Hal itu disebabkan raja-raja setelah Sri Marawijaya sudah disibukkan dengan peperangan
melawan Jawa pada 922 M dan 1016 M. Dilanjutkan dengan melawan Kerajaan Cola (India) pada
1017 hingga 1025 Raja Sri Sanggramawijaya berhasil ditawan. Pada masa kekuasaan Balaputradewa
sampai dengan Sri Marawijaya, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka yang merupakan jalur
utama perdagangan antara India dan Tiongkok.
Selain itu, seperti yang dilansir dari buku Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara karya Deni
Prasetyo, mereka berhasil memperluas kekuasaan hingga Jawa Barat, Kalimantan Barat, Bangka,
Belitung, Malaysia, Singapura, dan Thailand Selatan. Untuk menjaga keamanan itu, Sriwijaya
membangun armada laut yang kuat. Sehingga kapal-kapal asing yang ingin berdagang di Sriwijaya
merasa aman dari gangguan perompak. Hingga lambat laun, Sriwijaya berkembang menjadi negara
maritim yang kuat.
Letak pasti kerajaan ini masih banyak diperdebatkan. Namun, pendapat yang cukup populer
adalah yang dikemukakan oleh G Coedes pada 1918 bahwa pusat Sriwijaya ada di Palembang.
Sampai dengan saat ini, Palembang masih dianggap sebagai pusat Sriwijaya.
Beberapa ahli berkesimpulan bahwa Sriwijaya yang bercorak maritim memiliki kebiasaan untuk
berpindah-pindah pusat kekuasaan. Sebab para ahli ada yang menyimpulkan bahwa Sriwijaya
berpusat di Kedah, kemudian Muara Takus, hingga menyebut kota Jambi. Keruntuhan Kerajaan
Sriwijaya Keruntuhan kerajaan sriwijaya disebakan oleh beberapa faktor, antara lain
Penyebab runtuhnya kerajaan Sriwijaya yang pertama adalah karena setelah Raja
Balaputradewa tidak ada raja lain yang mampu memimpin dengan baik. Setelah wafatnya Raja
Balaputradewa pada 835 M, Kerajaan Sriwijaya hampir tidak menemukan lagi sosok raja yang
mampu memimpin kerajaan tersebut dengan adil dan juga bijaksana.
Banyaknya wilayah kekuasaan yang melepaskan diri menjadi penyebab runtuhnya kerajaan Sriwijaya
yang selanjutnya. Selain karena melemahnya militer, faktor lainnya adalah banyaknya wilayah
kekuasaan dari kerajaan sriwijaya yang melepaskan diri akibat dari lemahnya perekonomian yang
disebabkan oleh menipisnya pendapatan dari pajak serta kurang baiknya pemimpin dari kerajaan
Sriwijaya.
Selain itu, kekuatan militer serta kontrol dari kerajaan sangatlah lemah sehingga wilayah-wilayah
yang pada asalnya merupakan taklukan Kerajaan Sriwijaya bergerak dan menjadi kerajaan sendiri.
Salah satu kerajaan dari salah satu wilayah Kerajaan Sriwijaya yang melepaskan diri yaitu Jambi,
Klantan, Pahang, serta Sunda. Hal itu membuat keadaan ekonomi kerajaan Sriwijaya menjadi
semakin parah, dimana biasanya kerajaan-kerajaan tersebut memberikan setoran pajak, setelah
melepaskan diri setoran pajak tersebut tidak didapatkan lagi oleh Kerajaan Sriwijaya.
Penyebab runtuhnya kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah karena adanya serangan serangan dari
kerajaan lain yang berada di sekitar kerajaan sriwijaya itu sendiri. Salah satu kerajaan yang
menyerang kerajaan sriwijaya terjadi pada tahun 992 M yaitu dari kerajaan Medang dan banyak lagi
serangan lainnya.
Puncaknya adalah pada 1377 M, yaitu saat adanya serangan dan pendudukan yang dilakukan oleh
Kerajaan Majapahit atas seluruh wilayah Kerajaan Sriwijaya, dimana serangan yang saat itu dipimpin
oleh Adityawarman dilakukan atas perintah dari Gadjah Mada dalam upaya untuk mewujudkan
kesatuan dari nusantara.
Saat itu kerajaan ini dipimpin oleh Dapunta Hyang Sri Janayasa dan biasa disebut dengan nama
Sri Janayasa. Ditemukan dalam prasasti di Kota Kapur, Bangka meskipun banyak peneliti yang
kesulitan memecahkan lewat sumber-sumber yang dijumpai. Hal itu karena tidak ditemukannya
struktur genealogis yang terdiri dari susunan dengan rapi.
Saat ditemukannya prasasti Kedukan Bukit, didapat sebuah cerita dari seorang pria bernama
Dapunta Hyang. Pernah melakukan perjalanan dengan membawa pasukan sebanyak 20 ribu orang,
dari Minanga Tamvan menuju ke Palembang, Bengkulu dan Jambi. Saat melakukan perjalanan, ia
menguasai banyak wilayah yang dianggap strategi suntuk melakukan perdagangan.
Ada pula prasasti Kota yang ditemukan di Pulau Bangka di tahun 686 masehi, kerajaan
Sriwijaya disebut sudah menaklukan banyak wilayah Sumatera bagian selatan hingga ke wilayah
Lampung. Dalam prasasti ini juga disebutkan Sri Janayasa ketika melancarkan ekspedisi militer di
wilayah Jawa karena dianggap tak mau berbakti terhadap Sriwijaya.
Hingga mendekati waktu runtuhnya kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat dan kerajaan
Kalingga di Jawa Tengah. Nama Dapunta Hyang Sri didapat dari sebuah catatan I Tsing dan ditambah
dengan ditemukannya dua prasasti yakni prasasti Talang Tuo dan prasasti Kedukan Bukit. Dari sinilah
ditemukan siapa pendiri kerajaan Sriwijaya sebenarnya.
Dalam catatan I Tsing dan prasasti menyebutkan jika Sri Janayasa merupakan seorang yang
diangkat sebagai raja kerajaan Sriwijaya setelah melakukan ekspedisi. Yakni perjalanan suci yang saat
itu dikenal dengan istilah Siddhayatra dengan menggunakan sebuah perahu. Dengan menggunakan
armada ia memimpin ribuan pasukan untuk menguasai wilayah Palembang.
Peperangan menjadi pilihan bagi Sri Janayasa dan hal itu membuatnya sukses menguasai
Palembang, Jambi, Lampung dan Bangka. Catatan lainnya menyebutkan Dapunta Hyang diklaim
sudah pernah mencoba melakukan penyerangan terhadap kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa pada saat
itu.
Dari penjelasan sebelumnya disebutkan jika struktur genealogis di Sriwijaya banyak yang mengalami
putus. Hal ini didukung beberapa bukti yang dianggap kurang kuat, sehingga berdampak pada nama-
nama raja di kerajaan Sriwijaya yang sebelumnya sudah disepakati oleh sejumlah ahli. Berikut ini
raja-raja yang mengisi Sriwijaya sesuai kesepakatan ahli.
Sri Indrawarman
Raja Dharanindra
Raja Samaratungga
Rakai Pikatan
Balaputradewa
Sri Udayadityawarman
Sri Sanggaramawijayatunggawarman
Hingga saat ini letak kerajaan Sriwijaya masih menjadi perdebatan, namun pendapat yang
dikemukakan George Coedes di tahun 1918 menyebutkan jika Sriwijaya berada di wilayah
Palembang. Menariknya Palembang dianggap sebagai pusat pemerintahan kerajaan ini, selain
itu mengapa kerajaan Sriwijaya disebut sebagai kerajaan maritim karena sering berpindah.
Sejumlah ahli menyebutkan jika Sriwijaya berpusat di wilayah Kedah, kemudian Muara Takus
hingga ke Jambi. Di tahun 2013, ditemukan sejumlah situs candi dengan corak Budha yang terdapat
di wilayah Muaro Jambi. Menariknya runtuhnya candi ini diperkirakan menjadi tempat tinggal para
cendekiawan Buddha.
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Balaputradewa, saat
itu kerajaan ini mampu menguasai jalur perdagangan yang sangat strategis. Perdagangan di kerajaan
Sriwijaya mengalami kemajuan yang pesat terutama karena telah mencapai ke wilayah Thailand dan
Kamboja. Hal ini terlihat dari Pagoda Borom That dengan gaya arsitektur Sriwijaya di Thailand.
Karena letak kerajaan ini membuat Sriwijaya mudah dalam menjual hasil alam, termasuk di
antaranya seperti kapur barus, cengkeh, kayu gaharu, cendana, kapulaga hingga pala. Balaputradewa
dianggap sebagai raja yang membawa Sriwijaya ke puncak kejayaan di abad ke-8 hingga 9. Meskipun
kerajaan ini sudah mengalami masa jaya hingga generasi Sri Samarawijaya.
Karena saat itu raja-raja sesudah Sri Marawijaya kerap menjalani peperangan melawan
kerajaan di pulau Jawa di tahun 922 masehi hingga 1016 masehi. Dalam masa itulah kerajaan
Sriwijaya berhasil menguasai selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan China dan India.
Kekuasaan kerajaan ini berhasil diperluas hingga wilayah Jawa Barat.
Penyebab kemunduran kerajaan Sriwijaya adalah karena serangan banyak kerajaan terutama
dari pulau Jawa, saat itu dari kerajaan Medang yang terkenal dengan nama Mataram Kuno menjadi
yang paling gencar terjadi. Kemudian serangan bertubi-tubi dari kerajaan Cola hingga kekuasaan di
selat Malaka melemah dan perlahan berhasil dikuasai lawan pada sebagian besar wilayah Sriwijaya.
Kemunduran Sriwijaya mulai terjadi di abad ke-11 masehi, berawal dari serangan dari Rajendra
Coladewa bahkan ia berhasil menaklukan salah satu raja dari kerajaan ini. Kerajaan Melayu menjadi
salah satu kerajaan yang ditaklukan pada abad ke-13. Hal ini dilakukan oleh kerajaan Singasari dari
Jawa dan di bawah kepemimpinan Kertanegara dalam ekspedisi Pamalayu.
Sementara itu Sriwijaya semakin melemah dan tak mampu berbuat apa-apa dalam mencegah
terjadinya penaklukan. Kelemahan itu bahkan dimanfaatkan kerajaan Sukhodaya asal Thailand
dengan pemimpinnya bernama raja Kamheng dan merebut semenanjung Malaysia hingga pada abad
ke-14 kerajaan ini benar-benar runtuh akibat serangan dari Majapahit.
Ditemukan di tepi sungai Batang, Kedukan Bukit, Kota Palembang yang didalamnya terdapat angka
tahun 686 masehi ditulis memakai huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Prasasti ini berisi cerita
Dapunta Hyang ketika menaiki perahu dan mengisahkan bagaimana kerajaan Sriwijaya bisa meraih
kemenangan.
Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka, tepatnya sebelah sisi barat dan isinya mengenai
kutukan terhadap orang yang melanggar perintah raja Sriwijaya.
Prasasti ini ditemukan di dalam kolam bernama Telaga Batu, tepatnya di kecamatan Ilir Timur, Kota
Palembang dan berisi mengenai kutukan terhadap orang jahat di wilayah kerajaan Sriwijaya.
Sesuai dengan namanya, prasasti ini ditemukan di Desa Karang Berahi yang terletak di Merangin,
Jambi. Berisi kutukan terhadap orang yang tidak setia kepada raja Sriwijaya
Menjadi peninggalan kelima dari kerajaan Sriwijaya, ditemukan di pinggir rawa Desa Palas Pasemah,
Lampung Selatan. Dituliskan dengan dua bahasa, Pallawa dan Melayu yang isinya kutukan terhadap
orang yang jahat kepada Raja Sriwijaya.
Isi prasasti ini adalah berupa doa Buddha Mahayana dan kisah terkait pembangunan taman yang
terdapat di Sri Jayanasa.
Prasasti Hujung Langit ditemukan di Desa Haur Kuning, Lampung dan di dalamnya terdapat sebuah
angka tahun berupa 997 masehi.
Prasasti Ligor
Menariknya prasasti ini ditemukan di wilayah Thailand, di sebelah selatan Nakhon Si Thammarat dan
prasasti ini berisi kisah seorang Raja Sriwijaya dengan pembangunan Tisamaya Caitya karaja.
Prasasti Leiden
Menariknya prasasti ini ditulis dalam bahasa Sansekerta pada sebuah lempeng tembaga,
mengisahkan mengenai hubungan dinasti Cola terhadap dinasti Syailendra dari Sriwijaya.
Tak hanya prasasti, kerajaan ini juga memiliki peninggalan berupa candi yang bernama Muara Takus.
Ditemukan di desa Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dengan corak Buddha yang khas
dengan susunan stupa.