Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Latar belakang terjadinya pemberontakan PKI Madiun 1948 adalah karena adanya kekecewaan
terhadap hasil Perjanjian Renville yang disepakati pada 17 Januari 1948. Perjanjian ini dianggap
merugikan Indonesia, karena perjanjian ini membuat dikuasainya banyak wilayah oleh Belanda.

1.2. Perumusan Masalah

Berikut perumusan masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, diantaranya:
a. Jelaskan latar belakang Pemberontakan PKI Madiun
b. Bagaimana Pemberontakan PKI Madiun berlangsung
c. Bagaimana usaha pemerintahan jaya negara mengatasi Pemberontakan PKI Madiun

1.3. Tujuan

Tujuan pemberontakan PKI Madiun 1948 adalah gerakan untuk menggulingkan pemerintahan
yang sah, yaitu Republik Indonesia dan mengganti landasan negara. Gerakan atau
pemberontakan PKI Madiun 1948 dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dan Muso.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

Lahirnya PKI di Indonesia

PKI didirikan pada tanggal 23 Mei 1920 dalam zaman imperialism, setelah di Indonesia ada
kelas buruh dan dibentuknya Indonesische Sociaal Democratsche Vereniging ( ISDV ) yang
didirikan oleh tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet. Berdirinya Partai komunis Indonesia atau
yang sering dikenal dengan PKI tentu memiliki sebab, yakni untuk melawan kapitalisme yang
berkembang pesat di Indonesia. PKI adalah partai politik yang terbentuk dan berkembang
pada masa Pergerakan Nasional di Indonesia.

Menurut D. N Aidit ( 1955 : 9-10 ) tentang Perkembangan Partai dalam bukunya “ Lahirnya dan
perkembangan PKI “ mengatakan:
Bahwa lahirnya PKI didahului oleh berdirinya serikat buruh-buruh dan ISDV dapat diterangkan
sebagai berikut : dalam tahun 1905 berdiri serikat buruh kereta api yang bernama SS-Bond.
Dalam tahun 1908 berdiri VSTP ( Verenigingen van Spoor en Tram Personeel ), suatu serikat
buruh kereta api yang militant. Tetapi kemajuan kesadaran klas buruh Indonesia sudah
menghendaki organisasi yang tidak hanya membatasi diri pada perjuangan serikat buruh. Bulan
Mei 1914 di Semarang berdirilah ISDV, organisasi politik yang menghimpun intelektual-
intelektual revolusioner Indonesia dan Belanda yang bertujuan menyebarkan Marxisme
dikalangan kaum buruh dan Rakyat Indonesia. ISDV inilah yang pada tanggal 23 Mei 1920
meleburkan diri menjadi Partai Komunis Indonesia ( PKI ).

Sejarah berdirinya Partai Komunis Indonesia atau yang dikenal dengan PKI ini sudah terjadi
sejak kolonial Belanda. Ada banyak tokoh atau pemimpin Indonesia yang pada saat itu bekerja
sama baik dengan partai sosialis yang berkembang di Belanda. Sejak awal berdiri langkah yang
diambil oleh partai ini adalah mengkampanyekan peningkayan standart hidup rakyat Indonesia
agar benar-benar hidup mandiri.

Berdirinya PKI disambut hangat oleh kaum buruh, kaum tani serta golongan rakyat lainnya.
Selain itu PKI juga mendapat sambutan dari kalangan tentara, sehingga perkembangannya
sangat cepat. ( D. N Aidit 1955 : 12 ) “dalam waktu yang singkat kaum komunis sudah
mempunyai pengaruh yang besar dalam persatuan pergerakan kaum buruh”. Ini merupakan
permulaan yang baik dalam pergerakan buruh.

Sebenarnya pada awal ISDV sulit berkembang di Indonesia. Karena orang-orang


menganggap bahwa ISDV merupakan organisasi bangsa asing. Selain itu kurangnya pemahaman
masyarakat tentang tujuan ISDV serta kurangnya sumber daya manusia pada waktu itu. Cara
yang ditempuh agar bisa di kenal banyak orang yaitu dengan cara menggabungkan diri dengan
Serikat Islam ( SI ). Disini munculnya PKI merupakan akibat dari terpecahnya tubuh Serikat Islam
menjadi dua kubu, yaitu SI Merah ( Komunis ) dan SI Putih ( Religius ).

Penjelasan Moh. Heris ( 2016 : 22 ) dalam skripnya sebagai berikut:


Pada awalnya bergabungnya dua kelompok tersebut belum terjalin suatu hubungan yang baik
yaitu terlihat dalam kongres nasional SI pertama di Surabaya. Kongres tersebut dilaksanakan
tahun 1916 dimana belum terlihat ada kemauan dari SI untuk menjalin kerjasama dengan ISDV.
Nanti ada sedikit kemajuan yang dicapai yakni mulai terdapat wacana untuk mengadakan
sebuah pembaruan diantara prinsip-prinsip islam dan juga sosialisme.

Sejarah PKI dari tahun ketahun bukanlah sejarah yang tenang dan damai, tetapi sejarah
yang mengalami banyak pergolakan, banyak marabahaya, banyak kesalahan dan banyak
pengorbanan. Tetapi selain itu juga mengandung sejarah yang heroic dan banyak peristiwa yang
dapat dijadikan pembelajaran untuk kehidupan kedepannya.

2.2. Teori Sosial Yang Digunakan

Kepemimpinan Dalam Gerakan Sosial

Suatu gerakan sosial menurut Patrick Guinnes dalam jurnal Kepemimpinan Sebagia
Katalisator Dalam Gerakan Sosial (tanpa keterangan tahun) dapat
didefinisikan sebagai suatu usaha bersama yang melibatkan lebih dari satu
masyarakat setempat atau berbentuk lebih dari satu kejadian dana memakai suatu
usaha yang berencana untuk mengadakan perombakan dalam pemikiran, tingkah
laku dan hubungan sosial.

Timbulnya suatu gerakan terdantung dari adanya keinginan para pengikut


untuk mengadakan perubahan, biasanya keinginan untuk hidup yang lebih baik.
Setiap pemimpin yang memimpin gerakan sosial haruslah memiliki kekuatan yang
dapat memberikan daya tekan kepada para pengikutnya, serta memiliki sesuatu
yang dapat memberikan kewibawaan dan meningkatkan kewibawaannya tersebut.

Pemimpin yang memiliki dukungan dari pengikut yang kuat dapat


melakukan intervensi terhadap kaum yang tidak ingin mengikuti mereka.

