Anda di halaman 1dari 96

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Departemen Arsitektur Skripsi Sarjana

2019

Analisa Bentuk Denah Oval pada


Rumah Tradisional Nias Utara

Zagoto, Jordan
Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/15925
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
ANALISA BENTUK DENAH OVAL PADA

RUMAH TRADISIONAL NIAS UTARA

Oleh:

Jordan Zagoto

130406090

DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

Universitas Sumatera Utara


ANALISA BENTUK DENAH OVAL PADA

RUMAH TRADISIONAL NIAS UTARA

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Dalam Departemen Arsitektur Pada

Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh:

Jordan Zagoto

130406090

DEPARTEMEN TEKNIK ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

Universitas Sumatera Utara


PERNYATAAN

ANALISA BENTUK DENAH OVAL PADA RUMAH TRADISIONAL NIAS UTARA

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.

Medan, 09 Juli 2018

(Jordan Zagoto)

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah diuji pada

Senin, 16 Juli 2018

Panitia Penguji Skripsi

Ketua Komisi Penguji : Prof. Ir. M. Nawawiy Loebis, M.Phil., Ph.D.

Anggota Komisi Penguji : 1. Imam Faisal Pane, S.T., M.T.

2. Novi Rahmadhani, S.T., M.T.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK

Bentuk merupakan hal yang paling mendasar dalam dunia arsitektur karena secara
psikologis manusia akan menyederhanakan lingkungan visualnya untuk mempermudah
pemahaman dalam memandang suatu objek arsitektur. Pengunaan bentuk oval sebagai bentuk
denah bangunan tradisional hanya dapat ditemui di Nias Utara bahkan merupakan satu-
satunya di dunia sehingga menjadi keunikan tersendiri. Hal ini menarik minat penulis untuk
meneliti kasus ini tentang bagaimana proses terbentuknya denah oval tersebut dari hasil
perbandingan dengan berbagai latar belakang beberapa bangunan bulat tradisional lainnya
yang berada di beberapa wilayah di berbagai belahan dunia. Proses terbentuknya denah bulat
pada bangunan tradisional Nias Utara disebabkan oleh berbagai faktor latar belakang yang
merupakan hasil perbandingan dan analisa latar belakang antropologis (nonfisik) dan fungsi
(fisik) dari beberapa kelompok masyarakat lain yang juga menggunakan bentuk denah yang
sama serta dari masyarakat Nias Utara sendiri. Menurut pengelompokan wilayah kekuasaan
masyarakat di Pulau Nias, masing-masing wilayah kekuasaan berusaha menonjolkan
pengaruhnya serta membedakan ciri adat istiadatnya. Ditinjau dari aspek fungsi ruang,
masyarakat Nias Utara membutuhkan ruang yang cukup luas untuk melakukan kegiatan
berkumpul antar masyarakat desa, juga dibutuhkan sebagai strategi untuk mengamati musuh
dimana pada ruang yang berbentuk bulat atau oval lebih mudah untuk melakukan
pengamatan ke arah luar bangunan, dan dari aspek kenyamanan , ruangan yang berbentuk
bulat dapat menyebabkan suhu udara yang lebih tinggi sehingga ruangan terasa lebih hangat
apabila dibandingkan dengan ruangan yang tidak berbentuk bulat.
Kata Kunci: Rumah Tradisional, Nias Utara, Bangunan Bulat, Denah.

ABSTRACT

Form is the most basic thing in the world of architecture because psychologically,
human will simplify the visual environment to facilitate understanding in viewing an
architectural object. The use of oval forms as a form of traditional building plans can only be
found in North Nias and is even the only one in the world. This attracted the interest of the
author to examine this case about how the process of forming the oval plan was compared
with the results of a variety of backgrounds of several other traditional round buildings
located in several regions in various parts of the world. The process of forming a round plan
on traditional North Nias buildings is caused by a variety of background factors which are the
result of comparison and analysis of anthropological (non-physical) background and
(physical) functions of several other community groups that also use the same plan and from
North Nias communities themselves. According to the grouping of the territories of the
people on Nias Island, each of the territories seeks to highlight their influence and distinguish
the characteristics of their customs. Viewed from the aspect of space function, North Nias
people need a large enough space to carry out gatherings among villagers, also needed as a
strategy to observe enemies where in a round or oval space it is easier to make observations
to the outside of the building, and from aspects comfort, a round room can cause higher air
temperatures so the room feels warmer when compared to a non-round room.

Keywords: Traditional house, North Nias, Round House, Plan.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dankarunia-Nya
dimampukan untuk menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untukmemperoleh gelar Sarjana
Teknik Arsitektur pada Universitas Sumatera Utara(USU) Medan.

Penulis juga ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Ir. M. Nawawiy Loebis, M.Phil., Ph.D. selaku DosenPembimbing yang
telah membantu memberikan petunjuk dan pengarahandalam penulisan skripsi ini.

2. Bapak Imam Faisal Pane,S.T., M.T. dan Ibu Novi Rahmadhani, S.T, M.T., selaku
Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan sarandalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Beny OY Marpaung, ST,.M.T. selaku Dosen Koordinator skripsi T.A.


2017/2018 dan sekretaris Program Studi Sarjana Teknik Arsitektur.

4. IbuDr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc.selaku Ketua Program Studi Sarjana Teknik
Arsitektur.

5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen staff pengajar Departemen Arsitektur,


FakultasTeknik, Universitas Sumatera Utara atas semua kritik dan sarannya selamamasa
perkuliahan.

6. Drs. Arisman Zagoto (ayah) dan Veronika Laia SH. (Ibu) selaku orang tua tercinta
yang telah memberikan doa, semangat, serta dorongan untuk menyelesaikanstudi dan skripsi
peneliti di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

7. Untuk sahabat terkasih, Astrid Keisha, dan teman teman Anita Simanjuntak,
Sarika Nuraini, serta Ulfa Auliyah yang telah menemani dan memberi semangat dari awal
masuk kuliah di kampus Arsitektur USU

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh darisempurna sehingga penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifatmembangun dari semua pihak sebagai
bahan penyempurnaan skripsi ini. Akhirkata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan
manfaat yang besar bagisemua pihak.

ii

Universitas Sumatera Utara


Medan, 09 Juli 2018

Penulis,

Jordan Zagoto

iii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

ABSTRAK ....................................................................................................i

KATA PENGANTAR ..................................................................................ii

DAFTAR ISI ................................................................................................iv

DAFTAR TABEL.........................................................................................vi

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1

1.1 Latar Belakang .........................................................................................1

1.2 Perumusan Masalah .................................................................................2

1.3 Tujuan Penelitian .....................................................................................3

1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................3

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................5

2.1 Denah ......................................................................................................5

2.2 Bentuk dalam Arsitektur ..........................................................................6

2.3 Tinjauan Teori Rumah Tradisional...........................................................9

2.4 Pengaruh Politik, Sosial, Ekonomi, dan Iklim Terhadap Bentuk..............13

2.5 Masyarakat Nias Utara............................................................................14

2.5.1 Tipologi Rumah Tradisional Nias Utara (Aspek Fisik)..............16

2.5.2 Antropologi Masyarakat Nias Utara (Aspek Non Fisik)…….....22

2.6 Antropologi Kelompok Masyarakat Lain................................................26

iv

Universitas Sumatera Utara


2.6.1 Suku Dani (Papua).................................................................26

2.6.2 Suku Wae Rebo (Flores)........................................................31

2.6.3 Suku Eskimo (Kutub)............................................................33

2.6.4 Suku Boti (Pulau Timor).......................................................36

2.6.5 Suku Darai (Nepal)...............................................................41

2.6.6 Bangsa Celtic........................................................................44

2.6.7 Bangsa Basotho (Lesotho/Afrika Selatan).............................48

2.7 Tipologi Rumah Tradisional Kelompok Masyarakat Lain...................51

2.7.1 Suku Dani (Papua)................................................................51

2.7.2 Suku Wae Rebo (Flores).......................................................56

2.7.3 Suku Eskimo (Kutub)...........................................................59

2.7.4 Suku Boti (Pulau Timor).......................................................61

2.7.5 Suku Darai (Nepal)...............................................................63

2.7.6 Bangsa Celtic........................................................................63

2.7.7 Bangsa Basotho (Lesotho/Afrika Selatan)............................64

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...............................................68

3.1 Jenis Penelitian...................................................................................68

3.2 Variabel Penelitian ............................................................................69

3.2.1 Variabel Dependen..............................................................69

3.2.2 Variabel Independen...........................................................70

3.3 Populasi/Sampel ...............................................................................71

3.4 Teknik Pengumpulan Data ...............................................................71

3.5 Metode Analisis Data .......................................................................72

Universitas Sumatera Utara


3.5.1 Analisa Deskriptif...............................................................72

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................73

4.1 Pembahasan .....................................................................................73

4.1.1 Perbandingan Aspek Antropolog........................................73

4.1.2 Analisa Latar Belakang Fisik (Tipologi...............................74

4.2 Hasil Perbandingan dan Analisa.......................................................77

BAB V KESIMPULAN.........................................................................78

BAB VI SARAN....................................................................................79

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................80

LAMPIRAN .........................................................................................83

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Judul Hal

1.Tabel 2.1. Bentuk dasar dan karakternya.................................................. 8

2 Tabel 4.1. Tabel perbandingan latar belakang antropologis..................... 73

vii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No Judul Hal

Gambar 2.1. Rumah tradisional Nias Utara.............................................................16

Gambar 2.2. Rumah tradisional Nias Utara.............................................................16

Gambar 2.3. Denah ruang dan denah kolom rumah tradisional Nias Utara.............17

Gambar 2.4. Konstruksi lantai rumah tradisional Nias Utara ..................................19

Gambar 2.5. Gambar potongan rumah tradisional Nias Utara.................................19

Gambar 2.6. Pola perkampungan Nias Utara..........................................................21

Gambar 2.7. Rumah Honai...................................................... ..............................27

Gambar 2.8. Rumah Mbaru Niang..........................................................................33

Gambar 2.9. Bangunan Igloo..................................................................................35

Gambar 2.10. Bangunan tradisional Suku Boti.......................................................36

Gambar 2.11. Bangunan tradisional Suku Darai.....................................................39

Gambar 2.12. Bangunan tradisionalBangsa Celtic..................................................43

Gambar 2.13. Bangunan tradisional Bangsa Basotho............... .............................48

Gambar 2.14. Denah pemukiman suku Dani (Silimo)............................................54

Gambar 2.15. Denah bangunan Mbaru Niang........................................................58

Gambar 2.16. Teknik penyusunan balok es sebagai dinding Igloo.........................60

Gambar 2.17. Permukaan ruang tidur yang lebih tinggi..........................................61

Gambar 2.18. Denah dan potongan bangunan Umebubu.......................................63

viii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bentuk merupakan hal yang paling mendasar dalam dunia arsitektur

karena secara psikologis manusia akan menyederhanakan lingkungan visualnya

untuk mempermudah pemahaman dalam memandang suatu objek arsitektur.

Meskipun suatu objek mengalami berbagai modifikasi bentuk namun secara

naluriah manusia akan mengurangi atau menyederhanakan objek tersebut ke

bentuk-bentuk yang paling sederhana dan teratur agar semakin mudah diterima

dan dimengerti. Bentuk dasar bangunan ditentukan oleh berbagai elemen dari

bangunan itu sendiri salah satunya ialah bentuk denah.

Bentuk-bentuk yang paling sederhana dan teratur ialah bentuk geometri

seperti bujur sangkar, segitiga, dan sederetan segi banyak beraturan (yang

memiliki sisi-sisi dan sudut yang sama) yang tak terhingga banyaknya seperti

bentuk lingkaran.

Bentuk lonjong atau oval merupakan suatu bentuk yang dimofikasi dari

bentuk dasar lingkaran. Penggunaan bentuk ini tidak terlalu umum untuk

diterapkan sebagai bentuk denah maupun bentuk utama bangunan, khususnya

pada era modern ini. adapun penerapan bentuk oval pada denah bertujuan untuk

menarik perhatian sekitar serta menunjukkan kekhususan bangunan itu sendiri

dari lingkungan sekitarnya.Dalam setiap kebudayaan, bentuk lingkaran sebagai

Universitas Sumatera Utara


bentuk dasar dari oval biasanya mewakilkan bentuk alam semesta seperti

matahari, bulan, dan objek angkasa lainnya.

Penggunaan bentuk lingkaran pada awal peradaban manusia dapat

ditemukan dalam bentuk tembok perkampungan atau pemukiman pada masa itu

serta beberapa rumah tradisional di berbagai wilayah termasuk di Indonesia

sendiri dengan latar belakang antropologis serta fisiknya masing-masing yang

kemudian membentuk denah bulat itu sendiri. Namun pengunaan bentuk oval

sebagai bentuk denah bangunan tradisional hanya dapat ditemui di Nias Utara

bahkan merupakan satu-satunya di dunia sehingga menjadi keunikan tersendiri.

Hal ini menarik minat penulis untuk meneliti kasus ini tentang bagaimana proses

terbentuknya denah oval tersebut dari hasil perbandingan dengan berbagai latar

belakang beberapa bangunan bulat tradisional lainnya yang berada di beberapa

wilayah di berbagai belahan dunia.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini ialah proses penerapan bentuk

denah doval yang jarang ditemukan pada bangunan umumnya, dalam hal ini

rumah tradisional Nias Utara.

Maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain :

 Bagaimana latar belakang antropologis (nonfisik) dan fungsional (fisik)

masyarakatNias Utara tentang bentuk arsitektur khususnya bentuk oval ?

Universitas Sumatera Utara


 Bagaimana latar belakang antropologis (nonfisik) dan fungsional (fisik)

kelompok masyarakat di wilayah lain yang juga menerapkan bentuk denah

bulat?

 Apakah ada kesamaan latar belakang antropologis dan fungsional

masyarakat Nias Utara dengan kelompok masyarakat di wilayah lain tentang

denah bulat itu sendiri?

1.3. Tujuan Penelitian

 Menemukan latar belakang antropologis (nonfisik) dan fungsional (fisik)

masyarakat Nias Utara tentang bentuk arsitektur khususnya bentuk oval.

 Menemukan latar belakang antropologis (nonfisik) dan fungsional (fisik)

kelompok masyarakat di wilayah lain yang juga menerapkan bentuk denah

bulat.

 Menganalisa kesamaan latar belakang antropologis dan fungsional

masyarakat Nias Utara dengan kelompok masyarakat di wilayah lain

tentang denah bulat itu sendiri.

1.4. Manfaat Penelitian

 Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi

secara ilmiah pada kajian tentang pemilihan bentuk dalam perancangan

dari sisi antropologis (non fisik) serta fungsional (fisik) dalam hal ini yaitu

rumah tradisional Nias Utara. Oleh karena itu penelitian ini diaharapkan

mampu melengkapi berbagai referensi tentang hubungan latar belakang

masyarakat dengan penerapan bentuk arsitektur.

Universitas Sumatera Utara


 Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

referensi masyarakat tentang penggunaan bentuk-bentuk arsitektur yang

tidak umum diterapkan khususnya bentuk lingkaran dan oval untuk denah

bangunan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Agar penelitian ini tetap terfokus dan terarah serta menghindari

pembahasan masalah yang terlalu luas maka perlu dilakukan pembatasan ruang

lingkup penelitian. Adapun batasan pembahasan masalah dalam penelitian ini

ialah analisa terhadap beberapa aspek latar belakang baik secara fisik maupun

nonfisik dari beberapa kelompok masyarakat di berbagai wilayahyang

menggunakan bentuk denah bulat sebagai perbandingan dengan masyarakat Nias

Utara untuk menemukan faktor terbentuknya denah oval pada rumah tradisional

Nias Utara itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Denah

Berbicara tentang denah akan selalu terkait dengan gambar perancangan dan

bangunan. Secara umum denah merupakan gambar yang menunjukkan lokasi /

letak dari suatu tempat. Dalam pengertian lain yang lebih luas, denah merupakan

gambaran sederhana tentang suatu tempat. Denah digunakan untuk tujuan

menunjukan fungsi ruang, susunan ruang, sirkulasi, serta dimensi ruang. Denah

juga berfungsi untuk membantu menemukan letak suatu tempat atau ruang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi denah ialah gambar

rancangan bangunan.

Sedangkan menurut para ahli, definisi denah antara lain :

 Penampang atau potongan horizontal bangunan (rumah tinggal) yang

dipotong satu firkan dari bawah (Thomas C. Wang)

 Bagian atas bangunan (rumah tinggal) yang dipotong sehingga akan

terlihat bagian-bagian dalam bangunan berikut komponen-komponen yang

menempel pada bangunan tersebut (D.K. Ching)

Menurut Choirul Amin (2010), prinsip dasar dalam merancang denah antara lain :

1. Pertimbangan jumlah pengguna

Universitas Sumatera Utara


Menghitung jumlah pengguna bangunan yang akan menjadi dasar untuk

mengalokasikan kebutuhan ruang.

2. Kebutuhan ruang

Kebutuhan luas ruang yang sesuai dengan kebutuhan pengguna ruangan

tersebut.

3. Fungsi ruang

Memastikan kejelasan fungsi dan kegunaan ruang tesebut sebagai

pertimbangan untuk merancang alur sirkulasi ruang pada bangunan.

4. Kenyamanan

Mempertimbangkan kenyamanan pengguna ruang dengan mengatur

bukaan-bukaan dan tata letak perabotan di dalam ruangan tesebut.

5. Keamanan

Keamanan memiliki pengertian dan lingkup yang luas diantaranya

kekuatan struktur bangunan, berbagai gangguan yang tidak diinginkan,

dan sebagainya.

6. Nilai estetika

Merupakan unsur tambahan yang sebaiknya diterapkan pada ruang-ruang

di dalam bangunan sehingga nyaman digunakan dan memiliki nilai

estetika.

2.2. Bentuk dalam Arsitektur

Bentuk merupakan salah satu elemen dasar dalam perancangan. Bentuk

secara tersendiri maupun hasil kombinasi dengan bentuk lain dapat

menyampaikan arti yang universal sama seperti memberikan petunjuk pada

pikiran saat mengelola informasi.

Universitas Sumatera Utara


Dalam arsitektur, arti kata bentuk memiliki pengertian yang berbeda-beda

sesuai dengan pandangan dan pemikiran pengamatnya. Berikut ini pengertian

bentuk secara arsitektur menurut para ahli :

 Bentuk adalah suatu perwujudan dari organisasiruang yang merupakan

hasil dari suatu proses pemikiran. Proses ini didasarkan oleh pertimbangan

fungsi dan usaha pernyataan diri atau ekspresi (Hugo Haring).

 Bentuk adalah wujud dari penyelesaian akhir dari konstruksi yang

pengertiannya sama (Mies Van Der Rohe).

 Bentuk adalah suatu keseluruhan dari fungsi-fungsi yang bekerja secara

bersamaan, yang hasilnya merupakan susunan benda (Benjamin Handler).

Bentuk memiliki variasi karakteristik yang tidak terbatas karena setiap bentuk

dapat menyampaikan pesan yang berbeda. Bentuk merupakan dua wilayah

dimensi dengan batasan yang terlihat. Ada bentuk yang terbuka atau tertutup,

memiliki sudut atau bulat, besar atau kecil. Bentuk juga dapat bersifat organik

atau anorganik. Juga bisa berupa bentuk bebas atau geometris dan tersusun.

Bila ditinjau dari sisi manusianya, kebutuhan akan ruang terbagi atas dua

macam yaitu ruang secara fisik dan ruang secara emosional. Secara fisik manuisa

mencari perindungan dalam bentuk bagunan, sedangkan secara emosi manusia

menikmati keinahan warna, tekstur, bidang, dan sebagainya. Kebutuhan ruang

secara fisik adalah kebutuhan akan tempat berdimensi tiga untuk melakukan

kegiatanya. Di sisi lain, kebutuhan akan ruang secara emosional lebih banyak

ditentukan oleh selera dan pengalaman ruang dari masing-masing orang.

Wujud dasar ruang menurut D.K. Ching (1996) terdiri atas 3 bentuk, yaitu :

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1. Bentuk dasar dan karakternya

Lingkaran merupakan susunan sederetan titik yang memiliki jarak yang sama dan

seimbang terhadap sebuah titik tertentu di dalam lengkungan.Pertimbangan dalam

memilih wujud dasar lingkaran :

1). Kendala dalam penataan bentuk lengkung.

2). Pengembangan bentuk relatif banyak.

3). Orientasi aktifitas cenderung memusat

4). Fleksibilitas ruang tepat untuk penataan organisasi ruang dengan pola

memusat.

5). Karakter dinamis dengan orientasi yang banyak.

Universitas Sumatera Utara


Lingkaran memiliki pergerakan yang bebas dan bisa berputar. Bayangan

dan garis dapat meningkatkan rasa pergerakan dalam lingkaran. Lingkaran

bersifat anggun dan feminim serta memiliki sifat yang memberi rasa hangat,

menenangkan, dan sensual. Sifat lain dari lingkaran yaitu melindungi, memberi

pertahanan, dan membatasi apa yang ada di dalam dan menjaga hal-hal lain tetap

berada di luar, serta menunjukkan komunitas, integritas, dan kesempurnaan.

Bentuk lingkaran tidak terlalu umum diterapkan dalam desain, namun dapat

digunakan untuk menarik perhatian, memberi penekanan, dan privasi.

Bentuk lonjong / oval sebagai pembahasan utama dalam penelitian ini

merupakan bentuk lanjutan atau modifikasi dari bentuk dasar lingkaran. Secara

umum bentuk oval ialah bentuk lingkaran yang direntangkan atau lingkaran yang

memanjang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) defenisi bentuk

oval ialah lonjong; bulat panjang; bulat telur.

2.3. Tinjauan Teori Rumah Tradisional

Ilmu arsitektur saat ini telah mengalami perkembangan pesat dari ruang

lingkup yang terbatas pada studi tentang teknis bangunan hingga pemanfaatan

bidang ilmu lainnya seperti kajian kebudayaan serta antropologi dan psikologi

yang menghasilkan peran ilmu antropologi dan psikologi dalam mengarahkan

penelitian arsitektur tradisional, vernakular, dan lingkungan.Manusia sebagai

kajian dari antropologi adalah sebagai objek yang dipelajari baik sebagai individu

ataupun kelompok. Dalam perkembangan manusia, naungan adalah hal pertama

dan mendasar yang dibuat oleh manusia. Naungan atau tempat tinggal sementara

pada jaman pra sejarah adalah hasil karya insting manusia yang butuh tempat

Universitas Sumatera Utara


terlindung dari segala ganguan dari cuaca atau problem alam lainnya. Moore and

Allen menjelaskan bahwa manusia hidup dalam ruang yang tidak terbatas.

Arsitektur memotong atau membatasi ini, sehingga memberi makna bagi kegiatan

manusia yang berlangsung di dalamnya.

Amos Rapoport mengungkapkan bahwa arsitektur bermula sebagai tempat

bernaung. Oleh karena itu banyak anggapan di masyarakat bahwa arsitektur

adalah sesuatu yang berhubungan dengan bangunan sebagai tempat tinggal.

Menurut Edney (1976) dalam Altman dan Chemers (1989) fungsi dari teritori

manusia dapat ditekankan atas dua hal yaitu mengatur identitas personal dan

mengatur sistem sosial.

Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa teritori berhubungan dengan

aspek fisik dan non fisik. Teritori dalam pengertian fisik ialah batasan

kepemilikan atau batas pertahanan terkecil dari rumah dan dapat berupa pagar,

dinding atau elemen penentu batasan fisik lannya, sedangkan teritori dalam arti

non fisik adalah batas yang dimiliki oleh seorang individu dalam interaksi dengan

oranglain baik secara individual maupun kelompok.Tinjauan terhadap rumah

sebagai hasil kebudayaan manusia akan tercermin dari berbagai aspek. Bentuk

rumah tradisonal adalah hasil budaya manusia pada kelompok yang diwariskan

secara turun temurun untuk jangka waktu yang lama untuk melakukan adaptasi

terhadap berbagai faktor.

Selama ini arsitektur murni hanya melihat aspek fisiknya saja. Apabila

dilihat dari proses yang terjadi, maka tahap gagasan merupakan awal terjadinya

proses arsitektur tersebut. Proses diawali oleh gagasan melalui tindakan hingga

10

Universitas Sumatera Utara


akhirnya terbentuk hasil karya fisik. Sehingga sedikit perubahan yang terjadi pada

tahap gagasan berarti akan terjadi perubahan pula pada karya akhirnya.

Pengalaman ini meliputi pengembangan kepercayaan terhadap kekuasaan dan

kekuatan yang lebih tinggi, hubungan sosial dengan orang atau kelompok lain,

ekspresi kepribadian individual kepada lingkungan masyarakat di sekitarnya,

mengupas makna-makna yang dapat diterima oleh lingkungan (Mulder, 1975).

Amos Rapoport (1969) berpendapat bahwa apa yang dihasilkan oleh manusia

sangat tergantung dari latar belakang sosial budayanya atau kondisi sosial

manusia itu sendiri, sehingga membangun rumah merupakan fenomena budaya

dimana bentuk dan organisasinya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dimana dia

berada. Bentuk rumah dipengaruhi oleh:

 Iklim memang telah diterima sebagai faktor yang menentukan dalam

bentuk rumah, tapi pada kasus yang lain budayalah yang lebih memegang

peranan.

 Rumah adalah suatu lembaga dan bukan hanya struktur yang dibuat untuk

berbagai tujuan yang kompleks. Karena membangun suatu rumah

merupakan suatu gejala budaya, maka bentuk dan pengaturannya sangat

dipengaruhi budaya lingkungan dimana bangunan itu berada.

 Bentuk rumah bukan merupakan hasil kekuatan faktor fisik atau faktor

tunggal lainnya, tetapi merupakan konsekuensi dari cakupan faktor-faktor

budaya yang terlihat dalam pengertian yang luas. Bentuk berubah menurut

kondisi iklim, metode konstruksi, material yang tersedia dan teknologi.

Yang utama adalah faktor sosial budaya sedangkan lainnya merupakan

faktor kedua yang melengkapi atau memodifikasi.

11

Universitas Sumatera Utara


Unsur yang akan selalu ada dalam proses penciptaan karya arsitekturadalah

keindahan. Keindahan selalu menjadi latar belakang atau tuntutan dalam sebuah

karya arsitektur dan juga merupakan gagasan mengenai bentuk estetika yang pada

akhirnya akan diwujudkan menjadi sebuah karya fisik melalui teknik dan metode

dalam arsitektur. Dalam hal ini bentuk estetika merupakan sebuah gagasan yang

muncul dalam sebuah kebudayaan. Estetika merupakan wujud kedua dari

kebudayaan atau merupakan wujud gagasan. Arsitektur merupakan wujud fisik

yang secara nyata dapat dilihat, disentuh dan dirasakan kehadirannya dalam

masyarakat. Wujud fisik ini, baik dalam skala bangunan tunggal maupun sebuah

lingkungan buatan, dapat dipahami sebagai sebuah artefak. Sebuahkarya arsitektur

mengkomunikasikan kondisi masyarakat di mana artefak tersebut berada. Artefak

merupakan wujud akhir yang timbul akibat adanya gagasan dan tindakan dalam

suatu kebudayaan, wujud fisik. Kebudayaan dalam wujud fisik merupakan bagian

terluar dari lingkaran konsentris kerangka kebudayaan (Koentjaraningrat, 2005).

Ruang dan hirarki yang tergantung didalamnya merupakan bagian dari

arsitektur dimana penyusunanya dipengaruhi oleh pola pikir manusia yang berupa

cita rasa, budaya, dan penyelarasan dengan alam sekitarnya. Antropologi

merupakan kajian bagaimana tentang pola ruang itu terbangun dan hirarki ruang

terjadi, dimana arsitektur sebagai cerminan dari budaya masyarakatnya.

Dikutip dari tulisan Fauziah (2014) faktor sosio-kultural yang berpengaruh pada

bentuk pemukiman dan Bangunan suatu masyarakat antara lain :

 Adat istiadat dan kebudayaan.

 Kepercayaan.

12

Universitas Sumatera Utara


 Keamanan.

 Nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.

2.4. Pengaruh Politik, Sosial, Ekonomi, Dan Iklim Terhadap Bentuk

Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang bermasyarakat. Untuk

menjaga ketertiban dan kelangsungan hidupnya terdapat unsur-unsur kebudayaan

untuk mengatur manusia dalam bertindak, menentukan sikap dalam berhuungan

dengan orang lain, dan sebagainya. Patokan dan batasan ini adalah politik, sosial,

dan ekonomi, yaitu yang paling besar pengaruhnya.

Bidang politik membawa pengaruh pada tingkah laku manusia yaitu

terhadap suatu kekuasaan. Hal ini terlihat dari bentuk-bentuk arsitekturnya, dan

sebaliknya juga dapat diperlihatkan dan dinyatakan melalui arsitektur. Bentuk-

bentuk benteng dan tembok enyatakan adanya pertahanan atas kekuatan dari luar.

Keinginan untuk dihormati dinyatakan melalui adanya jarak.

Dalam bidang ekonomi terdapat berbagai tingkat lapisan masyarakat yang

berbeda secara ekonomi, maka bentuk dan pemakaian bahan bagi bentuk-bentuk

yang ada pun menjadi beragam.

Dari bidang sosiologi, terlihat adanya usaha untuk mempelajari tentang

segala macam kelakuan manusia di dalam suatu masyarakat. Interaksinya dengan

Tuhan, manusia lain, dengan kekuasaan, dengan alam dan juga kelakuan mausia

terhadap dirinya sendiri. Hubungan ini juga mejadi unsur dasar dalam penentuan

suatu bentuk bangunan karena bentuk adalah hasil dari tuntutan manusianya.

13

Universitas Sumatera Utara


Bentuk rumah tinggal yang luas dengan ruang-ruang yang besar mencerminkan

adanya sifat kekeluargaan. Paling tidak dibutuhkan toleransi yang tinggi untuk

dapat hidup beramai-ramai. Penggunaan bahan banguan juga sering dianggap

sebagai suatu pernyataan status sosial manusia dalam lingkungannya.

Disamping ketiga hal utama yang mempengaruhi bentuk diatas ada satu hal

yang juga turut menentukan yaitu pengaruh letak geografis bagi suatu

daerah.pengaruh ini penting karena manusia tidak dapat menghindari kekuatan-

kekuatan alam yang ada disekelilingnya. Keamanan dan kenyamanan kegiatan

yang berlangsung berhubungan dengan kekuatan alam tersebut.

2.5. Masyarakat Nias Utara

Suku bangsa Nias mendiami Pulau Nias yang terletak pada bagian barat Pulau

Sumatera. Pulau Nias dan beberapa pulau kecil disekitarnya termasuk dalam

wilayah Sumatera Utara. Masyarakat asli pulau Nias menyebut diri mereka

sebagai Ono Niha yang berarti anak manusia dan menyebut Pulau Nias sebagai

Tano Niha ( tanah manusia). Walaupun merupakan satu suku bangsa dan berasal

dari kebudayaan yang sama dan saling terkait namun masyarakat Nias dapat

dikelompokkan berdasarkan bentuk rumah tradisional dan dialek bahasanya dalam

tiga wilayah yaitu Nias Utara, Nias Tengah, dan Nias Utara.Keragaman bentuk

rumah tradisional dan dialek bahasa yang paling mencolok adalah antara

kelompok masyarakat Nias Selatan dan Nias Utara, sedangkan kelompok

masyarakat Nias Tengah merupakan perpaduan antara keduanya.

Pengelompokkan wilayah masyarakat ini juga berdasarkan sejarah atau legenda

masyarakat Nias tentang leluhurnya yaitu Raja Sirao yang dipercaya sebagai

14

Universitas Sumatera Utara


keturunan dewa (Lowalangi) yang awalnya bermukim di Teteholi Ana’a di

wilayah Nias Selatan dan memiliki tiga orang istri dimana masing-masing istri

beserta keturunannya saling berpencar ke wilayah yang berbeda setelah raja wafat

yaitu :

 Istri pertama tetap tinggal di Teteholi Ana’a bersama keturunannya

membangun rumah tradisional Nias Selatan.

 Istri kedua tinggal di Hia Ana’a (Nias Tengah) bersama keturunannya dan

membangun rumah tradisional Nias Tengah.

 Istri ketiga berimigrasi ke Lahewa (Nias Utara) dan bersama keturunannya

membangun rumah tradisional Nias Utara.

Di wilayahnya masing-masing keturunan raja tersebut membuat adat istiadat

sendiri disamping budaya dan kepercayaan, namun tetap memegang teguh sistem

sosial dan struktur soial lainnya berdasarkan sistem marga dan stratifikasi sosial

(kasta). Perpindahan para keturunan ke berbagai wilayah awalnya bertujuan untuk

membangun sebuah perkampungan serta memperluas kawasan desa namun

pemisahan diri dari daerah asalnya tersebut mengakibatkan rengangnya hubungan

kekeluargaan yang didasarkan atas keinginan setiap orang menonjolkan

kekuasaan dan pengaruh pada desa barunya untuk menjadi raja-raja baru terhadap

desa-desa lain disekitarnya. Demikianlah sehingga munculnya komunitas

masyarakat yang beragam di Pulau Nias. Dalam penelitian ini pembahasan

terfokus pada masyarakat Nias Utara sebagai objek penelitian.

2.5.1. Tipologi Rumah Tradisional Nias Utara ( Aspek Fisik)

15

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1. Rumah tradisional Nias Utara

Sumber : www.museum-nias.org

Gambar 2.2. Rumah tradisional Nias Utara

Sumber : www.museum-nias.org

Rumah tradisional Nias Utara berbentuk lonjong yang sangat tidak biasa

dalam dunia arsitektur vernakular. Bentuk lonjong tersebut menurut penjelasan

para pemuka adat (Fan Gea, tetua adat desa Sihareo Siwahili) bermaksud antara

lain memberikan kesan lebih terbuka dan lapang serta dapat menguasai atau

mengamati daerah sekitar rumah apabila suatu waktu terjadi serangan musuh

mengingat Suku Nias terkenal akan budaya berperangnya. BangunanRumahtidak

dibangun secara menempel dengan bangunan lainnya melainkan berdiri sendiri.

Rumah-rumah memiliki sisi panjang menghadap ke jalan utama desa. Pada ruang

depan lantai di sepanjang dinding umumnya sengaja ditinggikan dan terdapat

bangku yang menempel sepanjang dinding. Seringkali ada satu atau lebih

16

Universitas Sumatera Utara


tambahan perluasan ke rumah. Pada salah satu ujung biasanya ada tangga ke pintu

masuk rumah dengan serambi kecil. Penggunaan sistem ukuran pada bangunan

tradisional Nias Utara tidak pernah menggunakan ukuran yang genap melainkan

mengunakan ukuran-ukuran yang selalu berjumlah ganjil. Hal ini dikarenakan

menurut para tetua adat di Nias Utara bahwa nilai genap erupakan nilai yang

selalu dibawa oleh kekuatan magis yang negatif yang dapat berdampak negatif

pula pada penghuni rumah.

Gambar 2.3. Denah ruang dan denah kolom rumah tradisional Nias Utara

Sumber : tipologi arsitektur rumah adat Nias Selatan dan rumah adat Nias Utara

Pada bangunan rumah tradisional Nias Utara ditemukan suatu ketetapan-

ketetapan mengenai susunan ruang-ruang dalam hunian tersebut yang ditetapkan

berdasarkan hukum adat setempat antara lain:

 Peletakan kamar tidur pria (Batee) harus berada paa sisi sebelah kanan

rumah.

17

Universitas Sumatera Utara


 Lantai ruang tamu (Sinata) harus mempunyai tiga tingkatan yang berbeda

untuk membedakan golongan yang akan menempatinya. Tingkat satu

untuk para tetua adat, tingkat dua untuk masyarakat menengah, dan tingkat

tiga untuk masyarakat umum.

 Posisi dapur (Nanohawa) harus berada pada bagian yang lebih rendah dari

ruangan lainnya.

Pada rumah tradisional Nias Utara pembagian ruang didasarkan atas tingkatan

kasta masyarakat. Pemisahan susunan ruang dibatasi secara abstrak dengan

membedakan tinggi dan rendah lantai. Ruangan penunjang lainnya yang terdapat

pada bangunan tradisional Nias Utara yang ditopang oleh tiang kolom (Ehomo)

yang berjumlah 71 buah ini seluruhnya berada pada bagian atas bangunan dimana

pintu masuk menuju ruang atas bangunan menggunakan tangga yang terdapat

pada sisi kiri bangunan. Adapun ruangan penunjang lainnya tersebut yaitu antara

lain :

 Ruang untuk tamu atau pendatang (Sinata)

 Ruang untuk kamar tidur yang seluruhnya berjumlah tiga buah (Batee)

 Ruang dapur (Nanohawa)

 Proporsi denah bangunan tradisional Nias Selatan antara lain panjang

bangunan 11,57 m, lebar bangunan ± 6,79 m, tinggi lantai rumah ± 2,85 m,

serta tinggi puncak atap ±47,3 m.

18

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.4. Konstruksi lantai rumah tradisional Nias Utara

Sumber : tipologi arsitektur rumah adat Nias Selatan dan rumah adat Nias Utara

A. Sifat Dasar Dan Bentuk Dasar

Gambar 2.5. Gambar potongan rumah tradisional Nias Utara

Sumber : tipologi arsitektur rumah adat Nias Selatan dan rumah adat Nias Utara

Yang dimaksud dengan sifat dasar ialah gambaran sifat yag ditimbulkan

oleh bentuk dasar bangunan seperti memusat, memencar, simetris, statis, sentris

dan sebagainya. Sifat dasar ini tidak hanya terbatas pada bentuk bangunan saja

19

Universitas Sumatera Utara


melainkan berlaku pula dalam mengamati tata letak bangunan terhadap

lingkungannya. Sifat dasar dari bangunan tradisional Nias Utara yang merupakan

gabungan dari persegi dan setengah lingkaran pada kedua ujung bangunan serta

bentuk atap yang merupakan gabungan antara limas dan lingkaran sesuai dengan

bentuk dasar denahnya mempunyai sifat dasar yang samar / ambigu.

B. Pola Perkampungan Nias Utara

Gambar 2.6. Pola perkampungan Nias Utara

Sumber : tipologi arsitektur rumah adat Nias Selatan dan rumah adat Nias Utara

Pada dasarnya desa-desa yang berada di Nias Utara mempunyai Siteplan yang

terbuka. Hal ini ditandai dengan peletakan rumah-rumahnya yang terkelompokkan

dalam desa kecil atau tersebar ke beberapa desa. Masing-masing kelompok atau

desa disebut sebagai Ori (lingkaran = desa).masing masing Ori dikepalai oleh

20

Universitas Sumatera Utara


seorang kepala desa yang dituakan oleh kelompok tersebut dan diangkat sebagai

pemimpin tertinggi desa tersebut. Dari seluruh kepala desa yang ada pada

kelompok masyarakat Nias Utara dipilih kemudian dipilih seorang pemimpin

yang memimpin seluruh desa-desa tesebut yang dipilih berdasarkan hirarkis

menurut usia para pemimpin dari desa-desa yang berada di Nias Utara. Pemimpin

tertinggi disebut Tuhenori. Pada perkampungan Nias Utara Fasade rumah-rumah

saling berhadapan dan di bagian tengahnya terdapat suatu area sentral. Rumah

pemimpin desa atau raja biasanya terletak pada bagian tengah perkampungan.

Bentuk perkampungan Nias Utara memanjang secara linear. Pola perletakan

perkampungan tersebut didasarkan atas sistem pertahanan yang dianut masing-

masing desa (Ori) dimana sistem desa di Nias Utara menggunakan sistem

pertahanan dengan pemagaran pohon yang ditanam secara rapat mengelilingi

desa.

C. Keadaan Geografis

Pulau Nias beriklim tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu mencapai

2.927,6 mm pertahun, sedangkan jumlah hari hujan dalam setahun 200 hingga 250

hari atau 86%. Kelembaban udara rata-rata sekitar 90% dengan suhu udara

berkisar 17o C hingga 32,6oC.

Kondisi daratan Pulau Nias sebagian besar berupa bukit yang terjal serta

pegunungan dengan tinggi yang bervariasi hingga 800 m diatas permukaan laut.

Iklim di Pulau Nias dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang berbatasan langsung

dengan Pulau Nias dengan kecepatan angin maksimum 16 knot / jam dengan arah

angin sebagian besar berasal dari arah utara.

21

Universitas Sumatera Utara


2.5.2. Antropologi masyarakat Nias Utara (aspek nonfisik).

A. Sistem Kekerabatan atau Sosial

Masyarakat Nias Utara mengikuti garis keturunan patrilineal, yaitu mengikuti

hitungan hubungan kekerabatan melalui laki-laki. Anak laki-laki maupun

perempuan mengikuti garis keturunan ayah. Para keturunan yang berasal dari satu

garis disebut Sisambua Mado.

Kelompok kekerabatan masyarakat Nias Utara yang terkecil adalah sangambatö

yaitu keluarga inti, tetapi kelompok yang penting adalah sangambatö sebua, yakni

keluarga besar yang terdiri dari keluarga inti senior ditambah lagi dengan keluarga

inti putra-putranya yang tinggal serumah, sehingga berupa sebuah rumah tangga

dan satu kesatuan ekonomis.

Pada kelompok masyarakat suatu desa (Ori) biasanya seluruh warga memiliki

hubungan kekeluargaan yang sangat dekat. Seperti masyarakat lain diseluruh

pulau Nias, Masyarakat Nias Utara mengenal sistem kasta atau stratifikasi

masyarakat untuk menentukan kelas sosial masyakatnya. Terdapat lima tingkatan

dalam kasta sosial masyarakat Nias Utara antara lain :

 Bangsawan (Si’ulu)

 Pemuka agama(Ere)

 Pemikir / orang pintar (Si’ila)

 Rakyat (Ono Mbanua)

 Budak (Harakana)

22

Universitas Sumatera Utara


B. Sistem Pernikahan

Masyarakat Suku nias menganut sistem penikahan monogami yaitu setiap

individu hanya memiliki satu pasangan. Pernikahan biasanya terjadi secara Cross

Cousin atau pernikahan antara anak-anak dari kakak beradik yang berbeda jenis

kelamin. Mahar atau mas kawin yang wajib dibayarkan pihak keluarga laki-laki

kepada pihak keluarga perempuan berupa beberapa ekor babi serta emas. Adapun

tujuan dilaksanakannya pernikahan dalam kelompok masyarakat Nias Utara ialah

untuk memperoleh serta meneruskan garis keturunan bagi pihak laki-laki serta

memperoleh kedudukan sosial yang dasar sebagai keluarga dalam kelompok

masyarakat serta untuk mewarisi kedudukan orangtua dalam adat karena yang

berhak mendapat kedudukan dalam adat ialah individu yang sudah berkeluarga

dan dianggap dewasa.

C. Sistem Religi atau Kepercayaan

Sebelum masuknya agama kristen, masyarakat Nias Utara memiliki kepercayaan

tradisional yang melakukan pemujaan kepada roh leluhur. kegiatan dalam

pemujaan ini ialah membuat patung-patung kayu dan batu (Adu) sebagai berhala

yang dianggap sebagai gambaran para leluhur. Masyarakat melakukan ritual

pemujaan yang bertujuan untuk mendapatkan berkah berupa hasil pertanian serta

peternakan yang baik.

Sistem kepercayaan masyarakat Nias Utara merupakan Politeisme yaitu

kepercayaan pada lebih dari satu Tuhan atau Dewa.

Dalam kepercayaan tradisional masyarakat Nias Utara terdapat beberapa Dewa

yang diakui dan memiliki tanggung jawab yang berbeda pada masing-masing

23

Universitas Sumatera Utara


aspek kehidupan manusia serta alam semesta seperti Lowalangi, Laturadano, Zihi,

Nadoya, serta Luluo.

Masyarakat Nias menganut kepercayaan akan adanya 3 (tiga) dunia, yakni :

 Dunia atas atau dunia leluhur.

 Dunia manusia.

 Dunia bawah.

Kepercayaan masyarakat Nias ini merupakan pandangan dari masyarakat tentang

asal-usul nenek moyang suku Nias yang berasal dari Teteholi Ana’a (langit) yang

diturunkan ke bumi di puncak gunung yang sekarang di kenal dengan nama Boro

Nadu, yang berada di Kecamatan Gomo Kabupaten Nias Selatan.

Pengaruh Kosmologi ini terlihat jelas dalam bentuk arsitektur tradisional Nias,

baik itu dalam bentuk rumah adatnya maupun dalam pola perkampungan. Dalam

bentuk rumah tradisional, masyarakat Nias menepatkan bagian atas dari pada

bangunannya sebagai tempat yang paling dihormati (disucikan).Dalam pola

perkampungan maka semakin tinggi letak kampung maka semakin dekat dengan

dunia atas, yang berarti semakin aman dan sejahtera.Penggunaan bentuk oval atau

bulat untuk denah bangunan berhubungan dengan gambaran alam semesta dan

jagat raya yang oleh masyarakat diyakini berbentuk bulat.

Proses pembangunan rumah tradisional Nias Utara maupun masyarakat Nias di

wilayah lain cukup panjang dan rumit. Untuk membangun sebuah rumah

tradisional dimulai dengan perburuan kepala manusia ke daerah lain yaitu antar

desa bahkan antar wilayah. Empat kepala manusia diletakkan dibawah batu

pondasi tiap sudut bangunan sebagai persembahan untuk kesucian roh-roh para

24

Universitas Sumatera Utara


leluhur. Hal inilah yang memicu munculnya budaya berperang pada masyarakat

Nias. Kepala manusia adalah persembahan yang penting untuk bangunan bagian

atas bangunan dimana sebagian diletakkan pada balok tertinggi pada bangunan.

Hal ini bertujuan sebagai persembahan untuk kesucian dunia yang tinggi

(Upperworld) yaitu Lowalangi. Hal ini mempererat simbolisme rumah sebagai

model alam semesta dengan dunia tinggi (Upperworld) dan dunia bawah

(Underworld) dan daerah tempat tinggal yang penuh dengan gambaran tumbuhan

serta binatang yang hidup di alam.

Keberhasilan seorang “arsitek” yang disebut (Tuka Sonekhe) dalam membangun

sebuah rumah tradisional merupakan akhir dari hidupnya. Pada saat upacara

peresmian rumah tersebut sang arsitek dengan rela dijatuhkan dari puncak atap

rumah hingga mati, hal ini dilakukan untuk keamanan sang penghuni rumah jika

suatu saat terjadi penyerangan oleh musuh maka kelemahan dari bangunan terebut

tidak dapat diketahui karena satu-satunya yang mengetahui seluk-beluk rumah

tersebut ialah sang arsitek sendiri.

D. Mata Pencaharian

Mata pencaharian pokok bagi masyarakat Nias Utara yang berdiam di daerah

pantai adalah berkebun kelapa, sedangkan masyarakat di daerah pedalaman

melakukan kegiatan bertani. Cara pengolahan dan peralatannya masih sederhana

dan belum mengenal sistem irigasi. Jenis tanamannya adalah padi, palawija,

pisang dan sayuran. Ladang yang sudah tandus digunakan untuk memelihara babi,

kambing, sapi dan kerbau. Mata pencaharian lainnya iaah berburu, menangkap

ikan, beternak dan kerajinan tangan. Hasil kerajinan tangan masyarakat Nias

25

Universitas Sumatera Utara


sudah ada sejak zaman prasejarah seperti membuat berbagai peralatan dan senjata

dari besi, barang perhiasan dari emas, perabot rumah dari kayu, seni pahat batu,

ukiran dan sebagainya.

2.6. Antropologi Kelompok Masyarakat Lain

Berikut ini beberapa kelompok masyarakat lain di berbagai wilayah dengan

bentuk denah bangunan tradisional yang sama dengan denah bangunan tradisional

Nias Utara yang kemudian akan dibandingkan latar belakang antropologisnya.

2.6.1. Suku Dani (Papua)

Suku Dani merupakan salah satu dari banyaknya suku di tanah papua yang

mendiami wilayah Lembah Baliem, Pegunungan Tengah, dan keseluruhan

Kabupaten Jayawijaya serta sebagian kabupaten Puncak Jaya dengan luas wilayah

sekitar 1.200 Km2. Sejak ratusan tahun lalu suku Dani dikenal sebagai petani yang

terampil dan telah menggunakan alat/perkakas seperti kapak batu, pisau yang

dibuat dari tulang binatang, bambu dan juga tombak yang dibuat menggunakan

kayu galian yang terkenal sangat kuat dan berat.

Suku ini pertama kali diketahui mendiami Lembah Baliem dan diperkirakan sudah

ada sekitar ratusan tahun yang lalu. Orang yang pertama berinteraksi dengan suku

ini adalah tim penyidik asal Amerika Serikat yang dipimpin oleh Richard tahun

1935.

Bahasa suku Dani termasuk keluarga bahasa Melanesia dan bahasa Irian (secara

umum). Suku Dani memiliki 3 sub keluarga bahasa, yaitu:

 Sub keluarga Wano di Bokondini.

26

Universitas Sumatera Utara


 Sub keluarga Dani Pusat yang terdri atas logat Dani Barat dan

logat lembah Besar Dugawa.

 Sub keluarga Nggalik & Ndash.

Sebagian masyarakat Suku Dani sudah memeluk agama Kristen, namun sebagian

masyarakat yang mendiami daerah pedalaman masih melakukan serangkaian

upacara adat salah satunya adalah Rekwasi. Rekwasi adalah sebuah upacara adat

yang dilakukan untuk menghormati para leluhur. Pada upacara ini para prajurit

biasanya akan membuat tanfa dari lemak babi, kerang, bulu-bulu, kus-kus, sagu

rekat, getah pohon mangga, dan bunga-bungaan dan digunakan pada bagian tubuh

mereka. Saat melakukan upacara ini para peserta juga melengkapi dirinya dengan

senjata tradisional seperti tombak, kapak, parang, dan juga busur beserta anak

panah.

Gambar 2.7. Rumah Honai

Sumber : www.wacana.co

A. Sistem Kekerabatan atau Sosial

Sistem kekerabatan masyarakat Dani terdiri dari tiga kelompok antara lain :

 Keluarga luas. Merupakan kelompok kekerabatan yang terkecil dalam

masyarakat Suku Dani. kelompok ini terdiri atas tiga atau dua keluarga

27

Universitas Sumatera Utara


inti yang bersama – sama menghuni suatu kawasan perumahan yang

dibatasi pagar (lima).

 Paroh masyarakat. Merupakan struktur masyarakat Dani merupakan

gabungan beberapa ukul (klan kecil) yang disebut ukul oak (klan besar)

 Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat

suku bangsa Dani adalah kawasan perumahan (Uma) yang dihuni

beberapa kelompok keluarga luas yang menggunakan sistem patrilineal

(diturunkan kepada anak laki-laki).

Masyarakat Suku Dani memiliki beberapa aturan dalam sistem sosial dan

masyarakatnya antara lain :

 Masyarakat Dani berprinsip kerjasama yang bersifat tetap dan bergotong

royong

 Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah

yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku

 Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan

hubungan keluarga dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.

 Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yaitu disebut Ap

Kain yang memimpin desa adat watlangka, selain itu ada juga 3 kepala

suku yang posisinya berada di bawah Ap Kain dan memegang bidang

sendiri yaitu : Ap. Menteg, Ap. Horeg, dan Ap Ubaik. Silimo biasa yang

dihuni oleh masyarakat biasa dikepalai oleh Ap. Waregma. Dalam

masyarakat Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain untuk

pria yang berarti kuat, pandai dan terhormat.

28

Universitas Sumatera Utara


 Pada tingkatan uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua, tetapi

masih mampu mengatur urusannya dalam satu halaman rumah tangga

maupun kampungnya. Urusan tersebut antara lain pemeliharaan kebun

dan ternak babi serta melerai pertengkaran.

 Pemimpin berwenang untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta

lain. Pertempuran dipimpin oleh para Win Metek. Pemimpin konfederasi

biasanya pernah juga menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak

syarat menjadi pemimpin masyarakat Dani antara lain Pandai bercocok

tanam, bersifat ramah dan murah hati, pandai berburu, memiliki kekuatan

fisik dan keberanian, pandai berdiplomasi, dan pandai berperang.

B. Sistem Pernikahan

Sistem pernikahan masyarakat Dani bersifat poligami diantaranya poligini yaitu

kaum pria memiliki istri lebih dari satu. Keluarga inti ini tinggal di satu tempat

tinggal yang disebut Silimo. Sebuah desa Dani terdiri dari tiga atau emat Silimo

yang dihuni delapan sampai sepuluh keluarga.

C. Sistem Religi atau Kepercayaan

Dasar kepercayaan masyarakat Suku Dani adalah menghormati roh nenek moyang

dengan diselenggarakannya upacara yang di pusatkan pada pesta penyembelihan

babi. Konsep kepercayaan yang terpenting adalah Atou. yaitu kekuatan sakti para

nenek moyang yang diturunkan kepada anak laki – laki. Kekuasaan sakti ini

antara lain :

 kekuatan menjaga kebun.

29

Universitas Sumatera Utara


 kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala.

 kekuatan menyuburkan tanah.

Untuk menghormati nenek moyangnya, Suku Dani membuat lambang nenek

moyang yang disebut Kaneka. Selain itu juga ada juga Kaneka Hagasir yaitu

upacara keagamaan untuk mensejahterakan keluarga masyarakat serta untuk

mengawali dan mengakhiri perang.

D. Mata Pencaharian

Nenek Moyang Suku Dani tiba di Irian hasil dari suatu proses perpindahan

manusia dari daratan Asia ke Kepulauan Pasifik Barat Irian Jaya.

Kemungkinan pada waktu itu masyarakat masih bersifat pra agraris yaitu baru

memulai bercocok tanam dalam jumlah yang sangat terbatas.

Mata pencahariannya utama Suku Dani adalah bercocok tanam dan berternak

babi. Umbi manis merupakan jenis tanaman yang diutamakan jenis tanaman yang

diutamakan untuk dibudidayakan. Mata pencaharian umum masyarakat Dani ialah

berladang.

2.6.2. Suku Wae Rebo (Flores)

Suku Wae Rebo merupakan salah satu suku yang terdapat kabupaten

Manggarai, kabupaten Manggarai Timur dan kabupaten Manggarai Barat provinsi

Nusa Tenggara Timur. Masyarakat ini mendiami daerah pegunungan di Nusa

Tenggara Timur (NTT) Masyarakat Suku Wae Rebo memiliki bangunan

tradisional yang disebut Mbaru Niang. Rumah tradisional Mbaru Niangsaat

30

Universitas Sumatera Utara


inisangat langka karena jumlahnya hanya tinggal beberapa dan hanya terdapat di

kampung adat Wae Rebo yang terpencil di atas pegunungan.

Gambar 2.8. Rumah Mbaru Niang

Sumber : www.gema-budaya.blogspot.com

A. Sistem Kekerabatan atau Sosial

Stratifikasi atau sistem sosial pada masyarakat Wae Rebo atau Manggarai pada

umumnya menganut sistem stratifikasi kuno yang sudah ada sejak dulu. Pada

masyarakat ini terdapat tiga tingkatan sosial antara lain :

 Kraeng ( bangsawan )

 Ata Lehe ( orang biasa )

 Azi Ana ( budak )

B. Sistem Pernikahan

Sistem pernikahan pada masyarakat Manggarai umumnya menganut

sistem monogami yaitu kaum pria atau wanita hanya mempunyai satu

31

Universitas Sumatera Utara


pasangan.Dalam hal ini keluarga wanita akan meminta Paca (mas kawin)

yang tinggi serta kerbau dan kuda kepada pihak keluarga pria.

Selain itu dalam kelompok masyarakat ini perkawinan adat tidak hanya

terjadi pada strata atau tingkatan sosial yang tinggi atau bangsawan namun

juga dapat dilakukan oleh kalangan masyarakat biasa.

C. Sistem Religi atau Kepercayaan

Saat ini sebagian besar masyarakat Flores menganut agama Katolik dan

Kristen Protestan, namun pada hakekatnya masyarakat Flores tidak dapat

terlepas dari konsep-konsep religi atau kepercayaan tradisionalnya.

Mereka masih meyakini roh nenek moyang serta makhluk-makhluk halus

yang berada di dunia lain (Ata Pelesina). Makhluk halus ini dipercaya dapat

menjaga rumah serta halaman, menjaga desa (Naga Golo), tanah pertanian

(Naga Tana), dan sebagainya. Unsur terpenting dalam kepercayaan

masyarakat Flores ialah kepercayaan terhadap dewa yang disebut Mori

Karaeng atau Deva. Selain sebagai pencipta alam serta isinya, Mori Karaeng

juga dipercaya sebagai tokoh pembawa adat.

Upacara keagamaan dipimpin oleh seorang Ata Mbeko yang diundang untuk

memberi petunjuk atau melaksanakan upacara seperti rumah tangga, pertanian

atau panen, kematian, dan sebagainya.

32

Universitas Sumatera Utara


D. Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama bagi masyarakat Flores ialah berladang.

Kaum pria bekerjasama membuka lahan untuk ladang di daerah hutan yang

kemudian lahan tersebut dibagi untuk pihak yang ikut membuka lahan itu sendiri.

Selain bercocok tanam, masyarakat Flores juga beternak hewan yang tidak hanya

untuk kepentingan ekonomi, namun juga untuk keperluan mas kawin, untuk

disembelih dan dikonsumsi pada upacara adat, dan sebagai lambang kekayaan

atau kemakmuran pada masing-masing keluarga.

2.6.3. Suku Eskimo (Kutub)

Gambar 2.9. Bangunan Igloo

Sumber : www.depositphotos.com

Suku bangsa yang mendiami daerah kutub bumi disebut dengan suku

Eskimo atau Esquimaux. Masyarakat ini tersebar di sebagian daerah Siberia

(Rusia), Alaska (Amerika Serikat), Kanada dan Greenland.

Pada saat ini tercatat ada dua jenis suku bangsa Eskimo yang menghuni

kawasan-kawasan kutub yaitu Yupik dan Inuit. Inuit tersebar di utara Alaska,

33

Universitas Sumatera Utara


Kanada, dan Greenland sementaraYupik tersebar di barat Alaska dan Timur Jauh

Rusia). Orang Eskimo memiliki hubungan dengan etnis Aleut dan Alutiiq dari

Kepulauan Aleutian di Alaska dan juga Sug'piak dari Kepulauan Kodiak hingga

Prince William Sound di selatan tengah Alaska.

Suku timur Eskimo yaitu Inuit berbicara dalam bahasa Inuktitut, sedangkan

kelompok masyarakat Eskimo barat Alaska yaituYupik berbicara dalam bahasa

Yup'ik. Terdapat suatu kesamaan dialek antara keduanya.Karena daerah kutub

sangat luas maka suku Eskimo berpindah pindah tempat (nomaden). Tempat

tinggalnya berupa tenda-tenda atau igloo dimusim dingin agar mudah

dipindahkan, namun sebagain masyarakat lain menetap pada satu daerah.

A. Sistem Religi atau Kepercayaan

Pada masyarakat Eskimo terdapat seseorang yang dituakan serta diyakini

memiliki kekuatan untuk berkomunikasi dengan roh-roh. Mereka disebut

Angatkuq oleh orang Eskimo sendiri sementara orang kulit putih menyebutnya

dengan Shaman. Mereka dipercaya dapat membawa cuaca yang baik,

menyembuhkan orang sakit, meningkatkan pasokan makanan serta umumnya

dapat memperbaiki kondisi masyarakat.

Masyarakat Eskimo percaya bahwa roh-roh dikendalikan angin, cuaca,

matahari, air, dan bulan. Roh yang diyakini serta paling tinggi dari roh-roh lainnya

adalah dewi laut yang disebut Sedna.

Suku Eskimo juga meyakini bahwa manusia maupun hewan memiliki jiwa

yang hidup di dunia lain setelah kematian. Aturan khusus harus ditaati utk

menjaga roh & jiwa dari hukuman (seperti penyakit) semasa hidup. Kematian

34

Universitas Sumatera Utara


seorang Eskimo yang mengharuskan tubuh dibungkus dalam kulit hewan &

diletakkan di tundra (tanah beku sepanjang tahun tetapi sebagian tanah kering

selama musim panas) dan dikelilingi oleh lingkaran dari batu yang disusun.

Peralatan lainnya akan ditempatkan di samping tubuh bagi jiwa untuk digunakan

pada kehidupan selanjutnya di dunia yang berikutnya.

a. Sistem Pernikahan

Menurut Koentjananingrat masyarakat suku Eskimo menganut sistem

perkawinan poliandri yaitu seorang wanita memiliki lebih dari satu pasangan.

Sistem poliandri yang dianut secara spesifik ialah sistem poliandri non fraternal

yaitu memiliki dua atau lebih pasangan laki-laki yang bukan merupakan saudara

kandung.

Sistem perkawinan poliandri sendiri jarang ditemui dan hanya dianut oleh

beberapa kelompok masyarakat antara lain masyarakat Tibet, India selatan,

Polinesia, dan masyarakat Eskimo sendiri.

b.Mata pencaharian

Mata pencaharian suku eskimo antara lain bercocok tanam, berburu, beternak dan

memancing ikan. masyarakatnya bercocok tanam seperti gandum namun bukan di

es melainkan di tanah. Kutub Selatan daratannya berupa tanah yang diselimuti es

yang sebagian akan mencair dimusim panas, berbeda dengan daerah Kutub Utara

yang merupakan es yang mengapung. Selain itu mereka juga kebanyakan beternak

domba dan memancing ikan. Ada juga yang berburu hewan besar seperti beruang

kutub. perburuan dilakukan dengan menggunakan bantuan anjing serta

persenjataan dan dilakukan secara berkelompok.

35

Universitas Sumatera Utara


2.6.4. Suku Boti ( Pulau Timor )

Suku Boti merupakan salah satu suku tertua dan berasal dari Nusa

Tenggara Timur dan merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor.Letak

geografis perkampungan masyarakat Suku Boti berada jauh dari perkotaan dan

sulit dicapai karena berada di tengah pegunungan.Masyarakat Boti mendiami

Desa Boti kecamatan Kie yang terletak kurang lebih 40 km dari kota So’e

Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.Bahasa yang

digunakan masyarakat Boti untuk berkomunikasi sehari-hari ialah bahasa Dawan

seabagai bahasa asli.Masyarakat ini mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal

maupun untuk fungsi lainnya yang dalam bahasa Dawan disebut Umebubu yang

berarti rumah bulat.

Gambar 2.10. Bangunan tradisional Suku Boti

Sumber : www.google.co.id

A. Sistem Kekerabatan atau Sosial

Kesatuan hidup terkecil dalam masyarakat Boti disebut Ume. Makna leksikal

Ume berarti rumah, yang mengacu pada sebuah bangunan rumah tradisional Ume

36

Universitas Sumatera Utara


bubu (rumah berbentuk bulat, tertutup, dengan atap menjuntai sampai ke bawah).

Umebubu ini ditempati sebuah keluarga inti terutama oleh pihak istri beserta anak-

anak yang belum dewasa. Masing-masing keluarga inti membangun satu buah

Umebubu atau pun Umesae (bentuk rumah yang sudah mendapat pengaruh luar)

dalam satu wilayah yang anggotanya terdiri dari anggota keluarga pihak suami

(Armini,2010).

Gabungan beberapa Ume membentuk satu kesatuan keluarga luas atau klan

kecil disebut Kuan. Selanjutnya Kuan kecil bergabung membentuk Kuan besar

yang disebut Kanaf. Sebuah Kanaf dipimpin seorang kepala klan yang disebut Amaf

yang berarti ayah. Para Amaf di lingkungan ini nantinya diangkat sebagai

pemimpin-pemimpin yang mewakili anggota klannya dan akan berhubungan

langsung dengan Pah Tuaf (penguasa wilayah). Pada rumah seorang amaf biasanya

terdapat bangunan Lopo (rumah bulat tanpa dinding). Lopo digunakan sebagai

tempat tidur laki-laki, tempat menyimpan hasil bumi, dan tempat melakukan

kegiatan yang bersifat bebas dan terbuka.

Masyarakat Boti juga mengenal sistem kasta dalam tingkatan sosial

masyarakatnya antara lain :

 Golongan raja atau disebut Usif terdiri dari para raja dan keluarganya

yang merupakan Pah Tuaf atau penguasa wilayah.

 Tokoh adat terdiri dari para Amaf (kepala klen), Meo (pemimpin

keamanan atau panglima perang), Mafefa (juru bicara adat), Mnae dan

Atusit (dukun kampung).

37

Universitas Sumatera Utara


 Rakyat biasa atau disebut Too merupakan lapisan masyarakat terbesar

yang mengelola tanah suku. Mereka dituntut untuk selalu mematuhi

norma-norma adat yang berlaku dan berkewajiban membayar upeti

kepada Usif (raja) atau Pah Tuaf (penguasa wilayah).

 Golongan budak atau disebut Ate. Golongan ini umumnya kehilangan

hak dalam masyarakat karena merupakan tawanan perang atau keturunan

orang-orang yang dianggap bersalah besar.

B. Sistem Pernikahan

Masyarakat Suku Boti menganut sistem monogami atau hanya memiliki satu

orang pasangan. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah, dilarang memotong

rambutnya. Sehingga bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan

menggelungnya seperti konde.

C. Sistem Religi atau kepercayaan

Suku Boti dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan

mereka yang disebut Halaika. Mereka percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis

Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga

kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan Uis Neno

sebagai ayah atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan

menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di

dunia.Sumarsono (2012) menulis tentang konsep kehidupan setelah kematian

pada agama lokal yaitu Halaika di suku Boti. Konsep kehidupan setelah kematian

dalam bahasa lokal disebut dengan Fatu Bian ma Hau Bian (di balik batu dan

kayu). Dalam konsep kepercayaan ini menjelaskan bahwa orang yang meninggal

38

Universitas Sumatera Utara


tersebut tidak pergi untuk berpindah tempat, melainkan perpindahan

eksistensiatau wujud sedangakan tempatnya sama.

Penganut Halaika harus menghormati alam karena mereka hidup dari alam yang

telah dilindungi Uis Pah sebagai roh penjaga bumi. Mereka berpandangan bahwa

manusia harus bersahabat dengan alam karena alamlah yang menyediakan

makanan dan minuman. Karenanya, pepohonan tidak boleh ditebang sembarangan

dan makanan tidak boleh dipanen sebelum waktunya, bahkan rambut mereka pun

tidak boleh dicukur. Alat dapur dan peralatan makan mereka pun terbuat dari

bahan alam seperti tempurung kelapa.

Tradisi Halaika memiliki 4 nilai dasar yang disebut dengan Ha’ kae (empat

larangan) sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Keempat larangan

ini merupakan artikulasi dari pandangan hidup suku Boti mengenai tindak-tanduk

yang harus mereka lakukan dan bagaimana cara menjadi manusia sebaik-baiknya.

Keempat larangan tersebut antara lain:

 Kaes mu bak artinya warga halaika dilarang mencuri;

 Kais mam paisa artinya warga halaika dilarang berzinah dan

merampas istri orang lain.

 Kaes teun tua artinya warga halaika dilarang meminum minuman

keras/beralkohol.

 Kaes heot heo artinya warga halaika dilarang memetik Bijol yaitu

alat musik tradisional Timor, memetik buah kusambi (Kaes hupu

sapi), dan memotong bambu (Kaes oet o) bila waktu untuk

memanen belum tiba.

39

Universitas Sumatera Utara


Bila kepercayaan dan aturan adat yang telah ditentukan tersebut dilanggar,

maka akan dikenakan sanksi yaitu tidak akan diakui sebagai penganut

kepercayaan Halaika yang berarti harus keluar dari kelompok masyarakat

suku Boti.

D. Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama masyarakat Suku Boti ialah bertani dan berburu bagi

kaum laki-laki serta menenun kain tradisional bagi kaum perempuan. Di dalam

masyarakat Suku Boti kaum perempuan diwajibkan bisa menenun kain.

2.6.5. Suku Darai (Nepal)

Suku Darai merupakan salah satu kelompok etnis asli Nepal yang

mendiami daerah hutan lebat dan lebah sungai Terai bagian dalam di distrik

Chitwan, Tanhu, Nawalparasi, Gorkha, Palpa, serta distrik Dhading di daerah

barat dan tengah Nepal. Secara geografis letak perkampungan suku Darai cukup

terisolir dan sulit untuk dijangkau.Suku ini dikenal juga dengan beberapa sebutan

lain seperti Daroe, Darhi, Daraie, Daras, dan Darad. Mereka berbicara dengan

bahasa asli yang disebut bahasa Darai.Suku Darai memiliki bangunan tradisional

yang berbentuk bulat dan disebut Ghumaune Ghar.

40

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.11. Bangunan tradisional Suku Darai

Sumber : www.google.co.id

A. Sistem Kekerabatan atau Sosial

Masyarakat Suku Darai menganut sistem sosial Hindu kuno yaitu mengenal

adanya sistem stratifikasi atau kasta untuk menentukan tingkatan sosial di dalam

masyarakatnya.

Berikut ini tingkatan kasta tersebut antara lain :

 Brahmana ( kaum pemuka agama seperti pendeta atau rohaniawan)

 Ksatria ( Bangsawan, prajurit, dan pelaksana pemerintahan)

 Waisya ( kaum pedagang, petani, serta nelayan)

 Sudra ( masyarakat biasa )

 Pariya ( kaum budak atau pembantu )

Dalam tingkatan keluarga pada masyarakat Suku Darai terdapat dua

kelompok keluarga yaitu keluarga inti dan keluarga gabungan . keluarga inti pada

umumnya yang terdiri dari ayah, ibu, serta anak-anak. kelompok keluarga yang

lebih besar yaitu gabungan beberapa keluarga inti yang besaudara secara

41

Universitas Sumatera Utara


patrilineal ( garis keturunan dari pihak laki-laki) yang tinggal bersama dalam satu

rumah dan memiliki tempat penyimpanan bahan pangan serta dapur bersama.

Kelompok gabungan keluarga ini dipimpin oleh anggota keluarga laki-laki yang

tertua serta berhak dalam menentukan keputusan dan perencanaan dalam

keluarga. Sumber utama pencaharian masyarakat Suku Darai ialah murni dari

bertani, berburu, serta beternak sehingga membutuhkan lebih banyak sumber

daya. Hal inilah yang mendorong terbentuknya sistem keluarga gabungan

(Khadka,2017).

B. Sistem Pernikahan

Pernikahan dalam masyarakat suku Darai umumnya terjadi antar individu di

dalam lingkungan masyarakat itu sendiri (Endogami). Pernikahan biasanya terjadi

secara Cross Cousin atau pernikahan antara anak-anak dari kakak beradik yang

berbeda jenis kelamin. Pernikahan sesama anggota kelompok keluarga yang

memiliki garis patrilineal yang sama tidak diperbolehkan. Jika seorang kakak laki-

laki meninggal dunia dan meninggalkan istri, maka adik laki-lakinya wajib

menikahi istri yang ditinggalkan tersebut. Pernikahan eksogami ( pernikahan antar

etnis, klan,suku, dan lingkungan masyarakat yang berbeda) diperbolehkan namun

pernikahan antar kasta baik dengan yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah

tidak dianjurkan dalam masyarakat.

C. Sistem Religi atau Kepercayaan

Masyarakat Suku Darai sebagian besar menganut ajaran Hindu seperti

kelompok masyarakat atau suku lainnya di Nepal.Masyarakat Darai meyakini

ajaran Hindu dengan memuja Dewa dan Dewi Hindu serta merayakan sebagian

42

Universitas Sumatera Utara


besar festival Hindu seperti Dashain dan Tihar. Mereka juga meyakini adanya

Sapi Suci serta meyakini kesucian air seniNya (Gahut) namun sebenarnya mereka

tidak memiliki konsep agama yang jelas karena masih memegang kepercayaan

yang bersifat etnis yang diwarisi oleh leluhur secara turun temurun. Mereka

menerima adanya keberadaan kekuatan spiritual tersebut dalam bentuk roh yang

penuh kebaikan serta kejahatan yang mengendalikan aktivitas mereka dalam

kehidupan sehari-hari.

Secara rasional keyakinan masyarakat Suku Darai dapat dibagi menjadi dua

aspek. Pertama ialah adanya Paap (dosa) dan Dharma (kebaikan) yang sifatnya

etnis, sementara yang kedua ialah mereka meyakini adanya kekuatan-kekuatan

yang mengendalikan segala hal duniawi. Kelompok masyarakat ini menganggap

bahwa adanya agama dalam kehidupan mereka adalah sebagai penjaga keutuhan

keluarga.

Menyembelih hewan dan melakukan kebohongan adalah dosa tetapi

mengorbankan hewan sebagai persembahan kepada Dewa bukanlah dosa.

Kelompok masyarakat ini tidak meyakini akan adanya kehidupan setelah

kematian namun mereka percaya bahwa setelah meninggal arwah mereka akan

pergi ke surga ataupun neraka. Harta benda, kemalangan, serta penyakit

disebabkan oleh roh oleh karena itu untuk menjaga hubungan baik dengan roh

tersebut serta terhindar dari musibah maka mereka melakukan berbagai ritual

keagamaan.

43

Universitas Sumatera Utara


Selain menganut ajaran Hindu mereka juga meyakini akan adanya kekuatan

dari alam semesta. Mereka menyebut ajaran ini sebagai Prakritipujak atau

naturalisme.

D. Mata Pencaharian

Masyarakat Suku Darai menggantungkan hidupnya dari alam yang mereka

kelola secara tradisional. Adapun mata pencaharian masyarakat ini antara lain

bertani, berburu, serta mencari ikan. Kegiatan tersebut dilakukan oleh kaum laki-

laki, sedangkan kaum wanita melakukan kegiatan produktif seperti menenun kain,

menganyam keranjang, dan membuat berbagai kerajinan tangan tradisional.

2.6.6. Bangsa Celtic

Bangsa Celtic merupakan gabungan beberapa suku di Eropa yang

memiliki kebudayaan yang sama dan telah diketahui keberadannya sejak sekitar

tahun 1500 SM. Bangsa ini mendiami beberapa wilayah di Eropa dari daratan

Spanyol hingga Inggris, Skotlandia, Jerman, Italia bagian utara, hingga ke

Anatolia bagian tengah.

Pada zaman Romawi bangsa Celtic mendominasi sebagian besar daratan

Eropa. Bangsa ini mempeluas wilayah kekuasaannya dengan cara berperang.

Orang-orang dari bangsa Celtic dikenal sebagai pejuang yang tangguh bahkan

kaum wanita juga turut serta dalam peperangan. Mereka berperang menggunakan

berbagai senjata dan peralatan perang lainnya yang terbuat dari besi.

44

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.12. Bangunan tradisionalBangsa Celtic

Sumber : www.pinterest.com

A. Sistem Kekerabatan atau Sosial

Setiap suku yang tergabung di dalam bangsa Celtic dipimpin oleh seseorang yang

di sebut Druid. Para Druid berasal dari kaum pendeta yang terpelajar, perancang

peraturan, penyair, dan juga peramal. Kepala suku ini ditentukan oleh masyarakat

sendiri yang sewaktu-waktu dapat diturunkan dari jabatannya jika tidak

melakukan tugasnya dengan baik sebagai kepala suku.

Kelompok masyarakat Celtic juga mengenal sistem kasta atau stratifikasi

masyarakat yang terdiri atas beberapa kelas antara lain :

 Chieftainsatau pemimpin teringgi yang dipilih oleh para kepala suku

sebagai pemimpin untuk gabungan beberapa suku atau kelompok

masyarakat yang lebih besar.

45

Universitas Sumatera Utara


 Druid (kepala suku), Bard (penutur atau pendongeng), ahli hukum, dan

para tabib.

Kaum Bard atau penutur memegang peranan penting dalam struktur

masyarakat karena tradisi Celtic bersifat lisan sehingga masyarakat

membutuhkan seorang yang dapat memberikan pedoman secara lisan.

 Pejabat yang menjalankan kegiatan pemerintahan di dalam suku.

 Para pekerja yang memiliki tanah sendiri, pengrajin kulit, dan pandai

besi.

 Para gembala yang bekerja untuk orang lain,serta pekerja yang tidak

memiliki tanah sendiri.

 Para kaum yang kehilangan haknya sebagai masyarakat. Kelompok

masyarakat ini berasal dari pelanggar hukum, pemberontak, sandera,

dan tawanan perang yang dipekerjakan secara paksa untuk kepentingan

suku.

B. Sistem Pernikahan

Pernikahan dalam kelompok masyarakat Celtic biasanya terjadi demi kepentingan

politik atau suku bagi kedua pihak keluarga yang terlibat.Sistem pernikahan

secara umum yang berlaku ialah monogami atau setiap individu hanya memiliki

satu pasangan. Pernikahan poligami hanya berlaku untuk kelas sosial yang tinggi

namun kasus ini jarang ditemukan dalam masyarakat Celtic.Hubungan pernikahan

umumnya bersifat sementara yang telah diatur dalam kontrak tertentu sehingga

kasus perceraian merupakan hal yang lumrah dalam kelompok masyarakat ini.

46

Universitas Sumatera Utara


C. Sistem Religi atau Kepercayaan

Sistem kepercayaan dalam masyarakat Celtic ialah politeisme atau

kepercayaan yang mengakui adanya lebih dari satu Tuhan.Hal ini terbukti dari

banyaknya Dewa dan Dewi dalam mitologi mayarakat Celtic.Masing – masing

Dewa atau Dewi dalam kepercayaan Celtic memiliki tanggung jawab yang

berbeda atas satu aspek kehidupan manusia dan alam semesta.Seperti kepercayaan

kuno pada umumnya, masyarakat Celtic juga memberikan persembahan berupa

korban hewan, benda, maupun manusia yang biasanya adalah kaum budak.

Namun persembahan berupa korban manusia jarang terjadi.Persembahan

dianggap sebagai permintaan para Dewa atau Dewi untuk menangkal terjadinya

hal-hal yang buruk atau musibah.Hal ini dilakukan terutama pada saat akan akan

memilih pemimpin suku maupun kelompok suku yang lebih besar untuk meminta

petunjuk spiritual karena keputusan para Dewa atau Dewi dianggap

penting.Bangsa Celtic sangat menghormati alam semesta terutama hewan-hewan

karena dipercaya memiliki kekuatan spiritualnya sendiri dan dijaga oleh para

Dewa terutama Dewi.

D. Mata Pencaharian

Bangsa Celtic pada umumnya hidup dari bertani seperti menanam padi, umbi-

umbian, serta buah-buahan. Mereka juga menggembalakan hewan ternak seperti

sapi, domba, dan babi. Sebagian masyarakat lain melakukan pekerjaan sebagai

pengrajin logam khususnya membuat berbagai senjata dan pakaian perang dari

besi serta terkenal terampil membuat berbagai perhiasan dari emas.

47

Universitas Sumatera Utara


2.6.7. Bangsa Basotho (Lesotho / Afrika Selatan)

Suku bangsa Basotho merupakan suku asli dari kerajaan Lesotho yang

berada di Afrika Selatan. Dengan luas wilayah 30.335km2 kerajaan ini memiliki

kondisi geografis yang dikelilingi oleh pegunungan dan memiliki iklim yang

cukup ekstrim yaitu musim panas yang hangat dengan curah hujan yang tinggi

serta musim dingin yang kering dan dingin.Suku bangsa ini berkomunikasi

dengan bahasa asli sukunya yang disebut bahasa Sotho.Daerah dengan

pemukiman tradisional berada pada kawasan antara sungai Olifan dan sungai

Steelpoort di provinsi utara Afrika Selatan.

Gambar 2.13. Bangunan tradisional Bangsa Basotho

Sumber : www.roomsforafrica.com

A. Sistem kekerabatan dan Sosial

Kelompok sosial terkecil dalam masyarakat Basotho ialah keluarga inti yang

dipimpin oleh kepala keluarga yaitu ayah, sedangkan wanita dianggap sebagai

petani dan pembawa keturunan.Masyarakat Basotho juga mengenal adanya sistem

48

Universitas Sumatera Utara


klan atau kelompok keluarga yang lebih besar yang mewarisi nama keluarga

(marga) yang biasanya diambil dari nama binatang. Garis keturunan klan ini

ditentukan berdasarkan garis garis keturunan pihak laki-laki.Kesejahteraan sebuah

keluarga ditunjukkan dengan banyaknya hewan ternak yang dimiliki oleh keluarga

tersebut. Kandang hewan ternak ini didirikan di sekitar tempat tinggal

masyarakat.Suku-suku di kawasan Afrika Utara tidak mengenal adanya sistem

kasta atau stratifikasi dalam kelompok masyarakatnya namun pengaruh kesukuan

cukup kuat dalam kehidupan sosial.

B. Sistem Perkawinan

Sistem pernikahan poligami merupakan bentuk pernikahan yang lumrah

dilakukan oleh bangsa Basotho seperti halnya suku bangsa lainnya di daratan

Afrika bahkan hal ini merupakan aspek budaya serta kepercayaan.Mahar atau mas

kawin sebagai kewajiban pengantin pria yang harus dibayarkan kepada keluarga

pengantin wanita yang disebut Lobolo berupa kerbau sebagai simbol kekayaan

dan hewan kurban.

Pernikahan biasanya terjadi secara Cross Cousin atau pernikahan antara

anak-anak dari orangtua yang memiliki hubungan kakak beradik.Anggapan

masyarakat akan banyaknya keturunan sebagai suatu bentuk kekayaan menjadi

salah satu alasan terjadinya sistem pernikahan poligami dalam masyarakat Suku

Basotho.

C. Sistem kepercayaan

Sebelum masuknya agama Kristen yang menjadi agama mayoritas

masyarakat kerajaan Lesotho, masyarakat Basotho memiliki kepercayaan

49

Universitas Sumatera Utara


tradisional yang bersifat Politeisme. Kepercayaan ini berfokus pada pemujaan

kepada leluhur dan kepada Tuhan atau Dewa yang disebut Modimo.

Masyarakat Basotho juga mengakui adanya Dewa lain yang lebih rendah daripada

Modimo. Pada waktu tertentu masyarakat melakukan berbagai ritual keagamaan

seperti melakukan tarian pemanggil hujan.

Meskipun kelompok masyarakat ini mengakui adanya Tuhan atau Modimo,

namun mereka tidak melakukan pemujaan secara langsung karena merasa diri

tidak layak sebagai manusia sehingga mereka meminta kepada para leluhur untuk

berkomunikasi kepada Tuhan mewakili mereka pada saat terjadi musibah yang

menimpa mereka.

Sebagai rasa terima kasih kepada para leluhur maka masyarakat akan

menyembelih hewan seperti sapi, domba, dan ayam sebagai persembahan.

D. Mata Pencaharian

Seperti kelompok masyarakat umumnya di daratan afrika, masayarakat

banga Basotho juga melakukan pekerjaan seperti berburu, bertani,

menggembalakan hewan ternak, serta membuat peralatan dari besi.

2.7. Tipologi Rumah Tradisional Kelompok Masyarakat Lain

Berikut ini tipologi rumah tradisional dari beberapa kelompok masyarakat lain di

berbagai wilayah dengan bentuk denah yang sama dengan bangunan tradisional

Nias Utara :

50

Universitas Sumatera Utara


2.7.1. Suku Dani (Papua)

Bangunan honai atau rumah tinggal suku Dani memiliki karakteristik yang

merupakan bentuk adaptasi terhadap cuaca dingin dan angin kencang. Secara garis

besar karakteristiknya adalah sebagai berikut:

• Berbentuk bulat atau melingkar

• berukuran sempit (diameter 4 meter hingga 6 meter)

• Ketinggian sekitar 3 meter hingga 7 meter ( dua lantai)

• Tidak memiliki jendela dan ketinggian pintu sangat rendah (minim bukaan)

Atap bangunan Honai berbentuk bulat kerucut yang terdiri dari lingkaran-

lingkaran kayu besar yang dibakar sebagai kerangka atapnya dan kemudian diikat

menjadi satu bagian (membentuk Dome). Kolom penyangga utama berjumlah

empat yang terbuat dari batang pohon muda yang diikat di bagian atas dan

ditancapkan ke dalam tanah. Pada lantai bangunan, ruang yang terbentuk diantara

empat kolom ini berfungsi sebagai tempat menyalakan perapian untuk

menghangatkan ruangan di dalam Honai. Bahan penutup atap Honai terbuat dari

jerami atau rumbia dikarenakan bobotnya yang ringan serta dapat melindungi dari

hujan atau panas. Sedangkan bagian dinding terbuat dari papan kayu kasar yang

disusun dua lapis yang bertujuan untuk menahan udara dingin dan angin kencang

dari luar bangunan.

Lingkungan pemukiman terkecil masyarakat suku Dani terdiri atas beberapa

keluarga inti yang tinggal bersama dalam satu lingkungan yang disebut Silimo.

Silimo merupakan suatu kawasan kecil yang dihuni beberapa keluarga dan

51

Universitas Sumatera Utara


didalamnya terdapat beberapa bangunan tradisional dengan fungsinya masing-

masing. Beberapa Silimo akan membentuk suatu perkampungan yang memiliki

batas teritori wilayah berupa bentukan bentang alam seperti gunung,

bukit,lembah, atau sungai. Pola permukiman dalam satu perkampungan ini

terpencar- pencar dan tidak mengikuti suatu pola khusus. Biasanya untuk

mendirikan suatu Silimo dipilih suatu daerah yang tinggi dan tidak terlalu jauh

dengan aliran sungai. Pemilihan lokasi yang tinggi ini merupakan salah satu cara

masyarakat Dani untuk menghindari bahaya banjir, air tergenang, serbuan

binatang buas, serta sergapan suku-suku lain.

Dalam suatu Silimo terdapatbeberapa unit massa bangunan dengan fungsinya

masing-masing sebagai berikut :

 Honai tempat tinggal laki-laki.

 Pilamo (rumah adat).

 Ebeai atautempat tinggal perempuan (Honai perempuan).

 Hunila (dapur).

 Wamdabu (kandang babi).

Konsep penataan massa pada Silimo membentuk huruf U atau setengah lingkaran

yang dikelilingi oleh pagar kayu sebagai batas atau penanda teritori dan pengaman

dari serangan musuh atau binatang buas. Berikut adalah ilustrasi konsep penataan

massa bangunan di dalam satu Silimo :

52

Universitas Sumatera Utara


Letak honai laki-laki tegak lurus dengan pintu masuk agar kepala keluarga dapat

langsung berhadapan dengan tamu ataupun gangguan dan ancaman yang masuk

ke kompleks Silimo. Honai untuk laki-laki dan rumah adat atau Pilamo

merupakan bangunan yang terlarang bagi para wanita untuk dimasuki dan

sebaliknya. Pada beberapa Silimo, honai perempuan atau Ebeai jumlahnya lebih

dari satu. Hal ini karena masyarakat Dani menganut sistem perkawinan poligami,

dengan tujuan untuk menghasilkan banyak keturunan sehingga dapat menambah

tenaga kerja dan generasi penerus suku Dani. Jumlah istri juga merupakan simbol

kemakmuran karena orang yang mampu mempunyai istri lebih dari satu maka

dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi. Biasanya kepala suku atau

orang-orang dengan tingkat ekonomi yang baik akan memiliki istri lebih dari satu.

Peletakan masing-masing massa bangunan pada silimo tersebut memiliki makna

tersendiri. Honai laki-laki atau kepala keluarga diibaratkan sebagai kepala

manusia yang membuat keputusan di dalam Silimo, bangunan honai perempuan

diibaratkan sebagai tangan kanan yang melaksanakan hasil keputusan, kandang

babi diibaratkan sebagai tangan kiri, sementara pintu masuk diibaratkan sebagai

kaki dan bagian tengah silimo yang berupa ruang terbuka untuk umum diibaratkan

sebagai jantung.

Berikut adalah fungsi masing-masing bangunan di sebuah silimo:

53

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.14. Denah pemukiman suku Dani (Silimo)

 Honai laki-laki

Merupakan tempat tinggal untuk kepala keluarga, kerabat dan keluarga laki-laki,

serta anak laki-laki yang telah berumur lebih dari 5 tahun. Honai laki-laki ini

berbentuk bulat dan terdiri dari dua lantai, dengan sebuah perapian terletak di

pusat bangunan. Lantai satu difungsikan sebagai tempat bersantai dan lantai dua

sebagai tempat beristirahat atau tidur. Masyarakat suku Dani tidur dengan pola

kepala membujur di bagian dinding dan kaki mengarah ke pusat honai (perapian).

54

Universitas Sumatera Utara


 Rumah adat atau Pilamo

Pilamo berbentuk bulat dan terdiri dari dua lantai. Lantai pertama berfungsi

sebagai tempat untuk mendidik dan membina para remaja suku Dani agar menjadi

laki-laki yang kuat dan tangguh sejak kecil. Selain itu juga berfungsi sebagai

tempat mengatur strategi perang, membicarakan konflik dan masalah yang

menyangkut peperangan dan maskawin atau perkawinan. Lantai dua berfungsi

sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda pusaka dan senjata perang, serta

mumi dari leluhur.

 Honai perempuan atau Ebeai

Ebeai berbentuk bulat dan terdiri dari dua lantai dengan sebuah perapian terletak

di pusat bangunan. Lantai pertama digunakan untuk mendidik anak-anak dan

remaja wanita agar dapat mengerjakan tugas-tugas kewanitaannya. Selain itu juga

digunakan sebagai tempat berdiskusi di sekeliling perapian. Lantai dua digunakan

sebagai tempat beristirahat.

 Dapur atau Hunila

Dapur bersama atau Hunila merupakan bangunan yang berbentuk persegi panjang

dengan tinggi sekitar 1,5 meter hingga 2 meter. Dapur digunakan sebagai tempat

memasak sehari-hari. Pada bangunan dapur ini para anggota keluarga biasanya

berkumpul dan beristirahat pada waktu siang atau malam hari.

 Kandang babi atau Wamdabu

Kandang babi merupakan suatu bangunan yang berbentuk persegi panjang dan

terletak melintang di seberang honai perempuan. Di depan kandang babi terdapat

55

Universitas Sumatera Utara


tanah kosong yang digunakan sebagai tempat melepaskan babi dan dihitung

jumlahnya.

2.7.2. Suku Wae Rebo

Rumah Mbaru Niang merupakan rumah tradisional Suku Wae Rebo yang

berada di daerah Nusa Tenggara Timur. Rumah tradisional ini terdiri atas atas

tujuh unit bangunan berbentuk kerucut yang memiliki fungsinya masing-masing.

Bangunan Mbaru Niang terdiri dari lima lantai yang memiliki fungsi masing-

masing antara lain :

 Tingkat pertama (Lutur/Tenda) digunakan sebagai tempat tinggal dan

berkumpul dengan keluarga atau masyarakat, menyimpan benda pusaka,

juga sebagai tempat menyambut tamu dan aktivitas sehari-hari lainnya

 Tingkat kedua (Lobo) berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan

barang-barang sehari-hari.

 Tingkat ketiga (Lentar) untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan,

seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan.

 Tingkat keempat (Lempa Rae) digunakan untuk menyimpan cadangan

bahan pangan yang bisa digunakan saat dalam keadaan darurat karena

terjadi gagal panen.

 Tingkat kelima atau paling (Hekang Kode) digunakan untuk melakukakan

upacara adat atau menempatkan sesaji atau seserahan untuk leluhur.

56

Universitas Sumatera Utara


Dalam pembahasan ini akan diambil contoh bangunan Mbaru Gendang

sebagai bangunan utama dan paling besar dalam kelompok bangunan Mbaru

Niang. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat berkumpul atau melakukan

musyawarah adat, menyimpan benda pusaka, sekaligus sebagai tempat tinggal

yang dihuni oleh enam hingga delapan keluarga yang membagi ruang pribadinya

masing-masing dalam sekat-sekat kamar di lantai satu bangunan.

Berikut ini denah lantai dasar pada bangunan MbaruGendang (Tenda) :

Gambar 2.15. Denah bangunan Mbaru Niang

Denah bangunan ini berbentuk lingkaran yang merupakan representasi dari

bentuk sarang laba-laba yang bermakna keutuhan budaya yang tetap

dipertahankan oleh masyarakat. Ruangan terbagi atas dua area yaitu area publik

(Lutur) dan area privat (Molang) yang masing-masing berbentuk setengah

57

Universitas Sumatera Utara


lingkaran. Area publik berfungsi sebagai tempat duduk penghuni rumah atau para

tetua adat saat melakukan upacara adat yaitu tepat di depan tiang utama serta pada

bagian dinding bangunan berfungsi sebagai tempat beristirahat para tamu. Pada

bagian tengah ruangan atau area yang lebih privat hanya digunakan oleh pengguna

atau penghuni bangunan tersebut dimana terdapat dapur serta lemari perabotan

pribadi setiap keluarga. Bagian paling belakang merupakan area yang paling

privat dimana terdapat delapan kamar yang masing-masing dihuni oleh satu

keluarga dan posisi kaki saat tidur selalu menghadap ke dalam atau ke arah tiang

utama bangunan. Bangunan Mbaru Niang yang dihuni oleh beberapa keluarga

yang hidup bersama ini kemudian memunculkan budaya berkumpul sehingga

turut mempengaruhi bentuk denah bangunan yaitu berbentuk lingkaran.

2.7.3. Suku Eskimo

Rumah tradisional suku Eskimo atau Inuit disebut Igloo yaitu berupa

bangunan berbentuk kubah (Dome) yang material utamanya terbuat dari balok es

dengan satu pintu masuk berupa lorong. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat

tinggal dan tempat melakukan berbagai aktifitas yang melindungi penghuninya

dari udara dingin dan serangan binatang buas. Dari segi ukuran bangunan Igloo

dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis antara lain

 Igloo berukuran kecil sebagai tempat tinggal sementara selama beberapa

hari yang biasanya dibangun dan dihuni oleh para pemburu selama

melakukan perburuan pada suatu lokasi.

 Igloo berukuran sedang yang bersifat semipermanen dan di dalamnya

hanya terdapat satu ruangan yang dapat dihuni oleh dua keluarga sebagai

58

Universitas Sumatera Utara


tempat tinggal. Sejumlah Igloo semipermanen pada satu kawasan

membentuk suatu perkampungan atau desa.

 Igloo berukuran besar yang dibangun sebagai tempat berkumpul untuk

melakukan aktifitas tertentu seperti pesta dan dansa tradisional. Bangunan

ini terdiri dari beberapa Igloo berukuran sedang yang dihubungkan oleh

sebuah terowongan dan berkapasitas hingga 20 orang.

Pembangunan Igloo dilakukan dengan teknik menyusun balok-balok es yang

saling menopang sebagai dinding hingga membentuk sebuah kubah tanpa

menggunakan rangka.

Gambar 2.16. Teknik penyusunan balok es sebagai dinding Igloo

Sumber : www.louisiana.jurnal-budaya.com

Balok es yang digunakan berasal dari salju yang mengeras akibat terpaan angin

sehingga materialnya lebih kuat dan saling terpaut. Lubang dari galian salju

digunakan sebagai permukaan ruang depan atau pintu masuk, sementara

permukaan yang lebih tinggi dimanfaatkan sebagai ruang yang lebih membutukan

suhu hangat seperti ruang keluarga dan ruang tidur karena hawa dingin akan

terperangkap pada ruangan yang lebih rendah akibat berat jenis yang lebih tinggi,

59

Universitas Sumatera Utara


sementara hawa panas yang memiliki berat jenis lebih rendah akan mengalir ke

atas.

Gambar 2.17. Permukaan ruang tidur yang lebih tinggi

Sumber : www.louisiana.jurnal-budaya.com

Pada kawasan tertentu dinding Igloo dilapisi dengan kulit hewan yang

bertujuan untuk lebih menghangatkan suhu di dalam ruangan hingga 20oC

dibandingkan dengan ruangan tanpa pelapis. Masyarakat Eskimo menggunakan

penerangan tradisional atau Kudlik yang menggunakan bahan bakar lemak hewan

seperti anjing laut dan hewan buruan lainnya. Lampu tradisional tersebut

menghasilkan kalor atau panas yang juga membantu meningkatkan suhu udara di

dalam ruangan. Selain itu panas dari lampu akan mencairkan es pada bagian

dalam Igloo namun bagian es yang mencair akan segera beku kembali dan

menghasilkan lembaran es yang baru yang semakin menambah kekuatan balok es

pada Igloo.

60

Universitas Sumatera Utara


2.7.4. Suku Boti ( Pulau Timor)

Rumah tradisional Suku Boti atau disebut Umebubu yang terletak di Pulau

Timor merupakan sebuah bangunan berbentuk bulat dengan atap berbentuk yang

hampir menyentuh tanah. Bangunan ini dihuni oleh satu keluarga inti sebagai

tempat melakukan berbagai aktifitas seperti makan, tidur, bekerja, menyimpan

hasil pertanian serta melaksanakan upacara keagamaan, hingga melahirkan.

Dalam tradisi Suku Boti, Umebubu merupakan bangunan pertama yang harus

didirikan terlebih dahulu sebelum mendirikan bangunan lain dalam suatu

perkampungan yang biasanya terletak di puncak gunung atau bukit serta

dikelilingi oleh tembok batu agar sulit dijangkau untuk menghindari serangan

musuh. Dinding bangunan Umebubu terbuat dari potongan kayu dan bambu yang

disusun melingkar dengan diameter antara tiga hingga lima meter dan memiliki

satu pintu masuk berbentuk setengah lonjong dengan ketinggian kurang dari satu

meter sehingga orang dewasa harus membungkuk untuk melewati pintu ini.

Ketinggian bangunan Umebubu sendiri yaitu kurang lebih tiga meter.

61

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.18. Denah dan potongan bangunan Umebubu

Sumber : www.uajy.ac.id

2.7.5. Suku Darai ( Nepal )

Suku Darai sebagai salah satu kelompok etnis di Nepal memiliki rumah

tadisional yang disebut Ghumaune Ghar yang artinya ”rumah berbentuk bulat”.

Secara geografis bangunan ini terletak di daerah pegunungan dan terisolir dimana

masyarakat suku Darai mendirikan pemukiman atau perkampungan pada daerah

terpencil dan sulit dijangkau. Bagian dinding bangunan ini terbuat dari kayu yang

dilapisi campuran lumpur dan tanaman belukar pada sisi dalam dan luarnya,

sedangkanbagian atapnya terbuat dari tanaman belukar atau disebut Khar yang

dibentuk menyerupai payung. Bukaan pada

Secara umum bagian-bagian di dalam Ghumaune Ghar terdiri dari 4 ruangan

antara lain :

62

Universitas Sumatera Utara


 Majheri (Ruang utama)

 Sikuwa (Kamar tidur)

 Bhadar (Kamar tamu)

 Bhansa (Dapur)

2.7.6. Bangsa Celtic

Bangsa Celtic merupakan gabungan beberapa suku yang mendiami daratan

benua Eropa, mereka mendirikan pemukiman diatas bukit yang disebut Hill-Forts.

Kawasan pemukiman ini terdiri atas beberapa bangunan. Tempat tinggal Bangsa

Celtic berupa bangunan berbentuk silinder atau lingkaran dengan atap berbentuk

kerucut tanpa jendela, bukaan pada bangunan hanya berupa sebuah pintu masuk.

Letak pintu masuk tidak menyatu dengan struktur utama bangunan melainkan

dipisahkan oleh sebuah lorong yang berfungsi untuk mencegah udara dingin dari

luar langsung masuk ke dalam ruangan bagunan.

Material yang digunakan merupakan bahan-bahan yang dikumpulkan dari

lingkungan sekitar pemukiman. Atap bangunan terbuat dari jerami yang bagian

atasnya dilapisi dengan lumpur untuk menjaga suhu di dalam bangunan tetap

hangat,sedangkan bagian dinding bangunan terbuat dari anyaman kayu dan juga

campuran lumpur.

Pada daerah tertentu seperti Eropa Utara bangunan serupa menggunakan

material batu yang disusun dan direkatkan dengan tanah liat untuk bagian

dindingnya.

63

Universitas Sumatera Utara


Ruangan di dalam bangunan ini berupa ruangan tunggal yang difungsikan untuk

berbagai kegiatan seperti tidur, mengolah makanan, mengerjakan kerajinan,

hingga sebagai tempat penyimpanan.

Masyarakat yang menghuni bangunan ini menyalakan api pada bagian

tengah ruangan untuk keperluan mengolah makanan serta untuk menghangatkan

suhu di dalam bangunan. Terdapat sebuah lubang kecil pada bagian puncak atap

yang berfungsi sebagai lubang pembuangan asap yang terperangkap di dalam

bangunan

2.7.7. Bangsa Basotho (Lesotho / Afrika Selatan)

Suku bangsa Basotho merupakan suku asli dari kerajaan Lesotho yang

mendiami kawasan Afrika Selatan. Sebagian besar populasi masyarakat mendiami

dataran rendah yang lebih subur untuk lahan pertanian dibandingkan tanah dataran

tinggi. Daerah dengan pemukiman tradisional berada pada kawasan antara sungai

Olifan dan sungai Steelpoort di provinsi utara Afrika Selatan. Bangsa Basotoho

menghuni rumah tradisional yang disebut Mokhoro yaitu bangunan berbentuk

silinder dengan bentuk atap kubah yang menggunakan material yang terdapat di

sekitar pemukiman. Dinding bangunan terbuat dari batu yang disusun dan

direkatkan dengan campuran pasir, tanah, serta kotoran ternak seperti sapi.

Dinding bangunan ini berukuran tebal untuk menghalau udara panas pada siang

hari dan udara dingin pada malam hari masuk ke dalam ruangan. Lantai ruangan

dilapisi dengan campuran kotoran hewan agar rata dan halus, sementara bagian

atap bagunan terbuat dari tanaman rumbia yang dijahit hingga puncak atap

64

Universitas Sumatera Utara


bangunan. Bukaan pada bangunan ini sangat minim hanya berupa jendela kecil

serta pintu utama berukuran dengan tinggi 0,5 m untuk menghalau sinar matahari

langsung memasuki ruangan. Ukuran pintu yang kecil juga bertujuan mencegah

binatang buas memasuki bangunan. Pada daerah tertentu khususnya di pedesaan,

dinding bangunan dihiasi dengan motif tradisional yang berwana cerah.

65

Universitas Sumatera Utara


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat komparatif. Penelitian

komparatif merupakan sejenis penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mencari

jawaban secara mendasar tentang sebab akibat, dengan menganalisa faktor-faktor

penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu.

Menurut Silalahi Ulber (2005) penelitian komparatif adalah penelitian yang

membandingkan dua gejala atau lebih. Penelitian komparatif dapat berupa

komparatif deskriptif (descriptive comparative) maupun komparatif korelasional

(correlation comparative). Komparatif deskriptif membandingkan variabel yang

sama untuk sampel yang berbeda.

Selanjutnya menurut Hasan (2002: 126-127) analisis komparasi atau

perbandingan adalah prosedur statistik guna menguji perbedaan diantara dua

kelompok data (variabel) atau lebih. Uji ini bergantung pada jenis data (nominal,

ordinal, interval/rasio) dan kelompok sampel yang diuji. Komparasi antara dua

sampel yang saling lepas (independen) yaitu sampel-sampel tersebut satu sama

lain terpisah secara tegas dimana anggota sampel yang satu tidak menjadi anggota

sampel lainnya.

Arikunto Suharsini (1998:236) mengatakan bahwa dalam penelitian

komparasi dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan

tentang benda-benda, tentang orang, prosedur kerja, ide-ide, kritik terhadap orang,

66

Universitas Sumatera Utara


kelompok, terhadap suatu ide atau prosedur kerja. Dapat juga membandingkan

kesamaan pandangan dan perubahan-perubahan pandangan orang, grup atau

negara, terhadap kasus, terhadap orang, peristiwa atau terhadap ide-ide.

Menurut Sudijono Anas (2009: 273 dan 287) penelitian komparasi pada

intinya adalah penelitian yang berusaha untuk menemukan persamaan dan

perbedaan tentang benda, orang, prosedur kerja, ide, kritik terhadap orang atau

kelompok, terhadap suatu ide atau prosedur kerja.

3.2. Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang dapat membedakan atau mengubah nilai.Nilai

dapat berbeda pada waktu yang berbeda untuk obyek atau orang yang sama, atau

nilai dapat berbeda dalam waktu yang sama untuk orang atau obyek yang berbeda.

Pada penelitian ini terdapat dua buah variabel, yaitu variabel dependen dan

independen (Erlina, 2011).

3.2.1. Variabel Dependen

Variabel ini sering juga disebut dengan variabel terikat atau variabel

tidakbebas, variabel output, kriteria atau konsekuen, dan menjadi perhatian utama

dalam penelitian.

Variabel tak bebas ini merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang

menjadi akibat, karena adanya variabel sebab atau variabel bebas. Jadi variabel

dependen adalah konsekuensi dari variabel independen. Yang menjadi variabel

dependen di dalam penelitian ini adalah bangunan Rumah tradisional Nias Utara.

Variabel ini merupakan perhatian utama daripenelitian ini dan bersifat terikat.

67

Universitas Sumatera Utara


3.2.2. Variabel Independen

Variabel independen dinamakan pula dengan variabel yang diduga sebagai

sebab (presumed couse variabel) dari variabel dependen, yaitu variabel yang

diduga sebagai akibat (presumed effect variable).

Variabel independen juga dapat disebut sebagai variabel konsekuensi (consequent

variabel). Variabel ini sering juga disebut dengan variabel bebas, variabel

stimulus, dan prediktor. Variabelyang dapat mempengaruhi perubahan dalam

variabel dependen, atau yang menyebabkan terjadinya variasi bagi variabel tak

bebas (variabel dependen) dan mempunyai hubungan yang positif maupun

negative bagi variabel dependen lainnya. Yang menjadi variabel independen

dalam penelitian ini adalah berbagai faktor antropologis seperti sistem sosial,

sistem pernikahan, kepercayaan, serta mata pencaharian berbagai kelompok

masyarakat yang menggunakan bentuk denah bulat pada bangunan tradisionalnya

serta berbagai latar belakang ditinjau secara fisik atau tipologi.

3.3. Populasi / Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek dan subjekyang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2005:72).

Populasi dalam penelitian ini adalah beberapa kelompok masyarakat yang

menggunakan dengan bulat untuk bangunan tradisionalnya.

Sampel dapat dikatakan baik apabila sampel tersebut memenuhi dua kriteria yaitu

presisi dan akurat. Sampel yang diharapkan memiliki presisi yang tinggi yaitu

68

Universitas Sumatera Utara


sampel yang mempunyai tingkat kesalahan pengambilan sampel yang rendah.

Kesalahan pengambilan sampel (sampling error) adalah seberapa jauh sampel

berbeda dari yang dijelaskan oleh populasinya.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi

kepustakaan, yaitu usaha untuk mengumpulkan informasi yang berhubungan

dengan teori-teori yang ada kaitannya dengan masalah dan variabel yang diteliti,

terdiri dari beberapa kelompok masyarakat dengan bentuk denah bangunan

tradisional lingkaran serta berbagai aspek antropologisnya serta berbagai latar

belakang fisik terbentuknya denah bulat tersebut.

Studi literatur ini diperoleh dari :

 Perpustakaan

 Hasil penelitian terdahulu

 Jurnal-jurnal imiah

 Media-media (cetak dan elektronik)

3.5. Metode Analisa Data

Salah satu tujuan penelitian adalah untuk menguji hipotesis. Tujuan pengujian

hipotesis untuk menentukan apakah jawaban teoretis yang terkandung dalam

pernyataan hipotesis didukung oleh fakta yang dikumpulkan dan dianalisis dalam

proses pengujian data. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode

penelitian deskriptif.

69

Universitas Sumatera Utara


3.5.1. Analisa Deskriptif

Metode analisis deskriptif merupakan metode yang digunakan dengan

mengadakan pengumpulan data dan penganalisaan data yang diperoleh sehingga

dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat seta

hubungan antar fenomena yang diteliti.

Penelitian deskriptif membantu peneliti untuk menjelaskan karakteristik subjek

yang akan diteliti, mengkaji berbagai aspek dalam fenomena tertentu, dan

menawarkan ide masalah untuk pengujian atau penelitian lanjutannya. Penelitian

ini terkadang dimaksudkan untuk menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan

dalam penelitian (Sekaran, 2003).

70

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pembahasan

4.1.1. Perbandingan aspek antropologi

Berikut ini aspek antropologi dari beberapa kelompok masyarakat di atas

yang akan dibandingkan dengan aspek antropologi dari objek utama penelitian

untuk menemukan penyebab terbentuknya denah lingkaran (oval) pada rumah

tradisional Nias Utara :

 Sistem kekerabatan atau Sosial

 Sistem Pernikahan

 Sistem Religi atau kepercayaan

 Mata pencaharian

Perbandingan aspek antropologis masyarakat kelompok lain dengan masyarakat

Kelompok masyarakat Kepercayaan Sistem Sistem Pernikahan Mata Pencaharian


Sosial
Dani (Papua)  X X 
Wae Rebo (Flores)    
Boti (Timor)    
Eskimo  X X 
Darai (Nepal)  X 
Celtic    
Basotho (Afrika   X 
Selatan)
Nias utara :Tabel 4.1. Tabel perbandingan latar belakang antropologis

71

Universitas Sumatera Utara


A. Suku Dani

 Dari sistem kekerabatan masyarakat Suku Dani dan Nias utara memiliki

kesamaan yaitu adanya sistem keluarga luas yang merupakan keluarga

besar yang berasal dari satu garis keturunan. Namun masyarakat suku

Dani tidak mengenal sistem kasta dalam masyarakat sosialnya.

 Dari sistem pernikahan masyarakat Suku Dani dan Nias utara tidak

memiliki persamaan.

 Dari sistem kepercayaan masyarakat Suku Dani dan Nias utara

memiliki kesamaan yaitu pemujaan terhadap leluhur dan memberi

persembahan korban hewan yaitu babi.

 Dari aspek mata pencaharian masyarakat Suku Dani dan Nias Utara

memiliki kesamaan pekerjaan yaitu bertani dan beternak babi.

B. Suku Wae Rebo

 Dari sistem kekerabatan atau sosial kedua kelompok masyarakat

memiliki kesamaan yaitu adanya stratifikasi sosial atau sistem kasta.

 Dari sistem pernikahan kedua kelompok masyarakat memiliki

kesamaan yaitu yaitu menganut sistem monogami dan memberikan

mahar berupa hewan.

 Dari sisi kepercayaan kedua kelompok masyarakat memiliki kesamaan

yaitu kepercayaan terhadap leluhur untuk memelihara segala aspek

kehidupan.

 Dari aspek mata pencaharian kedua kelompok masyarakat memiliki

kesamaan yaitu bertani dan beternak hewan.

72

Universitas Sumatera Utara


C. Bangsa Eskimo (Kutub)

 Dari sistem penikahan kedua kelompok masyarakat memiliki perbedaan

yaitu Bangsa Eskimo menganut sistem poliandri sedangkan masyarakat

Nias Utara menganut sistem monogami.

 Dari sisi kepercayaan kedua kelompok masyarakat memiliki kesamaan

yaitu kepercayaan terhadap leluhur untuk memelihara segala aspek

kehidupan.

 Dari aspek mata pencaharian kedua kelompok masyarakat memiliki

kesamaan yaitu bertani dan berburu, namun berbeda proses dan

pengolahannya karena kondisi geografis yang tidak sama.

D. Suku Boti (Pulau Timor)

 Dari sistem kekerabatan dan sosial kedua kelompok masyarakat

memiliki kesamaan yaitu adanya sistem klan keluarga serta kegiatan

berkumpul pada rumah pemimpin suku sehingga dibutuhkan sebuah

bangunan bersama yang lebih besar untuk berkumpul.

 Dari sistem kepercayaan kedua kelompok masyarakat memiliki

kesamaan yaitu kepercayaan terhadap leluhur untuk memelihara segala

aspek kehidupan.

 Dari sistem pernikahan kedua kelompok masyarakat memiliki

persamaan yaitu menganut sistem perkawinan monogami.

73

Universitas Sumatera Utara


 Dari aspek mata pencaharian kedua kelompok masyarakat memiliki

persamaan yaitu bertani dan berburu bagi kaum pria dan mengerjakan

kerajinan tradisional bagi kaum wanita.

E. Suku Darai ( Nepal )

 Dari sistem kekerabatan atau sosial kedua kelompok masyarakat

memiliki persamaan yaitu adanya sistem kasta serta gabungan beberapa

keluarga yaitu klan.

 Dari sistem pernikahan kedua kelompok masyarakat tidak memiliki

persamaan.

 Dari sistem religi atau kepercayaan kedua kelompok masyarakat tidak

memiliki kesamaan karena masyarakat Suku Darai yang telah

dipengaruhi oleh ajaran Hindu dalam kepercayaannya.

 Dari aspek mata pencaharian kedua kelompok masyarakat memiliki

persamaan yaitu bertani dan berburu bagi kaum pria dan mengerjakan

kerajinan tradisional bagi kaum wanita.

F. Bangsa Celtic

 Dari sistem kekerabatan atau sosial kedua kelompok masyarakat

memiliki kesamaan yaitu adanya stratifikasi masyarakat atau kasta serta

pemipin yang dituakan, namun Bangsa Celtic tidak mengenal

perbudakan.

 Dari sistem pernikahan kedua kelompok masyarakat memiliki

persamaan yaitu menganut sistem perkawinan monogami, namun dalam

74

Universitas Sumatera Utara


masyarakat Nias Utara kasus perceraian sangat jarang terjadi karena

dianggap tabu dlaam masyarakat.

 Dari sistem religi atau kepercayaan kedua kelompok masyarakat

memiliki kesamaan yaitu menganut sistem monoteisme atau

kepercayaan terhadap lebih dari satu Tuhan atau Dewa.

 Dari aspek mata pencaharian kedua kelompok masyarakat memiliki

kesamaan yaitu melakukan pekerjaan bertani, beternak, dan

mengerjakan kerajinan logam.

G. Bangsa Basotho ( Lesotho )

 Dari sistem kekerabatan atau sosial kedua kelompok masyarakat

memiliki kesamaan yaitu adanya sistem klan dan pewarisan nama

keluarga namun suku bangsa Basotho tidak mengenal sistem kasta.

 Dari sistem pernikahan kedua kelompok masyarakat tidak memiliki

persamaan.

 Dari sistem kepercayaan masyarakat Suku Dani dan Nias utara

memiliki kesamaan yaitu pemujaan terhadap leluhur dan memberi

persembahan korban hewan yaitu babi.

 Dari aspek mata pencaharian kedua kelompok masyarakat memiliki

kesamaan yaitu bertani dan beternak serta mengerjaan kerajinan dari

besi.

75

Universitas Sumatera Utara


4.1.2. Analisa latar belakang fisik (tipologi)

A. Fungsi ruang

Masyarakat Nias pada umumnya memiliki hubungan kekerabatan serta

hubungan kekeluargaan yang erat dalam satu desa (Ori) dan adanya tradisi

berkumpul untuk melakukan musyawarah atau kegiatan lainnya pada rumah

pemimpin atau kepala perkampungan tersebut. Masyarakat Nias juga identik

dengan budaya berperangnya sehingga masyarakat membutuhkan ruang yang

cukup aman dan strategis jika sewaktu-waktu terjadi peperangan.

B. Keadaan Geografis

Daratan pulau Nias sebagian besar merupakan daerah perbukitan dan

pegunungan, dan pemukiman atau perkampungan di Nias umumnya berada di atas

bukit dimana menurut kosmologi masyarakat Nias semakin tinggi letak suatu

perkampungan maka akan semakin dekat dengan dunia atas dimana daerah

tersebut relatif bersuhu dingin. Oleh karena itu dibutuhkan ruang yang lebih

hangat atau nyaman bagi penghuninya.

4.2. Hasil perbandingan dan analisa

 Secara kosmologi masyarakat Nias Utara meyakini bahwa alam semesta

dan jagat raya berbentuk bulat sehingga diterapkan pada bentuk dasar

rumah tradisionalnya. Bentuk bulat juga mewakili benda benda atau

makhluk hidup yang terdapat di alam.

 Menurut pengelompokkan wilayah kekuasaan masyarakat di Pulau Nias,

masing-masing wilayah kekuasaan berusaha menonjolkan pengaruhnya

serta membedakan ciri adat istiadatnya. Dalam hal ini bentuk rumah

76

Universitas Sumatera Utara


tradisional Nias Utara berbeda dengan wilayah lain di Pulau Nias dimana

bentuk rumah tradisional Nias Selatan dan Nias tengah berbentuk persegi.

 Dari aspek fungsi ruang masyarakat Nias Utara membutuhkan ruang yang

cukup luas untuk melakukan kegiatan berkumpul antar masyarakat desa.

Ruang yang luas dan lapang juga dibutuhkan sebagai strategi untuk

mengamati musuh jika terjadi perang dimana pada ruang yang berbentuk

bulat atau oval lebih mudah untuk melakukan pengamatan ke arah luar

bangunan.

 Dari aspek kenyamanan suhu, ruangan yang bulat dapat menghangatkan

ruangan dari udara dingin yang berasal dari luar ruangan.

77

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN

Proses terbentuknya denah bulat pada bangunan tradisional Nias Utara

disebabkan oleh berbagai faktor latar belakang yang merupakan hasil

perbandingan dan analisa latar belakang antropologis (nonfisik) dan fungsi (fisik)

dari beberapa kelompok masyarakat lain yang juga menggunakan bentuk denah

yang sama serta dari masyarakat Nias Utara sendiri. Secara kosmologi masyarakat

Nias Utara meyakini bahwa alam semesta dan jagat raya berbentuk bulat sehingga

diterapkan pada bentuk dasar rumah tradisionalnya. Bentuk bulat juga mewakili

benda benda atau makhluk hidup yang terdapat di alam. Menurut pengelompokan

wilayah kekuasaan masyarakat di Pulau Nias, masing-masing wilayah kekuasaan

berusaha menonjolkan pengaruhnya serta membedakan ciri adat istiadatnya.

Dalam hal ini bentuk rumah tradisional Nias Utara berbeda dengan wilayah lain di

Pulau Nias, dimana bentuk rumah tradisional Nias Selatan dan Nias Tengah

berbentuk persegi. Ditinjau dari aspek fungsi ruang, masyarakat Nias Utara

membutuhkan ruang yang cukup luas untuk melakukan kegiatan berkumpul antar

masyarakat desa. Ruang yang luas dan lapang juga dibutuhkan sebagai strategi

untuk mengamati musuh jika terjadi perang dimana pada ruang yang berbentuk

bulat atau oval lebih mudah untuk melakukan pengamatan ke arah luar bangunan,

dan dari aspek kenyamanan suhu, ruangan yang berbentuk bulat dapat

menyebabkan suhu udara yang lebih tinggi sehingga ruangan terasa lebih hangat

apabila dibandingkan dengan ruangan yang tidak berbentuk bulat.

78

Universitas Sumatera Utara


BAB VI

SARAN

Bentuk bulat atau oval merupakan bentuk dasar yang saat ini jarang

ataupun tidak umum digunakan oleh masyarakat dalam merancang suatu objek

arsitektur. