Anda di halaman 1dari 24

KINERJA KEUANGAN TIGA BUMN KONSTRUKSI TAHUN 2015-2019

BERDASARKAN STANDAR KESEHATAN KEUANGAN BUMN DAN NILAI


TAMBAH EKONOMI
Annisa Wisdayati
Program Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung,
Jl. Ganehsa No.10 Bandung 40132, E-mail: annisa.wisdayati@gmail.com
Muhamad Abduh
Dosen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung,
Jl. Ganesha No.10 Bandung 40132, E-mail: abduh@office.itb.ac.id

Abstrak
Pesatnya pembangunan berdampak pada bertambahnya demand bagi perusahaan konstruksi
terutama BUMN konstruksi yang secara umum paling banyak menggarap proyek konstruksi di
Indonesia. Penggarapan proyek-proyek besar membutuhkan permodalan yang besar. Kondisi ini
mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan BUMN konstruksi, oleh karena itu kinerja keuangan
menjadi perhatian penting untuk keberlanjutan perusahaan dan sektor konstruksi di Indonesia dalam
menjalankan penugasan.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kondisi kesehatan BUMN konstruksi berdasarkan
ketentuan dari Keputusan Menteri BUMN KEPMEN 100 / MBU / 2002 digunakan untuk
mengukur kinerja keuangan perusahaan-perusahaan ini. Ada 3 tingkatan dalam kesehatan
keuangan, perusahaan sehat (AAA, AA, A), kurang sehat (BBB, BB, B), dan tidak sehat (CCC, CC,
C). Namun, analisis rasio keuangan saja tidak cukup. Perusahaan dan investor harus
mempertimbangkan resiko dari investasi yang mereka lakukan. Oleh karena itu, analisis Nilai
Tambah Ekonomi (NITAMI) digunakan untuk mengukur nilai tambah yang dihasilkan oleh suatu
perusahaan dengan mengurangi biaya modal yang timbul sebagai akibat dari investasi yang
dilakukan. Lingkup penelitian ini di batasi pada kinerja pada tahun 2015 – 2019 dengan sampel
penelitian yaitu PT Adhi Karya, PT PP dan PT Wijaya Karya dengan hanya meninjau laporan
keuangan hanya pada perusahaan induk saja.
Kata-kata Kunci: NITAMI, BUMN, Kinerja, Keuangan, Konstruksi

1. Latar Belakang

Percepatan pembangunan infrastruktur pada satu dekade terakhir berakibat pada meningkatnya nilai
konstruksi yang diselesaikan. Pesatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia merupakan faktor
yang mempengaruhi meningkatnya peran sektor konstruksi terhadap perekonomian Indonesia. Hal
ini dapat dilihat dari besarnya persentase sektor konstruksi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia sebesar 10,60 % pada triwulan III/2019 (BPS, 2019).

Peningkatan tren nilai konstruksi yang diselesaikan secara langsung menggambarkan tren
peningkatan nilai kapitalisasi di sektor ini dari tahun ke tahun. Indonesia menjadi pasar konstruksi
terbesar di Asia Tenggara (BP Konstruksi Kemen PU-Pera, 2015), sehingga studi kinerja dalam hal
finansial pada perusahaan-perusahaan jasa konstruksi menjadi perhatian penting untuk menjaga
ketahanan untuk keberlangsungan perusahaan tersebut. Oleh karena itu perlu mengukur kinerja
keuangan BUJK, dimana sektor konstruksi menempati posisi ketiga sebagai pendorong
pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan kontribusi mencapai 1.562 triliun atau 11.11% terhadap
PDB nasional.

Hasil penelitian Arditi dkk (2000) menunjukkan 80% kegagalan perusahaan konstruksi disebabkan
oleh faktor rendahnya laba 27%, kelemahan industri (23%), biaya operasi besar (18%), modal yang
tidak cukup (8%) dan hutang institusional yang besar (6%), hampir semua faktor yang disebutkan
adalah masalah keuangan perusahaan. Untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan konstruksi
maka dapat mengetahui tingkat risiko, kapasitas dan ketahanan perusahaan.

Kondisi keuangan perusahaan perlu dievaluasi dengan pengukuran kinerja keuangan. Pemerintah
menetapkan kebijakan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan BUMN yang termuat dalam
Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP100 / MBU / 2002. Pengukuran yang
digunakan terdiri dari delapan indikator yaitu Return on Equity (ROE), Return on Investments
(ROI), Rasio Kas, Rasio Lancar, Periode Pengumpulan, Perputaran Inventori, Perputaran Aset
Total, dan Perbandingan Ekuitas terhadap Aset. Hasilnya dapat divalidasi oleh tiga tingkat kategori
kesehatan keuangan, yaitu sehat (AAA, AA, A), kurang sehat (BBB, BB, B), dan tidak sehat
(CCC, CC, C).

Kelemahan rasio keuangan adalah biaya modal yang tidak termasuk dalam perhitungan. Oleh
karena itu, untuk melengkapi penilaian tersebut diperlukan indikator alternatif seperti perhitungan
NITAMI (Nilai Tambah Ekonomi). NITAMI digunakan untuk mengukur nilai tambah yang
dihasilkan suatu perusahaan dengan cara mengurangi biaya modal yang timbul sebagai hasil dari
investasi yang dilakukan.

2. Permasalahan
Di tengah ketidakstabilan ekonomi dan tingginya permintaan terhadap proyek infrastruktur yang
membutuhkan pendanaan tinggi menjadi tantangan dalam menjaga kinerja perusahaan, sehingga
prediksi terhadap potensi kondisi perusahaan yang tidak mampu membayarkan tanggung-jawabnya
yaitu keadaan kesulitan keuangan menjadi hal penting untuk dapat menghindari risiko
kebangkrutan, maka pihak manajemen perlu adanya peringatan dini sebelum timbul potensi
kesulitan keuangan.
Oleh karena itu perlunya membandingkan analisis kondisi kesehatan keuangan berdasarkan kep-
100/MBU/2002 dan NITAMI. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan
gambaran kinerja keuangan perusahaan pada sektor konstruksi, serta dapat dijadikan bahan
evaluasi kinerja dalam tingkat perusahaan maupun rujukan bagi pemangku kepentingan dalam
pengambilan keputusan seperti investor, lembaga penjamin atau pemberi modal, pihak pemerintah
dalam mengambil keputusan terkait kepentingan badan usaha dan manajemen internal badan usaha
itu sendiri, hingga perdagangan yang terkait pada sektor konstruksi.
3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini untuk mengukur kinerja keuangan berdasarkan kep-100/MBU/2002 dan
nilai tambah ekonomi perusahaan konstruksi (BUMN) di Indonesia dari tahun 2015 -2019 serta
menginterpretasikan dan membandingkan hasilnya.
4. Tinjauan Literatur
4.1 Konstruksi
Konstruksi adalah kegiatan yang hasil akhirnya berupa bangunan/konstruksi yang menyatu
dengan lahan tempat kedudukannya, baik digunakan sebagai tempat tinggal atau sarana
kegiatan lainnya yang hasilnya berupa gedung, jalan, jembatan, rel dan jembatan kereta api,
terowongan, bangunan air dan drainase, bangunan sanitasi, bandara, jaringan listrik dan
komunikasi, dan lain-lain (BPS, 2019).
Peterson (2009), menjelaskan 4 karakteristik unik industri konstruksi dibandingkan industri
produk pada umumnya:
1) Industri konstruksi berorientasi pada proyek yaitu berbeda dengan industri produk umum yang
berorientasi pada proses kerja/manufaktur. Meskipun output dari industri konstruksi secara
umum sama, antara lainnya jalan raya, gedung bertingkat dan lain lain namun selalu terdapat
perbedaan karakteristik pada masing-masing proyek dalam kondisi lapangan dan lokasi proyek
yang akan berpengaruh pada ketersediaan pekerja dan material.
2) Industri konstruksi bersifat desentralisasi. Pada proses produksi, industri pada umumnya
dilakukan dalam pabrik dimana pekerja, material peralatan berada dalam kawasan pabrik.
Sedangkan proses konstruksi, pekerja, peralatan dan material mendatangi lokasi proyek.
3) Metode pembayaran umumnya dilakukan sesuai dengan progres pekerjaan akan dibayarkan
sesuai dengan tercantum dengan kontrak. Berbeda dengan industri produksi umum,
pembayaran akan dilakukan ketika produk telah selesai dan dikirimkan atau dengan produk
yang dikirimkan akan dilakukan proses pembayaran dalam jangka waktu tertentu oleh pembeli.
4) Perusahaan konstruksi biasanya melakukan kegiatan subkontrak kepada perusahaan konstruksi
lain untuk melakukan suatu pekerjaan. Perusahaan konstruksi sering menawarkan klien dengan
harga tetap untuk produk yang belum pernah dibuat oleh perusahaan atau untuk produk yang
belum pernah dibuat oleh perusahaan menggunakan kelompok pemasok dan subkontraktor lokal
yang tersedia di lokasi proyek.
Proyek konstruksi memiliki ketentuan dan tata cara pembayaran yang di sepakati. Berikut ini adalah
beberapa cara pembayaran proyek konstruksi:
a) Pembayaran dengan uang muka atau tanpa uang muka.
b) Pembayaran bulanan (monthly payment), kemajuan penyedia jasa dihitung setiap akhir bulan.
Setelah prestasi tersebut diakui pengguna jasa maka penyedia jasa dibayar sesuai prestasi
tersebut.
c) Pembayaran termin (progress payment), pembayaran kepada penyedia jasa dilakukan atas dasar
kemajuan pekerjaan yang telah dicapai sesuai dengan ketentuan dalam kontrak
d) Pembayaran sekali di akhir (turn key payment), penyedia jasa harus mendanai dahulu seluruh
pekerjaan sesuai dengan kontrak. Setelah pekerjaan selesai 100% dan diterima dengan baik oleh
pengguna jasa barulah penyedia jasa mendapatkan pembayaran sekaligus.
4.2 Kinerja Keuangan
Kinerja perusahaan adalah penilaian seberapa baik perusahaan dapat mengelola sumber dayanya
dan menghasilkan keuntungan. Manfaat kinerja keuangan memberikan informasi tentang kinerja
perusahaan, terutama analisis likuiditas, aktivitas, solvabilitas, profitabilitas, dan daya jual yang
menunjukkan pertumbuhan perusahaan (Harahap, 2002).
Schwenk & Shrader (1993) menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara melakukan praktik
manajemen dan kinerja keuangan. Dalam upaya untuk menilai kapasitas finansial dari suatu
perusahaan konstruksi terdapat beberapa indikator untuk mengukur sejauh mana kemampuan
finansialnya.

4.3 KEPMEN BUMN NO 100 Tahun 2002


Pemerintah menetapkan kebijakan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan BUMN yang
termuat dalam Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP 100 / MBU / 2002.
Pengukuran yang digunakan terdiri dari delapan indikator yaitu Return on Equity (ROE), Return
on Investments (ROI), Rasio Kas, Rasio Lancar, Periode Pengumpulan, Perputaran Inventori,
Perputaran Aset Total, dan Perbandingan Ekuitas terhadap Aset. Hasilnya dapat divalidasi oleh
tiga tingkat kategori kesehatan keuangan sebagai berikut:

Tabel 1. Peringkat Kesehatan Perusahaan dan Indikator Pengukur Kondisi Keuangan


Sumber: Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP 100/MBU/2002

Jumlah Skor
No Kategori Peringkat Indikator Bobot
(TS)  
1. Imbalan pada pemgegang saham
AAA TS > 95 20
  (ROE)
1 Sehat AA 80 < TS <= 95   2. Imbalan Investasi (ROI) 15
A 65 < TS <= 80   3. Rasio Kas 5
BBB 50 < TS <= 65   4. Rasio Lancar 5
Kurang
2 BB 40 < TS <= 40   5. Periode Pengumpulan 5
Sehat
B 30 < TS <= 40   6. Perputaran Persediaan 5
CCC 20 < TS <= 30   7. Perputaran Total Aset 5
Tidak
3 CC 10 < TS <= 10   8. Rasio modal sendiri terhadap aktiva 10
Sehat
C TS <= 10   Total Bobot 70

Ada 8 rasio yang akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu:


A. Rasio Profitabilitas
Profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam
menghasilkan laba tergantung pada penjualan, aset dan modal saham (Anthony, 2011).
1. Pengembalian Ekuitas (ROE)
Rasio merupakan indikator seberapa menguntungkan suatu perusahaan relatif terhadap total
ekuitasnya (Anthony, 2011).

Laba setelah pajak


ROE=
Modal Sendiri

2. Pengembalian Investasi (ROI)


Rasio profitabilitas yang menghitung keuntungan investasi sebagai persentase dari biaya. Rasio ini
untuk mengevaluasi efisiensi suatu investasi. Modal dipekerjakan dapat dihitung sebagai total aset
dikurangi aset tetap.
EBIT + Depresiasi
Return on Investment = x 100 %
Capital Employed
Tabel 2. Daftar skor penilaian ROE dan ROI
Sumber: Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP 100/MBU/2002
Sko
ROE (%) ROI (%) Skor
r  
15 < ROE 20   18 < ROI 15
13 < ROE <= 15 18   15 < ROI <= 18 13.5
11 < ROE <= 13 16   13 < ROI <= 15 12
9 < ROE <= 11 14   12 < ROI <= 13 10.5
7,9 < ROE <= 9 12   10,5 < ROI <= 12 9
6,6 < ROE <= 7,9 10   9 < ROI <= 10,5 7.5
5,3 < ROE <= 6,6 8.5   7 < ROI <= 9 6
4 < ROE <= 5,3 7   5 < ROI <= 7 5
2,5 < ROE <= 4 5.5   3 < ROI <= 5 4
1 < ROE <= 2,5 4   1 < ROI <= 3 3
0 < ROE <= 1 2   0 < ROI <= 1 2
ROE < 0 0   ROI < 0 1

B. Likuiditas
Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya saat ini. Rasio likuiditas
adalah perhitungan yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar
hutang jangka pendeknya (Savitria, 2018).

3. Rasio Uang Tunai


Peterson (2009) menyebutkan rasio uang tunai adalah ukuran kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajiban saat ini (jangka pendek) dengan kas atau setara kas lainnya yang dapat
dengan cepat dikonversi menjadi kas.

Rasio Kas= ( Kas+


Hutang Lancar )
setara kas
x 100 %

4. Rasio Lancar
Tujuan dari rasio lancar adalah untuk memastikan apakah aset jangka pendek perusahaan (kas,
setara kas, surat berharga, piutang dan persediaan) sudah tersedia untuk melunasi kewajiban jangka
pendek (hutang wesel, hutang, biaya yang masih harus dibayar dan pajak).

( Aset Lancar )
Rasio Lancar= x 100 %
(Hutang Lancar )
Tabel 3. Skor Penilaian Rasio Kas dan Rasio Lancar
Sumber: Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP 100/MBU/2002
Rasio Kas = x
Skor Rasio Lancar Skor
(%)  
x > = 35 5   125 <= x 5
Rasio Kas = x
Skor Rasio Lancar Skor
(%)  
25 <= x < 35 4   110 <= x < 125 4
15 <= x < 25 3   100 <= x < 110 3
10 <= x < 15 2   95 <= x < 100 2
5 <= x< 10 1   90 <= x < 95 1
0 <= < 5 0   x < 90 0

C. Aktivitas
Rasio aktivitas mengukur kemampuan bisnis untuk mengubah asetnya menjadi uang tunai.

5. Periode Pengumpulan
Rasio ini menunjukkan jumlah hari yang dibutuhkan perusahaan untuk mengubah piutang menjadi
uang tunai. Panjang periode penagihan menunjukkan efektivitas yang diberikan oleh manajemen
kredit perusahaan dan menagih dari pelanggan (Anthony, 2011).

Periode Penagihan= ( Total Pendapatan Usaha )


Total PiutangUsaha
x 365 hari

6. Perputaran Persediaan
Rasio ini digunakan untuk mengukur bagaimana suatu perusahaan mengelola persediaannya. Rasio
perputaran persediaan yang lebih tinggi menunjukkan manajemen kas yang lebih efektif dan
mengurangi timbulnya inventori lama atau untuk mengukur likuiditas inventori (Weygandt, Keiso
dan Kimmel, 2002).

Persediaan
Perputaran persediaan ( hari )= x 365 hari
Total pendapatan perusahaan

7. Total Perputaran Aset


Rasio total perputaran aset menunjukkan berapa persentase pendapatan yang dihasilkan untuk
setiap dolar yang diinvestasikan dalam aset (Anthony, 2011).
Total Perputaran Aset= ( Pendapatan
Modal yang digunakan
x 100 %)
Tabel 4. Skor Penilaian Periode Pengumpulan, Perputaran Persediaan, dan Total Perputaran Aset
Sumber: Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP 100/MBU/2002

CP = x (hari) Skor   PP = x (hari) Skor   TATO = x (%) Skor


x <= 60 5   x <= 60 5   120 < x <= 150 5
60 < x <= 90 4.5   60 < x <= 90 4.5   105 < x <= 120 4.5
90 < x <= 120 4   90 < x <= 120 4   90 < x <= 105 4
120 < x <= 150 3.5   120 < x <= 150 3.5   75 < x <= 90 3.5
150 < x <= 180 3   150 < x <= 180 3   60 < x <= 75 3
180 < x <= 210 2.4   180 < x <= 210 2.4   40 < x <= 60 2.5
210 < x <= 240 1.8   210 < x <= 240 1.8   20 < x <= 40 2
240 < x <= 270 1.2   240 < x <= 270 1.2   x <= 20 1.5
270 < x <= 300 0.6   270 < x <= 300 0.6      
300 < x 0   300 < x 0      

8. Total Ekuitas terhadap Total Aset


Rasio total assets turnover menunjukkan berapa persentase pendapatan yang dihasilkan untuk
setiap dolar yang diinvestasikan dalam aset (Anthony, 2011).

Total Perputaran Aset = ( Modal yang bekerja )


Total Pendapatan
x 100 %

Tabel 5. Daftar Skor Penilaian Rasio Modal Sendiri Terhadap Total Aset
Sumber: Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. KEP 100/MBU/2002

TMS thd TA (%) = x Skor


x <= 0 0
0 <= x < 10 4
10 <= x < 20 5
20 <= x < 30 6
30 <= x < 40 7.25
40 <= x < 50 10
50 <= x <60 9
60 <= x <70 8.5
70 <= x <80 8
80 <= x <90 7.5
90 <= x <100 7

4.4 Nilai Tambah Ekonomi (NITAMI)


Konsep NITAMI dikembangkan oleh Stern Stewart & Co., sebuah perusahaan konsultan
manajemen keuangan di Amerika Serikat (Biddle et al, 1997). NITAMI dapat digunakan untuk
mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan yang mana kesejahteraan hanya dapat tercipta
manakala perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi dan biaya modal (Iramani Dan
Febrian, 2005).
Berdasarkan Anthony (2011) pendapatan residual pusat investasi atau NITAMI dapat dihitung
sebagai: laba sebelum beban bunga dikurangi beban modal. Biaya modal dapat dihitung dengan
menerapkan biaya modal tertimbang perusahaan (WACC) untuk investasi.
Rumusnya adalah:
NITAMI = NOPAT – (Modal yang diinvestasikan x WACC)
Nilai NITAMI bisa dikelompokkan menjadi tiga kategori, seperti:
● NITAMI> 0 atau NITAMI bertanda positif, dalam posisi ini berarti manajemen perusahaan
telah berhasil menciptakan nilai ekonomis yang ditambahkan untuk perusahaan.
● Nilai NITAMI = 0 Dalam posisi ini artinya manajemen perusahaan sedang dalam keadaan
impas. Perusahaan mengalami kemunduran tetapi pada saat yang sama tidak berkembang
secara ekonomi.
● NITAMI <0 atau NITAMI bernilai negatif, dalam posisi ini berarti tidak ada nilai tambah
ekonomis atau perusahaan tidak dapat memenuhi harapan pemegang saham dan investor.

Tabel 6. Komponen Perhitungan NITAMI

Indikator Rumus
NITAMI NITAMI = NOPAT - Modal Yang diinvestasikan x WACC
NOPAT EBIT – Pajak
Modal yang
Total Ekuitas - Hutang Jangka Panjang
diinvestasikan
WACC rd (1 - Tc) * (D/V) + re * (E/V)
Tingkat suku bunga tanpa risiko + Beta x (tingkat pengembalian pasar
Biaya Ekuitas
saham - tingkat suku bunga tanpa risiko)
Biaya Hutang Tingkat bunga pinjaman + tingkat inflasi
Beta Kovarian (ri,rm)/(Varian (rm))
  Catatan
rd Biaya Hutang
Tc Tingkat pajak
D/V Porsi Hutang
ri Tingkat pengembalian saham perusahaan
rm Tingkat pengembalian saham rata-rata

4. Pembahasan
6.1 Kinerja Keuangan Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN KEP-101/MBU/2002
A. Likuiditas
1. Rasio Kas
Rasio Kas
120.00%
PP
95.97%
100.00%
Adhi
Karya
80.00% 68.51% Wika

60.00% 52.68%
47.97%
41.78% 43.97%
35.76% 37.25% 35.70%
34.07%
40.00%
26.78% 24.59%
21.31%
17.41%
20.00% 11.75%

0.00%
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 1. Rasio Kas PT.PP, PT. Adhi Karya, dan PT.WIKA

Secara umum rasio kas BUMN konstruksi dibawah 1, artinya tidak memiliki persediaan kas yang
cukup untuk melunasi hutang jangka pendeknya. Kondisi kas yang kurang untuk menutupi hutang
jangka pendek akan berdampak pada macetnya pembayaran hutang pada mitra yang bekerjasama
dengan kontraktor seperti subkontraktor dan supplier material, selain itu juga pembayaran pada jasa
konsultan. Terhambatnya pembayaran pada pihak-pihak yang terlibat dalam proses pelaksanaan
konstruksi berdampak pada kondisi keuangan serta pada mutu pekerjaan, terhambatnya
penyelesaian pekerjaan, dan potensi konflik. Dengan kondisi rasio kas diatas, kontraktor dan
rekanan BUMN di Indonesia berpotensi mengalami dampak tersebut.
Oleh karena itu kontraktor perlu memiliki persediaan kas yang cukup untuk membayar kewajiban
jangka pendeknya agar keberlangsungan bisnis dan lingkungan bisnis jasa konstruksi. Namun kas
yang terlalu banyak juga tidak baik pada perusahaan konstruksi, artinya terlalu banyak uang
mengendap dan tidak mengoptimalkan peluang dalam mengembangkan bisnis konstruksinya.
2. Rasio Lancar

Rasio Lancar
2.00
1.82
1.80

1.60 1.49 PP
1.42 1.41
Adh
1.40 1.31 1.31
1.26 i
1.24
1.21 1.23 Kar
1.17 1.20
1.20 1.15 ya
1.10 1.07

1.00

0.80
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 2. Rasio Lancar PT.PP, PT. Adhi Karya, dan PT.WIKA


Rasio lancar dari ketiga BUMN yang ditinjau sepanjang tahun 2015 hingga 2019 berada pada
rentang 1.07 hingga 1.82. Peterson (2009) menyebutkan rasio lancar perusahaan di bawah 1,00
mengindikasikan bahwa perusahaan tidak mengharapkan untuk menerima pendapatan yang cukup
pada tahun berikutnya untuk membayar kewajiban lancarnya. Jika sebuah rasio lancar perusahaan di
bawah 1,50 berarti perusahaan mengalami kekurangan modal dan mungkin mengalami masalah
keuangan selama tahun depan.
Aspek likuiditas seringkali diabaikan pada banyak perusahaan, salah satunya sektor konstruksi,
karena persediaan uang kas dianggap tidak menghasilkan keuntungan. Monika (2012) menemukan
pertumbuhan likuiditas keuangan dapat berpengaruh negatif terhadap profitabilitas perusahaan
konstruksi, jika perusahaan likuid dalam arti statis akan mempengaruhi profitabilitas secara negatif
karena beberapa modal akan dibekukan dalam aset lancar.
Namun, likuiditas menjadi hal yang penting dipertimbangkan oleh pemberi pinjaman, hal ini akan
berpengaruh pada risiko penundaan dan gagal bayar bagi kreditur. Perusahaan-perusahaan yang
memiliki risiko tinggi, biasanya dikenakan bunga yang besar dari krediturnya, bunga yang besar
tentunya menggerus keuntungan yang didapat. Sehingga pada level tertentu bagi perusahaan
konstruksi penting menjaga kondisi likuiditasnya.

B. Profitabilitas
1. ROE

ROE
18.00% 16.60%
16.00% 14.87%

14.00%
12.03%
11.51%
12.00% 10.78% 10.66% PP
10.00% 9.24%
8.60% Adh
7.84%
8.00% 7.13% i
6.57% 6.12%
5.79% Kar
6.00% 4.93% ya
4.00%
1.66%
2.00%
0.00%
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 3. ROE PT.PP, PT. Adhi Karya, dan PT.WIKA


PT. Adhi Karya sempat mengalami ROE yang sangat rendah pada tahun 2016 terjadinya penurunan
laba bersih dikarenakan penurunan perolehan kontrak baru dan ada target penerimaan yang mundur.
Namun tren penurunan ROE juga dialami kedua BUMN lainnya pada tahun 2016, hal ini bukan
karena penurunan keuntungan tetapi karena adanya kenaikan ekuitas yang signifikan pada tahun
2016 pada PT. PP dan PT. WIKA dengan adanya penyertaan modal negara dan publik, karena pada
tahun tersebut BUMN secara umum marketnya adalah proyek pemerintah, di tahun tersebut
pemerintah masih dalam persiapan lelang untuk proyek-proyek yang strategis nasional yang diatur
pada Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional,
terdapat 225 daftar proyek strategis nasional yang akan di garap. Adapun sebagian perolehan
kontrak baru di tahun 2016, progres pekerjaan baru dimulai atau namun memberikan laba pada
tahun selanjutnya
2. ROI

ROI
12.00% 10.99%

10.00%
7.87%
8.00% 7.49%
7.10% PP
6.45% 6.75%
5.95% 5.89% 6.23%
5.83% Adh
6.00%
4.76% i
4.29% 4.09% Kar
4.00% 3.34% ya
2.45%
2.00%

0.00%
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 4. ROI PT.PP, PT. Adhi Karya, dan PT.WIKA


Rata-rata ROI pada perusahaan konstruksi berada pada kisaran 4.63% - 7.7 %. Secara umum terjadi
tren yang cenderung menurun pada ketiga BUMN yang dikaji disebabkan oleh peningkatan EBIT
tidak begitu signifikan, sementara peningkatan modal yang digunakan sangat tinggi. Pada rentang
tahun tersebut terjadi kenaikan aset dari penambahan ekuitas dan hutang, sedangkan kenaikan laba
pada ketiga BUMN tidak signifikan. Pada tahun 2016, PT.PP dan PT. WIKA melakukan
penambahan ekuitas. Penambahan ekuitas pada PT.WIKA karena PMN (penerbitan modal negara)
berasal dari APBN sebesar 4 Triliun & penjualan saham ke publik sebesar Rp2.1 triliun, di tahun
berikutnya menambah kapasitas modal dengan menaikan jumlah hutang, sedangkan PT.PP
mendapat PMN sebesar 2,25 T dan melalui penjualan saham 1.6 T. Hal ini merupakan salah satu
strategi BUMN karya dalam permodalan karena melihat potensi kontrak baru adanya percepatan
pembangunan proyek strategis nasional, meningkatkan permodalan secara bertahap dengan
meningkatkan ekuitas terlebih dahulu, agar lembaga pemberi pinjaman melihat perbandingan
hutang terhadap ekuitas rendah.
C. Aktivitas
1. Perputaran persediaan
Peputaran Persediaan
35.00
30.09 29.30
30.00
26.31
25.00
19.65 PP
18.75 17.76
20.00 17.09 Adh
15.23 14.68 i
15.00 Kar
11.00
ya
10.00 6.88 7.61
6.57 5.87 5.46
5.00

-
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 5. Perputaran persediaan PT.PP, PT. Adhi Karya, dan PT.WIKA


Angka tersebut masih berada pada rentang perputaran persediaan industri konstruksi pada
umumnya. Perusahaan konstruksi memiliki sedikit atau hampir tidak memiliki persediaan karena
kontraktor menggunakan subkontraktor, sehingga subkontraktor yang membutuhkan persediaan.
Penurunan persediaan di kontraktor BUMN konstruksi tak hanya disebabkan oleh kharakter bisnis
konstruksi yang sedikit stok persediaan karena material yang terpasang diklaim sebagai progres
pekerjaan dan juga karakteristik industri konstruksi menggunakan subkontraktor dalam proses
bisnisnya, penurunan persediaan juga disebabkan oleh adanya tren penggunaan pra-fabrikasi di
industri konstruksi. Sehingga sebagian proses pekerjaan dialihkan menjadi manufaktur seperti pada
beton pracetak.

2. Periode Pengumpulan
Periode Pengumpulan
500.00
451.39
450.00

400.00
353.25 PP
350.00 335.23
321.61 Adh
304.81
282.87 i
300.00 268.33 Kar
257.60 260.95
241.54 ya
250.00 229.85 231.30
213.65
202.20
190.68
200.00

150.00
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 6. Periode pengumpulan PT.PP, PT. Adhi Karya, dan PT.WIKA


Peterson (2009), periode penagihan hutang pada perusahaan konstruksi berkisar 30 – 45 hari.
Namun angka ideal ini memungkinkan dicapai apabila pembayaran pekerjaan kontraktor
berdasarkan progress payment dan monthly payment.
Tren dari periode pengumpulan dari ketiga BUMN tersebut terus meningkat. Terjadi peningkatan
piutang dari tahun ke tahun secara signifikan walaupun pendapatannya meningkat dari tahun ke
tahun. Komposisi terbesar dari piutang berasal dari tagihan bruto pemberi kerja, sedangkan retensi
hanya menempati sedikit dari total piutang.
Peningkatan nilai piutang merupakan kondisi yang tidak baik untuk perusahaan. Piutang yang
terlalu banyak membuat macet pemodalan. Modal yang digunakan lagi untuk mendapatkan
pendapatan atau mengembangkan bisnis menjadi stagnan, sehingga pengembangan bisnis
dilakukan dengan terus meningkatkan hutang dan menjual saham padahal ada modal yang tertahan
di tempat lain.
Mekanisme pembayaran yang disepakati pada kontrak dengan pengguna jasa mempengaruhi
piutang pada kontraktor. Misalnya pada kontrak turnkey lebih berisiko pada keuangan perusahaan
yang tidak kuat secara finansial, biaya modal yang harus dikeluarkan kontraktor turnkey lebih besar
jika dibandingkan progress payment, ada sebuah risiko finansial yang harus dipertimbangkan oleh
kontraktor pada kontrak turnkey.

Proyek dengan skema turnkey menjadi menjadi salah satu strategi pemasaran bagi BUMN dalam
mendapatkan kontrak baru, salah satunya PT.WIKA, pada annual report tahun 2016 salah satu
strategi pemasaran PT.WIKA adalah menjadi Inisiator untuk proyek-proyek skala besar (diatas 500
M) dengan mengutamakan Sinergi BUMN baik Investasi dan Turnkey Project.
Strategi pemasaran tersebut menjawab kebutuhan pemerintah sebagai market besar proyek dari
BUMN, seperti yang diutarakan Pribadi dan Chan (2022), “pemerintah telah mengambil langkah
untuk debottleneck investasi infrastruktur dan kegiatan konstruksi dengan membentuk gugus tugas
multi-lembaga dan melibatkan peran BUMN konstruksi dalam pembangunan nasional. Kontraktor
BUMN diminta untuk tidak hanya melaksanakan proyek infrastruktur strategis dan prioritas
nasional tetapi untuk bersama-sama berinvestasi dan menyediakan pembiayaan”.
Lebih lanjut undang-undang No.19 tahun 2003 Bab V menjelaskan tentang kewajiban pelayanan
umum BUMN. Kewajiban ini berupa penugasan khusus dari pemerintah dalam rangka
melaksanakan kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan. Hal ini
menjadi salah satu faktor keunggulan BUMN yaitu mendapatkan proyek tanpa perlu bersaing
dengan badan usaha jasa konstruksi lain sehingga kelangsungan hidup perusahaan cukup terjamin
dengan adanya penugasan tersebut.
3. Perputaran Aset Total

Perputaran Aset Total


95.00
86.02
85.00
75.40
75.00
68.11 PP
64.67 65.41
Adh
65.00 59.36 60.62
58.70 57.75 58.64 i
54.57 Kar
55.00 ya
47.12
44.41
45.00 40.64 41.90

