Anda di halaman 1dari 3

Budaya Dodo sebagai Filsafat Gotong Royong Masyarakat Manggarai

Oleh: Arsenius Agung Ancar

Pengantar

Filsafat Timur menyajikan pola relasi antara manusia dengan realitas di sekitarnya. 1 Baik
relasi manusia dengan manusia, maupun relasi manusia dengan alam di sekitarnya. Dalam
filsafat Timur, relasi alam dan manusia, dan manusia dengan manusia dibangun sedemikian rupa
sehingga pola kehidupannya menjadi harmonis. Dalam filsafat timur menekankan pada martabat
manusia, tidak seperti dalam filsafat barat yang menekankan status individu dengan segala
kebebasan yang ia miliki. Karena itu dalam filsafat timur manusia ada bukan untuk dirinya
melainkan ada di dalam solidaritas dengan alam dan sesamanya. Sikap atau perspektif yang
melihat alam dan sesama sebagai aku yang lain, lahir dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Kebiasaan-kebiasaan itu pun telah menjadi suatu kebudayaan yang melekat erat dalam
masyarakat itu sendiri.

Negara-negara di Asia memiliki banyak kebudayaan di dalamnya. Demikian pun halnya


Indonesia juga memiliki keanekaragaman budaya dan kekayaan bahasa. Karena itu, dalam
menyatukan keanekaragaman dan kekayaan budaya dan bahasa itu maka para founding fathers
menjadikan Pancasila sebagai dasar dari suatu negara sebagai wujud persatuan dan dasar bagi
keharmonisan. Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno menyederhanakan Pancasila menjadi
Tri Sila kemudian dipadatkan lagi dalam Eka Sila, yaitu sikap gotong royong. Menurut
Soekarno, intisari dari semua nilai dasar bagi Indonesia adalah motivasi, semangat, etika, dan
praktik gotong royong atau bekerja dan tolong-menolong dalam menciptakan kehidupan yang
harmonis dan manusiawi.2 Gotong royong dalam bekerja pun menjadi suatu kekhasan dalam
budaya dodo masyarakat Manggarai.

Mengenal Budaya Dodo dalam Masyarakat Manggarai

1
Prof. Kondrad Kebung, Filsafat Berpikir Orang Timur (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), hal. 5.
2
Anom Whani Wicaksana, Soekarno Sang Guru Bangsa (Lumajang: C-Klik Media, 2018), hal. 76.
Praktik gotong royong telah ada sejak dulu dan sudah lama dilakukan oleh masyarakat
Indonesia. Lebih dalam daripada itu, masyarakat Manggarai telah menyatakan sikap itu dalam
sebuah budaya dengan istilah Dodo. Budaya Dodo atau leles adalah salah satu budaya yang
masih kental dalam diri masyarakat Manggarai. Dodo atau leles adalah model pekerjaan yang
dilakukan secara bergantian dan penuh dengan rasa gotong royong. 3 Dodo merupakan
representasi sekaligus bentuk implementasi filosofi gotong royong dalam bekerja. Misalnya,
seorang petani A yang bekerja di lahan milik petani B akan dibalas jasanya oleh petani B ketika
lahan si A digarap atau dikerjakan. Pada dasarnya, sistem yang diterapkan dalam budaya dodo
mengedepankan nilai keadilan dan bemula dari kesepakatan bersama oleh setiap anggotanya. 4
Prinsip inilah yang membantu dan meringankan kedua belah pihak dalam melakukan suatu
pekerjaan. Selain membantu dalam meringankan pekerjaan sesama, dodo diartikan sebagai
penanda yang mengikat sendi sosial dan budaya yang cukup kuat. Budaya dodo dapat
meningkatkan rasa solidaritas antar sesama masyarakat Manggarai.

Budaya dodo dalam masyarakat Manggarai telah membantu diri dan sesamanya dalam
menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan baik. Dalam tradisi orang Manggarai, dalam
menjalankan suatu pekerjaan atau mengerjakan sesuatu harus dikerjakan sampai tuntas atau
selesai. Kalau tidak diselesaikan nanti akan ada resiko yang memberikan ketidaknyamanan yang
dalam Bahasa Manggarai disebut rantang muntung rowe (supaya selimut tidak kebakaran).5
Karena itu, budaya dodo atau gotong-royong menjadi suatu kekhasan bagi masyarakat
Manggarai dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yang mungkin terbilang sulit atau susah.
Karena pekerjaan yang sulit dan susah akan diselesaikan dengan cepat dan mudah jika dilakukan
secara bersama-sama dan penuh nuansa persaudaraan. Bagi masyarakat Manggarai gotong
royong dalam bekerja merupakan basis kekuatan bagi relasi dengan sesamanya. Seperti yang
disajikan dalam filsafat Timur yang lebih menekankan martabat manusia tetapi dengan
penekanan yang berbeda, sehingga manusia ada bukan untuk dirinya melainkan ada di dalam
solidaritas dengan sesamanya.

3
Stefanus Fernandes, “Relationalitas Aku, Liyan dan Budaya Dodo Orang Manggarai”, Fides et Ratio: Jurnal
Teologi Kontekstual Seminari Tinggi St. Fransiskus Xaverius Ambon, 6:2 (2021), hlm. 14
4
Admin Ngkiong, (Dodo yang Kian Dilupakan), dalam Ngkiong.com, https://ngkiong.com/dodo-yang-kian-
dilupakan/, diakses pada tanggal 20 April 2023.
5
Frans, “Siapakah Orang Manggarai,” dalam Filsafat Manggarai, https://filsafatmanggarai.blogspot.com/, diakses
pada 2 Juni 2023.
Budaya Dodo sebagai Representasi Eka Sila: Sikap Gotong Royong ala Soekarno

Budaya dodo dalam masyarakat Manggarai merupakan representasi Eka Sila: sikap
gotong royong yang ditawarkan Presiden pertama Republik Indonesia yaitu Ir. Soekarno.
Soekarno dalam merefleksikan butir-butir Pancasila menekankan aspek sosial daripada individu.
Ia menekankan pentingnya demokrasi yang dibangun bukan seperti ala Barat yang individualis
melainkan demokrasi yang sejalan dengan semangat gotong royong. 6 Dalam hal ini, budaya dodo
dalam masyarakat Manggarai merupakan salah satu gambaran akan apa yang disampaikan oleh
Soekarno pada zaman dulu. Nilai solidaritas dan keharmonisan dalam budaya dodo masyarakat
Manggarai menjadikan budaya dodo sebagai suatu budaya yang kaya akan nilai filosofis.

Kekhasan budaya dodo pada masyarakat Manggarai adalah sikap gotong royong dalam
bekerja. Dengan bergotong-royong dalam bekerja, pekerjaan yang berat akan terasa mudah dan
ringan, apalagi kalau dilakukan dalam suasana penuh persaudaraan. Dengan demikian
kebudayaan dodo dalam masyarakat Manggarai merupakan wadah bagi terciptanya persatuan
dan relasi aku dengan yang lain menjadi semakin harmonis. Oleh karena itu, untuk terus
mempertahankan kekhasan itu, sebagai warga negara Indonesia dan masyarakat Manggarai
khususnya, dituntut untuk mempertahankan sikap gotong royong. Sikap yang sudah ditanamkan
sejak dahulu kala, bahkan oleh para founding fathers, terutama Presiden Indonesia yang pertama
yaitu Soekarno.

Penutup

Filsafat Timur merujuk pada berbagai aliran pemikiran filosofis yang berasal dari Asia,
seperti Filsafat Tiongkok, India, Jepang, Budhhisme dan termasuk di dalamnya juga Filsafat
Manggarai. Setiap aliran ini tentu memiliki sistem pemikiran yang luas dan bervariasi. Dalam
filsafat Manggarai yang seperti yang dijelaskan tadi, budaya dodo sebagai representasi sikap
gotong royong dalam bekerja menjadi dominan dan sudah merupakan kekhasan bagi masyarakat
Manggarai. Karena itu tradisi dan budaya yang sudah menjadi kekhasan masyarakat Manggarai
ini, harus dan sangat penting untuk dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat Manggarai.

6
Anom Whani Wicaksono, op.cit., hal. 80.

Anda mungkin juga menyukai