan kontraktor besar
untuk membiayai program pendidikan dan pelatihan, (ii) pemutakhiran
kurikulum dan sistem pendidikan agar terjadi kontekstualisasi dan relevansi
antara (link & match) program pendidikan SDM Konstruksi dengan
kebutuhan industri konstruksi, (iii) pembentukan model pendidikan dan
pelatihan berbasis masyarakat (community colleage) atau sekolah tukang
(school of carpenter, school of joiner, school of steel fixer, school of stonizer,
school of concreter, school of plumber, school of tilers, school of asphalt
mixers, school of operator for equipment etc), sekolah mandor, sekolah
inspektor, sekolah superintendent dan bentuk-bentuk pemagangannnya
(Suhono, Sidarto Mulyo, Suraji, 2012). Disamping itu, peningkatan citra dan

penegakan etika profesi di industri konstruksi juga perlu dilakukan secara


terus menerus agar tidak menjadi third profession.
(82) Peningkatan kompetensi dan penghargaan kepada SDM Konstruksi perlu
kebijakan afirmatif antara lain bahwa (i) sertifikasi kompetensi untuk para
tenaga terampil (skill workers) di sektor konstruksi dibiayai oleh anggaran
negara untuk mengurangi transaction cost of economy di pihak pelaku usaha,
(ii) penyempurnaan sistem sertifikasi, termasuk integrasinya dengan sistem
CPD praktek keinsinyuran dan kearsitekturan (iii) prioritasi dan pemutakhiran
sistem penyusunan SKKNI, (iv) penghargaan dan perlindungan praktek
profesi, (v) pendirian bursa kerja (klinik konstruksi), dan (vi) pembentukan
undang-undang profesi keinsinyuran dan kearsitekturan.
F. REKOMENDASI RENCANA AKSI2012 - 2015
1. Rekomendasi Rencana Aksiuntuk Pemerintah
(83) Kebijakan restrukturisasi membutuhkan peran Pemerintah baik dalam bentuk
pengaturan, pemberdayaan maupun pengawasan (penegakan hukum) serta
monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan. Dalam rangka
restrukturisasi industri konstruksi ini, rekomendasi rencana aksi untuk
Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator serta protektor industri konstruksi
nasional mencakup tindakan sebagai berikut:
a. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap substansi dan implementasi
peraturan perundangan terkait industri konstruksi (tidak hanya undangundang tentang jasa konstruksi). Tujuan rencana aksi ini adalah
menemukenali perangkap regulasi (regulation trap) dan pengaturan
sistem industri konstruksi yang berlebihan (over regulated construction
industry system) yang menyulitkan atau menghambat industri konstruksi
nasional dan kemudian menindaklanjuti dengan penyempurnaan
peraturan perundangan tersebut.
b. Melakukan evaluasi menyeluruh terhadap berbagai perangkat kebijakan
(policy instruments) bagi industri konstruksi (sertifikasi, registrasi,
lisensi, klasifikasi, kualifikasi, spesialisasi, segmentasi pasar, SKKNI,
sistem transaksi dan perikatan, sistem subleting/ subcontracting/
kemitraan, penjaminan pembayaran (payment security), sistem
penjaminan mutu, sistem keselamatan konstruksi, persyaratan akses
pasar (market entry), sistem prakualifikasi, sistem informasi konstruksi,
rantai suplai konstruksi dll). Tujuan rencana aksi ini adalah
menemukenali praktek kebijakan yang menyebabkan transaction cost of
economy tinggi bagi industri konstruksi.
c. Melakukan inisiatif penataan ulang seluruh instrument kebijakan tersebut
di atas agar responsif terhadap keberhasilan restrukturisasi industri
konstruksi, termasuk menetapkan kebijakan baru untuk mengurangi /
mengeliminasi berbagai hambatan industrialisasi konstruksi.
Tujuan
rencana aksi ini adalah memperbaiki sistem sektor konstruksi baik dari
sisi permintaan (demand/ market/ customer) atau penataan pengusahaan
atau tataniaga konstruksi seperti penataan lapangan usaha (playing field/
market structure & conduct) dalam bentuk market information, market
entry, transaction system dan quality assurance (process & product)
maupun dari sisi penawaran (supply/ industri/pelaku usaha) atau
penataan usaha atau industri konstruksi (kapital, SDM, teknologi dan
model usaha).

d.

2.

Melakukan pemberdayaan (empowering) / pendampingan (supporting)/


pendukungan (supporting)/ pembiayaan (financing) / penasehatan
(advisory) sebagai bentuk fasilitasi dan proteksi (perlindungan) bagi
seluruh pelaku usaha di sektor konstruksi, termasuk lembaga-lembaga di
dalamnya melalui komitmen dan leadership untuk percepatan dan
perluasan koordinasi, kolaborasi dan konsolidasi untuk, sinkronisasi
peraturan perundangan dan kebijakan, penegakan good governance
sebagai prasyarat pengembangan industri konstruksi khususnya untuk
eliminasi / reduksi / penghindaran distorsi pasar konstruksibaik yang
diciptakan oleh pengadaan pemerintah, pengadaan swasta maupun
pengadaan pemerintah & swasta. Tujuan dari rencana aksi ini adalah
menfasilitasi para pemangku kepentingan (stakeholders) dan pemangku
usaha (shareholders) di sektor konstruksi memiliki kemauan, ketahuan,
dan kemampuan secara bersama-sama berbasis prasangka baik (trust),
kovergensi upaya (sinergy) dan saling menerima dan memberi
(reciprocity) dalam melakukan transformasi struktur, perilaku dan
kinjera industri konstruksi nasional sehingga semakin kokoh, semakin
andal dan semakin berdayasaing,
e. Membentuk kelompok kerja (working group) yang terdiri dari para
birokrat pemerintah (TPJKN) dan para pengurus (ditambah anggota
kelompok unsur) LPJKN untuk melaksanakan rencana aksi tersebut di
atas secara efisien, efektif dan kreatif-inovatif. Tujuan rencana aksi ini
adalah memperkuat posisi pemerintah dalam menindaklanjuti
rekomendasi rencana aksi tersebut pada butir (a, b, c dan d). Disamping
itu, kelompok kerja ini dapat diberi tugas, tanggungjawab dan
kewenangan melalukan pengarus utamaan (mainstreaming) bahwa
konstruksi merupakan salah satu sektor perekonomian nasional atau
konstruksi harus dipandang sebagai industri (Suraji, 2007; Soeparto,
2009; KK MRK ITB, 2009) yang memiliki nilai tambah bagi
kesejahteraan, kedaulatan dan keadaban bangsa sedemikian rupa
sehingga mendapat tempat dalam perencanaan pembangunan nasional
(RPJMN III) 2015 2019. Pelajaran dari benchmarking construction
2011 di Singapore (Tamin, 2011), Hong Kong dan India (Suraji, 2011)
menunjukkan bahwa pengembangan industri konstruksi menjadi salah
satu urusan penting negara.
Rekomendasi Rencana Aksiuntuk LPJK
(84) Kebijakan restrukturisasi membutuhkan peran LPJK sebagai lembaga yang
diberi tugas dan tanggungjawab serta kewenangan oleh negara untuk
melakukan pengembangan industri konstruksi nasional sehingga menjadi
kokoh, andal dan berdayasaing dan dalam perspektif pengembangan industri
konstruksi akan memiliki kinerja dengan indikator-indikator (i) profitability,
(ii) growth), (iii) sustainability, (iv) competitiveness dan (v) productivity
(Abidin, 2006) sehingga bernilai tambah tinggi bagi kenyamanan lingkungan
terbangun (the finest built environment) sebagai visi utama industri
konstruksi nasional (Suraji et al, 2007). Dalam rangka restrukturisasi industri
konstruksi ini, rekomendasi rencana aksi untuk LPJK sebagai pengembang
(developer) industri konstruksi nasional mencakup tindakan sebagai berikut:
a. Mengembangkan konsepsi baru, klasifikasi baru, kualifikasi baru dan
proporsionalisasi jumlah kontraktor umum (general contractor) dan
kontraktor spesialis (specialty contractors) sebagai salah satu pelaku

3.

usaha pembentuk struktur industri konstruksi yang baru. Tujuan dari


rencana aksi ini adalah menghasilkan rumusan yang tepat dari bentuk/
struktur industri konstruksi,
b. Mengembanganbentuk standar subkontrak (standard form of
subcontract) dan jaminan pembayaran (payment security) sebagai acuan
dalam pengembangan subleting/ subcontracting / kemitraan. Tujuan
rencana aksi ini adalah menghasilkan standarisasi bentuk kontrak antara
kontraktor utama (general contractor) dan subkontraktor (specialty
contractor) dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi.
c. Mengembangkan dan menegakkan code of conduct dan code of ethic
pelaku usaha konstruksi. Tujuan dari rencana aksi ini adalah
mewujudkan penerapan good governance di industri konstruksi nasional.
d. Mengembangkan sistem reward dan pusnishment atas kinerja pelaku
usaha konstruksi. Tujuan rencana aksi ini adalah memberikan
penghargaan bagi pelaku usaha konstruksi yang memiliki kinerja terkait
pertumbuhan pangsa pasar, kinerja terkait kesehatan manajemen usaha,
kinerja terkait dengan implementasi manajemen proyek konstruksi,
kinerja terkait dengan pencapaian catatan keselamatan konstruksi, dll.
e. Mengembangkan konsep penerapan integrasi manajemen rantai pasok
(supply chain management integration) sebagai model usaha di industri
konstruksi. Tujuan rencana aksi ini adalah memperkenalkan sistem
pengintegrasian dari rantai pasok konstruksi sebagai model usaha dalam
penyelenggaraan konstruksi.
Rekomendasi Rencana Aksiuntuk Asosiasi Badan Usaha
(85) Kebijakan restrukturisasi industri konstruksi membutuhkan dukungan dan
peran utama asosiasi badan usaha sebagai institusi yang bertugas dan
bertanggungjawab membina, memperjuangkan dan melindungi para anggota
asosiasi. Rekomendasi rencana aksi untuk asosiasi badan usaha / perusahaan
mencakup antara lain:
a. Melakukan advokasi kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk
menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku usaha di sektor
konstruksi, termasuk meminta kebijakan mengurangi distorsi pasar,
b. Melakukan advokasi kepada para anggota untuk mengembangkan usaha
konstruksi spesialisasi.
c. Melakukan advokasi kepada para anggota untuk menerapkan supply
chain management integration.
d. Melakukan advokasi kepada para anggota untuk mengembangkan
kemitraan melalui merger, joint venture, joint operation dan joint
marketing, serta penetrasi pasar dan differensiasi usaha untuk
memperluas pangsa pasar,
e. Membuat
pusat
pelatihan
(academy)
untuk
media
penyelenggaraanberbagai pelatihan-pelatihan manajemen usaha dan
manajemen konstruksi sebagai upaya IYCB (Improve Your Construction
Business) untuk para anggota kualifikasi mikro, kecil dan menengah
sebagai derivasi dari CBD (Continouing Business Development) dan
CPD (Continouing Professional Development).
f. Membuat jaringan kerja (network) dan kerjasama antar asosiasi baik
nasional maupun internasional untuk memperkuat posisi tawar dalam
rantai pasok konstruksi baik dalam maupun luar negeri,

g.

Membuat jaringan kerja dan kerjasama dengan industri pendukung


seperti industri material/ bahan bangunan, industri peralatan, perbankan,
asuransi, lembaga riset dan pengembangan.
4. Rekomendasi Rencana Aksi untuk Industri Pendukung
(86) Kebijakan restrukturisasi industri konstruksi membutuhkan dukungan industri
pendukung seperti industri material dan peralatan konstruksi, industri
perbankan dan industri perasuransian. Rekomendasi rencana aksi untuk
industri pendukung ini mencakup antara lain:
a. Memperluas akses informasi ketersediaan material dan peralatan
konstruksi. Tujuan rencana aksi ini adalah menyediakan sistem informasi
produk, termasuk kapasitas produksi dan sistem distribusi / logistik
material dan peralatan konstruksi bagi industri konstruksi,
b. Memberikan dukungan partisipasi aktif dalam sistem integrasi
manajemen rantai pasok konstruksi. Tujuan rencana aksi ini adalah
memperkuat industri konstruksi dalam mengintegrasikan manajemen
rantai pasok konstruksi dan memenangkan persaingan di pasar
konstruksi,
c. Memperluas akses permodalan / pendanaan serta jaminan (misalnya
tender bond dan performance bond). Tujuan rencana aksi ini adalah
meningkatkan kapasitas dan dayasaing industri konstruksi nasional,
d. Memberikan kebijakan keberpihakan (affirmative policy) penyediaan
pinjaman (kredit) dengan persyaratan tertentu bagi perusahaan konstruksi
skala mikro dan kecil. Tujuan rencana aksi ini adalah meningkatkan
kapasitas dan dayasaing pelaku usaha konstruksi skala mikro dan kecil,
e. Memberikan kebijakan keberpihakan (affirmative policy) untuk
penyediaan perlindungan (asuransi) atas resiko usaha bagi perusahaan
konstruksi skala mikro dan kecil. Tujuan rencana aksi ini adalah
melindungi pelaku usaha konstruksi skala mikro dan kecil dari dampak
resiko dalam pekerjaan konstruksi,
G. REKOMENDASI DAN TINDAK LANJUT
1. Rekomendasi
(87) Restrukturisasi industri konstruksi memerlukan kesamaan pemahaman
terhadap apa yang dimaksud dengan struktur termasuk bagimana
bentuknya, karakteristiknya, baik dalam artian struktur industri konstruksi
maupun struktur usaha, termasuk memerlukan definisi tentang struktur pasar
dan struktur usaha,
(88) Restrukturisasi industri konstruksi juga membutuhkan kesamaan pemahaman
tentang apa yang dimaksud dengan kontraktor generalis, kontraktor spesialis,
dan kontraktor pekerja (labour), termasuk jenis, bentuk dan lapangan usaha.
(89) Restrukturisasi industri konstruksi diperlukan sebagai upaya mewujudkan
industri konstruksi yang kokoh, andal dan berdayasaing tinggi dan
memperluas kesempatan usaha bagi para pelaku usaha di sektor konstruksi
dari berbagai latar belakang dan skala usaha.
(90) Restrukturisasi industri konstruksi membutuhkan prasyarat good
governance dari industri konstruksi yang dilatari oleh Pemerintahan yang
bersih dan para pelaku usaha yang profesional dan menjunjung tinggi etika
usaha dan etika profesi serta sistemnya transparan dan akuntabel.

2.

(91) Restrukturisasi industri konstruksi dimodelkan sebagai rantai suplai


konstruksi yang terintegrasi dan di dalamnya dilatari oleh prinsip kemitraan
yang saling menguntungkan dan berkesinambungan.
(92) Restrukturisasi industri konstruksi membutuhkan 3(tiga) strategi utama
yaitu(i) strategi makro (pemutakhiran peraturan perundangan) untuk
membentuk postur struktur klasifikasi, kualifikasi dan spesialiasi kontraktor
yang sesuai dengan struktur dan perilaku pasar konstruksi, dan (ii) strategi
meso (perkuatan kemitraan dalam rantai pasok konstruksi) untuk
mentransformasi industri konstruksi dari penyelenggaraan konstruksi secara
konvensional menjadi supply chain management integration serta (iii) strategi
mikro (peningkatan kapasitas perusahaan kontraktor skala mikro, kecil dan
menengah secara berkesinambungan).
(93) Restrukturisasi industri konstruksi membutuhkan kebijakan yang prokemitraan, kebijakan perkuatan rantai pasok konstruksi dan kebijakan
peningkatan kapasitas kontraktor skala mikro kecil menengah serta kebijakan
peningkatan kompetensi SDM Konstruksi secara berkesinambungan.
(94) Restrukturisasi industri konstruksi perlu dilaksanakan dengan rencana aksi
yang membumi (down to earth) dengan prinsip low hanging fruits atau
outcome based actions baik dilakukan oleh Pemerintah sebagai regulator,
fasilitator dan protektor industri konstruksi, LPJK sebagai pengembang
(developer) industri konstruksi maupun Asosiasi Badan Usaha sebagai
implementator.
(95) Restrukturisasi industri konstruksi membutuhkan peran Pemerintah untuk
menyempurnakan peraturan perundangan dan instrumen kebijakan dan
memberikan dukungan bagi implementasi mewujudkan struktur baru industri
konstruksi nasional,
(96) Restrukturisasi industri konstruksi membutuhkan peran LPJK dan Asosiasi
Badan Usaha dan Industri Pendukung untuk menfasilitasi industri konstruksi
nasional dengan program-program pengembangan yang mampu baik secara
alamiah maupun melalui perancangan (by design) mengarahkan para pelaku
usaha di sektor konsruksi membentuk struktur dan perilaku baru,
Tindak Lanjut
(97) BP Konstruksi Kementerian PU Bersama Pengurus LPJKN dan BPP Gapensi
membentuk Tim Restrukturisasi Industri Konstruksi (TRIK) untuk
melaksanakan diseminasi dan advokasi atas substansi dari position paper ini
kepada Kementerian /Lembaga dan para pemangku kepentignan lainnya yang
terkait dengan industri konstruksi,
(98) BP Konstruksi Kementerian PU, Pengurus LPJKN dan BPP Gapensi
membentuk3 (tiga) kelompok kerja yaitu (i) KK1: Kebijakan Restrukturisasi
Industri Konstruksi, (ii) KK2: Perkuatan Rantai Pasok Konstruksi dan KK3:
Peningkatan Kompetensi SDM Konstruksi. Kelompok Kerja ini dibentuk
untuk menindaklanjuti position paper ini menjadi working paper dan atau
policy paper sebagai dokumen yang menjadi acuan atau konsepsi dalam
melaksanakan rekomendasi rencana aksi restrukturisasi industri konstruksi
nasional.
(99) BP Konstruksi Kementerian PU, Pengurus LPJKN dan BPP Gapensi secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama segera menguji kelayakan rekomendasi
rencana aksi restrukturisasi industri konstruksi dan kemudian menetapkan
agenda termasuk metodologi implementasinya.

Anda mungkin juga menyukai