Anda di halaman 1dari 42

KERANGKA SUMBER

DAYA MIGAS INDONESIA


INDONESIA’S FRAMEWORK OF PETROLEUM RESOURCES

2020
i
DAFTAR ISI

SURAT EDARAN SKK MIGAS .................................................................................. v

SURAT EDARAN BPMA ............................................................................................vi

KATA PENGANTAR.................................................................................................. vii

UCAPAN TERIMA KASIH ..........................................................................................ix

I. Pendahuluan ....................................................................................................... 1

II. Prinsip Dasar dan Definisi ................................................................................... 2

II.1. Kerangka Klasifikasi Sumber Daya ............................................................... 5

II.2. Evaluasi Sumber daya berbasiskan Proyek .................................................. 8

III. Ketidakpastian dan Risiko Sumber Daya ....................................................... 17

III.1. Rentang Ketidakpastian Teknis ............................................................... 18

III.2. Sistem Petroleum dan Penentuan GCF (Geological Chance Factor) ...... 20

IV. Panduan Evaluasi dan Pelaporan .................................................................. 21

IV.1. Faktor Komersial ...................................................................................... 23

IV.2. Perkiraan Volume dalam Pelaporan Sumber daya .................................. 25

IV.2.1. Volume awal di tempat (In Place) ...................................................... 25

IV.2.2. Produksi Kumulatif: ........................................................................... 25

IV.2.3. Cadangan (Reserves) ....................................................................... 25

IV.2.4. GOI Recoverable Resources (GRR) ................................................. 26

IV.2.5. Contingent Resources (CR) .............................................................. 26

IV.2.6. Prospective Resources ..................................................................... 26

IV.2.7. Perkiraan Profil Produksi ................................................................... 26

IV.3. Kodifikasi Entitas Bawah Permukaan ...................................................... 27

IV.3.1. Lapangan (Field) ............................................................................... 28

IV.3.2. Proyek ............................................................................................... 29

IV.3.3. Zona .................................................................................................. 29

ii
IV.3.4. Kepala Sumur (Wellhead) ................................................................. 30

IV.3.5. Wellbore ............................................................................................ 30

IV.3.6. Well Completion ................................................................................ 31

IV.3.7. Izin Berproduksi................................................................................. 31

INDEX ...................................................................................................................... 32

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1. Klasifikasi Sumber Daya........................................................................ 5


Gambar II.2. Level yang menggambarkan kematangan proyek. ................................ 9
Gambar II.3. Alur kematangan proyek pada fase eksploitasi ................................... 13
Gambar II.4. Alur kematangan proyek pada fase eksplorasi ................................... 17
Gambar IV.1. Relasi antar entitas bawah permukaan. ............................................. 23
Gambar IV.2. Peta Indonesia dengan grid referensi ................................................ 28

iv
SURAT EDARAN SKK MIGAS

v
SURAT EDARAN BPMA

vi
KATA PENGANTAR

Industri hulu Migas Indonesia sudah berumur seratus tahun lebih, dimulai dengan
eksplorasi sistemik pertama di tahun 1865, dan pengeboran sumur ekplorasi pertama,
Sumur Madja-1/ Cibodas Tonggoh-1 di Majalengka di tahun 1871, dan discovery
pertama di tahun 1885 dengan ditemukannya lapangan Telaga Said di Sumatera
Utara. Hingga kini sudah lebih dari 26 milyar barrel minyak diproduksikan dari perut
bumi Indonesia dan menjadi tulang punggung pembangunan Indonesia, terutama
pada fase awal pembangunan negara ini. Proyek-proyek gas besar pun mulai berjalan
di awal 1970-an dengan ditemukannya Lapangan Badak dan Lapangan gas Arun,
pionir teknologi LNG dan pionir penerapan teknologi EOR Steam-flood lapangan Duri
yang menjadi referensi dunia menambah pundi-pundi keuangan negara untuk
pembangunan Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Saat ini pemerintah sedang mencanangkan target satu juta barel minyak per hari
sebagai target jangka panjang. Untuk itu, Pemerintah dan pemangku kepentingan
perlu membangun dan mengawal proyek-proyek yang bisa mendorong peningkatan
produksi nasional. Adalah penting untuk mengetahui berapa perkiraan sumberdaya
migas secara umum dan level kematangan proyek-proyek tersebut terutama untuk
strategi pengelolaan proyek-proyek migas untuk peningkatan cadangan dan produksi
migas Indonesia.

Klasifikasi ini dibuat berdasarkan proses bisnis pengelolaan proyek dan standar
klasifikasi sumber daya international, yaitu Petroleum Resources Management
System (PRMS) dengan update terbaru PRMS 2018. Sub Tim Standardisasi
Kerangka Sumber Daya Migas Indonesia juga berdiskusi dan berkordinasi dengan
para stakeholders dalam penyusunan pedoman ini, antara lain dengan institusi
pemerintah sebagai regulator, lembaga pengawas, institusi penelitian, universitas,
pelaku bisnis, konsultan sertifikasi, dan para pakar perminyakan.

Bersamaan dengan terbitnya pedoman klasifikasi sumber daya ini, kami juga
memperbaharui sistem pelaporan elektronik agar sesuai dengan referensi kerangka
sumber daya terbaru. Diharapkan hal ini dapat memberikan informasi aset migas
Indonesia yang lebih komprehensif dan mendukung pengelolaan sumber daya migas
secara efektif dan tepat sasaran.

vii
Besar harapan kami kiranya panduan ini dapat dipahami dan digunakan menjadi
bahasa bersama dalam mengelola sumber daya migas Indonesia.

Ketua Sub Tim Standardisasi Kerangka


Sumber Daya Migas Indonesia

Ir. Wilson Robert Pariangan, M.T., SPEC

viii
UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan standardisasi membutuhkan kolaborasi agar standar yang disusun dapat


diterima oleh semua pihak. Ketika Society of Petroleum Engineers (SPE) menyiapkan
standar yang akan menjadi rujukan, SPE membentuk komite khusus yaitu SPE Oil
and Gas Reserves Committee (OGRC) yang melakukan kajian terhadap berbagai
standar yang telah diterapkan di negara-negara terpilih. Selain itu, SPE juga
berkomunikasi secara intens kepada lembaga profesi sejawat lainnya seperti World
Petroleum Council (WPC), American Association of Petroleum Geologist (AAPG),
Society of Petroleum Evaluation Engineers (SPEE), Society of Exploration
Geophysicist (SEG), Society of Petrophysicists and Well Log Analysts (SPWLA), dan
European Association of Geoscientists and Engineers (EAGE). Dari hasil kolaborasi
tersebut didapat sebuah standar yang dikenal sebagai Petroleum Resources
Management System (PRMS) yang akhirnya menjadi rujukan dunia dalam
mendefinisikan sumber daya minyak dan gas bumi.

Naskah Kerangka Sumber Daya Migas Indonesia disusun dengan mengambil PRMS
sebagai referensi utama. Pemilihan PRMS sebagai referensi utama ini bertujuan agar
standar yang dibangun sejalan dengan standar dunia. Namun disisi lain, PRMS masih
memerlukan berbagai penyesuaian karena sebagian definisi tidak terlalu spesifik dan
dapat menimbulkan ambiguitas. Penyesuaian ini penting agar definisi yang diterapkan
sejalan dengan filosofi, hukum, dan regulasi di Indonesia. Namun tentunya
penyesuaian ini tidak menghilangkan prinsip-prinsip utama yang ada dalam definisi di
PRMS.

Sebagaimana halnya dalam penyusunan naskah PRMS, semangat kolaborasi juga


menjadi tema penting dalam penyusunan naskah Kerangka Sumber Daya Migas
Indonesia. Penyusunan naskah ini didasari pada pandangan berbagai pihak yang
menjadi stakeholders di industri hulu minyak dan gas bumi di Indonesia. Tidak dapat
dipungkiri bahwa muncul perbedaan sudut pandang dalam pemahaman suatu definisi
akibat perbedaan situasi yang dihadapi. Namun perbedaan tersebut tidak mengurangi
semangat dalam mencari titik tengah yang tepat untuk diterapkan secara menyeluruh
di Indonesia. Kami berterima kasih kepada nama-nama berikut yang telah
meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan sumbangsih berupa sharing
knowledge, masukan, dan saran yang konstruktif dalam berbagai diskusi formal

ix
sehingga naskah ini bisa tersusun secara komprehensif dan menyatukan sebanyak
mungkin berbagai sudut pandang yang berbeda:

Abdullah Fahru Rofiq, Agung Gunawan, Ari Iskandar, Asti Aprilia, Ayub Budi Hartono,
Prof. Bambang Widarsono, Benny Lubiantara, Prof. Doddy Abdassah, Doug Peacock,
Ernita Sembiring Meliala, Faisal Siddiq, Hanief Jauhari, Henricus Herwin, Indra Maizir,
Iskandar Fahmi, Ivan, John Cheung, Joko Prasetyo, Mark Schneider, Miftahul Yusro,
Mohammad Kusuma Utama, Muhammad Mulyawan, Mulyo Hadisantoso, Mutiara
Eliza, Renas S. Witjaksana, Syarifudin Setiawan, Prof. Taufan Marhaendradjana, Tom
Pence, Tsuyoshi Shikama, Prof. Tutuka Ariadji, Wahju Wibowo, Walrick van
Zandvoord, Wemphy Ferdiana, Zaenal Holis, Zain Mardhika Rubianto, Zulfikri.

Nama-nama diatas merupakan pelaku industri hulu migas yang mewakili pemerintah,
kontraktor, konsultan, dan akademisi dengan pengalaman serta jam terbang yang
tinggi di sektor hulu migas. Kami juga berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah
mendukung proses penyusunan standardisasi ini. Akhir kata, diharapkan dengan
standardisasi ini seluruh pemangku kepentingan atas industri migas di Indonesia bisa
menyamakan persepsi sehingga seluruh pihak dapat mengejar pencapaian yang lebih
strategis demi meraih kepentingan bersama.

Penyusun Naskah

Dr. Ir. Fajril Ambia, PMP, SPEC

x
I. Pendahuluan

Sumber daya minyak dan gas bumi merupakan portofolio yang sangat penting bagi
negara. Nilai sumber daya migas menjadi acuan dalam penentuan kebijakan,
investasi, hingga strategi pengembangan lapangan. Namun angka sumber daya
merupakan angka perkiraan yang memiliki tingkat kematangan, risiko, dan
ketidakpastian yang berbeda-beda. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh tingkat
kematangan studi dan proyek serta ketidakpastian dari sisi teknis maupun risiko dari
sisi komersial.

Ditjen Migas melalui SKK Migas dan BPMA setiap tahun melaksanakan pelaporan
angka sumber daya yang dimiliki oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Setelah
kegiatan pelaporan selesai dilakukan, kemudian Ditjen Migas bersama-sama SKK
Migas dan BPMA melakukan evaluasi atas angka sumber daya yang dilaporkan oleh
KKKS tersebut. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya angka sumber daya minyak
dan gas bumi karena angka tersebut dijadikan sebagai salah satu acuan dalam
penentuan kebijakan nasional.

Namun perbedaan definisi yang dianut masing-masing KKKS dalam pelaporan dapat
menyulitkan pemahaman atas data sumber daya yang dikonsolidasi. Untuk itu
diperlukan sebuah standar yang dapat menyamakan persepsi atas angka sumber
daya minyak dan gas bumi.

Organisasi Society of Petroleum Engineers (SPE) membuat sebuah standar definisi


sumber daya yang menjadi salah satu acuan utama di dunia, yaitu Petroleum
Resources Management System (PRMS). Di dalam standar PRMS, pengelolaan
sumber daya menggunakan basis proyek. Pada tahun 2018, SPE menerbitkan
standar PRMS versi terbaru yang menjadi referensi utama naskah ini.

Pemerintah berupaya menggunakan standar PRMS 2018 sebagai acuan dalam


pembangunan definisi. Namun, penyesuaian perlu dilakukan agar standar PRMS
2018 dapat sejalan dengan regulasi dan proses bisnis industri hulu migas di
Indonesia. Dokumen ini menetapkan standar dan definisi dalam sumber daya yang
dilaporkan ke pemerintah. Diharapkan dengan tersusunnya Kerangka Sumber Daya
Migas Indonesia ini, pemahaman dalam definisi yang ada atas sumber daya menjadi

1
seragam sehingga seluruh pemangku kepentingan dalam industri migas di Indonesia
memiliki bahasa dan istilah yang sama.

Tujuan utama dari standardisasi ini adalah agar para pemangku kepentingan dapat
memperoleh informasi strategis dari portofolio wilayah kerja dalam pemahaman yang
sama sehingga para pemangku kepentingan dapat mengambil keputusan yang tepat
dan efisien dalam strategi peningkatan produksi maupun penanganan atas berbagai
kendala yang ada.

II. Prinsip Dasar dan Definisi

Prinsip utama dalam standar ini adalah membangun klasifikasi atas akumulasi minyak
dan gas bumi pada reservoir yang dikelola dalam sebuah proyek.

Definisi II.1. Proyek didefinisikan sebagai kerangka kegiatan yang antara lain
mencakup proses pencarian dan evaluasi akumulasi petroleum, penentuan
strategi pengembangan yang dapat memproduksikan sejumlah volume
petroleum secara komersial, penetapan keputusan investasi yang perlu
diambil, hingga seluruh kegiatan produksi.

Proyek dapat dimulai dari kegiatan eksplorasi yang berupaya meningkatkan


geological chance factor (lihat Definisi III.6) yang bertujuan untuk menemukan
sumber daya migas baru, pembuatan strategi pengembangan lapangan tertentu, atau
aktivitas eksploitasi maupun enhanced oil recovery (EOR) yang dapat meningkatkan
produksi. Terlepas dari berbagai jenis kegiatan yang ada, setiap proyek harus memiliki
tujuan akhir berupa produksi. Dengan demikian, lingkup kegiatan dalam proyek
merupakan kerangka kegiatan yang membutuhkan izin berproduksi dari pihak yang
berwenang.

Definisi II.2. Izin berproduksi adalah istilah umum yang digunakan dalam
dokumen ini untuk merujuk pada berbagai izin yang diberikan oleh pihak yang
berwenang kepada KKKS agar dapat berproduksi. Izin berproduksi dapat
berupa Persetujuan POD, POP, Surat Keputusan Menteri, dan sebagainya.

Pada tahapan eksplorasi, apabila area proyek tersebut tidak seluruhnya mendapatkan
izin berproduksi, maka proyek tambahan terpisah dapat dibuat untuk melanjutkan
kegiatan eksplorasi di area yang belum mendapatkan izin berproduksi. Proyek

2
tambahan ini nantinya akan dievaluasi untuk mendapatkan izin berproduksi yang baru
sebelum bisa dikembangkan.

Proyek juga dapat dibentuk sebagai pengembangan lanjutan atas proyek yang telah
ada. Konsep kerangka kegiatan yang terdapat dalam proyek lanjutan ini juga harus
berujung pada permintaan izin berproduksi yang baru. Apabila kerangka kegiatan
tersebut tidak membutuhkan izin berproduksi yang baru, maka cukup merevisi proyek
yang sudah ada.

Definisi II.3. Risiko (risk) merupakan probabilitas atas suatu kejadian (event)
yang memiliki keluaran (outcomes) bersifat dapat dicacah (countable). Risiko
dapat berupa risiko teknis maupun risiko komersial. Risiko teknis umumnya
lebih dominan pada kegiatan eksplorasi, sedangkan risiko komersial umumnya
lebih dominan pada kegiatan pengembangan.

Pada kegiatan eksplorasi, terdapat dua kemungkinan kejadian, yaitu berhasil atau
gagal menemukan akumulasi petroleum. Oleh karena itu kegiatan eksplorasi disebut
memiliki risiko. Risiko terbesar pada tahapan eksplorasi adalah risiko geologi. Risiko
geologi dapat dikuantifikasi dengan metode statistik sehingga analisa risiko bisa
dilakukan secara objektif.

Definisi II.4. Ketidakpastian (uncertainty) merupakan probabilitas atas suatu


kejadian (event) yang memiliki keluaran (outcomes) bersifat tidak dapat
dicacah (uncountable). Ketidakpastian terdapat pada angka sumber daya yang
diperoleh apabila keberadaan akumulasi petroleum sudah dikonfirmasi.

Klasifikasi yang dibangun dalam standar ini merujuk kepada level kematangan proyek
(Project Maturation) yang merefleksikan peluang keberhasilan proyek dari sisi
komersial. Selain itu, dalam klasifikasi tersebut terdapat pula ketidakpastian dari sisi
teknis yang menyebabkan ketidakpastian besaran sumber daya. Keseluruhan risiko
dan ketidakpastian ini tercermin dalam klasifikasi yang dibangun, sehingga peluang
keberhasilan komersial dari proyek serta ketidakpastian angka sumber daya dapat
tergambar dari posisi dalam klasifikasi tersebut.

Definisi II.5. Waktu Acuan Pelaporan (WAP) adalah waktu referensi tahunan
yang ditetapkan pada setiap tanggal 31 Desember Pukul 23.59. Status WAP
ditulis dalam bentuk 31.12.20XX dengan XX merupakan tahun status data

3
ditetapkan. Untuk penulisan yang lebih singkat, status WAP dapat ditulis
bagian tahun saja (20XX). Sebelum penetapan dokumen ini, waktu referensi
yang digunakan adalah setiap tanggal 1 Januari Pukul 00.00 tahun
setelahnya, atau biasa ditulis dalam format 1.1.20XY dengan XY merupakan
XX + 1.

Proses evaluasi terhadap data yang ada pada proyek dihitung pada saat WAP. Waktu
referensi ini menjadi acuan dalam berbagai definisi yang ada pada dokumen ini.

Definisi II.6. Petroleum didefinisikan sebagai campuran yang umumnya


didominasi oleh komponen hidrokarbon yang secara alami terbentuk dalam
fase padat, cair, maupun gas. Petroleum dapat mengandung komponen non-
hidrokarbon yang biasa menyertai dalam akumulasi tersebut, seperti karbon
dioksida, nitrogen, hidrogen sulfida, dan sulfur. Dalam beberapa kasus khusus,
komponen non-hidrokarbon dapat menjadi komponen yang paling dominan.

Pengecualian dominasi komponen hidrokarbon umumnya terjadi apabila volume


petroleum sangat besar sehingga walaupun hidrokarbon yang tersedia tidak dominan,
hidrokarbon tersebut masih berpotensi untuk memiliki nilai komersial.

Definisi II.7. Initial Petroleum in Place (IPIP) adalah akumulasi petroleum yang
secara alami terdapat pada reservoir dalam kondisi awal sebelum adanya
produksi. Akumulasi ini dihitung secara keseluruhan sehingga termasuk baik
yang dapat diambil maupun yang tidak dapat diambil. Jenis Petroleum in Place
adalah Initial Oil in Place (IOIP) dan Initial Gas in Place (IGIP). Untuk volume
awal kondensat pada retrograde condensate reservoir apabila sebelum
diproduksikan sudah terbentuk kondensat di reservoir, maka volume tersebut
dimasukkan ke dalam volume IOIP, sedangkan untuk saturated reservoir yang
memiliki gas tudung sebelum reservoir diproduksikan, maka volume gas
tudung tersebut dimasukkan ke dalam volume IGIP.

Definisi II.8. Sumber daya adalah bagian dari Initial Petroleum in Place (IPIP)
yang berpotensi untuk diambil ke permukaan melalui kegiatan pengeboran
atau mekanisme lain yang didukung oleh fasilitas produksi yang diperlukan.
Sumber daya dapat dievaluasi pada IPIP yang belum maupun yang sudah
ditemukan. Seluruh kelas dalam klasifikasi disebut sebagai sumber daya.

4
Sesuai dengan Definisi II.8, akumulasi petroleum yang secara alami terbentuk dalam
kerak bumi dan berpotensi untuk diambil disebut sumber daya, baik yang sudah
maupun yang belum ditemukan. Adapun cadangan adalah sumber daya yang sudah
ditemukan dan telah memenuhi seluruh syarat-syarat komersial. Dengan demikian,
bisa dinyatakan bahwa cadangan merupakan kasus khusus dari sumber daya.
Cadangan didefinisikan lebih detail pada Definisi II.9.

Faktor komersial yang menjadi pertimbangan dalam penentuan klasifikasi didasarkan


pada faktor teknis, keekonomian, regulasi dan legal, serta sosial dan lingkungan. Perlu
ditekankan bahwa faktor teknis merupakan bagian dari komersial. Oleh karena itu
penetapan kelas cadangan pada proyek bermakna bahwa proyek tersebut sudah
memiliki peluang keberhasilan yang tinggi terhadap faktor-faktor komersial.

II.1. Kerangka Klasifikasi Sumber Daya


Klasifikasi ini merupakan sistem yang mengategorikan proyek migas di Indonesia.
Dengan klasifikasi tersebut, para pemangku kepentingan dapat membuat berbagai
strategi untuk meningkatkan level proyek dari sumber daya hingga mencapai kelas
cadangan.

Cumulative Production
Commercial

Reserves & GRR


1R 2R 3R
1P 2P 3P
Discovered IPIP
Total Initial Petroleum In Place (IPIP)

Increasing chance of Commerciality

Contingent Resources
Sub Commercial

1C 2C 3C

Unrecoverable

Prospective Resources
Undiscovered IPIP

1U 2U 3U
P90 P50 P10

Unrecoverable

Range of Uncertainty

Gambar II.1. Klasifikasi Sumber Daya

5
Definisi II.9. Cadangan (Reserves) adalah bagian volume IPIP yang
diperkirakan dapat diambil secara komersial melalui kegiatan dalam proyek
pengembangan yang telah ditetapkan. Penetapan jumlah cadangan ditentukan
berdasarkan sisa akumulasi petroleum yang dapat diambil saat WAP. Faktor
komersial yang menjadi batas adalah faktor teknis, keekonomian, regulasi dan
legal, serta faktor sosial dan lingkungan.

Definisi II.10. GOI Recoverable Resources (GRR) merupakan bagian volume


IPIP yang diperkirakan dapat diambil dengan dibatasi hanya faktor teknis saja.
Faktor teknis didasarkan pada kemampuan maksimal sumur dan fasilitas
produksi yang sudah terpasang sesuai dengan skenario teknis yang digunakan
pada definisi cadangan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip good
engineering practices. Pada kasus-kasus tertentu, batasan faktor teknis dapat
didasari pada konsep rencana kegiatan yang menjadi baseline dalam skenario
pengembangan. Selisih volume GRR dan cadangan merupakan volume yang
memiliki potensi untuk menjadi cadangan apabila kendala komersial dapat
diatasi. Penetapan jumlah GRR ditentukan berdasarkan sisa akumulasi
petroleum yang dapat diambil saat WAP.

Konsep GRR analog dengan konsep Technically Recoverable Resources (TRR) yang
diperkenalkan dalam PRMS 2018. Namun perbedaan utama adalah definisi GRR
memiliki batasan yang lebih spesifik dibandingkan TRR sesuai dalam Definisi II.10.
Karena GRR berada dalam kelas yang sama dengan cadangan, maka volume GRR
tidak dapat dilaporkan sendiri tanpa nilai cadangan. Sehingga pencatatan angka
cadangan selalu disertai dengan angka GRR.

Definisi II.11. Contingent Resources merupakan bagian volume IPIP yang


diperkirakan dapat diambil berdasarkan proyek yang ditetapkan dengan
dibatasi oleh faktor teknis. Proyek yang berada dalam kelas contingent
resources mengalami kendala dari sisi komersial. Umumnya, masalah utama
terletak pada faktor keekonomian, regulasi dan legal.

Definisi II.12. Prospective Resources merupakan bagian volume undiscovered


IPIP yang diperkirakan dapat diambil. Volume ini diidentifikasi saat kegiatan
eksplorasi. Prospective Resources memiliki asosiasi dengan geological chance
factor sehingga umumnya keberadaan akumulasi petroleum belum dapat

6
ditentukan secara pasti. Perpindahan kelas menjadi Contingent Resources
baru dapat terjadi jika proyek tersebut mendapatkan level Discovery under
Evaluation.

Klasifikasi dalam standar ini bisa dibagi menjadi tiga kelas, yaitu cadangan & GRR,
contingent resources, dan prospective resources. Setiap proyek hanya dapat memiliki
satu kategori kelas. Kategori cadangan dan GRR berada dalam satu kelas yang
sama karena konsep GRR didesain untuk menangkap besaran volume yang bisa
diambil apabila secara umum hanya mempertimbangkan faktor teknis saja. Tujuan
dari kategori GRR ini adalah antara lain agar negara dapat menentukan strategi
kebijakan yang diambil terhadap wilayah kerja yang akan berakhir. Karena kategori
cadangan berada pada kelas dan GRR yang sama, maka tiap proyek yang sudah
memenuhi persyaratan komersial pasti memiliki kedua nilai tersebut.

Definisi II.13. Cumulative Production atau Produksi Kumulatif adalah angka


produksi aktual yang diakumulasi dari saat awal produksi hingga WAP.

Definisi II.14. Unrecoverable, merupakan bagian volume IPIP yang ketika


dievaluasi pada status waktu acuan, tidak dapat diambil akibat terkendala dari
sisi teknologi maupun batasan fisika yang dihadapi oleh proyek. Sebagian dari
volume yang tidak dapat diambil ini dimasa datang dapat menjadi terambil
apabila ada proyek pengembangan lanjut yang dapat menyelesaikan kendala-
kendala tersebut.

Definisi II.15. Estimated Ultimate Recovery (EUR) atau Perkiraan


Pengambilan Maksimum adalah volume petroleum yang bisa diambil secara
keseluruhan dari awal hingga akhir masa produksi. Volume EUR bergantung
pada konteks batasan yang diambil. Jika batasan yang diambil mengambil
batasan yang ada pada cadangan, maka EUR disebut sebagai Ultimate
Reserves. Namun jika merujuk volume GRR, maka EUR disebut Ultimate GRR.

Secara matematis, EUR untuk tiap kelas dapat ditulis dengan persamaan berikut:

EUR = Ultimate Reserves = Cumulative Production + Reserves


EUR = Ultimate GRR = Cumulative Production + GRR
EUR = Cumulative Production + Contingent Resources
EUR = Prospective Resources

7
Dengan demikian, untuk tiap akumulasi petroleum akan memenuhi hubungan berikut:

Discovered IPIP = Cumulative Production + Reserves + Contingent Resources + Unrecoverable

Perlu ditekankan kembali apabila hanya terdapat satu proyek yang ada untuk
menguras akumulasi tersebut, maka persamaan di atas hanya dapat memiliki
cadangan atau contingent resources, namun tidak kedua-duanya. Karena dalam satu
proyek tidak dapat memiliki dua kelas yang berbeda.

Untuk fase eksplorasi, akumulasi petroleum akan memenuhi hubungan berikut:

Undiscovered IPIP = Prospective Resources + Unrecoverable

II.2. Evaluasi Sumber daya berbasiskan Proyek


Penetapan nilai sumber daya dalam suatu proyek dihitung berdasarkan pada
akumulasi petroleum yang diperoleh melalui kegiatan proyek tersebut. Proyek dapat
dimulai dari kegiatan eksplorasi yang berupaya meningkatkan geological chance
factor yang bertujuan untuk menemukan sumber daya migas baru, pembuatan strategi
pengembangan lapangan tertentu, atau aktivitas eksploitasi maupun enhanced oil
recovery (EOR) yang dapat meningkatkan produksi. Namun setiap proyek harus
memiliki tujuan akhir berupa produksi.

Pada tahapan eksplorasi, dalam satu lapangan (lihat Definisi IV.2) umumnya terdapat
satu proyek yang fokus pada upaya peningkatan keberhasilan eksplorasi. Namun
ketika sudah mencapai tahap eksploitasi, dalam satu lapangan dapat terdiri dari
beberapa proyek. Proyek yang sudah ada semenjak fase eksplorasi kemudian
menjadi baseline dari produksi. Bagian penting dari proyek adalah mendapatkan
persetujuan pengembangan lapangan dari otoritas dan keputusan investasi dari
perusahaan sehingga akumulasi petroleum dapat diproduksikan. Jika strategi yang
diterapkan dalam proyek tersebut belum optimal dalam memproduksikan hidrokarbon,
maka dapat dibentuk proyek baru sebagai optimisasi pengembangan lapangan.
Proyek baru ini akan memiliki level kematangan sendiri yang terpisah dari proyek yang
sebelumnya. Dengan demikian, proyek ini juga akan memiliki kelas tersendiri.

Definisi II.16. Level Kematangan Proyek (Project Maturity Level) adalah sub
klasifikasi dalam kelas yang menggambarkan kematangan proyek dari sisi
komersial. Untuk tiap level kematangan proyek terdapat risiko komersial yang
berbeda-beda.

8
Gambar II.2. Level yang menggambarkan kematangan proyek.

Tiap kelas memiliki level kematangan proyek yang merefleksikan secara strategis
mengenai peluang proyek mencapai level produksi. Evaluasi atas level kematangan
ini dilakukan pada WAP.

Definisi II.17. Abandoned merupakan kategori yang menampung proyek yang


tadinya diidentifikasi memiliki potensi adanya akumulasi petroleum. Namun
setelah didapat data yang lebih lengkap, proyek tersebut dinyatakan tidak
memiliki potensi akumulasi petroleum.

Karena proyek pada kategori ini tidak memiliki potensi yang teridentifikasi, maka
kategori abandoned tidak termasuk dalam klasifikasi pada Gambar II.1.

Penentuan level proyek pada waktu acuan dievaluasi dan divalidasi oleh pihak yang
berwenang. Hasil evaluasi dan validasi tersebut menjadi dasar apakah usulan level
proyek dapat diterima atau tidak. Salah satu faktor yang menjadi dasar penentuan
level adalah izin berproduksi dari pihak yang berwenang.

9
Alur perpindahan level pada proyek juga dapat ditentukan oleh rencana kerja
pengembangan jangka panjang. Dokumen rencana kerja pengembangan jangka
panjang merupakan dokumen yang mencatat jadwal dan strategi pengembangan
yang realistis atas proyek yang tidak berproduksi agar dapat berproduksi secara
komersial. Pencatatan dalam dokumen ini hanya dapat dilakukan satu kali di level
proyek tersebut berada. Dokumen ini ditetapkan berdasarkan evaluasi dari pihak yang
berwenang. Apabila proyek yang tidak berproduksi tidak memiliki dokumen tersebut,
maka pada WAP selanjutnya proyek harus langsung berpindah level sesuai dengan
definisi yang ada pada masing-masing level. Definisi untuk tiap level pada Gambar
II.2 sebagai berikut:

Definisi II.18. On Production (E0). Proyek sedang dalam keadaan berproduksi


saat dievaluasi pada WAP. Dalam kasus proyek sedang mengalami kendala
sehingga berhenti produksi ketika dievaluasi pada WAP, maka proyek tersebut
masih dapat diberikan level On Production hingga evaluasi di WAP selanjutnya.
Apabila pada WAP selanjutnya masih belum berproduksi sama sekali, maka
proyek tidak lagi berada pada level On Production.

Berdasarkan Definisi II.18 proyek dituntut harus berproduksi secara komersial


apabila menyandang level On Production. Artinya dari satu WAP hingga ke WAP
selanjutnya proyek harus berproduksi secara komersial walau tidak berproduksi
secara penuh sepanjang tahun.

Definisi II.19. Production on Hold (E1). Proyek memiliki level On Production


pada WAP sebelumnya. Namun sama sekali tidak berproduksi secara
komersial hingga evaluasi di WAP. Pada WAP selanjutnya, proyek harus
pindah ke level lain kecuali jika proyek aktif terdaftar dalam dokumen rencana
kerja pengembangan lapangan jangka panjang 3 (tiga) tahun ke depan.
Apabila pada WAP proyek tidak lagi aktif terdaftar, maka proyek harus
berpindah level.

Definisi II.20. Under Development (E2). Proyek sedang dalam fase


pembangunan fasilitas produksi. Level ini didapat setelah izin berproduksi dan
Financial Investment Decision (FID) disetujui. Level ini hanya dapat bertahan
paling lama tiga WAP kecuali dapat dibuktikan bahwa proyek sedang dalam
pembangunan secara fisik.

10
Pembangunan yang dimaksud pada fase ini harus merupakan kegiatan yang
berkontribusi langsung dalam upaya pembangunan fasilitas sesuai rencana yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu, kegiatan tersebut perlu dibuktikan melalui
pencatatan pada rencana kerja pengembangan jangka panjang dan hasil evaluasi dari
pihak yang berwenang.

Definisi II.21. Justified for Development (E3). Proyek sudah memiliki izin
berproduksi dari pihak yang berwenang. Level ini hanya dapat bertahan selama
tiga WAP atau ditetapkan lain pada izin berproduksi yang diberikan. Jika
setelah batasan waktu yang ditetapkan masih belum mendapatkan FID, maka
proyek turun kelas ke Contingent Resources.

Untuk proyek yang berasal dari eksplorasi, setelah mendapatkan level ini proyek
mengalami perubahan dari fase eksplorasi menjadi fase eksploitasi. Biasanya izin
produksi yang diberikan berupa persetujuan pengembangan lapangan. Sedangkan
untuk proyek pengembangan lanjut, izin berproduksi yang diberikan dapat berupa
optimisasi pengembangan lapangan atau persetujuan pengembangan lapangan
tahap secondary maupun tertiary recovery.

Definisi II.22. Production Pending (E4). Proyek pada WAP sebelumnya berada
pada level Production on Hold, tetapi saat di evaluasi pada WAP, persyaratan
untuk tetap pada level tersebut sudah tidak lagi terpenuhi. Proyek dapat
bertahan pada level ini maksimal sebanyak tiga WAP atau sesuai dengan yang
ditetapkan pada dokumen rencana kerja pengembangan lapangan jangka
panjang. Setelah melewati batas tersebut atau dokumen dinyatakan tidak lagi
aktif, proyek diharuskan pindah ke level Production Not Viable.

Proyek yang berpindah ke level Production Pending menandakan bahwa proyek


tersebut turun kelas ke Contingent Resources. Proyek yang telah berada pada level
ini lebih dari tiga WAP tanpa dapat berproduksi atau memiliki rencana kerja
pengembangan lapangan jangka panjang dianggap memiliki risiko komersial yang
sangat tinggi. Untuk itu proyek tersebut diharuskan turun ke level Production Not
Viable.

Definisi II.23. Development Unclarified (E5). Proyek tidak mendapatkan


keputusan investasi setelah durasi waktu yang ditetapkan dalam level Justified

11
for Development terlewati atau tanggal rencana on-stream tidak tercapai pada
WAP sebelumnya sehingga mengakibatkan rencana kerja pengembangan
lapangan jangka panjang tidak berlaku lagi.

Definisi II.24. Further Development (E6). Proyek pengembangan lanjut yang


baru didefinisikan untuk meningkatkan produksi dalam lapangan. Proyek ini
dapat berupa tambahan sumur hingga pengembangan Enhanced Oil Recovery
maupun Improved Oil Recovery. Usulan proyek pengembangan lanjut harus
didaftarkan dan dievaluasi oleh pihak yang berwenang sebelum bisa
mendapatkan level Further Development. Proyek dalam level ini harus cukup
komprehensif sehingga diharuskan memiliki izin berproduksi yang terpisah dari
proyek sebelumnya. Proyek hanya dapat berada pada level ini selama satu
WAP.

Level ini merupakan titik awal bagi proyek pengembangan lanjut yang baru didesain.
Volume perkiraan yang bisa diambil dari proyek ini berasal dari bagian Unrecoverable
karena proyek tersebut berasal dari akumulasi petroleum yang sudah ada, atau zona
yang sudah dilingkupi oleh izin berproduksi. Apabila setelah evaluasi didapatkan
bahwa proyek sebelumnya dapat mengambil volume yang ditetapkan dalam proyek
pengembangan lanjut ini, maka proyek pengembangan lanjut harus dikeluarkan dari
klasifikasi.

Definisi II.25. Production Not Viable (E7). Proyek pada WAP sebelumnya
berada Production Pending, tetapi saat di evaluasi pada WAP, persyaratan
untuk tetap pada level tersebut sudah tidak lagi terpenuhi. Proyek dapat
langsung diklasifikasikan dalam level ini apabila tidak ada sama sekali rencana
untuk berproduksi secara komersial.

Proyek yang diklasifikasikan dalam level ini misalnya berupa proyek yang sudah
selesai masa berproduksi atau menghadapi kendala komersial yang sangat besar.

Definisi II.26. Further Development Not Viable (E8). Proyek pada WAP
sebelumnya telah berada pada level Further Development, tetapi saat di
evaluasi pada WAP, proyek tersebut tidak mendapatkan izin berproduksi.

Level ini merupakan level terendah dari sisi komersial dalam fase pengembangan.
Proyek dalam level ini merupakan proyek konseptual yang bisa jadi tidak dapat

12
direalisasikan karena faktor komersial. Apabila proyek dalam level ini dinyatakan tidak
dapat dikembangkan karena sudah tidak relevan lagi, maka nilai sumber daya dibuat
nol.

Eksploitasi
Proyek Baru Proyek Pernah Berproduksi

E0
Development
Ya On Production
selesai?
(Tidak prod: 1 WAP)

E1
Production on Hold
(1 atau 3 WAP*)

E2
Reserves

Under Development
Ya
(Onstream*
atau 3 WAP)

E3
Justified for FID
Development Disetujui?
(3 WAP) Tidak

Ya

Tidak
E4
Production Pending
(Onstream*
atau 3 WAP)
E5
Development
Unclarified
WAP)

Izin Produksi
diberikan?
Contingent Resources

E6
Further Development
(1 WAP) Tidak E7
Production Not
Viable
WAP)

E8
Further Development
Not Viable
WAP)

Proyek
Proyek
Pengembangan
Pengembangan
Lanjut

Gambar II.3. Alur kematangan proyek pada fase eksploitasi

Definisi II.27: Development Pending (X0). Proyek telah memiliki persetujuan


pengakhiran kegiatan eksplorasi. Pada fase ini penyusunan dan evaluasi
strategi pengembangan lapangan sedang dilakukan.

13
Definisi II.28. Discovery under Evaluation (X1). Akumulasi petroleum
ditemukan secara konklusif dari pengeboran satu atau beberapa sumur
eksplorasi yang ditandai dengan adanya keyakinan yang tinggi bahwa tekanan
reservoir cukup untuk mengalirkan fluida secara terus-menerus ke permukaan.
Apabila reservoir secara teknis hanya dapat diproduksikan dengan
menggunakan teknologi tertentu, maka level ini dapat diperoleh apabila ada
keyakinan tinggi bahwa teknologi tersebut bisa diterapkan. Proyek hanya dapat
berada pada level ini maksimum selama dua WAP.

Umumnya keyakinan dalam Definisi II.28 dikonfirmasi melalui uji sumur atau hal lain
yang disepakati oleh pihak yang berwenang. Pada level ini biasanya dilakukan
pengeboran delineasi untuk mengkonfirmasi batasan akumulasi petroleum tersebut.
Apabila akumulasi petroleum yang ditemukan secara teknis tidak dapat diproduksikan
dengan menggunakan tekanan reservoir, maka evaluasi didasarkan pada keyakinan
atas penerapan teknologi yang akan diterapkan. Sebagai contoh, untuk reservoir
heavy oil, maka perlu dievaluasi apakah teknologi steam flooding akan berhasil
diterapkan di reservoir tersebut.

Definisi II.29. Development Undetermined (X2). Proyek telah melewati masa


waktu persyaratan dalam Discovery under Evaluation. Proyek juga berada
pada level ini apabila izin berproduksi tidak dapat diperoleh dari pihak yang
berwenang akibat adanya kebutuhan untuk menambah data. Proyek dapat
pindah ke level Development Pending apabila memperoleh persetujuan
pengakhiran kegiatan eksplorasi.

Pada level ini biasanya evaluasi untuk penyusunan strategi pengembangan lapangan
sudah dilakukan. Dari evaluasi tersebut dinyatakan ada kebutuhan tambahan data
baru.

Definisi II.30. Development Not Viable (X3). Persetujuan strategi


pengembangan lapangan ditolak oleh pihak yang berwenang. Proyek dapat
pindah ke fase eksploitasi apabila memperoleh izin berproduksi.

Definisi II.31. Inconclusive Flow (X4). Akumulasi petroleum ditemukan melalui


sumur eksplorasi namun tidak ada keyakinan yang cukup bahwa fluida dapat
mengalir ke permukaan secara terus-menerus. Pada kasus-kasus tertentu,

14
keyakinan ini didasari pada ketersediaan dan kemampuan teknologi yang bisa
diterapkan.

Situasi pada Definisi II.31 biasanya terjadi apabila tidak ada uji sumur yang dilakukan,
atau durasi pengujian yang terlalu singkat. Level ini juga dapat diberikan pada proyek
eksplorasi pada zona yang lebih dangkal namun tidak termasuk dalam lingkup
persetujuan pengembangan lapangan yang sudah ada. Untuk situasi ini, biasanya
proyek tersebut masih membutuhkan data tambahan untuk mengkonfirmasi apakah
zona tersebut dapat mengalir secara konklusif ke permukaan. Karena proyek tersebut
nantinya akan membutuhkan izin berproduksi yang baru dan terpisah dari izin
sebelumnya, maka harus dibuat proyek eksplorasi terpisah.

Seperti halnya pada Definisi II.28, untuk kasus-kasus seperti minyak berat, non-
konvensional, atau lainnya, keyakinan atas kemampuan fluida yang dapat mengalir
ke permukaan secara terus-menerus dapat didasarkan pada keyakinan keberhasilan
atas penerapan teknologi yang memungkinkan fluida mengalir ke permukaan secara
terus-menerus selama teknologi tersebut diterapkan.

Definisi II.32. Prospect (X5). Proyek dengan potensi akumulasi petroleum


yang belum pernah dibor namun sudah memiliki data yang cukup untuk
menentukan target pengeboran sumur eksplorasi.

Apabila persetujuan pengakhiran kegiatan eksplorasi atau izin berproduksi tidak


diberikan pada keseluruhan area yang menjadi target pengembangan, maka area
yang tidak mendapatkan persetujuan tersebut dapat dibuat proyek baru dengan level
Prospect apabila proyek tersebut membutuhkan pengeboran eksplorasi baru untuk
mengkonfirmasi akumulasi.

Proyek eksplorasi tambahan juga dapat dibentuk di lapangan yang telah berproduksi
apabila dibutuhkan pengeboran dengan tujuan pengambilan data lebih lanjut untuk
memastikan keberadaan akumulasi petroleum.

Definisi II.33. Lead (X6). Proyek dengan potensi akumulasi petroleum yang
belum pernah dibor dan belum memiliki data yang cukup untuk menentukan
target pengeboran sumur eksplorasi. Pada level ini proyek masih memerlukan
data dan evaluasi tambahan untuk bisa mencapai level prospect.

15
Level ini merupakan level terendah dalam klasifikasi dan menjadi titik masuk (entry
point) proyek dalam kegiatan eksplorasi.

Untuk keperluan pencatatan, terdapat dua sub kategori tambahan dalam kategori
Abandoned (Definisi II.17) sehingga proyek eksplorasi yang sudah dikonfirmasi tidak
memiliki akumulasi hidrokarbon dapat didokumentasikan.

Definisi II.34. Dry (A1). Hasil pengeboran eksplorasi menunjukkan tidak ada
akumulasi petroleum yang ditemukan.

Definisi II.35. Dissolved (A2). Hasil studi evaluasi seismik 3D menunjukkan


tidak ada bentukan struktur yang memungkinkan untuk akumulasi petroleum
terjadi.

16
Eksplorasi
Proyek Baru

Eksploitasi
Ya

X0 Ya
Eksplorasi Development
Disetujui?
selesai? Pending
WAP)
Contingent Resources

X1
Discovery under Tidak
Evaluation
(2 WAP) Tidak
X2
Development
Undetermined
WAP)
X3
Development
Tidak Butuh data?
Not Viable
WAP)

Ya

X4
Konklusif Inconclusive
Ya Tidak
mengalir? Flow
WAP)
Ya
Prospective Resources

X5
Konfirmasi Data Ada
Ya Ya Prospect
seismik 3D? lengkap? hidrokarbon?
WAP)

X6
Lead Tidak
WAP)
Tidak

Tidak
Proyek Proyek
Proyek
eksplorasi eksplorasi
eksplorasi baru
tambahan tambahan
Abandoned

A2 A1
Dissolved Dry
WAP) WAP)

Gambar II.4. Alur kematangan proyek pada fase eksplorasi

III. Ketidakpastian dan Risiko Sumber Daya

Dalam melakukan evaluasi teknis, jumlah data yang dimiliki jauh lebih sedikit
dibanding variabel yang ada. Hal ini menyebabkan adanya ketidakpastian dalam
melakukan perkiraan volume. Untuk itu diperlukan kategorisasi atas ketidakpastian
teknis.

17
III.1. Rentang Ketidakpastian Teknis
Jumlah volume akumulasi petroleum merupakan estimasi berdasarkan evaluasi atas
data yang ada. Estimasi ini menimbulkan ketidakpastian yang direfleksikan pada garis
horizontal di Gambar II.1. Untuk mengevaluasi ketidakpastian ini, diambil tiga nilai
sebagai representasi ketidakpastian, yaitu estimasi bawah (low estimate), estimasi
terbaik (best estimate), dan estimasi atas (high estimate). Ketiga nilai ini memiliki
simbol khusus untuk tiap kategori kelas yang ada.

Kelas cadangan & GRR direpresentasikan dengan simbol 1P, 2P, dan 3P & 1R, 2R,
dan 3R. Nilai inkremental menggunakan simbol P1, P2, dan P3 & R1, R2, dan R3.

Kelas contingent resources direpresentasikan dengan simbol 1C, 2C, dan 3C. Nilai
inkremental menggunakan simbol C1, C2, dan C3.

Kelas prospective resources direpresentasikan dengan simbol 1U, 2U, dan 3U. Nilai
inkremental menggunakan simbol U1, U2, dan U3.

Simbol-simbol ini hanya digunakan untuk merepresentasikan akumulasi petroleum


yang dapat diambil. Untuk IPIP tetap menggunakan kategori estimasi bawah (low
estimate), estimasi terbaik (best estimate), dan estimasi atas (high estimate).

Definisi III.1. Secara statistik, estimasi bawah (low estimate), estimasi terbaik
(best estimate), dan estimasi atas (high estimate) ini merepresentasikan
persentil 90%, 50%, dan 10% (P90, P50, dan P10) dalam kurva inverted
cumulative probability.

Sehingga dari Definisi III.1 bisa dinyatakan bahwa:

 ada peluang 90% bahwa besaran akumulasi petroleum akan lebih besar atau
sama dengan dari yang dinyatakan dalam estimasi bawah (low estimate),
 ada peluang 50% bahwa besaran akumulasi petroleum akan lebih besar atau
sama dengan dari yang dinyatakan dalam estimasi terbaik (best estimate),
 ada peluang 10% bahwa besaran akumulasi petroleum akan lebih besar dari
atau sama dengan yang dinyatakan dalam estimasi atas (high estimate).

Dalam hal penggunaan metode deterministik, perlu dibangun model yang


mencerminkan estimasi bawah, terbaik, dan estimasi atas. Tiap model yang dibangun
harus merefleksikan tingkat keyakinan masing-masing secara berurutan 90%, 50%,

18
10% bahwa volume yang akan diperoleh nantinya akan melebihi atau sama dengan
volume yang dihasilkan di tiap model tersebut.

Penggunaan metode deterministik dengan skenario tunggal dalam perhitungan


volume harus dilengkapi dengan kajian probabilistik untuk mendapatkan rentang
ketidakpastian. Metode deterministik yang dibuat dengan skenario tunggal secara
statistik memiliki 80% peluang berada di antara estimasi bawah dan estimasi atas.
Sehingga jika skenario tersebut berada di luar rentang, maka skenario tersebut perlu
dicermati lebih mendalam. Skenario tunggal ini dalam pelaporan dapat menjadi
estimasi terbaik.

Istilah terbukti (proven), mungkin (probable), dan harapan (possible) merujuk pada
selisih persentil saat pembuatan estimasi terkait cadangan.

Definisi III.2. Terbukti (proven). Cadangan terbukti merupakan perkiraan


volume petroleum yang bisa diambil dengan tingkat keyakinan yang tinggi.
Secara probabilistik, tingkat keyakinan yang tinggi ini diterjemahkan sebagai
ada 90% peluang bahwa volume yang terambil akan lebih besar dari yang
dicantumkan sebagai cadangan terbukti.

Definisi III.3. Mungkin (probable). Cadangan mungkin merupakan volume


inkremental yang berpeluang diproduksikan jika dilihat dari acuan volume
cadangan terbukti. Volume inkremental ini perlu dipandang sebagai objek
statistik dan bukan tambahan volume cadangan secara langsung. Secara
statistik, cadangan mungkin merupakan rentang ketidakpastian yang
memenuhi persamaan 𝑃2 = 2𝑃 – 1𝑃. Oleh karena itu bisa dinyatakan bahwa
ada 40% peluang nilai volume yang sebenarnya berada di antara volume 2P
dan 1P.

Definisi III.4. Harapan (possible). Cadangan harapan merupakan volume


inkremental yang berpeluang diproduksikan jika dilihat dari acuan volume
cadangan terbukti + mungkin. Seperti halnya dalam cadangan mungkin,
volume inkremental ini perlu dipandang sebagai objek statistik dan bukan
tambahan volume cadangan secara langsung. Secara statistik, cadangan
harapan merupakan rentang ketidakpastian yang memenuhi persamaan 𝑃3 =

19
3𝑃 – 2𝑃. Oleh karena itu bisa dinyatakan bahwa ada 40% peluang nilai volume
yang sebenarnya berada di antara volume 3P dan 2P.

Konsep yang sama dapat pula berlaku untuk kategori kelas yang lain. Namun istilah
terbukti, mungkin, dan harapan hanya digunakan dalam kelas cadangan. Definisi ini
menegaskan bahwa dengan konsep ini, terbukti, mungkin, dan harapan bukan lagi
merupakan area yang memiliki potensi tertentu. Setiap area yang memerlukan
pengembangan tambahan dapat dijadikan proyek pengembangan lanjutan dengan
rentang ketidakpastiannya sendiri.

III.2. Sistem Petroleum dan Penentuan GCF (Geological Chance Factor)


Sistem petroleum merupakan sebuah konsep yang terdiri dari elemen-elemen yang
secara bersama-sama memungkinkan terjadinya akumulasi petroleum. Elemen
sistem petroleum bisa dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

 Batuan induk (source rock)


 Batuan reservoir
 Jebakan & Penyekat (trap & seal)
 Migrasi

Definisi III.5. Play merupakan integrasi elemen sistem petroleum pada area
tertentu. Penamaan play diawali dengan nama basin, kemudian disusul dengan
mengambil elemen reservoir, jebakan, penyekat, batuan induk, dan migrasi.
Elemen reservoir terdiri dari umur geologi, lingkungan pengendapan, dan
litologi. Elemen jebakan berupa jenis struktural, stratigrafi, atau kombinasi.
Elemen penyekat terdiri dari umur geologi, lingkungan pengendapan, dan
litologi. Elemen batuan induk terdiri dari umur geologi, lingkungan
pengendapan, dan litologi. Elemen migrasi terdiri dari umur geologi.

Sebagai contoh:

Late Oligocene meandering fluvial sandstone reservoir in faulted anticline trap, sealed
by Middle Miocene deep marine shale, and charged from Late Oligocene fluvial shale
in late Miocene. Play located in North Sumatera Basin.

Penamaan play menjadi:

20
North Sumatera | Reservoir: Oligocene - fluvial - sandstone | Trap: faulted anticline
trap | Seal: Miocene - marine - shale | Source Rock: Oligocene - fluvial - shale |
Migration: Miocene

Definisi III.6. Geological Chance Factor (GCF) adalah kuantifikasi risiko


keberadaan elemen dalam play. Tiap elemen akan memiliki probabilitas
kehadiran masing-masing. Perkalian keseluruhan probabilitas untuk tiap
elemen merepresentasikan probabilitas ada atau tidaknya akumulasi
petroleum.

Dalam kegiatan eksplorasi, keberadaan elemen-elemen tersebut secara terintegrasi


belum dapat ditentukan secara pasti karena belum terdapat sumur eksplorasi. Risiko
ini dikuantifikasi dengan probabilitas ada atau tidaknya elemen tersebut. Tiap elemen
diberikan nilai probabilitas keberadaan sesuai dengan hasil evaluasi dan ketersediaan
data. Probabilitas 0% berarti dapat dipastikan bahwa elemen sistem petroleum tidak
tersedia. Sebaliknya, probabilitas 100% berarti dapat dipastikan bahwa elemen
petroleum sistem tersedia. Untuk mendapatkan probabilitas sistem petroleum secara
keseluruhan, maka probabilitas tiap elemen dikalikan.

𝑃𝑝𝑠 = 𝑃𝑠𝑜𝑢𝑟𝑐𝑒 × 𝑃𝑟𝑒𝑠𝑒𝑟𝑣𝑜𝑖𝑟 × 𝑃𝑡𝑟𝑎𝑝 & 𝑠𝑒𝑎𝑙 × 𝑃𝑚𝑖𝑔𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛

Untuk kondisi yang sudah berproduksi, maka otomatis sistem petroleum tersebut
memiliki probabilitas sebesar 100%. Adapun pada kondisi awal tanpa memiliki data,
peluang keberadaan elemen sistem petroleum memiliki nilai sebesar 50%. Dengan
demikian, probabilitas keberadaan sistem petroleum secara keseluruhan sebesar
50% × 50% × 50% × 50% = 6.25%. Seiring dengan bertambahnya data, maka nilai
probabilitas ini dapat berubah. Perlu ditekankan bahwa data yang semakin banyak
tidak selalu berarti probabilitas sistem petroleum menjadi bertambah besar. Bisa saja
data yang semakin banyak justru malah mengkonfirmasi bahwa elemen sistem
petroleum tidak tersedia pada area tersebut.

IV. Panduan Evaluasi dan Pelaporan

Dalam pelaporan terdapat berbagai istilah yang digunakan, seperti struktur, lapangan,
reservoir, dan sebagainya. Istilah ini sering kali bersifat ambigu sehingga perlu

21
distandarkan agar tidak terjadi kesalahpahaman. Entitas-entitas yang ada dalam
pelaporan sebagai berikut:

Definisi IV.1. Wilayah kerja merupakan area yang ditetapkan dalam izin
pengelolaan sumber daya migas. Izin ini diberikan pemerintah kepada
kontraktor untuk kurun waktu tertentu. Batas wilayah kerja merupakan batas
yang bersifat legal dan ditetapkan dalam kontrak atau perizinan.

Definisi IV.2. Lapangan (Field) adalah sekelompok akumulasi petroleum yang


dibatasi secara konseptual berdasarkan perangkap geologi, wilayah
administratif, atau area yang dilingkupi oleh rencana kerja dalam proyek. Istilah
lapangan digunakan dalam fase eksplorasi dan eksploitasi.

Definisi IV.3. Zona merupakan lapisan yang mengandung akumulasi


hidrokarbon yang terhubung secara hidrostatik dalam sistem tekanan yang
sama. Pada kasus reservoir yang memiliki akumulasi yang sedikit namun
sangat banyak, zona dapat merujuk pada kompartemen yang ditentukan.

22
Working Area Class
Level
HC Volume

In Place Field Project

Zone

In Place
Rock & Fluid
Properties
EUR

Gambar IV.1. Relasi antar entitas bawah permukaan.

Pelaporan sumber daya dicatat dalam level proyek. Dalam satu lapangan dapat
memiliki beberapa proyek. Namun dalam satu proyek, hanya bisa berada pada satu
lapangan. Dalam kasus proyek terintegrasi yang terdiri dari beberapa lapangan, perlu
dibuat proyek masing-masing untuk tiap lapangan sehingga sumber daya pada tiap
lapangan dapat diketahui.

IV.1. Faktor Komersial


Dalam evaluasi volume sumber daya, faktor teknis dan keekonomian sering menjadi
fokus utama untuk dievaluasi. Setiap proyek dievaluasi dengan kondisi komersial yang
dihadapi. Kondisi ini tentunya akan berimplikasi pada penentuan batasan-batasan,
seperti batasan keekonomian, kontrak jual-beli, kontrak kerja sama, hingga batasan
teknis seperti tekanan inlet minimum fasilitas produksi. Konsekuensinya, batasan-

23
batasan tersebut akan berpengaruh pada perkiraan volume dan perkiraan profil
produksi.

Atribut komersial yang sering digunakan dalam pelaporan adalah gross, net, dan
sales. Atribut komersial tersebut didefinisikan sebagai berikut:

Definisi IV.4. Gross didefinisikan sebagai keseluruhan volume petroleum.

Definisi IV.5. Net merupakan volume hidrokarbon yang tidak termasuk volume
non-sales seperti impurities, flare, loss production, dan own use. Volume ini
masih dapat mengandung impurities selama besaran impurities tersebut
diperkirakan dapat diserap dalam kontrak jual beli.

Definisi IV.6. Sales merupakan volume Net yang dijual sesuai dengan kontrak
jual beli. Volume ini juga dapat mengandung impurities sesuai dengan kontrak
jual beli yang ada.

Definisi IV.7. Total Potential. Volume ini merupakan total volume dari potensi
kemampuan maksimal reservoir dan fasilitas produksi yang ada dengan tetap
memperhatikan prinsip good engineering practices.

Nilai Total Potential bisa mengandung volume non-sales atau tidak. Volume yang
mengandung non-sales disebut Gross Total Potential. Sedangkan volume yang tidak
mengandung volume non-sales disebut Net Total Potential. Volume Net Total
Potential harus konsisten dengan GRR.

Pada beberapa kasus khusus, kontrak jual beli menyatakan bahwa pembeli dapat
mengembalikan elemen hidrokarbon kepada penjual. Dalam pencatatan volume,
komponen ini dapat termasuk dalam volume cadangan dan GRR. Profil perkiraan
produksi yang dibangun harus konsisten dengan faktor elemen hidrokarbon yang
dikembalikan agar tidak terjadi perhitungan ganda. Volume petroleum yang diperoleh
untuk digunakan dalam operasi dan tidak dikomersialkan maka tidak masuk dalam
volume cadangan dan GRR. Begitu juga untuk akumulasi petroleum dalam lapangan
yang seluruhnya didedikasikan untuk keperluan operasional dan tidak memiliki
potensi komersial.

24
IV.2. Perkiraan Volume dalam Pelaporan Sumber daya
Volume sumber daya yang dilaporkan sebagai berikut:

IV.2.1. Volume awal di tempat (In Place)


 Initial Oil in Place (IOIP). Satuan MSTB.
 Initial Gas in Place (IGIP). Satuan BSCF.

Volume dilaporkan pada tingkat lapangan dan zona. Ketidakpastian dilaporkan dalam
bentuk estimasi bawah (low estimate), estimasi terbaik (best estimate), dan estimasi
atas (high estimate). Volume yang menjadi referensi dalam perhitungan Recovery
Factor (RF) adalah volume estimasi terbaik. (Lihat Definisi II.7).

IV.2.2. Produksi Kumulatif:


 Gross Oil Cumulative Production. Satuan MSTB.
 Sales Oil Cumulative Production. Satuan MSTB.
 Gross Condensate Cumulative Production. Satuan MSTB.
 Sales Condensate Cumulative Production. Satuan MSTB.
 Gross Associated Gas Cumulative Production. Satuan BSCF.
 Sales Associated Gas Cumulative Production. Satuan BSCF.
 Gross Non-associated Gas Cumulative Production. Satuan BSCF.
 Sales Non-associated Gas Cumulative Production. Satuan BSCF.

Volume dilaporkan pada tingkat proyek. (Lihat Definisi II.13, Definisi IV.4, dan
Definisi IV.6).

IV.2.3. Cadangan (Reserves)


 Oil Reserves. Satuan MSTB.
 Condensate Reserves. Satuan MSTB.
 Associated Gas Reserves. Satuan BSCF.
 Non-associated Gas Reserves. Satuan BSCF.

Volume dilaporkan pada tingkat proyek. Ketidakpastian volume dilaporkan dalam


bentuk 1P, 2P, dan 3P. Volume ini harus konsisten dengan profil produksi sales.
Volume pengembalian petroleum dapat dihitung sebagai cadangan apabila volume
tersebut belum dihitung sebagai sales. (Lihat Definisi II.9).

25
IV.2.4. GOI Recoverable Resources (GRR)
 Oil GRR. Satuan MSTB.
 Condensate GRR. Satuan MSTB.
 Associated Gas GRR. Satuan BSCF.
 Non-associated Gas GRR. Satuan BSCF.

Volume dilaporkan pada tingkat proyek. Ketidakpastian volume dilaporkan dalam


bentuk 1R, 2R, dan 3R. Volume ini harus konsisten dengan profil produksi Net Total
Potential. Dalam konteks gas, selisih antara GRR dan cadangan merupakan potensi
uncommitted gas yang dapat dijual (Lihat Definisi II.10).

IV.2.5. Contingent Resources (CR)


 Oil Contingent Resources. Satuan MSTB.
 Condensate Contingent Resources. Satuan MSTB.
 Associated Gas Contingent Resources. Satuan BSCF.
 Non-associated Gas Contingent Resources. Satuan BSCF.

Volume dilaporkan pada tingkat proyek. Ketidakpastian volume dilaporkan dalam


bentuk 1C, 2C, dan 3C. Volume ini harus konsisten dengan produksi Net Total
Potential. (Lihat Definisi II.11).

IV.2.6. Prospective Resources


 Oil Prospective Resources. Satuan MSTB.
 Non-associated Gas Prospective Resources. Satuan BSCF.

Volume dilaporkan pada tingkat proyek. Namun biasanya pada tahapan ini satu
lapangan hanya memiliki satu proyek eksplorasi, sehingga volume tersebut juga
mewakili volume lapangan eksplorasi. Ketidakpastian dilaporkan dalam bentuk 1U,
2U, dan 3U. Untuk proyek yang belum dibor, perkiraan jenis fluida dapat didasari atas
tipe kerogen atau data pendukung lainnya. Jika jenis fluida sama sekali tidak dapat
diperkirakan akibat minimnya data, maka perkiraan jenis fluida dapat diambil dari
analog dari lapangan sekitar. (Lihat Definisi II.12).

IV.2.7. Perkiraan Profil Produksi


Untuk proyek dengan kelas cadangan, profil yang dilaporkan adalah:

 Sales Oil Production Profile. Satuan MSTBY.

26
 Sales Condensate Production Profile. Satuan MSTBY.
 Sales Associated Gas Production Profile. Satuan BSCFY.
 Sales Non-associated Gas Production Profile. Satuan BSCFY.

Untuk proyek dengan kelas contingent resources dan profil untuk GRR, profil yang
dilaporkan adalah:

 Net Total Potential Oil Production Profile. Satuan MSTBY.


 Net Total Potential Condensate Sales Production Profile. Satuan MSTBY.
 Net Total Potential Associated Gas Production Profile. Satuan BSCFY.
 Net Total Potential Non-Associated Gas Production Profile. Satuan BSCFY.

Sedangkan untuk proyek dengan kelas prospective resources, profil yang dilaporkan
adalah:

 Gross Total Potential Oil Production Profile. Satuan MSTBY.


 Gross Total Potential Non-Associated Gas Production Profile. Satuan BSCFY.

Perkiraan profil produksi dilaporkan pada tingkat proyek dengan durasi per tahun.
Selain itu, total volume dari perkiraan profil produksi harus konsisten dengan nilai
estimasi terbaik (best estimate) sesuai dengan kelas proyek tersebut.

IV.3. Kodifikasi Entitas Bawah Permukaan


Entitas bawah permukaan diberikan kode ID untuk mempermudah pengelolaan dalam
basis data. Proses kodifikasi didasarkan pada wilayah spasial di wilayah Indonesia
yang telah dicacah dalam bentuk grid. Desain grid didasarkan penomoran yang
menggunakan bilangan hexadecimal sebesar satu digit untuk X (0 – F), dan 1 digit
untuk Y (0 – F) dengan patokan titik 0,0 berada pada koordinat (93.00000, 8.00000)
menggunakan Sistem Koordinat Geografis dan Datum WGS 1984. Pergeseran antar
grid adalah sebesar 3.046875 derajat untuk X dan sebesar 1.312500 derajat untuk Y.

Penggunaan Sistem Koordinat Geografis dan Datum WGS 1984 adalah mengacu
pada Sistem Referensi Geospasial Indonesia Tahun 2013 (SRGI 2013) sesuai dengan
Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 15 Tahun 2013 yang
menyatakan bahwa SRGI 2013 digunakan sebagai sistem referensi geospasial
tunggal dalam penyelenggaraan IG nasional.

27
0
1
2
3
4
5
6
7
Y
8
9
A
B
C
D
E
F
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
X

Gambar IV.2. Peta Indonesia dengan grid referensi

IV.3.1. Lapangan (Field)


Lapangan memiliki struktur kode sebagai berikut:

Komposisi kode yang digunakan adalah:

 GRID : dipilih berdasarkan lokasi centroid dari lapangan. Dari lokasi


centroid dengan merujuk referensi (Gambar IV.2) didapat koordinat grid X dan
Y yang berupa kode heksadesimal.
 UNIQUE NON-REPEATING DIGIT: Kode lapangan dalam grid yang sama.
Nomor ini bersifat unik untuk tiap grid dan memiliki digit yang tidak berulang.
 CHKSUM : digit untuk pengujian integritas kode. Digit ini ditetapkan
menggunakan algoritma Luhn mod 16.

28
IV.3.3. Proyek
Proyek memiliki struktur kode sebagai berikut:

Komposisi kode yang digunakan adalah:

 FIELD ID : Merujuk pada ID lapangan tempat proyek berada tanpa


termasuk bagian header
 SEQUENCE : Nomor urut proyek pada lapangan yang sama

IV.3.4. Zona
Zona memiliki struktur kode sebagai berikut:

Komposisi kode yang digunakan adalah:

 FIELD ID : Merujuk pada ID lapangan tempat proyek berada tanpa


termasuk bagian header
 UNIQUE NR DIGIT : Kode zona dalam lapangan yang sama. Nomor ini
bersifat unik untuk tiap grid dan memiliki digit yang tidak berulang.
 CHKSUM : digit untuk pengujian integritas kode. Digit ini ditetapkan
menggunakan algoritma Luhn mod 16.

29
IV.3.6. Kepala Sumur (Wellhead)
Kepala sumur memiliki struktur kode sebagai berikut:

Komposisi kode yang digunakan adalah:

 PROJECT ID : Merujuk pada ID proyek yang menjadi acuan sumur tanpa


termasuk header
 SEQUENCE : Nomor urut kepala sumur pada proyek yang sama

IV.3.7. Wellbore
Wellbore memiliki struktur kode sebagai berikut:

Komposisi kode yang digunakan adalah:

 WELLHEAD ID : Merujuk pada kepala sumur dari wellbore tanpa termasuk


header
 TRACK : Nomor urut lintasan sumur termasuk lintasan side-track
 SEQ : Nomor urut lintasan sumur pada kepala sumur yang
sama

30
IV.3.9. Well Completion
Well Completion memiliki struktur kode sebagai berikut:

 WELLBORE ID : Merujuk pada lintasan sumur tempat Well Completion


berada tanpa termasuk header
 SEQUENCE : Nomor urut Well Completion pada Wellbore yang sama

IV.3.10. Izin Berproduksi


Izin berproduksi memiliki struktur kode sebagai berikut:

Komposisi kode yang digunakan adalah:

 SIGNED YEAR : Tahun izin tersebut ditandatangani


 SEQUENCE : Nomor urut izin yang diberikan pada tahun tersebut
 INST : Kode institusi yang memberikan izin
 TYPE : Kode tipe izin yang diberikan
 VER : Nomor urut revisi atas izin yang pernah dikeluarkan

31
INDEX

Abandoned, 9, 16 Justified for Development, 11, 12


Batuan induk, 19 Ketidakpastian, 3
Batuan reservoir, 19 Lapangan, 21, 27
cadangan, 5, 6, 7, 8, 17, 18, 19, 23, 24, Lead, 15
25 Level Kematangan Proyek, 8
contingent resources, 6, 7, 8, 17, 26 metode deterministik, 18
Cumulative Production, 7 Migrasi, 19
Development Not Viable, 14 mungkin, 18, 19
Development Pending, 13, 14 Net, 23
Development Unclarified, 11 On Production, 10
Development Undetermined, 14 Petroleum, 4
Discovery under Evaluation, 7, 14 Play, 19, 20
Dissolved, 16 Production Not Viable, 11, 12
Dry, 16 Production on Hold, 10, 11
Enhanced Oil Recovery, 12 Production Pending, 11, 12
estimasi atas, 17, 18, 24 Prospect, 15
estimasi bawah, 17, 18, 24 prospective resources, 7, 17, 26
estimasi terbaik, 17, 18, 24, 26 Prospective Resources, 6
Estimated Ultimate Recovery, 7 Proyek, 2
Financial Investment Decision, 10 Risiko, 3
Further Development, 12 Sales, 23
Further Development Not Viable, 12 terbukti, 18, 19
GOI Recoverable Resources, 6 Total Potential, 23
Gross, 23 Ultimate GRR, 7
harapan, 18, 19 Ultimate Reserves, 7
Improved Oil Recovery, 12 uncommitted gas, 25
Inconclusive Flow, 14 Under Development, 10
Initial Gas in Place, 4 Unrecoverable, 7
Initial Oil in Place, 4 Waktu Acuan Pelaporan, 3
Initial Petroleum in Place, 4 Wilayah kerja, 21
Izin berproduksi, 2 Zona, 21, 28
Jebakan & Penyekat, 19

32

Anda mungkin juga menyukai