Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PKI

(PARTAI KOMUNIS INDONESIA)

Disusun oleh kelompok 2

Anida Listiawati
Risty Salma Fauzia
Verdrik Yohanes
Rini Fitria Anggraeni

MA NURUL HIDAYAH
BATUJAJAR
2019 – 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat dan
karuanianya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Batujajar,8 Oktober 2019


DAFTAR ISI

Kata Pengantar……...…………………………………………………….1
Daftar isi …………………………………………………………………. 2

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………….3
B. Rumusan Masalah ……..……………………………………...3
C. Tujuan………………….…………………………………………….3

II. ISI
A. Latar Belakang masuknya komunis di indonesia……………………4
B. Cara untuk mengembangkan komunisme di
Indonesia………………8
1. Memecah
SI………………………………………………………8
2. Melakukan Pendekatan terhadap SI Melalui Media
Massa……....9
C. Berganti nama Menjadi Partai Komunis
Indonesia……………..........12
D. Munculnya cabang-cabang
PKI……………………………………...13
1. Munculnya cabang-cabang
PKI………………………………….13
III. PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Berdirinya ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging)
Faham komunis masuk ke Indonesia oleh HFJ Sneevliet (1883-1942)
tahun 1913. Sebagaimana di negeri-negeri lain, yang tertarik pada faham
komunis umumnya adalah rakyat miskin karena memang faham ini
konon untuk membela rakyat miskin dan menjadikan kaum elit sebagai
musuh. Adapun basis pendukungnya adalah buruh dan tani. Di
Indonesia, jelas faham komunis mendapat lahan yang subur. Tatanan
kolonial menjadikan bangsa Indonesia sengsara di negeri sendiri, selain
miskin juga tertindas. Sneevliet membentuk organisasi bernama ISDV
(Indische Sociaal Democratische Vereeniging) tahun 1914. Dan mulai
sejak itulah, Komunisme masuk ke Indonesia. Dan mulai berkembang
menjadi PKI “Partai Komunis Indonesia”.

B. Rumusan masalah
1) Bagaimana latar belakang masuknya komunis di Indonesia?
2) Bagaimana cara yang digunakan untuk mengembangkan faham
komunis di Indonesia?
3) Bagaimana dampak faham komunis bagi Indonesia, terutama PKI?
C. Tujuan
1) Mengetahui latar belakang masuknya komunis di Indonesia.
2) Mengetahui cara yang digunakan untuk mengembangkan faham
komunis di Indonesia.
3) Mengetahui dampak faham komunis bagi Indonesia, terutama
PKI.
BAB II
ISI

A. Masuknya Komunis ke Indonesia


Berdirinya ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging)
Faham komunis masuk ke Indonesia oleh HFJ Sneevliet (1883-1942)
tahun 1913. Sebagaimana di negeri-negeri lain, yang tertarik pada faham
komunis umumnya adalah rakyat miskin karena memang faham ini konon
untuk membela rakyat miskin dan menjadikan kaum elit sebagai musuh.
Adapun basis pendukungnya adalah buruh dan tani. Di Indonesia, jelas
faham komunis mendapat lahan yang subur. Tatanan kolonial menjadikan
bangsa Indonesia sengsara di negeri sendiri, selain miskin juga tertindas.
Sneevliet membentuk organisasi bernama ISDV (Indische Sociaal
Democratische Vereeniging) tahun 1914.
Atas prakarsa Sneevliet pada tahun 1914 didirikan Persatuan Sosial
Demokrat Indonesia (ISDV), yang pada awalnya terdiri dari 85 anggota
dua partai sosialis Belanda (Partai Buruh Sosial Demokrat yang berbasis
massa di bawah kepemimpinan reformis, dan Partai Sosial Demokrat yang
merupakan cikal bakal Partai Komunis, terbentuk setelah perpecahan
politik dengan SDAP di tahun 1909.
Sejak mulanya tendensi revolusioner mengendalikan ISDV,
sikapnya militan terhadap isu-isu lokal (misalnya, kampanye mendukung
seorang jurnalis Indonesia yang diadili karena melanggar hukum
pengendalian pers, dan juga mengadakan rapat umum menentang
persiapan perang yang dilakukan oleh pemerintah Belanda) dan selain itu
ISDV juga melibatkan diri dalam pergerakan nasional. Pada tahap itu
orang Eropa anggota ISDV Belanda boleh masuk Insulinde sebagai
anggota individual. Pimpinan Insulinde dan Sarekat Islam bersifat kelas
menengah, tetapi senang dan bersyukur menerima bantuan dari ISDV, dan
hanya kaum sosialis siap membantu pada saat itu.
Namun demikian, tak terelakkan konflik mulai timbul antara
kepemimpinan ISDV dan Insulinde, dan juga di dalam ISDV sendiri.
ISDV menegaskan bahwa pejuangan melawan penjajahan Belanda harus
didukung kaum sosialis, dan menyatakan bahwa hal ini mencakup
perjuangan melawan sistem kaptialis. Pimpinan kelas menegah Insulinde
(seperti para pemimpin SI kemudian) secara naluriah menolak dengan
keras pikiran itu, dan mengedepankan “teori dua tahapan”. Dalam ISDV
sendiri aliran refomis meninggalkan partai itu di tahun 1916 dan
mendirikan Partai Sosial Demokrat Indonesia (ISDP), yang dalam waktu
singkat langsung dekat dengan pemimpin kelas menengah nasionalis. Di
sisi lain, ISDV makin digemari dan dihormati kaum militan Indonesia
karena berani dan berprinsip dalam hal politik lokal. Walaupun diserang
para pemimpin nasionalis karena banyak yang berketurunan Belanda, hal
ini tidak merupakan rintangan dalam perjuangan membangun organisasi
revolusioner, dan merebut dukungan massal.
Banyak masalah sulit yang dihadapi oleh ISDV di periode awal
bangkitnya gerakan politik massa ini. Pada 1915-1918 penguasa Belanda
menanggapi gerakan massa yang tumbuh dengan mendirikan semacam
“Volksraad” yang bertujuan membendung militansi massa. ISDV –
berlawanan dengan pimpinan nasionalis dan ISDP – pada mulanya
memboikot badan ini, tetapi kemudian membatalkan keputusan itu ketika
mulai jelas bahwa Volksraad itu dapat dimanfaatkan sebagai medan
propaganda revolusioner.
Sneevliet juga memegang peran penting dalam Serikat Staf Kereta
Api dan Trem (VSTP). Sneevliet mengarahkan VSTP kepada bagian besar
buruh yang pribumi, dan pada saat bersamaan berusaha menguatkan
struktur organisasinya dengan menegaskan pentingnya pengurusan cabang
cabang yang baik, juga konperensi tahunan, penarikan sumbangan
anggota, dsb. Dalam jangka waktu singkat anggota serikat ini menjadi dua
kali lipat, dan sebagian besar pribumi. Kesuksesan VSTP meraih hormat
bagi gerakan sosialis, dan memungkinkan Sneevliet merekrut para aktivis
buruh ke dalam ISDV. Yang terpenting di antaranya adalah Semaun,
seorang pemuda buruh perusahaan kereta api yang pada tahun 1916 (saat
berusia 17 tahun), menjadi kepala Serikat Islam di Semarang, dan di
kemudian hari menjadi tokoh penting dalam PKI.
Liberalisme Belanda tidak mendorong perjuangan buruh.
Pemogokan dibalas dengan PHK massal, pembuangan para aktivis ke
pulau-pulau terpencil, dan tindakan apa saja yang perlu untuk
menghancurkan gerakan buruh. Dalam periode itu jarang sekali
pemogokan buruh menemui kesuksesan, dan tidak mungkin berhasil
memengaruhi perjuangan luas. Dilawan oleh majikan yang kuat, terbatas
kemungkinan memajukan kondisi kaum buruh lewat perundingan.
Meskipun demikian gerakan serikat buruh bertahan dan
berkembang. Kenyataan ini hanya bisa diterangkan dengan kekuatan dan
daya tahan kaum buruh, dengan tumbuhnya jumlah dan pengalaman kaum
buruh, dan di pihak lain, diterangkan oleh kenyataan bahwa perjuangan
serikat buruh] tidak dapat dipisahkan dari perjuangan yang lebih luas yang
dilakukan oleh rakyat Indonesia dalam melawan penindasan dan
penghisapan pemerintah Belanda.
Sebagian besar kaum petani tetap mengikuti adat dan agama,
kelihatannya pasif kalau ditindas, petani pada waktu itu pandangannya
terbatas oleh kepentingan dan masalah kehidupan desa, tidak dapat
diharapkan menunjang program sosialis dengan pemikiran yang termaju.
Kaum petani hanya bisa memihak segi program sosialis yang
merefleksikan kepentingan kaum tani sendiri, dan memihak perjuangan
militan yang membantu tuntutan itu. Namun dukungan seperti itu juga
biasanya sporadis, ekspolsif, dan tidak lengkap, selaras dengan karakter
kaum tani sendiri – yaitu suatu kelas yang heterogen, produsen kecil yang
terisolir, dan yang menurut kepentingan sendiri. Oleh karena itu kaum
petani mungkin memihak kaum buruh, tetapi juga mungkin memihak
demagogi kaum nasionalis, mistik agama atau aliran lain yang
menawarkan pemecahan segera bagi persoalan kongkrit yang mereka
hadapi.
Faktor lain yang penting di Indonesia, sebagaimana juga hal ini
terjadi di dunia kolonial secara umum, ialah kelas menengah yang
berpendidikan dan berharta milik – meskipun kecil, mereka ini adalah
kekuatan yang signifikan. Kelas menengah juga sulit memihak program
kaum buruh karena hanya bergerak di bidang politik untuk menahan
kepentingan sendiri kepentingan borjuis, meskipun bertentangan dengan
imperialism. Perjuangan bersama mungkin dilakukan antara kelas buruh
dan kelas menengah hanya karena keduanya menghadapi musuh
imperialisme, tetapi tujuan fundamenatal dan metode kelas menengah
berbeda dengan tujuan dan metode kelas buruh. Kelas menengah, atau
bagian-bagian darinya, dapat meninggalkan pemikiran bersifat utopis dan
dan program reaksioner mereka hanya sebab mereka akhirnya mulai insaf
bahwa tidak ada pilihan lain yang praktis, namun kemungkinan ini akan
lama prosesnya serta sangat kontradiktif dengan kelas menengah sendiri.
Mulanya kelas menengah akan berkembang secara terpisah dari gerakan
kelas buruh dan, karena menyuarakan keluhan semua lapisan yang
tertindas, mereka bisa memperoleh dukungan massal. Karena
berpendidikan dan agak makmur, mereka agak jauh dari kehidupan orang
biasa, tetapi oleh karena itu pula mereka makin yakin dan pandai, dan
makin berwibawa di mata kaum petani dan sebagian kaum buruh yang
terbelakang.
Walaupun makin berpengaruh, ISDV – seperti PKI kemudian –
tetap merupakan organisasi kecil. Jumlah anggota ISDV naik dari 103
tahun 1915 (dengan hanya tiga anggota pribumi) menjadi 330 di tahun
tahun 1919 (300 pribumi). Dalam arti ini ISDV menjadi partai kader –
partai para aktivis dan pemimpin yang kuat dukungan di serikat buruh, di
perkotaan, dan juga pedesaan. Orientasi kelas ISDV paling jelas terrefleksi
dalam kedudukannya yang kuat di dalam gerakan serikat buruh. Ferderasi
pertama serikat buruh, didirikan pada tahun 1919, terdiri dari 22 serikat,
dan anggotanya berjumlah 72,000, dan sebagian menurut ISDV, dan
bagian lain memihak pimpinan nasional SI. Sesudah berberapa tahun
kontrol pimpinan SI yang kurang cakap mengalami perpecahan, kecuali di
berberapa serikat pegawai (pekerja kerah putih).
B. Cara untuk mengembangkan komunisme di Indonesia
1. Memecah SI
Indonesia adalah Negara yang penduduknya mayoritas beragama islam.
Corak agamis dan anti kolonial jelas menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam organisasi yang beraliran islam. Salah satu
organisasi islam yang besar adalah Sarekat Islam. Di bawah pimpinan sosok
kharismatis H. ‘Umar Said Tjokroaminoto (1882-1934) organisasi SI kian
berbobot. Tokoh ini sudah pernah berurusan dengan aparat hukum kolonial
karena faham anti kolonial yang jelas. Pada masa itu berurusan dengan aparat
dalam arti melawan penguasa dapat menaikkan martabat dalam pandangan
rakyat. Tentu saja juga memiliki resiko besar, termasuk nyawa taruhannya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kaum komunis menempuh cara licik.
Pendekatan Sneevliet dilakukannya melaui pimpinan SI Semarang yakni
Semaun dan Darsono Mereka tidak merasa perlu bersusah payah meraih
pengikut dari warga yang belum menjadi anggota suatu partai, tetapi mencoba
menyusup masuk Sarekat Islam dan menggembosinya. Dan hasilnya
memuaskan, banyak anggota SI yang terpengaruh. Dengan bantuan Semaoen
–tokoh SI yang kelak menjadi tokoh senior PKI– organisasi SI pecah menjadi
SI Putih dan SI Merah sebagai akibat pembelotan para anggotanya.
Tjokroaminoto bersikap tegas dengan kebijakan larangan beranggota ganda.
Melalui pengaruhnya dalam SI dan serikat-serikat buruh, ISDV mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan ISDV juga disebabkan
infiltrasi ke dalam tubuh SI yang dianjurkan oleh Sneevliet kepada
pengikutnya untuk merangkap sebagai anggota SI. Bahkan pada tanggal 25
Desember 1919 tercapai persetujuan dengan SI yang menghasilkan
pembentukan ”Persatuan Pergerakan Kaum Buruh yang meliputi 22 Serikat
Buruh dengan 72.000 anggota yang sebagian besar terdiri dari buruh Central
Serikat Islam (CSI) Semarang Sebelum munculnya Serikat Islam juga sudah
banyak terbentuk serikat-serikat buruh yang menjadi wadah perkumpulan dan
konsolidasi kepentingan mereka.
2. Melakukan Pendekatan terhadap SI Melalui Media Massa
Bagi SI, penggembosan tersebut merupakan pukulan berat.
Anggotanya berkurang drastis. Namun penggembosan itu juga mendapat
tantangan dari intern PKI sendiri. Ibrahim Tan Malaka (1897-1949), aktivis
kemerdekaan asal Minangkabau adalah penentang penggembosan. Dia pernah
belajar di Eropa sekaligus aktif dalam gerakan kemerdekaan. Kritik pada
pemerintah Belanda ketika berada di Belanda menyebabkan dia berurusan
dengan aparat. Proses hukum yang dijalani menaikkan martabatnya.
Tan Malaka pernah dicalonkan sebagai anggota parlemen oleh Partai
Komunis Belanda, tidak jelas apakah terlaksana. Pada awalnya dia terkesan
oleh kemajuan teknologi di negara kapitalis Amerika Serikat dan Jerman.
Tetapi sukses Revolusi Bolshevik yang membawa kaum komunis berkuasa di
Rusia berakibat dia condong pada komunisme.
Tetapi juga perlu diketahui, diantara sekian banyak tokoh PKI, Tan
Malaka yang paling moderat. Dia tidak menerima begitu saja semua doktrin
komunis. Praktek komunisme harus disesuaikan dengan keadaan di
Indonesia, jangan dibiasakan menjiplak begitu saja pengaruh dari luar. Tan
Malaka misalnya tidak setuju dengan faham atheis, doktrin “agama adalah
candu” tidak masuk akal baginya.
Tan Malaka pernah menentang pendapat Komintern (Komunis
Internasional) yang menyatakan bahwa gerakan Pan Islam adalah bentuk baru
imperialisme. Tan Malaka menegaskan bahwa Pan Islam juga anti
imperialisme. Tan Malaka mengingatkan komunis untuk mengakui fakta
bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim yang jelas memiliki potensi
melawan imperialisme. Maka, yang harus dilaksanakan komunis adalah
merangkul kekuatan agamis, bukan memusuhi. Jelas, bahwa menggembosi SI
dapat melemahkan perjuangan anti imperialisme. Usulannya gagal diterima.
Kegagalan lainnya adalah mencegah PKI ikut perlawanan militer yang kita
kenal dengan Revolusi 1926 karena dia menilai PKI masih lemah
Tragisnya, ketika revolusi tersebut gagal Tan Malaka dipersalahkan
oleh PKI sebagai penyebab kegagalan. Merasa tidak cocok dengan PKI dia
memilih keluar dan membentuk PARI (Partai Republik Indonesia) (1927) dan
pada zaman Revolusi 1945 membentuk Partai Murba. Kelak Partai Murba
menjadi lawan tangguh PKI.
Setelah mendapat pengikut dari penggembosan SI, PKI semakin giat
menambah pengikut dan melaksanakan program. Berbagai pemogokan dan
kerusuhan terjadi. PKI meraih banyak pengikut dari pegawai kereta api,
mereka membentuk organisasi bawahan (onderbouw) khusus untuk pegawai
kereta api. Organisasi bawahan lain juga dibentuk sesuai profesi semisal
buruh perkebunan, tani dan sebagainya.
Rezim kolonial menyaksikan ini dengan cemas, tindakan tegas
dilaksanakan. Banyak orarng-orang komunis yang ditangkap, rapat dan
demonstrasi dibubarkan serta berbagai dokumen di sita atau dimusnahkan.
Namun kegiatan PKI belum berhenti dan cenderung semakin garang. Aktivis
kemerdekaan lain juga terkena dampaknya.
Keberanian tersebut relatif cepat mendapat simpati rakyat yang
memang muak dengan rezim kolonial. Mereka kurang peduli dengan latar
belakang PKI sesungguhnya, yang dibutuhkan rakyat adalah pembangkit
keberanian melawan. Sesungguhnya bukan PKI yang pertama dituduh terlibat
pemberontakan, SI pernah dituduh terlibat hal itu dan beberapa tokohnya
sempat ditangkap. Mungkin PKI berusaha meniru SI untuk mendapat simpati
sebanyak mungkin.
Di antara yang simpati adalah kelompok agamis dan inilah yang
diharapkan PKI ketimbang kelompok nasionalis. Para ulama memiliki
pengaruh yang tak dapat diremehkan di tengah masyarakat yang masih
menempatkan agama atau perkara ruhani sebagai hal sangat penting dalam
hidup dan mati.
Supaya makin berbobot di tengah masyarakat bercorak demikian,
sadar tidak sadar PKI menempuh cara yang diusulkan Tan Malaka, bahwa
kelompok agamis memiliki potensi besar melawan kolonial sehingga perlu
dirangkul. Maka, para propagandis menyebar ke berbagai pelosok mendekati
para ulama. Dengan lihai mereka menjelaskan persamaan nilai-nilai agamis
dengan komunis, antara lain faham sosialisnya. Para propagandis
menjelaskan bahwa agamis dan komunis sama-sama memihak kaum jelata,
hanya istilahnya yang berbeda. Komunis memiliki istilah proletar dan agamis
memiliki istilah dhuafa. Bahkan di Banten, PKI menampilkan gaya yang
aneh, fanatik dengan agama. Sikap aneh tersebut juga ditampilkan di wilayah
Surakarta oleh H. Misbakh, dia menyebarkan konsep “Komunisme Islam”
dan sempat menggerakkan kerusuhan.

C. Berganti nama Menjadi Partai Komunis Indonesia


Perkembangan ISDV berlanjut dengan pergantian nama menjadi
Perserikatan Komunis Indonesia pada tanggal 23 Mei 1920. Dalam
pertemuan tanggal 23 Mei itu juga memilih Semaun sebagai Ketua dan
Darsono sebagai Wakil Ketua. Selain Semaoen, ada 2 tokoh SI bergabung
dengan PKI yang juga menonjol yaitu Alimin Prawirodirdjo (1889-1964)
dan Moeso (1897-1948). Kemudian atas usul Moskow, nama Perserikatan
diubah menjadi Partai. Tahun 1924 nama Perserikatan Komunis Indonesia
berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia. Melihat perkembangan
kaum komunis yang sedemikian pesat dan dianggap membahayakan,
pimpinan Serikat Islam yang bukan komunis seperti Agoes Salim dan
Abdul Moeis mengusulkan diterapkannya disiplin keanggotaan rangkap
untuk membendung pengaruh komunis. Pertentangan di dalam tubuh SI
melahirkan perpecahan dengan dibentuknya Serikat Islam Merah oleh
kaum komunis pada tahun 1923. Selanjutnya SI Merah berubah nama
menjadi Serikat Rakyat. Pada perkembangan awal, PKI telah berusaha
bergerak di kalangan petani. Hal itu didasarkan kepada keputusan
konferensi Kota Gede (Yogyakarta) pada bulan Desember 1923 yang
menghendaki agar Serikat Rakyat dipergunakan untuk melakukan hal
tersebut. Walaupun sebenarnya hal ini merupakan penegasan atas anjuran
Lenin kepada Bangsa-bangsa Timur yang disampaikannya pada bulan
November 1919:
Apabila kita sedikit mengamati, PKI yang pada awalnya lebih
memfokuskan gerakan dengan menggarap kaum buruh sebagai basis
gerakannya justru mengalihkan fokus gerakan dengan menggarap kaum
petani, terutama setelah dibentuknya Serikat Rakyat. Gerakan protes
terhadap pemerintah kolonial yang dilakukan serikat-serikat buruh yang
disponsorori oleh PKI dianggap lebih membahayakan oleh pemerintah
kolonial dibandingkan gerakan yang digalang oleh Serikat Islam. Hal itu
bukan didasarkan oleh bentuk gerakan yang mereka lakukan, tetapi karena
melihat tujuan politik PKI yang lebih luas. Namun, pemimpin PKI
menganggap bahwa gerakan dengan menggunakan serikat-serikat buruh
sebagai kendaraan politik memiliki beberapa kelemahan terutama
mengenai karakter buruh sebagai masyarakat yang dapat langsung
berhubungan dengan pengaruh luar sehingga dapat membuat
kegoncangan. Selain itu, alasan utama lainnya adalah perbedaan kesadaran
sosial dan politik antara kaum buruh di Eropa dengan
di Indonesia.Oleh karena itulah PKI lebih condong untuk mengutamakan
kaum petani sebagai basis kekuatan politiknya. PKI lebih melihat petani
sebagai lapisan masyarakat yang tidak langsung berhubungan dengan
pengaruh dari luar, tetapi mereka mengetahuinya dari pemimpinya
masing-masing.

a. PKI Cabang Banten


Sejak awal berdiri ISDV tidak pernah membuka cabang di
Banten, meskipun dua orang anggota eksekutifnya yakni Hasan
Djajdiningrat dan J. C. Stam tinggal di sana. Awal mula
kemunculan PKI di Banten, tidak dapat dilepaskan dari peran yang
dimainkan oleh R. Oesadiningrat, seorang karyawan Stasiun
Kereta Api Tanah Abang yang dipecat oleh otoritas kolonial yang
kemudian aktif di Sarekat Buruh Kereta Api (VSTP) sebagai
pengurus harian penuh. Dalam kedudukannya sebagai pengurus
VSTP, Oesadiningrat kemudian menggelar rapat akbar sebanyak
tiga kali yang dihadiri oleh tokoh PKI terkemuka. Pada bulan
Agustus 1924, ia kembali menggelar rapat akbar di Pandeglang
dengan tujuan hendak mendirikan Sarekat Rakyat.
Pertumbuhan PKI di Banten terjadi begitu cepat karena pada
tahun 1924 baru ada dua orang anggota PKI yang tinggal di
Banten. Dalam jangka waktu dua belas bulan, anggota PKI di
Banten berjumlah ribuan orang dan terus bertambah pada tahun
1926. Pertambahan anggota PKI yang begitu pesat disebabkan
sejak tahun 1925, perantau dari Banten semakin banyak yang
kembali ke kampong halamannya dan di antara mereka telah ada
yang menjadi anggota PKI.
Beberapa perantau ini berkedudukan sebagai agen propaganda
untuk mendirikan cabang PKI di Banten. Salah seorang di antara
mereka adalah Tubagus Alipan yang diminta oleh Darsono untuk
mendirikan PKI Cabang Banten. Bersama-sama dengan
Puradisastra, Tb. Alipan kemudian melakukan upaya untuk
mendirikan PKI Cabang Banten. Kedua orang agen propaganda
PKI ini kemudian dibantu oleh Achmad Bassaif yang fasih
berbahasa Arab.Mereka bertiga kemudian menjadikan Islam
sebagai senjata propagandanya. Dalam propagandanya itu,
pengertian komunis ditekankan sebagai usaha menentang Belanda
dan dipersamakan dengan perang sabil. Hal tersebut kemudian
dipertegas oleh Alimin dan Musso yang datang ke Pandeglang
sekitar tahun 1925. Di hadapan massa, kedua tokoh PKI ini
menguraikan secara panjang lebar soal-soal perjuangan bangsa
menghadapi penjajahan Belanda. Dengan demikian, dalam
usahanya mendapatkan dukungan dari rakyat Banten, para
proganda PKI menghilangkan pengertian komunisme, tetapi
kemudian lebih mengedepankan persamaan perjuangan antara
Islam dan PKI. Oleh karena itu,para ulama Banten tidak menentang
kehadiran PKI di Banten bahkan di antara para ulama itu kemudian
ada yang menjadi pengurus PKI Cabang Banten. Selain mendapat
dukungan dari para ulama, para petani di Banten pun mendukung
terhadap gerakan PKI karena tertarik terhadap janji-janji PKI. PKI
menjanjikan kepada para petani bahwa partainya akan
membebaskan petani dari pajak kepal/perorangan
(hoofdgeld).Pajak inilah yang membuat resah petani sehingga suatu
saat akan meledak menjadi sebuah perlawan jika ada yang mampu
menggerakkannya. PKI mampu membaca situasi itu sehingga
mendapat dukungan penuh dari para petani Banten.
Awalnya, aktivitas PKI dipusatkan di Kabupaten Serang.
Akan tetapi, sejak bulan Maret 1926, aktivitas mereka dengan
cepat menyebar sampai ke wilayah Rangkasbitung, Kabupaten
Lebak. Aktivitas itu kemudian tidak hanya sekedar menggelar rapat
politik, tetapi juga telah bergeser ke arah tindakan kriminal.
Adapun K. H. Achmad Chatib ditunjuk sebagai Presiden Agama
PKI Seksi Banten. Setelah rapat itu, semangat revolusioner
semakin dan PKI Seksi Banten telah menyatakan kesiapannya
untuk melancarkan pemberontakan. Dengan semakin
meningkatnya aktivitas PKI Banten, antara bulan Juli – September
1926, pemerintah Hindia Belanda melakukan penangkapan dan
penahanan terhadap beberapa pemimpin PKI Banten.
Di Rangkasbitung, empat orang tokoh utama PKI, yakni
Tjondroseputro, Atjim, Salihun, dan Thu Tong Hin ditahan oleh
Pemerintah Hindia Belanda pada akhir bulan September 1926.
Penahanan ini mengakibatkan pimpinan PKI berada di bawah
tangan para ulama dan jawara. Golongan inilah yang kemudian
memimpin para petani melancarkan pemberontakan pada bulan
November 1926. Target utama pemberontakan ini adalah kaum
priyayi dan dipilih secara selektif. Mereka yang akan dibunuh
adalah kaum priyayi bukan asli Banten dan suka melakukan
kekerasan kepada rakyat. Selain itu, yang menjadi sasaran adalah
mereka yang telah dianggap mencemari nama baik Banten.
Sementara orang Cina tidak menjadi sasaran karena ada indikasi
keterlibatan secara tidak langsung dalam pemberontakan tersebut.
Sebagian masyarakat Cina di Labuan dan Menes telah menjual
senjata dan amunisi kepada kaum pemberontak. Selain itu, ada juga
orang Cina yang telah menjadi pemimpin terkemuka PKI Banten,
salah satunya adalah Tju Tong Hin yang bergabung dengan PKI
Rangkasbitung.

b. Perkembangan PKI di Sumatera


Dalam situasi Sumatera Barat yang pehuh pertentangan,
Haji Datuk Batuah membawa dan, menyebarkan paham komunis
diaerah tersebut. Pada tahun 1923 ia menanamkan ajaran komunis
di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda
Sumatera Thawalib Padang Panjang. Sumatera Thawalib adalah
suatu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh kalangan pembaharu
Islam di Sumatera Barat, dimana haji Batuah merupakan salah
seorang pengajarnya.
Berawal dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham
komunis akhirnya menyebar ke berbagai daerah Sumatera Barat
dibawa oleh para lulusan sekolah tersebut ke daerah asalnya.
Penyebaran ini terutama dilakukan di kalangan petani. Oleh
masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut “ilmu kominih”
(Schrieke, 1960: 155). Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam
dengan ide anti penjajahan Belanda, anti imperialisme-anti
kapitalisme dan ajaran Marxis.
Pada akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama
dengan Nazar Zaenuddin mendirikan pusat Komunikasi Islam di
Padang panjang. Dalam waktu yang hampir bersamaan Datuk
Batuah menerbitkan harian “Pemandangan Islam” dan dan
Nazar Zaenuddin menerbitkan “Djago-Djago”. Lembaga Pusat
Komunikasi Islam dan kedua harian tersebut digunakan sebagai
media penyiaran paham komunis.
Pada pagi 11 Nopember 1923 Datuk Batuah dan Nazar Zaenuddin
ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Segera setelah itu pusat
propaganda komunis berpindah ke Padang ( Schreike, 1960:
60). Pucuk kepemimpinan PKISumatera Barat kemudian di ambil
alih oleh Sutan Said Ali. Pada waktu itu kegiatan orang-orang
komunis di seluruh nusantara menunjukkan peningkatan yang
pesat. Hal ini karena pada akhir tahun 1923 Darsono, seorang
tokoh, komunis kembali di Hindia Belanda dari Moskow atas
perintah komintern untuk mendampingi Semaun, Alimin dan
Muso. Suatu hal yang menyebabkan pesatnya perkembangan
komunis di Sumatera Barat adalah dileburnya Sarekat Rakyat
Sumatera Barat ke dalam PKI. Sarekat Rakyat ini semula bernama
Sarekat Islam Merah, suatu organisasi pecahan Sarekat Islam
yang berorientesi kepada paham komunis, dimana di Sumetera
Barat mempunyai anggota yang cukup banyak (Kahin, 1952: 70).

Dengan dileburnya Sarekat Rakyat ke dalam PKI, maka


jumlah anggota inti PKI Sumatera Barat meningkat berlipat ganda.
Jika pada tanggal 1 Juni 1924 semua anggota inti PKI Sumatera
Barat tercatat hanya berjumlah 158 Orang, maka pada tanggal
31 Desember 1924 telah menjadi 600 orang, tiga bulan kemudian
menjadi 884 orang. Daerah-daearah yang tercatat sebagai
basisPKI adalah: Kota Lawas, pariaman, Sawah Lunto, Tikalah,
padang dan Silungkang.
Mulai tahun 1925 tampaknya PKI telah jatuh ke tangan
orang-orang yang berdarah panas. PKI mulai menghubungkan diri
dengan orang-orang yang dipandang rendeh dalam masyarakat dan
kumpulan teroris yang selalu dijumpai di pinggiran masyarakat
Indonesia waktu itu (Arnold C. Bracham, 1970 : 22).
Sementara itu Hoskow memproses arah yang ditempuh
oleh PKI, tetapi tidak berhasil (Ruth T.McVey,1965 : 158).
Bahkan pada bulan Juni 1925, Alimin secara terbuka
menganjurkan suatu revolusi. Semenjak itu rupanya pengawasan
partai berada di tangan komunis sayap kiri.
Sejalan dengan itu, pada bulan Desember 1925 di
prambanan, Yogyakarta diadakan pertemuan partai yang dipimpin
oleh Alimin. Pretemuan ini dihadiri oleh tokoh- tokoh PKI,
diantaranya Budi Sucipto, Aliarcham, Sugono, Surat Hardjo,
Martojo, jatim, Sukirno, Suwarno, Kusno dan lain-lainnya. Sedang
Said Ali, pemimpin PKI cabang Sumatera Barat pada pertemuan
ini hadir mewakili seluruh Sumatera ( H. J. Benda, dan Ruth
T.MaVey, 1960: 115) Adapun hasil pokok dari pertemuan ini
adalah bahwa PKI akan mengadakan pemberontakan pada bulan
Juli 1926, dengan terlebih dulu diawali dengan aksi-
aksi pemogokan yang akan diorganisir PKI.
Adapun hasil pokok dari pertemuan ini adalah
bahwa PKI akan mengadakan pemberontakan pada bulan
Juli 1926, dengan terlebih dulu diawali dengan aksi-
aksi pemogokan yang akan diorganisir PKI. Sehubungan dengan
keputusan Prambanan tersebut pemimpin-pemimpin PKI Sumatera
Barat menempuh langkah-langkah guna mempersiapkan
pemberontakan, yang meliputi :
a) Sejalan dangan Surat Edaran Komite Pusat PKI No.221
maka PKI cabang Sumatera Barat berusaha mengumpulkan
senjata. Surat Edaran tersebut berisi perintah
kepada cabang Padang supaya mengumpulkan uang derma
yang dimaksudkan untuk membeli persenjataan yang akan
digunakan untuk melakukan aksi pemberontakan.
b) Mengadakan aksi-aksi ilegal.
Ini terutama dilakukan dalam bentuk membangun
sel-sel PKI di derah-daerah pertanian dalam rangka
memperkuat semangat perlawanan. Dalam
perkembangannya, organisasi-organisasi ilegal ini
mempunyai pengaruh cukup basar di Sumatera Barat,
terutama Sarekat Jin yang bergerak di Padang
dan Pariaman (Ruth T.Mc Vey, 1965: 194 ).
c) Memperkuat propaganda di kalangan buruh-buruh tani
yang bekerja di perkebunan-perkebunan.
D. Dampak bagi Indonesia
Negative
1.banyak pahlawan kita banyak yang gugur
2.hubungan diplomatik dengan negara komunias menjadi renggang
3.terjadi penodaan terhadap ideologi dan kedaulatan negara Indonesia

Positifnya
1.kita dapat lebih waspadai terhadap serangan yang mnyerang NKRI baik
dari dalam maupun luar
2.kita dapat bersatu dan dapat bertahan /menyadari bawah pancasila adalah
jati diri bangsa kita
3.dengan adanya G30S PKI kedudukan pancasila dalam negara menjadi
lebih kuat
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
PKI adalah sebuah gerakan yang sangat tidak baik bagi bangsa indonesia, karena
apa gerakan ini banyak menimbulkan kerugian bagi bangsa indonesia dan juga
gerakan ini terlalu memaksakan kehendak dan ingin menjatuhkan pemerintahan
pada masa itu.

B. SARAN
Sebagai bangsa indonesia yang telah merdeka,sebaiknya para generasi penerus
bangsa berfikir bagaimana cara membuat NKRI ini lebih baik lagi dengan terus
belajar dan membuat prestasi yang membuat negara indonesia kita tercinta lebih
dikenal dimata dunia.

Anda mungkin juga menyukai