Dua hari lalu, Pondok Pesantren Cipasung (Tasikmalaya) memperingati haul ke-46
sang pendiri, almaghfurlah KH Ruhiat. Pada haul tersebut,
Sumber: https://www.nu.or.id/nasional/haul-kiai-ruhiat-dan-kiai-ilyas-ruhiat-bukan-
sekadar-memperingati-tetapi-harus-meneladani-EumvD
Selama ini, beberapa biografi tokoh NU di masa lalu, khususnya pada masa kolonial
Belanda, ditulis tanpa menunjukkan aktivisnya di organisasi yang dipimpinnya.
Seolah-olah perjuangan tokoh tersebut di NU sudah dimafhum begini begitu atau sama
sebangun dengan tokoh-tokoh lain di daerah berbeda. Padahal seorang tokoh lahir
dalam konteks dan perannya masing-masing.
Sebagai misal, semua orang tahu KH Abbas Buntet adalah tokoh NU, tapi jarang
penulis yang menunjukkannya aktivitasnya di NU selain berperan pada perang 10
November di Surabaya pada 1945. Padahal karena saat itu ia seorang syuriyah HBNO
(sekarang PBNU) semestinya banyak kegiatan NU Cirebon yang dihadirinya, di Jawa
Barat, bahkan di daerah lain.
Beruntung KH Abbas Buntet memiliki pesantren dengan para santri serta anak cucu
yang yang istiqamah memperkuat NU dari masa ke masa sehingga tak akan ada pihak
yang membiaskan atau membelokkan riwayat hidupnya dari NU. Lain dengan KH
Syam’un dari Serang yang merupakan Wakil Rais Syuriyah NU pada tahun 1930-an.
Pada saat ia ditetapkan jadi pahlawan nasional pada 2018, tak satu pun penulis
menyebutnya sebagai tokoh NU. Padahal, sebagai seorang pengurus NU aktif, ia
bersama KH Abdul Latif Cibeber hadir di muktamar ke-5 di Pekalongan pada 1930
(lihat Swara Nahdlatoel Oelama) dan muktamar ke-11 di Banjarmasin 1936 (lihat Berita
Nahdlatoel Oelama). Bukti dia tokoh NU diabadikan Gunseikanbu yang terbit 1943
yang memuat tokoh-tokoh terkemuka di pulau Jawa.
Begitu pula KH Ruhiat, pendiri Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Ayahanda dari Rais
Aam PBNU 1994-1999 KH Ilyas Ruhiat tersebut jarang dipaparkan penulis bagaimana
berkeringat menanamkan di Tasikmalaya hingga pesisir selatan Ciamis dan
Pangandaran. Jarang ditemukan aktivitasnya naik dan turun dari satu podium ke
podium di acara NU; hatta kehadirannya dalam muktamar serta laporannya abai
terpublikasikan.
Data-data atau informasi semacam itu, bukan tidak ada. Para pengurus NU di masa
lalu telah menyediakannya di Swara Nahdlatoel Oelama, Oetosan Nahdlatoel Oelama, dan
Berita Nahdlatoel Oelama dan juga di koran-koran umum yang terbit pada masa itu. Juga
pada media yang diterbitkan di internal sebuah cabang NU, misalnya majalah Al-
Mawaidz dengan slogan Pangrodjong NO Tasikmalaja; sebuah majalah yang terbit
dwimingguan dengan menggunakan bahasa Sunda.
KH Ruhiat lahir pada 11 November 1911 dari pasangan Abdul Ghofur dan Umayah.
Semasa kecil ia dikirim ke pesantren terkenal di Singaparna saat itu, Pesantren Cilenga,
yang diasuh oleh Kiai Sobandi atau Syabandi, murid Syekh Mahfudz at-Tarmasi. Di
Cilenga saat itu didirikan sekolah tingkat menengah Matla' an-Najah. Ruhiat mengaji di
Cilenga pada 1922-1926.
KH Ruhiat tercatat di dua komite yaitu pada Komite Batjaan Lid (anggota) dan
pemimpin pada Komite Propaganda. Keberadaannya di 2 komite tersebut
menunjukkan ia terampil dalam kedua bidang tersebut.
Dalam akhir tulisan ini, akan lebih fokus pada bagian kedua, yaitu Komite Propaganda.
Secara bahasa, menurut KBBI daring, propaganda berarti:
1. n penerangan (paham, pendapat, dan sebagainya) yang benar atau salah yang
dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran,
sikap, atau arah tindakan tertentu: -- biasanya disertai dengan janji yang muluk-
muluk
2. n cak reklame (seperti menawarkan obat, barang dagangan, dan sebagainya):
perusahaan itu giat melakukan -- produknya
Moal boa anu ngadarangukeun téh sumpingna ka bumi rébo ku rupa-rupa naséhat lenyepaneun
sabumina-sabumina.
Minggoe anoe anjar kaliwat para moeballig A. Roehijat Tjipasoeng, A. Damini Kebon Kalapa, A.
H. Moenir Tjitjaroelang djeung A. Hidajat Tjipasoeng geus ngajakeun tabligh di Gorowong alas
Soekaradja kalawan pamoendoetna sawatara doeloer di eta tempat.
Oepama nendjo kana perdjalanana nya eta ngaliwatan leuweung loewang liwoeng gawir noe
loengkawing, asa ti mana pidjelemaeunana noe baris ngahadiran kana tablig. Tapi barang geus
deukeut kana waktoena tablig diboeka, djelema pohara nojekna, teu beda djeung di tempat-
tempat sedjen. (Al-Mawaidz, Agustus 1936).
Buah Perjuangan
Pada medio 1930-an NU Cabang Tasikmalaya merupakan salah satu cabang dinamis,
meskipun banyak tantangan dan stigma dari berbagai pihak, tetap menuai banyak
perkembangan, bahkan kemajuan; baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Di antara
kesuksesan cabang ini adalah dalam pengelolaan zakat baik maal maupun fitrah yang
dikelola secara transparan dan dilaporkan ke publik melalui majalah Al-Mawaidz dan
koran Sipatahoenan. Pernah dalam setahun, cabang NU Tasikmalaya menyalurkan zakat
kepada 10.000 orang mustahiq. (Al-Mawaidz, 1936)
Tanpa mengcilkan peran tokoh lain, di antara perkembangan dan kemajuan serta
keharuman NU Tasikmalaya pada saat itu ada tetes keringat almaghfulah KH Ruhiat
Cipasung, yang sehari lalu kita peringati haulnya yang ke-46. Sebagaimana judul berita
yang dimuat di NU Online, haul KH Ruhiat bukan sekadar untuk diperingati, tapi
diteladani. (NU Online: https://www.nu.or.id/nasional/haul-kiai-ruhiat-dan-kiai-
ilyas-ruhiat-bukan-sekadar-memperingati-tetapi-harus-meneladani-EumvD).
Alfatihah…
Sumber: