Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENELITIAN BIOLOGI

ASPERGERS SYNDROME

TA 2023/2024
Disusun oleh :
Angela Benedictin Sunny

SMA EFATA SCHOOL


DAFTAR ISI

Bab I ........................................................................................................................................................ 3
I. Latar Belakang ............................................................................................................................ 3
II. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 4
III. Tujuan Penelitian .................................................................................................................... 4
IV. Manfaat Penelitian .................................................................................................................. 4
Bab II ...................................................................................................................................................... 5
I. Pembelahan Sel ....................................................................................................................... 5
II. Kromosom............................................................................................................................. 10
III. Sindrom Aspergers............................................................................................................ 11
BAB III ................................................................................................................................................. 13
BAB IV ................................................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 19
Bab I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Aspergers adalah gangguan pada bagaimana sistem saraf berfungsi yang pertama kali
dijelaskan oleh Hans Asperger pada tahun 1944. Sindrom Asperger digambarkan sebagai “Tipe
anak yang sangat menarik dan sangat mudah dikenali” oleh Hans Asperger di artikelnya pada
tahun 1944. Kasus-kasus terkenal yang dijelaskan oleh Asperger adalah pasien-pasien yang
memiliki kemampuan intelektual dan bahasa di atas rata-rata, namun mengalami gangguan
signifikan dalam komunikasi sosial dan emosional. Namun, Asperger juga menggambarkan
kasus-kasus pasien dengan kemampuan intelektual dan bahasa rendah, mirip dengan yang
dijelaskan oleh Kanner sebagai pasien yang mengidap autisme pada tahun 1943. Aspergers
merupakan subtipe dari Autism Spectrum Disorder atau autisme.

Pada tahun 1980, American Psychiatric Association (APA) mengakui autisme sebagai
kategori yang berbeda dalam DSM-3 dan memperkenalkannya sebagai autisme infantil. Pada
tahun 1981, Wing L. memulai kembali penelitian mengenai Asperger dan mengganti nama
psikopati autistik menjadi sindrom Asperger. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1989,
kriteria diagnostik pertama untuk SA diusulkan, dan Revisi ke-10 Klasifikasi Penyakit
Internasional (ICD-10) adalah sistem klasifikasi utama pertama yang mengakui SA (1993).
Akhirnya, pada tahun 1994, SA diperkenalkan dalam DSM-4 sebagai entitas yang spesifik
bersama dengan gangguan autistik, dalam gangguan perkembangan yang meresap (PDD).
Sementara selama periode ini, para peneliti berfokus pada pengembangan metode yang mampu
mendiagnosis SA dan membedakannya dari autisme tingkat fungsional tinggi (HFA), DSM-5
menghapus kategori diagnostik SA pada tahun 2013. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga
mengikuti pendekatan serupa dalam ICD-11, yang akan berlaku mulai tahun 2022.

Aspergers bisa dibedakan dari subtipe autisme lainnya yang berdasarkan dari
perkembangan kemampuan dalam berbahasa dan kognitif yang baik. Individu dengan austime
memiliki defisit dalam kecerdasan dan kemampuan berbahasa, sementara individu dengan
gangguan aspergers masih memiliki kecerdasan dan kemampuan berbahasa yang baik bahkan
di atas rata-rata, namun mereka cenderung mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan
orang di sekitarnya terutama dalam memahami norma sosial, ekspresi emosi, dan interaksi
interpersonal. Hal ini membuat aspergers dikategorikan sebagai salah satu bentuk autisme yang
tinggi fungsional.
Aspergers menjadi bentuk autisme yang tinggi secara fungsional membuatnya menjadi
topik penelitian yang kurang difokuskan. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya anggapan
bahwa aspergers sering kali memiliki potensi untuk berkontribusi secara signifikan dalam
masyarakat. Alhasilnya, individu yang memiliki aspergers tidak mampu untuk mendapat
perhatian yang secukupnya dan terciptanya tantangan yang semakin berat dalam kehidupan
sehari-harinya. Tetapi, terdapat sebuah peningkatan yang pesat dalam perhatian terhadap
gangguan Asperger pada beberapa tahun terakhir ini. Hal ini mendorong upaya untuk
memahami lebih dalam aspek-aspek klinis, neurobiologis, dan sosial dari gangguan ini.

II. Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang hendak diteliti dalam penelitian ini adalah
• Bagaimana kromosom yang abnormal dapat mempengaruhi seorang individu?
• Apakah ada koorelasi antara sindrom asperger dengan kelainan kromosom?

III. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki berbagai aspek yang berhubungan dengan
gangguan Asperger, termasuk gejala, faktor risiko, perkembangan, serta pendekatan
interventasi yang lebih efektif sehingga mungkin membentuk meningkatkan kualitas hidup
individu dengan gangguan ini. Penelitian ini juga diharapkan untuk bisa memberikan
wawasan yang lebih dalam dan melepas stereotipe-stereotipe dari sindrom tersebut.