35.00
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 7. Perputaran Aset Total PT.PP, PT. Adhi Karya, dan PT.WIKA
D. Solvabilitas
1. Total Ekuitas Terhadap Total Aset

Equity
44.63
to total Asset
45.00

40.00 38.08

34.18
33.69 34.11
35.00 32.09 PP
30.39 29.82
29.15 Adh
30.00 27.75 i
Kar
23.84
23.28 ya
25.00 22.73
21.10
19.93
20.00

15.00
2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 8. Total Ekuitas Terhadao TotalAset PT.PP, PT. Adhi Karya, dan PT.WIKA
Angka rasio ekuitas terhadap total aset masih berada pada rentang yang wajar untuk industri
konstruksi yaitu dengan batas 8 – 60%. Sedangkan berdasarkan Kepmen BUMN
(Kep/100MBU/2002) yang memberikan skor optimal dengan batas 30% – 40%.
Berikut adalah rekapitulasi hasil penilaian kesehatan keuangan dari ketiga BUMN yang ditinjau:
Tabel 7. Kinerja Keuangan PT. PP

2015 2016 2017 2018 2019


Indikator
Rasio Skor Rasio Skor Rasio Skor Rasio Skor Rasio Skor
ROE 14.87 18 8.60 12 10.78 14 10.66 14 5.79 8.5
ROI 7.66 6 5.95 5 5.89 5 4.76 4 4.09 4
Rasio Kas 28.87 4 68.51 5 41.78 5 35.76 5 37.25 5
Tasio Lancar 125.91 5 149.06 5 123.70 4 122.68 4 120.28 4
Perputaran
30.09 5 26.31 5 15.23 5 14.68 5 17.09 5
Persediaan
Periode
190.68 2.4 202.20 2.4 231.30 1.8 268.33 1.2 260.95 1.2
Pengumpulan
Perputaran Total
86.02 3.5 64.67 3 68.11 3 65.41 3 58.64 2.5
Aset
Ekuitas Terhadap
23.28 7.25 38.08 10 34.18 10 30.39 10 29.82 7.25
Total Aset
Total Skor 51.15 47.4 47.8 46.2 37.45
Total Bobot 73.07 67.71 68.28 66 53.5
Indeks A A A A BBB
Kategori
Sehat Sehat Sehat Sehat Kurang Sehat
Kesehatan

Tabel 8. Kinerja Keuangan PT. Adhi Karya

2015 2016 2017 2018 2019


Indikator
Rasio Skor Rasio Skor Rasio Skor Rasio Skor Rasio Skor
ROE 6.57 8.50 1.66 4.00 7.13 10.00 12.03 16.00 6.12 8.50
ROI 6.45 5.00 4.29 4.00 5.83 5.00 7.87 6.00 3.34 4.00
Rasio Kas 47.97 5.00 26.78 4.00 24.59 3.00 17.41 3.00 11.75 2.00
Tasio Lancar 141.95 5.00 116.97 4.00 130.86 5.00 115.01 4.00 106.95 3.00
Perputaran
6.57 5.00 18.75 5.00 29.30 5.00 5.87 5.00 5.46 5.00
Persediaan
Periode
229.85 1.80 304.81 0.00 353.25 0.00 335.23 0.00 451.39 0.00
Pengumpulan
Perputaran Total
59.36 2.50 60.62 3.00 58.70 2.50 57.75 2.50 44.41 2.50
Aset
Ekuitas Terhadap
32.09 10.00 27.75 7.25 21.10 7.25 22.73 7.25 19.93 6.00
Total Aset
Total Skor   42.80   31.25   37.75   43.75   31.00
Total Bobot   61.14   44.64   53.93   62.50   44.29
Indeks   BBB   BB   BBB   BBB   BB
Kategori Kesehatan Kurang Sehat Kurang Sehat Kurang Sehat Kurang Sehat Kurang Sehat
Tabel 9. Kinerja Keuangan PT. WIKA

2015 2016 2017 2018 2019


Indikator
Rasio Skor Rasio Skor Rasio Skor Rasio Skor Rasio Skor
ROE 16.60 20.00 4.93 7.00 9.24 14.00 7.84 10.00 11.51 16.00
ROI 10.99 9.00 7.49 6.00 7.10 6.00 6.75 5.00 6.23 5.00
Rasio Kas 21.31 3.00 95.97 5.00 43.97 5.00 52.68 5.00 34.07 4.00
Tasio Lancar 109.77 3.00 182.12 5.00 121.17 4.00 141.31 5.00 131.22 5.00
Perputaran
6.88 5.00 11.00 5.00 7.61 5.00 17.76 5.00 19.65 5.00
Persediaan
Periode
213.65 1.80 257.60 1.20 241.54 1.20 282.87 0.60 321.61 0.00
Pengumpulan
Perputaran Total
75.40 3.50 40.64 2.50 54.57 2.50 47.12 2.50 41.90 2.50
Aset
Ekuitas Terhadap
23.84 7.25 44.63 9.00 33.69 10.00 29.15 7.25 34.11 10.00
Total Aset
Total Skor   52.55   40.70   47.70   40.35   47.50
Total Bobot   75.07   58.14   68.14   57.64   67.86
Indeks   A   BBB   A   BBB   A
Kategori Kesehatan Sehat Kurang Sehat Sehat Kurang Sehat Sehat

6.2 Kinerja Keuangan Berdasarkan NITAMI

NITAMI
500,000,000,000.00
400,000,000,000.00
300,000,000,000.00
200,000,000,000.00
100,000,000,000.00
-
2015 2016 2017 2018 2019
(100,000,000,000.00)
(200,000,000,000.00)
(300,000,000,000.00)
(400,000,000,000.00)
(500,000,000,000.00)

Gambar 9. NITAMI PT.PP. PT. WIKA, PT. Adhi Karya


Pada NITAMI untuk mengukur kinerja keuangan mempunyai ketentuan yaitu apabila NITAMI > 0
artinya kinerja keuangan perusahaan dalam keadaan baik atau bernilai positif, dan apabila NITAMI
< 0 artinya kinerja keuangan perusahaan dalam keadaan kurang baik atau bernilai negatif
sedangkan NITAMI = 0 artinya kinerja keuangan perusahaan dalam keadaan impas berarti kinerja
keuangan tidak mengalami kemajuan maupun kemunduran kinerja.
PT.PP memiliki NITAMI negatif pada tahun 2016 hingga 2019, sedangkan PT.Adhi Karya
mengalami NITAMI negatif pada tahun 2016, dan PT.WIKA mengalami NITAMI negatif pada
tahun 2016-2017, namun membaik pada tahun 2018 dan 2019. Dari pengolahan data tersebut
didapat bahwa, NITAMI negatif yang terjadi pada tahun 2016 hingga 2017 dan berangsur baik
setelahnya disebabkan oleh terjadinya peningkatan permodalan dengan menambah jumlah ekuitas
serta meningkatkan hutang jangka panjang. Selain itu NITAMI juga dipengaruhi oleh pajak dan
komposisi hutang, hutang jangka panjang cenderung meningkatkan modal yang diinvestasikan yang
mana dalam perhitungan NITAMI akan meningkatkan biaya modal. Berikut adalah rincian
perhitungan NITAMI pada penelitian ini:
Tabel 10. NITAMI PT.PP

NITAMI PT.PP

2015 2016 2017 2018 2019

Pajak 337,316,227,272 407,031,026,509 534,577,445,141 649,678,443,282 599,659,242,648

Bunga 287,448,979,192 301,783,184,965 440,107,896,563 485,825,306,960 448,430,984,350

NOPAT 717,726,554,992 860,468,427,762 985,888,161,963 886,294,461,836 802,673,545,810

Ekuitas 3,403,099,833,328 8,444,656,024,711 9,250,242,737,161 10,204,696,750,788 10,573,743,312,693


Hutang
Jangka 2,254,931,382,281 1,802,105,420,911 1,833,875,658,410 3,357,481,917,102 4,079,815,243,379
Panjang
Modal
10,246,761,445,62
yang 5,658,031,215,609 11,084,118,395,571 13,562,178,667,890 14,653,558,556,072
2
digunakan
WACC 7.10% 9.75% 12.93% 7.23% 6.53%

NITAMI 315,996,269,098 (138,254,859,030) (446,938,831,749) (94,824,643,897) (153,514,345,364)

Tabel 11. WACC PT.PP


WACC PT. PP

  2015 2016 2017 2018 2019


11.37
Biaya Hutang 8.67% 15.56% 8.35% 6.29%
%
Biaya Ekuitas 1.92% 7.11% 7.85% 4.68% 7.08%
61.92 69.61
Porsi Hutang 76.72% 65.82% 70.18%
% %
38.08 30.39
Porsi Ekuitas 23.28% 34.18% 29.82%
% %
Tingkat suku bunga bebas risiko 7.52% 6.00% 4.56% 5.10% 5.63%

Tingkat pengembalian saham -0.98% 1.23% 1.59% -1.29% 2.29%

Beta Stock 0.51 1.32 0.94 1.76 1.96

WACC 7.10% 9.75% 12.93% 7.23% 6.53%

Tabel 12. NITAMI PT. Adhi Karya


NITAMI PT. Adhi Karya

  2015 2016 2017 2018 2019

Pajak 218,058,809,546 230,352,337,807 355,763,950,000 411,730,923,804 374,528,128,234


NITAMI PT. Adhi Karya

  2015 2016 2017 2018 2019

Bunga 119,304,243,274 198,094,862,779 375,090,710,113 485,825,306,960 293,622,921,418

NOPAT 480,544,737,847 273,588,645,210 725,550,693,572 1,002,003,378,340 475,505,189,241

Ekuitas 4,498,787,489,304 4,553,660,608,583 4,914,508,360,115 5,319,877,783,457 5,530,199,318,463


Hutang Jangka
2,254,931,382,281 1,802,105,420,911 1,833,875,658,410 3,725,080,367,348 4,245,299,688,304
Panjang
Modal yang
6,753,718,871,585 6,355,766,029,494 6,748,384,018,525 9,044,958,150,805 9,775,499,006,767
digunakan
WACC 2.38% 3.34% 11.71% 6.72% 3.59%

NITAMI 319,826,397,678 61,525,147,033 (64,856,681,111) 394,408,442,814 124,460,287,337

Tabel 13. WACC PT.Adhi Karya


WACC PT. Adhi Karya

2015 2016 2017 2018 2019

Biaya Hutang 3.64% 5.97% 13.72% 9.24% 3.87%

Biaya Ekuitas 0.38% 7.48% 7.88% 4.78% 6.69%


72.25 77.27
Porsi Hutang 67.91% 78.90% 80.07%
% %
27.75 22.73
Porsi Ekuitas 32.09% 21.10% 19.93%
% %
Tingkat suku bunga bebas risiko 7.52% 6.00% 4.56% 5.10% 5.63%

Tingkat pengembalian saham 1.30% 7.50% -5.68% -5.91% -4.21%

Beta Stock 0.63 1.82 1.42 1.59 1.80

WACC 2.59% 6.39% 12.49% 8.23% 4.43%

Tabel 14. NITAMI PT. WIKA


NITAMI PT. WIKA

2015 2016 2017 2018 2019

Pajak 221,202,764,000 220,359,860,000 458,418,623,000 506,179,107,000 444,830,364,000

Bunga 309,305,330,000 332,383,911,000 461,289,278,000 787,174,598,000 471,346,195,000

NOPAT 646,867,184,000 730,115,532,000 1,045,127,413,000 1,469,381,916,000 1,419,186,884,000

Ekuitas 2,663,362,103,000 9,087,581,756,000 10,549,564,800,000 11,928,084,446,000 12,929,487,865,000


Hutang
Jangka 1,193,184,348,000 2,854,404,620,000 2,821,248,534,000 9,993,590,251,000 8,285,374,900,000
Panjang
Modal yang
3,856,546,451,000 11,941,986,376,000 13,370,813,334,000 21,921,674,697,000 21,214,862,765,000
digunakan
WACC 14.97% 8.41% 10.01% 5.63% 5.23%

NITAMI 69,721,627,890 (274,157,384,347) (292,927,054,854) 234,376,241,357 309,270,204,986

Tabel 15. WACC PT.WIKA


WACC PT. WIKA

  2015 2016 2017 2018 2019

Biaya Hutang 19.32% 8.94% 11.37% 5.86% 4.33%

Biaya Ekuitas 1.07% 7.38% 7.33% 5.09% 6.97%


65.89 70.85
Porsi Hutang 76.16% 66.31% 65.89%
% %
34.11 29.15
Porsi Ekuitas 23.84% 33.69% 34.11%
% %
Tingkat suku bunga bebas risiko 7.52% 6.00% 4.56% 5.10% 5.63%

Tingkat pengembalian saham -0.75% -0.50% -3.22% 3.08% -1.04%

Beta Stock 1.16 1.36 1.04 1.59 1.80

WACC 14.97% 8.41% 10.01% 5.63% 5.23%

6.3 Perbandingan Kinerja Keuangan Berdasarkan KEPMEN BUMN (KEP-100/MBU/2002)


dan NITAMI
Pada penilaian kesehatan keuangan menggunakan kepmen BUMN tahun 2002, PT. Adhi Karya
mengalami kondisi kurang sehat sepanjang tahun 2015 - 2019. Namun ketika menggunakan
metode nilai tambah ekonomi, PT. Adhi Karya berkinerja lebih baik diantara ketiga BUMN. Hal
ini dikarenakan tingkat biaya modal yang kecil dibanding kedua BUMN lainnya serta pencatatan
keuangan secara akrual juga mempengaruhi hasil penilaian kinerja tersebut.
Pendapatan atas jasa konstruksi diakui berdasarkan persentase penyelesaian pekerjaan. Persentase
penyelesaian konstruksi ditetapkan berdasarkan kemajuan fisik proyek yang dituangkan dalam
Laporan Prestasi Proyek (LPP) yang ditandatangani kedua belah pihak. Pendapatan usaha
konstruksi yang telah diterbitkan fakturnya diakui sebagai piutang usaha, sedangkan yang belum
diterbitkan fakturnya diakui sebagai tagihan bruto pemberi kerja. Pencatatan pendapatan secara
akrual pada NITAMI menilai pendapatan sudah diterima tanpa peduli dalam bentuk kas atau
piutang. Sedangkan penilaian menggunakan peraturan kepmen BUMN menilai kinerja keuangan
dari segi periode penagihan piutang, dan juga rasio kas yang dimiliki untuk membayar hutang
jangka pendek. Dari sisi indikator likuiditas, PT.PP berusaha mempertahankan kinerja keuangan
perusahaan dengan mempertahankan rasio kas nya setiap tahun.
Menurut Krismiaji dkk (2019), laba akrual berpengaruh positif terhadap NITAMI sedangkan
manajemen laba riil berpengaruh negatif terhadap NITAMI. Pada hasil pengolahan data ini bisa
dilihat pada hasil penilaian periode pengumpulan dan rasio kas pada penilaian menggunakan
kepmen BUMN MBU 100 tahun 2002. PT.Adhi Karya memiliki periode pengumpulan dan rasio
kas yang paling rendah hasil penilaiannya.
6.4 Masalah Dan Saran Tindak Lanjut
1. Rendahnya Rasio kas, Rasio lancar, Tingginya Periode pengumpulan
BUMN konstruksi perlu memperhatikan ketersediaan kas minimal dapat kewajiban-kewajiban
jangka pendek. Namun ada kontraktor yang sudah terlanjur kas dan aset lancarnya menipis.
Hasil studi Septian R (2017), analisis pada BUJK dengan kinerja terbaik mempertahankan nilai
rasio lancar lebih besar dari hutang jangka pendeknya, dengan rata rata aset lancar 1.5 kali hutang
jangka pendeknya selama periode 2012 – 2016 dengan melakukan langkah sebagai berikut :
● Perusahaan mencari alternatif sumber pembiayaan dengan bunga kompetitif
● Perusahaan menggunakan fasilitas pembiayaan mitra kerja. (BUMN : Kredit Rekening Koran,
Jaminan Bank, SKBDN/LC, Supply Chain Financing.
● Penerbitan Obligasi dan Surat berharga Lain.

Gambar 10. Skema Supply Chain Financing (SCF)


(Sumber: Septian, R. (2017))

SCF adalah salah satu sistem pembayaran mitra yang ditawarkan oleh bank. Skema ini merupakan
salah satu prioritas keuangan yang dilakukan BUJK (BUMN) untuk menjaga likuiditas. Pihak yang
terlibat: kontraktor, sub-kontraktor dan bank. Mekanismenya jika subkontraktor telah
melaksanakan kewajiban yang tercantum dalam kontrak kerja, maka subkontraktor akan menagih
kontraktor. Kontraktor memeriksa pekerjaan yang dilakukan oleh subkontraktor. Jika disetujui,
Kontraktor akan menginstruksikan subkontraktor untuk melakukan pembayaran kepada Bank.
Bank akan membayar dalam waktu 1-3 hari setelah menerima pesanan pembayaran dari kontraktor.
Kontraktor kemudian harus membayar fasilitas ini dalam waktu 6 bulan hari kalender kepada
Bank.
Selain itu bisa memanfaatkan jumlah piutang diubah menjadi kas dengan skema anjak piutang.
Hasil simulasi Chen. J-H dkk (2012) menunjukkan bahwa biaya anjak piutang kontraktor untuk
proyek konstruksi hanya 0,8% dari total biaya proyek yang diperiksa yang relatif lebih rendah
daripada pembiayaan tradisional umumnya. Selain itu, penerapan anjak piutang memiliki kelebihan
dalam mempermudah keuangan manajemen, meningkatkan arus kas, peningkatan efisiensi
investasi, menghindari prosedur pinjaman tambahan, meningkatkan peringkat kredit, dan transfer
risiko keuangan.
Skema anjak piutang belum lazim dilakukan perusahaan konstruksi, namun PT.Waskita Karya
telah melakukannya pada tahun 2018 pada proyek turnkey (sumber: bareksa.com). Adapun tindak
lanjut dari PT. PP yaitu memproyeksikan tidak akan memiliki proyek dengan skema turnkey
sepanjang 2018, sedangkan PT. WIKA menargetkan 10% turnkey dari kontrak barunya
(bareksa.com). Mengurangi mengambil proyek dengan skema turnkey merupakan salah satu
langkah yang dapat diambil kontraktor untuk menjaga kondisi likuiditas.
2. Rendahnya profitabilitas, dan NITAMI negatif
PT.PP mengalami penurunan kinerja dari sisi profitabilitas (ROE dan ROI turun) akibat dari
mengurangi terlibat pada proyek dengan skema turnkey di tahun 2019. Empat tahun sebelumnya
perusahaan inimampu mempertahankan kondisi kesehatan finansial di level A turun menjadi BBB.
Porsi profitabilitas sangat signifikan berpengaruh dalam total skor penilaian kesehatan keuangan
BUMN. Ini menjadi dilema tersendiri bagi BUMN karya terkait kondisi dimana mengimbangi
aspek likuiditas dibandingkan dengan aspek profitabilitas yang mana profitabilitas sangat
ditentukan oleh bagaimana ia mendapat laba bersih.
Untuk menjaga profitabilitas, perusahaan perlu mempertimbangkan tingkat risiko keuangan
terhadap proyek yang diambil dan juga meningkatkan profitabilitas melalui produktivitas.
Profitabilitas sangat terkait dengan bagaimana perusahaan mengoptimalkan produktivitas yang ada
di level proyek maupun level perusahaan. Pada level proyek kontraktor meningkatkan laba
perusahaan dengan mengoptimalkan proses konstruksi yaitu memangkas potensi-potensi
penurunan laba akibat pekerjaan-pekerjaan yang tidak memiliki nilai tambah contohnya dengan
penerapan adanya Lean Construction. Lean Construction merupakan penerapan prinsip-prinsip
lean yang sudah ada di industri manufaktur kepada industri konstruksi dengan tujuan untuk
meningkatkan value dan mengurangi waste (Abduh, 2007). Hasil temuan Paz, A., and Oscar, V.,
(2016), penerapan Last Planner System sebagai salah satu tools pada Lean Construction
menunjukkan manfaat ganda, seperti pengurangan waktu konstruksi, peningkatan keuntungan,
peningkatan keselamatan, dan peningkatan kualitas proyek. Selain itu, peningkatan efisiensi dan
akurasi pekerjaan di konstruksi dapat dilakukan penerapan teknologi contohnya seperti
penggunaan Building Information Management (BIM).
Sedangkan pada level perusahaan, kontraktor dapat meningkatkan efisiensi dari pengelolaan
manajemen di kantor pusat seperti penerapan Total Quality Management (TQM). Shahin (2011)
menemukan pada tingkat kepercayaan 95% bahwa TQM dapat memiliki pengaruh yang kuat dan
positif terhadap kinerja keuangan dan status organisasi. Total quality adalah upaya terpadu yang
dirancang untuk meningkatkan kinerja kualitas di setiap tingkat organisasi, TQM merupakan
pendekatan bisnis yang melihat secara kritis tidak hanya pada produk dan layanan yang disediakan,
tetapi juga pada tenaga kerja, untuk memastikan bahwa output sepenuhnya memenuhi kebutuhan
pelanggan (Charantimath, 2017).
Selain itu, peningkatan rasio profitabilitas dapat ditingkatkan dengan mengurangi biaya modal
yang mana di dalamnya terdapat bunga hutang. Sebaiknya BUMN mengurangi mekanisme
peningkatan modal dengan terus menerus melibatkan hutang. PT.PP mengurangi secara drastis
mengambil proyek dengan kontrak turnkey pada tahun 2018 ini merupakan suatu langkah
mengurangi beban hutang yang akan bertambah di kemudian hari.
Penyertaan modal negara sudah diupayakan pemerintah namun peningkatan liabilitas terus terjadi,
sehingga akan merugikan pemerintah selaku pemilik modal juga atas kesulitan keuangan yang
dihadapi BUMN, tak hanya disitu pertumbuhan industri konstruksi di Indonesia berpotensi
terhambat oleh sulitnya menghasilkan laba bersih karena harus membayar bunga hutang besar.
Meski fiskal pemerintah membaik dengan pengurangan subsidi, pemerintah tetap melibatkan
BUMN dalam pembangunan infrastruktur dengan menugaskan sejumlah proyek mendesak yang
dianggap strategis nasional kepada perusahaan milik negara tersebut (Pribadi dan Chan, 2022).
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendorong kontraktor tidak hanya
menjadi penyedia jasa konstruksi namun juga sebagai investor proyek infrastruktur. Bank
Indonesia (2019) melaporkan bahwa BUMN terlibat dalam 49 proyek strategis nasional atau 28%
dari total. Kontribusi BUMN dalam pembiayaan proyek strategis nasional juga cukup signifikan
yaitu sebesar 31,4% dari total belanja yang diharapkan sebesar US 307,4 miliar (Pribadi dan Chan,
2022).
Perusahaan yang dikendalikan negara telah lama memainkan peran penting dalam industri
konstruksi Indonesia. Pemerintah menyerahkan tanggung jawab pembiayaan dan pembangunan
proyek infrastruktur strategis kepada BUMN karena kebutuhan pembiayaan untuk proyek-proyek
tersebut jauh melebihi kemampuan APBN. Pada 2015 dan 2016, pemerintah menyuntikkan ekuitas
sekitar Rp 95 triliun baik untuk memperkuat kapasitas keuangan BUMN maupun untuk digunakan
sebagai modal kerja proyek infrastruktur. BUMN ini diharapkan untuk mendanai proyek-proyek
dari pinjaman komersial dan obligasi sedemikian rupa sehingga muncul kekhawatiran mengenai
tingkat eksposur risiko yang tinggi (investor Daily, 2019 dalam Pribadi dan Chan 2022).
Pergeseran dari model bisnis kontraktor umum ke model bisnis builder-owner-operator telah
mengakibatkan BUMN-BUMN ini mengambil sejumlah besar utang untuk investasi dan modal
kerja. Dengan banyak proyek turnkey, kontraktor hanya akan menerima pembayaran setelah selesai
menahan sejumlah modal.
Namun pendanaan dengan skema ini memberikan dampak leverage keuangan yang agresif, risiko
terkait bisnis baru, dan ancaman depresiasi rupiah serta lonjakan biaya konstruksi yang terkait,
telah memberikan tekanan baru dan ekstrim pada BUMN Indonesia. Selain itu, fakta bahwa banyak
bank milik pemerintah adalah pemberi pinjaman utama di Indonesia tidak melindungi pemerintah
dari risiko keuangan ini jika proyek yang didanai gagal utang (Kim, 2016 dalam Pribadi dan Chan,
2022).
Selain pendanaan pembangunan infrastruktur dengan melibatkan BUMN Karya ada beberapa
sumber pendanaan yang diterapkan di Indonesia, Pribadi dan Chan (2022) menyebutkan antara
lain:
1. Pendanaan bersumber dari APBD dan APBN
2. Publik Non-Budget Investment Financing (PINA)
3. Private Participation in Infrastructure Finance
4. Reksadana penyertaan terbatas
5. Infrastructure Investment Fund
Sebaiknya pemerintah mengoptimalkan skema pendanaan lain untuk pembangunan infrastruktur
selain melibatkan BUMN karya dalam pendanaan untuk meringankan beban keuangan dari BUMN
karya terlebih setelah pandemic covid di tahun 2020 banyak BUMN karya yang melakukan
divestasi aset, serta kondisi keuangan BUMN karya semakin berat pada awal terkena dampak
Covid 19.
Saat ini pemerintah sedang gencarnya menerbitkan surat utang negara yang mana termasuk dalam
kategori skema Private Participation in Infrastructure Finance, kondisi ini juga didukung saat
kondisi suku bunga sedang rendah. Obligasi yang diterbitkan pemerintah jauh lebih rendah
bunganya dibanding dengan obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan. Pendanaan melibatkan
sektor private dapat mengurangi kebutuhan pendanaan yang selama ini terlalu dibebankan pada
BUMN.
5. Daftar Pustaka

Abduh, Muhamad. 2007. Konstruksi Ramping: Memaksimalkan Value dan Meminimalkan Waste,
Institut Teknologi Bandung
Anthony, R.N., David F. Hawkins, Kenneth A. Merchant. (2011). 13th Edition. Accounting: Text
and Cases, Singapore: McGraw-Hill.
Arditi, D. Koksal, A. dan Kale, S. (2000): Business failures in the construction industry,
Engineering, Construction and Architectural Management Illinois Institute of Technology,
7(2), 120-132.
Biddle dkk. (1997). Corporate Ownership & Control / Volume 12, Issue 2, p. 8-18, Winter 2015.
Brigham Eugene F. Houston Joel F, 2001, “Manajemen Keuangan”, Edisi 8 Jakarta : Erlangga.
Charantimath, P.M (017), Total Quality Management, Karnataka Law Society’s Institure of
Management Education and Research, Belgaum
Chen, J-H dan Wei-Hsiang Chen .(2012). Contractor Costs of Factoring Account Receivables for a
Construction Project. Institute of Construction Engineering and Management , National Central
University.
Data Ari, Taher Alhabsji, Sri Mangesti Rahayu. (2017). Effect of Growth, Liquidity, Business Risk
and Asset Usage Activity, Toward Capital Structure, Financial Performance and Corporate
Value (Study at Manufacturing Companies Listed inIndonesia Stock Exchange in 2010-2015),
European Journal of Business and Management www.iiste.org ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN
2222-2839 (Online) Vol.9, No.24, 2017.
Fahmi, I. (2012). Analisis Kinerja Keuangan (Panduan Bagi Akademisi, Manajer dan Investor
untuk Menilai dan Menganalisis Bisnis dari Aspek Keuangan. Bandung: Alfabeta
Halpin, D.W. dan Senior, B.A. (2009). Finansial Management and Accounting Fundamentals for
Construction, John Wiley and Sons Inc. New York
Harahap, Sofyan Shafi .(2002). Critical Analysis of the Financial Statement , the publisher of PT.
Radja Grafindo Persada, Jakarta
Iramani, Rr. dan Febrian, E. (2005). Financial Value Added: Suatu Paradigma dalam Pengukuran
Kinerja dan Nilai Tambah Perusahaan, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 7, No. 1. 1-10.
Keputusan Menteri. (2002). Kepmen BUMN No. KEP-100/MBU/2002. Indonesia: Kementrian
BUMN.
Kissi. E, V. K. Acheamfour, J. J. Gyimah, dan T. Adjei-Kumi. (2022). Barriers to the Use of
Factoring Accounts Receivables: The Ghanaian Contractor’s Perception. International Journal
of Economics and Management Engineering
Krismiaji, Maria Puwantini dan Adi Prabhata. (2019). Corporate Governance, Earnings
Management, and Economic Value Added - Indonesian Evidence. ICEMA. International
Conference on Economics, Management, and Accounting Volume 2019
Merna, A., & Smith, N. J. (1999). Privately Financed Infrastructure for the 21st Century.
Proceedings of the Institution of Civil Engineers, 132, 166-173.
Monika, Bolek dan Wili'nski, Wojciech. 2012. The influence of liquidity on profitability of Polish
construction sector companies. University of Information Technology and Management,
Rzeszów.
Nguyen, Vu Thuy Linh, 2013, Discounted cash-flow and economic value-added methods in
corporate valuation. Lahti University of Applied Sciences, Spring 2013.
Peterson, Steven J. 2009. Construction Accounting and Financial Management. Ohio: Pearson
Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey 07458.
Prabowo, R.A .2020. Analisis Kinerja Keuangan Terhadap Financial Distress Prediction (Altman
Z-Score) Pada Badan Usaha Jasa Konstruksi. Institut Teknologi Bandung.
Pribadi, K.S dan Chan, T.K (2022), Construction Indonesian Looking Back and Moving Forward,
Routledge, New York.
Paz, A., and Oscar, V. (2016): Last Planner System: Implementation, Evaluation and Comparison
of Results in the Construction of a Social Housing Project in Chile, 24th Annual Conference of
the International Group for LeanConstruction
PT Adhi Karya (Persero) Tbk, (2019), Laporan Tahunan
PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk, (2019), Laporan Tahunan
PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, (2019), Laporan Tahunan
Shahin, Arash. (2011). An Investigation on the Influence of Total Quality Management on
Financial Performance the Case of Boutan Industrial Corporation, Department of
Management University of Isfahan, Isfahan, Iran
Salmi, Timo and Ilka Virtanen. (2001). Economic Value Added: A Simulation Analysis of The
Trendy, Owner Oriented Management Tool. Acta Wasaensia No.20, Wasaensis University.
Septian, Ridho. (2018). Studi Praktek Penglelolaan Keuangan Pada Badan Usaha Jasa Konstruksi
Berkinerja Keuangan Terbaik. Institut Teknologi Bandung.
Savitria, Riyazsa. 2018. Analysis Of Financial Performance And Economic Value Added In Coal
Mining Companies In Indonesia (Case Study: PT Bukit Asam Tbk Compared to PT Adaro
Energy Tbk from 2013 to 2017). Bandung: Master Of Business Administration Program School
Of Business And Management Institut Teknologi Bandung.
Zhang, X. 2005. Concessionaire’s Financial Capability in Developing Build-Operate-Transfer
Type Infrastructure Projects. Journal of Construction Engineering and Management, 131(10),
1054–1064. doi:10.1061/(asce)0733-9364(2005)131:10(1054)
Investopedia, Beta, www.Investopedia.com. [Diakses pada 3 Oktober, 2021. At 09.35 AM.]
Investopedia, Liquiditas, www.Investopedia.com. [Diakses pada 3 Oktober, 2021. At 09.35 AM.]
Investopedia, Return on Investment – ROI, www.Investopedia.com. [Diakses pada 3 Oktober,
2021. At 09.35 AM.]
https://economy.okezone.com/read/2019/03/22/278/2033562/terapkan-teknologi-dan-inovasi-laba-
bersih-wika-capai-rp2-07-triliun
https://www.readyratios.com/sec/industry/C/?measure=average diakses 3 September 2022
https://www.investopedia.com/
https://mjurnal.com/skripsi/capital-asset-pricing-model-teori-dan-konsep/
https://www.investing.com/indices/idx-composite-historical-data
https://wartaekonomi.co.id/read108954/penerimaan-kontrak-turun-laba-adhi-karya-tertekan
https://www.bareksa.com/berita/berita-ekonomi-terkini/2018-01-15/atur-cashflow-sehat-bumn-
karya-kurangi-porsi-proyek-skema-turnkey
https://binakonstruksi.pu.go.id/informasi-terkini/sekretariat-direktorat-jenderal/pemerintah-ajak-
kontraktor-untuk-ambil-peran-investor/

Anda mungkin juga menyukai