Anda di halaman 1dari 12

“Persaudaraan Dunia” dalam Dialog:

Gagasan Dialog Antar Peradaban dalam Pemikiran Rabindranath Tagore


Oleh: Alexander Pambudi

Mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta


(email: pambudialexander@gmail.com)

A. Rabindranath Tagore : Konteks Politik, Sosial, Kultural dan Religius


Rabindranath Tagore (Bahasa Bengali: Rabindranath Thakur, sebutan untuk para
dewa—semisal Gusti dalam Bahasa Jawa1) lahir di Jorasanko, Kalkuta, India, 7 Mei 1861,
meninggal 7 Agustus 1941 pada umur 80 tahun. Dikenal juga dengan nama Gurudev.
Tagore adalah seorang Brahmo Samaj, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan
sastrawan Bengali. Ia terlahir dalam keluarga Brahmana Bengali.
Tagore mulai menulis puisi sejak usia delapan tahun, ia menggunakan nama
samaran Bhanushingho (Singa Matahari) untuk penerbitan karya puisinya yang pertama
pada tahun 1877, dan menulis cerita pendek pertamanya pada usia enam belas tahun. Ia
mengenyam pendidikan dasar di rumah (home schooling), dan tinggal di Shilaidaha, serta
sering melakukan perjalanan panjang yang menjadikan ia seorang yang pragmatis dan
tidak suka atau patuh pada norma sosial dan adat. Rasa kecewa kepada British Raj
(pemerintah kolonial Inggris), rasa kehilangan hampir segenap keluarganya, serta
kurangnya penghargaan dari Benggala atas karya besarnya, Universitas Visva-
Bharatimembuat, maka Tagore memberikan dukungan pada gerakan kemerdekaan
India dan berteman dengan Mahatma Gandhi..
Beberapa karya besarnya antara lain Gitanjali (Song Offerings), Gora (Fair-Faced),
dan Ghare-Baire (The Home and the World), serta karya puisi, cerita pendek dan novel
yang dikenal dan dikagumi dunia. Ia juga seorang reformis kebudayaan
dan polymath yang memodernisasikan seni budaya di Benggala. Dua buah lagu dari
aliran Rabindra Sangeet (sebuah aliran lagu yang ia ciptakan) kini menjadi lagu
kebangsaan Bangladesh (Amar Shonar Bangla) dan India (Jana Maha Gana).

1
Saut Pasaribu, Gitanjali:Kidung Persembahan, diterjemahkan dari Gitanjali, oleh Rabindranath
Tagore, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta 2000, vi.

1
Di dunia internasional Tagore adalah bintang sejarah sastra. Ia menerima hadiah
nobel sastra (1913) untuk karya-karyanya—khususnya Gitanjali—karena dianggap
mampu memberikan ekspresi sastrawi yang menyatukan budaya Barat dan Timur yang
kala itu sedang terlibat perseteruan panjang di ladang dan tambang kolonialisme dan
imperialisme2.
Rabindranath Tagore hidup dalam masa kolonialisme Inggris dan nasionalisme
India. Dua situasi ini mau tidak mau berdampak terhadap pemikirannya yang cenderung
nasionalis dan sangat dipengaruhi Barat.

B) Biografi Intelektual
Tagore menuntut ilmu sejarah, astronomi, bahasa sansekerta, dan sastra klasik India
di kota Shantiniketan. Tahun 1877 mulai dikenal luas sebagai penyair dengan menerbitkan
puisi dan cerita pendek. Tahun 1978 Tagore berkelana ke Inggris untuk menuntut ilmu
hukum di Brighton kemudian melanjutkan studi di College University London. Tahun
1880 Tagore pulang ke India menikah dengan Mrinalini Devi. Karya-karya Tagore
kemudian banyak diterjemahkan dalam bahasa Inggris sehingga mulai populer di Eropa
sampai akhirnya tahun 1913 ia mendapat penghargaan nobel bidang sastra.
Di India Rabindranath Tagore mendirikan Shantiniketan, ―tempat tinggal yg damai‖,
sebuah sekolah yang khas dengan budaya lokal dan sesuai kebutuhan masyarakat umum
saat itu. Sekolah ini adalah sebagai usaha perlawanannya terhadap pendidikan kolonial
Inggris yang hanya ingin menciptakan rakyat jajahan yang penurut dan sedikit ‗terpelajar‘.
Sekolah kolonial pun menjadi alat efektif untuk menyaring orang-orang India berbakat
untuk mengisi jajaran birokrasi kolonial. Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya
sendiri, dan dipaksa mengikuti disiplin dan cara berpikir kolonial Inggris. Mereka yang
lulus dan akhirnya mendukung sistem itu, dikenal dengan sebutan Anglicist, pembela
utama sistem kolonial, dan menganggap penindasan kolonial sebagai hal yang patut
diterima oleh rakyat India yang ‗tak beradab‘.
Tagore memulai kegiatannya dalam situasi kolonialisme. Menurutnya, rakyat tidak
punya pilihan lain kecuali mengembalikan kepribadian (rakyat) India pada akar tradisinya
sendiri. Ia membangun proses pendidikan menyeluruh, dimulai dari sekolah rendah

2
Saut Pasaribu, Gitanjali:Kidung Persembahan, vi.

2
sampai sekolah tinggi yang bertolak dari pengalaman para siswa. Sementara dalam
pendidikan kolonial anak-anak hanya menjadi obyek dari para guru sebagai pengambil
keputusan, di Shantiniketan anak-anak diberi keleluasaan mengembangkan diri dan
berlaku sebagai subyek pendidikan.
Keistimewaan karya-karya Tagore adalah idealisme yang tinggi, menyentuh emosi,
menyuarakan kesengsaraan masyarakat kecil serta mudah diterima di pembaca di luar
India (Eropa). Kiprah Tagore memang tak terbatas pada syair-syairnya. Selain aktif
terlibat dalam gerakan kemerdekaan nasionalis India dan membangun sekolah
eksperimental di Santiniketan (Visva-Bharati University), tahun 1921 Tagore dan seorang
ekonom pertanian, Leonard Elmhirst, mempersiapkan institusi pendidikan itu untuk
rekonstruksi pedesaan. Ia juga menumbuhkan perhatian terhadap kesadaran akan adanya
diskriminasi kasta3.
Salah satunya dengan mendirikan sekolah pertanian dengan merekrut sarjana-sarjana
pertanian dan penggalangan dana. Tahun 1878 -1932 Tagore kembali berkelana
mengunjungi lebih dari 30 negara di 5 benua, perjalanan ini sangat penting artinya dalam
mengenalkan karya-karyanya, serta memaparkan ide-ide politiknya di dunia internasional.
Negara-negara yang ia kunjungi antara lain Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet,
Jerman, Denmark, Jepang, Iraq, Srilanka, Peru, Meksiko, Argentina, Italia, Indonesia,
Malaysia, Thailand dan Singapura. Di berbagai belahan dunia tersebut Tagore
mempupulerkan semua karya-karyanya, berinteraksi dengan berbagai tokoh besar:
presiden, sastrawan dan kalangan akademisi.
Pengaruh Tagore tidak hanya di Eropa dan Amerika, di Indonesia pun Tagore
dikenal baik. Pengaruh-pengaruh Tagore dalam dunia pendidikan banyak diadopsi oleh
para pejuang kemanusiaan, termasuk Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia.
Shantiniketan menjadi sumber inspirasi Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Taman
Siswa di Yogyakarta.Taman pendidikan Shantiniketan dijadikan sebagai salah satu acuan
dalam sistem pelaksanaan pendidikan di Pondok Gontor (Ponorogo), Universitas Al-Azhar
di Kairo (Mesir), Pondok Syanggit di Afrika Utara, Universitas Aligarh di India.
Karya-karya besar Rabindranath Tagore antara lain:

3
BI. Purwantari, ―Penulis India Menjadikan Dunia Manusiawi‖, Kompas, Sabtu 16 September 2006, 41.

3
1) Novel dan non-fiksi. Tagore menulis delapan novel, termasuk Chaturanga, Shesher
Kobita, Char Odhay, Noukadubi, dan Ghare Baire (The Home and the World). Karya-
karya non-fiksinya banyak mengambil topik sejarah India hingga ilmu bahasa
(linguistik), dan juga termasuk karya otobiografi, catatan perjalanan, esai, materi
kuliah dan ceramah di berbagai belahan dunia yang di kumpulkan dalam beberapa
bagian, ikut di dalamnya adalah Iurop Jatrir Patro (Surat dari Eropa) dan Manusher
Dhormo (Agama Manusia).
2) Musik dan seni rupa. Tagore juga seorang musisi dan pelukis yang berbakat, yang
telah mencipta dan menulis sekitar 2.230 lagu. Tagore juga menjadi satu-satunya
orang di dunia yang menulis dan menciptakan dua lagu kebangsaan bagi dua negara
yang berbeda. Lagu kebangsaan India (Jana Gana Mana) dan Bangladesh (Amar
Sonaar Baanglaa). Karya seni rupa berupa pahatan, seni lukis dan patung juga banyak
dipamerkan di seantero Eropa.
3) Drama dan teater. Karyanya dibidang teater antara lain drama-opera Valmiki
Pratibha, Dak Ghar (Kantor Pos), Chandalika (Gadis yang Tak
Tersentuh), Raktakaravi (Oleander Merah), Chitrangada, Raja, dan Mayar Khela.
4) Cerita pendek. Karya besarnya yang berupa cerpen antara lain: Galpaguchchha
(karya yang dikemas dalam tiga volume), The Fruitseller from Kabul, Nastanirh (The
Broken Nest), Atithi, Strir Patra ("The Letter from the Wife"), Musalmani Didi,
Darpaharan .
5) Puisi. Karya Tagore dalam bentuk puisi antara lain: Africa and Camalia
Manasi, Sonar Tori (Golden Boat), Balaka (Wild Geese), Sonar Tori, dan Gitanjali.

C) Gagasan umum:
Pendidikan
Sebelum memulai karya intelektalnya, Tagore melakukan perjalanan panjang
berkeliling India. Perjalanan itu tak saja membuka mata dan pengetahuan, tapi juga
pemahaman yang mendalam tentang arti dunia. Berkelana mempertemukan Rabindranath
Tagore dengan Mahatma Gandhi. Keduanya bersahabat menentang British Raj
(pemerintahan kolonial Inggris), dan saling membangun gerakan kemerdekaan India.
Tagore dan Gandhi adalah dua pemimpin besar India yang pemikirannya berpengaruh
melebihi batas-batas teritorial sebuah negara. Banyak para intelektual membandingkan

4
dua pemikiran tersebut. Kakeknya, Dwarkanath Tagore, adalah seorang ilmuwan
terpandang yang menguasai bahasa Arab, juga Parsi. Kombinasi itu pula yang
menyumbang kearifan pada Tagore muda. Pengetahuan Sansekerta digabung dengan
pemahaman Islam yang ditularkan oleh sang kakek, ditambah juga dengan literatur Persia
yang kaya filsafat, membuat pemikirannya begitu mendalam dan berpengaruh.
Di India, Rabindranath Tagore (1861-1941) mendirikan Shantiniketan, sebagai
perlawanan terhadap pendidikan kolonial Inggris yang hanya ingin menciptakan rakyat
jajahan yang penurut dan sedikit ‗terpelajar‘. Sekolah kolonial pun menjadi alat efektif
untuk menyaring orang-orang India berbakat untuk mengisi jajaran birokrasi kolonial.
Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya sendiri, dan dipaksa mengikuti disiplin
dan cara berpikir kolonial Inggris. Ia berusaha keras membebaskan rakyat dari kemiskinan
dan kebodohan dengan cara meningkatkan pendidikan dan keterampilan rakyat.
Pendidikan baginya adalah proses membawa seseorang keluar dari dirinya sendiri
untuk mendapatkan jati diri, terlebih jati diri kemanusiaan, karena hakikat dan pendidikan
adalah upaya untuk memanusiakan manusia (humanisasi). Pendidikan yang dibutuhkan
adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak
teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut
dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik
dari kenyataan hidup yang ada. Selain itu pendidikan adalah salah satu alternatif agar
peserta didik mampu memahami realitas sosial yang senyatanya. Peserta didik akan selalu
dibenturkan dengan problem-problem kongkret dan aktual yang ada, untuk selanjutnya
berupaya menganalisis menggunakan ―pisau analisis‖ atau ―sudut pandang‖ yang sesuai,
guna menemukan pemecahan yang komprehensif. Ia mengedepankan bahwa individu
harus bersatu dengan alam. Menurutnya orang sering hanya berkonsentrasi belajar dari
buku dan melupakan utk belajar dari alam bebas yg sebenarnya lebih kaya. Alam baginya
baginya adalah realitas utama–kosmologis atau Tuhan Imanen didalamnya. Pemikirannya
tentang alam ini menghantarkan dia pada pemikiran tentang Tuhan yang personal dan
impersonal.
Hampir sama dengan Gandhi, Tagore meyakini bahwa kebenaran harus digali dan
bersumber pada subjek atau pribadi yang otonom. Pembentukan karakter individu yang
bebas dan mandiri harus dibentuk melalui sistem pendidikan yang berbasis pada kondisi
riil masyarakat dan berbasis pada alam. Konsep Pendidikan Tagore ingin memberikan

5
peserta didik bekal untuk memahami kehidupan dan bukan hanya pendidikan yang
berorientasi bagi pemenuhan atau bekal ―penghidupan‖.

Tuhan: Personal dan Impersonal


Pemikiran Rabindranath Tagore dibedakan dalam Tuhan yang personal dan
impersonal. Sehubungan dengan yang pertama, dapat dikatakan bahwa Tuhan dengan
manusia itu ―tidak berjarak‖. Hal ini dia jelaskan dengan mengutip bahwa literatur yang
paling menggejala di India menunjukkan kenyataan tersebut. Tidak adanya jarak dengan
Tuhan, bagaimanapun tidak dapat dipahami melulu dalam makna denotatif, melainkan
implisit mengandung pengertian bahwa secara konotatif Tuhan dalam arti tertentu dekat
dengan kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia dapat menghadirkan Tuhan dalam
tataran yang paling intim secara signifikan, artinya, penghadiran Tuhan merupakan
penghadiran sebuah makna dalam hidup sehari-hari manusia mempunyai kehendak untuk
merealisasikannya. Di samping itu, fenomena alam menginspirasikan kehadiran Tuhan
dalam hubungannya dengan pemahaman manusia di dalam menginterpretasikan
fenomena alam tersebut. Alam dan kehidupan sehari-hari manusia seolah-olah
mengikutsertakan ke-ada-an Tuhan. Tuhan personal mengejawantah dalam intensitas
kehidupan manusia. Tuhan impersonal disebut sebagai ―Yang Absolut‖. Meskipun
Tagore lebih menekankan Tuhan Personal, tampaknya dia mengafirmasi bahwa Yang
Absolut merupakan suatu hal yang positif, konkret dan realitas universal 4.

Anti-Kolonialisasi
Dalam sebuah surat kepada C.F. Andrews, Tagore pernah berkata demikian:

―[T]he problem of race conflict is the greatest of all that men have been
called upon to solve… different races and nations of the Earth have come
nearer each other than ever they did before. But we have not been ready
to accept the responsibilities of this wider humanity. Men are still under
the thraldom of the spirit of antagonism which has been associated with a
narrow sentiment of nationality … I feel that the time has come, and after
all kinds of patch-work of superficial experiments the spiritual nature of

4
Ngurah Weda Sahadewa, Makna eksistensi diri dalam filsafat Rabindranath Tagore, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 2003, 75-79.

6
man is getting ready to take up the task and broaden the path of
reconciliation of all different races and creeds‖5.

Kutipan surat ini memberi gambaran bahwa Tagore mencoba menempatkan dirinya
sebagai ―agen‖ rekonsiliasi antara Timur dan Barat. Dia prihatin dengan adanya konflik
antar ras-budaya yang berkepanjangan. Yang lebih memprihatinkan konflik-konflik ini
seringkali diikuti dengan tindak kekerasan yang mau tidak mau harus memakan korban,
khususnya orang-orang miskin dan tersingkir yang tidak mempunyai kekuatan untuk
melawan atau menghindar. Tidak perlu jauh-jauh, dia bercermin pada pengalaman
penjajahan bangsanya sendiri oleh Inggris. Kemudian dalam tulisan-tulisan dan
korespondensinya, Tagore fokus pada usaha menentang adanya kolonialisasi. Dia tidak
ingin melihat lagi kolonialisasi karena hanya sebagai ajang untuk memperlebar konflik
kepentingan.

D). Gagasan khusus tentang Hubungan antar Umat Beragama:


“Persaudaraan Dunia” dalam Dialog Antar Peradaban
Dalam salah satu pidatonya di Amerika Tagore pernah berbicara demikian:

Tiap individu mempunyai perasaan kasih pada dirinya sendiri. Dalam hal
ini nafsu hewaninya memimpin dia untuk berjuang dengan orang lain
sekedar untuk mengejar kepentingan dirinya saja. Tapi selain dari ini
manusia itu mempunyai pula perasaan-perasaan luhur untuk berkasih
sayang dan tolong-menolong terhadap sesamanya manusia. Seseorang
yang tidak mempunyai kekuatan budi yang luhur ini dan oleh karena
tidak bisa bergaul dan bersahabat dengan orang lain, akan hancur atau
hidup dalam keruntuhan. Hanyalah orang-orang yang bersemangat kuat
untuk kerjasama dapat hidup langsung dan menyelesaikan peradaban.
Kita lihat bahwa manusia itu dari permulaan jalannya sejarah harus
memilih antara pertempuran satu sama lain dan pergaulan serta
kerjasama, antara mencari kepentingan untuk diri sendiri atau
kepentingan untuk seluruhnya 6.

5
Michael Collins, ―History and the Postcolonial‖ dalam The International Journal of Humaties,Vol.4,
No.9, Common Ground Publishing Pty Ltd, Melbourne, 2007, 79.
6
Salah satu bagian teks pidato Tagore di Amerika. Pada kesempatan itu ia berbicara tentang
―Nasionalisme di India‖. Baca dari Rabindranat Tagore, Nasionalisme, diterjemahkan dari Nasionalism, oleh
Tatang Sastrawiria, Balai Pustaka, Jakarta 1950, 80.

7
Tagore berusaha untuk menyeimbangkan kecintaannya terhadap perjuangan
kemerdekaan India dengan kepercayaannya kepada humanisme yang universal dan
kekhawatirannya akan ekses-ekses nasionalisme. Tagore sengaja melepaskan gelar
kebangsawanan ―knighthood‖ yang dianugerahkan Inggris kepadanya sebagai protes
terhadap pembantaian yang dilancarkan tentara Inggris di Jallianwala Bagh di Amritsar
pada tahun 1919. Tagore punya nyali, seperti dikemukakan oleh Prof. Amartya Sen dalam
tulisannya, untuk mengkritik kampanye Swadeshi yang dilancarkan Mahatma Gandhi dan
penggunaan alat pemintal benang atau Charkha seperti yang dianjurkan oleh sang
Mahatma.
Tagore juga ingin memperbaiki kebudayaaan India lama dengan cara mengadakan
kombinasi yang seimbang dari idealisme Timur (India) dan realisme Barat. Tagore
bercita-cita mewujudkan persaudaraan dunia, tanpa mengenal perbedaan kasta, kulit,
bangsa, dan agama. Cara yang tempuh adalah dengan beberapa langkah:
1) Tahun 1912 Tagore mulai menerjemahkan essai, puisi dan prosanya dalam bahasa
Inggris. Proses penerjemahan ini dibantu rekan-rekannya dari Barat (Inggris).
2) Berkorespondensi dengan tokoh-tokoh intelektual Barat (Inggris) untuk bertukar dan
menyebarkan ide, diantaranya W.B. Yeats, C.F. Andrews and E.J. Thompson.

Tentang metode yang dipakai Tagore ini, Michael Collins berkomentar ―However,
…Tagore believed that building friendships and communicating ideas from East to West
was a method—if not a model—for achieving political change and progress. 7‖ Lebih
lanjut Michael Collins menyatakan, bagi Tagore, kebebasan individual akan tercipta dalam
harmoni keseluruhan, baik masyarakat ataupun kosmos, spiritual 8.

Bagi Tagore, usaha menciptakan ―persaudaraan dunia‖ dapat dimulai dari lingkup
―kecil‖, yaitu India sendiri. Dari India, lalu menuju persaudaran di seluruh Asia dan
akhirnya persaudaran seluruh dunia. Ia berusaha menghindarkan diri dari egoisme
kebangsaan. Menurut Tagore nasionalisme itu sama saja dengan individualisme massa
yang menjadi pokok pangkal bencana peperangan. Maka, dia tidak setuju dengan
nasionalisme ―sempit‖. Dalam karya-karyanya kental suasana usaha menjembatani nilai-

7
Michael Collins, Rabindranath Tagore and the Politics of Friendship dalam South Asia: Journal of
South Asian Studies, 35:1, 119.
8
Michael Collins, Rabindranath Tagore and the Politics of Friendship, 123.

8
nilai antar agama di dunia. Terlebih lagi usahanya menciptakan garis penghubung antara
Barat dan Timur. Bahkan Tatang Sastrawiria menyebut, ―Di dalam pikiran Tagore
bertemulah Timur dan Barat...9‖. Bagi beberapa komentar Barat, Tagore mempunyai
kontrisbusi positif bagi Barat, sebagai contoh dalam hal ―menangkap kemunduran
pemikiran Eropa dalam hal materialisme‖10. Singkat kata, bagi Tagore kemanusiaan
adalah ―jembatan‖ yang paling tepat. Tak peduli Barat atau Timur, kemana pun wajah
dihadapkan, kemanusiaan harus dijunjung tinggi sebagai entitas paling luhur.

E. Catatan Kritis

Hal pertama patut dicatat pada pemikiran Rabindranath Tagore adalah usahanya
menjembatani jurang yang terbentang antara dunia Barat dan Timur. Sebagai orang Timur,
orang India, ia berusaha senasib dengan bangsanya. Ia berjuang menentang upaya
kolonialisasi yang dilakukan Barat, khususnya Inggris. Meskipun demikian, ia tidak serta
merta membenci orang-orang Barat, dalam hal ini Inggris, tetapi justru menempatkan dan
melibatkan mereka sebagai agen perubahan bangsa India. Usaha penerjemahan karya-
karyanya oleh W.B. Yeats, C.F. Andrews and E.J. Thompson, yang adalah orang-orang
Inggris, membuktikan hal ini. Tagore sungguh-sungguh berkemauan keras untuk menjadi
agen perubahan bagi bangsa India.
Bicara Rabindranath Tagore juga tidak dapat dilepaskan dari perjuangan
kemanusiaan. Kalau dikaitkan dengan pejuangan kemanusiaan di Indonesia, kita belum
menemukan tokoh yang sekaliber Tagore. Pramudya Ananta Toer, W.S. Rendra dan penyair
Indonesia lain menurut saya belum dapat dinyatakan sebagai sosok yang mampu mewakili
perjuangan dan proses kehidupan Tagore.
Perlu disebut juga di sini tentang konsep pendidikan Tagore. Usahanya untuk
mencetak generasi muda India yang penuh dengan humanitas, dengan menciptakan model
―sekolah alam‖, membawa angin segar bagi dunia pendidikan di India yang kala itu dipenuhi
intrik-intrik kolonial. Tidak hanya di India, konsep pendidikan Tagore pun dipakai di
Indonesia melalui Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan
Nasional Indonesia. ―Alam‖ dalam konsep Tagore tidak sebatas alam fisik (hutan, lautan),

9
Rabindranat Tagore, Nasionalisme, 11.
10
Michael Collins, ―History and the Postcolonial‖, 80.

9
tetapi juga termasuk lingkungan sekitar, termasuk pluralitas dan keberagaman budaya.
Penulis melihat bahwa pandangan humanitas Tagore berakar pada konsepnya tentang
pendidikan. Konkretnya, melalui pendidikanlah ia mencetak generasi muda yang humanis
(mencintai kemanusiaan). Pendidikan Tagore menghasilkan pribadi-pribadi yang menghargai
dan menjunjung tinggi martabat manusia dalam segala bentuknya.
Tagore berusaha untuk menyeimbangkan kecintaannya terhadap perjuangan
kemerdekaan India dengan kepercayaannya kepada humanisme yang universal dan
kekhawatirannya akan ekses-ekses nasionalisme. Tagore sengaja melepaskan gelar
kebangsawanan ―knighthood‖ yang dianugerahkan Inggris kepadanya sebagai protes terhadap
pembantaian yang dilancarkan tentara Inggris di Jallianwala Bagh di Amritsar pada tahun
1919. Tagore punya nyali, untuk mengeritik kampanye Swadeshi yang dilancarkan Mahatma
Gandhi dan penggunaan alat pemintal benang atau Charkha seperti yang dianjurkan oleh sang
Mahatma.
Dengan selalu bersikap positif dan berorientasi kepada tindakan (action), Tagore telah
banyak merangsang kita untuk berpikir dan bertindak. Seperti yang dikatakannya ―Saya telah
menjadi seorang yang optimis menurut versi saya sendiri. Jika saya tidak berhasil
mencapainya dengan melewati satu pintu, saya akan mencobanya dengan melewati pintu
yang lain. Atau saya harus membuat sebuah pintu baru. Sesuatu yang luar biasa akan saya
capai betapapun gelapnya masa sekarang ini‖.
Kalau Tagore lebih pada tindakan dalam memperjuangkan karya dan perjuangan
untuk kemanusiaan, tapi bagaimana penyair Indonesia? Tagore mengkritik pemimpin yang
berkhianat pada rakyatnya melalui jembatan puisi, lukisan, cerpen dan karya-karyanya untuk
melawan pemimpin yang sewenang-wenang. Sebaliknya, penulis melihat banyak kaum
intelektual Indonesia yang lebih ahli berbicara, tapi belum terbukti dalam tindakan. Kasus
pencatutan nama presiden terkait urusan dengan PT. Freeport dan berbagai kasus suap-
korupsi belakangan ini menjadi salah satu contoh ketidakberpihakkan pemimpin republik ini
pada kemanusiaan. Kalau mereka berpihak pasti tidak akan ada usaha-usaha memperkaya diri
melalui tugas dan tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat. Kasus-kasus ini juga
menimbulkan pertanyaan besar bagi sistem pendidikan di Indonesia yang digembor-
gemborkan berpusat pada character-building (pendidikan karakter). Karakter semacam
itukah yang dihasilkan pendidikan Indonesia? Akhirnya menjadi jelas dan mendesak bagi

10
munculnya Tagore-Togore muda di Indonesia yang akan meneruskan orientasi humanisnya,
kemanapun berpaling kemanusiaan menjadi yang utama.

11
DAFTAR PUSTAKA

Collins, M.,

2012 ―Rabindranath Tagore and the Politics of Friendship‖, South Asia: Journal

of South Asian Studies, 35:1, 118-142.

Collins, M.,

2007 ―History and the Postcolonial‖ dalam The International Journal of

Humaties,Vol.4, No.9, Common Ground Publishing Pty Ltd, Melbourne.

Pasaribu, S.,

2000 Gitanjali:Kidung Persembahan, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta.

Purwantari, BI.,

2006 ―Penulis India Menjadikan Dunia Manusiawi‖, Kompas, Sabtu 16

September, 41.

Sahadewa, N.W.,

2003 Makna eksistensi diri dalam filsafat Rabindranath Tagore, Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.

Sastrawiria, T.,

1950 Nasionalisme, Balai Pustaka, Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai