Anda di halaman 1dari 3

SUDAH tujuh belas tahun saya tak bicara dengannya. Telepon itu tak pernah dia angkat.

Saya terus meneleponnya tanpa sewaktu pun terlewatkan. Anggap saja saya gila.

Bayangkan, flat sesempit itu harus terganggu dengan bunyi telepon bertahun-tahun. Tak
putus-putus. Sungguh dia si sombong. Benar-benar sombong. Tujuh belas tahun dia begitu
keras kepala.

TERSERAH apa yang mau ia katakan. Dan ingin kukatakan, ia gila dan menyebalkan!
Namun, mengapa ia begitu sabar? Entahlah, aku tak tahu kapan telepon itu akan kuangkat.
Salah sendiri mengapa ia tak merawat cinta.

Ya, banyak alasan untuk tidak mengangkatnya. Bagaimana kalau ia begitu gila dan
menyebalkan atau aku sudah tak lagi terganggu dengan bunyi yang berisik itu. Bunyi yang
itu-itu saja, yang melulu itu-itu saja. Entahlah, aku hanya ingin dengar bunyi itu. Bunyi yang
setia. Kubayangkan ia terus duduk atau berdiri atau tidur atau apa saja, terus berjaga di sisi
teleponnya dan menunggu di suatu waktu suara dering. Aku takut mendengar suaranya.
Kalau kuangkat mungkin ia marah-marah, “Kamu ke mana saja selama ini?”. Entahlah,
mungkin aku juga diam saja. Tapi orang-orang di luar itu terus mengetuk pintu. Aku tahu apa
yang mereka inginkan.

KAMI cuma ingin ia mengangkat teleponnya. Segeralah angkat teleponnya! Kami sudah
lama terganggu. Bunyinya begitu bising. Kami sudah bosan mendengarnya. Apa yang ia
lakukan? Mondar-mandir depan teleponnya yang ia letakkan di sisi jendela, kadang duduk,
kadang juga tak terlihat di sana.

Tujuh belas tahun kami mendengar suara itu. Kami tak butuh alasan apa pun. Ia
benar-benar sinting. Juga penelepon itu. Penelepon itu. Sebenarnya siapa dia?

PANGGIL saya si penyabar. Saya malas meninggalkan telepon ini. Rasanya seperti
berkhianat kalau saya beranjak jauh dari sini. Walau hanya untuk ke kamar mandi atau
bahkan mengambil sendok yang letaknya sepuluh meter dari sini. Ya, sejak itu pula tubuh ini
mulai hancur, tak terawat. Biar saja begini daripada sesuatu lain yang hancur dan tak bisa
diperbaiki lagi.

Apa yang dia lakukan? Saya tak yakin kalau dia telah mati atau meninggalkan flat-nya.

KEYAKINANNYA benar. Aku belum mati meski jantungku mulai melemah. Sebenarnya aku
ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang. Mungkin ia hancur dan tak terawat. Ya,
mengapa harus merawat tubuh kalau merawat cinta saja tidak bisa? Ketahuilah, aku belum
meninggalkan flat ini. Bahkan tak akan meninggalkannya. Sudah tujuh belas tahun aku tak
keluar sama sekali.

Kalau bosan, aku selalu berdiri di depan jendela atau pergi ke beranda sambil menikmati
bunyi itu. Tapi hanya sebentar saja sebab orang-orang itu selalu meneriaki aku dengan
kata-kata yang tak enak atau sekadar menatap dengan geram. Di beranda saja sudah
terlalu cukup bagiku, sementara di luar gaduh sekali.
KAMI gaduh karena telepon itu. Kami sudah tak tahan lagi. Kami berkumpul di depan
flatnya. Anggap saja semacam demonstrasi. Memintanya agar menghentikan telepon itu.
Bagaimanapun caranya. Tak mungkin kami memutus jaringan telepon miliknya.
Kami gedor pintu flatnya meski kami tahu ini percuma. Sebab sudah berulangkali kami
berbuat begini. Apa yang dilakukannya di dalam sana dan apa yang dilakukan si penelepon
di ujung sana?
YA, kadang-kadang saya berpikiran tentang apa yang saya lakukan sebenarnya. Tapi
sungguh kali ini pikiran itu benar-benar mengganggu. Kepala ini setengah menunduk, terasa
begitu berat.
Gagang telepon itu saya letakan. Dan tiba-tiba segalanya begitu mati. Padam.
Keputusasaan itu seperti apa? Dan maut itu yang bagaimana? Sedang saya belum
mengalaminya. Bolehkah saya namakan perasaan ini sebagai kasih sayang?
Di luar, siang begitu redup. Angin masuk lewat jendela yang setengah terbuka itu. Jauh di
ujung saya merasakan ketidaksetiaannya. Mungkin sudah waktunya saya tak meneleponnya
lagi. Mungkin sudah harinya saya harus menanggung kekecewaan berat.
Namun, saya tak akan meninggalkannya. Saya akan tetap di bangku ini. Melihat telepon ini
saja rasanya sudah cukup.
SUDAH sebelas tahun telepon itu tak bunyi lagi. Tak benar kalau telepon ini rusak namun
sesuatu yang lain telah rusak. Kurasakan hari-hari ke belakang, tahun-tahun ke belakang
sungguh sangat berat. Sudah sebelas tahun aku jadi mudah rindu.
Mudah-mudahan ia baik-baik saja. Dugaanku pasti salah. Pasti ia menanggung kekecewaan
berat. Dan itulah hal terberat dalam dirinya. Dan ia tak baik-baik saja. Mengapa aku begitu
keras kepala dan begitu merasa bersalah?
KAMI yang merasa bersalah. Bunyi itu kini tak ada lagi. Mudah-mudahan matinya telepon itu
bukan karena kami. Matinya telepon itu tak meredakan gangguan untuk kami. Malah
mungkin kami semakin terganggu dengan perasaan bersalah itu.
Sebelas tahun lalu anak-anak kami masih kecil dan kami masih muda, ketika telepon itu tak
henti berdering. Sekarang kami mulai menanggung rindu pada suara itu. Sekarang begitu
sunyi.
SEKARANG begitu sunyi. Jendela itu tetap setengah terbuka namun segalanya seperti
menutup. Tak pernah saya sesedih ini. Angin yang sayup dan terlalu menyakitkan itu
melepas rambut yang telah memutih satu-satu ini. Terus terang, di masa-masa tua ini saya
jadi sangat sulit bergerak dan memutuskan untuk tetap tinggal di kursi ini, memperhatikan
telepon yang sama tuanya dengan umur saya dan umurnya. Diam-diam telepon itu mirip
dengannya. Si nenek tua yang sombong.
AKU sombong, ya? Maaf. Si nenek tua ini sudah tak sanggup lagi bertahan. Jantungku
sudah seharusnya mati. Tapi mengapa masih saja bergerak. Sebelas tahun kesunyian ini
membuat jantungku kian melemah. Aku mudah sekali terkejut. Bisa saja aku mati karena
suara jendela yang terbanting angin. Bahkan bisa saja mati karena suara telepon ini. Bisa
saja. Namun lebih menyenangkan bila mati karena suaramu. Sungguh. Tak ada bedanya
suara telepon ini dengan suaramu.
Kadang-kadang aku merasa seperti seorang remaja yang wajar saja bila merasa rindu.
Remaja dengan tingkah yang aneh. Padahal kematian sudah kurasakan sebelum
bulan-bulan lalu, sebelum hari-hari sekarang.
Kupeluk telepon ini. Beginilah caranya merawat cinta.
MAAFKAN saya juga karena tak bisa merawat cinta. Telepon ini saya genggam. Beginilah
caranya melempar rindu. Sudah saatnya sebelum segalanya terlambat meski memang
sudah terlambat, merasa sebentar lagi adalah akhirnya.
Seperti sebelas tahun yang lalu, saya putar lagi angka-angka alamat bibirnya dan segala
yang hidup dalam dirinya.
Suara nada sambung yang sederhana itu terdengar lagi. Saya ingin dengar suaranya.
Segalanya sudah segila ini.
Mengapa saya jadi mirip anak kecil yang selalu butuh dimaklumi?
KAMI dengar suara itu lagi dan melihat perempuan itu masih duduk, lemah mendekap
teleponnya yang sangat mudah direbut. Rambutnya yang putih itu terikat seperti pejam
matanya yang begitu abadi. Sedang jendela yang ada di hadapannya tengah bergerak
begitu bersahaja. Juga, bibir buah ceri itu melebar dengan sangat sempurna dan terasa
begitu dingin. Tak pernah kami melihat dia seriang itu, secantik itu. Sesuatu sedang terjadi
dalam dirinya.
Telepon itu terus berbunyi. Kami tahu kapan telepon itu akan benar-benar padam.

Anda mungkin juga menyukai