Anda di halaman 1dari 15

PERBEDAAN ANTARA ILMU USHUL DAN FIQIH

Oleh
Nuriah (22.04.117426)
Semester III Lokal C Prodi Pendidikan Agama Islam
STAI RAKHA Amuntai 2023
E-mail : nurn55668@gmail.com

Abstrak
Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, memiliki cakupan ruang
lingkup atau pokok-pokok pendidikan Islam yang saling terkait satu sama lain dan tidak
terpisahkan. Adapun beberapa garis besar ruang lingkup pendidikan islam diantaranya Aqidah,
Akhlak , Ibadah dan Muamalah Duniawi. Ilmu yang mempelajari tentang hukum-hukum syara’
yang berhubungan dengan pelaksanaan kehidupan kepada umat islam dikenal dengan ilmu fiqh.
Fiqih didefinisikan sebagai Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali
dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqih merupakan pengetahuan yang dihasilkan melalui proses
penelitian dalil-dalil rinci dengan menggunakan metodologi ushul fiqh. Ushul fiqh berfungsi
untuk memahami dalil-dalil rinci agar terhindar dari kesalahan penempatan dan pemakaian
dalil-dalil tersebut. Hubungan antara fiqh dan ushul fiqh sangat berkaitan erat karena fiqh
berhubungan dengan persoalan islam yang praktis, sedangkan ushul fiqh berhubungan dengan
ilmu tentang metode penggalian bagaimana hukum islam tersebut bisa di tetapkan dan cara
penafsiran akan keadaan saat ini.

A. PENDAHULUAN
Fiqih merupakan bagian dari entitas kehidupan di dunia Islam dan menjadi salah
satu subjek dalam pengkajian Islam, baik di Indonesia maupun di dunia pada umumnya,
oleh karena itu, fiqh dituntut untuk dikembangkan, agar bidang ilmu itu memiliki makna
bagi pengembangan keahlian dan untuk selanjutnya dapat dimanfaatkan bagi
pengembangan kehidupan manusia, khususnya di dunia Islam.
Adapun juga sumber hukum, yakni Al-Qur’an, sunnah, ijma, dan qiyas atau
analogi Al-Qur’an dan hadits yang sampai kepada kita masih otentik dan orisinil,

1
Orisinalitas dan Otentisitas didukung oleh penggunaan bahasa aslinya, yakni bahasa Arab
karena Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua dalil hukum, yakni petunjuk-petunjuk
adanya hukum. Menyikapi hal ini, kita sebagai orang muslim tahu benar tentang ajaran
Islam, apalagi dalam bidang ilmu Fiqh yang ada sangkut pautnya dengan sumber hukum.
Ushul fiqh adalah salah satu ilmu keislaman yang sangat penting. Alasannya
adalah karena disiplin ilmu ini merupakan prasyarat bagi kegiatan ijtihad dalam rangka
menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul, sementara hukum Islam adalah
keilmuan Islam yang paling akrab dan selalu aktual dalam kehidupan manusia. Bahkan
keahlian dalam ilmu ushul ini juga koheren dengan keahlian disiplin ilmu-ilmu lainnya,1
seperti ilmu tafsir, ilmu hadits,2 ‘ilm al-Lughah, dan lain-lain.
Ushul al-Fiqh tidak lain adalah metodologi hukum Islam itu sendiri. Produknya
adalah fiqh. Di mana ada fiqh, maka di sana ada ushul fiqh yang selalu mengiringi
kelahirannya. Keduanya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi senantiasa berjalin berkelindan
laksana dua sisi sekeping mata uang yang tak terpisahkan. Oleh karena itu, pemahaman
hukum Islam itu harus ditaruh dalam pengertian yang integratif antara fiqh dan
ushul-nya, bukan fiqh-nya.3

B. PEMBAHASAN
a. DEFINISI
Ushul Fiqih berasal dari bahasa Arab “Ushul al-Fiqh” yang terdiri dari dua
kata, yaitu “al-ushul dan al-fikih”, masing-masing kata itu mempunyai pengertian
tersendiri, yang dipakai menjadi nama sesuatu tertentu dan kata-kata tersebut
tidak terlepas dari makna dasar setiap kata sebelum disatukan menjadi nama
sesuatu tertentu itu.4
Secara istilah ushul fiqih dapat dilihat dua sisi. dari sisi tarkib idhofi dan
dari sisi laqab (sebagai istilah untuk ilmu tertentu). Ushul fiqh sebagai tarkib
idhofi, terdiri dari kata ushul (‫ )اصول‬dan fiqh (‫ )الفقه‬yang secara terpisah antara

1
Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law, (Pakistan: Islamic Research Institut and International
Institut of Islamic Thought, 1945), hal. 1.
2
Shubhi al-Shâlih, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, cet. 9 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1977), dan Shubhi
al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Musthâlahuhu, cet. 9 (beirut: Dar al-‘Ilm li al- Malâyîn, 1977), hal. 113-114
3
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hal. 24.
4
Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, (Beirut : Dar alKutub al-Arabi, 1404 H.)
hlm. 9

2
kedua kata ini mempunyai makna tersendiri. Kata ushul merupakan jamak' dari
kata ashl yang berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain.5
Dalam pengertian ini makna kata Ushul al-Fiqh berarti dalil-dalil fiqih,
seperti Al-Qur`an, sunnah Rasulullah, ijma`, qiyas dan lain-lain. Sementara kata
fiqih berpandangan bahwa kata fiqh itu berarti paham mendalam untuk sampai
kepadanya perlu mengerahkan pemikiran secara sungguh-sungguh. Kedua arti
fiqh ini dipakai para dan masing-masingnya mempunyai alasan yang kuat.
Dalam peristilahan syar`i, ilmu fikih dimaksudkan sebagai ilmu yang
berbicara tentang hukum-hukum syar'i amali (praktis) yang penetapannya
diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalildalilnya yang
terperinci (al-tafsili) dalam Al-Qur`an dan hadis.6
Hukum syar`i yang dimaksud dalam defenisi di atas adalah segala
perbuatan yang diberi hukum dan diambil dari syariat yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw. Adapun kata `amali dalam defenisi itu dimaksudkan sebagai
penjelasan bahwa yang menjadi lapangan pengkajian ilmu ini hanya yang
berkaitan dengan perbuatan (`amaliyah) mukallaf dan tidak termasuk keyakinan
atau iktikad (`aqidah) dari mukallaf itu. Sedangkan yang dimaksud dengan
dalil-dalil terperinci (al-tafshili) adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar
dalam nash di mana satu per satunya menunjuk pada satu hukum tertentu.7

b. RANAH PEMBAHASAN
Adapun pembahasan ilmu ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’ sendiri dari
segi bagaimana menunjukkannya pada suatu hukum secara ijmali. Misalnya
Al-Qur’an adalah dalil syara’ yang pertama, dan cara penunjukkannya pada
hukum tidak hanya menurut satu bentuk saja, tetapi adakalanya dengan bentuk
kalimat perintah (sighat amar), kalimat melarang (sighat nahi), dan adakalanya
menggunakan kalimat yang bersifat umum, mutlak, dan sebagainya. Jika

5
Abu Zahrah, Malik Hayatuh wa `Ara`uh wa Fiqhuh, (Kairo: Dar al-Fikr al- `Araby, tt.), hlm. 7
6
Hasbi al-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: CV. Mulia, 1967), hlm. 17. Lihat juga Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta : Proyek
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN, 1981) hlm. 10, Abd. Al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Al-Majlis al-A`la
al-Indonesia li al-Dakwah al Islamiyah, 1972) hlm. 11. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah Pengantar), (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 2.
7
Alaiddin Koto, Ibid..

3
pembahasan mereka dapat menemukan bahwa sighat (bentuk) amar itu
mengandung perintah, sighat nahi itu mengandung petunjuk haram, dan kalimat
yang bersifat umum itu harus mencakup pengertian keseluruhan, maka mereka
lalu menciptakan kaidah-kaidah yang lain.
Sementara pembahasan ilmu fiqh ialah perbuatan orang mukallaf dari sisi
penetapan hukum syariat padanya. Faqih (ahli fiqh) dalam membicarakan
perbuatan-perbuatan orang mukallaf dalam bidang muamalah misalnya seperti
jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan gadai-menggadai. Dalam
munakahat seperti mengadakan akad pernikahan, nafkah, dan hadhanah
(pemeliharaan anak). Dalam bidang ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Dan dalam bidang jinayah (kepidanaan) atau urusan pengadilan seperti mencuri,
membunuh, menuduh berbuat zina, dan sumpah palsu yang bertujuan mengetahui
apakah ketetapan hukum bagi setiap tindakan-tindakan tersebut sesuai dengan
ketentuan syariat atau tidak.

c. PERBEDAAN
Perbedaan Ilmu ushul fiqh dan Ilmu fiqh yang dipaparkan pengertian
secara bahasa dan istilah yang bisa kita simpulkan adalah Ushul fiqh merupakan
disiplin Ilmu yang membahas tentang kaidah tentang bagaimana penetapan
hukum-hukum syariat yang bersumber dari dalil-dalil fiqh yang bersifat umum.
Sedangkan fiqih merupakan pembahasan pada hukum-hukum syariat yang
bersumber dalil-dalil syara’ mengenai perbuatan manusia yang dilengkapi dengan
penerapan dalil-dalil hukumnya secara terperinci. Contohnya penerapan halal dan
haram, wajib dan sunnah.
Maka dapat diketahui, secara jelas bahwa ushul fiqih adalah ilmu yang
memiliki ciri khas yang membedakannya dengan fiqih sebagai berikut :
1. Ushul fiqih merupakan metode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqih
(faqih) di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil
syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dalil tersebut berdasarkan
kualitasnya. Dalil dari Alquran harus didahulukan dari pada qiyas serta
dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash Alquran dan hadis. Sedangkan

4
fiqih adalah hasil hukum-hukum syar’i berdasarkan metode-metode
tersebut.
2. Dilihat dari objek pembahasannya, ilmu Ushul fiqih membahas tentang
kaidah-kaidah yang bersifat umum (kulli) dan hukum yang bersifat umum.
Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu fiqih adalah dalil yang
bersifat juz’i, sehingga menghasilkan hukum Juz'i pula yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf.
3. Dilihat dari tujuan yang hendak dicapai, Ushul fiqih bertujuan untuk tidak
menerapkan kaidah-kaidah yang bersifat kulli terhadap nas-nas syariat
sedangkan ilmu fiqih bertujuan untuk menerapkan hukum syariat terhadap
perbuatan dan ucapan mukallaf.
4. Ushul fiqih merupakan dasar kebijakan bagi ilmu fiqih, sedangkan fiqih
merupakan hasil atau produk dari ushul fiqh. Dengan kata lain dari ushul
Fiqih akan melahirkan fiqih.
5. Dilihat dari sifatnya, Ushul fiqih lebih bersifat kebahasaan (teoritis)
sedangkan fiqih lebih bersifat praktis.

d. CONTOH
Sebagai contoh misalnya Shalat Wajib. Shalat adalah ibadah yang harus
dilakukan oleh setiap muslim yang sudah baligh dan berakal sehat pada
waktu-waktu yang telah ditentukan. Shalat terdiri dari lima waktu yaitu shalat
subuh, dzuhur, ashar, maghrib dan isya. Shalat merupakan salah satu rukun Islam
yang kedua setelah syahadat.
Dalam Surat Al-Baqarah ayat : 153. Allah berfirman :
ّ ٰ ‫استَ ِع ۡينُ ۡوا بِالص َّۡب ِر َوالص َّٰلو ِة اِ َّن هّٰللا َ َم َع ال‬
َ‫صبِ ِر ۡين‬ ۡ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُوا‬
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Contoh tata cara memproduksi hukum-hukum syar’i melalui dalilnya itu
yang disebut dengan ushul fiqih. Misalnya, membasuh muka dalam wudhu’
merupakan kewajiban dan salah satu unsur yang harus ada (rukun). Metode yang
menghasilkan hukum wajib membasuh muka dalam wudhu’ itulah garapan ushul

5
fiqih yang harus ditempuh melalui sumber-sumber hukum atau dalil-dalil syar’i
sehingga menghasilkan hukum wajib.

e. SEJARAH
Dengan perjalanan panjang proses hukum Islam yang terjadi merupakan
dari proses muncul dan berkembangnya ilmu ushul fiqh. Dalam perjalanannya
ushul fiqh sendiri sebenarnya dapat diklasifikasikan menjadi beberapa fase atau
periode, yaitu periode Rasulullah, periode sahabat, periode tabi'in, dan periode
tabi't tabi'in.
1. Periode Rasulullah SAW
Di zaman Rasulullah SAW. sumber hukum Islam itu hanya dua
yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Apabila muncul suatu kasus Rasulullah
SAW selalu menunggu turunnya wahyu dari Allah SWT. yang
menjelaskan hukum kasus tersebut. Jika wahyu tidak ada, dan keadaan
semakin mendesak maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui
sabdanya yang kemudian dikenal dengan Hadist atau As-Sunnah.
Penetapan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. yang
tidak berdasarkan wahyu tersebut oleh para ulama ushul fiqh menyebutnya
sebagai hasil ijtihad yang berdasarkan isyarat yang diterima oleh
Rasulullah SAW. dalam menetapkan sebuah hukum Rasulullah SAW. juga
menggunakan qiyas. Cara-cara penetapan yang hukum yang dilakukan
Rasulullah SAW. inilah yang kemudian menjadi bibit munculnya ilmu fiqh
dan ilmu ushul fiqh yang lahir secara bersamaan.
2. Periode Sahabat
Masa sahabat adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya
bimbingan Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika
Rasulullah SAW. masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber dalam
pemecahan hukum yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ra’yu (nalar).
Para sahabat yang melakukan ijtihad secara praktis telah
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh, meskipun ushul fiqh belum
dirumuskan dalam sebuah disiplin ilmu. Kemudian pada masa sahabat

6
daerah yang dikuasai Islam bertambah luas dan termasuk daerah-daerah
yang telah mempunyai kebudayaan tinggi dan susunan masyarakat yang
tidak sederhana, dibandingkan dengan masyarakat Arab ketika itu.
Di Irak dikenal sebagai pengembang hukum Islam adalah Abdullah
bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud), dan Zaid bin Sabit. Di Madinah adalah
Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), dan Makkah adalah Ibnu Abbas.
Masing-masing sahabat ini menghadapi persoalan yang berbeda, sesuai
dengan keadaan masyarakat setempat.
Para sahabat ini kemudian berhasil membina kader masing-masing
yang dikenal dengan para tabi’in. Para tabi’in yang terkenal itu adalah
Sa’id bin Musayyab di Madinah, Atha bin Abi Rabbah di Makkah,
Ibrahim an-Nakha’i di Kufah, al-Hasan al-Basri di Basrah, Makhul di
Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman.
3. Periode Tabi’in
Pada masa tabi’in ada metode istinbat menjadi semakin jelas dan
meluas disebabkan bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak
permasalahan baru yang muncul. Misalnya para ulama di Irak
menggunakan tolok ukur penyelesaian masalahnya berdasarkan ra’yu
(akal pikiran), mereka berusaha mencari berbagai illat (sifat), sehingga
dapat menemukan hukum yang sama dengan hukum yang ada nash-nya.
Dari sinilah awal perbedaan dalam mengistinbatkan hukum Islam
dikalangan ulama fiqh yang kemudian melahirkan tiga kelompok ulama,
yaitu Al-Madrasah Al-Iraq (ra’yu), Madrasah Al-kufah (ra’yu), dan
Madrasah Al-Madinah (Al-Hadist).
Pada periode sebagaimana yang dapat dipahami pada periode
pertama dan kedua, karena fiqh sudah sebagai salah satu cabang ilmu
keislaman yang mengandung pengertian mengetahui hukum-hukum syara’
yang bersifat amali (praktis) dari dalil-dalilnya yang terperinci. Pada
periode ini, ushul fiqh telah matang menjadi salah satu cabang ilmu
keislaman berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan, dan istislah
telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Pada periode ketiga ini pengaruh

7
ra’yu (pemikiran tanpa berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
secara langsung) dalam fiqh semakin berkembang karena ulama Madrasah
al-hadist juga mempergunakan ra’yu dalam fiqh mereka.
4. Periode Tabi’it Tabi’in dan Imam Madzhab
Dalam hal ini, ada 13 madzhab fiqh yang tertulis dalam sejarah
yaitu :
1. Ja’far ash-Shiddiq (80 H)
2. Abu Said Hasan ibn Yasar al-Basri (110 H)
3. Abu Hanifah al-Nu’man (150 H)
4. Al-Auzai Abu Amar Adb Rahman (157 H)
5. Sufyan ibn Said al-Tsauri (160 H
6. Al-Laits ibn Sa’id (175 H)
7. Malik bin Anas (179 H)
8. Sufyan bin Unainah (198 H)
9. Muhammad Idris as-Syafi’i (204 H)
10. Ahmad bin Muhammad bin Hambal (241 H)
11. Daud ibn Ali Ashbahani ad-Dzahiri (207 H)
12. Ishaq ibn Rahawaih (238 H)
13. Abu Tsaur Ibrahim ing Khalid al-Kalabi (240 H)
Dan masih banyak pengikutnya hingga saat ini, yaitu mazhab
Ja’fari (kalangan Syi’ah), madzhab Hanafi, mazhab Maliki, madzhab
Syafi’i, mazhab Hambali, dan mazhab Dzahiri.

f. PEMBENTUKAN
- Pembentukan ushul fiqih :
Ilmu ushul fiqh tumbuh pada kedua hijriah. Pada abad pertama hijriah
ilmu ini belum tumbuh, karena belum terasa diperlukan, Rasulullah SAW.
berfatwa dan menjatuhkan keputusan (hukum) berdasarkan Al-Qur’an dan hadist,
dan berdasar naluriah yang bersih tanpa memerlukan ushul atau kaidah yang
dijadikan sebagai istinbat hukum. Adapun sahabat Nabi membuat keputusan
hukum berdasarkan dalil nas yang dapat mereka pahami dari aspek kebahasaan,

8
dan untuk memahaminya secara baik diperlukan kaidah bahasa. Jadi para sahabat
ketika sudah benar-benar memahami tujuan-tujuan hukum syariat serta
dasar-dasar pembentukannya. 8
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu
ushul fiqih, diantaranya :
1. Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat akibat
interaksi dengan bangsa lain terutama Persia.
2. Perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang
menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui
kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan
kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan
dalam menggali dan menetapkan hukum.
3. Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan
memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian
mendesak.
- Pembentukan dalam fiqih :
Dalam menyusun sejarah pembentukan dan pembinaan hukum (fiqh)
Islam, terdapat beberapa macam cara. Ia membagi masa pembentukan hukum
(fiqh) Islam dalam enam periode, yaitu:
1. Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul.
2. Periode para sahabat besar.
3. Periode sahabat kecil dan tabi'in.
4. Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H.
5. Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab.
6. Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan
[1217-1265]) sampai sekarang.

g. PEMBIDANGAN
Pembidangan hukum Islam sebagaimana pembagian ayat-ayat al-Qur’an
tersebut adalah sama dengan pembidangan (objek kajian) atau ruang lingkup

8
Abdul Wahab Khallaf,ilmu ushul fiqh, (Mesir : Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, tt.), hlm. 16.

9
hukum Islam dengan membagi atas dua kategori besar yakni fikih ibadah
dan fiqih muamalah.
● Fikih Ibadah
Fiqih Ibadah adalah yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya, seperti shalat, zakat, haji, memenuhi nazar, dan membayar
kafarat terhadap pelanggaran sumpah.
● Fiqih muamalah
Fiqih Muamalah adalah yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia lainnya. Kajiannya mencakup seluruh bidang fikih selain
persoalan ubudiyah, seperti ketentuan-ketentuan jual beli, sewa menyewa,
perkawinan, jinayah dan lain-lain.9
Sedangkan Ushul Fiqh tentang dalil-dalil syara’ dan cara menunjukkannya
sebagai hukum perbuatan mukallaf. Dalil yang dimaksud Al-Qur’an dan Hadist
sebagai berikut :
1. Sumber hukum Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Kedua sumber
inin merupakan sumber dalam hukum Islam, sehingga semua
ketetapan hukum Islam harus didasarkan pada dalil yang ada di
kedua sumber tersebut.
2. Pembahasan Ijtihad dan Mujtahid. Kajian ini meliputi ruang
lingkup Ijtihad, yaitu bidang mana saja yang termasuk wilayah
Ijtihad dan bidang mana saja yang tertutup untuk Ijtihad.
Sedangkan Mujtahid dibahas dalam hal yang menyangkut
syarat-syarat kemampuan dalam berijtihad, baik syarat umum,
syarat pokok, syarat keilmuan, maupun syarat pendukung lainnya.
3. Hukum syara’, yaitu hukum yang bersumber dari syari’ah. Hukum
ini dibagi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum
taklifi merupakan tuntutan untuk berbuat atau tidak berbuat atau
pilihan diantara keduanya. Sedangkan wad’i adalah hukum
pengkondisian sesuatu, yang meliputi : sabab, syarat, mani’,
sah/batal, dan ‘azimah/rukhsah. Disamping itu dibahas juga
9
Hafsah, Pembelajaran Fikih, (Bandung: Citapustaka media, 2013) hlm. 5

10
tentang syar’i (pembuat hukum), Mahkum Fih (perbuatan yang
dikenai hukum), dan Mahkum ‘Alaih (orang yang terkena
hukum/mukallaf).
4. Kaidah dan cara penggunaannya, yaitu kaidah yang digunakan
dalam mengistimbatkan hukum syara’ yang meliputi kaidah
kebahasaan yaitu maqasid syari’ah, istiqra, istidlal, dan lain-lain.

h. KRITERIA
Fiqih Islam memiliki karakteristik khusus yang membedakan dengan
hukum-hukum lainnya. Karakteristik ini bisa dijadikan landasan berbijak atau
paradigma ketika menyusun hukum formal Islam yang akan diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karakteristik yang
dimaksudkan antara lain:
- Sempurna.
Syariat Islam diturunkan dalam bentuk umum dan garis besar.
Karena itu, hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah karena
perubahan masa dan tempat. Bagi hukum-hukum yang lebih rinci, syariat
Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan umum.
Penjelasan dan rinciannya diserahkan kepada ijtihad pemuka masyarakat.
Dengan menetapkan patokan-patokan umum tersebut, syariat Islam dapat
benar- benar menjadi petunjuk yang universal dan dapat diterima di semua
tempat dan di setiap saat. Selain itu, umat manusia dapat menyesuaikan
tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-Qur’an, sehingga
mereka tidak melenceng.
Penetapan al-Qur’an terhadap hukum dalam bentuk global dan
simpel itu dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada umat manusia
untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan
sifatnya yang global ini diharapkan hukum Islam dapat belaku sepanjang
masa.
- Elastis.

11
Fiqih Islam juga bersifat elastis (lentur dan luwes), ia meliputi
segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan
kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk,
hubungan makhluk dengan Khalik, serta tuntutan hidup dunia dan akhirat
terkandung dalam ajarannya. Fiqih Islam memperhatikan berbagai segi
kehidupan, baik bidang ibadah, muamalah, jinayah dan lain-lain. Meski
demikian, ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Ia
hanya memberikan kaidah-kaidah umum yang mesti dijalankan oleh
manusia.
- Universal dan Dinamis.
Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi alam tanpa batas, tidak
seperti ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Ia berlaku bagi orang Arab dan
orang ‘ajam (non arab), kulit putih dan kulit hitam. Universalitas hukum
Islam ini sesuai dengan pemilik hukum itu sendiri yang kekuasaan-Nya
tidak terbatas. Di samping itu hukum Islam mempunyai sifat dinamis
(cocok untuk setiap zaman).

Ushul fiqih memiliki peran sentral dalam proses istinbath ahkam


(penggalian hukum), karena tiada satu hukum dalam hukum-hukum fikih yang
tidak didasarkan kepada kaidah-kaidah ushul fiqih. Jika diibaratkan, ushul fiqih
merupakan pabrik, nash-nash al-Qur’an dan Hadis sebagai bahan-bahannya,
sementara fikih adalah produk dari pabrik itu sendiri.
Secara istilah, ushul fiqih adalah kumpulan kaidah-kaidah dan
pembahasan-pembahasan yang dijadikan perantara untuk menggali hukum-hukum
syar’i dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dengan demikian, tidak akan ada produk
hukum fikih tanpa melalui proses penggalian menggunakan teori ushul fikih.

i. PEMETAAN

12
Ushul Fiqh adalah Pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara menyeluruh
dan tata cara memperoleh kesimpulan hukum darinya serta tentang kondisi yang
mengambil kesimpulannya (al-mustanbit atau al-mujtahid).
Sedangkan, Secara istilah fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang
hukum-hukum syar'i yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf
yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

j. SIMPULAN
Ilmu fiqih merupakan sebuah disiplin keilmuan yang berkaitan dengan
hukum-hukum syariat yang digali dari sumber-sumbernya. Sumber-sumber
tersebut terdiri dari beberapa hal, namun yang paling fundamental dan utama
adalah al-Qur’an itu sendiri. Sedangkan dari berbagai sumber hukum tersebut,
setidaknya ada lima hukum yang biasanya dihasilkan. Lima hukum tersebut
terdiri dari wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Hukum-hukum inilah yang
kemudian disebut dengan hukum taklifi.10
Ushūl Fiqih sebagai filsafat hukum Islam mempunyai ciri khas tersendiri
dalam menderivasi hukum syariat. Di dalam Ushūl Fiqih dibahas persoalan
sumber ilmu, validitas ilmu, dan tingkat kebenaran ilmu. Seluruhnya membentuk
sebuah produk hukum yang universal yang bernama Fiqih, dengan pijakan
sumber hukum universal pula. Dimana dalam hirarki sumber dan referensi hukum
didasarkan pada wahyu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Standar
kebenaran utama ada pada wahyu al-Qur‟an dengan keuniversalannya dan prinsip
umum yang dimilikinya. Dengan kata lain, apa yang terkandung dalam al-Sunnah,
10
Fakhr al-Di>n Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husain al-Ra>zi>, al-Mahsu>l fi> ‘Ilm Usu>l al-Fiqh, Juz 1, h. 93

13
pengalaman, akal atau pun intuisi, akan diseleksi kebenarannya dengan
disesuaikan dengan garis-garis besar yang dituangkan dalam Al-Qur‟an dan
al-Sunnah.
Perbedaan antara ilmu fiqh dengan ilmu ushul Fiqh adalah kalau ilmu fiqh
berbicara tentang hukum dari suatu perbuatan, sedangkan ilmu ushul fiqh
berbicara tentang metode dan proses bagaimana menemukan hukum itu sendiri.

14
DAFTAR PUSTAKA
Hidayatul Qur’an, Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam. 2019
Jurnal AL-Himayah redaksi Gelatik no 1 Kota Utara Gorontalo Prov. Gorontalo
Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Beirut,
Dar alKutub al-Arabi, 1404 H.
Abu Zahrah, Malik Hayatuh wa `Ara`uh wa Fiqhuh, Kairo, Dar al-Fikr al-`Araby
Hasbi al-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: CV. Mulia, 1967.
Abd. Al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, Al-Majlis al-A`la
al-Indonesia li al-Dakwah al Islamiyah, 1972.
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2009
Syafiq Gharbal 1965, Al-Mausu’ah al-‘Arabiyah al-mayussarah, Dar al-Qalam, Kairo
Sofyan A.P. 2013 , Fikih Alternatif,Mitra Pustaka, Jogjakarta
‘Alî Ḥasaballah, Uṣûl at-Tasyrîʻ al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1964), cet.
Ke-3. Ibrahim Hosen, “Taqlid dan Ijtihad, beberapa Pengertian Dasar”, dalam Budy
MunawarRahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta, Paramadina,
2006).
Kamâl b Hammâm, al-Taqrîr wa al-Taḥbîr Syarḥ Taḥrîr (Kairo: Maṭbaʻah
alAmîriyah Bulaq, 1316), Juz 3. Muḥammad Wafâ, Taʻaruḍ al-Adillah asySyarʻiyyah min
al-Kitâb wa as-Sunnah wa at-Tarjîḥu Bainahâ, terjemahan Muslich (Bangil: al-Izzah,
2001).
Abdul Wahab Khallaf,ilmu ushul fiqh, Mesir, Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, ,
Fakhr al-Din Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husain al-Razi, al-Mahsu

15

Anda mungkin juga menyukai