Anda di halaman 1dari 6

PERBANDINGAN KONSEP DIRI SOSIAL PADA REMAJA

BERDASARKAN STATUS PERNIKAHAN ORANG TUA


Rani Kusumawardani

Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta


Jakarta Timur

kusumawardani.rani@gmail.com

ABSTRACT
On married couples, there are couples in conflict and decided to divorce. Divorce negative impact not only on
couples but also to children. In children, adolescents, individuals have a sense of self-identity and evolve as
running with the formation of self-concept, especially social self-concept. Demands of developments,
adjustment changes in family and social status after divorce, as well as in some adolescent’s arrival of
stepparents are assumed to make a mess in adolescent search for identity that impact on adolescent social self-
concept changes. This study focuses on the problems of social self-concept comparison between adolescents
who have a single parent due to divorce with adolescents who have parents remarry after divorce. Method used
is type of comparative research with data retrieval tool in form of instrument. Instrument is the result of
adaptation and modification of the Self Description Questionnaire (SDQ) by Herbert W. Marsh (1992).
Respondents of this study are high school adolescents who have a single parent due to divorce or parents who
remarry after divorce. Hypothesis testing technique used is the chi squared. Chi squared value count = 11.043>
chi squared value table = 3.84. The results obtained are the marital status of parents affects social self-concept.

Keywords: social self-concept, adolescents, single parents, parents, remarried.

Pendahuluan manusia yang unik dan mampu memasuki suatu


Olson dkk. (2011) menjelaskan pernikahan adalah peranan yang berarti di tengah masyarakat. Ego
komitmen secara hukum dan emosi antara dua orang memiliki kapasitas untuk memilih dan
lawan jenis yang berbagi kedekatan emosi dan fisik, mengintegrasikan bakat, kemampuan, dan
berbagai tugas dan pekerjaan, serta sumber ekonomi. ketrampilan dalam melakukan identifikasi dengan
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pernikahan orang-orang yang sependapat dan melakukan adaptasi
memerlukan ikatan emosi yang diperkuat dalam dengan lingkungan sosial. Kapasitas tersebut
hukum. Namun di masyarakat sekarang, tidak semua dilakukan untuk memutuskan kebutuhan dan peranan
pasangan mengalami pernikahan dengan baik hingga yang paling cocok dan efektif. Semua ciri yang dipilih
akhir hayat sesuai janji pernikahan mereka. Ada ego tersebut dihimpun dan diintegrasikan oleh ego
pasangan ini berkonflik dan memutuskan bercerai. serta membentuk identitas psikososial remaja. Selama
Burke dkk. (2009) menyebutkan perceraian menjadi pembentukan identitas, remaja merasakan penderitaan
fenomena yang banyak terjadi di masyarakat. Burke paling dalam dibandingkan masa-masa lain akibat
juga menjelaskan bahwa perceraian berdampak kekacauan identitas (Hall & Lindzey, 2009).
negatif terhadap kesehatan mental dan fisik dari Kekacauan ini disebabkan peralihan yang sulit dari
anggota keluarga lainnya. Jika pasangan yang bercerai masa kanak-kanak ke masa dewasa dan kepekaan
telah memiliki anak, dampak negatif dari perceraian terhadap perubahan sosial dan historis di lain pihak.
tidak hanya dirasakan oleh pasangan yang berkonflik Jika masa peralihan yang dialami remaja terlalu sulit
tetapi juga oleh anak. Penelitian ini memfokuskan dan remaja mengalami kekacauan identitas yang
pada remaja dengan orang tunggal akibat perceraian berkepanjangan, remaja akan mengalami krisis
dan remaja dengan orang tua menikah lagi setelah identitas. Istilah krisis identitas menunjuk pada
perceraian. perlunya mengatasi kegagalan yang bersifat sementara
Erik Erikson (dalam Hall & Lindzey, 2009) itu untuk selanjutnya membentuk suatu identitas yang
menjelaskan perkembangan psikososial pada remaja stabil (Erikson, dalam Hall & Lindzey, 2009).
adalah Identitas vs Kekacauan Identitas. Erikson Saat seorang remaja sedang mengalami krisis identitas,
mengatakan bahwa masa remaja merupakan tahapan lalu dihadapkan dengan perceraian orang tua kandung,
dimana individu mulai merasakan suatu perasaan hal ini menimbulkan banyak kekacauan dalam diri
tentang identitas diri sendiri, yaitu perasaan sebagai remaja. Penyesuaian diri terhadap peralihan tahap
perkembangan dari anak-anak menuju dewasa dan (remarriage). Data tersebut menunjukkan bahwa
ditambah konflik perceraian orang tua membuat menikah kembali menjadi fenomena selanjutnya
remaja semakin bingung, sedih, kecewa, dan tidak dibalik tingginya angka perceraian. Tingginya
nyaman. Remaja yang sebaiknya mendapatkan tuntutan dalam membesarkan remaja, baik materi dan
dukungan orang tua dalam pembentukan identitas diri, psikis, membuat orang tua tunggal akan
tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya karena mempertimbangkan kemungkinan untuk menikah
fokus orang tua terbagi dengan konflik pada pasangan kembali. Kemungkinan tersebut disebabkan kesulitan
dan persiapan perceraian. yang dialami orang tua tunggal dalam menanggung
Perasaan seperti diabaikan dan berbeda yang remaja. Namun, menikah kembali berarti orang tua
didapatkan remaja akan terinternalisasi pada diri menambahkan kembali orang tua (orang tua tiri) dan
remaja dalam pembentukan identitas diri. Jika nilai- mungkin saudara (saudara tiri) yang tidak memiliki
nilai tersebut terbentuk dalam identitas diri remaja, hubungan darah menjadi sebuah keluarga.
remaja akan membentuk identitas diri dengan Krisis hubungan orang tua-anak setelah perceraian
identifikasi negatif tersebut. Pembentukan identitas dan kedatangan orang tua tiri menambahkan
diri yang negatif akan berdampak buruk pada diri kebingungan pada remaja. Remaja yang awalnya
remaja. merasa bingung karena kekacauan identitas, krisis
Erikson (dalam Hall & Lindzey, 2009) menjelaskan identitas, dan kekecewaan perceraian orang tua,
bahwa masa remaja merupakan tahapan dimana menjadi semakin bingung dengan munculnya orang
identitias diri merupakan bagaimana diri remaja tua tiri dan mungkin saudara tiri.
dalam perspektif dirinya. Dengan demikian, Perubahan dan penyesuaian perceraian orang tua
perkembangan identitias diri seiring berjalan dengan membuat remaja mengubah dan menyesuaikan
pembentukan konsep diri, bagaimana individu kembali konsep diri sosial yang sudah ada pada
berdasarkan umpan balik dari interaksi dengan dirinya. Kemudian, tuntutan perkembangan pada diri
lingkungan. remaja sendiri, penyesuaian perubahan keluarga dan
Menurut Marsh (1990), konsep diri merupakan status sosial baru karena perceraian, dan datangnya
gabungan dari interaksi dari konsep diri spesifik. orang tua tiri diasumsikan membuat kekacauan pada
Konsep diri spesifik tersebut, yaitu konsep diri pencarian identitas diri remaja. Kekacauan pada masa
akademis dan konsep diri nonakademis. Konsep diri pencarian identitas diri remaja tersebut berpengaruh
akademis meliputi kemampuan bahasa, berhitung, dan terhadap pembentukan konsep diri sosial remaja.
logika, sedangkan konsep diri nonakademis meliputi Berdasarkan pengamatan fenomena yang ada dan
konsep diri sosial, konsep diri emosional, dan konsep beberapa referensi memberikan gagasan dalam
diri kemampuan fisik. Pada penelitian ini, bagian penelitian ini untuk mengetahui perbandingan konsep
konsep diri yang akan disorot adalah konsep diri diri sosial antara remaja yang memiliki orang tua
sosial. tunggal dengan remaja yang memiliki orang tua
Hawkins dkk (2010) menjelaskan konsep diri sosial menikah kembali.
sebagai persepsi bagaimana saya dilihat oleh orang
lain (konsep diri kenyataan) dan bagaimana saya ingin Teori Konsep Diri Sosial
dilihat oleh orang lain (konsep diri ideal). Dalam hal Huitt (2011) mengartikan konsep diri sosial sebagai
ini dapat disimpulkan bahwa konsep diri sosial adalah cara seseorang berhubungan dengan orang lain.
gambaran seseorang tentang dirinya saat berhubungan Sedangkan menurut Hawkins, dkk. (2010), konsep
dengan teman sebaya, orang yang lebih muda, atau diri sosial adalah ‘bagaimana saya dilihat oleh orang
orang yang lebih tua. lain’ atau ‘bagaimana saya ingin dilihat orang lain’.
Remaja yang membandingkan keluarganya dengan Berdasarkan dua pernyataan tersebut, konsep diri
keluarga harmonis lainnya menunjukkan remaja sosial merupakan cara seseorang berhubungan dengan
melakukan perbandingan sosial terhadap apa yang orang lain dimana dalam hubungan tersebut ada
terjadi pada dirinya. Perubahan perspektif remaja gambaran yang ingin individu ciptakan mengenai
terhadap keluarganya mampu mengubah perspektif dirinya pada orang lain dan gambaran yang individu
remaja mengenai lingkungan sosialnya. Konflik yang dapatkan mengenai dirinya dari respon orang lain.
dialami oleh orang tua remaja bisa menyebabkan Dimensi konsep diri sosial ini berdasarkan SDQ dari
berubahnya perspektif remaja terhadap hubungan Herbert W. Marsh (1992), yaitu:
dengan lawan jenis. Perubahan perspektif tersebut
dapat menyebakan berubahnya konsep diri terutama 1. Hubungan dengan Orang Tua
konsep diri sosial remaja terhadap lingkungan. Pada SDQ, hubungan dengan orang tua adalah
Setelah perceraian terjadi, sebagian orang tua tunggal persepsi kualitas hubungan, interaksi, dan
ada yang memutuskan untuk mencari pasangan baru pergaulan individu dengan orang tuanya. Seiring
dan sebagian lainnya memutuskan untuk tetap dengan bertumbuhkembangnya remaja,
menjadi orang tua tunggal. Hasil penelitian kebanyakan kehidupan remaja menjadi tidak
longitudinal yang dilakukan oleh Ahrons (2006) banyak dihabiskan dengan orang tua. Menurut
menunjukkan 95% dari 89 keluarga ‘pertama menikah’ Offer & Church (1991, dalam Papalia dkk.,
yang bercerai memutuskan untuk menikah kembali 2009), sebagian besar nilai-nilai dasar remaja
lebih dekat dengan nilai-nilai orang tua mereka dibandingkan masa-masa lain akibat kekacauan
dibandingkan dengan teman secara umum, identitas, karena peralihan yang sulit dari masa kanak-
walaupun kehidupan remaja banyak dihabiskan kanak ke masa dewasa dan kepekaan terhadap
dengan teman. Walaupun remaja banyak perubahan sosial dan hostoris di lain pihak. Keadaan
menghabiskan waktu dengan teman-temannya, ini dapat menyebabkan remaja merasa terisolasi,
remaja mencari orang tua sebagai “dasar aman” hampa, cemas, dan bimbang. Pada masa kekacauan
dari kehidupan remaja sendiri dengan terus identitas ini, remaja merasa dipaksa membuat
menjelajahi dunia yang lebih luas (Papalia dkk., keputusan-keputusan, sehingga remaja menjadi
2009). Namun, jika orang tua tidak mampu semakin menentang dan mudah tersinggung. Remaja
memahami kebutuhan anak akan rasa aman dan juga terkadang menutup diri terhadap siapapun karena
nyaman, anak akan merasa ditolak oleh orang takut ditolak, dikecewakan, atau disesatkan.
tuanya. Perasaan ditolak ini bisa berkembang Jika masa peralihan yang dialami remaja terlalu sulit
lebih jauh menjadi masalah lain pada hubungan dan remaja mengalami kekacauan identitas yang
orang tua dan anak. berkepanjangan, remaja akan mengalami krisis
identitas. Istilah krisis identitas menunjuk pada
2. Hubungan dengan Teman Sebaya perlunya mengatasi kegagalan yang bersifat sementara
Papalia dkk. (2009) menjelaskan bahwa itu untuk selanjutnya membentuk suatu identitas yang
pertemanan remaja secara keseluruhan stabil (Erikson, dalam Hall & Lindzey, 2009).
cenderung untuk lebih timbal balik, lebih setara,
dan lebih stabil. Selain itu Papalia dkk. juga Teori Status Pernikahan Orang Tua
menjelaskan remaja cenderung memilih teman
yang serupa dengan dirinya dalam gender, suku Orang Tua Tunggal
bangsa, dan dalam hal lain. Sehingga jika ada Menurut Olson dkk. (2010), keluarga dengan orang
seorang remaja yang berbeda dari salah satu hal tua tunggal merupakan keluarga yang semua anak-
tersebut, kemungkinan besar remaja tersebut anaknya hidup bersama dengan satu orang tua.
akan dikucilkan oleh teman-temannya. Keadaan ini disebabkan oleh perceraian, kohabitasi,
Pengucilan ini terjadi karena anak remaja dan kehamilan di luar pernikahan. Orang tua tunggal
cenderung untuk memiliki hubungan setara dan biasanya akan melakukan pengaturan waktu anak
timbal balik. untuk orang tua lain yang tinggal terpisah. Walaupun
Hubungan romantis pada remaja secara umum anak dan orang tua lain tersebut tinggal terpisah,
diartikan sebagai hubungan khusus dengan banyak anak yang memiliki hubungan dengan kedua
lawan jenis diluar pertemanan. Hubungan orang tua mereka.
romantis memunculkan emosi kuat, baik positif
maupun negatif. Hubungan dengan orang tua Orang Tua Menikah kembali
dan teman sebaya dapat mempengaruhi kualitas Papalia dkk. (2009) menjelaskan bahwa menikah
dari hubungan romantis (Bounchey & Furman, kembali merupakan sebuah keadaan dimana salah satu
2003, dalam Papalia dkk., 2009). Hubungan atau kedua pasangan sebelumnya sudah pernah
pernikahan orang tua remaja mungkin berperan menikah, tetapi terpisah karena kematian atau
sebagai model untuk anak remaja mereka perceraian. Namun, kebanyakan individu yang
(Papalia dkk., 2009). menikah kembali berasal dari pernikahan yang
diakhiri perceraian. Biasanya, individu yang menikah
3. Nilai Spiritual/Agama kembali memiliki pasangan yang mirip dan norma
SDQ menjelaskan nilai spiritual/agama sebagai yang tidak jauh beda dengan mantan pasangan. Sekali
persepsi nilai-nilai spiritual dan keyakinan yang individu bercerai, individu tersebut pada pernikahan
dimiliki individu. Hill dkk. (2010) menjelaskan selanjutnya akan melihat perceraian sebagai solusi
spritualitas sebagai perasaan, pikiran, dari konflik dengan pasangan.
pengalaman, dan perilaku yang muncul dari Papalia juga menjelaskan bahwa menikah kembali
upaya untuk mengidentifikasi, memiliki keuntungan, diantaranya memiliki tingkat
mengartikulasikan, memelihara, atau mengubah keamanan yang lebih tinggi, tidak terlalu bergantung
untuk suci. Hill dkk. juga menentukan indikator dengan lingkungan, dan berbagi kebutuhan hidup.
spirtualitas dalam kesatuan utuh. Indikator
tersebut meliputi: 1) konsep sakral, 2) proses
pencarian, 3) konsep non-sakral, dan 4) proses Hubungan Konsep Diri Sosial Remaja
pencarian yang didukung oleh masyarakat. dengan Status Pernikahan Orang Tua
Remaja yang seharusnya mendapatkan dukungan
Teori Remaja orang tua dalam pembentukan identitas diri, tidak
Erikson menjelaskan bahwa masa remaja merupakan mendapatkan dukungan sepenuhnya karena fokus
masa seorang remaja membentuk indentitas mengenai orang tua terbagi dengan konflik pada pasangan dan
dirinya. Selama pembentukan identitas tersebut, persiapan perceraian. Berdasarkan penelitian yang
remaja merasakan penderitaan paling dalam dilakukan oleh Dewi & Utami (2013), anak merasa
tidak diperhatikan karena orang tua fokus pada dan SMA Negeri 5 Bekasi, pada kelas 10 dan 11
konflik mereka dan perceraian. Anak merasa dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
diabaikan karena pendapat mereka mengenai Kriteria sampel yang dijadikan responden adalah
perceraian orang tua diabaikan. Anak juga merasa remaja dengan usia 15-19 tahun serta memiliki orang
berbeda karena keluarga temannya lebih harmonis tua tunggal akibat perceraian atau menikah kembali
dibandingkan keluarganya. setelah perceraian. Pengecekan validitas instrumen
Remaja yang membandingkan keluarganya dengan konsep diri sosial dilakukan dengan expert judgment
keluarga harmonis lainnya menunjukkan remaja yang dilakukan kepada ahli psikologi sosial dan ahli
melakukan perbandingan sosial terhadap apa yang alat ukur psikologi.
terjadi pada dirinya. Perubahan perspektif remaja Reliabilitas instrumen dilihat nilai Cronbach’s Alpha
terhadap keluarganya mampu mengubah perspektif setiap dimensi dengan nilai Cronbach’s Alpha setiap
remaja mengenai lingkungan sosialnya. Konflik yang dimensi dibandingkan dengan kaidah reliabilitas oleh
dialami oleh orang tua remaja bisa menyebabkan Guilford. Nilai Cronbach’s Alpha per dimensi dengan
berubahnya perspektif remaja terhadap hubungan minimal nilai 0,4 dapat dilanjutkan untuk digunakan
dengan lawan jenis. Perubahan perspektif tersebut pada penelitian.
tentu bisa menyebakan berubahnya konsep diri Reliabilitas instrumen dilihat nilai Cronbach’s Alpha
terutama konsep diri sosial remaja terhadap setiap dimensi. Nilai Cronbach’s Alpha setiap dimensi
lingkungan. dibandingkan dengan kaidah reliabilitas oleh Guilford.
Sebelum perceraian, remaja memiliki identitias diri Nilai Cronbach’s Alpha per dimensi dengan minimal
yang baik mengenai keluarga dan kedua orang tua. nilai 0,4 dapat dilanjutkan untuk digunakan pada
Namun, seiring dengan konflik orang tua dan penelitian.
perceraian, identitas diri yang baik tersebut berubah Konsep diri sosial terbagi menjadi dua kategori, yaitu
karena internalisasi umpan balik baru karena keadaan positif dan negatif. Skor yang didapatkan pada
keluarga. Umpan balik tersebut berupa perasaan penelitian diubah kedalam bentuk z score. Cara ini
diabaikan oleh orang tua yang sibuk dengan menyebabkan masing-masing respoden memiliki dua
perceraian dan perasaan berbeda dari keluarga lain skor, yaitu z score konsep diri sosial positif dan z
yang harmonis. Hal tersebut menyebabkan score konsep diri sosial negatif. Z score dari dari dua
pembentukan identitas diri remaja yang negatif. kelompok skor tersebut yang digunakan untuk
Pembentukan identitas diri yang negatif ini menggolongkan responden ke dalam kategori konsep
berkembang menjadi konsep diri sosial negatif, karena diri sosial positif atau negatif. Kriteria yang
remaja memandang konsep dirinya berdasarkan apa digunakan, yaitu:
yang didapatkan dari umpan balik orang tua. Z score kategori positif bernilai positif dan z score
Krisis hubungan orang tua-anak setelah perceraian kategori negatif bernilai negatif, maka responden
dan kedatangan orang tua tiri menambahkan masuk dalam kategori konsep diri sosial ‘positif’.
kebingungan pada remaja. Remaja yang awalnya Z score kategori negatif bernilai positif dan z score
merasa bingung karena kekacauan identitas, krisis kategori positif bernilai negatif, maka responden
identitas, dan kekecewaan perceraian orang tua, masuk dalam kategori konsep diri sosial ‘negatif’.
menjadi semakin bingung dengan munculnya orang Z score kategori positif dan negatif sama-sama
tua tiri dan mungkin saudara tiri. Saat kekacauan dan bernilai positif atau negatif, maka responden masuk
krisis identitas, remaja memperhatikan kedua orang dalam kategori konsep diri sosial ‘tidak terkategori’.
tua sebagai model. Namun, perceraian memaksan
remaja kehilangan salah satu orang tuanya. Hasil dan Pembahasan
Selanjutnya, sebagian remaja saat model orang tua Berikut ini adalah tabel data responden berdasarkan
tunggal belum terbentuk dengan baik, muncul orang crosstabs kelompok status pernikahan orang tua
baru dengan identitas lain, yaitu orang tua tiri dan dengan kategori konsep diri sosial:
mungkin saudara tiri.
Perubahan dan penyesuaian perceraian orang tua
Kategori Konsep Diri Sosial
membuat remaja mengubah dan menyesuaikan
Tidak Total
kembali konsep diri sosial yang sudah ada pada Positif Negatif
Terkategori
dirinya. Kemudian, tuntutan perkembangan pada diri
Orang
remaja sendiri, penyesuaian perubahan keluarga dan
Tua 3 10 19 32
status sosial baru karena perceraian, dan datangnya
Status Tunggal
orang tua tiri semakin membuat kekacauan pada krisis
Pernikahan Orang
identitas remaja. Kekacauan krisis identitas remaja
Orang Tua Tua
tersebut diasumsikan berpengaruh terhadap 10 1 14 25
Menikah
pembantukan konsep diri sosial remaja.
kembali
Total 13 11 33 57
Metode
Penelitian ini dilakukan pada 57 siswa SMA di 2 Berdasarkan tabel tersebut, data menunjukkan
SMA Negeri di Bekasi, yaitu SMA Negeri 3 Bekasi responden dengan orang tua tunggal dan termasuk
kategori positif berjumlah 3 remaja. Responden negatif pada konsep diri sosial remaja. Dampak
dengan orang tua tunggal dan termasuk kategori negatif ini dapat diminimalkan dengan kualitas
negatif berjumlah 10 remaja. Responden dengan hubungan yang dimiliki remaja terhadap teman-
orang tua menikah kembali dan termasuk kategori temannya. Teman-teman yang memiliki hubungan
positif berjumlah 10 remaja. Responden dengan orang dekat dengan tidak mempermasalahkan orang tuanya
tua menikah kembali dan memiliki kategori negatif yang sendiri, memberikan dukungan kepada remaja
berjumlah 1 remaja. Responden dengan orang tua terhadap keadaan orang tuanya, serta menghibur
tunggal dan memiliki kategori konsep diri sosial individu saat kesedihan akan pertengkaran dan
‘tidak terkategori’ berjumlah 19 remaja. Responden perceraian orang tua, diasumsikan dapat
dengan orang tua menikah kembali dan memiliki meminimalkan dampak negatif dari perceraian orang
kategori ‘tidak terkategori’ berjumlah 14 remaja. tua.
Kelompok responden yang paling banyak jumlahnya Pada dimensi nilai spiritual/agama, rasa ikhlas dan
adalah remaja dengan orang tua tunggal dan memiliki penerimaan bahwa keadaan yang terjadi pada remaja,
konsep diri sosial yang tidak terkategori. orang tuanya, dan keluarganya adalah ujian atau
Dalam penelitian ini, pengujian hipotesis cobaan dari Allah SWT atau Tuhan atau sesuatu yang
menggunakan teknik analisis chi kuadrat. Hasil lebih berkuasa dari diri remaja. Selain itu, adanya
perhitungan dari crosstabs antara status pernikahan keyakinan pada remaja bahwa keadaan buruk
orang tua dengan kategori konsep diri sosial (positif mengenai pertengkaran dan perceraian orang tua,
dan negatif). suatu hari akan menjadi lebih baik karena Allah SWT
memiliki rencana yang lebih baik untuk hamba-Nya.
Asymp. Adanya pikiran positif terhadap rencana Allah SWT
Value Df tersebut diasumsikan dapat meminimalkan dampak
Sig. (2-sided)
Pearson negatif dari pertengkaran dan perceraian orang tua.
11,043 1 0,001 Walaupun kedua kelompok pernah mengalami
chi-square
dampak buruk perceraian, kelompok remaja dengan
Nilai chi kuadrat hitung ditunjukkan oleh nilai orang tua menikah kembali memiliki konsep diri
pearson chi-square = 11,043 dan chi kuadrat tabel sosialnya lebih positif. Penelitian sebelumnya dan
(dengan db: 1) = 3,84. Nilai chi kuadrat hitung = hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dampak
11,043 > nilai chi kuadrat tabel = 3,84. buruk setelah perceraian pada remaja dapat
Kesimpulannya adalah terdapat perbedaan frekuensi diminimalkan dengan pertimbangan orang tua tunggal
remaja yang signifikan berdasarkan status pernikahan untuk menikah kembali. Hal ini ditunjukkan dengan
orang tua dan kategori konsep diri sosial. Kesimpulan banyak remaja dengan orang tuanya menikah lagi
ini berarti status pernikahan orang tua mempengaruhi memiliki konsep diri sosial yang positif.
konsep diri sosial pada remaja. Perbedaan konsep diri Berkurangnya beban orang tua kandung karena ada
sosial tersebut diasumsikan karena keadaan remaja orang tua tiri, adanya sosok pengganti orang tua
dengan orang tua tunggal yang berbeda dari remaja kandung yang hilang, serta lengkapnya keluarga
lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan remaja dimana ada kedua orang tua dan anak-anaknya,
memiliki satu orang tua. Selain itu, dampak beban diasumsikan menjadi penyebab meningkatnya konsep
orang tua tunggal kepada remaja dan hilangnya salah diri sosial pada remaja dengan orang tua yang
satu sosok orang tua di rumah diasumsikan juga menikah kembali.
sebagai penyebab perbedaan ini.
Namun, perubahan konsep diri sosial yang cenderung Daftar Pustaka
negatif akibat perceraian orang tua dapat Ahrons, Costance R. (2007). Family Ties After
diminimalkan. Penelitian ini melakukan pengukuran Divorce: Long-Term Implicarions for Children.
menggunakan instrumen konsep diri sosial yang Journal Family Process, 46, 53-65. Retrieved from
terbagi dalam 3 dimensi, yaitu hubungan dengan http://www.familyprocess.org
orang tua, hubungan dengan teman sebaya, dan nilai Burke, S., McIntosh, J., Gridley, H. (2009). Parenting
spiritual/agama. Saat hubungan dengan orang tua after Separation: A Literature Review prepared for
cenderung memberikan dampak negatif terhadap The Aistralian Psychological Society. Melburne: The
konsep diri sosial, individu dapat menekan dampak Australian Psychological Society Ltd.
negatif tersebut dengan mempertahankan atau Dewi, P.S., & Utami, M.S. (2013). Subjective Well-
meningkatkan kualitas hubungan pada 2 dimensi Being Anak dari Orang Tua Yang Bercerai. Jurnal
lainnya, yaitu hubungan teman sebaya dan nilai Psikologi, 35, 194-212.
spiritual/agama. Hall, C.S., & Lindzey, G. (2009). Teori-teori
Pada masa remaja, individu cenderung berkelompok psikodinamik (klinis) (Vol. 2) (Yustinus,
dengan teman yang memiliki keadaan sama seperti Penterjemah). Yogyakarta: Kanisius.
dirinya. Namun, setelah perceraian orang tua terjadi, Hawkins, D. I., Mothersbaugh, D. L., Mookerjee, A.
keadaan individu yang berbeda dengan teman- (2010). Consumer Behavior: Building Marketing
temannya, dimana individu hanya memiliki satu orang Strategy (11th ed.). New Delhi: McGraw Hill.
tua. Perbedaan ini diasumsikan memiliki dampak
Hill, Peter C., Pargament, Kenneth I., Hood, Ralph W.,
McCullough, Michael E., Swyers, James P., Larson,
Daviv B., Zinnbauer, Brian J. (2000). Conceptualizing
Religion and Spirituality: Points of Commonality,
Points of Departure. Journal for the Theory of Social
Behavior, 30, 51-77. Retrieved from
http://www.psy.miami.edu/
Huitt, W. (2011). Self and self-views. Educational
Psychology Interactive. Valdosta: Valdosta State
University. Retrieved from
http://www.edpsycinteractive.org/topics/self/self.html
Marsh, Herbert W. (1992a). Self Description
Questionnaire (SDQ) II. Retrieved from
https://www.acu.edu.au/research/research_institutes_a
nd_programs/ippe/our_research/research_instruments
Marsh, Herbert W. (1992b). Self Description
Questionnaire (SDQ) III. Retrieved from
https://www.acu.edu.au/research/research_institutes_a
nd_programs/ippe/our_research/research_instruments
Olson, D. H., DeFrain, J., & Skogrand, L. (2010).
Marriages and Families: Intimacy, Diversity, and
Strengths (7th ed.). New York: McGraw-Hill.
Papalia, Diane E., Old, Sally Wendkos, Feldman,
Ruth Duskin. (2009). Human Development:
Perkembangan Manusia (2nd, 10th ed.). Jakarta:
Salemba Humanika.

Anda mungkin juga menyukai