Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH HUKUM BISNIS

HUKUM KEPAILITAN
DOSEN PENGAMPUH,

DI SUSUN OLEH:

NAMA:PUTRI ANGGRAENI MOITA

NIM :226601212

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ENAM-ENAM KENDARI

TAHUN AJARAN 2022/2023


DAFTAR ISI
BAB 1……………………………………………………………………………………………………………………………………….

RUMUSAN MASALAH……………………………………………………………………………………………………………….

TUJUAN ………………………………………………………………………………………………………………………………

PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………………………

BAB 2…………………………………………………………………………………………………………………………………….

PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………………………………………

PENGERTIAN ……………………………………………………………………………………………………………………….

Rapat Para
Kreditur……………………………………………………………………………………………………………………………..

FAKTOR-FAKTOR………………………………………………………………………………………………………………..

BAB 3 …………………………………………………………………………………………………………………………………

KESIMPULAN……………………………………………………………………………………………………………………….
Rumusalan msalah
Ingin menegetahui hukumnya
Pencapaian
Kebijakan hukum kepailitan
Tujuan
1. Pengertian Kepailitan.
2. Pengaturan Kepailitan.
3. Verifikasi
4. Rehabilitasi.
5. Penundaan Pembayaran.

BAB 1
PENDAHULUAN
PENGERTIAN KEPAILITAN

Bila ditelusuri lebih mendasar, bahwa istilah “pailit” dijumpai di dalam


perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris dengan istilah yang
berbeda-beda.

Di dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau


kemacetan dalam melakukan pembayaran. Oleh sebab itu orang mogok atau
macet atau berhenti membayar utangnya di dalam bahasa Perancis disebut lefailli.
Untuk arti yang sama di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah failliet.
Sedangkan di dalam bahasa Inggris dikenal istilah “to fail” dan di dalam bahasa
latin dipergunakan istilah “fallire.

Pailit, di dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum diartikan sebagai


keadaan debitur (yang berutang) yang berhenti membayar (tidak membayar)
utang-utangnya. Hal itu tercermin dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 4 tahun 1998,
yang menentukan;

“Debitur yang mempunyai dua tau lebih kreditur dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang…”. Baik atas
permohonann sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya.

Berhubung pernyataan pailit terhadap debitur itu harus melalui proses pengadilan
(melalui fase-fase pemeriksaan), maka segala sesuatu yang menyangkut tentang
peristiwa pailit itu disebut dengan istilah “kepailitan”

8.3.2 Pengaturan Kepailitan

Kepailitan mula-mula diatur 2 buku, yaitu : Buku III WWK (KUHD) dan
Titel III Burgerlijke Rechtsveroordering (RV). Mengingat pengaturan kepailitan
di dalam kedua buku tersebut dirasakan kurang praktis, maka pada tahun 1883 di
negeri Belanda dikeluarkan Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordering).

Akhirnya dengan adanya kemungkinan untuk menundukan diri terhadap


hukum perdata Eropa maka kepailitan ini berlaku juga untuk golongan Timur
Asing Cina dan non Cina. Adapun setelah itu kepailitan dimasukkan ke dalam
peraturan tersendiri yang diletakkan pada bagian belakang KUHD.

A. Dasar Hukum Kepailitan

Sebagai dasar umum (peraturan umum) dari lembaga kepailitan ialah Kitab
hukum Perdata (KUH-Perdata), khususnya pasal 1131 dan 1132. Sedangkan dasar
hukum yang khusus tentang kepailitan di Indonesia saat ini diatur dalam “UU No.
4 tahun 1998.

B. Pernyataan Kepailitan

1. Kepailitan harus dinyatakan dengan putusan hakim atau prngadilan.

Seorang debitur (yang berhutang) baru dapat dikatan dalam keadaan


pailit, apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan dengan suatu
keputusan hakim. Kewenangan pengadilan untuk menjatuhkan keputusan
kepailitan itu telah ditentukan secara tegas di dalam pasal 2 UU no. 4 tahun1998.

Campur tangan pemerintah (pengadilan) dipandang sangat perlu oleh


pembentuk undang-undang, karena dengan demikian pengadilan dapat melakukan
langkah-langkah prevebtif-dapat melakukan pensitaan umum (eksekusi massal)
terhada harta kekayaan debitur-demi kepentingan kreditur.

2. Syarat-syarat Untuk Dinyatakan Pailit

Agar debitur dapat dinyatakan pailit, maka pasal 1 UU no. 4 tahun 1998 telah
menentukan syarat seorang debitur untuk dapat dinyatakan pailit yaitu :

a. debitur memiliki dua atau lebih kreditur;


b. debitur tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu atau
dapat ditagih.

Yang menjadi persoalan ialah, apakah yang menjadi ukuran bagi “keadaan
tidak dapat membayar/berhenti membayar”. Di dalam beberapa yurisprudensi
telah diinterpretasikan arti “keadaan berhenti membayar” secara lebih luas, yakni :

a. keadaan berhent membayar tidak sama sekali dengan keadaan bahwa


kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar utangnya yang sidah dapat
ditagih, melainkan bahwa debitur tidak membayar utangnya itu (Putusan
HR, 22 Maret 1946, 233);
b. debutur dapat dianggap dalam keadaan berhenti membayar walaupun
utang-utangnya itu belum dapat ditagih pada saat itu (Putusan HR, 26
Januari 1940, 515).

3. Pihak-Pihak yang Dinyatakan Pailit

Bila disimak ketentuan UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan maka yang
dapat dinyatakan pailit adaah “debitur”. Dengan mempergunakan istilah debitur
itu maka yang dapat dinyatakan pailit adalah:
a. Siapa saja/setiap orang yang menjalankan perusahaan atau tidak
menjalankan perusahaan;
b. Badan hukum, baik yang berbentuk Perseroan Terbatas, Firma, Koperasi,
Perusahaan Negara dan badan-badan hukum lainnya;
c. Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia, dapat dinyatakan
pailit, apabila orang yang meninggal dunia semasa hidupnya berada dalam
keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannnya pada saat
meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya.
d. Setiap wanita bersuami (si istri) yang dengan tenaga sendiri melakukan
suatu pekerjaan tetap atau suatu perusahaan atau mempunyai kekayaan
sendiri.

4. Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan Permohonan Kepailitan

Apabila dilihat pada ketentuan pasal 1 s/d 3 UU No. 4 Tahun 1998 maka yang
dapat mengajukan permohonan kepalitan, adalah:

a. Debitur sendiri yang memiliki dua atau lebih kreditur ( pasal 1 ayat 1).
Melihat etentuan itu maka berarti debitur yang hanya memiliki seorang
kreditur tidak dapat mengajukan permohonan kepailitan; Apabila debitur
itu adalah seorang suami/istri yang sudah menikah maka permohonan itu
hanya dapat diajukan dengan persetujuan satu pihak, kecuali tidak ada
percampuran harta kekayaan (pasal 3);
b. Seorang kreditur atau lebih, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-
sama. Jika kreditur tersebut adaah satu-satunya kreditur maka permohonan
kepailitan tidak dapat diajukan oleh kreditur.
c. Jaksa atau penuntut umum.

5. Acara dan Tata Cara Permohonan Kepailitan

a. Sebagai awal dari pemeriksaan kepailitan didahului dengan adanya


“permohonan kepailitan” oleh pihak-pihak yang berwenang 9debitur,
kreditur maupun kejaksaan). Permohonan itu diajukan kepada
Pengadilan melalui panitera pengadilan negeri yang berwenag di
tempat kediaman debitur (pasal 2 ayat 1)
Panitera pengadilan setelah menerima permohonan itu melakukan
pendaftaran dalam registernya dengan memberikan nomor
pendaftaran , dan kepada pemohon diberikan tanda bukti tertulis yang
ditanda tangani panitera. Tanda bukti penerimaan itu harus sama
dengan tanggal pendaftaran permohonan. Selanjutnya dalam waktu 1
X 24 jam Panitera menyampaikan permohonan kepailitan itu kepada
Ketua Pengadilan untuk mempelajari selama 2 X 24 oleh ketua
pengadilan dan menetapkan hari persidangannya.
b. Setelah Ketua Pengadilan mempelajari permohonan kepailitan itu,
maka para pihak (permohonan dan termohon) dipanggil untuk
menghadiri pemeriksaan kepailitan itu. Pemeriksaan itu harus sudah
dilangsungkan paling lambat 20 hari sejak permohonan didaftarkan di
kepaniteraan.
c. Apabila di dalam pemeriksaan itu terbukti secara sumier bahwa debitur
berada dalam keadaan berhenti membayar, maka hakim akan
menjatuhkan putusan kepailitan terhadap debitur. Vonis kepailitan itu
harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 6 ayat 5)
dan putusan itu harus telah diputuskan paling kambat 30 hari sejak
tanggal permohonan didaftarkan. Putusan kepailitan bersifat
konstitutif, yaitu putusan yang meniadakan keadaan hukum atau
menimbulkan keadaan hukum yang baru.
d. Di dalam 2 X 24 jam Pengadilan wajib menyampakan salinan putusan
hakim itu pada debitur, kreditur, kurator dan hakim pengawas. Putusan
Pengadilan disamping memuat alasan hukum yang mendasari putusan
itu, juga berisi pengangkatan seorang hakim pengawas dan kurator
sepanjang diminta oleh debitur atau kreditur. Akan tetapi apabila
debitur atau kreditur tidak meminta maka Balai Harta Peninggalan
(BHP) bertindak selaku kurator (pasal 13 ayat 1 dan 2).
e. Setelah putusan kepailitan dijatuhkan oleh hakim yang memeriksa,
maka Pengadilan Negeri dalam waktu 2 x 24 jam memberitahukan
dengan surat dinas tercatat atau melalui kurir tentang putusan itu
beserta salinan utusannya kepada :
1. Debitur yang dinyatakan pailit;
2. Pihak yang mengajukan permohonan pailit;
3. Kurator serta Hakim Pengawas

Selanjutnya dalam waktu paling lambat 5 hari setelah tanggal


diputuskannya permohonan kepailitan, maka kurator mengumumkan
dalam Berita Negara RI serta sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) surat
kabar hariannya ditetapkan oleh Hakim Pengawas (pasal 13 ayat 3).

Dalam pengumuman itu dikemukakan pula hal-hal yang menyangkut :

a. Ikhtisar keputusan kepailitan;


b. Identitas, pekerjaan dan alamat debitur;
c. Identitas, pekerjaan dan alamat anggota sementara kreditur (apabila
telah ditunjuk);
d. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat peertama kreditur;
e. Identitas hakim pengawas.

Dengan dijatuhkannya putusan kepailitan, maka demi hukum Kurator


atau Balai harta Peninggalan (BHP) akan bertindak menjadi kuratif
(pengampu) si pailit. Oleh karena itu Kurator atau Balai Harta
Peninggalan yang bertugas mengurus harta (boedel) si pailit dan segala
hubungan surat menyurat yang dialamatkan kepada pailit akan diteruskan
kepada Balai Harta Peniggalan.

6. Upaya Hukum Terhadap Putusan Kepailitan


Seperti diketahui, bahwa upaya hukum merupakan langkah atau usaha yang
diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, untuk memperoleh keputusan
yang adil (keadilan).

Di dalam hukum acara dikenal tiga upaya hukum, yaitu:

a. Perlawanan (verzet);
b. Banding (hoger beroep);
c. Kasasi (cassatie).

Upaya hukum di atas dalam hukum kepailitan (yang lama) dapat diajukan
oleh:

a. Debitur;
Terhadap suatu keputusan pengadilan kepailitan yang dijatuhkan
bukan atas permohonan debitur sendiri, maka debitur dapat mengajukan
upaya hukum berupa:
1. Perlawanan (verzet), yaitu suatu upaya hukum yang diajukan akibat
tidak didengarnya keterangan “debitur “ di depan sidang pemeriksaan
kepailitan tersebut, baik karena debitur tidak dipanggil di persidangan
maupun telah dipanggil. Perlawanan tersebut harus diajukan dengan
mengajukan permohonan ke paniteraan pengadilan negeri yang
menjatuhkan putusan kepalitan. Tenggang waktu mengajukan
perlawanan selama 14 hari sejak putusan itu diucapkan.
2. Banding, yaitu suatu upaya hukum yang diajukan oleh debitur apabila:
1. Perlawanan yang diajukan di atas ditolak atau tidak diterima oleh
pengadilan. Banding atas penolakan perlawanan itu diajukan dalam
tenggang waktu 8 hari terhitung sejak putusan penolakan itu
dinyatakan oleh hakim.
2. Debitur telah didengar dalam pemeriksaan dan dinyatakan palit oleh
pengadilan negeri, maka banding pun dapat diajukan olehnya dalam
tenggang waktu 8 hari setelah putusan kepailitan itu diucapkan.
b. Kreditur;
Kreditur dapat mengajukan upaya hukum berupa banding, apabila
setelah mengajukan permohonan kepailitan, tetapi permohonan itu ditolak
oleh pengadilan. Upaya banding itu harus diajukan dalam tenggang waktu
8 hari sejak penolakan itu dijatuhkan oleh pengadilan. Selain itu,
bandingpun dapat diajukan oleh kreditur apabila ternyata putusan itu
dibatalkan oleh pengadilan akibat adanya perlawanan oleh debitur.
c. Jaksa demi kepentingan umum;
Jaksa dapat mengajukan upaya hukum banding apabila permohonan
kepailitanyang diajukannya ditolak oleh pengadilan, atau putusan
kepailitan yang diajukannya diterima oleh pengadilan, tetapi dibatalkan
kembali oleh pengadilan karena adanya perlawanan oleh debitur. Banding
ini pun harus dilakukan dalam tenggang waktu 8 hari setelah ditolaknya
permohonan kepailitan atau setelah dibatalkannya putusan kepailitan itu.
d. Para kreditur yang tidak memohon kepailitan dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Kreditur-kreditur yang tidak mengajukan permohonan kepailitan
maupun pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan (verzet) terhadap
putusan kepailitan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. Perlawanan itu
harus diajukan dalam tenggang waktu 8 hari setelah putusan diucapkan.

7. Tindakan-Tindakan Setelah Pernyataan Kepailitan

Jika dilihat dari bunyi pasal 48PK, tersurat dengan jelas, bahwa pengadilan
negeri dengan keputusan kepailitan atau pada setiap waktu dapat memrintahkan
penahanan si debitur (si pailit). Penahanan terhadap si pailit (setelah keluarnya
putusan kepailitan itu), hanya dapat dilakukan apabila hal itu diusulkan oleh
hakim komisaris, atau dimohon oleh Balai Harta Peninggalan, seorang atau lebih
kreditur.

Pelaksanaan penahanan itu dilakukan oleh para jaksa pada penjara atau rumah
si pailit sendiri dibawah pengawasan pejabat yang sah. Masa penahanan itu tidak
boleh lebih dari 30 hari dengan kemungkinan dapat diperpanjang lagi untuk masa
30 hari. Dalam undang-undang (PK) tidak dijelaskan mengapa diperlukan upaya
penahanan, padahal sebagaimana diketahui, sejak keputusan kepailitan harta
kekayaan (boedel) si pailit telah diurus oleh BHP untuk dijadikan jaminan
pelunasan utang-utangnya. Sehingga tentunya tidak ada alasan bagi debitur untuk
tidak memenuhi kewajibannya dalam kepailitan.

Pengamanan dalam bentuk pengurusan, penguasaan dan pemberesan harta


kepailitan oleh BHP merupakan tindakan preventif (pasal 67), untuk mencegah
jangan sampai harta kekayaan su pailit dialihtangankan kepada pihak yang tidak
berhak. Berkenaan dengan hal itulah, maka BHP harus melakukan tindakan-
tindakan berikut:
a. Mengupayakan penyimpanan boedel si pailit.
b. Mengupayakan penyegelan boedel bila dianggap perlu, tentunya
penyegelan itu dilakukan oleh panitera pengadilan negeri dengan
disaksikan oleh dua rang saksi.
c. Menjual benda-benda si pailit (sebelum tahap insolevensi), bila benda-
benda tersebut tidak tahan lama untuk disimpan. Hasil penjualan itu
dipandang perlu, dapat dipakai untuk membiayai kepailitan.
d. Mengadakan akor setelah mendapat saran-saran dari Panitia Para Kreditur
(kalau ada), serta mendapat persetujuan dari Hakim Komisaris.
e. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga semata-mata dalam rangka
meningkatkan nilai harta pailit (pasal 67 ayat 2b).
Ada bebraa harta yang tegas dikecualikan dari kepailitan, yaitu:
a. Alat perlengkapan tidur dan pakaian sehari-hari;
b. Alat perlengkapan dinas;
c. Alat perlengkapan kerja;
d. Persediaan makanan untuk kira-kira satu bulan;
e. Buku-buku yang dipakai bekerja;
f. Gaji, upah, pensiun, uang jasa dan honorarium;
g. Hak cipta;
h. Sejumlah uang yang ditentukan oleh hakim komisaris untuk nafkahnya
(debitur);
Begitupula hak-hak pribadi debitur yang tidak dapat menghasilkan kekayaan,
atau barang-barang milik pihak ketiga yang kebetulan berada di tangan si pailit,
tidak dapat dikenakan eksekusi, misalnya: hak pakai dan hak mendiami rumah.

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Rapat Para Kreditur

Seperti yang kita ketahuai, bahwa Hakim Pengawas/ Panitia Kreditur


Tetap menentukan waktu dan tempat diadakanya Rapat Kreditur yang
pertama,yang waktunya paling lambat 15 hari setelah putusan pernyataan pailit.
Rencana penyelenggaraan rapat itu baru diberitahukan juga kepada kurator.
Segala keputusan yang dikeluarkan dalam Rapat Kreditur itu harus dilakukan
dengan suara terbanyak dari kreditur /kuasannya yang hadir dalam rapat itu (pasal
78 UU No.4 Tahun 1998).

Rapat-rapat yang dapat dilakukan oleh pra klreditur terdiri dari :

1. Rapat verifikasi;

2. Rapat untuk membicarakan akkoord,bila hal ini diajukan oleh si pailit dan
belum sempat diajukan dalam rapat verifikasi;

3. Rapat luar biasa, apabila hal itu dipandang perlu oleh hakim pengawas
(pasal 81 ayat 1 PK);

4. Rapat untuk membicarakan perusahaan si pailit, apakah perlu dilanjutkan


atau tidak. Hal ini perlu apabila si pailit tidak menawarkan akkoord pada
rapat verifikasi atau akkoord ditolak (pasal 168a PK);

5. Rapat untuk membicarakan pemberesan boedel dan memverifikasi tgihan-


tagihan yang terlambat masuk (pasal 173 PK).

Rapat para kreditur di atas diketahui dan dipimpin oleh Hakim Pengawas
dengan seorang panitera pengadilan negeri sebagai notulen. Balai Harta
Peninggalan diwajibkan hadir pada rapat-rapat tersebut (pasal 77 PK), dan segala
keputusan pada rapat tersebut diambil dengan suara terbanyak, kecuali yang
menyangkut mengenai perdamaian (akkoord) dan hal-hal yang dimaksud dalam
pasal 168b.

Pada rapat-rapat itulah, para kreditur hadir untuk membela


kepentingannya.Agar kreditur dapat hadir tepat pada waktunya, maka BHP harus
menyampaikan panggilan rapat melalui surat, iklan atau surat kabar resmi yang
ditunjuk oleh hakim pengawas. Di dalam undangan rapat itu dijelaskan pula
tentang acara/agenda yang akan dibahas dalam rapat tersebut.

Adapun kewenangan dari rapat para kreditur itu meliputi beberapa hal,
yaitu :

1. Mengambil keputusan tentaang akkoord yang ditawarkan oleh si pailit;


2. Memberikan suara tentang perlu tidaknya pengangkatan panitia para
kreditur tetap;
3. Menunda pembicaraan akkoord sampai adanya rapat verifikasi;
4. Memutuskan tentang verifikasi tagihan-tagihan dengan syarat
mempertangguhan nilai/harga pada saat dinyatakan pailit.

B. Arti Verifikasi

Verifikasi diartikan dengan pencocokan atau pengujian atas utang-utang si


pailit atau piutang-piutang kreditur yang harus dimasukkan ke Balai Harta
Peninggalan. Hal itu tidak salah, karena dalam verifikasi itulah diadakan
pemeriksaan, pencocokan, pengujian atas tagihan-tagihan kreditur dan
pembukuan-pembukuan yang dimiliki oleh si pailit. Diterima tidaknya
tagihan-tagihan itu oleh Balai Harta Peninggalan tergantung dari alat-alat
bukti yang diajukan kreditur. Oleh sebab itu, ketika kreditur memasukkan
tagihannya ke Balai Harta Peninggalan, ia harus menyertakan perhitungan-
perhitungan atau keterangan tertulis yang menunjukkan sifat dan jumlah
tagihannya, serta alat-alat bukti yang mendukung tagihan itu.

Yang dimaksud dengan verifikasi dalam Peraturan Kepailitan ialah,


prosedur untuk menetapkan bak menagib. Hal itu berarti, verifikasi
menetapkan tentang tata cara kreditur menyampaikan tagihannya agar tagihan
itu dapat diakui dan ditetapkan. Bilamana tagihan-tagihan itu (berdasarkan alat
bukti yang ada) ditetapkan dengan pasti, maka tagihan-tagihan itu disebut
tagihan yang diakui atau tagihan yang diverifikasi, dan krediturnya disebut
kreditur yang diakui. Sedangkan tagihan yang tidak cocok dengan catatan dari
si pailit, akan ditolak oleh Balai Harta Peninggalan dengan disertai alasan-
alasannya.

Berkenaan dengan itulah, maka Balai Harta Peninggalan tentunya akan


membuat 2 daftar tagihan, yaitu tagihan yang diterima atau diakui dan tagihan
yang ditolak . Kedua daftar tagihan itu disediakan di kantor Balai Harta
Peninggalan selama tujuh hari sebelum diadakan rapat verifikasi, agar setiap
kreditur dan setiap orang yang berkepentingan dapat melihatnya secara cuma-
Cuma (pasal 110 PK)

Di dalam Peraturan Kepailitan dibedakan beberapa jenis tagihan atau


piutang,yaitu :

1. Tagihan yang diakui sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 117


ayat 1 Pk, sebagai berikut :

“Tagihan-tagihan yang tidak dibantah,dipindahkan dalam suatu daftar


penagih-penagih yang diakui yang dimasukkan dalam berita acara. . .”

2. Tagihan yang diakui dengan bersyarat, yaitu tagihan yang belum


definitif, tetapi dianggap definitive dengan syarat (pasal 117 ayat 2,
pasal 121, pasal 126 ayat 2, pasal 131 ayat 2, pasal 132 ayat 2).

3. Tagihan yang dibantah, yaitu tagihan yang tidak diakui kebenarannya


baik oleh Balai Harta Peninggalan maupun oleh seorang kreditur atau
lebih (pasal 118 PK).

C. Rapat Verifikasi

Setelah tersusunnya daftar piutang atau tagihan oleh kurator/Balai Harta


Peninggalan, baik piutang yang diterima maupun ditolak, maka daftar piutang itu
belumlah berlaku secara hukum (belum mempunyai kekuatan hukum). Dengan
kata lain daftar itu sifatnya masih sementara yang nantinya akan mendapat
pengesahan pada rapat verifikasi.

Selambat-lambatnya 14 hari sesudah putusan kepailitan mempunyai


kekuatan hukum yang pasti, maka Hakim Pengawas menetapkan antara lain :

1. Hari dan tanggal terakhir tagihan-tagihan dimasukkan/diajukan ke Balai


Harta Peninggalan ;
2. Hari, tanggal, jam dan tempat rapat verifikasi akan diadakan.

Yang perlu diperhatikan disini ialah, bahwa tenggang waktu masuknya


tagihan dengan hari dilangsungkannya rapat verifikasi paling sedikit 14 hari (pasal
104 PK). Seperti yang diungkapkan di depan, bahwa rapat verifikasi ini dipimpin
oleh Hakim, serta dihadiri oleh Balai Harta Peninggalan, para kreditur dan si
pailit.
Kreditur dapat saaja tidak hadir pada rapat verifikasi asalkan
dikuasakan/diwakili oleh kuasanya. Sedangkan bagi si pailit, kehadirannya mutlak
diperlukan untuk didengar keterangannya mengenai sebab-sebab kepailitan dan
keadaan boedel. Apabila si pailit tidak hadir pada rapat tersebut, padahal ia telah
dipanggil dengan patut, maka rapat verifikasi dapat terus dilangsungkan dengan
tanpa hadirnya si pailit.
Sebelum memutuskan status tagihan-tagihan itu, kurator/Balai Harta
Peninggalan akan memperhatikan status harta kreditur, oleh sebab itu para
kreditur harus digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Golongan khusus, yaitu kreditur yang mempunyai hak gadai dan
hipotik, yang mempunyai kewenangan bertindak sendiri terhadap
obyek gadai/ hipotik (pasal 1178 KUH-Perdata);
2. Golongan istimewa (privilege), yaitu golongan kreditur yang
piutangnya mempunyai kedudukan istimewa: hak untuk pelunasan
terlebih dahulu atas hasil penjualan (lelang) harta si pailit (pasal 1133,
pasal 1134, pasal 1139 dan pasal 1149 KUH-Perdata);
3. Golongan kongkuren (concurrent), yaitu kreditur yang tidak termasuk
golongan khusus dan golongan istimewa, yang perlunasan piutangnya
dicukupkan dari sisa hasil penjualan/pelelangan harta si pailit setelah
dipakai untuk melunasi piutang kreditur khusus dan istimewa (pasl 132
KUH-Perdata).

Singkatnya, rapat verifikasi mempunyai acara pokok, yaitu untuk


memeriksa dan mengesahkan tagihan-tagihan yang telah masuk (yang sebelumnya
telah disusun oleh kurator/Balai Harta Peninggalan).
Dari rapat verifikasi itu akan dihasilkan beberapa kemungkinan, yaitu:
1. Tagihan yang tidak dibantah oleh Balai Harta Peninggalan maupun
seorang kreditur, yang merupakan tagihan yang diakui secara pasti
dan tetap dalam kepailitan;
2. Tagihan yang tidak dibantah oleh kurator / Balai Harta
Peninggalan dan seorang kreditur, akan tetapi diperlukan
pengukuhan dengan sumpah;
3. Yagihan yang dibantah baik oleh kurator/ Balai Harta Peninggalan
maupun oleh kreditur.

8.3.4 REHABILITASI

Bila kepailitan telah berakhir, maka debitur pailit atau ahli warisnya dapat
mengajukan permohonan rehabilitasi kepada pengadilan negeri. Rehabilitasi
dalam kepailitan yaitu pengembalian nama baik seseorang (bekas pailit) pada
keadaan sebelum terjadinya kepailitan. Dengan demikian si bekas pailit tadi akan
mendapat kepercayaan dari masyarakat kembali.

Permohonan rehabilitasi harus disertai dengan bukti-bukti pelunasan utang


kepada para kreditur. Permohonan itu diumumkan dalam surat-surat kabar atau
majalah-majalah. Terhadap permohonan rehabilitasi ini, kreditur dapat
mengajukan perlawanan yang diadakan dengan mengemukakan alasan-alasannya.
Bila tidak ada perlawanan maka pengadilan negeri akan menerima atau menolak
berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya.

8.3.5 PENUNDAAN PEMBAYARAN

Penundaan pembayaran adalah suatu lembaga dalah hukum kepailitan


yang berupa permintaan debitur untuk menunda pembayarannya, dengan tujuan
untuk menghindarkan kepailitan. Dengan penundaan pembayaran terdebut
diharapkan debitur dapat melanjutkan kembali perusahaannya agar dapat
melumnasi utangnya secara penuh kepada para kreditur.

1. Perbedaan Penundaan Pembayaran dengan Kepailitan

Adapun perbedaan antara penundaan pembayaran dan kepailitan adalah


bahwa dalam penundaan pembayaran debitur tidak kehilangan hak untuk
mengurus dan menguasai harta kekayaannya. Permohonan atas penundaan
pembayaran ini akan mendapat izin sementara dari hakim. Izin tetap akan
diberikan oleh hakim setelah terciptanya musyawarah para kreditur. Perbedaan
lain yanag terjadi antara penundaan pembayaran dan kepailitan yaitu:

a. Dilihat dari segi waktu pemberian penundaan pembayaran dan


kepailitan

Pada penundaan pembayaran, permohonan itu harus diajukan oleh


debitur sebelum ia dinyatakan bangkrut (pailit) oleh pengadilan. Jadi
debitur tidak diperkenenkan mengajukan permohonan penundaan
pembayaran apabila telah ada keputusan kepailitan.

b. Keadaan tertunda

Dalam kepailitan, kedudukan debitur sedemikian buruknya sehingga


kewenangan bertindak terhadap harta bendanya akan hilang.
Sedangkan dalam penundaan pembayaran, si tertunda masih berwenag
untuk berrtindak terhadap harta bendanya danbahkan masih berhak
atas hartanya itu.
c. Pengurus

Berkenaan dengan kedudukan si tertunda yang masih dianggap cakap


dan wenang untuk mengurus harta bendanya, maka untuk mengawasi
tindakannya itu harus mendapat izin dari seorang pengurus yang
dulunya disebut dengan pemelihara.

d. Balai harta peninggalan (BHP) dan kurator

Jika dalam kepailitan dibutuhkan campur tangan dan keterlibatan Balai


Harta Peninggalan atau curator untuk mengurus harat benda si pailit
(karena si pailit tidak berhak lagi mengurus harta bendanya), maka
dalam penundaan pembayaran, Ballai Harta peninggalan tidak
diperlukan lagi..

Sebagai gantinya, ialah Pengurus yang bertugas sebagia berikut:

a. Mengurus kepentinga si tertunda, yang meliputi seluruh harta


kelayaan. Pengurusan ini dilakukan bersama dengan debitur;

b. Melaksana tugas-tugas khusus yang dipercayakan kepadanaya


ketika ia diangkat. Pelaksanaan tugas khusus ini dilakukan
secara bebas (tanapa dipengaruhi oleh orang lain) dalam batas-
batas kewenangan khusus itu.

Pengurus diwajibkan membuat laporan setiap 3 bulan sekali


tentang keadaan kekayaan debitur, dan laporan ini diserahkan ke
Panitera pengadilan agar dapat dilihat oleh semua pihak secara
cuma-cuma.

e. Hakim Pengawas

Dalam lembaga penundaan pembayaran keberadaan Hakim Pengawas


masih sangat diperlukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 214 ayat
2 UU No. 4 tahun 1998. Hakim Pengawas dapat mengangkat Team
ahli untuk melakukan pemeriksaan dan menyusun laporan tentang
keadaan kekayaan debitur beserta rekomendasinya. Laporan ini harus
diserahkan pada Kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat oleh
semua pihak.

f. Panitia Kreditur

Berkenaan dengan penundaan pembayaran hutang maka Hakim harus


mengangkat Panitia Kreditur apabila permohonan penundaan
pembayaran ini menyangkut kewajiban pembayaran utang dalam
jumlah besar dan bersifat rumit. Pengangkatan itu harus disetujui oleh
paling kurang ½ kreditur dari seluruh tagihan yang diakui.

Tugas panitia krreditur ini adalah memberikan nasihat dan


rekomendasi kepada Pengurus terhadap berbagai hal yang berkaitan
dengan kebijakan yang menyangkut harta debitur.

Hakim tidak akan memberikan izin tetap penundaan pembayaran tertentu apabila:

a. Permohonan itu ditolak oleh para kreditur yang memiliki ¼ dari jimlah
keseluruhan piutang yang diwakili dalam rapat atau ditolak oleh 1/3 dari
jumlah kreditur.
b. Ada kekhawatiran bahwa debutur akan mencoba merugikan para
krediturnya.
c. Tidak ada harapan bahwa debitur akan dapat memenuhi kewajibannya
setelah lampaunya waktu penundaan.

Apabila permohonan penundaan pembayaran ini diajukan bersama-sama


dengan permohonan kepailitan, maka permohonan penundaan pembayran ini akan
diperiksa terlebih dahulu.

Adapun permohonan penundaan pembayaran yang telah diberikan oleh hakim


dapat dicabut berdasarkan alasan-alasann sebagai berikut:

a. Si tertunda telah bersalah melakukan tindakan yang tidak jujur trhadap


pengurusan harta bendanya.
b. Si tertunda berusaha merugikan kreditur-krediturnya.
c. Tertunda melakukan perbuatann hukum tanpa adanya pesetujuan
caretaker.
d. Si tertunda lalai dalam menjalankan ketentuan-ketentuan yang diharuskan
e. Penundaan plembayaran ternyata tidak berguna bagi pelunasan utang-
utangnya.

2. Hal-hal yang terjadi dengan adanaya penundaan pembayaran.


Dengan adanya penundaan pembayaran, maka dapat terjadi beberapa
kemungkinan, yaitu:
a. Piutang-piutang para kreditur akan dibayar/dapat dibayar
seluruhnya oleh debitur;
b. Pembayaran piutang kreditur itu dilunasi sebagian melalui
pemberesan tahap demi tahap;
c. Suatu perdamaian di bawah tangan;
d. Pengesahan perdamain apabila terjadi perdamain;
e. Pernyataan pailit, apabila tujuan ynag hendak dicapai dengan
pengunduran pembayaran itu tidak tercapai.

Selanjutnya debitur dapt pula melakukan pemutusan hubungan kerja


dengan karyawannya berdasarkan perantara yang berlaku dan segala
utang yang berkkaitan dengan gaji dan biaya lainnya menjadi utang
debitur.
Sedangkan keuntungan yang diperoleh dengan adanya penundaan
pembayaran ialah sebagai berikut:
a. Bagi debitur, dalam waktu yang cukup akan dapat memperbaiki
dan menagtasi kesulitan ekonominya, dan pada akhirnya kelakia
dapat membayar utang-utangnya secara penuh. Sebaliknya, apabila
debitur serta merta dijatuhi kapailitan, perusahaannya
dijual/dilelang untuk melunasi utangnya., maka harta debitur akan
lenyap dan tidak dapat melanjutkan usahanya lagi.
b. Bagi kreditur, dengan diberikannya penundaan pembayaran,
kemungkinan besar debitur akan dapat melunasi utangnya secara
penuh, sehingga kreditur tidak dirugikan.

Selain memiliki keuntungan, penundaan pembayran juga memiliki akibat-


akibat sebagi berikut:
a. Selama berlangsungny apenundaan pembayaran, si debitur tidak
boleh dipaksa untuk membayr utang-utangnya.
b. Si debitur masih tetap berhak dan berwenang mengurus an
menguasai harta bendanya.
c. Segala tindakan eksekusi yang telah dimuli untuk mendapatkan
perlunasan utang, harus ditangguhkan.
d. Si debitur (tertunda) masih diberikan kelekuasaan untuk membayar
utangnya. Tetapi apabila ia membayar, pembayaran itu haruslah
dilakukan secara berimbang dan merata kepada semua krediturnya.
e. Selama waktu penundaan pembayaran, si debitur tidak boleh
dimintakan pernyataan pailid begitu saja.

3. Prosedur (acara ) Permohonan Penundaan Pembayaran

a. Debitur dan kuasanya men gajukan pemohonan penundaan


pembayaran kepada Pengadilan Negeri (dalam wilayah hukum tempat
tinggal debitur)

Permohonan itu harus dilampirkan surat-surat antara lain :

1. Jum;ah perincian aktiva dari harta bendanya beserta bukti-bukti yang


diperlukan.
2. Nama-nama kreditur beserta alamtnya, dan besar piutangnya masing-
masing.
Surat permohonan dan lampiran tersebut diletakkan di kepaniteraan
pengadilan negeri agar dapat dilihat oleh semua pihak yang
berkepentingan.
b. Seketika setelah pengadilan negeri menerima permohonan penundaan
pembayaran itu, mengabulkan permohonan itu untuk sementara
dengan memberika ixin sementara penundaan pembayaran.
Seiring dengan pemberian izin sementara itu, pengadilan akan mengankat
hakim nPengawas dan seorang atau lebih.
c. Hakim pengadilan negeri paling lambat 45 hari melalui paniteranya
memanggil kreditur yang bersangkutan, debitur dan Pengurus untuk
diadakan sidang pada jam, hari dan tempat tertentu. Pada musyawarah
itulah akan didengar pendapat para kreditur tentang permohonan
penundaan pembayaran tersebut secara akor. Selain itu Pengurus wajib
mengfumumkan putusan penundaan pembayaran . Sementara itu pada
Berita Negara paling lambat 21 hari sebelum sidang dilakssanakan.
d. Dalam rapat di atas akan ada pemungutab suara untuk memutuskan ,
apakah penundaan pembayaran itu dikabulkan atau ditolak.
Berdasarkan hasil pemungutan suara itulah, Pengadilan akan dapat
memberikan keputusan yang definitif terhadap penundaan pembayaran
yang sebelumnya masih bersifat sementara. Ermohonan penundaan
pembayaran utang akan dikabulkan apabila disetujui lebih dari ½
kreditur konkuran yang haknya diakui atau sementara diakui yang
hadir danmewakili paling tidak 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang
diakui atau yang sementar diakui dari kreditur atau kuasnya yang hadir
dalam sidang tersebut.
Permohonan penundaan pembayaran utang tidak akan dikabulkan apabila:
a. Adanya alasan yang mengkhawatirkan, bahwa debitur selam
penundaan pembayran akan mencoba merugikan kreditur-krediturnya
b. Apabila tidak ada harapan bagi debitur, selam penundaan pembayaran
dan setelah itu, untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur.
e. Dalam putusan hakim yang mengabulkman penundaan pembayaran
definitif, ditetapkan pula lamanya waktu penundaan pembayran yaitu
tidak boleh melebihi 270 hari terhitung sejak putusan penunnndaan
sementara ditetapkan.
4. Pengakhiran penundaan Pembayaran
Bila penundaan pembayarann telah diberikan, penundaaan
pembayaran itu dapat diakhiri atas permintaan pengurus, kreditur, hakim
Pengawas atau atas prakarsa Pengadilan dengan alasan-alasan sebagao
berikut:
a. Debitur selama waktu penundaan pembayaran utang bertindak dengan
iktikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya;
b. Debitur mencoba merugikan para krediturnya;
c. Debitur melakukan pelanggaran pasal 226 ayat 1 UU No 4 Tahun
1998;
d. Debitur lalai melakukan kewajiban yang ditentukan oleh Pengadilan,
dan yang disyaratkan Pengurus;
e. Keadaan harta debitur selama penundaan pembayaran tidak
memungkenkan lagi bagi debitur untuk melaksanakan kewajiban-
kewajibannya pada waktunya;
Dengan dicabutnya penundaan pembayaran itu, hakim dapat menetapkan
si tertunda dalam keadaan pailit.

5. Akor pada Penunndaan Pembayaran


Debitur yang memohon penundaan pembayaran dalam mengajukan
rencana perdamaian (akor) meleui penngadilan. Akor itu diajukan pada
saat atau setelah pengajuan permohonan penundaann pembbayaran.
Akibat huku apabila akor penundaan pembayaran ditolak, ialah hakim
dapat lnasung, menyatakan debitur dalam keadaan pailit. Sedangkan
apabila akor diterima, maka harus dimintakan homologis (pengesahan)
kepada hakim. Dengan tercapainya penyelesaian melalui akor yang telah
disahkan, maka berakhirlah penundaan pembayaran itu.
Hakim dapat melekukan penolakan pengesahan (homologis) atas
perdamaian itu, apabila:
a. Harta debitur untuk mana termasuk barang-barang yang dijamin
hak retensi, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam
perdamaian;
b. Pelaksanaan perdamain tidak cukup terjamin;
c. Perdamaian itu tercapai karena penipuan atua sekongkol dengan
atau lebih kreditur atau pemakaian upaya-upaya lain yang tidak
jujur.;
d. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh para ahli dan
pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk
pembayaran.
Dengan ditolaknya homologis akor maka Pengadilan wajib
menyatakan debitur dalam keadaan pailit.

BAB 3
Kesimpulan
1. Kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dapat disimpulkan
bahwa harta peninggalan juga dapat dijatuhi putusan pernyataan pailit.
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Kepailitan bahwa seseorang
yang telah meninggal (debitor) dapat dinyatakan pailit apabila utang orang yang
meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau pada saat meninggalnya
orang tersebut, harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.
Pengajuan permohonan putusan pernyataan pailit terhadap harta peninggalan
hanya dapat diajukan dalam kurun waktu 90 (Sembilan puluh) hari setelah
debitor tersebut meninggal dunia. Putusan Pernyataan Pailit ini berakibat demi
hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan
ahli warisnya.
2. Dalam Hukum Ekonomi Syari’ah kepailitan disebut dengan Taflis dan seseorang
yang dinyatakan pailit disebut dengan Muflis (debitor). Kepailitan seorang
debitor disebabkan oleh utang-utang debitor yang melampaui kekayaannya dan
telah jatuh tempo. Sebagaimana ketentuan Undang-undang Kepailitan bahwa
bukan hanya debitor biasa yang bisa dijatuhi putusan pernyataan pailit tetapi
orang yang telah meninggal dunia juga bisa dijatuhi putusan pernyataan pailit,
tapi yang dituntut bukanlah orang yang telah meninggal tersebut 93 melainkan
harta peninggalannya. Harta peninggalan dalam Islam disebut dengan tirkah.
harta peninggalan tidak mutlak menjadi hak ahli waris, sebab dalam harta
peninggalan tersebut ada kewajiban yang harus dikeluarkan terlebih dahulu
sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli warisnya. Dalam hukum Islam
seseorang yang telah meninggal dan meninggalakan utang, maka yang
berkewajiban melunasi utang tersebut adalah ahli warisnya, dengan ketentuan
bahwa tanggung jawab ahli waris terhadap utang pewaris bersifat terbatas,
maksudnya pembayaran atas utang pewaris hanya dapat diambilkan dari harta
warisan atau harta peninggalannya. Sehingga seseorang telah meninggal yang
dinyatakan pailit, maka yang melunasi utang-utang orang tersebut adalah ahli
warisnya yang pelunasan tesebut diambil dari harta kekayaan yang ditinggalkan
pewaris.

Anda mungkin juga menyukai