HUKUM KEPAILITAN
DOSEN PENGAMPUH,
DI SUSUN OLEH:
NIM :226601212
RUMUSAN MASALAH……………………………………………………………………………………………………………….
TUJUAN ………………………………………………………………………………………………………………………………
PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………………………
BAB 2…………………………………………………………………………………………………………………………………….
PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………………………………………
PENGERTIAN ……………………………………………………………………………………………………………………….
Rapat Para
Kreditur……………………………………………………………………………………………………………………………..
FAKTOR-FAKTOR………………………………………………………………………………………………………………..
BAB 3 …………………………………………………………………………………………………………………………………
KESIMPULAN……………………………………………………………………………………………………………………….
Rumusalan msalah
Ingin menegetahui hukumnya
Pencapaian
Kebijakan hukum kepailitan
Tujuan
1. Pengertian Kepailitan.
2. Pengaturan Kepailitan.
3. Verifikasi
4. Rehabilitasi.
5. Penundaan Pembayaran.
BAB 1
PENDAHULUAN
PENGERTIAN KEPAILITAN
“Debitur yang mempunyai dua tau lebih kreditur dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang…”. Baik atas
permohonann sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya.
Berhubung pernyataan pailit terhadap debitur itu harus melalui proses pengadilan
(melalui fase-fase pemeriksaan), maka segala sesuatu yang menyangkut tentang
peristiwa pailit itu disebut dengan istilah “kepailitan”
Kepailitan mula-mula diatur 2 buku, yaitu : Buku III WWK (KUHD) dan
Titel III Burgerlijke Rechtsveroordering (RV). Mengingat pengaturan kepailitan
di dalam kedua buku tersebut dirasakan kurang praktis, maka pada tahun 1883 di
negeri Belanda dikeluarkan Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordering).
Sebagai dasar umum (peraturan umum) dari lembaga kepailitan ialah Kitab
hukum Perdata (KUH-Perdata), khususnya pasal 1131 dan 1132. Sedangkan dasar
hukum yang khusus tentang kepailitan di Indonesia saat ini diatur dalam “UU No.
4 tahun 1998.
B. Pernyataan Kepailitan
Agar debitur dapat dinyatakan pailit, maka pasal 1 UU no. 4 tahun 1998 telah
menentukan syarat seorang debitur untuk dapat dinyatakan pailit yaitu :
Yang menjadi persoalan ialah, apakah yang menjadi ukuran bagi “keadaan
tidak dapat membayar/berhenti membayar”. Di dalam beberapa yurisprudensi
telah diinterpretasikan arti “keadaan berhenti membayar” secara lebih luas, yakni :
Bila disimak ketentuan UU No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan maka yang
dapat dinyatakan pailit adaah “debitur”. Dengan mempergunakan istilah debitur
itu maka yang dapat dinyatakan pailit adalah:
a. Siapa saja/setiap orang yang menjalankan perusahaan atau tidak
menjalankan perusahaan;
b. Badan hukum, baik yang berbentuk Perseroan Terbatas, Firma, Koperasi,
Perusahaan Negara dan badan-badan hukum lainnya;
c. Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia, dapat dinyatakan
pailit, apabila orang yang meninggal dunia semasa hidupnya berada dalam
keadaan berhenti membayar utangnya, atau harta warisannnya pada saat
meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar utangnya.
d. Setiap wanita bersuami (si istri) yang dengan tenaga sendiri melakukan
suatu pekerjaan tetap atau suatu perusahaan atau mempunyai kekayaan
sendiri.
Apabila dilihat pada ketentuan pasal 1 s/d 3 UU No. 4 Tahun 1998 maka yang
dapat mengajukan permohonan kepalitan, adalah:
a. Debitur sendiri yang memiliki dua atau lebih kreditur ( pasal 1 ayat 1).
Melihat etentuan itu maka berarti debitur yang hanya memiliki seorang
kreditur tidak dapat mengajukan permohonan kepailitan; Apabila debitur
itu adalah seorang suami/istri yang sudah menikah maka permohonan itu
hanya dapat diajukan dengan persetujuan satu pihak, kecuali tidak ada
percampuran harta kekayaan (pasal 3);
b. Seorang kreditur atau lebih, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-
sama. Jika kreditur tersebut adaah satu-satunya kreditur maka permohonan
kepailitan tidak dapat diajukan oleh kreditur.
c. Jaksa atau penuntut umum.
a. Perlawanan (verzet);
b. Banding (hoger beroep);
c. Kasasi (cassatie).
Upaya hukum di atas dalam hukum kepailitan (yang lama) dapat diajukan
oleh:
a. Debitur;
Terhadap suatu keputusan pengadilan kepailitan yang dijatuhkan
bukan atas permohonan debitur sendiri, maka debitur dapat mengajukan
upaya hukum berupa:
1. Perlawanan (verzet), yaitu suatu upaya hukum yang diajukan akibat
tidak didengarnya keterangan “debitur “ di depan sidang pemeriksaan
kepailitan tersebut, baik karena debitur tidak dipanggil di persidangan
maupun telah dipanggil. Perlawanan tersebut harus diajukan dengan
mengajukan permohonan ke paniteraan pengadilan negeri yang
menjatuhkan putusan kepalitan. Tenggang waktu mengajukan
perlawanan selama 14 hari sejak putusan itu diucapkan.
2. Banding, yaitu suatu upaya hukum yang diajukan oleh debitur apabila:
1. Perlawanan yang diajukan di atas ditolak atau tidak diterima oleh
pengadilan. Banding atas penolakan perlawanan itu diajukan dalam
tenggang waktu 8 hari terhitung sejak putusan penolakan itu
dinyatakan oleh hakim.
2. Debitur telah didengar dalam pemeriksaan dan dinyatakan palit oleh
pengadilan negeri, maka banding pun dapat diajukan olehnya dalam
tenggang waktu 8 hari setelah putusan kepailitan itu diucapkan.
b. Kreditur;
Kreditur dapat mengajukan upaya hukum berupa banding, apabila
setelah mengajukan permohonan kepailitan, tetapi permohonan itu ditolak
oleh pengadilan. Upaya banding itu harus diajukan dalam tenggang waktu
8 hari sejak penolakan itu dijatuhkan oleh pengadilan. Selain itu,
bandingpun dapat diajukan oleh kreditur apabila ternyata putusan itu
dibatalkan oleh pengadilan akibat adanya perlawanan oleh debitur.
c. Jaksa demi kepentingan umum;
Jaksa dapat mengajukan upaya hukum banding apabila permohonan
kepailitanyang diajukannya ditolak oleh pengadilan, atau putusan
kepailitan yang diajukannya diterima oleh pengadilan, tetapi dibatalkan
kembali oleh pengadilan karena adanya perlawanan oleh debitur. Banding
ini pun harus dilakukan dalam tenggang waktu 8 hari setelah ditolaknya
permohonan kepailitan atau setelah dibatalkannya putusan kepailitan itu.
d. Para kreditur yang tidak memohon kepailitan dan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Kreditur-kreditur yang tidak mengajukan permohonan kepailitan
maupun pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan (verzet) terhadap
putusan kepailitan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. Perlawanan itu
harus diajukan dalam tenggang waktu 8 hari setelah putusan diucapkan.
Jika dilihat dari bunyi pasal 48PK, tersurat dengan jelas, bahwa pengadilan
negeri dengan keputusan kepailitan atau pada setiap waktu dapat memrintahkan
penahanan si debitur (si pailit). Penahanan terhadap si pailit (setelah keluarnya
putusan kepailitan itu), hanya dapat dilakukan apabila hal itu diusulkan oleh
hakim komisaris, atau dimohon oleh Balai Harta Peninggalan, seorang atau lebih
kreditur.
Pelaksanaan penahanan itu dilakukan oleh para jaksa pada penjara atau rumah
si pailit sendiri dibawah pengawasan pejabat yang sah. Masa penahanan itu tidak
boleh lebih dari 30 hari dengan kemungkinan dapat diperpanjang lagi untuk masa
30 hari. Dalam undang-undang (PK) tidak dijelaskan mengapa diperlukan upaya
penahanan, padahal sebagaimana diketahui, sejak keputusan kepailitan harta
kekayaan (boedel) si pailit telah diurus oleh BHP untuk dijadikan jaminan
pelunasan utang-utangnya. Sehingga tentunya tidak ada alasan bagi debitur untuk
tidak memenuhi kewajibannya dalam kepailitan.
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Rapat verifikasi;
2. Rapat untuk membicarakan akkoord,bila hal ini diajukan oleh si pailit dan
belum sempat diajukan dalam rapat verifikasi;
3. Rapat luar biasa, apabila hal itu dipandang perlu oleh hakim pengawas
(pasal 81 ayat 1 PK);
Rapat para kreditur di atas diketahui dan dipimpin oleh Hakim Pengawas
dengan seorang panitera pengadilan negeri sebagai notulen. Balai Harta
Peninggalan diwajibkan hadir pada rapat-rapat tersebut (pasal 77 PK), dan segala
keputusan pada rapat tersebut diambil dengan suara terbanyak, kecuali yang
menyangkut mengenai perdamaian (akkoord) dan hal-hal yang dimaksud dalam
pasal 168b.
Adapun kewenangan dari rapat para kreditur itu meliputi beberapa hal,
yaitu :
B. Arti Verifikasi
C. Rapat Verifikasi
8.3.4 REHABILITASI
Bila kepailitan telah berakhir, maka debitur pailit atau ahli warisnya dapat
mengajukan permohonan rehabilitasi kepada pengadilan negeri. Rehabilitasi
dalam kepailitan yaitu pengembalian nama baik seseorang (bekas pailit) pada
keadaan sebelum terjadinya kepailitan. Dengan demikian si bekas pailit tadi akan
mendapat kepercayaan dari masyarakat kembali.
b. Keadaan tertunda
e. Hakim Pengawas
f. Panitia Kreditur
Hakim tidak akan memberikan izin tetap penundaan pembayaran tertentu apabila:
a. Permohonan itu ditolak oleh para kreditur yang memiliki ¼ dari jimlah
keseluruhan piutang yang diwakili dalam rapat atau ditolak oleh 1/3 dari
jumlah kreditur.
b. Ada kekhawatiran bahwa debutur akan mencoba merugikan para
krediturnya.
c. Tidak ada harapan bahwa debitur akan dapat memenuhi kewajibannya
setelah lampaunya waktu penundaan.
BAB 3
Kesimpulan
1. Kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dapat disimpulkan
bahwa harta peninggalan juga dapat dijatuhi putusan pernyataan pailit.
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Kepailitan bahwa seseorang
yang telah meninggal (debitor) dapat dinyatakan pailit apabila utang orang yang
meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau pada saat meninggalnya
orang tersebut, harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.
Pengajuan permohonan putusan pernyataan pailit terhadap harta peninggalan
hanya dapat diajukan dalam kurun waktu 90 (Sembilan puluh) hari setelah
debitor tersebut meninggal dunia. Putusan Pernyataan Pailit ini berakibat demi
hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan
ahli warisnya.
2. Dalam Hukum Ekonomi Syari’ah kepailitan disebut dengan Taflis dan seseorang
yang dinyatakan pailit disebut dengan Muflis (debitor). Kepailitan seorang
debitor disebabkan oleh utang-utang debitor yang melampaui kekayaannya dan
telah jatuh tempo. Sebagaimana ketentuan Undang-undang Kepailitan bahwa
bukan hanya debitor biasa yang bisa dijatuhi putusan pernyataan pailit tetapi
orang yang telah meninggal dunia juga bisa dijatuhi putusan pernyataan pailit,
tapi yang dituntut bukanlah orang yang telah meninggal tersebut 93 melainkan
harta peninggalannya. Harta peninggalan dalam Islam disebut dengan tirkah.
harta peninggalan tidak mutlak menjadi hak ahli waris, sebab dalam harta
peninggalan tersebut ada kewajiban yang harus dikeluarkan terlebih dahulu
sebelum harta tersebut dibagikan kepada ahli warisnya. Dalam hukum Islam
seseorang yang telah meninggal dan meninggalakan utang, maka yang
berkewajiban melunasi utang tersebut adalah ahli warisnya, dengan ketentuan
bahwa tanggung jawab ahli waris terhadap utang pewaris bersifat terbatas,
maksudnya pembayaran atas utang pewaris hanya dapat diambilkan dari harta
warisan atau harta peninggalannya. Sehingga seseorang telah meninggal yang
dinyatakan pailit, maka yang melunasi utang-utang orang tersebut adalah ahli
warisnya yang pelunasan tesebut diambil dari harta kekayaan yang ditinggalkan
pewaris.