RINGKASAN
(a) Indonesia sebagai negara sedang berkembang membutuhkan banyak infrastruktur dan
properti. Kontraktor sebagai pelaku utama (focal firm) dari industri konstruksi nasional
dituntut memiliki kapasitas, kompetensi dan dayasaing dalam menyelenggarakan
konstruksi. Pertanyaan penting adalah apakah klasifikasi, kualifikasi dan spesialisasi para
pelaku usaha konstruksi ini sudah membentuk struktur usaha yang kokoh, andal dan
berdayasaing. Pertanyaan lainnya adalah apakah perilaku (conduct) dalam industri
konstruksi memberi peluang yang sama bagi semua pelaku usaha konstruksi tersebut,
termasuk penciptaan lapangan usaha bagi pelaku usaha konstruksi skala mikro kecil dan
menengah secara kondusif.
(b) Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, GAPENSI, LPJK dan BP
KONSTRUKSI KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM, menggagas dan melaksanakan 3
(tiga) seri diskusi nasional dalam bentuk seminar dan lokakarya membangun industri
konstruksi yang kokoh, andal dan dayasaing dan menunjang pemerataan kesempatan kerja
bagi seluruh pelaku jasa konstruksi. Diskusi nasional ini telah berhasil mengungkap
berbagai permasalahan ketimpangan struktur, distorsi pasar, kemitraan semu, rantai pasok
rentan dan marginalisasi kontraktor mikro, kecil dan menengah.
(c) Rantai suplai konstruksi nasional belum terintegrasi secara konstruktif. Pelaku usaha jasa
konstruksi dengan berbagai skala usaha belum saling berkooperasi dan berkolaborasi
dalam suatu model kemitraan yang saling menguntungkan (win-win partnership).
Kontraktor skala kecil belum mendapatkan posisi yang kuat dalam sistem subkontrak
dengan perusahaan besar.
(d) Ketimpangan struktur pasar dan industri konstruksi. Secara hipotetik, 85% nilai pasar
konstruksi dikuasai oleh kontraktor non kecil dengan jumlah 5% dari total 160.000 badan
usaha, sedangkan 15% nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh kontraktor kecil dengan
jumlah 85% dari total 160.000 badan usaha. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha di
pasar konstruksi skala kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi.
(e) Struktur industri konstruksi nasional didominasi oleh pelaku usaha jasa konstruksi berbagai
skala bersifat umum. Spesialisasi usaha jasa konstruksi masih belum berkembang dan
spesialisasi dipandang akan mempersempit peluang usaha. Keterbatasan kesempatan usaha
bagi kontraktor skala kecil. Kontraktor skala besar seperti BUMN masih ditengarahi
memiliki dominasi dan bahkan melakukan praktik mengambil pasar konstruksi skala kecil
menengah serta ekploitasi subkontraktor.
(f) Kontraktor besar dinilai belum ikut serta memberdayakan atau memberi kesempatan
kepada kontraktor skala kecil lokal dimana pekerjaan konstruksi berada. Kapasitas,
kompetensi dan dayasaing kontraktor skala kecil terbatas. Permasalahan ini dipicu oleh
keterbatasan kompetensi SDM, akses permodalan dan kemampuan peralatan/ teknologi.
A. PENGANTAR
1. Latar Belakang
(1) Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang membutuhkan industri
konstruksi yang kokoh, handal dan berdayasaing dalam menghasilkan
berbagai bangunan baik berfungsi sebagai infrastruktur maupun properti.
Pemerintah Indonesia memperkirakan bahwa investasi infrastruktur hingga
2025 mencapai lebih kurang IDR 2000 T (MP3EI, 2011). Dikun (2011)
menyatakan bahwa Indonesia perlu membangun infrastruktur lebih banyak
dan lebih cepat. Oleh karena itu, industri konstruksi nasional harus mampu
memperkuat struktur (structure), menyehatkan perilaku (conduct) dan
meningkatkan kinerja (performance) secara terus menerus agar dapat
merespon pasar (demand) dari baik pengadaan properti maupun infrastruktur
yang semakin besar baik dari sisi volume maupun nilai serta kompleksitas.
(2) Industri konstruksi adalah usaha-usaha yang melakukan proses rancang dan
bangun untuk mendirikan suatu bangunan baik yang akan berfungsi sebagai
infrastruktur maupun properti baik diselenggarakan oleh Pemerintah, Swasta
maupun Masyarakat atau gabungan dari mereka. Hasil industri konstruksi
membentuk modal bruto tetap (gross fixed capital formation) dalam bentuk
lingkungan terbangun (built environment) bagi pembangunan sosial ekonomi
(construction driven socio-economic development). Industri konstruksi ini
melibatkan pelaku usaha mulai dari penyelenggara, konsultan keinsinyuran,
kearsitekturan, dan konsultan manajemen, kontraktor, subkontraktor,
pemasok material, pemasok peralatan, pemasok pekerja dan para pekerja
sendiri-sendiri maupun berkelompok. Para pelaku usaha di sektor konstruksi
ini bekerja mengikuti siklus hidup dari pengembangan aset terbangun (life
cycle of built asset development).
(3) Industri konstruksi nasional melibatkan 182.800 perusahaan kontraktor
dengan kualifikasi besar (1%), kualifikasi menengah (12%) dan kualifikasi
kecil (87%). Komposisi ini didominasi perusahaan kontraktor umum (general
contractors) dan sedikit perusahaan kontraktor khusus (specialist
contractors).Secara hipotetik, 85% nilai pasar konstruksi dikuasai oleh nonkecil dengan jumlah 13% dari total 182.800 badan usaha, sedangkan 15%
nilai pasar konstruksi diperebutkan oleh kontraktor kecildengan jumlah 87%
dari total 182.800 badan usaha. Keadaan ini menyebabkan persaingan usaha
di pasar konstruksi skala kecil menjadi tidak sehat dan terdistorsi. Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana menstrukturkan kembali sistem industri
konstruksi (restructuring the industry) sehingga para pelaku usaha di sektor
konstruksi khususnya perusahaan kontraktor tersebut mampu menjadi tuan
rumah di negeri sendiri dan kemudian juga mampu memperluas pangsa pasar
di luar negeri.
(4) Dalam rangka mencari formulasi bagaimana memembangun industri
konstruksi nasional tersebut, Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional
(GAPENSI), Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN)
dan Badan Pembinaan Konstruksi (BP Konstruksi) Kementerian Pekerjaan
Umum bekerjasama menyelenggarakan 3 (tiga) seri diskusi dalam bentuk
seminar dan lokakarya nasional. Secara umum, tujuan kegiatan ini adalah
menghasilkan suatu dokumen dalam format makalah posisi (position paper)
yang mengartikulasikan berbagai permasalahan kontemporer mutakhir di
sektor konstruksi, perspektif berbagai pihak terhadap permasalahan tersebut
dan rekomendasi kerangka kerja (framework) serta rencana tindak (action
2.
3.
4.
5.
nasional (Natsir, Rivai, & Rizal, 2012), memperkuat kemitraan dalam rantai
pasok konstruksi (Sukistiarso, Hanafiah, & Abduh, 2012) peningkatan
kapasitas usaha skala mikro, kecil dan menengah di sektor konstruksi
(Ismono, Saptodewo, & Soemardi, 2012) serta strategi peningkatan
kompetensi SDM Konstruksi (Suhono, Mulyo, & Suraji, 2012). Perumusan
hal-hal tersebut dilakukan melalui suatu diskusi kelompok kerja (working
group discussion) dan konsinyasi serta kemudian diverifikasi melalui
pertemuan nasional ketiga dalam bentuk seminar nasional. Hasil dari
lokakarya dan konsinyasi tersebut dirumuskan dalam bentuk dokumen
position paper ini.
Manfaat
(10) Dokumen position paper ini dikontribusikan secara khusus kepada
Pemerintah sebagai rekomendasi kebijakan pembinaan konstruksi baik dalam
bentuk pengaturan, pemberdayaan maupun pengawasan dan kepada LPJK
sebagai rekomendasi perencanaan program dan kegiatan pengembangan
industri konstruksi nasional serta kepada pelaku usaha di sektor konstruksi
sebagai rekomendasi pengembangan korporasi dan pengembangan usaha.
(11) Pendayagunaan position paper ini membutuhkan komitmen dan kemauan
bersama
semua
pemangku
kepentingan
(stakeholders)
industri
konstruksinasional untuk menempatkan konstruksi menjadi industri (KK
MRK ITB, 2007) dan bukan sekedar perdagangan jasa perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan (procurement) dalam suatu penyelenggaraan
konstruksi tetapi sebagai meso economic systems (Carracus, 2004 dan Barret,
2005) dan life cycle of the built asset development(Ruddock, 2009) serta
berorientasi bagi the finest built environment yang bernilai tambah bagi
kesejahteraan, keadaban dan kedaulatan bangsa (Suraji et al, 2007).