IV. Manfaat Penelitian


Penelitian ini ditulis dengan manfaat sebagai berikut,
a. Memberikan wawasan yang lebih dalam baik dalam bidang psikologi dan
biologi anak berkebutuhan khusus.
b. Memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang Asperger Syndrome,
termasuk faktor-faktor biologis yang berperan dalam perkembangan gangguan
ini.
c. Membantu dalam pengembangan strategi intervensi yang lebih tepat dan terarah
bagi individu dengan Asperger Syndrome.
Bab II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Pembelahan Sel

Pembelahan sel merupakan peristiwa dimana sebuah sel membelah menjadi dua atau
lebih menjadi sel baru. Pembelahan sel merupakan metode untuk organisme uniseluler
memperbanyak diri atau sebuah metode untuk organisme multiseluler memperbayak sel
tubuh sehingga organisme yang bersangkutan dapat tumbuh dan berkembang. Sel yang
membelah diri disebut sel induk, sedangkan sel hasil pembelahan diri disebut sel anak.
Pembelahan sel memberikan banyak keuntungan bagi kelangsungan hidup organisme,
yaitu untuk pertumbuhan di mana sebuah organisme dapat bertumbuh karena sel-selnya
yang meningkat secara kuantitas, regenerasi, di mana ketika sebuah jaringan dari organisme
mengalami kerusakan, jaringan tersebut bisa diperbaiki yang merupakan hasil dari proses
pembelahan sel, dan terakhir yaitu reproduksi di mana sebuah organisme berkemang biak
untuk mempunyai keturunan.

Jenis-jenis pembelahan sel dibagi menjadi dua yaitu mitosis dan meiosis,
I.I. Mitosis
Pembelahan mitosis adalah pembelahan yang menghasilkan sel anak dengan
jumlah kromoson yang sama dengan kromosom sel induk. Pembelahan ini
menghasilkan 2 sel anakan dan mempunyai susunan gentika yang sama. Sel anakan
seringkali didampingkan dengan 2n yang diartikan sebagai sel diploid atau sel-sel yang
kromosomnya berpasangan. Pembelahan ini berperan dalam mengganti jaringan tubuh
yang mengalami kerusakan tanpa ada perbedaan dari yang baru dan lama serta
pemperbanyakan diri baik dari segi kuantitas dan kualitasnya. Pembelahan ini hanya
berlangsung pada sel somatik atau sel tubuh.
Pembelahan berlangsung secara bertahap melalui lima fase yang
berkesinambungan yaitu profase, metafase, anafase, telofase, dan interfase. Berikut
adalah penjelasannya.

I.I.I. Profase
Pada tahap profase dalam pembelahan sel, sel mengalami persiapan yang sangat
penting. Sel melakukan sintesis protein, lipid, dan komponen sel lainnya untuk
memastikan kelancaran pembelahan. Selama profase, sentriol, dan mikrofilamen
berperan dalam membentuk benang gelendong pembelahan (spindle), yang
menghubungkan dua sentriol dan diperlukan untuk membagi kromosom. Selaput
inti dan nukleolus mulai menghilang, dan selubung inti sel pecah. Kromatin dalam
nukleus memanjang, mengental, dan membentuk kromosom dengan sentromer
sebagai pusat perlekatan mikrotubulus. Selain itu, sentriol bergerak ke kutub yang
berlawanan, dan kromosom duplikat berjajar di tengah sel. Ini adalah tahap awal
dalam pembelahan mitosis yang membantu memastikan pembagian yang tepat
antara sel anak.
I.I.II. Metafase
Pada tahap metafase, sel mengalami sejumlah perubahan yang krusial
untuk proses pembelahan. Nukleus dan membran inti sel sudah tidak terlihat,
dan inisiasi pembelahan terjadi dengan masing-masing kinetokor pada
sentromer kromatid dihubungkan ke sentrosom melalui benang-benang spindel.
Selanjutnya, pasangan kromatid bergerak ke bidang tengah sel yang disebut
bidang ekuator, membentuk apa yang disebut lempeng metafase. Posisi
kromosom yang terletak pada bagian tengah sel ini memungkinkan
penghitungan jumlah kromosom yang tepat dan juga memungkinkan observasi
yang jelas terhadap bentuk kromosom selama proses ini berlangsung.
I.I.III. Anafase
Tahap anafase adalah tahap penting dalam mitosis di mana terjadi
pemisahan kromatid. Pada tahap ini, kromatid dari setiap kromosom dipisahkan
dari bagian sentromer dan mulai bergerak ke kutub sel yang berlawanan.
Benang-benang spindel membantu dalam menarik kromatid ke arah kutub sel
tersebut. Proses ini memastikan bahwa jumlah kromosom yang bergerak ke satu
kutub sel akan sama dengan jumlah yang bergerak ke kutub sel lainnya,
sehingga setiap sel anak akan memiliki jumlah kromosom yang sama.
I.I.IV. Telofase
Tahap ini adalah akhir dari pembelahan sel di mana sel diikuti oleh
sitokinesis yaitu pembelahan sitoplasma, sel menjadi dua dan memisah bersama
terbaginya organel-organel sel. Kromosom telah mencapai kutubnya masing-
masing, dan benang-benang spindel yang digunakan untuk memisahkan
kromosom mulai menghilang. Selama telofase, membran inti sel juga mulai
terbentuk kembali di antara dua kelompok kromosom yang telah terpisah
selama tahap anafase. Kromosom yang sebelumnya terlihat padat dan
terkondensasi selama mitosis mulai menjalani proses dekondensasi, dan mereka
kembali ke bentuk benang-benang kromatin yang longgar. Ini menandai akhir
dari pembelahan sel mitosis dan pembentukan dua sel anak yang memiliki
membran inti sel tersendiri.
I.I.V. Interfase
Interfase adalah periode antarmitosis dalam siklus sel yang terdiri dari
tiga tahap utama. Tahap pertama adalah Fase Pertumbuhan Primer (G1), di
mana sel mengalami pertumbuhan dan aktif melakukan sintesis protein serta
komponen sel lain yang dibutuhkan. Sel juga memeriksa kondisi sel dan
mempersiapkan diri untuk tahap selanjutnya, memastikan bahwa kondisinya
sesuai untuk memulai sintesis DNA selama tahap S. Kemudian, dalam tahap S
atau Fase Sintesis, sel melakukan sintesis DNA, yang menghasilkan salinan
identik dari materi genetik. Setelah itu, sel memasuki tahap Fase Pertumbuhan
Sekunder (G2), di mana sel mengalami pertumbuhan tambahan dan melakukan
persiapan terakhir untuk pembelahan sel. Sel memeriksa dan memperbaiki
kesalahan yang mungkin terjadi selama sintesis DNA, dan juga mempersiapkan
komponen sel seperti mikrotubulus yang diperlukan untuk pembelahan mitosis.
Setelah fase interfase selesai, sel siap untuk memasuki tahap mitosis, di mana
pembelahan sel sebenarnya terjadi, dan siklus sel berlanjut dalam kehidupan sel.

I.II. Meiosis
Pembelahan meiosis adalah pembelahan yang menghasilkan sel anakan yang
mempunyai setengah kromosom dari kromosom sel induknya. Pembelahan ini
menghasilkan 4 sel anakan dan hanya bisa berlangsung pada organ kelamin saja.
Jumlah kromosom yang setengah ini disebut dengan haploid atau n. Maka, pembelahan
sel meiosis disebut sebagai pembelahan reduksi. Pembelahan meiosis melalui fase-fase
yang tidak beda jauh dari pembelahan mitosis. Berikut adalah tahapan dari pembelahan
meiosis,
I.II.I. Fase Meiosis I
Fase profase I merupakan tahap penting dalam meiosis yang dimulai
setelah replikasi kromosom untuk menghasilkan kromatid identik. Pada
awalnya, kromosom memendek, menebal, dan menggandakan diri. Pertengahan
profase I menandai pergerakan sentrosom ke kutub yang berlawanan dan
terjadinya pindah silang atau crossing over antara kromosom homolog. Akhir
profase I ditandai dengan benang gelendong yang melekat pada kedua kinetokor
kromosom. Selama profase I, terdapat beberapa tahapan, termasuk leptoten di
mana kromosom homolog membentuk kromosom yang menebal, zigoten di
mana kromosom homolog berpasangan, pakiten yang melibatkan penggandaan
kromosom, diploten di mana terjadi pindah silang dengan pembentukan kiasma,
dan terakhir diakinesis ketika benang gelendong atau spindle terbentuk. Seluruh
rangkaian peristiwa ini adalah bagian integral dari meiosis yang mengarah pada
pembentukan sel-sel anak dengan materi genetik yang berbeda dari sel
induknya.
I.II.II. Fase Meiosis II
Fase kedua dalam meiosis, yang mirip dengan mitosis, melibatkan
pembelahan sel yang bersifat haploid. Selama fase ini, jumlah kromosom tetap
konstan, yang penting dalam reproduksi seksual. Proses ini juga menghasilkan
variasi genetik melalui persilangan, yang memainkan peran kunci dalam
keragaman genetik.

Contoh proses dalam tubuh di mana pembelahan meiosis mengambil peran yang
krusial adalah spermatogenesis dan oogenesis. Berikut adalah penjelasan yang lebih
dalam mengenai kedua proses tersebut,

I.II.III. Spermatogenesis

Proses pembentukan sel sperma, atau spermatogenesis, merupakan


suatu rangkaian tahap yang sangat teratur dan terkoordinasi dalam sistem
reproduksi laki-laki. Ini dimulai di dalam sistem tabung kecil yang disebut
tubulus seminiferous, yang merupakan bagian utama dari testis. Proses dimulai
ketika sel induk sperma, yang disebut spermatogonium, mengalami pembelahan
mitosis. Selama pembelahan mitosis, spermatogonium menghasilkan
spermatosit primer yang memiliki jumlah kromosom yang sama dengan sel
asalnya.

Selanjutnya, proses spermatogenesis berlanjut dengan pembelahan


meiosis. Spermatosit primer berubah menjadi spermatosit sekunder yang
memiliki jumlah kromosom diploid. Kemudian, pada tahap meiosis kedua,
kedua spermatosit sekunder tersebut membelah menjadi empat spermatid.
Setiap spermatid memiliki setengah jumlah kromosom atau haploid, dan mereka
siap mengalami pematangan lebih lanjut. Tahap terakhir dari spermatogenesis
adalah pematangan spermatid menjadi sel-sel sperma yang matang, yang
disebut spermatozoa. Proses ini melibatkan perubahan bentuk, perkembangan
organel, dan perkembangan struktur ekor untuk memberikan kemampuan gerak
yang diperlukan agar sperma dapat bergerak menuju sel telur saat terjadi
pembuahan.

I.II.IV. Oogenesis
Oogenesis adalah proses pembentukan dan pematangan sel telur (ovum)
di dalam ovarium. Proses ini berawal dari saat bayi perempuan masih dalam
bentuk janin, oosit primer dalam indung telurnya telah mengalami serangkaian
pembelahan mitosis. Pada saat lahir, bayi perempuan sudah memiliki sekitar 1
juta oosit primer. Oosit primer ini memiliki 46 kromosom dan bersifat diploid.
Oosit primer tersebut akan tetap dalam masa istirahat hingga bayi perempuan
mencapai usia pubertas.

Pada usia pubertas, proses meiosis I mulai berlangsung, oosit primer


yang sebelumnya bersifat diploid (46 kromosom) akan mengalami pembelahan,
menghasilkan dua sel yang berbeda ukuran. Salah satu sel yang lebih besar
disebut oosit sekunder, sementara sel yang lebih kecil disebut badan kutub
primer. Kedua sel ini bersifat haploid, yang berarti mereka memiliki setengah
jumlah kromosom, yaitu 23 kromosom, dan kromosom-kromosom ini tidak
berpasangan.

Jika terjadi fertilisasi atau pembuahan oleh sel sperma, proses oogenesis
akan melanjutkan ke meiosis II, dan sel oosit sekunder akan membelah diri
kembali menjadi dua sel yang berbeda ukuran: oosit yang lebih besar dan badan
kutub sekunder. Sel oosit yang lebih besar adalah sel yang akan berfungsi
sebagai ovum atau sel telur matang yang siap untuk pembuahan. Sedangkan
badan kutub sekunder adalah sel yang akan terdegradasi atau diserap oleh tubuh.
II. Kromosom

Kromosom adalah struktur berbentuk benang yang terdiri dari protein dan satu molekul
DNA yang berfungsi untuk membawa informasi genomik dari sel ke sel. Pada tumbuhan
dan hewan (termasuk manusia), kromosom berada di dalam inti sel. Manusia memiliki 22
pasang kromosom berangka (autosom) dan satu pasang kromosom seks (XX atau XY),
sehingga totalnya ada 46 kromosom. Setiap pasangan berisi dua kromosom, satu dari ibu
dan satu dari ayah, yang berarti bahwa anak mewarisi separuh kromosom dari ibu dan
separuh dari ayah.
Jumlah dan bentuk kromosom bervariasi di antara organisme hidup. Sebagian besar
bakteri memiliki satu atau dua kromosom melingkar. Manusia, bersama dengan hewan dan
tumbuhan lain, memiliki kromosom linear. Bahkan, setiap spesies tumbuhan dan hewan
memiliki jumlah kromosom yang tetap. Pada manusia, pasangan ke-23 adalah kromosom
seks, sementara 22 pasangan pertama disebut autosom. Biasanya, individu perempuan
secara biologis memiliki dua kromosom X (XX) sedangkan individu laki-laki secara
biologis memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y (XY). Namun, ada pengecualian
untuk aturan-aturan ini. Kromosom juga memiliki ukuran yang berbeda. Kromosom X
manusia sekitar tiga kali lebih besar dari kromosom Y manusia, mengandung sekitar 900
gen, sedangkan kromosom Y memiliki sekitar 55 gen.
II.I. Kelainan Kromosom
Kelainan kromosom, atau aberrasi kromosom, adalah gangguan yang ditandai
oleh perubahan morfologis atau numerik pada satu atau beberapa kromosom, yang
memengaruhi kromosom autosom, kromosom seks, atau keduanya. Kariotipe manusia
normal mengandung sekitar dua meter DNA yang tersusun dalam 46 kromosom: 22
pasang kromosom autosom homolog dan satu set kromosom seks yang terdiri dari dua
kromosom X pada wanita atau satu kromosom X dan satu kromosom Y pada pria.
Semua informasi genetik yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
berasal dari kromosom (sekitar 20 hingga 25 ribu gen). Kelainan kromosom biasanya
melibatkan kesalahan dalam pembelahan sel (mitosis atau meiosis), yang dapat terjadi
pada periode prenatal, postnatal, atau pra-implantasi. Perubahan ini memiliki
konsekuensi klinis yang signifikan, seperti keguguran spontan, kematian lahir,
kematian/neonatal yang memerlukan perawatan di rumah sakit, malformasi, cacat
intelektual, atau sindrom yang dapat diidentifikasi.
Kelainan kromosom dapat dibagi menjadi dua kategori utama. Pertama, ada
kelainan numerik, di mana jumlah kromosom tidak sesuai dengan standar dua pasang
kromosom. Ini termasuk monosomi, di mana satu kromosom hilang, dan trisomi, di
mana terdapat tiga kromosom. Kedua, terdapat kelainan struktural, yang disebabkan
oleh masalah dalam struktur kromosom, seperti translokasi, delesi, duplikasi,
pembentukan cincin, dan inversi. Kelainan ini memiliki implikasi penting dalam
pemahaman kondisi genetik dan dampaknya pada individu yang terkena gangguan ini.
Kelainan kromosom juga dapat diklasifikasikan sebagai konstitusional atau
didapat. Kelainan kromosom konstitusional muncul selama gametogenesis atau
embriogenesis awal dan memengaruhi semua atau sebagian besar sel organisme.
Insidensinya diperkirakan sekitar 20% hingga 50% dari semua konsepsi manusia.
Kelainan kromosom yang didapat biasanya berkembang selama dewasa dan
memengaruhi satu klon sel dengan distribusi tertentu secara eksklusif dalam tubuh.
Perubahan ini terlibat dalam patogenesis banyak neoplasma, yang bukan menjadi
fokus dari tinjauan ini.

III. Sindrom Aspergers

Asperger didefinisikan sebagai gangguan neurobiologis yang menyebabkan defisiensi


yang jelas dalam keterampilan sosial seperti kesulitan dalam berkomunikasi dan mengubah
rutinitas (Iwanami et al., 2011). Gillberg mendefinisikan dan menggambarkan Asperger
sebagai defisiensi sosial, minat terbatas, perilaku wajib tanpa masalah komunikasi verbal
(Maier et al., 2002). Meskipun gangguan Asperger dianggap sebagai ujung fungsional
tinggi dari autisme, masih ada beberapa perbedaan penting seperti kecerdasan normal dan
perkembangan bahasa yang hampir normal pada anak-anak AS (Koyama & Kurita 2008,
Helles, Gillberg, Gillberg, Billstedt, 2016).
Kriteria formal pertama kali diperkenalkan oleh Gillberg dan Gillberg pada tahun 1988,
kemudian oleh Peter Szatmari pada tahun 1989, selanjutnya oleh Klasifikasi Internasional
Penyakit dan Gangguan (umumnya dikenal sebagai ICD-10) pada tahun 1993, dan terakhir
oleh DSM-IV-TR pada tahun 1994 (2002). DSM-IV-TR adalah yang paling sering
digunakan, mungkin karena diakui oleh industri asuransi, komunitas medis, dan terutama
American Psychiatric Association. Sumber-sumber lainnya bertentangan dengan standar
diagnosis yang tercakup dalam DSM-IV-TR. Namun, setiap daftar kriteria tampaknya
memiliki beberapa komplikasi. DSM-IV-TR dan ICD-10 memerlukan sedikit kriteria yang
harus dipenuhi, sehingga memungkinkan diagnosis yang lebih mudah. Dua daftar kriteria
lainnya lebih ketat, tetapi daftar Gillberg dan Gillberg memiliki beberapa komplikasi terkait
gender, dan daftar Szatmari membatasi diagnosis hanya pada orang-orang yang belum
pernah didiagnosis dengan gangguan spektrum autistik lainnya. Dengan standar yang
ditetapkan untuk daftar Szatmari, sangat tidak mungkin untuk didiagnosis dengan Asperger
tanpa sebelumnya didiagnosis dengan bentuk autisme lainnya (Gillberg, 2002).

Berikut adalah standar yang ditetapkan oleh DSM-IV-TR untuk Sindrom Asperger:

A. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, yang ditunjukkan oleh setidaknya dua
dari berikut ini:

(1) gangguan yang nyata dalam penggunaan perilaku nonverbal yang banyak
seperti tatapan mata, ekspresi wajah, postur tubuh, dan gerakan untuk interaksi
sosial yang normal

(2) Gagal mengembangkan hubungan sebaya yang sesuai dengantingkat


perkembangan

(3) Kurangnya usaha spontan untuk berbagi kebahagiaan,minat, atau prestasi


dengan orang lain (misalnya, dengan tidak menunjukkan, membawa, atau
menunjukkan benda-benda minat kepada orang lain)

(4) Ketidakmampuan untuk melakukan pembalasan sosial atau emosional


B. Pola perilaku yang terbatas dan stereotip yang berulang, minat, dan aktivitas, yang
ditunjukkan oleh setidaknya satu dari berikut ini:

(1) keterlibatan yang melingkup dalam satu atau lebih pola minat yang stereotip
dan terbatas yang tidak normal baik dalam intensitas maupun fokus

(2) ketaatan yang tampaknya kaku terhadap rutinitas atau ritual tertentu
nonfungsional

(3) gerakan motorik yang terulang dan stereotip (misalnya, berkedip atau
memutar tangan atau jari, atau gerakan seluruh tubuh yang kompleks)(4)
keterlibatan yang terus-menerus dengan bagian-bagian benda
C. Gangguan menyebabkan gangguan klinis yang signifikan dalam sosial, pekerjaan,
atau area penting lainnya dalam fungsi.
D. Tidak ada keterlambatan umum yang signifikan dalam bahasa (misalnya, kata
tunggal digunakan pada usia 2 tahun, frasa komunikasi digunakan pada usia 3 tahun).

E. Tidak ada keterlambatan umum yang signifikan dalam perkembangan kognitif atau
dalam pengembangan keterampilan diri yang sesuai dengan usia, perilaku adaptif
(selain dalam interaksi sosial), dan ketertarikan pada lingkungan pada masa kecil.

F. Kriteria tidak terpenuhi untuk Gangguan Perkembangan Merata atau Skizofrenia.

BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
I. Penyebab Sindrom Aspergers

Penyebab pasti sindrom Asperger tidak diketahui, dan patologi yang mendasari kondisi
ini tidak dipahami dengan baik. Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa ada faktor-
faktor tertentu selama kehamilan dan setelah kelahiran yang dapat meningkatkan risiko
diagnosis gangguan spektrum autisme pada seorang anak. Faktor-faktor tersebut termasuk
kelainan kromosom (seperti sindrom X rapuh), paparan bahan kimia yang berbahaya,
penggunaan obat resep oleh ibu selama kehamilan (seperti asam valproat untuk kejang atau
gangguan suasana hati, atau thalidomide untuk kecemasan) dan dilahirkan dari orang tua
yang lebih tua atau faktor usia.
I.I. Koorelasi Genetika dengan Aspergers Syndrome
Sindrom Aspergers memiliki tingkat hereditas yang tinggi. Hans Asperger
menggambarkan ciri-ciri umum yang ada di antara anggota keluarga pasiennya, terutama
ayah-ayah, dan penelitian mendukung pengamatan ini serta menunjukkan kontribusi
genetik terhadap sindrom Asperger. Meskipun faktor genetik tertentu belum diidentifikasi,
diyakini bahwa beberapa faktor memainkan peran dalam ekspresi autisme, mengingat
variasi gejala yang terlihat pada anak-anak. Bukti untuk keterkaitan genetik adalah bahwa
AS cenderung berjalan dalam keluarga di mana lebih banyak anggota keluarga memiliki
gejala perilaku terbatas yang mirip dengan AS (misalnya, beberapa masalah dalam interaksi
sosial, atau dalam bahasa dan keterampilan membaca). Sebagian besar penelitian genetika
perilaku mengindikasikan bahwa semua gangguan spektrum autisme memiliki mekanisme
genetik yang sama.
I.II. Koorelasi Kromosom dengan Aspergers Syndrome
Adanya terjadi penghapusan interstisial 3p22.1p21.31 (2,456 Mb dalam ukuran)
pada seorang anak yang mengidap sindrom Asperger, dermatitis seboroik, dan
pankreatitis kronis. Menurut literatur yang tersedia, wilayah kromosom ini tidak
pernah dihapus pada anak-anak dengan ASD. Namun, analisis sebelumnya tentang
penyambungan telah memetakan AS pada 3p21-3p24 . Penghapusan melibatkan 4 gen
yang terkait dengan penyakit autosomal resesif, dan tidak satupun yang diamati pada
kasus ini. Untuk mengevaluasi konsekuensi fungsional dari kehilangan gen, telah
dianilisis gen-gen ini dengan menggunakan metodologi bioinformatika asli. Pemilihan
area otak untuk prioritas gen melalui profil ekspresi gen dilakukan berdasarkan Amaral
dkk. , yang telah merangkum daerah otak yang terpengaruh dalam ASD. Profil ekspresi
gen in silico dari gen-gen yang dihapus menggunakan BioGPS menunjukkan bahwa
CCK adalah gen calon yang paling mungkin untuk AS. Meskipun NKTR dan HHATL
juga menunjukkan peningkatan ekspresi dalam area otak yang relevan, CCK telah
menunjukkan ekspresi tertinggi (skor prioritas). CCK mengkodekan kolesistokinin,
sejenis peptida otak/usus yang merangsang pelepasan enzim pankreas dan kontraksi
kandung empedu. Peran CCK dalam fungsi otak masih belum jelas. Namun, ia

diketahui terlibat dalam berbagai gangguan neuropsikiatrik dan perilaku makan normal
atau patologis. Variasi jumlah salinan genomik CCK belum pernah dikaitkan dengan
ASD.
Saat ini, analisis kelainan kromosom dalam AS telah menyarankan beberapa
gen calon: NIPA1, MINK1 dan MINK2, ZFP536, LFNG. Studi asosiasi dan
penyambungan genom tidak menemukan sinyal yang jelas pada gen untuk AS. Oleh
karena itu, dapat disarankan bahwa penemuan gen calon AS yang baru adalah
kontribusi berharga bagi penelitian ASD.
Selain itu, ada lagi studi yang diterbitkan jurnal Molecular Autism
mengkonfirmasi penelitian yang menyatakan bahwa orang dengan Sindrom Asperger
(AS) lebih cenderung membawa variasi tertentu dalam gen tertentu. Lebih menariknya
lagi, penelitian ini mendukung temuan yang telah ada bahwa gen yang sama juga
berhubungan dengan sejauh mana empati yang biasanya ditunjukkan oleh individu
dalam populasi umum. Penelitian ini dilakukan oleh tim peneliti yang dipimpin oleh
Profesor Baron-Cohen di Autism Research Centre di Universitas Cambridge. Sindrom
Asperger adalah sebuah kondisi dalam spektrum autisme. Para peneliti mencari variasi
sekuens (disebut Single Nucleotide Polymorphisms atau SNPs) dalam gen yang
dikenal sebagai GABRB3 pada total 530 orang dewasa - 118 di antaranya memiliki
diagnosis AS dan 412 orang lainnya tanpa diagnosis.
Tim menemukan bahwa beberapa SNP dalam GABRB3 secara signifikan lebih
umum pada orang dengan AS. Mereka juga menemukan bahwa variasi genetik
tambahan dalam gen yang sama terkait dengan skor pada ukuran empati yang disebut
Empathy Quotient (EQ) dalam populasi umum. Berbeda dengan penelitian
sebelumnya yang memeriksa orang dalam spektrum kondisi autistik, studi baru ini
hanya melibatkan orang dengan AS, sebagai kelompok individu yang terdefinisi
dengan baik dalam kategori ini. Para peneliti memeriksa gen GABRB3 yang mengatur
fungsi neurotransmitter yang disebut gamma-aminobutyric acid (GABA) dan
mengandung beberapa SNP yang bervariasi di seluruh populasi.
Para sukarelawan diuji untuk 45 SNP dalam gen kunci ini. Tim sebelumnya
telah menemukan bahwa SNP dalam gen ini lebih umum pada orang dewasa dengan
AS dan juga menunjukkan hubungan dengan tingkat empati dan sensitivitas taktil
(seberapa sensitif seseorang terhadap sentuhan) dalam populasi umum. Dalam menguji
sampel sukarelawan yang belum pernah ikut dalam penelitian sebelumnya, para
peneliti menemukan bahwa tiga dari SNP tersebut kembali lebih umum pada orang
dengan AS, dan dua SNP yang berbeda dalam gen yang sama kembali terkait dengan
tingkat empati dalam populasi umum, mengkonfirmasi bahwa gen ini terlibat dalam
kondisi spektrum autisme.
I.III. Koorelasi Asperger dengan Paparan Bahan Kimia
Paparan bahan kimia adalah salah satu kondisi kehamilan paling umum yang
terkait dengan efek buruk pada keturunan. Sebagai contoh, wanita hamil yang
menggunakan ganja selama kehamilan memiliki risiko 1,5 kali lebih tinggi untuk
melahirkan anak dengan autisme, dan risiko autisme pada keturunan juga terkait
dengan paparan pestisida pada ibu.
Penggunaan model hewan dapat memberikan wawasan tentang perilaku
keturunan autisme dan membantu memahami mekanisme efek paparan senyawa
xenobiotik selama kehamilan terhadap perilaku autisme. Paparan ibu terhadap
pestisida telah terbukti mengubah perkembangan sel saraf dan perilaku pada keturunan
hewan. Penelitian epidemiologis telah menunjukkan bahwa paparan herbisida glifosat
pada ibu meningkatkan kejadian autisme pada keturunan.
I.IV. Koorelasi Asperger dengan Penggunaan Obat Tertentu
Pada tahun 2019, para peneliti memeriksa darah tali pusar wanita yang
mengonsumsi acetaminophen selama kehamilan. Ini adalah teknik yang menarik,
karena acetaminophen mengalami metabolisme cepat, sehingga mendeteksi zat ini
dalam darah tidaklah mudah. Tetapi melihatnya membantu para peneliti memahami
seberapa banyak unsur ini berpindah dari ibu ke bayi. Mereka menemukan bahwa
paparan yang lebih tinggi mengakibatkan risiko autisme yang lebih tinggi. Hubungan
yang bergantung pada dosis seperti ini menunjukkan bahwa risiko dan penggunaan
berjalan beriringan. Semakin banyak seorang wanita mengonsumsinya, semakin
banyak potensi kerusakan yang dia timbulkan pada bayinya.
Kejang adalah badai listrik dalam otak, dan mereka sangat berbahaya bagi
wanita hamil dan bayi yang dikandungnya. Asam valproat adalah obat antikejang, dan
bisa menjadi bagian dari rencana pengobatan seorang wanita. Namun, obat ini bisa
meningkatkan risiko autisme. Dalam sebuah studi besar yang dilakukan pada tahun
2015, para peneliti menemukan bahwa risiko autisme secara signifikan meningkat
ketika wanita mengonsumsi asam valproat selama kehamilan. Hasil ini telah diulang
dalam studi yang dilakukan dengan hewan.

II. Mencegah Sindrom Aspergers


Sama seperti autisme, Asperger tidak dapat dicegah atau disembuhkan sepenuhnya. Tidak
ada terapi medis khusus yang dapat efektif menyembuhkan semua gejala autisme. Namun,
obat-obatan dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk perilaku maladaptif dan masalah
mental yang muncul bersamaan. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gangguan inti,
meningkatkan kemampuan fungsional, dan mengurangi perilaku berbahaya yang dapat
membatasi keterampilan fungsional. Individu dengan aspergers membutuhkan penanganan
yang khusus supaya mereka dapat mengoptimalkan potensi dan mencapai kualitas hidup yang
lebih baik, terutama dalam ketrampilan sosialnya. Penanganan yang khusus juga harus
disesuaikan dengan kebutuhan individu itu sendiri, berdasarkan intensitas dan karakteristik
tersendiri mereka.

Antipsikotik atipikal risperidone (Risperdal) dan aripiprazole (Abilify) adalah dua-satunya


obat yang disetujui oleh FDA untuk membantu mengurangi iritabilitas pada anak-anak dan
remaja autistik. Kategori obat baru ini memiliki efek samping yang berbeda dengan
antipsikotik asli. Obat antipsikotik diyakini bekerja dengan memengaruhi dopamin, sejenis
neurotransmitter dalam otak yang terkait dengan kenikmatan dan penghargaan. Dopamin juga
diyakini berkontribusi pada suasana hati dan pengambilan keputusan.

Terdapat berbagai jenis terapi yang dapat bermanfaat bagi individu dengan Asperger atau
gangguan spektrum autisme (ASD). Pertama ada terapi fisik bertujuan untuk meningkatkan
koordinasi dan keseimbangan tubuh, membantu individu dalam berfungsi lebih baik dalam
kehidupan sehari-hari. Kedua, terapi wicara ditujukan untuk meningkatkan kemampuan
berbicara, berkomunikasi, dan pemahaman bahasa, yang memungkinkan individu dengan AS
berkomunikasi dengan lebih jelas dan mengatasi masalah dalam komunikasi. Ketiga, terapi
okupasi membantu individu mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk berfungsi
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk keterampilan pekerjaan, sehingga mereka dapat
merencanakan karir dan menjadi lebih mandiri. Terapi keluarga atau hubungan bertujuan untuk
memperbaiki hubungan sosial dan interpersonal individu dengan orang lain, membantu mereka
memahami dan memperbaiki hubungan dengan teman-teman, keluarga, dan orang yang
mereka cintai. Keuntungan utama dari terapi-terapi ini meliputi peningkatan keterampilan
sosial dan komunikasi, kemampuan mengatasi hambatan sensorik dan perhatian, serta
pembangunan strategi penanganan untuk menghadapi situasi yang menantang.

BAB IV
KESIMPULAN
Asperger adalah suatu kondisi dalam spektrum autisme yang memengaruhi kemampuan
individu dalam berinteraksi sosial dan berkomunikasi. Faktor penyebab utama Asperger adalah
genetika, meskipun kombinasi genetika dan faktor lingkungan juga dapat memainkan peran.
Penanganan Asperger melibatkan berbagai pendekatan terapi, termasuk terapi perilaku, terapi
wicara, terapi okupasi, dan terapi sosial. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan
sosial, komunikasi, dan adaptasi sehari-hari individu dengan Asperger. Penting untuk
memberikan dukungan yang sesuai dan memahami kebutuhan individu dengan Asperger agar
mereka dapat mencapai potensi maksimal mereka dan berfungsi dengan baik dalam kehidupan
sehari-hari serta dalam hubungan sosial. Dengan pendekatan yang tepat, individu dengan
Asperger dapat hidup mandiri dan bahagia dalam masyaraka
DAFTAR PUSTAKA
Gramedia. 2023. "Pembelahan Sel." Gramedia Literasi. URL:
https://www.gramedia.com/literasi/pembelahan-sel/https://www.alodokter.com/mengenal-
spermatogenesis-dan-
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing.
Baron-Cohen, S., & Belmonte, M. K. (2005). Autism: A window onto the development of the
social and the analytic brain. Annual Review of Neuroscience, 28, 109-126.
Gillberg, C., & Gillberg, C. (1989). Asperger syndrome—some epidemiological
considerations: A research note. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 30(4), 631-638.
World Health Organization. (1993). The ICD-10 classification of mental and behavioral
disorders: Diagnostic criteria for research. World Health Organization.
Wing, L. (1981). Asperger's syndrome: A clinical account. Psychological Medicine.
Deepublish. (2019, 24 September). Cara Melejitkan Kemampuan Teknik Menulis dalam
Sekejap!. Diakses pada 25 September 2019, dari https://penerbitdeepublish.com/teknik-menulis-a-2/
Hello Sehat. (2023). Pengertian Kromosom: Struktur dan Fungsi. Diakses pada 31 Oktober
2023, dari https://hellosehat.com/sehat/informasi-kesehatan/pengertian-kromosom-adalah/
Akupintar. (2022). Spermatogenesis: Proses Terbentuknya Sperma. Diakses pada 31 Oktober
2023, dari https://akupintar.id/info-pintar/-/blogs/spermatogenesis-proses-terbentuknya-sperma
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. (2023, 5 September). Pengertian Kromosom:
Struktur, Fungsi, dan Peran dalam Pewarisan Genetik. Diakses pada 31 Oktober 2023, dari
https://umsu.ac.id/berita/pengertian-kromosom-struktur-fungsi-dan-peran-dalam-pewarisan-genetik/
PsychCentral. (2021, 21 April). What Causes Asperger's Syndrome? Diakses 31 Oktober
2023, dari https://psychcentral.com/autism/what-causes-aspergers-syndrome

Anda mungkin juga menyukai