Anda di halaman 1dari 6

ANOTASI

ARTIKEL ILMIAH TENTANG LINGUISTIK


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Linguistik yang diampu
oleh Dr. Ardi Mulyana Haryadi, M.Hum.

Disusun oleh :
Ridwan Anas
NPM. 23881010

SEKOLAH PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
INSTITUT PENDIDIKAN INDONESIA
GARUT
2023
Wardhana, I Gede Neil Pramukti. Perkembangan Bahasa Anak 0-3 Tahun
dalam Keluarga. Fakultas Ekonomi dan Humaniora Universitas
Dhyana Pura. September 2013.

Penggunaan Bahasa Indonesia anak umur 0-3 tahun, yaitu I Putu Agus
Suardhana. Yang dilihat dari segi Fonologi, dan pengaruh penggunaan Bahasa
Indonesia dalam pengucapan kosakata atau kalimat sederhana. Peneliti meneliti
responden dan menemukan bahwa pada usia 0 tahun responden memperoleh
perkembangan phonological yaitu dia sudah mulai bisa mengucapkan kata
ma..ma…, pa..pa..dan bu..bu.. walaupu secara terpatah-patah dan jika ingin
sesuatu responden menunjukan tangannya kea rah benda yang diinginkan ataupun
dengan tangisan. Responden juga merespons kakaknya Ketika mengucapkan
kalimat seperti “ayo dik agus kita sekarang minum susu nanti sehabis itu makan
biscuit regalnya” dengan respon “mik cucu” (dengan senyum gembira). Hal ini
menunjukan dari perkembangan fonologis ada huruf dari kata yang dihilangkan
dari kata “minum susu = mik ucu”. Setelah berumur 3 tahun Agus sudah bisa
dengan benar mengucapkan kata minum susu “Ma.. Agus mau minum susu”.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan bahasa anak


terutama adalah faktor keluarga dan kerabat terdekat, seperti orang tua dan
saudara. Selain itu, dukungan terhadap bahasa seperti motherese, recasting,
echoing, dan expanding juga dapat membantu perkembangan bahasa anak.
interaksi dengan orang lain dan perubahan kultural serta konteks sosiokultural
bahasa juga penting dalam perkembangan bahasa anak.

Penggunaan bahas Indonesia dalam keluarga dapat mempengaruhi


perkembangan kosakata anak. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang
dibesarkan dalam keluarga yang menggunakan bahasa Indonesia memiliki
kosakata yang lebih luas daripada anak-anak yang tidak dibesarkan dalam
keluarga yang menggunakan bahasa Indonesia.

beberapa contoh pengucapan kata yang terbalik ditemukan pada anak-anak


dalam penelitian ini, seperti pengucapan huruf ‘r’ pada kata “racun – [racun]”
diucapkan “lacun – [lacun]” dan “tidur – [tidur]” menjadi “tidul – [tidul]”. Selain
itu, pengucapan huruf ‘p’ dan ‘b’ diganti menjadi huruf ‘h’ misalnya pada kata
“badan – [badan]” menjadi “hadan – [hadan]”, dan kata “panjang – [panjaŋ]”
menjadi “hanjang – [hanjaŋ]”. kesalahan pengucapan kata "kebalik" menjadi
"kehalik" dan penggunaan kata "Eskalang" yang seharusnya "sekarang". anak-
anak sering melakukan kesalahan dalam pengucapan kata, seperti penggantian
bunyi konsonan atau vokal, penghilangan bunyi, atau penambahan bunyi.
Astuti, Sri Budi. Keidakefektifan Kalimat dalam Jurnal Ilmiah Linguistik
Indonesia Edisi Tahun 2013. Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya.

Fokus penelitian ini adalah kesepadanan struktur, keparalelan bentuk,


ketegasan makna, kehematan kata, kecermatan, kepaduan gagasan, dan kelogisan
bahasa. Metode pengumpulan adata yang digunakan adalah dokumentasi, dalam
bentuk Simak dan catat, dan analisi menggunakan Teknik deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini menemukan tujuh kesalahan atau kekeliruan dalam Jurnal
Ilmiah tersebut.
Pertama, penggunaan konjungsi preposisi, kata yang didepan predikat,
dan penggunaan konjungsi intrakalimat yang tidak tepat adalah penyebab kalimat
tersebut tidak efektif. Konjungsi preposisi atau kata depan yang sering digunakan,
yaitu pada, dalam, dan menurut, yaitu dengan jumlah 27 kalimat. selanjutnya,
yaitu penggunaan konjungsi intrakalimat. Penggunaan konjungsi intrakalimat
ditemukan sebanyak 41 kalimat. Ketidakefektifan kalimat tersebut disebabkan
tidak tepat dalam peletakaan konjungsi intrakalimat menjadi antarkalimat
begitupun sebaliknya. Konjungsi intrakalimat yang tidak tepat peletakannya, yaitu
jika-maka, dan, kemudian, dan namun. Konjungsi dan, kemudian, dan namun
ditemukan tidak efektif karena konjungsi tersebut diletakkan di antarkalimat.
Predikat dalam kalimat itu tidak didahului kata yang, terdapat 48 kalimat yang
tidak memiliki keljelasan predikat disebabkan adanya kata yang. Kedua,
ketidakefekfan kalimat berdasarkan ketidakparalelan ditemukan dalam bentuk
jenis frasa, afiks, sufiks, konfiks, yaitu dengan jumlah 16 kalimat. Ketiga
ketidakefektifan kalimat berdasrkan ketidaktegasan ditemukan 11 kalimat
antaranya, tidak meletakan bagian paling penting, yaitu subjek/kata/frasa di depan
kalimat, penggunaan partikel lah, kah, dan pun, serta meletakan bagian yang
hendak ditonjolkan di depan kalimat, membuat urutan kata-kata yang bertahap,
membuat pengulangan secara proposional, membuat pertentangan atas ide atau
pikiran yang ditonjolkan. Keempat, ketidakefektifan kalimat berdasrkan
ketidakhematan, ketidakhematan kalimat disebabkan subjek ganda,
bersuperordinat, dan kesinoniman, ditemukan 16 kalimat. Kelima,
ketidakefektifan kalimat berdasarkan ketidakcermatan ditemukan sebanyak 16
kalimat. Ketidakcermatan tersebut dikarenakan kalimat memiliki tafsiran ganda
atau ambigu sehingga menyebabkan pembaca merasa kebingungan dalam
menafsirkan kalimat. Keenam, ketidakefektifan berdasarkan ketidakpaduan
ditemukan 13 kalimat, ditunjukan pada temuan data, seperti: penggunaan kalimat
yang terlalu Panjang atau bertele-tele. Ketujuh, ketidakefektifan kalimat
berdasarkan ketidaklogisan, ketidaktepatan ejaan dalam bentuk tanda koma
ditemukan paling banyak yaitu 20 kalimat hal ini dikarenakan frasa atau
konjungsi intrakalimat tersebut tidak terdapat tanda koma dan peletakan tanda
koma tidak tepat. Sebanyak 58 kalimat.
Warami, Hugo. 2021. Kejahatan Bahasa di Media Sosial pada wilayah Hukum
Manokwari : Kajian Linguistik Forensik. Universitas Papua.

Mengutip pernyataan Presiden Republik Indonesia yang menyatakan


bahwa : “Perkembangan teknologi informasi yang pesat tersebut harus betul-betul
kita arahkan kita manfaatkan kearah yang positif, kearah untuk kemajuan bangsa
kita. Untuk menambah pengetahuan, memperluas wawasan, menyebarkan nilai-
nilai positif, nilai-nilai optimisme, nilai-nilai kerja keras, nilai-nilai integritas, dan
kejujuran, nilai-nilai toleransi dan perdamaian, nilai-nilai solidaritas dan
kebangsaan.” Namun menurut penulis dewasa ini banyak sekali berseliweran
informasi yang meresahkan yang mengadu domba, yang memecah belah.
Munculnya ujaran kebencian, pernyataan yang kasar, yang mengandung fitnah
dan provokatif bahkan penggunaan Bahasa yang pakai seperti, ‘bunuh’, ‘bantai’,
‘gantung’, dan lain sebagianya.
Peneliti melakukan riset dan pengumpulan data dari berbagai sumber
seperti media online (facebook, sms, dan WA) data tertulis penyidik dan data
tertulis dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP), keterangan saksi ahli yang dibuat
penyidik dari satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Manokwari.
Frekuensi kemunculan Fakta Bahasa yang diperoleh peneliti seperti :
‘Biadab’, ‘busuk, ‘binatang’, ‘anjing’, ‘babi’, ‘gurita’, iblis’, ‘setan’, ‘sihir’,
‘santet’, ‘jahat’, ‘keji’, ‘jahanam’, ‘gatal’, dan ‘puki’. Dari data yang diperoleh
penulis mendapatkan kata hinaan yang paling banyak yaitu “Binatang, anjing,
babi” muncul 67 kali, kata hinaan ‘biadab’ dan ‘santet’ muncul 11 kali, kata
hinaan ‘setan’ muncul 8 kali, kata hinaan ‘ibilis’ muncul 6 kali, kata hinaan “jahat,
keji, jahanam”, “gatal”, dan “puki” masing-masing muncul 3 kali, dan kata hinaan
busuk muncul 1 kali.
Penulis juga menjelaskan rujukan kata serta eksplikasi kata pada setiap
kata Bahasa yang digunakan sebagai kata hinaan dan menyimpulkan kat-kata
tersebut dapat memberikan dampak negatif bagi banyak pembaca karena terdapat
di ruang publik yang dapat memperburuk, merusak keadaan.

Labaso, Syahrial dan Hestiana, Ratna. 2023. Pendekatan Linguistik dalam


Pengkajian Islam. Institut Agama Islam Sultan Amai Gorontalo.

Ajaran Islam memiliki dua dimensi yang saling terkait, yakni dimensi
normatif dan historis. Secara normative islam merupakan dogma yang bersifat
transenden, sementara historis ajaran islma merupakan nilai-nilai universal yang
dapat menjawab segala tantangan. Peneliti meneliti pengkajian Islam dengan
menggunakan pendekatan Lingusitk, metode yang digunakan adalah studi
Pustaka, menghimpun sumber referensi yang dipandang relevan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa Bahasa merupakan symbol bunyi yang dipandang mewakili
presepsi akal dan hati manusia.
Al-qur’an sebagai objek pengkajian Islam merupakan sumber hukum
pertama dalam Islam yang dipahami sebagai wahyu Allah Swt kepada nabi
Muhammad Saw. Melalui Bahasa lisan kemudian diabadikan dalam bentuk
Bahasa tulis. Pendekatan linguistik ini berusaha mengkaji pemaknaan yang
dangkal dan sepihak mengenai maksud tertentu dalam Alqur’an, yang bersifat
sensitive misalnya: kafir, sesat, neraka, jihad, dan lain-lain yang tidak dapat
dipahami dengan mudah sehingga memungkinkan terjadinya penafsiran ganda,
dan keliru sehingga dapat menyalahi aturan dan berpotensi menjadi terganggunya
stabilitas keamanan dan ketentraman social. yahrur memulai dengan menganalisis
tiga ayat yakni:
1. QS.Al-Ahzab ayat 35, yang mengindikasikan adanya komunitas almuslimun
waal-muslimat (laki-laki dan perempuan muslim) dan komunitas al-mu’minun
waal-mu’minat (laki-laki dan perempuan mukmin).
2. QS.Al-Tahrim ayat 5, yang menyebutkan kata muslimat (wanita muslim) yang
disifati dengan kata mu’minat (beriman)
3. QS.Al-Hujurat ayat 14, yang menerangkan bahwa Muhammad SAW
menyangkal pertanyaan sekelompok Badui yang mengatakan: “Kami telah
beriman” (Hidayat, 2017).
Ketiga ayat tersebut dipahami Syahrur bahwa komunitas muslimin-
muslimat itu berbeda dengan komunitas mu’minin-mu’minat dan bahwa
keislaman seseorang itu datang lebih dahulu dibanding keimanannya. Di sini
terlihat bahwa Syahrur menggunakan teori pradigma sintagmatis yang
mengatakan bahwa penyebutan dua istilah (muslim dan mu’min) secara beriringan
dengan disisipi partikel wawu menunjukkan bahwa kedua istilah itu bukan
merupakan sinonim meskipun ada persinggungan makna, tetapi memliki sense
(makna) dan reference (referensi) yang berbeda. Selain itu, penyebutan kedua
istilah dalam ketiga ayat tersebut memberikan pengertian simbolis tentang tahapan
eksistensi yang berbeda pula.
Menurut Syahrur, Islam bukan hanya milik umat Muhammad saw sebab,
sebelum kedatangan Muhammad saw sudah ada penyebutan al-muslimun kepada
komunitas Jin, Ibrahim as, Ya’qub as, Yusuf as, para pengikut Isa as, Nuh as, dan
Luth as. Menurut Syahur, Islam adalah sesuai dengan ayat Al-Qur’an pada QS.
Al-Baqarah ayat 62,111, dan 126, QS.Al-Nisa ayat 125, QS. Al-Maidah ayat 44,
QS. Al-Anbiya ayat 108, dan QS. Fussilat ayat 33. Islam menurut ayat-ayat
tersebut ialah mengakui adanya Allah, beriman kepada hari akhir dan beramal
shaleh. Jadi, siapapun yang memliki ketiga sifat tersebut disebut seorang muslim.
Nur Ihsan HL, Takwa, Samsudin. 2021. Pemerolehan Leksikon pada Anak
Usia 2 Tahun. Fakultass Keguruan dan Ilmu Pendidikan USN Kolaka.

Fenomena Bahasa yang dialami anak usia 2 tahun sangat menarik,


menurut penulis ditemukan anak usia 2 tahun banyak menggunakan bentuk
Bahasa yang sama untuk makna yang berbeda. Metode yang digunakan penulis
adalah deskriptif kualitatif. Objeknya adalah satu orang anak usia 2 tahun yang
tinggal di kelurahan Sabilambo Kabupaten Kolaka. Penulis menemukan 65
perolehan leksikon yang terklasifikasi dalam kata benda, kata kerja, kata
keterangan, kata sifat, dan kata ganti.
Bentuk leksikon yang ditemukan kelompok satu sampai enam anatara lain;
tutu buatkan susu atau menyuruh ibunya duduk. Ami untuk menyuruh ibunya
mengambil mainan atau untuk mengajak mandi, Nda Pindah atau tidak, Ua untuk
uang, gula, dan buang, Ati untuk mati lampu atau nasi, Mpa untuk simpan
meminta ibunya menyimpan mainan atau menyuruh lompat, api untuk sapi.
Kemudian didaftar leksikon ketujuh sampai duabelas antara lain; api untuk kuda,
karena mirip sapi, api untuk kambing karena mirip sapi, api untuk Rafi
memanggil seseorang Bernama Rafi, api untuk April menyebut seseorang
Bernama April, apu untuk lampu, sapu, atu untuk sepatu atau jatuh, nana untuk
jangan atau celana, ale untuk fallen atau farel, aya untuk saya atau ayam. Makna
tersebut dapat diketahui apabila bunyi leksikon tersebut diketahui konteks yang
melatarbelakanginya.

Anda mungkin juga menyukai