Anda di halaman 1dari 28

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Interpretasi Hasil Penelitian

Hasil temuan pada penelitian ini menunjukkan 4 tema besar yang

berkaitan dengan peran ibu bekerja dalam mengatasi kondisi balita BGM di

wilayah kerja Puskesmas Cisadea, Kota Malang. Tema yang ditemukan yaitu:

peran ibu dan pengasuh dalam tindakan yang berkaitan dengan perawatan balita

bawah garis merah, peran ibu terhadap penanganan balita yang berhubungan

dengan asupan makan balita BGM, peran ibu dalam menambah pendapatan

untuk mempertahankan keragaman makanan dan meningkatkan status gizi balita

BGM dan peran ibu terhadap paparan informasi dalam menyikapi dan

memperbaiki status gizi balita bawah garis merah.

Pada penelitian ini peneliti mencoba mengkaitkan tema dengan beberapa

temuan pendukung di lapang. Tema pertama yaitu peran ibu dan pengasuh dalam

tindakan yang berkaitan dengan perawatan balita BGM yang didukung oleh 3

kategori yaitu, ibu sebagai figur dalam usaha memberikan pengertian dan

nasehat kepada anak, sikap dan peran ibu dalam mengajarkan tanggung jawab

dan kemandirian serta keterbatasan waktu ibu dalam mengasuh anak. Tema

kedua yaitu peran ibu terhadap penanganan balita yang berhubungan dengan

asupan makan balita BGM didukung oleh 2 kategori yaitu upaya ibu dalam

memberikan asupan makanan ketika anak sulit makan dan praktik pemberian

makan pada balita. Tema ketiga terkait peran ibu dalam menambah pendapatan

untuk mempertahankan keberagaman makanan dan meningkatkan status gizi

67
68

balita yang didukung oleh 2 kategori yaitu ibu sebagai pengelola keuangan

terlebih sebagai penyedia bahan makanan dan usaha ibu dalam

mempertahankan keragaman bahan makanan. Selanjutnya tema keempat terkait

peran ibu terhadap paparan informasi dalam menyikapi dan memperbaiki status

gizi balita bawah garis merah yang didukung oleh 3 kategori yaitu pandangan ibu

terkait kondisi penyebab BGM, tindakan ibu terhadap paparan informasi terkait

asupan makan balita BGM dan pemahaman ibu terhadap pengobatan alternatif.

Berdasarkan kerangka konsep yang dibuat pada bab 3 ditemukan

beberapa temuan baru dalam penelitian, ada juga yang sesuai serta terdapat

beberapa faktor yang sudah ada namun tidak ditemukan di dalam penelitian.

Temuan baru yang didapatkan antara lain peran pengasuh yang ikut serta dalam

merawat balita dalam hal ini ibu memiliki keterbatasan waktu mengasuh anak

karena harus bekerja, tindakan ibu terhadap paparan informasi serta praktik

perilaku ibu dalam memperbaiki status gizi yang peran tersebut dipengaruhi oleh

pandangan ibu terkait penyebab BGM. Selain itu, terdapat temuan mendalam

pada faktor pendapatan keluarga, dimana ibu berperan serta dalam mengatur

keuangan dan mempertahankan keberagaman makan yang erat kaitannya

dengan peran ibu bekerja.

Kerangka konsep yang tidak ditemukan adalah kepercayaan terkait food

taboo dan food believe, hal ini dikarenakan hampir seluruh ibu menyatakan

bahwa tidak percaya atau hampir tidak pernah mendengar terkait hal yang

demikian. Akses informasi yang sangat mudah dan pergeseran demografi ke

penduduk perkotaan seolah menjadi pelebur faktor tersebut. Namun pada


69

temuan di lapang terdapat satu informan yang mengabaikan pelayanan

kesehatan secara medis dan beralih pada pengobatan alternatif seperti pola nabi

dan thibun nabawi dalam mengatasi masalah kesehatan dalam keluarga. Secara

keseluruhan penelitian ini akan menjelaskan temuan-temuan yang berkaitan

dengan peran ibu bekerja dalam menentukan tindakan untuk memperbaiki status

gizi dengan pandangan ibu terhadap penyebab kondisi balita BGM.


70

Berikut merupakan kerangka hasil penelitian Peran pada Ibu Bekerja

dalam Mengatasi Kondisi Balita Bawah Garis Merah di Wilayah Kerja Puskesmas

Cisadea Kota Malang.

Keterbatasan waktu ibu Balita bawah garis merah


dalam mengasuh

Peran Pengasuh Peran Ibu

Perawatan balita Pemberikan asupan Tata kelola Interpretasi


BGM makan keuangan informasi

memberikan Upaya ibu ketika Ibu sebagai Pandangan ibu


pengertian dan sulit makan pengatur penyebab bgm
nasehat keuangan
Praktik pemberian
keragaman bahan Tindakan
mengajarkan makan
makanan terhadap paparan
tanggung jawab
informasi
dan kemandirian
Pemahaman
terhadap
pengobatan
alternatif

Keterangan:

: Sesuai dengan kerangka konsep

: Temuan baru penelitian

Gambar 6.1 Kerangka Hasil Penelitian


71

Tema 1: Peran ibu dan pengasuh dalam tindakan yang berkaitan dengan

perawatan balita BGM.

Ibu memiliki peran penting sebagai pribadi yang selalu siaga dalam merawat

dan menjaga seorang anak, dalam hal ini banyak menyinggung mengenai perawatan

balita dengan kondisi bawah garis merah. Hampir seluruh informan memberikan

perhatian yang baik dalam usahanya untuk merawat balita seperti memberikan

pengertian dan nasehat kepada anak pada setiap sisi pengasuhan beliau. Didasarkan

pada pemahaman dan pengalaman tersebut, peneliti menemukan salah satu bentuk

peran ibu yaitu mencoba memberikan pengertian untuk membatasi makanan-

makanan yang memang dirasa tidak baik dikonsumsi karena menimbulkan efek tidak

sehat bagi tubuh. Di dalam implementasinya ibu tidak serta merta melarang namun

juga memberikan nasehat dengan harapan anak dapat memahami serta menerapkan

perintah tersebut. Hal demikian dikembalikan kembali pada karakter masing-masing

ibu, ada yang selalu memberikan pengertian serta nasehat dan ada juga yang hanya

melarang tanpa memberikan pengertian.

” iya, iya pengertian, seperti ini bikin batuk. Seperti sakit gigi "sampean mari

maem opo?" "maem coklat buk" berarti nggk boleh maem coklat lo yoo!. Terus

"jangan makan ciki-ciki nanti batuk!" "iya buk nanti batuk" karena dia kan juga

sudah pernah merasakan gitu mbk”(RLN, 2019)

Hal yang demikian dirasa cukup baik untuk diterapkan, karena secara tidak

langsung ibu memberikan perintah yang sifatnya memaksa namun dapat

tersampaikan dengan baik sehingga anak dapat menerima dan menjalankan perintah

tersebut tanpa ada bantahan secara berlebih. Memberikan pengertian bukan hanya
72

menguntungkan bagi ibu yang berhasil membujuk putranya untuk tidak konsumsi

makanan sembarangan, namun juga anak mendapatkan pemahaman yang dirasa

rasional untuk tidak mengkonsumsi makanan tersebut. Dari temuan ini peneliti

menangkap bahwa ibu cenderung luwes dalam memberikan pengertian saat merawat

anak, sekalipun terdapat penerimaan yang kurang baik, ibu tetap berusaha untuk

telaten serta beranggapan bahwa sikap tegas dan kaku kepada anak tidak selamanya

dapat diaplikasikan, karena dapat mempengaruhi psikologis anak.

“nggeh sering tiap waktu ngoten niku… insyAllah kulo kasih pengetian mbk..

Nek nggk boleh kabeh kan "kok nggk boleh terus" maleh tambah berontak terus

anak.e mbk..”

Selain peran ibu dalam mengasuh balita, beliau juga mengajarkan bagaimana

mandiri dan tanggung jawab untuk membentuk karakter yang baik. Dalam hal ini

beliau lebih menekankan sikap yang demikian karena berkaitan dengan kegiatan ibu

yang tidak selalu berada di rumah selama 24 jam. Dengan usia anak yang masih

tergolong balita ibu tidak bisa berharap lebih agar anak bisa membantu dalam banyak

hal, namun juga tidak memanjakan secara berlebihan karena keterbatasan ibu yang

harus bekerja diluar rumah. Sebagai contoh ibu mengajarkan mandiri, untuk bisa

mengerjakan tugas rumah yang masih tergolong mudah seperti merapikan mainan

atau membuang sampah pada tempatnya. Usaha yang demikian besar kemungkinan

terdapat penerimaan yang berbeda pada masing-masing anak, namun kembali lagi

selaras dengan naluri ibu pasti beliau berusaha untuk mengajarkan hal-hal baik

supaya bisa menjadi kebiasaan hingga dewasa nanti.


73

“hmm yaa anakku kabeh tak ajari belajar mandiri mbk, soalnya apa.. Saya

sendiri kan yaa ndak seharian dirumah, pagi saya harus berangkat ngajar di

TPQ. Apalagi nek kakak.e iki malah seng harus bisa bantu, yaa kudu iso

momong adik.e atau yaahhh minimal beres-beres punyanya sendiriah seperti

buku atau mainan.. selsai apa-apa iku diresiki”(WA, 2019)

Hampir seluruh responden menyampaikan bahwasanya tidak ada penanganan

yang berbeda pada setiap anak, semua mendapatkan perawatan dan pengakuan

yang sama. Hanya beberapa anak yang mungkin memiliki penerimaan yang berbeda.

Hal demikian dilakukan ibu untuk tetap menghargai sang anak dan tidak menuntut

yang berlebihan.

“saya melatih anak saya itu kemandirian, jadi selama dia bisa saya biarkan, kalau

"buk saya nggk bisa" baru saya bantu. Terus saya ajarkan bangun tidur untuk

melipas selimut sendiri biarpun ndak serapi mungkin, saya melatih demikian dari

anak pertama. Soalnya disisilain kan saya kerja, jadi kalau tergantung sayakan,

saya juga repot.”(RLN, 2019)

Peran yang demikian bukan hanya dilontarkan melalui ucapan namun juga

tindakan ibu yang menunjukkan sikap kemandirian dan tanggung jawab dengan

harapan hal tersebut juga dapat di aplikasikan oleh anak. ibu menyatakan bahwa

lingkungan membawa pengaruh besar terhadap kepribadian anak. Beliau

beranggapan balita atau usia anak-anak banyak melakukan kegiatan melihat dan

meniru apa yang dikerjakan oleh orang dewasa. Sehingga jika dirasa perilaku yang

dilakukan kurang baik maka anak akan mencontoh yang demikian, ini juga sekaligus
74

menjadi hambatan untuk ibu yang bekerja diluar rumah, karena beliau tidak dapat

mengawasi dengan maksimal kegiatan apa saja yang dilakukan oleh anak.

“iyaa gimana yaa mbk.. Kalau misal kita sudah mendidik dengan baik, tapi ada

yang memberikan contoh yang buruk, naahhh itu yang susah.. Ada gitu itu

temennya nakal terus ikut-ikutan. Sering gitu itu mbk tak bilangi "gak usah ikut-

ikut yaa nak, nanti kamu dijauhi teman"

Berkaitan dengan kuatnya peran ibu dalam merawat anak serta keterbatasan

waktu beliau dalam mengasuh karena harus bekerja, ibu memutuskan untuk memilih

pengasuh yang akan menggantikan beliau disaat bekerja diluar rumah. Selain yang

sudah disebutkan diatas, hal ini juga menjadi hambatan ibu dalam mengasuh anak,

karena sekali lagi beliau harus meninggalkan putranya. Untuk tetap memberikan

pengasuhan yang terbaik ibu memilih pengasuh yang memang berpengalaman dan

terpercaya seperti, suami, bude atau nenek. Sebagai contoh, ibu memilih suami

sebagai pengasuh balita dengan alasan meminimalisir pengeluaran keluarga serta

suami juga dianggap sudah berpengalaman dalam mengurus putranya, malahan

mengakui bahwa si kecil lebih nyaman jika diasuh oleh ayahnya sendiri. Hal ini beliau

lakukan dengan mengasuh secara bergantian.

“udah ngerti ayahnya mbk, mulai kecil.. Mulai anak pertama itu ayahnya yang

ngerawat ehehe.. pokok nek aku kerja yaa gentian ambk ayah.e, ayah.e teko aku

berangkat ngono mbk”(EN, 2019)

Sebagaian besar informan menyatakan bahwa memilih pengasuh yang sudah

berpengalaman dalam mengurus anak. Berpengalaman dalam hal ini apabila anak
75

bersama pengasuh tersebut akan merasa tenang dan nyaman, pengasuh juga telaten

dalam memberikan makan, membuatkan susu atau bahkan mengalihkan disaat anak

rewel. Hal yang demikian juga disampaikan oleh informan pendukung bahwasanya

baliau ikut serta dalam membantu bergantian mengurus anak disaat istrinya bekerja

meninggalkan rumah. Dalam hal ini, ibu cenderung pasrah atau menyerahkan

sepenuhnya kepada pengasuh dalam merawat putranya, tidak banyak menuntut. Dan

peneliti juga tidak menemukan ibu memberikan pesan-pesan khusus yang harus

dilakukan pengasuh untuk perbaikan kesehatan anak. mungkin lebih pada wejangan

sederhana seperti berpesan agar putranya tidak berulang-ulang konsumsi mie instan

atau hanya sekedar menitipkan.

“Jadi apa-apa itu selalu saya yang bikin susu, mandiin kalau ibunya mesti

sama nangis, naah itu nggk ngerti kok mesti minta sama saya,yaa nggk tau

kok gitu. Kecuali kalau saya kerja dia mau, maksutnya pas saya nggk ada pas

kerja yaa dia mau sama kakanya, sama ibunya”(SY, 2019)

Temuan menarik didapati pada salah satu informan yang sebenarnya tidak

berkenan jika putranya diasuh oleh budenya, alasan beliau karena lingkungan sosial

yang kurang mendukung, sehingga khawatir putranya mencontoh hal-hal yang tidak

baik. Namun apa daya ibu tidak memiliki pilihan lain selain menitip putranya karena

beliau harus bekerja.

“nah si kecil iki tak titipno budene dibelakang rumah iki rumanya. sak jane aku

iki nggk setuju anakku iki didekek ndek mburi.. samarku nek nyonto seng nggk

genah”.(WA, 2019)
76

Konteks peran ibu dan pengasuh dalam tindakan yang berkaitan dengan

merawat balita merupakan upaya memenuhi tanggung jawab sebagai ibu untuk

memelihara kesehatan dan memberikan pengertian, pernyataan tersebut

menggambarkan bahwa hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Azizah dan Hartati, 2012 yang menerangkan kegiatan tersebut

meningkatkan hubungan harmonis antara ibu dan anak serta memfasilitasi anak untuk

mengoptimalkan kemampuan sesuai tahap pertumbuhannya. Kondisi dilapang yang

menjelaskan peran ibu cenderung luwes dalam memberikan pengertian dan nasehat

kepada anak selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Baumrid dalam Astutik,

2014 bahwa mematuhi perintah orang tua tanpa memberikan alasan guna dibalik itu,

berdampak pada pribadi yang semakin tidak patuh (ngelunjak), merasa ketakutan dan

kurang mampu dalam berinovasi. Ibu beranggapan pembelajaran mandiri dan

tanggung jawab harus diajarkan sejak dini melalui teladan dari orang tua dan selalu

mengkondisikan lingkungan dengan melibatkan pengasuh balita saat ibu bekerja

diluar rumah. Disisi lain penelitian yang dilakukan oleh Rosli, Noor A, 2014

menyatakan kepribadian anak dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orang tua dan

persepsi anak terhadap orang tua. Persepsi tersebut dipengaruhi oleh hubungan dan

keterikatan yang mereka terima dari kedua orang tua. Sehingga diperlukan

persamaan persepsi dan saling berkomitmen antara ibu dan ayah dalam mengajarkan

teladan yang baik kepada buah hatinya. Katz I et al., 2007 menyebutkan dalam

bukunya bahwa pengasuhan dipengaruhi oleh lingkungan, mengasuh dilingkungan

yang buruk condong berpengasuh terhadap kepribadian yang negatif jika

dibandingkan dengan lingkungan yang baik. Selaras dengan temuan diatas


77

bahwasanya ibu tidak ceroboh dalam memilih pengasuh. Beliau memilih orang

terpercaya dan sekalipun menitipkan putranya di lingkungan yang kurang baik hal itu

terpaksa beliau lakukan karena tidak ada pilihan lain.


78

Tema 2: Peran ibu terhadap penanganan balita yang berhubungan dengan

asupan makan pada balita bawah garis merah

Ibu memiliki peranan kompleks dalam keluarga, salah satu tugas beliau

sebagai pengasuh yaitu menyediakan makanan untuk seluruh anggota keluarga.

Dalam penelitian ini peneliti banyak menemukan temuan menarik terkait variasi sifat

anak yang berhubungan dengan nafsu makan, diantaranya ada yang sulit makan,

pilih-pilih makan dan bahkan gemar konsumsi jajanan ringan dari pada makan berat.

Tentu hal demikian menjadi tantangan tersendiri bagi ibu untuk tetap memberikan

asupan makan meski terdapat berbagai penolakan. Pada temuan di lapang, terdapat

ibu yang menyampaikan bahwasanya anak yang sulit makan menimbulkan rasa kesal

tersendiri, hal ini dikhawatirkan berdampak pada kepribadian ibu yang kurang percaya

diri atas apa yang sudah diusahakan.

“nggeh kesel… kesel.. Yaa ngken lek kesel lak moro-moro dimaem dewe mbk..

Pokok di cepakno ngoten”(SM, 2019)

Selain itu berpengaruh pula pada tingkat stress ibu, yang selalu menemukan

anaknya sulit makan, padalah beliau juga harus memikirkan hal lain diluar itu. Belum

lagi tanggapan orang-orang sekitar yang mengangkap ibu kurang telaten dalam

memberikan asupan makan kepada putranya. Tujuh dari delapan informan

menyampaikan bahwa tidak peduli dengan omongan orang diluar sana, yang

memberikan tanggapan terhadap kinerja ibu dalam memberikan makan . Ibu mengaku

terus berusaha berikhtiar sedemikian rupa agar anak mau makan. Tanggapan

tersebut sesekali membuat ibu bangkit, dan berfikir bahwasanya beliau bisa

melakukan yang terbaik untuk putranya, hal tersebut menjadi apresiasi setinggi-
79

tingginya untuk ibu, karena tidak ada henti-hentinya berjuang dalam memberikan yang

semaksimal mungkin untuk putranya. Beberapa hal yang ibu lakukan adalah

memberikan kebebasan pada anak dengan menawarkan menu masakan yang

mungkin menjadi kegemarannya, dengan demikian ibu beranggapan anak mau

makan banyak jika makanan sesuai dengan apa yang diinginkan.

“yaa kadang tahu-tempe seng mesti iku mbk.. Opo ayam terus sayur-sayur

ngunu.. Kan aku kadang yaa nawari disek iki, “maem ambk opo.?” Jadi yaa sak

njalok.e arek-arek mbk.. Ben dimaem masakanku mbk”(WA, 2019)

Selain itu, usaha yang beliau lakukan yaitu dengan memodifikasi bentuk

makanan untuk menghindari munculnya rasa bosan. Temuan ini menunjukkan

bahwasanya ibu dituntut kreatif dalam menyajikan makanan, mengingat bahwa anak-

anak banyak didapati merasa bosan dengan rasa serta tampilan makanan yang itu-

itu saja. Usaha yang dilakukan ibu sekaligus menjadi cara untuk meningkatkan

frekuensi makan anak, gaya pengasuhan yang luwes sering diterapkan dengan

memberikan penghargaan ataupun hukuman ringan seperti tidak boleh main jika

belum makan terlebih dahulu.

“Kadang saya kasih susu, atau bikin biskuit sendiri bikin bola-bola gitu, terus

kadang "buk emoh" iyaa saya pikir sudah bosan, saya hentikan dulu..nanti

beberapa hari saya berikan lagi, soalnya setiap bulan dapet mbk eheh.”(RLN,

2019)

Berbagai upaya telah ibu lakukan untuk memperbaiki status gizi balita, melalui

ASI yang optimal, pemberian susu formula serta menyediakan asupan makanan yang
80

dirasa sudah cukup. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar dalam benak ibu, apa

yang menjadi pendorong terjadinya kondisi balita bawah garis merah pada putranya.

“iki ASI sampek 2 tahun mbak, terus sakiki yaa tak kasih susu danco iku mbk.

Arek.e arep cuman yaa kok yaa nggk. Nek iki bayi yaa 2 jam sekali masio aku

sibuk yaa tak mimik.i mbk, padahal yaa maem.e akeh ini”(EN, 2019)

Dari temuan tersebut, menunjukkan bahwa memenuhi asupan makan anak

guna mencegah jatuh pada status gizi kurang bukan hanya memerlukan pengetahuan

ibu yang cukup baik namun lebih dominan dibutuhkan tekat yang bulat dalam pribadi

ibu, untuk menunjukkan peran yang benar-benar nyata dalam mengasuh balita.

Peneliti melihat beberapa kondisi sebagai single parent dan cemooh dari lingkungan

luar menjadi pendorong tekat ibu dalam menjalankan peran optimal mengasuh balita.

“Sampek aku diginikno ambk dolorku "susune sampean iku welek … ganok

gizine" mosok onok mbak ASI elek? Wes nggk tak rungokno.. yaa wes ganti-

ganti lo mbk susu e”(EN, 2019)

Peribahasa menyatakan bahwa kasih sayang ibu sepanjang masa, namun

kasih sayang anak sepanjang gala, diutarakan secara tidak langsung oleh salah satu

informan. Disandingkan pada pemahaman dan pengalaman beliau terkait makanan

saat ini yang dirasa kurang sehat, adanya bahan tambahan pangan secara berlebih

serta proses produksi yang instan menjadi argumen beliau dalam menyikapi makanan

di era sekarang ini. Dengan adanya pandangan seperti ini, maka menuntut ibu untuk

mengoptimalkan peran beliau untuk tidak hanya menyediakan makanan namun juga

memilih dan memilah, bahan makanan apa saja yang baik dan tidak diberikan pada
81

sang buah hati. Serta dapat menjadi langkah preventif terhindar dari berbagai macam

penyakit.

“soalnya makanan sekarang itu saya rasa semuanya kok pakek obat ya mbk,

seperti sayur supaya tumbuh cepet pakek obat, ayam cepet besar pakek obat.

Terus makanan ciki-ciki juga mengandung msg, pikiran ibu kan ndak mau

balitanya kenapa-kenapa, jadi saya harus memberikan yang terbaik. Mending

saya aja yang sakit dari pada anak saya”(RLN, 2019)

Konteks peran ibu dalam mengasuh balita seperti usaha ibu ketika anak sulit

makan dan memberikan makanan terbaik sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Adamo and Kendra., 2013 menyatakan orang tua memegang tanggung jawab

besar sebagai role models dalam menentukan kualitas dan pola makan anak yang

akan menjadi kebiasaan dikemudian hari. Katz I et al, 2007 menyebutkan dalam

bukunya selain lingkungan, karakter pribadi ibu juga berpengaruh terhadap gaya

pengasuhan. Karakter ibu yang baik menghantarkan tekat yang bulat dalam ihktiar

beliau mengasuh balita khususnya dengan kondisi bawah garis merah.


82

Tema 3: Peran ibu dalam tata kelola keuangan rumah tangga untuk

mempertahankan keberagaman makanan dan meningkatkan status gizi anak

BGM

Status ibu bekerja merupakan berbagai bentuk aktifitas yang dilakukan

oleh wanita yang telah berkeluarga untuk mendapatkan tambahan pengahasilan

dalam membantu suami. Wanita yang memutuskan untuk melakukan peran

ganda sebagai pengasuh balita sekaligus ibu bekerja tentu memiliki latar

belakang yang berbeda diantaranya disebabkan karena himpitan ekonomi atau

pendapatan yang dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada

temuan dilapang peneliti banyak menemukan informan dengan status ekonomi

menengah kebawah, dimana ibu menjalankan pekerjaan diberbagai bidang

seperti pekerja industri rumah tangga, pekerja rumah tangga dan sebagai

pengajar. Selain kesibukan beliau bekerja diluar rumah, ibu juga menjalankan

peran sebagai manajemen keuangan didalam rumah tangga. Hal ini didapati

melalui pemaparan beliau yang banyak mengatur perjalanan keluar masuk

keuangan dan hampir seluruh hasil pendapatan dikelolah oleh ibu, baik yang

berasal ibu sendiri ataupun dari suami. Pengeluaran rumah tangga yang sering

ditemui adalah memenuhi segala keperluan rumah tangga seperti biaya sekolah,

operasional sehari-hari ataupun kegiatan dalam membeli bahan makanan setiap

hari. Dalam hal ini ayah lebih condong menjalankan peran sebagai pencari

pendapatan utama didalam keluarga. Pembahasan tema disini akan banyak

menjelaskan mengenai peran ibu bekerja dalam pengelola keuangan terlebih


83

sebagai penyedia bahan makanan dan usaha ibu dalam mempertahankan

keragaman bahan makanan.

Pendapatan sebagai kebutuhan primer didalam keluarga, menuntut ibu untuk

lebih giat dalam bekerja dan tidak bergantung seluruhnya pada suami. Keputusan ibu

untuk tetap bekerja, meskipun harus menitipkan putranya kepada pengasuh, menuai

alasan besar bahwasanya baliau bekerja keras dan terus berusaha untuk ikut serta

dalam menambah penghasilan keluarga. Dalam hal ini ibu pernah merasakan kondisi

krisis dimana beliau merasa kekurangan sedangkan masih banyak tuntutan

kebutuhan yang harus dibeli, dengan demikian muncul peran ibu sebagai pengelola

keuangan yang harus bijak dalam mengatur kebutuhan keluarga dengan menerapkan

skala prioritas kebutuhan, seperti mengesampingkan keinginan pribadi untuk membeli

sesuatu dan lebih mengutamakan kebutuhan makan khususnya balita. Pada temuan

dilapang hampir seluruh ibu tidak memberikan penanganan yang berbeda pada balita,

dalam hal ini masakan ibu dalam sehari dinikmati oleh seluruh anggota keluarga

termasuk juga balita, terkecuali jika masakan ibu pedas maka ibu akan membuatkan

masakah khusus untuk balitanya. Dengan berbagai kesibukan diluar dan didalam

rumah tentu ibu harus mendahulukan kebutuhan yang paling mendesak dan tidak

boleh boros. Selain itu peneliti juga menemukan informan yang berstatus single parent

dikarenakan suami beliau meninggal dunia, sehingga ibu yang harus bekerja sendiri

untuk memenuhi keperluan sehari-hari khususnya menyediakan kebutuhan nutrisi

pada balita dengan bawah garis merah. Pada temuan diatas peneliti mencoba

menarik sifat sosial pada pribadi ibu yang mengalah dan tidak egois dengan apa yang

menjadi keinginan pribadinya, beliau lebih mengutamakan apa yang semestinya


84

didapatkan oleh anak. Temuan tersebut seakan menjawab bahwasanya ibu memiliki

rasa sayang dan kepedulian yang sangat besar terhadap buah hatinya, dan mau

melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan putranya. Hal ini tentu menjadi

motivasi besar ibu untuk tetap bersemangat bekerja dalam mencari tambahan

pendapatan.

“Nggk kerja eman mbk bayaran.e yaa buruh eheheh.. Kenek dijagakno gawe

tuku beras”(EN, 2019)

Ibu berpendapat bahwa kondisi ekonomi berkaitan erat dengan ketersediaan

makan didalam keluarga. Sebagai contoh ibu menyampaikan telah banyak

mendapatkan berbagai informasi kesehatan khususnya penanganan makan pada

kondisi balita BGM, namun karena kondisi ekonomi yang pas-pasan sehingga hal ini

dirasa kurang optimal untuk meningkatkan derajat kesehatan dan menyediakan

makanan secara kuantitas dan kualitas. Pengetahuan yang baik seakan tidak berarti

jika kondisi keuangan yang kurang berkecukupan. Ibu mengaku lebih pasrah dan

legowo atas apa yang ada, namun diluar itu beliau berusaha membantu suami dalam

mendapatkan penghasilan lebih dengan harapan agar dapat memenuhui kebutuhan

keluarga.

“Yaa sebenarnya itu apa… tentang gizi itu tergantung kita sendiri kan yaaa…

walaupun saya diterangkan begini begitu, tapi kan semua kebutuhan dari

saya.. Ya kalau.. Kadang saya ditanya "apa ibu sudah memberikan seperti

ini?'" belum" saya jawab. iya karna itu mungkin ada yang bisa dijangkau, ada

yang tidak. jarang badannya naik iki mbak, yaa biarpun nggk sakit tapi
85

badannya turun,yaa kadang nggk turun tapi tetep gitu looo... iyaa mungkin

karena gizinya kurang itu yaaa..”(S, 2019)

Dari pernyataan ibu diatas, beliau menyadari bahwa pendapatan memiliki

peran serta dalam ketersediaan bahan makanan keluarga. Jika ada uang lebih maka

ibu akan membeli bahan makanan yang cukup beragam seperti sayur ataupun ikan,

namun jika kondisi keuangan kurang maka ibu lebih memilih membeli bahan makanan

secukup uang yang ada misalkan tahu-tempe atau memaksimalkan bahan makanan

yang tersisa dirumah.

“ndak.. Diluar kepala mbk kadang ya bingung…nek pas ada yaa beli seng

sekirane reno-reno mbk eheh cuman seringnya yaa beli ayam gitu”.(YN, 2019)

Bahkan terdapat informan yang mengaku untuk membeli jajanan saja kadang

tidak ada, karena tidak mau mengecewakan putranya ibu mengalihkan pembicaraan

dan menjanjikan akan membelikan dilain kesempatan.

“Kadang angel mbk nek pas nangis, cuman kadang dislemurno. "yaa nanti

beli… ngenteni mbk n yaa…" jane yaa penak anakku iki, Cuman kadang wong

tuo enek duwek kadang nggk ngono lo mbk”(S, 2019)

Motivasi besar ibu untuk tetap bekerja dalam mencari tambahan pendapatan

menjadi upaya untuk memberikan makanan beragam untuk keluarga. Dari pemaparan

ibu untuk menghindari rasa bosan dengan masakan yang itu-itu saja maka beliau

berusaha untuk memberikan masakan yang berbeda setiap hari, hal ini pasti juga

berimbas pada kebiasaan makan keluarga secara keseluruhan. Jika ditinjau dari

penuturan ibu yang menyebutkan bahan makan sehari-hari, dirasa bahan makanan
86

tersebut cukup beragam dan terjangkau untuk kelompok dengan status ekonomi

menengah kebawah, hanya saja ibu perlu mempertimbangkan mengenai kuantitas

dan kualitas makanan terbaik untuk balita dengan masa pertumbuhan ditambah

dengan kondisi balita yang BGM.

“niku kadang lele, tongkol.. ayam, ayam ngoten nek empuk ngoten… kadang

kulo guntingi.. ikan ngoten mbk. Terus kayak sayur-sayur sop, bayem nopo

kangung sebisa mungkin ganti-ganti.”(SM, 2019)

Konteks peran ibu dalam menambah pendapatan untuk mempertahankan

keberagaman makan tentu menjadi salah satu upaya beliau untuk memperbaiki

derajat kesehatan dengan cara meningkatkan status gizi, disisi lain penelitian yang

dilakukan oleh Berhane H.Y et al., 2018 yang menyatakan bahwa keputusan ibu untuk

mengambil pekerjaan memungkinkan mereka untuk mendukung keluarga secara

finansial serta adanya tekanan sosial dan lingkungan menjadi upaya ibu untuk

menyediakan makanan dan perawatan terbaik untuk anak-anak mereka, disisi lain

penelitian yang dilakukan oleh Kismul et al., 2015 mengemukakan bahwa balita yang

tinggal dengan berbagai tekanan besar beresiko tinggi terhadap kerawanan pangan

serta gangguan masalah gizi. Peneitian yang dilakukan oleh Harun S.L, 2017

menyatakan kesejahteraan keluarga tidak serta merta ditandai dengan besarnya

penghasilan suami, namun juga peran ibu dalam mengelola pendapatan tersebut.

Sesuai dengan bahasan tema diatas peran ibu sangat diperlukan dalam seluruh

aspek rumah tangga, baik peran sebagai pengasuh anak, pemberian makan sehari-

hari serta peran ibu bekerja dalam menyediakan bahan makanan untuk

mempertahankan keberagaman makan khususnya dalam kondisi balita BGM. Peran


87

ibu secara keseluruhan tentu membutuhkan banyak dukungan dari berbagai pihak

dalam hal ini yaitu suami, yang turut serta memberikan dukungan secara finansial

maupun non finansial dalam memberikan pertimbangan ataupun pengertian pada ibu.

Pernyataan informan yang menyatakan bahwa pendapatan memiliki peran serta

dalam ketersediaan bahan makanan keluarga didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Wirawan dan Rahmawati, 2016 yang menyatakan keterbatasan

asupan makan yang bersifat akut dapat menggambarkan kondisi nyata adanya

ketidakmampuan dalam menyediakan pangan keluarga. Keragaman pangan memiliki

keterkaitan dengan karakteristik sosial ekonomi keluarga, selaras dengan temuan

penelitian yang banyak menjumpai keluarga dengan status ekonomi menengah

kebawah, hal ini juga menjadi temuan penelitian yang dilakukan oleh Kabir and

Maitrot, 2017 mengatakan kemiskinan menjadi penyebab yang dominan. Status gizi

balita tidak semata-mata disebabkan karena ketersediaan pangan namun juga

asupan zat gizi makro dan mikro, hal ini selaras dengan temuan yang menyatakan ibu

sudah memberikan makanan beragam namun tidak mempertimbangkan kualitas zat

gizi didalam makanan tersebut.


88

Tema 4: Peran ibu terhadap paparan informasi dalam menyikapi dan

memperbaiki status gizi balita bawah garis merah

Fenomena balita bawah garis merah dimasyarakat ternyata terdapat paham

yang cukup variatif dan istilah yang sering mereka dengar menggunakan kata “kurang

gizi”. Semua ibu dapat mengetahui kondisi tersebut melalui kegiatan posyandu yang

rutin diadakan setiap bulan serta catatan dalam buku (Kartu Menuju Sehat) yang

terlihat berat badan anak sering tidak naik dan berada dibawah garis pertumbuhan.

Beberapa informan beranggapan bahwasanya kondisi tersebut sudah menjadi

bawaan, karena adanya penyakit penyerta seperti alergi serta ada juga ibu yang

menyatakan secara gamblang bahwasanya kondisi tersebut terjadi karena konsumsi

bahan makanan yang kurang beragam.

“emmm bgm.. bgm itu apa yaaa… iyaa mungkin pola makan yang harus

diperhatikan. Mungkin kadang beli sayur.. Ikan bisa di capai kadang iya nggk

gitu lo eheh… jadi badannya kurus itu yaa karna makan seadanya”(S, 2019)

Hampir seluruh informan dapat menyampaikan terkait penyebab terjadinya

BGM, namun tidak semua memahami dampak jangka panjang yang terjadi. Sebagian

ibu menganggap fenomena ini bukan menjadi masalah gizi yang serius untuk segera

ditangani, selama putra beliau tidak ada sakit yang berarti dan tidak ada masalah

dengan gangguan motoriknya hal tersebut tidak menjadi masalah. Hampir seluruh

informan menyatakan putranya aktif dalam kegiatan sehari-hari, hanya saja berat

badannya sulit naik. Ibu mengaku telah memberikan pengasuhan yang terbaik,

terlebih saat balita jatuh pada kondisi BGM dan masing-masing ibu memiliki usaha

tersendiri dalam menyikapi kondisi tersebut. Penentuan usaha meningkatkan status


89

gizi tersebut tentu tidak serta merta datang melalui diri ibu sendiri, namun juga melalui

pemahaman dan perasaan ibu terkait kondisi balita, peran keluarga serta pengaruh

sosial masyarakat sekitar.

“tapi dia iku cepet tanggap ngono iku lo mbk, cepet hafalan soal.e de.e iku lak

seneng nyanyi iku lo mbk. Sak iki ya ngaji arek.e mbk”(FR, 2019)

Pernyataan diatas menyampaikan bahwasanya kondisi balita dalam keadaan

baik, ditunjukkan dengan perkembangan motorik anak. Sebagian besar ibu banyak

yang tidak mengetahui fungsi dan kebutuhan bahan makanan yang seharusnya di

dapatkan anak pada usia dibawah lima tahun. Sebagian hanya memberikan menu

makanan berupa nasi dan kecap padahal dalam makanan tersebut tidak terdapat zat

gizi yang diperlukan tubuh, seperti protein dan lemak. Selain itu pemberian makan

dengan lauk telur, dimana tidak ada kebutuhan vitamin dan mineral didalamnya.

“iya kadang telat maem iku paling mbk, apa maneh pas tandang gawe mbk,

sampek nggk kober masak, kadang ambek kecap apa sakono.e mbk. Kadang

yaa disiapi buah atau kentang ngoten”(SM, 2019)

Pemberian bahan makanan yang kurang tepat tentu tidak sesuai dengan

kebutuhan energi yang seharusnya didapatkan. Ibu hanya beranggapan pokoknya

anak kenyang supaya tidak rewel, tanpa mempertimbangkan kuantitas dan kualitas

dari makanan tersebut. Seluruh informan menyatakan bahwa telah banyak

mendapatkan informasi terkait asupan makan pada balita melalui kader ataupun ahli

gizi wilayah setempat. Namun sebagian dirasa belum menerapkan hal tersebut dalam

kebiasaan makan sehari-hari. Dari jawaban ibu, beliau hanya menyampaikan

bahwsanya anak harus makan yang banyak dan bervariasi. Secara umum jawaban
90

tersebut benar dan tidak keliru, hanya saja kurang mendalam untuk mengatasi

masalah makan balita yang sangat komplek ditambah kondisi khusus seperti BGM.

Tindakan ibu terhadap paparan informasi, tentu dipengaruhi oleh bagaimana

kesadaran dan sikap beliau dalam memaknai kondisi BGM. Penyampaian informasi

saja tidak cukup untuk merubah perilaku seseorang. Sehingga diperlukan metode

edukasi yang melibatkan emosional ibu, untuk menyadarkan perilaku yang

seharusnya dilakukan. Pembentukan kaderisasi pendamping gizi melalui kegiatan

pelatihan dan update ilmu diharapkan mampu untuk meningatkan ketrampilan

sebelum terjun ke lapangan. Tentu hal ini juga membutuhkan bantuan dan kerja sama

dari ahli gizi setempat, yang harus terus melakukan monitoring dan evaluasi terhadap

kinerja pendamping gizi saat di lapang.

“Kalau misal sama telur yaa telurnya dikreasikan mbk, kadang tak coba mbk,

telur.e tak gulung ambk sosis ngono.. apa dicampur sama sayur wortel opo

yang lain gitu mbk”(YN, 2019)

Pernyataan di atas, menunjukkan bahwa informan mencoba menerapkan apa

yang sudah disarankan oleh pendamping gizi, dengan harapan balita menghabiskan

makan dengan kreasi bentuk makanan yang berbeda selain itu ibu mencoba

memberikan bahan makanan tertentu agar berat badan balita bertambah secara

bertahap.

“yaa tak coba ganti-ganti be.e bosen. iyaa kasih vitamin iku mbk, terus disuruh

neter ati cek iso nglemokno kan ambk sego anget2 lak enak a mbk”(SM, 2019)
91

Pribadi yang kritis dan mencoba membuka pintu informasi seluas-luasnya,

ternyata dapat membantu ibu dalam menemukan solusi dari permasalah yang

dihadapi.

Peneliti menemukan pemahaman informasi yang berbeda pada salah satu

informan dalam penelitian ini terkait pengobatan masalah kesehatan keluarga, beliau

mengaku meninggalkan pelayanan kesehatan secara medis dan beralih ke

pengobatan pola nabi dan thibun nabawi dengan alasan lebih aman dan tidak

mengandung bahan kimia. Selain itu melalui data yang telah didapatkan ibu mengaku

tidak sempat dan malas jika harus berkunjung ke Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu

untuk melakukan pemeriksaan balita secara berkala.

“kemaren nggk ke posyandu. Sibuk mbk dan nggk sempet. Males sakjane aku

ke posyandu itu”(WA, 2019)

Kejadian balita BGM yang menjadi sorotan tenaga kesehatan khususnya ahli

gizi wilayah setempat, menuntut kader pendamping untuk lebih optimal lagi dalam

menjalankan program penanganan kejadian balita BGM dilapang. Sehingga berimbas

pada pribadi ibu yang merasa perlakuan kader pendamping sangat berlebihan, hal

demikian membuat ibu terganggu dengan kehadiran kader pendamping karena dirasa

terlalu banyak ikut campur dalam mengurus balita padahal disisi lain ibu telah

berusaha semaksimal mungkin memberikan yang terbaik untuk putranya. Pernyataan

tersebut menjadi latar belakang dalam memperkuat pemahaman ibu untuk berpindah

ke metode pengobatan lain.

“di posyandu mana aja kalau ada balita yang kurang berat badan atau yang

lain kan pasti di pandu, dan kadernya juga kenak tergur dari puskesmas. Aku
92

se nggk begitu respek mbk. Yaa sudah yang terpenting anakku sudah mau

makan Alhamdulillah, mengenai gizinya aku wes pahamlah. kalaupun tak

paksa anakku juga kasian kan. jadi sekarang tak kembalikan aja ke pola nabi,

thibbun nabawi”(WA, 2019)

Dari pernyataan diatas peneliti mencoba menarik kesimpulan bahwasanya

bukan hanya membutuhkan pendamping gizi yang handal dalam menangani situasi

di lapang namun ibu dengan kesadaran serta peran yang optimal juga ikut serta dalam

rangka menurunkan angka kejadian balita BGM. Beberapa tindakan yang ibu lakukan

untuk menyembuhkan putranya melakui metode lain yaitu dengan menggunakan

obat-obatan alami yang dirasa lebih aman tanpa campuran bahan kimia.

“pakek habatus saudah sama madu iku mbk, apa kadang geger.e

(punggungnya) tak kerok.i pakek bawang merah iku.. Wes maem seng akeh,

tak mik.i terus istirahat ngono.. insyAllah besok sembuh dia” (WA, 2019)

Persepsi tentang kualitas diet pada anak balita dengan kondisi BGM sangat

penting untuk menunjang penerapan diet yang sehat sebagai penanganan optimal

dan pencegahan penyakit. Usaha meningkatkan status gizi yang dipengaruhi oleh

peran keluarga dan masyarakat sekitar didukung oleh penelitian yang dilakukan

Airinda dan Artaria, 2015 mengatakan keluarga ikut andil dalam memberikan saran

dan masukan untuk mempertahankan kesehatan balita seperti halnya orang tua

khususnya ibu yang menjadi sumber pengetahuan utama dalam mengasuh balita

sejak awal kehamilan hingga melahirkan. Pemahaman terkait kejadian BGM serta

persepsi ibu yang kurang tepat terhadap asupan makanan yang diberikan pada balita

memberikan kontribusi terhadap kejadian balita BGM, disisi lain penelitian yang
93

dilakukan oleh Adamo and Kendra., 2013 menyatakan bahwa pemahaman orang tua

dalam mengamati kuantitas dan kualitas diet pada balita sangat penting, jumlah porsi

dan kalori sangat penting dalam menunjang kualitas diet dan orang tua dianjurkan

memahami petunjuk kebutuhan makan sehari-hari sesuai usia balita. Menerapkan

pengobatan alternatif menjadi pilihan mutlak pada setiap pribadi ibu, namun membuka

informasi melalui pelayanan kesehatan wilayah setempat tidak menutup kemungkinan

dalam memberikan sumbangsih untuk menangi masalah kesehatan balita sehingga

penelitian yang dilakukan Adamo and Kendra., 2013, menyatakan diperlukan

pendekatan secara personal dalam merubah kebiasaan sehat keluarga. Peran orang

tua dalam menjaga kebiasaan makanan sehat dan memperbaiki persepsi yang kurang

tepat menjadi langkah intervensi dan preventif kejadian masalah kesehatan balita di

wilayah tersebut.
94

6.2 Keterbatasan Penelitian

 Peneliti tidak menggali lebih dalam terkait latar belakang sosial budaya

ibu dan keluarga berkaitan dengan kesehatan balita.

 Peneliti menemukan kekurangan secara teknis seperti lingkungan

yang kurang kondusif dikarenakan ibu juga harus mengurus putranya

saat proses wawancara.

Anda mungkin juga menyukai