Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.

W DENGAN
TONSILITIS DI RUANG OPERASI RUMAH SAKIT MELATI KOTA
TANGERANG

OLEH

AHMAD LAELI

231030230798

PROGRAM PROFESI NERS

STIKes WIDYA DHARMA HUSADA TANGERANG

TAHUN 2023
BAB 1
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Tonsilitis merupakan peradangan yang terjadi pada tonsil yang
disebabkan oleh virus atau bakteri sehingga tonsil menjadi bengkak, merah,
melunak, dan memiliki bintik-bintik putih di permukaannya (Anand, 2014).
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldayer yang disebabkan oleh mikroorganisme berupa virus,
bakteri, dan jamur yang masuk secara aerogen atau foodborn (Rusmarjono &
Soepardi, 2014). Berdasarkan durasi waktu tonsilitis diklasifikasikan menjadi
tonsilitis akut dan kronik (Tahun, Shalihat dan Irawati, 2013).
Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman
streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus
pyogenes, dapat juga disebabkan oleh virus (Mansjoer, 2000). Sedangkan
tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada
tenggorokan terutama usia muda (Kurien at all., 2003).

B. Etiologi
Penyebab tonsillitis adalah infeksi kuman streptococcus beta hemolyticus,
streptococcus viridans, dan streptococcus pyogens (Judarwanto, 2010).

C. Faktor Resiko
a. Kebersihan mulut dan gigi yang buruk
Rusmarjono (2003) menjelaskan hygiene mulut harus dijaga agar
mulut tidak menjadi media pembiakan kuman, apabila hygiene mulut
tidak dijaga dan jarang gosok gigi, kuman streptococcus beta hemolitikus
mudah masuk melalui makanan, minuman dan sisa-sisa makanan yang di
sela-sela gigi juga dapat membawa bakteri di mulut. hygiene mulut yang
buruk berperan dalam kekambuhan tonsilitis, untuk itu agar tetap gigi
bersih dari sisa-sisa makanan dan bau mulut sebaiknya hygiene mulut
dijaga dengan cara menggosok gigi pada waktu pagi, sore, setiap habis
makan dan malam hari sebelum tidur. Pada penelitian ini banyak anak
yang kebersihan mulutnya kurang karena tidak menggosok gigi sebelum
tidur dan setelah makan. Berdasarkan Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sari (2014) diperoleh p-value sebesar 0,011 yang menunjukkan ada
hubungan antara hygiene mulut dengan kejadian tonsillitis.
b. Kebiasaan merokok
Perubahan panas akibat merokok, menyebabkan perubahan
vaskularisasi, sekresi kelenjar liur dan fungsi tonsil. Terdapat
peningkatan laju aliran saliva dan konsentrasi ion kalsium pada salive,
selama proses merokok. Senyawa kalsium fosfatase yang ditemukan pada
kalkulus supragingiva, berasal dari saliva.Hal tersebut dapat dijadikan
dasar, mengapa skor kalkulus pada perokok lebih tinggi disbanding
bukan perokok. Merokok juga menyebabkan penurunan antibody pada
tonsil, fungsi tonsil yaitu apabila pathogen menembus lapisan epitel maka
sel-sel fagositik mononuclear akan mengenal dan mengeliminasi antigen,
sehingga terjadi gangguan fungsi sel-sel pertahanan tubuh. Kemudian
partikel dalam asap rokok merangsang tonsil untuk produksi antibodi.
Jika berlangsung terus menerus tonsil akan mengalami peradangan
(Pejcic, 2007)
c. Kebiasaan makan
Kebiasaan Makanan Gorengan
Makanan yang tidak diproses dengan hyginis serta tempat
penyimpanan makanan yang terbuka dapat tertempel oleh kuman.Apabila
dikonsumsi terus menerus dapat menjadikan anak mengalami
tonsillitis.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014)
diperoleh p-value sebesar 0,047 yang menyimpulkan ada hubungan antara
pola makan dengan kejadian tonsilitis.
Mengkonsumsi Minuman Dingin
Penelitian Bundahembing (2005) menyimpulkan minuman yang
didinginkan lebih segar dari pada minuman biasa tetapi justru minuman
yang didinginkan malah dapat menyebabkan terjadi vasokonstriksi
sehingga pembuluh darah mengecil dan jumlah sel darah putih berkurang.
Pada penelitian ini banyak responden mempunyai kebiasaan minum es
marimas atau sejenisnya karena murah dan segar dibandingkan soft drink.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sari (2014) didapatkan hasil p-
value sebesar 0,002 yang menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan
mengkonsumsi minuman dingin dengan kejadian tonsillitis
d. Stres
Stres adalah suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang
dalam mencapai suatu kesempatan dimana untukn mencapai kesempatan
tersebut terdapat batasan atau penghalang yang menghasilkan perubahan
fisik yang mengakibatkan 8 kemampuan meniru dan efek negatif respons
neuroendokrin yang mengakibatkan kegagalan fungsi sistemn
imun.Sistem kekebalan tubuh sebagai proteksi tubuh dari unsur luar
berupa antigen.Selain itu juga menetralisir dan menyingkirkan antigen
dari tubuh. Tonsila palatine merupakan jaringan limfoepitel yang
berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh. Dimana jika
seseorang mengalami stres akan memicu timbulnya peradangan pada
tonsil. (Robbins, 2006).
e. Kelelahan fisik
f. Pengaruh cuaca
D. Patofisiologi
Bakteri dan virus masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas,
akan menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar
melalui sistem limfa ke tonsil.
Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya
proses inflamasi dan infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat
menghambat keluar masuknya udara.
Infeksi juga dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada faring
serta ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil sehingga
menyebabkan timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam tinggi bau
mulut serta otalgia.
E. Tanda Gejala
Menurut Seopardi (2007) tanda dan gejala tonsilitis merupakan sebagai
berikut:
1. Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit
tenggorok, sulit sampai sakit menelan.
2. Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala,
demam subfebris, nyeri otot dan persendian.
3. Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsillitis
folikularis kronik), tonsil fibrotic dan kecil ( tonsillitis fibrotic kronis),
plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe
regional. Pada pemeriksaan tampak tonsil 9 membesar dengan
permukaan yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kriptus terisi
oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorokan, dirasakan
kering di tenggorokan dan nafas berbau

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes masase tonsil : salah satu tonsil digosok-gosok selama kurang lebih 5
menit dengan kain kasa, jikalau 3 jam kemudian didapati kenaikan
leukosit lebih dari 10.000/mm³ atau kenaikan laju endap darah ( LED)
lebih dari 10 mm dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes
dianggap positif.
2. Penyinaran dengan UKG : tonsil mendapat UKG selama 10 menit dan 4
jam kemudian diperiksa jumlah leukosit dan LED. Jika terdapat kenaikan
jumlah leukosit lebih dari 2000/mm³ atau kenaikan LED lebih dari 10
mm dibandingkan sebelum tes dilakukan, maka tes dianggap positif.
3. Tes hialuronidase : periksa terlebih dahulu jumlah leukosit, LED dan
temperature oral. Injeksikan hialuronidase ke dalam tonsil. Satu jam
setelah diinjeksi, jika didaptai kenaikan temperature 0,30C, kenaikan
jumlah leukosit lebih dari 1000/mm³ serta kenaikan LED lebih dari 10
mm maka tes ini dianggap positif (Herawati, 2004).
G. Pathway
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Keluhan utama : Sakit tenggorokan, nyeri telan, demam dll
2. Riwayat penyakit sekarang: serangan, karakteristik, insiden,
perkembangan, efek terapi dll
3. Riwayat kesehatan lalu
a. Riwayat kelahiran
b. Riwayat imunisasi
c. Penyakit yang pernah diderita ( faringitis berulang, ISPA, otitis
media )
d. Riwayat hospitalisasi
4. Pengkajian umum : Usia, tingkat kesadaran, antopometri, tanda – tanda
vital dll
5. Pernafasan
a. Kesulitan bernafas, batuk
b. Ukuran besarnya tonsil dinyatakan dengan :
1) T0 : bila sudah dioperasi
2) T1 : ukuran yang normal ada
3) T2 : pembesaran tonsil tidak sampai garis tengah
4) T3 : pembesaran mencapai garis tengah
5) T4 : pembesaran melewati garis tengah

6. Nutrisi: Sakit tenggorokan, nyeri telan, nafsu makan menurun, menolak


makan dan minum, turgor kurang
7. Aktifitas / istirahat: lemah, letargi, iritabel, malaise
8. Keamanan / kenyamanan: Kecemasan terhadap hospitalisasi dan operasi
9. Pemeriksaan fisik: Pada pemeriksan pada tonsil akan didapati tonsil
hipertrofi, tetapi kadang-kadang atrofi, hiperemi dan edema yang tidak
jelas. Didapatkan detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan
dengan spatula lidah. Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak terdapat
nyeri tekan Ukuran tonsil pada tonsillitis krobik dapat membesar
( hipertrofi) atau atrofi. Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam
ukuran T1 – T4 :
T1 = batas medial tonsil meleati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior uvula.
T2 = batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½
jarak pilar anterior-uvula.
T3 = batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula samapi ¾
jarak pilarr anterior-uvula.
T4 = batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau lebih.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pre Operasi
a. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake tidak adekuat.
b. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan respon inflamasi.
c. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan akan dilakukannya
tonsilektomi.
2. Post Operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
b. Resiko tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan
penumpukan sekret.
c. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya
perdarahan.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan pemajanan mikroorganisme.
H. Fokus Intervensi
PRE OPERASI
DIAGNOSA INTERVENSI RASIONAL
Resiko perubahan nutrisi kurang dari Awasi masukan dan berat badan sesuai indikasi Memberikan informasi sehubungan dengan
kebutuhan tubuh berhubungan kebutuhan nutrisi dan keefektifan terapi
dengan anoreksia Auskultasi bunyi usus Makanan hanya dimulai setelah bunyi usus
membaik
Mulai dengan makanan kecil dan tingkatkan sesuai toleransi Kandungan makanan dapat mengakibatkan
ketidaktoleransian, memerlukan perubahan pada
kecepatan
Berikan diet nutrisi seimbang ( makanan cair atau halus ) Mempertahankan nutrisi yang seimbang
atau makanan selang sesuai indikasi
Hipertermi/Peningkatan suhu tubuh Pantau suhu tubuh pasien, perhatikan menggigil atau suhu 38,1°C-41,1°C menunjukan infeksius
berhubungan dengan respon diaphoresis
inflamasi Pantau suhu lingkungan, batasi/ tambahan linen tempat tidur Suhu ruangan harus diubah untuk
sesuai indikasi mempertahankan suhu mendekati normal
Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan alkohol Dapat membantu menurunkan suhu tubuh
Berikan antipiretik obat antipiretik sebagai obat penurun demam
Cemas berhubungan dengan kurang Jelaskan prosedur bedah kepada pasien dan keluarga dengan informasi yang demikian dapat mengurangi rasa
pengetahuan akan dilakukanya menggunakan bahasa yang sederhana. takut dan kecemasan dengan mempersiapkan
tonsilektomi anak dan orang tua
Jelaskan bahwa tergantung waktu pembedahan, pasien Pasien mungkin terjadi takut jika ia tidak
mungkin tidak diberi makan atau minum setelah tengah memperoleh makanan atau minuman sepanjang
malam pada hari pembedahan dilakukan untuk mencegah malam, atau pagi hari sebelum pembedahan
pasien muntah dan aspirasi selama pembedahan.
Jelaskan kepada keluarga bahwa pembedahan mungkin pembedahan tidak dapat dilakukan dalam
tidak dilakukan jika pasien memiliki tanda dan gejala kondisi ini, sehubungan dengan risiko
infeksi akut, termasuk peningkatan suhu, hidung terdapat septikemia atau infeksi meluas.
sekret, dan nyeri pada telinga pada hari pembedahan.
Beri tahu keluarga tentang kemungkinan lama pembedahan tidak mengetahui berapa lama pembedahan
dan tempat mereka menungggu selama prosedur dan berlangsung dapat membuat keluarga cemas
periode pemulihan. selama pembedahan.
Jelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kemungkinan memahami apa yang akan terjadi setelah
kondisi pasca operasi prosedur, dapat mengurangi rasa cemas
POST OPERASI
Nyeri akut berhubungan dengan Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk sebagai dasar penentuan intervensi berikutnya
insisi bedah, diskontinuitas jaringan lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi.
Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi / latihan teknik distraksi/latihan nafas dalam dapat
nafas dalam. mengurangi nyeri
Tingkatkan istirahat pasien istirahat dapat melupakan dari rasa nyeri
Anjurkan klien untuk mengurangi nyeri dengan: tindakan non analgesik diberikan dengan cara
a) Minum air dingin atau es alternatif untuk mengurangi nyeri dan
b) Hindarkan makanan panas, pedas, keras menghilangkan ketidaknyamanan
c) Melakukan teknik relaksasi
Ciptakan lingkungan tenang dan nyaman menurunkan sterss dan rangsangan berlebihan,
meningkatkan istirahat
Resiko tidak efektif bersihan jalan Pantau irama / frekuensi irama pernafasan pernafasan dapat melambat dan frekuensi
nafas berhubungan dengan ekspirasi memanjang dibanding inspirasi
penumpukan sekret Auskultasi bunyi nafas, cata adanya bunyi nafas, misalnya bunyi nafas krekles dan ronkhi terdengar pada
mengi, krekles, atau ronkhi inspirasi dan atau ekspirasi pada respon terhadap
pegumpulan sekret
Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian peninggian kepala tempat tidur mempermudah
kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur fungsi pernafasan
Dorong pasien untuk mengeluarkan lendir secara perlahan membersihkan jalan nafas dan membantu
mencegah komplikasi pernafasan
Resiko kekurangan volume cairan Kaji / ukur dan catat jumlah perdarahan potensi kekurangan cairan, khususnya jika tidak
berhubungan dengan perdarahan ada tambahan cairan
yang berlebihan Awasi tanda-tanda vital perubahan tekanan darah, nadi dapat digunakan
untuk perkiraan kehilangan darah
Cata respon fisiologis individual pasien terhadap simtomatologi dapat berguna dalam mengukur
perdarahan, misalnya perubahan mental, kelemahan, berat badan atau lamanya episode perdarahan
gelisah, ansietas, pucat, berkeringat, peningkatan suhu
Awasi batuk dan bicara karena akan mengiritasi luka dan aktifitas batuk dan bicara meningkatkan tekana
menambah perdarahan intra abdomen dan dapat mencetuskan
perdarahan langitlangit
Resiko infeksi berhubungan dengan Pantau tanda-tanda vital Jika ada peningkatan suhu tubuh kemungkinan
pemajanan mikroorganisme infeksi
Lakukan perawatan luka aseptik dan lakukan pencucian Mencegah risiko infeksi
tangan yang baik.
Lakukan perawatan terhadap prosedur invasive. Mengurangi infeksi nosokomial
Kolaborasi untuk pemberian antibiotik. Mencegah perkembangan mikroorganisme
patogen.
DAFTAR PUSTAKA

Anand, B. (2014). Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP Haji Adam Malik
Medan. Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara tahun 2014.

Bulecheck, G., Howard, K., Joanne, M., & Cheryl M. (2013). Nursing interventions
classification (NIC) 6th edition. USA: Elsevier.

Herawati S. (2004). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorokan : anatomi faring.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Herdman, T. Heather. (2015). NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan
Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.

Judarwanto W. (2010). Operasi amandel atau tonsilektomi : komplikasi dan kontroversi


indikasi. Indonesian Children dalam Koran Indonesia Sehat.

Khan, A. R., Khan, S. A., Arif, A. U., & Waheed, R. (2013). Analysis of ENT Diseases at
Khyber Teaching Hospital, Peshawar. Jornal of Medical Sciences, 21(1), 7–9.

Kurien, M., Sheelan, S., Jeyaseelan, L., Bramhadathan, & Thomas, K. (2003). Fine needle
aspiration in chronic tonsillitis: reliable and valid diagnostic test. The Journal of
Laryngology & Otology, 117(12), 973–975. Cambridge University Press.

Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran jilid ke-2. Jakarta: Media Aesculapius.
Pejcic A , Obradovic R, Kesic L, Kojovic D. (2007). Smoking and periodontal disease : A
review. Medicine and Biology.;14(2) : 53-9

Robbins, Stephen P. (2006). Perilaku organisasi edisi bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Indeks
Kelompk Gramedia.

Rusmarjono & Soepardi, E.A. (2014). Buku Ajar Penyakit THT UI. (E. A. Soepardi, N.
Iskandar, J. Bashiruddin, & R. D. Restuti, Eds.(7th ed.). Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 119-123.

Sari, L. (2014). Faktor pencetus tonsillitis pada anak usia 5-6 tahun di wilayah kerja
puskesmas bayat kabupaten klanten. Naskah publikasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Soepardi E. (2007). Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorokankepala leher.


6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Tahun, P., Shalihat, A.O., Irawati, L. (2013). Hubungan Umur, Jenis Kelamin, dan Perlakuan
Penatalaksanaan dengan Ukuran Tonsil pada Penderita Tonsilitis Kronis di
Bagian THT-KL RSUP DR.M Djamil Padang Tahun 2013. Fakultas Kedokteran
Andalas, 4(3), 6-9.

Anda mungkin juga menyukai