Sistematika
(12) Position paper ini terdiri dari 5 (lima) bagian utama. Bagian pertama dari
position paper ini menjelaskan secara umum gambaran industri konstruksi
nasional saat ini. Bahasan ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman
tentang posisi dan kondisi industri konstruksi. Selanjutnya, bagian kedua
position paper ini menjelaskan permasalahan yang dihadapi (perceived
problems) berdasarkan hasil seminar dan lokakarya nasional.
(13) Bagian ketiga position paper ini membahas postur ideal industri konstruksi
sebagai referensi dalam restrukturisasi industri konstruksi nasional.
Selanjutnya, substansi utama dari position paper ini dijelaskan pada bagian
keempat dan kelima. Dalam bagian ini, prasyarat dan model restrukturisasi
serta strategi dan kebijakan yang diperlukan. Selanjutnya, position paper ini
juga merekomendasikan rencana aksi bagi pencapaian restrukturisasi tersebut
kepada Pemerintah, LPJK dan Asosiasi, Korporasi dan Individu.
2.
3.
(21) Jumlah perusahaan konsultan dan kontraktor asing dari negara-negara ASIA,
EROPA dan USA yang beroperasi dan tergistrasi di Indonesia terus
bertambah sejak tahun 2004. Tabel berikut ini menggambarkan postur
(Natsir, 2012)
Pada lima tahun terakhir pertambahan konsultan dan kontraktor asing di
Indonesia sangat besar dan sejak pencanangan MP3EI naik hingga 22,2%
sehingga akumulasi jumlah mreka sampai tahun 2012 mencapai 255
perusahaan.
(22) Perusahaan konsultan dan kontraktor dari negara-negara ASIA sebagaimana
terlihat pada tabel di bawah ini semakin bertambah pasar konstruksi domestik
sejak tahun 2005 serta terdorong liberalisasi perdagangan barang dan jasa
serta
perjanjian
bilateral
antara
kedua
negara.
.
Business Prospect
20,00
10,00
0,00
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Interest Rate
Competition
Demand Decreasing
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
BPS (2010) diolah
0,00
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Hasil survai BPS (2010) untuk permasalahan bisnis pada periode 2004-2010
menunjukkan bahwa pengusaha di sektor konstruksi masih menganggap
cukup bermasalah dalam menjalankan bisnisnya yang ditunjukkan dengan
nilai indeks untuk akses kridit, suku bunga terus turun dari 40 hingga 10.
Demikian juga dengan permasalahan akses kridit dan suku bunga juga
mengalami cukup bermasalah yang ditunjukkan dengan nilai indeksterus
turun dari 70 hingga kurang dari 40. Menurut hasil survai BPS (2010)
masalah utama yang dihadapi oleh para pengusaha di sektor konstruksi adalah
(i) tidak stabilnya harga bahan bangunan, (ii) penurunan permintaan, (iii) dan
tingkat persaingan yang tinggi. Gambar berikut ini menjelaskan permasalahan
harga dan suplai material, tenaga kerja terampil, adminstrasi birokrasi dan
kondisi
atau
situasi
politik
dan
keamanan.
.
80,00
70,00
60,00
Price of Construction
Materials
50,00
Supply of Construction
Materials
40,00
30,00
Administraction
Bearucracy
20,00
10,00
0,00
2002
2004
2006
2008
2010
2012
200000
180000
160000
140000
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0
TOTAL INVESTASI DI
SUMATERA
D.
E.
F.
B.
A.
TOTAL INVESTASI DI
JAWA
G.
H.
TOTAL INVESTASI DI
KALIMANTAN
TOTAL INVESTASI DI
SULAWESI
TOTAL INVESTASI DI
NUSRA BALI
TOTAL INVESTASI DI
MALUKU PAPUA
Jalan &
Jembatan
SDA,Drainase
& Air Bersih
Gedung &
Perumahan
4.000
Rel KA &
Hub.Darat
3.000
Plabuhan,Pan
tai &
Hub.Laut
Bandara &
Hub.Udara
x 1,000 Orang
5.000
2.000
1.000
0
Energi,Power
Plant &
Trnsmisi
Jaringan IT &
Telekomunik
asi
PusbinKPK (2011)
2.
4.
7.
8.
tender untuk menyelesaikan hal non teknis bila hal tersebut muncul.
Kontraktor kecil masih banyak yang tidak bisa memenuhi target biaya, mutu
dan waktu yang direncanakan (Karya, 2012).
Ketimpangan Kompetensi & Perlindungan SDM Konstruksi
(38) Industri konstruksi pada 2011 diperkirakan memiliki 6.34 jt tenaga kerja
konstruksi dengan komposisi 60% merupakan unskill labour (3,8 jt), 30%
merupakan skill labour (1,9 jt) dan 10% merupakan tenaga ahli (634 rb)
dengan kondisi kurang dari 7% yang telah tersertifikasi (Suhono, 2012).
Kondisi tersebut ditambah dengan berbagai permasalah SDM di sektor
konstruksi misalnya investasi SDM (recruitment) yang keliru baik di
kontraktor maupun di konsultan akibat cara-cara procurement yang tidak
tepat maupun demi kelangsungan hidup.Pengakuan, penghargaan dan
perlindungan kompetensi SDM di sektor konstruksi yang masih terbatas baik
disebabkan belum adanya undang-undang profesi keinsinyuran dan
kearsitekturan, ketimpangan billing rate dan belum adanya asuransi profesi
(indemnity professional insurance). Disamping itu, profesionalisme, etika dan
hukum belum ditegakkan serta body of knowledge sertifikasi belum berjalan
dan banyak yang belum mengenal Contiuning Professional Development
(CPD) (Mulyo, 2012).
(39) Permasalahan lain terkait pengembangan kompetensi SDM di sektor
konstruksi mencakup antara lain koordinasi antar dan inter lembaga pelatihan
belum terbentuk; Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) baru saja
disepakati melalui PP Nomor 8 tahun 2012; Dualisme sistem sertifikasi
profesi (BNSP & LPKJN); keterbatasan anggaran pemerintah; belum
optimalnya standard kompetensi, penyelenggaraan pelatihan dan uji bagi
SDM konstruksi; keterbatasan sarana dan prasarana pelatihan; dan belum
berkembangnya sistem informasi pembinaan kompetensi dan pelatihan
konstruksi. Disamping itu, implementasi sertifikasi profesi masih terdistorsi.
Sertifikasi profesi dilakukan belum secara sistematis dan benar-benar
obyektif melalui uji kompetensi sesuai SKKNI. Sertitifikasi profesi belum
merupakan solusi penjaminan profesionalisme praktek profesi keinsinyuran
dan kearsitekturan tetapi masih menjadi bagian dari transaction cost economy
yang tinggi serta hanya menjadi kebutuhan administratif bukan kebutuhan
profesinalisme individu praktek profesi. Sertifikasi profesi masih menjadi
sumber pengumpulan dana asosiasi dan belum menjadi kebutuhan individu
(Suhono & Suraji, 2012).
Distorsi Pada Pengadaan dan Kontrak Konstruksi Pemerintah
(40) Etika usaha di sektor konstruksi masih belum terinternalisasi secara
menyeluruh. Permasalah etika pada pengadaan dan pelaksanaan kontrak
kontrak pemerintah adalah Peminjaman User ID, Peminjaman nama
perusahaan, Sub-kontrak di luar kendali, Penggunaan produk sub-standar,
Pekerjaan dibawah standar atau spek teknis, dan Pemalsuan progres fisik.
Disamping itu, kekurang pahaman terhadap peraturan perundangan misalnya
Pemahaman terhadap Peraturan pengadaan, Pemahaman terhadap dokumen
lelang, Pemahaman terhadap konsep ketentuan-ketentun kontrak termasuk
persyaratan administrasi, kualifikasi dan teknis serta penawaran harga juga
mempengaruhi distorsi pengadaan dan pelaksanaan kontrak (LKPP, 2012).
(41) Penyimpangan proses pemilihan penyedia jasa sering terjadi misalnya (i)
terbukti melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, kecurangan dan/atau
pemalsuan dalam proses Pengadaan; (ii) mempengaruhi ULP/Pejabat
Sumber: Wu Jia Ming et.al (2003) dan BP Konstruksi dalam Tamin (2012).
(44) China mengalami sebelum 2001 jumlah kontraktor 90.000 perusahaan dengan
komposisi 74% umum; 26% spesialis. Sesudah 2002, Pemerintah China
melakukan restrukturisasi sehingga menjadi 64.600 perusahaan dengan 52%
umum dan 48% spesialis melalui suatu new qualification standards dan
pembinaan yang progresif. Workshop terbatas Gapensi dan Tsinghua
University (Beijing, 20 Juli 2012) dan diskusi Gapensi dan CHINCA
(Beijing, 20 Juli 2012) menginformasikan bahwa jumlah kontraktor di China
kurang lebih 30.000. Struktur klasifikasi dan kualifikasin kontraktor di China,
sangat natural; struktur kontraktor berbentuk piramid dengan kontraktor
besar: jumlah sedikit; harus mampu memperbesar skala ekonomi, cross
region; transnational, multi project. Kemudian kontraktor spesiali biasanya
perusahaan kecil, kemampuan terbatas, perlu fleksibel, responsif kepada
pasar dan jumlah seharusnya bisa banyak jika dibina dengan baik. Dalam hal
ini, faktor yang mempengaruhi demand kontraktor spesialis akan sangat
tergantung ada tidaknya kontraktor besar serta peluang usaha terbatas, ada
proteksi regional dan departemental, kompetisi dari kontraktor asing rendah
dan ada proteksi. Pada umumnya kontraktor besar adalah BUMN, belum
modern;, driving force untuk maju lemah dan semangat kompetisi rendah.
Bagi kontraktor besar swasta juga tidak ada insentif untuk melakukan subcontracting dan margin rendah. Intinya tidak terjadi kompetisi yang sehat,
terutama akibat proteksi, yang dapat mendorong ko-operasi kontraktor umum
dan kontraktor spesialis. Faktor penghambat supply kontraktor spesialis
adalah peraturan per-UU-an belum mendukung dan melindungi kepentingan
kontraktor kecil dan kontraktor besar mengeksploitasi kontraktor sedang dan
kecil dan menyulitkan masuk menjadi kontraktor spesialis, serta margin
kontraktor kecil rendah dan pembayaran owner sering bermasalah.
Disamping itu, kapasitas rendah (teknologi, peralatan, manajemen, & inovasi)
dan peluang subcontracting dari kontraktor besar tidak terbuka karena mereka
terjepit. Subcontracting system merupakan media untuk menghubungkan
demand dan supply kontraktor spesialis dan rantai subcontracting mengurangi
transaction cost general contractor dan sebaliknya kontraktor spesialis ikut
menikmati kontrak besar. Sebagai catatan di China, subcontracting dilarang
karena mal praktek. Pada level kebijakan di lingkup industri adalah promote
3.
2.
Prinsip Restrukturisasi
(58) Prinsip restrukturisasi industri konstruksi adalah menjaga kesetimbangan
antara struktur pasar (demand side) dengan struktur industri (supply side)
kemudian membuat klasifikasi dan kualifikasi pelaku industri konstruksi
sedemikian rupa sehingga menjamin semua dapat saling berinteraksi
menghasilkan nilai tambah tinggi. Restrukturisasi industri konstruksi ini
dilakukan dengan mengembangkan kerjasama kemitraan melalui prinsip
kooperasi dan kompetisi (koopetisi), meningkatkan produktifitas, efisiensi,
kreatifitas dan inovasi secara berkesinambungan, mendorong integrasi nilai
dari rantai suplai konstruksi, merevitalisasi profesionalisme dan nasionalisme,
merestrukturisasi sistem industri konstruksi, mentransformasi struktur
industri konstruksi, membina kontraktor skala kecil menengah yang ingin
menjadi kontraktor spesialis melalui inkubator bisnis konstruksi dan pelatihan
SDM, merevitalisasi peran asosiasi badan usaha agar mampu membina dan
memperjuangkan kepentingan anggotanya, dan meningkatkan aksesibilitas
permodalan, pengurangan beban pajak bagi subkontraktor, dan mengeluarkan
standard form of subcontract.
Prasyarat Restrukturisasi
(59) Good governance, etika usaha (code of ethic and code of conduct) dan
kapasitas profesional pelaku usaha di sektor konstruksi merupakan prasyarat
restrukturisasi (Tamin, 2012). Governance adalah the process of decisionmaking and the process by which decisions are implemented (or not
implemented). Good governance has 8 major characteristics (i) participatory,
(ii) responsive, (iii) consensus oriented, (iv) effective & efficient, (v)
accountable, (vi) equitable & inclusive, (vii) transparent, and (viii) follow the
rule of law (ESCAP, UNDP in Tamin, 2012). It assures that (i) corruption is
minimized, (ii) the views of minorities are taken into account; (iii) the voices
3.
Soeparto (2012).
(61) Perusahaan generalis adalah mereka yang memberikan layanan dan
bertanggungjawab atas keseluruhan produksi suatu bangunan yang dilakukan
oleh berbagai pihak. A general contractor is the contractor with main
responsibility for the construction, improvement, or renovation project under
contract, and is the party signing the prime construction contract for the
project. The general contractor is the person or entity who hires all of the
subcontractors and suppliers for a project. It is an individual, partnership,
corporation, or other business entity that is capable of performing
construction work as a contractor with overall responsibility for the
satisfactory completion of a project using its own forces to perform or
supervise part of the work (uslegal.com, 7 Juni 2012). Sedangkan kontraktor
spesialis adalah mereka yang memberikan layanan dan bertanggungjawab
hanya pada bagian khusus/ tertentu dari keseluruhan produksi suatu
bangunan. "Specialty contractor" means a contractor who performs work on a
structure, project, development or improvement and whose operations as such
do not fall within the definition of "general contractor." (oregonlaw.com, 7
Juni 2012). A specialty contractor refers to a contractor whose scope of
practice is limited to a specific segment of electrical or alarm system
contracting established in a category adopted by board rule, including, but not
limited to, residential electrical contracting, maintenance of electrical
fixtures, and fabrication, erection, installation, and maintenance of electrical
advertising signs together with the interrelated parts and supports thereof.
Specialty contractors are craftsmen who require a license for practice. A
specialty contractors can greatly benefit the outcome of a project, favorably
impacting its budget, schedule, and quality. (uslegal.com, 7 Juni 2012).
(62) Model-model interaksi antara kontraktor utama dan subkontraktor bervariasi
tergantung dari project delivery system yang ditetapkan oleh klien/ owner.
4.
(64) Strategi restrukturisasi pelaku usaha di sektor konstruksi dilakukan dengan (i)
menata ulang lapangan permainan (playing field) yang mengarah pada KBLI
(CPC) berdasarkan produk bangunan yang dihasilkan sebagai jenis usaha dan
bidang usaha berbasis life cycle of built asset developmentserta bentuk usaha
orang perseorangan dan badan usaha dengan kualifikasi dan spesialisasi dan
(ii) merubah dari interaksi dan transaksi konvensional menjadi supply chain
management integration. Gambar di bawah ini menjelaskan strukturisasi
lapangan usaha, jenis, bidang dan bentuk usaha konstruksi.
pemasok.
(65) Perubahan dari tradisional menjadi rantai pasok terintegrasi akan memperluas
kesempatan melalui kemitraan usaha saling menguntungkan dalam mensuplai
bangunan.
(68) Untuk rantai pasok konstruksi yang berada dalam lingkup UUJK, maka
strategi restrukturisasi membutuhkan peran pembinaan dari Pemerintah dan
pengembanan dari LPJK. Peran ini diperlukan untuk mewujudkan interaksi
struktur dan perilaku rantai suplai konstruksi sehingga kinerja rantai pasok
lebih produktif. Di satu pihak, Pemerintah dan LPJK harus mempengaruhi
sisi demand dan juga sisi supply rantai pasok konstruksi. Sisi demand dapat
berupa demand terhadap pekerjaan untuk dilaksanakan oleh rantai pasok dan
teknologi yang harus diakomodasinya. Di lain pihak, sisi supply rantai pasok,
maka struktur dan perilaku rantai pasok konstruksi harus dikelola dengan
baik, agar terjadi kinerja rantai pasok tersebut yang efektir. Gambar di bawah
ini menjelaskan peran Pemerintah (BP Konstruksi) dan LPJK dalam
mendorong inovasi teknologi dan mengatur demand. Disamping itu,
Pemerintah dan LPJK dapat mengatur struktur pasar, perilaku perusahaan,
dan
pengadaan
yang
akan
membentuk
perkuatan
rantai
suplai.
(69) Bagi rantai pasok konstruksi pada bagian yang lebih hulu, yang tidak dikelola
oleh UUJK, maka kebijakan dan strategi pengembangan rantai pasok
konstruksi hanya sebatas mempengaruhi sisi demand berupa kebutuhan
pekerjaan serta persyaratan teknologi. Jika terdapat gambaran struktur dan
perilaku rantai pasok di daerah lebih hulu tersebut yang tidak kondusif, maka
Pemerintah (Kementrian PU) dan LPJK hanya dapat melakukan koordinasi
dan
audiensi
dengan
pihak
dan
kementrian
yang
terkait.
(70) Pengelolaan rantai pasok menjadi upaya kunci dalam restrukturisasi industri
konstruksi agar semua pelaku usaha dapat memberikan nilai tambah bagi
semua baik mereka sendiri maupun klien. Abduh (2012) menjelaskan bahwa
Supply Chain Management (SCM) atau Pengelolaan Rantai Pasok adalah
usaha koordinasi dan memadukan aktivitas penciptaan produk diantara pihak-
Kebijakan Restrukturisasi
(74) Restrukturisasi sistem industri konstruksi dengan 6 (enam) strategi tersebut
pada penjelasan nomor 62 tersebut di atas perlu ditindaklanjuti dengan
kebijakan (a course of actions). Arahan kebijakan restrukturisasi sistem
industri konstruksi mencakup (i) menegakkan good governance dengan
memperkuat pengawasan, (ii) mempercepat perubahan klasifikasi ASMET
menjadi KBLI, (iii) mengembangkan project packaging systems dan project
delivery system untuk efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan konstruksi,
(iv) mengembangkan segmentasi pasar konstruksi bagi perluasan kesempatan
usaha bagi perusahaan skala mikro dan kecil, (v) melakukan sinkronisasi
peraturan perundangan, (vi) mengubah definisi generalis dan spesialis dari
berdasarkan jumlah bidang usaha menjadi konsepsi baru yang sesuai,
termasuk membuka peluang kontraktor labour (labour supply contractors),
(vii) mengembangkan sistem subcontracting yang berkeadilan, (viii)
meningkatkan kapasitas dan fasilitasi bagi kontraktor spesialis dalam
pengembangan kompetensi SDM, inovasi teknologi dan manajemen,
dukungan dan akses pendanaan / permodalan, serta penjaminan, (ix)
mendukung pengelolaan rantai pasok dengan menerapkan persaingan
berbasis persaingan rantai pasok dan melarang vertical integration dimulai
dari Kontraktor BUMN sebagai contoh, (x) meningkatan kapasitas kontraktor
lokal melalui pengelolaan rantai pasok kontraktor nasional sebagai
pemberdayaan dan tindakan keberpihakan, (xi) mengembangkan sistem
informasi konstruksi Indonesia yang mengintegrasi seluruh rantai pasok
konstruksi (pelaku usaha, pemasok, produsen), (xii) mengharuskan kontraktor
asing melakukan kerjasama yang nyata dan melarang kemitraan semu (no
sleeping partner policy), (xiii) mengharuskan kontraktor nasional melakukan
kerjasama dengan kontraktor daerah melalui joint operation dan subkontrak
dengan melengkapi jaminan pembayaran (payment security).
(75) Kebijakan restrukturisasi tersebut di atas selanjutnya dibarengi dengan
kebijakan (i) memutakhirkan peraturan perundangan untuk industri
konstruksi, termasuk pengaturan sertifikasi badan usaha, perizinan usaha,
pengaturan sertifikasi profesi dan keterampilan serta pembiayaan
pengembangan industri konstruksi melalui levy (ii) sinkronisasi kedudukan
(positioning), tugas pokok dan fungsi, tanggungjawab dan kewenangan LPJK
dan BP Konstruksi.
(76) Kebijakan restrukturisasi tersebut diperlukan untuk merespon berbagai isu
strategis bahwa tidak berjalannya good governance mengganggu proses
spesialisasi usaha, pendekatan supply chain management belum berjalan
secara terstruktur, pendayagunaan program CSR dari kontraktor besar
termasuk BUMN kepada kontraktor kecil menengah yang mitra dalam rantai
suplainya belum dilakukan secara sistemik. Disamping itu, kebijakan
restrukturisasi juga penting dilakukan untuk mengatasi isu strategis bahwa
d.
2.
3.
g.
2.