Laporan Bacaan Buku Sejarah Trifena
Laporan Bacaan Buku Sejarah Trifena
Laporan Bacaan Buku Sejarah Trifena
Menurut McVey, sedari awal pemerintah kolonial cukup serius mewaspadai dan
mewanti-wanti adanya potensi pemberontakan Komunis yang akan dimulai di
sejumlah tempat di wilayah koloni Hindia Belanda. Untuk itu pemerintah kolonial
segera memberlakukan sejumlah larangan dan pembatasan terhadap kehidupan
politik di Hindia Belanda yang membuat para pemimpin PKI merasa tidak
nyaman. Di sisi lain, McVey juga menyajikan analisa mengenai strategi PKI dalam
membangun dan membesarkan dirinya melalui stretagi yang dikenal dengan “bloc
within”, yang dijelaskan dengan rinci pada Bab V buku ini. Strategi ini dinilai
McVey sebagai strategi yang sangat brilian, sehingga membuat PKI bertumbuh
dengan cepat, bahkan mampu merekrut anggota dengan jumlah sangat besar dalam
waktu yang relatif singkat.
Strategi “bloc within” adalah strategi untuk menyusup ke dalam organisasi yang
besar dan mapan, serta menggunakannya untuk kepentingan revolusi. Strategi ini
ditelurkan oleh – salah satunya – Henk Sneevliet, tokoh ISDV (Indische Sociaal-
Democratische Vereniging) yang jadi cikal bakal PKI. Organisasi yang disusupi
aktivis ISDV adalah Sarekat Islam (SI), organisasi yang saat itu terbesar di Jawa.
Bagi Sneevliet, SI merupakan wujud dari tipe kendaraan ideal bagi pelaksanaan
program revolusi sosialisme yang lebih maju di Hindia Belanda. Menurut McVey,
strategi ini adalah contoh konkrit pertama dari sebuah partai Marxis yang mencoba
untuk melakukan infiltrasi terhadap partai lainnya, dan membentuk sel-sel di
dalamnya, yang bertujuan untuk membangun propaganda mereka di dalam tubuh
partai yang disusupi, dan membangun kontak-kontak di antara massa. Strategi ini
yang di tahun-tahun berikutnya memberikan keuntungan sangat besar bagi ISDV.
Aktivis-aktivis komunis juga memasuki organisasi-organisasi massa lainnya,
seperti VSTP (Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel) atau serikat buruh
kereta api.
Capaian ISDV melalui strategi “bloc within” di dalam SI didukung oleh karakter
desentralisasi yang sangat ekstrim di dalam tubuh SI sebagai organisasi nasionalis,
yang oleh Sneevliet, Indonesia pada saat itu dipandang hampir mirip dengan
gerakan Chartist di Inggris pada abad sembilanbelas (Hal. 19). Sifat organisasi SI
yang “federatif” yang membuatnya mendapatkan toleransi sekaligus tindakan
hukum dari kekuasaan kolonial di tingkat-tingkat lokal (cabang). Jadi perlakuan
pemerintah kolonial terhadap masing-masing cabang SI berbeda-beda, ada yang
lunak ada yang keras, tergantung karakter masing- masing cabang. Menurut
McVey, tidak ada organisasi nasional yang dibiarkan seperti itu, kecuali memang
memiliki karakter federatif yang ekstrim
Pertumbuhan PKI beriringan dengan persoalan-persoalan sosial yang makin
memuncak di sejumlah wilayah, seperti Banten dan Silungkang, Sumatera Barat.
Konflik-konflik pertanahan mendorong terjadinya pertikaian antara petani dengan
penguasa kolonial. Dalam situasi seperti inilah dorongan-dorongan untuk
melakukan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial muncul dari kalangan petani
dan arus massa bawah kepada PKI. Keputusan untuk melakukan sebuah
pemberontakan kepada kekuasaan kolonial dilakukan dalam sebuah Pertemuan
Prambanan pada tahun 1925. Dalam pertemuan tersebut, McVey menilai bahwa
keputusan untuk melancarkan perlawanan bersenjata lebih banyak dipengaruhi
oleh pemikiran Bakunin ketimbang Lenin, sebagai latar belakang diambilnya
keputusan Prambanan tersebut (Hal. 325). Meskipun demikian, Menurut McVey,
keputusan Prambanan untuk memberontak tidak disetujui oleh sejumlah pimpinan
PKI dan Komintern pada waktu itu, yakni – salah satunya – Tan Malaka dan
Alimin. Tan Malaka menilai bahwa untuk melakukan itu PKI harus terlebih dahulu
bertransofrmasi menjadi “Partai Revolusioner”. Menurut McVey, bagi Tan
Malaka, saat itu di Indonesia belum memiliki “Partai Revolusioner” yang ada baru
hanya “it has only had associations of people of ‘assorted’ views and political
activities”.