Untuk menarik perhatian para pengikut maka seorang pemimpin harus dapat
menunjukkan prospek yang baik di masa depan, menjamin kemakmuran dan
keamanan pada waktu mendatang, sehingga pemimpin dapat menggerakan
pengikutnya. Tetapi perjuangan untuk merebut pengaruh memerlukan pengorbanan
materi dari para pengikutnya, yang mungkin setiap saat mengatakan bahwa
pengorbanan sekarang tidak memberikan manfaat dimasa depan. Keseimbangan
yang mudah goyah ini merupakan kesempatan juga sedikit kepada pemimpin untuk
melaksanakan rencana jangka panjang yang memberikan manfaat yang sedikit
dalam waktu dekat. Para pemimpin gerakan-gerakan sosial diulas dengan cara yang
hati-hati karena ketidakpastian atas kekuasaan mereka.
Jatuhnya seorang pemimpin gerakan sosial tidak diikuti dengan pengganti
yang cepat oleh pemimpin lain, sama halnya dengan dalam politik yang tradisionil.
Rakyat mungkin putus asa seperti sebelumnya, dan karena kegagalan yang
sekakrang menyebabkan mereka lebih apatis pada kegiatan-kegiatan selanjutnya.
Oleh karena itu sangat sulit bagi seorang pemimpin di masa depan untuk mencari
pengikut. Faktor yang menentukan disini adalah bahwa gerakan-gerakan sosial
tidak dianggap biasa dalam suatu masyarakat, tetapi hanya menyatakan reaksi yang
spontan kepada seorang pemimpin yang terkemuka.

Kegagalan mencapai tujuan mereka menyebabkan para pemimpin dan


seluruh ide gerakan tersebut menjadi diragukan. Berbeda dengan masyarakat yang
telah tinggi kesadaran politiknya kegagalan seorang pemimpin tidak akan
menghancurkan kesetiaan pada ideologi, akibatnya dapat menyelamatkan banyak
kegagalan yang dibuat oleh beberapa pemimpin dalam melaksanakan janji-janji
mereka tanpa merusak sistem politik.

Agar gerakan-gerakan sosial dapat berhasil dan menjadi (saluran) yang


berguna bagi aksi dalam pembangunan, mereka harus sanggup memperoleh
hasilnya dengan pengarahan kepada tujuan-tujuan yang pasti. Pemimpin-pemimpin
hendaknya harus hati-hati agar jangan terlalu banyak memberikan janji yang
berlebihan dan harus mencari perbaikan dalam waktu yang singkat. Hanya
kemudian mungkin ada persetujuan dalam kebudayaan, maka berubah menjadi
lembaga, dimana lembaga ini akan kekal dan berfungsi walapun pemimpin yang
asli telah tiada.

Apabila Pemerintah tidak dapat (membantu) gerakan ini untuk mencapai


sebagian dari tujuannya, maka kegagalan yang tidak dapat dihindarkan akan
menyebabkan apatisme terhadap usaha-usaha pembangunan yang akan
dilaksanakan dikemudian hari.

Sementara menurut pandangan Maxwell yanng disampaikan dalam artikel


Rivan Tri Yuono (2015) Di Indonesia, jika kita berbicara mengenai kepemimpinan,
maka akan dikaitkan dengan kekuasaan, dan kekuasaan erat kaitannya dengan
politik. Hal ini merupakan pola pikir yang sangat sempit ketika kita hanya
mengaitkan kepemimpinan dengan politik. Padahal kepemimpinan tak serta merta
berbicara tentang politik. John C. Maxwell, mengatakan bahwa Kepemimpinan
adalah pengaruh tidak lebih yakni kemampuan memperoleh pengikut dan setiap
orang masing-masing dapat mempengaruhi dan dipengaruhi orang lain.

Menurut Maxwell kepemimpinan itu sejatinya berkembang setiap hari.


Kemampuan memimpin bukan hanya suatu bakat dari lahir, tetapi itu merupakan
kumpulan dari berbagai keterampilan, yang hampir seluruhnya dapat dipelajari
serta ditingkatkan. Namun, diperlukan suatu proses yang tidak terjadi hanya dalam
sehari semalam, karena aspek kepemimpinan sangat banyak antara lain,
kehormatan, pengalaman, kekuatan, emosional, keterampilan membina hubungan
dengan sesama, disiplin, visi, dan sebagainya. Maxwell mengatakan
bahwa pemimpin yang sukses adalah orang yang belajar, dimana proses belajarnya
berkelanjutan, sebagai hasil dari disiplin pribadi dan ketekunan. Jadi kepemimpinan
berjalan dari hari ke hari dimana sasaran setiap harinya haruslah menjadi sedikit
lebih baik atau membangun di atas kemajuan hari sebelumnya (Maxwell, 2001).
Kepemimpinan tidaklah berkembang dalam satu hari melainkan seumur hidup.
Jadi, setiap orang yang ingin menjadi pemimpin harus melalui proses karena
kepemimpinan tidak dapat terjadi hanya dalam sekejap.

Kesimpulan dari uraian Maxwell menyatakan bahwa kepemimpinan itu


perlu untuk mengembangkan orang lain, menjadikan orang lain pemimpinpemimpin baru yang
dapat memimpin orang lain. Ketika seorang pemimpin dapat
melahirkan pemimpin yang sama dengannya atau bahkan lebih besar darinya maka
dialah pemimpin sejati. Posisi pemimpin sejati tidak dapat tergantikan karena telah
menghasilkan pemimpin lainnya. Kunci dalam memberdayakan orang lain adalah
keyakinan yang besar terhadap orang lain. "memperbesar orang lain akan
memperbesar anda" itulah dampak hukum pemberdayaan (Maxwell, 2001).
BAB III
PEMBAHASAN

Pemberontakan PKI Madiun 1948

Gambar 3.1

3.1. Jelaskan latar belakang pemberontakan PKI Madiun 1948

Pemberontakan PKI di Madiun tidak bisa dipisahkan dari peristiwa jatuhnya kabinet Amir
Syarifuddin pada 1948.

Saat itu, Amir Syarifuddin menandatangani Perjanjian Renville yang ternyata hasil
perundingannya sangat merugikan Indonesia.

Perjanjian Renville

Salah satu hal paling utama terjadinya pemberontakan di Madiun karena Perjanjian Renville. Di
mana dalam perjanjian tersebut Indonesia sangat dirugikan.

Belanda dianggap menjadi pihak yang paling diuntungkan, dan pihak Kabinet Amir menjadi
jatuh. Banyak sekali rakyat dan pemerintah yang menyalahkan Amir karena pada saat itu dia
yang menjadi perwakilan Indonesia.
Dengan kemunduran Amir, Presiden Sukarno menyuruh Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk
kembali menyusun kabinet baru. Saat itu Kabinet Hatta tersusun tanpa keikutsertaan golongan
sosialis maupun golongan kiri.

Pembentukan FDR

Saat itu Amir turun dari kabinetnya dan diganti oleh Kabinet Hatta. Merasa kecewa, Amir dan
kabinetnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948.

Saat itu, Amir menjadi bagian dari partai oposisi di kabinet susunan Hatta. FDR merupakan
golongan yang menyatukan komunis dan golongan sosialis kiri.

Partai Komunis Indonesia (PKI) berasal dari satu kekuatan Front Demokrasi Rakyat. PKI adalah
partai yang memperjuangkan visi dan misinya untuk mendirikan negara sosialistis di Indonesia
sesuai dengan apa yang tertera dalam anggaran dasar partai.

Pembentukan FDR tidak hanya terdiri dari sekelompok masyarakat yang tergabung, melainkan
juga melibatkan partai lainnya, seperti :

 Partai Sosialis Indonesia


 Partai Komunis Indonesia
 Pemudia Sosialis Indonesia
 Partai Buruh Indonesia
 Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia

Beberapa partai yang tergabung dalam FDR memperkuat aksi yang dilakukan oleh Amir
Syarifuddin dan kelompoknya untuk merebut kekuasaan kabinet pada sistem pemerintahan
yang sedang berjalan pada waktu itu.

Muncul Doktrin Baru

Muso dan Amir mendeklarasikan pimpinan dibawah mereka. Muso dan Amir menggoyahkan
kepercayaan masyarakat dengan menghasut dan membuat semua golongan menjadi
bermusuhan dan mencurigai satu sama lain.

Menolak Rasionalisasi Kabinet Hatta

Kabinet Hatta melakukan rasionalisasi dan reorganisasi dalam upaya peperangan yang berisi:

 Pembubaran dari pemegang pimpinan TNI beserta gabungan angkatan perang.


 Staf angkatan umum perang dan wakilnya diangkat untuk sementara waktu
 Panglima angkatan perang mobil ditetapkan oleh presiden untuk diberikan kepada
Jenderal Sudirman
 Staf markas besar pertempuran juga dilakukan pengangkatan sementara

Keputusan tersebut yang membuat Muso marah dan menolak rasionalisasi tersebut. PKI saat itu
didukung oleh dua kader politik besar, yaitu Masyumi dan PNI.

3.2. Bagaimana pemberontakan PKI Madiun 1948 berlangsung

Peristiwa Madiun 1948 adalah sebuah konflik antara pemerintah Republik Indonesia dan
kelompok oposisi sayap kiri yaitu Front Demokrasi Rakyat selama Revolusi Nasional Indonesia.
Front Demokrasi Rakyat terdiri atas Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis, Partai Buruh
Indonesia, SOBSI, dan Pesindo. Konflik ini dimulai pada tanggal 18 September 1948 di Madiun,
Jawa Timur, dan berakhir tiga bulan kemudian ketika sebagian besar pemimpin dan anggota FDR
ditahan dan dieksekusi oleh pasukan TNI.

Peristiwa Sebelum Pemberontakan

Jatuhnya Kabinet Amir Sjarifoeddin dan Pembentukan Kabinet Hatta

Pendapat mengenai pemicu konflik berbeda-beda. Menurut Kreutzer, jatuhnya kabinet Amir
Sjarifoeddin pada Januari 1948 merupakan cikal bakal Peristiwa Madiun. Sebelumnya, pada
pertengahan tahun 1947, Partai Sosialis terpecah menjadi dua faksi; satu faksi dipimpin oleh
Amir Sjarifoeddin dan faksi yang lebih kecil dipimpin oleh Sutan Sjahrir. Oposisi kelompok Sjarir
semakin besar karena Sjarifoeddin sangat menekankan keselarasan mereka dengan Rusia dan
kesejahteraan kelas. Sjahrir percaya bahwa doktrin Marxis tentang kesejahteraan kelas tidak
dapat diterapkan di masyarakat Indonesia karena tidak ada borjuasi Indonesia seperti itu, dan
bahwa Indonesia harus mempertahankan netralitas positif, sehingga Indonesia dapat
berkontribusi pada perdamaian dunia. Mereka benar-benar berpisah segera setelah
pembentukan kabinet presidensial Hatta.

Masa jabatan perdana menteri Sjarifoeddin berakhir pada 28 Januari 1948. Sebelumnya, Sjahrir,
Dr. Leimena, dan beberapa aktivis politik mendekati Hatta dan memintanya menjadi perdana
menteri berikutnya. Hatta setuju dengan syarat mendapat dukungan PNI dan Masyumi.
Didorong oleh kebutuhan untuk membentuk kabinet dengan dukungan nasional (baik sayap
kanan maupun sayap kiri), Hatta menawarkan kepada fraksi Sjarifoeddin beberapa posisi di
kabinet. Mereka menolak tawaran Hatta dan menuntut posisi kunci, termasuk posisi Sjarifoeddin
sebagai Menteri Pertahanan (Dalam kabinet sebelumnya, Sjarifoeddin adalah Perdana Menteri
dan Menteri Pertahanan) sebagai imbalan atas dukungan mereka terhadap pemerintahan Hatta.
Perundingan gagal, dan pada 31 Januari 1948, Hatta akhirnya membentuk kabinet tanpa
golongan sayap kiri. Dua orang anggota Partai Sosialis dimasukkan ke dalam kabinet atas
permintaan kuat Sjahrir. Sjahrir dan kedua anggota kabinet itu dikeluarkan dari Partai Sosialis
dan membentuk partai mereka sendiri yang disebut Partai Sosialis Indonesia (PSI). Partai baru ini
segera memberikan dukungannya kepada pemerintahan Hatta. Program pemerintahan Hatta
didasarkan pada dua prioritas; pelaksanaan Perjanjian Renville, dan rasionalisasi tentara
Indonesia.

Pembentukan FDR

Golongan sayap kiri (tanpa faksi Sjahrir) secara bertahap masuk ke oposisi. Pada awalnya mereka
mencoba untuk mendapatkan tempat di pemerintahan dengan menunjukkan kesediaan untuk
bekerja sama. Namun, upaya mereka gagal ketika menghadapi kenyataan pahit bahwa tidak ada
anggota fraksi yang masuk dalam kabinet. Pada rapat massa di Surakarta pada tanggal 26
Februari 1948, Golongan sayap kiri mengalami reorganisasi dan muncul sebagai Front Demokrasi
Rakyat (FDR) yang dipimpin oleh Amir Sjarifoeddin yang terdiri dari Partai Sosialis, PKI, PBI,
Pesindo, dan federasi serikat buruh SOBSI. Beberapa minggu kemudian setelah pertemuan itu,
program FDR berubah secara radikal. Program baru tersebut antara lain memerintahkan (1)
penentangan Perjanjian Renville; (2) penghentian perundingan dengan Belanda; dan (3)
nasionalisasi semua perusahaan asing. Penentangan kuat mereka terhadap kabinet Hatta jelas
terlihat dari tujuan pertama program tersebut. Sementara tujuan utama kabinet Hatta adalah
untuk melaksanakan perjanjian Renville, FDR adalah untuk menolaknya.

FDR memiliki dua basis kekuatan utama: di dalam tentara dan di antara buruh. Dalam
kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan dari 3 Juli 1947 hingga 28 Januari 1948, Sjarifoeddin
telah berhasil membangun oposisi pribadi yang kuat di dalam tubuh Angkatan Darat. Ia mampu
mengamankan loyalitas perwira di angkatan darat TNI. Perwira-perwira militer yang setia itu
sering kali mengetahui lokasi sejumlah senjata dan amunisi yang disimpan di daerah
pegunungan untuk mengantisipasi aksi militer Belanda selanjutnya. Yang lebih penting lagi
adalah posisi kuat yang dibangun Sjarifoeddin sendiri di dalam organisasi pelengkap Angkatan
Darat yang dinamakan TNI-Masjarakat. Didirikan pada awal Agustus 1947 (ketika Sjarifoeddin
menjadi Perdana Menteri), organisasi ini bertujuan untuk menyelenggarakan pertahanan rakyat
secara lokal untuk mendukung tentara. Meskipun TNI adalah organisasi nasional, TNI-Masjarakat
yang dipimpin oleh Kolonel Djoko Sujono adalah organisasi militer berbasis lokal. Jelas bahwa
selama kepemimpinannya, Sjarifoeddin berhasil membangun organisasi militer nasional dan
lokal yang kuat yang siap menghadapi Belanda.

Selain itu, FDR jelas memiliki posisi dominan di dalam SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia), yang sejauh ini merupakan organisasi buruh terbesar di Indonesia. Anggota
organisasi ini sebagian besar adalah buruh perkotaan dan perkebunan dengan Republik, dan
anggotanya diperkirakan antara 200.000 dan 300.000.

Program rasionalisasi Hatta dan dampaknya terhadap kekuatan militer FDR

Dari sudut pandang pemerintah Indonesia, rasionalisasi merupakan solusi dari masalah ekonomi
dengan mengurangi jumlah kekuatan militer. Sebulan setelah pembentukan kabinetnya, Hatta
memulai program rasionalisasi berdasarkan Keputusan Presiden No.9 tahun 1948. Tujuan utama
dari rasionalisasi tersebut adalah untuk menata kembali organisasi-organisasi militer dan untuk
memobilisasi tenaga kerja produktif dari sektor pertahanan ke sektor produksi. Menurut Hatta,
ada tiga cara untuk mencapai tujuan tersebut; 1) demobilisasi perwira militer yang ingin kembali
ke pekerjaan sebelumnya (guru, pegawai swasta), 2) mengirim perwira militer kembali ke
kementerian pembangunan dan pemuda, dan 3) demobilisasi ratusan perwira militer untuk
kembali ke masyarakat desa.

Pada tahun 1948, Republik Indonesia menghadapi situasi kritis di mana terjadi pasokan tenaga
kerja yang berlebihan karena pengungsi yang sangat besar melarikan diri ke Republik dari
daerah-daerah yang dikuasai Belanda seperti Surabaya (berdekatan dengan Madiun, Surabaya
saat itu masih di bawah penjajahan Belanda). Selain itu, setidaknya ada 200.000 tentara berlebih
di Republik sementara jumlah senjata dan amunisi mereka tidak mencukupi. Untuk
mengantisipasi masalah-masalah kritis ekonomi, militer, dan politik yang muncul dari situasi ini,
Hatta dan kabinetnya segera memutuskan untuk memulai program rasionalisasi. Pada tahap
awal reorganisasi, ada 160.000 tentara yang tersisa. Program ini diharapkan hanya menyisakan
57.000 tentara reguler pada akhirnya.

Pada tanggal 15 Mei 1948, TNI-Masjarakat salah satu basis utama kekuatan FDR didemobilisasi.
Perwira militer yang berorientasi Barat dan pro-pemerintah menginginkan tentara yang lebih
kecil, lebih disiplin, dan lebih dapat dipercaya di bawah kepemimpinan mereka. Mereka
memandang TNI-Masjarakat sebagai organisasi militer yang kurang terlatih dan tidak
berpendidikan yang sangat terkait dengan organisasi komunis. Pemerintah menginginkan
Angkatan Darat dipimpin oleh perwira profesional yang telah menjalani pelatihan militer yang
serius. Dua organisasi militer pro-pemerintah, Divisi Siliwangi Jawa Barat dan Korps Polisi Militer
secara resmi diakui dan diberi status hukum. Demobilisasi TNI-Masjarakat berarti pengaruh FDR
di pemerintahan semakin melemah dan ini memperdalam kebencian FDR terhadap pemerintah.
Dari sudut pandang FDR, rasionalisasi merupakan upaya untuk menghancurkan kekuasaan FDR.

FDR bukan satu-satunya kelompok yang menentang rasionalisasi Hatta. Di antara satuan militer
yang mulai menentang pemerintahan Hatta adalah Divisi IV, yang lebih dikenal dengan Divisi
Senopati, yang ditempatkan di Solo dan ditempatkan di bawah komando Kolonel Sutarto.
Seperti FDR, Divisi IV juga kecewa dengan rasionalisasi Hatta dan memprotes program tersebut
pada tanggal 20 Mei 1948. Keputusan Hatta untuk memasukkan Divisi IV ke dalam Divisi I akan
menempatkan Kolonel Sutarto pada posisi perwira cadangan. Sutarto dan prajuritnya
mengabaikan instruksi itu dan mulai mengatur kembali divisi mereka sendiri. Mereka mengubah
Divisi IV menjadi satuan militer siap tempur yang mendapat dukungan dari mayoritas penduduk
Solo dan pengikut FDR. Mereka menamakan unit ini Divisi Pertempuran Panembahan Senopati.
Sutarto dibunuh secara misterius pada 2 Juli 1948. Bagi mereka yang pro-FDR, pembunuhan ini
dianggap sebagai bagian dari program rasionalisasi Hatta.

Pemogokan Delanggu

Kecewa dengan rasionalisasi Hatta, FDR/PKI mulai mencari dukungan dari petani dan buruh
dengan mengadvokasi reformasi pertanahan dan mengorganisir pemogokan buruh. Salah satu
basis kekuatan utama FDR/PKI adalah SOBSI. Sangat didominasi oleh komunis, SOBSI
mengorganisir sejumlah pemogokan untuk memprotes pemerintah. Pemogokan paling penting
terjadi di Solo. Buruh perkebunan memprotes pemerintah sebagai tanggapan atas
memburuknya kondisi ekonomi menyusul blokade ekonomi oleh Belanda dan kegagalan
pemerintah untuk menghilangkan feodalisme dan menghentikan operasi spekulatif pasar gelap.
Pemogokan di areal tebangan Delanggu diorganisir oleh SARBUPRI (serikat buruh perkebunan
yang berorientasi komunis), dan sekitar 20.000 buruh mogok selama sekitar 35 hari. Pemerintah
menuduh para pemimpin FDR dan SARBUPRI membahayakan Republik dengan mengorganisir
pemogokan. Mereka menanggapi tuduhan ini dengan mengatakan bahwa pemerintahlah yang
membahayakan Republik dengan kebijakan ekonominya yang tidak efektif dan tidak tepat. Yang
diinginkan oleh para pemimpin FDR dan SOBSI dari pemerintah adalah implementasi yang lebih
baik dari regulasi dan reformasi agraria yang ada. Pemogokan berakhir pada tanggal 18 Juli
1948, dengan pemerintah bersedia menerima permintaan buruh untuk tekstil dan beras
sepanjang dua meter yang akan diberikan setiap bulan di samping gaji mereka.

Hubungan luar negeri Republik Indonesia

Peristiwa Madiun harus ditempatkan dalam konteks internasional di mana dua negara adidaya
berperan dalam pengambilan keputusan pemerintah Indonesia. Suripno adalah seorang
komunis muda yang menjadi wakil Republik Indonesia pada Kongres Federasi Pemuda
Demokratis Dunia di Praha tahun 1947. Ia juga diberi mandat untuk menghubungi Uni Soviet.
Pada Januari 1948, ia bertemu dengan seorang duta besar Rusia dan membahas hubungan
konsuler masa depan antara Rusia dan Indonesia. Pemerintah Soviet akhirnya mengambil
inisiatif dengan memberi tahu Suripno bahwa Perjanjian Konsuler telah diperbaiki. Alih-alih
menerima perjanjian itu, pemerintah Hatta memutuskan untuk menghentikan hubungan
bilateral. Suripno kemudian diminta kembali ke Indonesia. Pada tanggal 11 Agustus 1948
Suripno tiba di Jogjakarta dengan sekretarisnya yang ternyata adalah Musso, seorang tokoh
komunis senior Indonesia. Saat dimintai laporan resmi kepada Menteri Luar Negeri Haji Agus
Salim, Suripno memuji sikap politik Rusia yang selalu mengakui Indonesia sebagai negara
berdaulat.

Hatta berulang kali menolak Perjanjian Konsuler karena cenderung mencari bantuan kepada
kekuasaan Amerika Serikat. Pada 21 Juli, Soekarno, Hatta, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Penerangan, dan perwakilan AS mengadakan pertemuan di sebuah hotel di Sarangan, Madiun.
Belanda dan AS memiliki tujuan yang sama yaitu menguasai sumber daya alam. Pada 17
September, Menteri Luar Negeri Belanda menyatakan bahwa ekspansi komunis di Indonesia
merupakan hambatan utama bagi kekuatan barat untuk memperoleh sumber daya. Belanda
ingin AS percaya bahwa Indonesia adalah benteng komunis. AS memutuskan untuk
memasukkan Hatta dan asosiasinya dalam satu front anti-komunis internasional yang akan
didirikan di Asia Timur dan Tenggara untuk menantang Uni Soviet. Upaya Belanda untuk
mengembalikan kekuasaannya atas Indonesia, dengan membawa para pemimpin Indonesia dan
perwakilan AS ke dalam konflik gagal.

Kembalinya Musso dan Reorganisasi FDR/PKI

Kembalinya Musso menjadi katalisator Peristiwa Madiun. Soekarno secara resmi mengundang
Musso di istana kepresidenannya di Jogjakarta. Menurut laporan wartawan, pertemuan itu
sangat emosional. Mereka saling berpelukan dan mata mereka dipenuhi air mata.

Gambar 3.2

Musso, tokoh kunci Peristiwa Madiun


Musso sebenarnya adalah senior politik Soekarno dan mereka adalah teman baik ketika mereka
tinggal di Surabaya.

Kembalinya Musso menjadi titik balik perjalanan politik FDR. Selama konferensi partai pada
tanggal 26-27 Agustus 1948, mereka mengadopsi garis politik baru. Mereka membentuk badan
baru yang terdiri dari partai-partai sayap kiri. Anggota biro politik baru ini adalah pimpinan FDR
(Maruto Darusman, Tan Ling Djie, Harjono, Setiadjit, Djoko Sujono, Aidit, Wikana, Suripno, Amir
Sjarifoeddin, dan Alimin) dengan Musso sebagai ketua. Pengangkatan kembali ini dijadikan
alasan yang sah oleh musuh-musuh FDR/PKI untuk melancarkan "kampanye anti-PKI".
Pemerintah menyiapkan beberapa strategi untuk menghilangkan Komunis. Salah satu tuduhan
terbesar pemerintah adalah bahwa Musso mempromosikan keterlibatan Republik dalam konflik
Soviet-Amerika.

Menuju pemberontakan

Para pemimpin FDR melakukan perjalanan propaganda ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tujuan
utama mereka adalah untuk mempromosikan ide-ide politik Musso. Pemimpin PKI lainnya tetap
berada di Jogjakarta mencoba berunding dengan pemimpin PNI dan Masyumi untuk
membentuk kabinet baru yang akan mencakup perwakilan FDR. Situasi di dalam FDR masih
kacau balau bahkan setelah penyatuan beberapa kekuatan politik. Misalnya, beberapa anggota
PKI dan Partai Sosialis di Bojonegoro menentang keputusan rapat tanggal 26-27 Agustus 1948.
Sebagai struktur baru, FDR secara teknis tidak cukup kuat untuk menghadapi tantangan dari
luar.

Selama periode ini, terjadi bentrokan kecil yang melibatkan kelompok militer pro-Hatta di satu
sisi dan kelompok bersenjata pro-FDR di sisi lain. Setelah pembunuhan Kolonel Sutarto,
perkembangan politik di Solo semakin intens. Munculnya Divisi Siliwangi yang loyal kepada
pemerintah dan anti-kiri, juga menjadi salah satu penyebab ketidakstabilan politik di Solo yang
menjadi basis Divisi Senopati. Kekuatan FDR mulai berkurang setelah beberapa kasus
pembunuhan dan penculikan perwira kiri. Kreutzer memberikan contoh kasus penculikan dan
pembunuhan pada minggu-minggu sebelum Peristiwa Madiun. Pada 1 September, dua anggota
PKI Solo diculik dan kemudian diinterogasi tentang kegiatan dan organisasi PKI di Solo. Namun
pada hari yang sama, anggota Pesindo menculik beberapa pemimpin pro-pemerintah. Mereka
dituduh menculik anggota PKI. Enam hari kemudian, pada tanggal 7 September, hampir semua
perwira dan sejumlah prajurit berpangkat rendah Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI,
Angkatan Laut Republik) pimpinan Komandan Yadau diculik dan dibawa ke markas Divisi
Siliwangi, sebuah unit militer pro-pemerintah. Pada tanggal 9 September, Suadi, penerus Sutarto
sebagai Panglima Divisi Senopati, memperoleh persetujuan resmi Panglima TNI Soedirman untuk
menyelidiki pembunuhan dan penculikan orang di Jogjakarta dan Solo. Namun tak lama setelah
penyelidikan dimulai, sejumlah petugas yang diberi perintah untuk menginterogasi para
tersangka juga diculik. Pada 13 September di Blitar, Malang Selatan, satuan pemerintah
menangkap sejumlah anggota Pesindo. Pada 16 September, markas Pesindo diserang. Solo, kota
kedua Republik setelah Jogjakarta, menjadi tempat konflik yang kompleks antara pemerintah
dan kelompok kiri selama dua minggu pertama bulan September.

Solo sekarang didominasi oleh sayap kanan pro-pemerintah. Hal ini menjadikan Madiun sebagai
FDR benteng penting terakhir setelah Jogjakarta dan Solo dikuasai oleh Republik Indonesia, dan
Surabaya berada di bawah kendali Belanda. Sayangnya, kelompok antikomunis dan pemerintah
pro-Hatta sudah menyusup ke Madiun sejak awal September.

Pemberontakan
Khawatir dengan apa yang terjadi di Solo, para pemimpin
FDR lokal di Madiun mulai merasa tidak nyaman dan
mereka melaporkan hal ini kepada para pemimpin FDR di
Kediri. Kemudian ia mendapat perintah untuk melucuti
senjata para agitator di Madiun untuk menghindari
kemungkinan pertumpahan darah di daerah tersebut. Pukul
3 pagi tanggal 18 September 1948, FDR mulai merebut
pejabat pemerintah daerah, sentral telepon, dan markas
Gambar 3.3 tentara dengan Soemarsono dan Djoko Sujono sebagai
Penangkapan dua orang pemimpin operasi. Itu adalah pertempuran singkat yang
dengan tali di lehernya berakhir dengan dua perwira setia terbunuh dan empat
diborgol oleh perwira TNI terluka. Dalam hitungan jam, Madiun sudah dikuasai FDR.
pada September 1948 di Dua anggota FDR, Setiadjit dan Wikana, mengambil alih
Madiun
pemerintahan sipil dan mendirikan Front Pemerintah
Nasional Daerah Madiun. Soemarsono kemudian
mengumumkan melalui radio lokal, "Dari Madiun
kemenangan dimulai".

Setelah mendengar tentang apa yang terjadi pada 18 September, Musso dan Sjarifoeddin
kembali ke Madiun. Mereka segera mendiskusikan situasi dengan Soemarsono, Setiadjit, dan
Wikana setibanya mereka. Pukul sepuluh malam tanggal 19 September 1948, Presiden Soekarno
menyatakan bahwa pemberontakan Madiun adalah upaya untuk menggulingkan Pemerintah
Republik Indonesia dan Musso telah membentuk "Republik Soviet Indonesia". Dia juga
menyatakan bahwa orang Indonesia harus memilih antara dia dan Hatta atau Musso dan partai
komunisnya. Soekarno diikuti oleh Sultan Hamengkubuwono IX yang memiliki pengaruh sangat
kuat di kalangan masyarakat Jawa. Dalam sambutannya, ia meminta rakyat untuk membantu
Soekarno dan Hatta dan memberi mereka mandat penuh untuk menumpas gerakan komunis.
Pukul 23.30 di hari yang sama, Musso membalas Soekarno. Dia menyatakan perang terhadap
pemerintah Indonesia. Ia berusaha meyakinkan rakyat Indonesia bahwa Soekarno dan Hatta
adalah budak Imperialisme Amerika, pengkhianat, dan pengedar Romusha. Ketegangan
meningkat antara Soekarno-Hatta dan para pemimpin FDR.

TNI bersenjata dan masyarakat yang menangkap anggota pemberontakan FDR/PKI pada
September 1948

Beberapa pemimpin FDR memutuskan untuk pergi ke arah yang berbeda dari Musso. Pada
tanggal 20 September 1948, mereka menyatakan kesediaan mereka untuk berdamai dengan
pemerintah Indonesia. Sore harinya, Kolonel Djoko Sujono, Komandan Militer di Madiun,
menyiarkan melalui radio bahwa apa yang terjadi di Madiun bukanlah kudeta, tetapi merupakan
upaya untuk mengoreksi kebijakan pemerintah yang "menggiring revolusi ke arah yang
berbeda". Ia diikuti oleh Soemarsono, pemimpin awal pemberontakan. Soemarsono membuat
pengumuman publik serupa bahwa peristiwa Madiun bukanlah kudeta, tetapi upaya untuk
mengoreksi tujuan politik pemerintahan Hatta. Dalam upayanya meyakinkan pemerintah, pada
tanggal 23 September, Amir Sjarifoeddin menyatakan bahwa konstitusi FDR adalah negara
Republik Indonesia; bendera mereka tetap merah putih; dan lagu kebangsaan mereka tetap
Indonesia Raya. Pemberontakan ini menewaskan mantan Gubernur Jawa Timur Ario Soerjo,
dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta beberapa petugas polisi dan tokoh-tokoh agama.

Akhir dan Eksekusi Para Pemimpin FDR


Pemerintah Indonesia tampaknya mengabaikan upaya
beberapa pemimpin FDR untuk mengakhiri konflik. Operasi
militer dipimpin oleh Kolonel Gatot Soebroto dan Nasution,
dan mereka berjanji akan menyelesaikan kekacauan dalam
waktu dua minggu. Hatta bersikeras untuk menghentikan
pemberontakan dan merebut Madiun sesegera mungkin
sebelum Belanda mulai turun tangan. Pemerintah memulai
pembersihan antikomunis dari Jogjakarta dan Solo. Pada
Gambar 3.4 tanggal 30 September, pemerintah mengirimkan Letkol
Sadikin, Brigade Divisi Siliwangi, untuk mengerahkan
Amir Sjarifodden
pasukannya dan menguasai Madiun. Untuk menghindari
(memakai kacamata) termasuk konflik dengan TNI, pimpinan FDR/PKI mulai mundur ke
di antara mereka yang ditangkap daerah pegunungan. Di bawah komando Amir Sjarifoeddin,
dan dieksekusi karena terlibat mereka melarikan diri dari Madiun dan menuju ke sebuah
dalam pemberontakan.
desa kecil Kandangan di mana mereka dapat menemukan
amunisi dan senjata (sebuah toko yang dibangun ketika
Sjarifoeddin menjadi Perdana Menteri dan Menteri
Pertahanan). Yang mengejutkan mereka, desa itu sudah
diduduki oleh batalion Divisi Sungkono yang dipimpin oleh
Mayor Sabarudin.
Pada tanggal 28 Oktober, pemerintah menangkap 1.500
orang dari unit militer pemberontak terakhir. Musso
ditembak mati tiga hari kemudian pada 31 Oktober ketika
dia bersembunyi di kamar kecil dan menolak untuk
menyerah. Jenazahnya dibawa ke Ponorogo, untuk
dipamerkan ke publik sebelum dibakar. Sebulan kemudian,
pada 29 November, Djoko Sujono dan Maruto Darusman
Gambar 3.5 ditangkap. Sjarifoeddin menghadapi nasib yang sama ketika
ditangkap pada 4 Desember. Tiga hari kemudian, pada 7
Mayat Musso setelah tertembak saat
Desember 1948, Mabes TNI mengumumkan pemusnahan
melarikan diri pada 31 Oktober 1948
di Ponorogo, Jawa Timur
terakhir pemberontakan dan menyatakan bahwa sekitar
35.000 orang, sebagian besar tentara, telah ditangkap. Pada
19 Desember, Sjarifoeddin, Maruto Darusman, Djoko
Sujono, Suripno dan para pemimpin FDR lainnya dieksekusi.
Perkiraan korban adalah 24.000 total (8.000 di Madiun,
4.000 di Cepu dan 12.000 di Ponorogo, karena peristiwa
tersebut mempengaruhi daerah tetangga).

Sementara sebagian besar pemimpin FDR/PKI ditahan dan dieksekusi, Soemarsono berhasil
melarikan diri. Dia melarikan diri dari Madiun dan menuju utara ke wilayah Belanda. Dia
akhirnya ditangkap oleh pasukan Belanda karena kepemilikan emas dan perbendaharaan secara
ilegal. Meski awalnya pihak berwenang Belanda curiga atas keterlibatannya dalam Peristiwa
Madiun, ia berhasil menipu mereka dengan menunjukkan identitas palsu. Dia dibebaskan pada
30 Juli 1949, tetapi ditangkap lagi pada 29 Oktober 1949, karena kasus penipuan identitasnya.
Belanda terus menyelidiki latar belakangnya, dan pada 11 November 1949, mereka
mengungkapkan identitas Soemarsono dan tindakan politiknya di Peristiwa Madiun. Pemerintah
Belanda memutuskan untuk mengeksekusinya di Papua. Namun sebelum itu terjadi,
Soemarsono kabur dari penjara pada 13 Desember 1949, dan berhasil lolos dari eksekusi. Ia
kemudian melarikan diri ke Sumatera Utara dan tinggal di sana sebagai guru. Dia ditangkap lagi
selama kampanye anti-Komunis yang diluncurkan oleh pemerintah Indonesia di bawah Soeharto
pada tahun 1965.
3.3. Bagaimana usaha pemerintahan jaya negara mengatasi pemberontakan PKI Madiun
1948

Gambar 3.6
Dua cara mengatasi pemberontakan

Ada dua cara mengatasi pemberontakan di Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah, yaitu
operasi militer dan diplomasi.

1. Operasi Militer

Cara mengatasi pemberontakan di Indonesia yang pertama adalah dengan melakukan


operasi militer.
Operasi Pemberontakan PKI Madiun 1946

Ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1946, Pemerintah Indonesia,
melalui Panglima Besar Jenderal Soedirman menggunakan operasi militer sebagai cara
mengatasi pemberontakan. Kolonel Gatot Subroto (Panglima Divisi II Jawa Tengah
bagian Timur) dan Kolonel Sungkono (Panglima Divisi Jawa Timur) untuk menumpas PKI.

Pemberontakan PKI di Madiun pun dapat ditumpas pada 30 September 1948. Musso
dan Amir Syarifuddin, sebagai pimpinan pemberontakan tewas dalam pelarian. Operasi
militer ini dilaksanakan hingga Desember 1948, guna menumpas beberapa anggota
pemberontakan yang masih tersisa.
Operasi Pagar Betis

Operasi militer lainnya adalah Operasi Pagar Betis yang dilakukukan oleh pasukan TNI
dari divisi Siliwangi di Jawa Barat. Operasi ini bertujuan untuk menumpas
pemberontakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo. Operasi ini pun berhasil berjalan dengan
lancar, hingga Kartosuwiryo ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Operasi 17 Agustus
Cara mengatasi pemberontakan di Indonesia melalui operasi militer yang berikutnya
adalah Operasi 17 Agustus. Operasi ini bertujuan untuk menumpas pemberontakan PRRI
di Sumatera. Operasi ini juga bertugas untuk mencegah meluasnya pengaruh-pengaruh
asing akibat pemberontakan. Dari operasi militer ini, Pekanbaru berhasil diamankan
pada 14 Maret 1958 dan Bukit Tinggi diamankan pada 4 Mei 1958.

2. Diplomasi

Cara mengatasi pemberontakan di Indonesia yang kedua adalah dengan diplomasi.


Bentuk dari dari diplomasi dapat berupa negosiasi dan amnesti. Negosiasi berarti upaya
perundingan dari pemerintah Indonesia terhadap pihak yang berkonflik guna mencapai
kesepakatan bersama. Sedangkan, amnesti adalah pengampunan yang diberikan
pemerintah terhadap pemberontak.

Salah satu cara mengatasi pemberontakan di Indonesia dengan jalur diplomasi adalah
upaya penyelesaian kasus DI/TII di Aceh. Melalui Panglima Daerah Militer TNI, yaitu
Kolonel Jasin, diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Upaya ini berhasil
dilakukan sehingga tercipta penyelesaian pemberontakan secara damai.

Cara mengatasi pemberontakan di Indonesia lainnya yang menggunakan diplomasi


adalah upaya penyelesaian pemberontakan RMS. Diplomasi ini dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia melalui Dr. J. Leimena. Upaya ini bertujuan agar RMS kembali
menjadi bagian NKRI. Namun, upaya diplomasi tidak menemui titik terang, sehingga
pemerintah pun melakukan penyelesaian melalui operasi militer.

Kesimpulan

Namun, terdapat dua cara mengatasi pemberontakan di Indonesia. Pertama adalah upaya
militer, seperti Operasi Militer 17 Agustus dan Operasi Pagar Betis. Kedua adalah melalui upaya
diplomasi dan negosiasi. Dalam hal ini, upaya diplomasi untuk menumpas DI/TII di Aceh dan
diplomasi RMS di Maluku.

TUGAS MAKALAH SEJARAH


PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948

KELOMPOK 9

NAMA ANGGOTA KELOMPOK :

 AMANDA PUTRI AULIRIA SOEBROTO / 01


 ARIEN AMARTYA REGINA AGUSTINA / 05
 NAZWA AULIA’ PUTRI AYUNDRA / 25

SMA NEGERI 4 SURABAYA


TAHUN PELAJARAN 2023 – 2024
TUGAS MAKALAH SEJARAH
PEMBERONTAKAN PKI MADIUN 1948

KELOMPOK 9

NAMA ANGGOTA KELOMPOK :

 AMANDA PUTRI AULIRIA SOEBROTO / 01


 ARIEN AMARTYA REGINA AGUSTINA / 05
 NAZWA AULIA’ PUTRI AYUNDRA / 25

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Pelajaran Sejarah

SMA NEGERI 4 SURABAYA


TAHUN PELAJARAN 2023 - 2024

KATA PENGANTAR
Terimakasih kami panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas perkenan
beliau lah kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Semua
itu hanya karena berkat serta tuntunan Tuhan dalam kehidupan kami. Dalam makalah yang
kami susun ini berisi tentang tokoh – tokoh bangsa serta nilai – nilai keteladanan tokoh
nasional.

Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak – pihak yang telah membantu
kami dalam penyusunan makalah ini, baik itu teman – teman, ibu guru dan bapak guru dan
semua yang telah membantu kami tidak bisa disebut satu per satu.

Besar harapan kami bahwa makalah ini dapat bernilai baik, dan dapat digunakan
dengan sebaik – baiknya. Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini belumlah
sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan untuk
pembuatan makalah selanjutnya. Sesudah dan sebelumnya kami ucapkan terimakasih.

Surabaya, 3 September 2023

KELOMPOK 9
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………………………………………………………………...iii
Daftar Isi……………………………………………………………………………………………………………………………………iv

Bab I Pendahuluan…………………………………………………………………………………………………………............1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………………………………………………..1
1.2 Perumusan Masalah……………………………………………………………………………………………………….1
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………………………………………………………1

Bab II Kajian Pustaka………………………………………………………………………………………………………………….2


2.1 Landasan Teori……………………………………………………………………………………………………………….2
2.2 Teori Sosial yang Digunakan…………………………………………………………………………………………..3

Bab III Pembahasan……………………………………………………………………………………………………………………6


3.1 Jelaskan Latar Belakang Pemberontakan PKI Madiun 1948…………………………………………….6
3.2 Bagaimana Pemberontakan PKI Madiun 1948 Berlangsung……………………………………………8
3.3 Bagaimana Usaha Pemerintahan Jaya Negara Mengatasi Pemberontakan PKI Madiun
1948…………………………………………………………………………………………………………………………….17

Bab IV Penutup………………………………………………………………………………………………………………………..19
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………………………..19
B. Saran……………………………………………………………………………………………………………………………19
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Adanya pemberontakan yang terjadi di Madiun yang dilakukan oleh para anggota atau
antek-antek Partai Komunis Indonesia (PKI) membuat banyak sekali korban jiwa. Bukan
hanya itu saja, kemunculan PKI yang semakin berkembang di masa itu membuat
masyarakat Indonesia terbagi menjadi dua kubu, ada yang ingin negara Indonesia
dipimpin oleh Muso dan ada juga yang ingin dipimpin oleh Soekarno dan Moh. Hatta.

B. SARAN

Dinamika PKI dalam konteks politik Indonesia di masa lampau pada


dasarnya tidak lepas dari pengaruh ideologi negara-negara luar yanng bertujuan
untuk memperluas pengaruh, kapitalisme yang di inginkan dilawan oleh PKI
pada dasarnya tumbuh secara historis mulai dari zaman kolonial hingga era
globalisasi seperti saat sekarang ini. Di sisi lain, PKI juga tidak serta merta
lepas dari kontrol negara luar dalam melakukan perlawanan terhadap
kapitalisme itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai ilmuwan hubungan
internasional, kita semestinya bisa melihat bagaimana dinamika PKI serta
pandangan terhadap ideologi komunisme hingga hari ini sebagai fenomena
yang tidak lepas dari struktur global yang komplek dengan berbagai macam
kepentingan didalamnya.

Anda mungkin juga menyukai