Anda di halaman 1dari 18

1

ANALISIS PAJAK PENGHASILAN JOINT OPERATION JASA


KONSULTANSI PADA BIDANG KONSTRUKSI
(STUDI KASUS PADA PT. ARKONIN ENGINEERING MP JO PT.
CATUR KARSA GEMILANG)

Nadhilah Hafizhi, Gunadi

Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Abstract
This study analyze the implementation of Joint Operations Income Tax obligations
fulfillment, and also discuss about the probability of Joint Operation as the subject for Income
Tax. This study use qualitative approach and method. It concluded that the Income Tax
liability upon Joint Operation on PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang
has followed the provisions based on circular issued by Directorate General of Tax,
unfortunately the circular which been issued is private rulling that is mainly used for its
internal affair of taxpayers. Obstacles faced by the Joint Operation on the fulfillment of
Income Tax obligation were about withholding taxes article 21 and article 23. The form of
Joint Operation as not the subject of Income Tax is correct, especially because the Body into
the subject of Income Tax in general is not temporary like Joint Operation.
Keywords: Construction; Income Tax; Joint Operation

Pendahuluan
Pembangunan infrastruktur penting dalam pembangunan nasional karena menunjang
aktivitas masyarakat sehari-hari, yang pada akhirnya dapat mendukung pertumbuhan dari
suatu negara. Jasa konstruksi merupakan salah satu bidang usaha yang menghasilkan produk
akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, memiliki peranan penting dalam mendukung
pertumbuhan dan perkembangan nasional melalui pembangunan infrastruktur seperti
pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sudarto (2011)
menyatakan bahwa sektor konstruksi berpengaruh terhadap hampir seluruh sektor bidang
perekonomian, antara lain jalan, bendungan, pekerjaan irigasi, perumahan, sekolah, dan
pekerjaan konstruksi lain yang merupakan landasan fisik untuk pengembangan dan
peningkatan standar hidup. Selain melalui pembangunan fisik pengadaan sarana dan
prasarana, pertumbuhan ekonomi juga didukung oleh jasa konstruksi melalui berkembangnya
industri barang dan jasa yang diperlukan dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Industri ini akan tumbuh seiring dengan berkembanganya perusahaan jasa konstruksi.

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
2

Nilai Konstruksi yang Diselesaikan di Indonesia

Tahun Nilai Konstruksi Persentase


(dalam miliar rupiah) Kenaikan (%)
2007 81.674
2008 102.015 24,9
2009 255.628 150,5
2010 313.172 22,5
2011 370.417 18,3
Sumber : www.bps.go.id

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa saat ini usaha jasa konstruksi terus
berkembang. Hal ini dapat dilihat melalui banyaknya bangunan fisik atau pekerjaan yang
diselesaikan berdasarkan surat perjanjian kerja, yang disebut sebagai nilai konstruksi. Nilai
konstruksi merupakan besarnya nilai pekerjaan yang diselesaikan secara fisik selama jangka
waktu tertentu oleh pihak kontraktor atas pekerjaan berdasarkan surat perjanjian kontrak atau
surat perintah kerja antara pemilik dengan kontraktor. Nilai konstruksi selalu meningkat
setiap tahunnya.
Seiring dengan perkembangan zaman serta meningkatnya tuntutan masyarakat akan
kuantitas dan kualitas hasil pekerjaan konstruksi, maka diperlukan manajemen dalam usaha
jasa konstruksi. Para pelaku usaha bidang konstruksi mengatur strategi untuk mencapai hasil
yang diharapkan melalui sumber daya material maupun sumber daya manusia yang dimiliki.
Salah satu jalan yang ditempuh oleh para pelaku usaha bidang konstruksi ialah dengan
menjalin perjanjian kemitraan.
Perjanjian kerja bersama mitra bisnis dalam bidang konstruksi merupakan upaya
memperkecil risiko yang dihadapi dalam pembangunan dan memperbesar potensi
keuntungan. Risiko tersebut antara lain ialah tidak terpenuhinya standar kualitas yang
diharapkan, tidak terselesaikannya pelaksanaan pembangunan sesuai jadwal yang telah
ditetapkan, terlampauinya anggaran biaya pelaksanaan dari rencana pengeluaran, serta
gagalnya metode pelaksanaan pembangunan yang dianut. Potensi keuntungan dapat
diperbesar karena dapat dilakukan penghematan biaya operasional pelaksanaan pekerjaan,
serta meminimalisasi kemungkinan terjadinya kesalahan. Kemungkinan terjadinya kesalahan
dalam pelaksanaan pekerjaan akan mengakibatkan kerugian biaya, waktu, dan kualitas
pekerjaan. Karena keuntungan-keuntungan tersebut, maka para pengusaha jasa konstruksi
seringkali melakukan strategi kemitraan untuk mengerjakan suatu proyek melalui
pembentukan Joint Operation atau yang biasa disebut sebagai JO.

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
3

JO atau Kerjasama Operasi (KSO), merupakan kerjasama operasi dua badan usaha
atau lebih yang bersifat sementara, hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai
proyek tersebut selesai dikerjakan (Muljono, 2009, h.21). Pada saat proyek tersebut selesai,
maka JO pun selesai dan harus dibubarkan. Pengertian JO sama dengan KSO, tetapi istilah
JO lebih banyak digunakan pada kegiatan usaha kontraktor, sementara perlakuan perpajakan
pada JO sama dengan perlakuan perpajakan pada KSO(Muljono, 2009, h.21). Di sisi lain,
istilah KSO digunakan pada kegiatan pengelolaan dan pengoperasian sarana/ jaringan
telekomunikasi, pengoperasian pelayanan medis (rumah sakit), dan sebagainya.
Salah satu pekerjaan yang dilaksanakan dengan membentuk JO misalnya Review
Program dan Kegiatan Pegembangan Permukiman yang diselenggarakan oleh Kementrian
Pekerjaan Umum. JO pada pekerjaan ini dibentuk karena terdapat keuntungan berupa
kemudahan pengoperasian pekerjaan, yaitu beban pekerjaan dibagi dan dikerjakan bersama.
Kegiatan Pengembangan Permukiman merupakan program dari Kementrian Pekerjaan Umum
yang bertujuan untuk menciptakan tempat tinggal yang layak bagi rumah tangga. Proyek ini
dilakukan di 32 propinsi di Indonesia, dengan sumber dana dari Anggaran Pengeluaran
Belanja Negara (APBN).
Penyerahan jasa pada pekerjaan Review Program dan Kegiatan Pengembangan
Permukiman ialah berupa jasa konsultansi. Hasil akhir pekerjaan merupakan rekomendasi
atas perbaikan program dan kegiatan pengembangan permukiman sehingga pembangunan
permukiman masyarakat dapat berjalan sesuai rencana. JO dibentuk oleh dua perusahaan yang
bergerak dalam industri jasa konstruksi pada pekerjaan ini. Pelaksanaan pekerjaan Review
Program dan Kegiatan Pengembangan Permukiman oleh PT. Arkonin Engineering MP JO
PT. Catur Karsa Gemilang dalam implementasinya mengalami beberapa hambatan, yaitu
dalam pemenuhan kewajiban perpajakan atas Pajak Penghasilan (PPh), khususnya PPh
potong pungut.
Perangkat hukum pajak yang ada sementara ini tidak mengakomodir atau mengatur
secara tegas mengenai JO karena pengaturannya baru terdapat dalam bentuk Surat dan Surat
Edaran untuk Pajak Penghasilan. Pengaturan pajak atas JO diatur dalam beberapa private
rulling seperti S-323/PJ.42/1989, S-60/PJ.422/1994, S-1375/PJ.52/2001, S-823/PJ.312/2002,
dan S-830/PJ.312/2005. Pada surat-surat tersebut dinyatakan bahwa JO bukanlah Subjek
Pajak Penghasilan tetapi memiliki kewajiban sebagai withholder, melakukan potong pungut
atas withholding taxes, seperti pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23.
Satu-satunya pengaturan pajak atas JO yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan
berlaku saat ini ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2012 yang pada Pasal 3

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
4

menyatakan bahwa bentuk KSO dikategorikan sebagai Badan dalam pengaturan PPN,
sehingga memiliki kewajiban melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak
atas nama bentuk KSO. Pengertian JO dan KSO dipersamakan karena keduanya memiliki
pengertian serupa, yaitu kerjasama operasi dua badan usaha atau lebih yang bersifat sementara
hanya untuk melaksanakan suatu proyek tertentu sampai proyek tersebut selesai dikerjakan.
Oleh karena itu PP Nomor 1 Tahun 2012 berlaku pula bagi JO karena definisinya sama
dengan KSO. Sebaiknya pengaturan pajak atas JO diatur dalam suatu perangkat yang baku
dan memiliki kekuatan hukum mengikat, mengingat peraturan pajak merupakan suatu
instrumen penting dalam pemungutan pajak.
Pengaturan pajak atas JO yang baku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat
memenuhi asas kepastian (certainty) sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya
kesulitan dan kesalahan pada pelaksanaan kewajiban perpajakan. Asas certainty merupakan
asas kepastian pemungutan pajak meliputi subjek pajak, objek pajak, jumlah pajak terutang,
kapan pajak harus dibayar, dan kemana pajak tersebut harus dibayar. Tanpa adanya acuan
mengenai pelaksanaan kewajiban perpajakan atas JO selain surat-surat DJP yang bersifat
sebagai private rulling, pada pelaksanaannya hal ini dapat menimbulkan kesulitan bahkan
kesalahan penghitungan pajak terhutang atas penghasilan maupun kewajiban potong pungut
JO. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, pertanyaan penelitian dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan atas Joint Operation pada PT.
Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang?
2. Apa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan atas
Joint Operation pada PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang?
3. Bagaimana kemungkinan bentuk Joint Operation dapat dijadikan Subjek Pajak
Penghasilan?
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
Menganalisis pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan atas Joint Operation pada PT.
Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang, menganalisis hambatan yang
dihadapi dalam pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan atas Joint Operation pada PT.
Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang, dan menganalisis kemungkinan
bentuk Joint Operation untuk dapat dijadikan Subjek Pajak Penghasilan.

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
5

Tinjauan Teoritis
Mardiasmo (2008) mengutip Rochmat Soemitro, mengungkapkan bahwa pajak adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Terdapat tiga unsur pokok perpajakan
menurut Mansury (1996) yaitu kebijakan perpajakan (tax policy) merupakan kebijaksanaan
perpajakan positif merupakan alternatif yang dipilih dari berbagai pilihan lain, agar dapat
dicapai sasaran yang hendak dituju sistem perpajakan; Undang-undang perpajakan (tax laws)
adalah seperangkat peraturan perpajakan yang terdiri dari Undang-undang beserta peraturan
pelaksanaannya; administrasi perpajakan (tax administration) instansi atau badan yang
mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pungutan pajak, orang
orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja ada instansi paerpajakan yang secara
nyata melaksanakan kegiatan pemungutan pajak, dan kegiatan penyelenggaraan pungutan
pajak oleh suatu instansi atau badan guna mencapai sasaran sesuai kebijaksanaan pajak
berdasarkan sarana hukum dalam Undang-undang perpajakan dengan efisien.
Pada dasarnya terdapat tiga asas penting dalam sistem pajak yang harus selalu
diperhatikan sehingga tercapai keseimbangan antara pemerintah dan masyarakat. The revenue
adequacy principle untuk kepentingan pemerintah, the equity principle untuk kepentingan
masyarakat, dan the certainty principle untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat. Asas
ease of administration dalam beberapa literatur seringkali dikaitkan dengan certainty
principle.
Mansury (1996) mengungkapkan bahwa kaidah certainty menyangkut kepastian akan
empat hal, yaitu kepastian akan siapa Subjek Pajak, kepastian tentang Objek Pajak hingga
jumlah pajak yang harus dibayar, kepastian tentang berapa jumlah pajak yang harus dibayar,
dan kepastian tentang bagaimana jumlah pajak terutang harus dibayar. Pengertian certainty
lebih lanjut ialah menjamin setiap orang untuk tidak ragu-ragu untuk menjalankan kewajiban
membayar pajak, karena segala sesuatunya sudah jelas (Judisseno, 2005, h. 11). Certainty
atau asas kepastian hukum adalah tujuan setiap undang-undang. Dalam membuat undang-
undang dan peraturan-peraturan yang mengikat umum, harus diusahakan supaya ketentuan
yang dimuat dalam undang-undang adalah jelas, tegas, dan tidak mengandung arti ganda atau
memberikan peluang untuk ditafsirkan lain (Soemitro, Rochmat dan Dewi Kania Sugiharti,
2004, h. 21). Pajak pada hakikatnya merupakan iuran kepada negara yang dipungut
berdasarkan Undang-undang. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa erat kaitannya antara
pemungutan pajak dengan hukum yang melandasinya, sehingga diperlukan kepastian hukum

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
6

dalam pemungutan pajak. Soemitro (1988) mengungkapkan bahwa untuk mewujudkan


kepastian hukum, diperlukan beberapa faktor, yaitu objek, subjek, tempat, waktu,
pendefinisian, penyempitan/ perluasan, ruang lingkup, penggunaan bahasa hukum,
penggunaan istilah yang baku, dan syarat-syarat lain.
Penghasilan merupakan salah satu objek pajak. Mansury (1996) mengungkapkan
bahwa definisi penghasilan ialah apa saja sumber tambahan kemampuan untuk menguasai
barang dan jasa yang dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan merupakan penghasilan yang
dikenakan pajak. Dalam Pajak Penghasilan dikenal istilah withholding taxes yang merupakan
pajak yang memberikan wewenang kepada pihak ketiga untuk melakukan pemotongan. Pajak
Penghasilan menurut Pandiangan (2010) adalah salah satu jenis pajak langsung yang ada di
Indonesia dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Departemen Keuangan.
Hibridisasi antara self assessment dan official assessment semakin berkembang pesat
sejak diperkenalkannya teknik pemotongan/ pemungutan pajak yang populer disebut
withholding tax (Rosdiana dan Edi Slamet, 2011, h.107). Sistem ini adalah sistem
pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan
Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib
pajak (Mardiasmo, 2008, h. 8). Ditinjau dari segi pemotongan pajak pada saat penerimaan
penghasilan, withholding tax system adalah sistem pemotongan pajak pada sumbernya yang
disebut sebagai levying tax at source (Nurmantu, 2005, h.110). PPh Pemotongan Pemungutan
merupakan penerapan sistem perpajakan yang menggunakan withholding system di mana
pajak yang dibayar seseorang atau badan, dipotong atau dipungut oleh pihak ke 3 (Setiawan,
2006, h. 1).
Dalam bidang usaha jasa konstruksi, untuk meminimalisir resiko pelaksanaan maka
seringkali kontraktror memberntuk Joint Operation. Joint Operation dilakukan oleh beberapa
perusahaan karena berbagai alasan, seperti proyek yang akan dikerjakan cukup besar sehingga
memerlukan pendanaan besar, atau diperlukan keahlian yang bermacam-macam, yang
terkadang tidak dipunyai oleh satu perusahaan sehingga perusahaan itu merasa perlu untuk
bekerja sama dengan perusahaan lain (Muldjono, 2009, h. 21). Modal kerja JO berupa
kelebihan kemampuan dari masing-masing anggotanya yang dapat berupa kemampuan
penguasaan teknologi, financial support yang kuat, spesialisasi keahlian, atau bahkan fasilitas
penugasan semata (Rahayu, Ning dan Iman Santoso, 2007, h. 116).
Santoso (2007) mengelompokkan JO ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu: (1) Kerjasama
Administratif Formal (KSF); dan (2) Kerjasama Operasional (KSO). Pada bentuk KSF,
dibentuk suatu bentuk badan baru sebagai perwujudan Joint Operation antara pihak terkait.

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
7

Oleh karena itu KSF dikenal pula sebagai JO dengan separate legal entity. Pada bentuk KSO,
tidak dibentuk suatu badan baru sebagai perwujudan Joint Operation antara pihak terkait
sehingga tanggung jawab pekerjaan terhadap project owner berada pada masing-masing
anggota JO. Oleh karena itu KSO dikenal pula sebagai JO dengan non-separate legal entity.
Dalam KSF, terdapat Joint Operation Agreement (JOA) dimana di dalamnya terdapat hak dan
kewajiban anggota JO secara jelas, termasuk mengenai penghasilan. JOA mengatur hal-hal
teknis yang mencakup tata cara kontribusi pendanaan JO, pengaturan mengenai penyusutan,
sewa alat, biaya gaji/ upah karyawan, dsb, serta rasio pembagian hasil bersih usaha yang
dilakukan oleh JO. Sementara pada KSO, pembagian penghasilan atas anggota JO didasarkan
pada konstribusinya.

Metode Penelitian
Bungin (2010) mengungkapkan bahwa format deskriptif kualitatif pada umumnya
dilakukan pada penelitian dalam bentuk studi kasus. Metode kualitatif pada umumnya
digunakan dalam penelitian yang bertujuan untuk eksplorasi, eksplanasi, dan mendeskripsikan
suatu fenomena. Permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini diteliti dengan
menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian berbentuk studi kasus dan bertujuan
untuk menggambarkan dan mendokumentasikan bagaimana pelaksanaan kewajiban
perpajakan pada PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang, serta hambatan
yang dihadapi dalam pelaksanaan pekerjaan Review Program dan Kegiatan Pengembangan
Permukiman, serta menggambarkan kemungkinan JO untuk menjadi Subjek Pajak
Penghasilan.
Berdasarkan tujuan penelitian, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif karena bertujuan untuk mendeskripsikan kewajiban Pajak Penghasilan dari PT.
Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang beserta hambatan yang dihadapinya.
Penelitian berfokus pada kasus yang dihadapi oleh PT. Arkonin Engineering MP JO PT.
Catur Karsa Gemilang. Penelitian juga bertujuan untuk menggambarkan kemungkinan JO
untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan.
Teknik analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif. Analisis data kualitatif dilakukan dengan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milah dalam satuan yang dapat dikelola,
mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, kemudian menemukan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain. Dalam penelitian ini, dilakukan analisis terhadap permasalahan
berdasarkan studi dokumen yang didukung dengan teori-teori yang relevan. Referensi literatur

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
8

tersebut selanjutnya dikaitkan dengan data lapangan yang ditemukan. Hasil wawancara
dengan informan menjadi data pendukung dalam analisis yang dilakukan. Untuk
mendapatkan hasil analisis, peneliti melakukan organisasi data serta mencari dan menemukan
pola sehingga dapat ditarik suatu simpulan dari penelitian yang dilakukan.

Hasil Penelitian dan Pembahasan


Subjek Pajak dalam bentuk kerjasama JO ialah dua badan atau lebih yang memiliki
tujuan yang sama dan setuju untuk bekerjasama menyelesaikan suatu pekerjaan. Bentuk
kerjasama tersebut selain disebut sebagai JO, seringkali disebut sebagai KSO. Dalam
pengaturan Surat dan Surat Edaran yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, tidak ada
suatu istilah khusus yang pasti digunakan untuk bentuk kerjasama ini. Hal tersebut
bertentangan dengan definisi JO dalam literatur yang menyebutkan bahwa JO terbagi menjadi
KSF dan KSO.
Istilah JO seringkali dipertukarkan dengan KSO dalam pengaturan Surat atau Surat
Edaran dari Direktorat Jenderal Pajak. Hal tersebut dapat menimbulkan kesalahan penafsiran
dari sisi Wajib Pajak, karena kewajiban pajak atas KSF dan KSO berbeda. Pengertian bentuk
kerjasama tersebut dalam Surat yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak. Atas istilah JO ataupun
KSO dalam Surat Dirjen Pajak, seharusnya diseragamkan. Hal tersebut dapat meminimalisir
terjadinya kesalahan pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak. Selain itu, dengan
seragamnya istilah yang digunakan, maka pengaturan atas JO maupun KSO tersebut menjadi
pasti dan tegas. Hal tersebut sesuai dengan asas certainty yang memiliki tujuan utama agar
dalam pembuatan undang-undang dan peraturan-peraturan yang mengikat umum, harus
diusahakan supaya ketentuan yang dimuat dalam undang-undang adalah jelas, tegas, dan tidak
mengandung arti ganda atau memberikan peluang untuk ditafsirkan lain.
Pengaturan Pajak atas JO hingga saat ini hanya diatur dalam bentuk Surat dan Surat
Edaran dari Direktorat Jenderal Pajak. Surat dan Surat Edaran terkait pengaturan pajak atas
JO diantaranya ialah S-323/PJ.42/1989, S-752/PJ.52/1990, S-60/PJ.422/1994, SE-44/PJ/1994,
S-1375/PJ.52/2001, S-823/PJ.312/2002, S-830/PJ.312/2005, dan S-956/PJ.53/2005. Satu-
satunya pengaturan dalam bidang Pajak Penghasilan yang lebih tinggi dari Surat dan Surat
Edaran ialah Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-214/PJ./2001 yang menyatakan bahwa atas JO
diwajibkan melaksanakan pembukuan. Pengaturan lainnya ialah dalam bidang Pajak
Pertambahan Nilai yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 yang mengatur JO
sebagai bentuk badan lainnya sebagai Subjek PPN. Pengaturan pajak atas JO yang terbatas
berupa Surat dan Surat Edaran Dirjen Pajak belum memadai dan tidak memiliki kekuatan

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
9

hukum mengikat berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Pengaturan pajak atas JO yang


terbatas dalam bentuk Surat dan Surat Edaran dari Dirjen Pajak tidak memenuhi asas
certainty karena kedua bentuk pengaturan tersebut tidak memiliki kedudukan hukum dalam
hierarki pengaturan Perundang-undangan di Indonesia. Tanpa adanya pengaturan yang
memiliki kekuatan hukum mengikat maka pengaturan tersebut menjadi tidak pasti. Oleh
karena itu, sebaiknya pengaturan atas perlakuan pajak JO beserta mekanisme dan tata cara
pemotongan atau pemungutannya, khususnya PPh diatur secara jelas dan pasti sehingga tidak
terjadi kesalahan persepsi yang pada akhirnya menyebabkan kerugian bagi Wajib Pajak.
Tanpa adanya prosedur yang jelas maka Wajib Pajak akan sulit untuk menjalankan
kewajibannya, menimbulkan keragu-raguan, dan bagi fiskus ataupun pihak lainnya yang
terlibat lainnya dapat mengalami kesalahan penafsiran.
Pengaturan yang tidak memadai selain menimbulkan masalah ketidakpastian dalam
bidang hukum (asas certainty), menimbulkan masalah dalam kesederhanaan pemungutan dan
pemenuhan kewajiban pajaknya dari sisi Wajib Pajak. Simplicity menegaskan bahwa
peraturan pajak hendaknya sederhana, sehingga pasti, jelas, dan mudah dimengerti oleh Wajib
Pajak. Kesederhanaan struktur sistem perpajakan dapat menciptakan kesederhanaan dalam
melaksanakan pemungutan pajak, sedangkan kesederhanaan penyusunan Undang-undang
dapat mempermudah pemahaman Undang-undang tersebut. Pengaturan pajak yang tidak pasti
dan dapat menimbulkan kesalahan penafsiran dalam pelaksanaannya, tidak memenuhi
simplicity.
Mengingat semakin meningkatnya pelaksanaan pekerjaan proyek dengan JO di bidang
konstruksi, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak perlu mengatur lebih tegas
perlakuan perpajakan atas JO dalam satu bentuk pengaturan pajak yang hierarki legalnya
lebih kuat dasar dan kekuatan hukumnya. Pengaturan pajak atas JO sekurang-kurangnya
dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Dirjen Pajak, agar terdapat
kepastian hukum sebagai acuan umum bagi wajib pajak dalam menjalankan dan mematuhi
kewajiban dan haknya di bidang perpajakan dengan baik dan benar. Pengaturan pajak atas JO
dalam Peraturan Menteri Keuangan atau Peraturan Dirjen Pajak memiliki kepastian hukum
dan kekuatan hukum sesuai dengan hierarki Peraturan Perundang-undangan pada Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Narasumber dari pihak Direktorat Jenderal Pajak mengungkapkan bahwa:

Intinya itu sih begini ya kalau yang biasa kami pakai karena kami di peraturan, jadi
sebenarnya pengaturan itu sudah ada tingkatan-tingkatannya. Jadi dari Undang-undang

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
10

Dasar, lalu Undang-undang, PP, Peraturan Menteri, dan yang lain sebagainya ya ada
disitu. Nah yang diakui sebagai Undang-undang itu yang mana saja. Nah Perdirjen atau
SE, sebenarnya itu tidak diakui ya, cuma mereka bisa diakui asalkan diamanhkan oleh
peraturan diatasnya. Undang-undaangnya itu nanti nyuruh apakah diatur oleh Perdirjen
atau SE begitu, sehingga Perdirjen atau SE ini diakui. Begitu juga bisa dengan PP atau
PMK nya nyuruh diatur dengan Perdirjen atau SE jadi bisa diakui. Tapi kalau untuk PER
dan SE ini enggak ada amanat nya dari atas, ya itu perlu dipertanyakan lagi berarti.
Biasanya kalau di Perdirjen atau SE, kita hanya mengatur tata cara saja. Jadi sebenarnya
pengaturan tata cara ini kan kewenangan kita ya, kewenangan DJP untuk mengatur,
seperti tata cara menyetor, melapor, begitu. Jadi hal ini bisa mengakomodasi Wajib Pajak
dan juga kita supaya semua hal menjadi jelas. Jadi bisa berfungsi bagi dua belah pihak
(Wawancara mendalam dengan Samudra dan Agus, 20 Mei 2013).

Berdasarkan uraian informan di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan pajak atas JO
yang terbatas berupa Surat dan Surat Edaran Dirjen Pajak belum memadai dan tidak memiliki
kekuatan hukum apabila memperhatikan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Surat dan Surat Edaran
Dirjen Pajak tidak memiliki kedudukan dan kekuatan hukum berdasarkan Undang-undang
tersebut. Untuk pengaturan pajak, lebih baik diatur dalam bentuk PER, PP, atau PMK
sehingga memiliki kepastian hukum dan dapat mengikat secara umum. Pengaturan dalam
bentuk PER, PP, atau PMK tersebut pun hendaknya didukung dengan amanat pada Undang-
undang di atasnya yang menyatakan bahwa untuk tata laksana selanjutnya diatur dalam PER,
PP, atau PMK tersebut.
Pada PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang, dibentuk suatu
badan baru (separate legal entity) sebagai bentuk kerja sama dari pihak anggota di dalamnya,
sehingga tanggung jawab pekerjaan terhadap pemilik proyek, Kementrian Pekerjaan Umum,
berada pada entitas JO, bukan pada masing-masing JO. JO ini merupakan bentuk kerja sama
operasional dari dua entitas berbeda yaitu PT. Arkonin Engineering MP dan PT. Catur Karsa
Gemilang. Pada JO dibentuk entitas baru bernama PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur
Karsa Gemilang, sehingga JO ini merupakan bentuk administrative JO.
Dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, PT. Arkonin Engineering MP JO PT.
Catur Karsa Gemilang telah mengikuti ketentuan sesuai Surat dan Surat Edaran Dirjen Pajak.
Namun pada hakikatnya kedua pengaturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
karena Surat merupakan jawaban dari Dirjen Pajak atas pertanyaan dari Wajib Pajak terkait

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
11

masalah yang dihadapinya. Surat bersifat internal bagi Wajib Pajak yang dituju, seharusnya
Surat tida menjadi acuan hukum untuk Wajib Pajak secara umum.
Terdapat kewajiban withholding taxes PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 pada PT.
Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang. Dalam pelaksanaan withholding
taxes tersebut terdapat hambatan yang dialami. Pada PPh Pasal 21, hambatan yang dihadapi
ialah ketika JO mengalami pemeriksaan laporan keuangan dan kewajiban perpajakannya oleh
BPKP, maka para pegawai atau karyawan atas JO dikategorikan sebagai tenaga ahli padahal
mereka ialah pegawai tetap yang berasal dari perusahaan anggota JO. Hal ini dialami oleh
anggota lead JO yaitu PT. Arkonin Engineering MP. Pada pelaporan akhir laporan keuangan
dan penyetoran PPh 21, berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), para pegawai tetap yang bekerja pada JO dikategorikan sebagai
tenaga ahli sehingga atas dasar penghasilan yang sama atas pegawai bersangkutan terdapat
dua kali pengenaan pajak yaitu atas pegawai tetap pada perusahaan dan sebagai tenaga ahli
pada JO. Pengenaan PPh Pasal 21 sebanyak dua kali atas seorang pegawai, yaitu sebagai
pegawai tetap dan tenaga ahli, menyebabkan Wajib Pajak dirugikan karena berarti ia harus
membayar jumlah pajak lebih besar dari yang seharusnya terutang.
Hambatan yang dihadapi dalam PPh Pasal 23 ialah penghasilan yang diterima oleh JO
dari pemberi penghasilan dipotong langsung dari jumlah omzet, walaupun sudah dipisahkan
dalam laporan keuangan JO antara biaya personalia dan biaya non personalia. Atas biaya
personalia seharusnya tidak dipotong PPh Pasal 23 karena sudah dipotong PPh Pasal 21
kepegawaian. Kesalahan penerapan dasar pengenaan PPh Pasal 23 tersebut menyebabkan
kerugian bagi JO karena jumlah pajak terutang menjadi lebih besar dari yang seharusnya.
Hendaknya pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan atas jumlah biaya non personalia saja.
Permasalahan akan kesalahan perlakuan terhadap pemotongan pajak atas PPh Pasal 23 ini
dapat dihindari apabila pada pekerjaan pemerintah atas pemeriksaan dari BPKP didampingi
oleh pihak dari kantor pajak setempat.
Pengaturan pada private rulling saat ini menyatakan bahwa JO bukanlah Subjek Pajak
Penghasilan. Pada studi ini menganalisis hal-hal yang memungkinkan JO untuk menjadi
Subjek Pajak Penghasilan beserta hal-hal yang tidak memungkinkan JO untuk menjadi Subjek
Pajak Penghasilan. Apabila JO menjadi Subjek Pajak Penghasilan, maka pengaturan pajak
atas JO menjadi lebih pasti, karena akan diatur dalam Undang-undang, khususnya Undang-
undang Pajak Penghasilan. Namun terdapat hal-hal lain yang tidak memungkinkan JO untuk
menjadi Subjek Pajak Penghasilan, berikut merupakan penguraian secara ringkas dalam tabel
berikut:

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
12

Kemungkinan JO Sebagai Badan dalam Subjek Pajak Penghasilan

No. Hal-hal yang dapat Hal-hal yang tidak


memungkinkan JO untuk memungkinkan JO untuk
menjadi Subjek Pajak menjadi Subjek Pajak
Penghasilan Penghasilan

1. Pada Pasal 1 angka 3 Undang- Pada private rulling yang


undang KUP Nomor 28 Tahun diterbitkan oleh DJP, dinyatakan
2007 dinyatakan bahwa bahwa JO bukanlah Badan
pembayar, pemotong, dan sebagai Subjek Pajak
pemungut pajak merupakan Penghasilan. Selain itu, Subjek
Wajib Pajak. JO memiliki Pajak Penghasilan Badan telah
kewajiban atas PPh potong disebutkan satu persatu dalam
pungut, sehingga JO seharusnya Undang-undang PPh Nomor 36
dapat menjadi Wajib Pajak. Tahun 2008, dan JO bukanlah
salah satunya.
2. JO merupakan bentuk badan Peraturan Menteri Pekerjaan
lainnya dalam pengaturan PPN Umum Nomor 50/ PRI/ 1991
pada Undang-undang Nomor 42 Pasal 1 huruf d menyatakan
tahun 2009, sebagaimana diatur bahwa JO merupakan bentuk
dalam Peraturan Pemerintah kerja sama yang bersifat
Nomor 1 Tahun 2012. sementara, sehingga JO bukanlah
badan hukum menurut peraturan
perundang-undangan Indonesia.
3. Berdasarkan KUHP 1623, JO Bentuk non pure JO atau non
merupakan persekutuan khusus. administrative JO tidak dapat
Persekutuan khusus ialah salah dijadikan Subjek Pajak
satu bentuk dari perkumpulan Penghasilan karena kerja sama
perdata. Pada penjelasan Pasal 2 hanya merupakan simbol dari
ayat (1) huruf b Undang-undang koordinasi antar anggota JO. Pada
PPh Nomor 36 Tahun 2008, non administrative JO juga tidak
dinyatakan bahwa perkumpulan terdapat kewajiban untuk
merupakan Subjek Pajak registrasi NPWP baru atas
Penghasilan. identitas JO.
4. JO yang bersifat murni atau Apabila pekerjaan JO bersifat
administrative JO dapat menjadi jangka pendek, maka pengubahan
Subjek Pajak Penghasilan status JO menjadi Subjek Pajak
karena terbentuk suatu entity akan mempersulit Wajib Pajak
baru pada kerja sama tersebut, sendiri dalam pemenuhan
disertai dengan registrasi kewajiban perpajakannya.
NPWP. Namun perlu
diperhatikan juga jangka waktu
pelaksanaan pekerjaan JO,
karena JO yang cocok untuk
dijadikan Subjek Pajak
Penghasilan ialah yang dibentuk
untuk pekerjaan dengan jangka
waktu panjang.

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
13

No. Hal-hal yang dapat Hal-hal yang tidak


memungkinkan JO untuk memungkinkan JO untuk
menjadi Subjek Pajak menjadi Subjek Pajak
Penghasilan Penghasilan

5. Adanya perubahan pengenaan Sifat JO bukanlah untuk


tarif terhadap Penghasilan kena melakukan suatu kegiatan usaha
Pajak. Berdasarkan Undang- terus menerus, namun hanya
undang Nomor 17 Tahun 2000 bersifat sementara. Hal ini lah
atas Penghasilan Kena Pajak yang menyebabkan JO tidak
dikenakan tarif progresif tiga dapat menjadi Badan sebagai
lapis, sedangkan saat ini berlaku Subjek Pajak Penghasilan. Selain
Undang-undang Nomor 36 itu, JO tidak memiliki organ
Tahun 2008 yang menggunakan pengurus khusus seperti bentuk
tarif flat sebesar 25%. Badan lainnya.
6. JO dapat dipersamakan dengan Pada hakikatnya anggota JO ialah
bentuk firma, khususnya Subjek Pajak Penghasilan Badan
administrative JO karena yang dikenakan Pajak
menggunakan nama bersama Penghasilan.
dalam entity JO yang baru dan
melakukan transaksi dengan
pihak luar dengan nama
bersama yang baru tersebut. Hal
ini terjadi dalam salah satu
kasus perkara kasasi perdata
Nomor 01 K/N/1999.
7. Sebagai Subjek Pajak Pengubahan JO menjadi Subjek
Penghasilan, JO akan memiliki Pajak Penghasilan membutuhkan
kewajiban menyampaikan SPT upaya yang cukup besar.
tersendiri atas kegiatan Diperlukan pengubahan Undang-
usahanya. Untuk itu, JO akan undang dan sistem administrasi
melakukan pembukuan meliputi atas pemungutan pajak atas JO
pencatatan atas penghasilan dan ini. Pada akhirnya, hal tersebut
biaya yang dikeluarkan. dapat menyebabkan kerugian bagi
Pembukuan berfungsi untuk Negara karena harus
mempermudah Wajib Pajak mengeluarkan biaya yang cukup
dalam pencatatan kegiatan besar atas pengubahan ini.
usaha, dan bagi fiskus dapat
mendukung fungsi pengawasan.
Sumber: Hasil Olahan Peneliti

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat hal-hal yang memungkinkan JO untuk dapat
menjadi Subjek Pajak Penghasilan, dan yang tidak memungkinkan JO untuk dapat menjadi
Subjek Pajak Penghasilan. Menurut Undang-undang KUP, JO dapat menjadi Wajib Pajak
karena kewajibannya memotong dan memungut withholding taxes. Apabila melihat Pasal 1
angka 2 Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 dinyatakan bahwa Wajib Pajak

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
14

merupakan Orang Pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak merupakan setiap orang atau badan
yang telah memenuhi persyaratan subjektif sebagai Subjek Pajak dan persyaratan objektif
sebagai Objek Pajak. Jadi, dapat disimpulkan apabila seseorang atau badan mendapat predikat
Wajib Pajak, maka secara otomatis ia merupakan Subjek Pajak. Pada pengertian Wajib Pajak
Pasal 1 angka 2 Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 tersebut terdapat dua poin
penting yaitu orang pribadi atau badan dan meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan
pemungut pajak. JO memenuhi kriteria Wajib Pajak menurut Undang-undang tersebut
karena poin penting sebagai pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak
dipenuhi, yang melalui kepemilikan NPWP atas namanya sendiri maka JO memiliki
kewajiban membayar, memotong, dan memungut pajak atas withholding taxes. Namun JO
tetap tidak memenuhi poin ponting sebagai Orang Pribadi atau Badan karena pada Pasal 1
angka 3 Undang-undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 tersebut diuraikan pengertian Badan.
Berdasarkan Pasal 1623 KUH Perdata, JO merupakan salah satu bentuk persekutuan
khusus karena JO dibentuk untuk menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu. JO dibentuk
oleh anggotanya untuk mengerjakan suatu pekerjaan dan ketika pekerjaan tersebut selesai
maka JO berakhir dengan sendirinya. Persekutuan perdata merupakan salah satu bentuk dari
perkumpulan berbentuk bukan badan hukum berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. KUHP membagi perkumpulan perdata menjadi perkumpulan berbentuk badan
hukum dan bukan badan hukum. Perkumpulan memiliki empat unsur yaitu adanya
kepentingan bersama, kehendak bersama, unsur tujuan, dan kerjasama yang jelas. Apabila
memperhatikan unsur-unsur tersebut maka seharusnya JO memenuhi unsur perkumpulan
menurut perdata karena dibentuk berdasarkan kepentingan dan kehendak bersama dari
anggota JO, serta memiliki tujuan dan kerjasama yang jelas, yang biasanya dituangkan dalam
kontrak JO. Perkumpulan merupakan Subjek Pajak Badan menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1)
huruf b Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008, sehingga seharusnya JO sebagai
perkumpulan merupakan Badan berdasarkan Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008
menurut ketentuan perdata, namun private rulling yang diterbitkan oleh DJP yang
menyatakan bahwa JO bukanlah Subjek Pajak Penghasilan.
Apabila melihat sifat JO, terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan JO untuk menjadi
Subjek Pajak Penghasilan. JO tidak dapat dikategorikan sebagai persekutuan karena terutama
persekutuan di Indonesia pada umumnya didirikan oleh dua orang pribadi atau lebih yang
bekerja sama terutama berdasarkan keahlian khususnya, dan persekutuan di Indonesia

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
15

didirikan untuk melakukan kegiatan yang bersifat terus menerus. Selain sifat JO yang
sementara, salah satu alasan mengapa JO tidak dikatakan sebagai badan hukum atau disebut
dengan legal entity ialah karena tidak adanya organ yang melakukan pengurusan atas JO
secara tetap dan terus menerus. Pengubahan JO menjadi Subjek Pajak PPh sebagai Badan
memerlukan banyak upaya dari sisi pemerintah karena akan dilakukan penyesuaian yang pada
akhirnya merubah Peraturan Perundang-undangan Pajak Penghasilan dan sistem administrasi
pelaporan SPT PPh Badan 1771. Pengubahan Peraturan Perundang-undangan Pajak
Penghasilan perlu dilakukan sehingga terdapat kepastian hukum yang menyatakan bahwa JO
merupakan Subjek Badan pada PPh, selain itu diperlukan petunjuk pelaksanaan mengenai
pemenuhan kewajiban pajak JO sebagai Subjek Badan pada PPh. Perubahan sistem
administrasi pelaporan SPT PPh Badan 1771 yang dimaksud ialah melalui penambahan
formulir khusus bagi penghasilan dan biaya JO yang dilakukan oleh perusahaan. Pengubahan
JO menjadi Subjek Badan pada PPh akan memerlukan banyak pengubahan peraturan pajak
dan penerbitan formulir SPT PPh Badan 1771 yang baru. Pengubahan-pengubahan tersebut
pada akhirnya memerlukan biaya yang tidak sedikit harus dikeluarkan oleh Pemerintah.
Perbaikan sistem pengaturan pajak atas JO yang terbaik bukanlah melalui pengubahan
status JO menjadi Subjek Badan Pajak Penghasilan karena terdapat hal-hal yang tidak
memungkinkan JO untuk menjadi Subjek Pajak Penghasilan. Perbaikan dapat dilakukan
melalui penetapan kewajiban pembukuan meliputi laporan keuangan atas JO baik yang
berbentuk administrative maupun non administrative. Laporan keuangan memiliki berbagai
fungsi. Bagi pihak fiskus, penyelenggaraan pembukuan oleh JO dapat mempermudah fungsi
pengawasan terhadap Wajib Pajak. Fiskus dapat memeriksa dan melakukan verifikasi secara
tepat dan jelas terhadap Laporan Keuangan ataupun SPT PPh Badan dari perusahaan anggota
JO. Bagi Wajib Pajak anggota JO, penyelenggaraan pembukuan meliputi laporan keuangan
memberikan keuntungan untuk mempermudah sistem pencatatan keuangan dan dapat menjadi
bukti terhadap fiskus apabila dibutuhkan kelak dalam pemeriksaan pajak. Wajib Pajak
anggota JO dapat menunjukkan bukti yang nyata dan jelas atas penghasilan dan biaya yang
dikeluarkan selama proyek JO berlangsung dihadapan fiskus apabila diperlukan nantinya.
Pelampiran laporan keuangan JO dapat dilampirkan pada pelaporan SPT 21 Masa Desember
yang merupakan akumulasi satu tahun atau dilampirkan pada pelaporan SPT PPh Badan
masing-masing anggota JO.
Selain kewajiban pembukuan meliputi laporan keuangan, perbaikan sistem pengaturan
pajak juga hendaknya diikuti dengan adanya instrumen pengaturan pajak yang lebih tinggi
dari Surat atau Surat Edaran yang diterbitkan Dirjen Pajak, yang mengatur secara terperinci

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
16

mengenai tata cara dan mekanisme pemenuhan kewajiban pajak atas JO. Hal tersebut dapat
mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan persepsi dan pemenuhan kewajiban pajak.
Pengaturan pajak yang memiliki kekuatan hukum mengikat dapat menjamin kepastian hukum
dari pengaturan itu sendiri.

Simpulan
Pelaksanaan kewajiban Pajak Penghasilan atas Joint Operation pada PT. Arkonin
Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang telah mengikuti ketentuan-ketentuan
berdasarkan pengaturan Joint Operation dalam Surat maupun Surat Edaran yang diterbitkan
oleh Dirjen Pajak yang hakikatnya merupakan private rulling yang bersifat internal bagi
Wajib Pajak dalam Surat terbitan Dirjen Pajak. Surat dan Surat Edaran tidak memiliki hierarki
dan kekuatan hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pengaturan pajak yang tidak memiliki
kekuatan hukum dapat menimbulkan keragu-raguan atas perlakuan pajak atas JO dan tidak
menjamin adanya kepastian (certainty).
Hambatan yang dihadapi PT. Arkonin Engineering MP JO PT. Catur Karsa Gemilang
dalam pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan atas Joint Operation ialah terkait withholding
taxes. Hambatan tersebut berupa pemenuhan kewajiban potong pungut pada PPh Pasal 21 dan
PPh Pasal 23.
JO bukan merupakan Badan sebagai Subjek Pajak Penghasilan karena tidak memenuhi
pengertian badan menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana diubah dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 2. Apabila dilihat
berdasarkan Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1623 KUHP, JO dapat dikategorikan
sebagai persekutuan khusus ataupun perkumpulan bukan badan hukum yang merupakan
Subjek Pajak Penghasilan. Namun di sisi lain terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan JO
untuk dijadikan sebagai Subjek Pajak Penghasilan terutama karena definisi Badan dalam
perpajakan lebih ditujukan untuk persekutuan atau perkumpulan yang bersifat tidak
sementara, sedangkan JO bersifat temporer sehingga tidak dapat digolongkan sebagai Subjek
PPh Badan. Apabila JO menjadi Subjek PPh Badan, maka diperlukan pengubahan Peraturan
Perundang-undangan dan sistem administrasi pelaporan SPT PPh Badan 1771. Pengubahan-
pengubahan tersebut pada akhirnya memerlukan biaya yang tidak sedikit harus dikeluarkan
oleh Pemerintah.

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
17

Saran
Pengaturan pajak atas JO yang terbatas berupa Surat dan Surat Edaran Dirjen Pajak
belum memadai dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hendaknya
pengaturan pajak atas JO diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan atau
Peraturan Dirjen Pajak yang diamanatkan oleh Undang-undang di atasnya sehingga memiliki
kekuatan hukum dan menimbulkan kepastian (certainty), dengan menguraikan secara jelas
dan terperinci terutama mengenai kewajiban potong pungut atas JO dan mekanisme atau tata
cara potong pungutnya serta pemenuhan kewajiban pajak atas JO lainnya, sehingga kesalahan
penerapan pemotongan seperti pada studi kasus dapat terhindari.
Atas pemeriksaan penyelenggaraan proyek dan pencatatan keuangan atau pembukuan
pada proyek pemerintah oleh BPKP, hendaknya dilengkapi juga oleh personil dari DJP atau
petugas pajak dari KPP setempat ataupun tenaga yang memiliki kemampuan di bidang
perpajakan. Hal ini dapat meminimalisir permasalahan akan kesalahan persepsi dan penerapan
penghitungan maupun pengenaan pajak.
Pengaturan pada saat ini yaitu JO bukan Badan sebagai Subjek Pajak pada PPh sudah
tepat karena pada hakikatnya anggota JO sendiri merupakan Subjek Pajak Badan menurut
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dalam
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008. Apabila kemudahan administrasi diperlukan dalam
pemungutan pajak atas JO, cara terbaik bukanlah melalui pengubahan status JO sebagai
Subjek Pajak Badan, namun atas JO sebaiknya terdapat kewajiban untuk melaksanakan
pembukuan meliputi laporan keuangan, yang pada akhirnya dilampirkan dalam pelaporan
SPT 21 Masa Desember yang merupakan akumulasi satu tahun atau SPT PPh Badan masing-
masing anggota JO. Penyelenggaraan pembukuan meliputi laporan keuangan oleh JO
memiliki fungsi yang dapat memberikan keuntungan dan kemudahan baik bagi pihak fiskus
maupun Wajib Pajak sendiri.

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013
18

Kepustakaan

Buku
Bungin, Burhan. (2010). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana

Judisseno, Rimsky K. (2005). Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan Tentang Kepastian
Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Mansury. (1996). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia (Jilid 2). Jakarta:
Bina Rena Pariwara

________. (1996). Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Ind-Hill Co

Mardiasmo. (2008). Perpajakan: Edisi Revisi 2008. Yogyakarta: Andi

Muljono, Djoko. (2009). Tax Planning: Menyiasati Pajak dengan Bijak. Yogyakarta: ANDI

Nurmantu, Safri. (2005). Pengantar Perpajakan (Edisi 3). Jakarta: Granit.

Pandiangan, Liberti. (2010). Pedoman Praktis Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan
Pasal 26. Jakarta: Salemba Empat

Rahayu, Ning dan Iman Santoso (2007). Bunga Rampai Perpajakan Indonesia. Depok: FISIP
UI Pers

Rosdiana, Haula dan Edi Slamet. (2011). Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di
Indonesia. Jakarta: Visimedia

Setiawan, Agus. (2006). PPh Pemotongan Pemungutan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Soemitro, Rochmat (1988). Pajak Ditinjau dari Segi Hukum. Bandung: PT. Eresco

Soemitro, Rochmat dan Dewi Kania Sugiharti. (2004). Asas dan Dasar Perpajakan (Edisi
Revisi 1). Bandung: PT. Refika Aditama

Sudarto. (2011). Meningkatkan Kinerja Perusahaan Jasa Konstruksi di Indonesia: Aplikasi


Knowledge Based Management System. Jakarta: Centre for Construction and
Infrastructure Studies.

Publikasi Elektronik
www.bps.go.id

Universitas Indonesia
Analisis pajak..., Nadhilah Hafizhi, FISIP-UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai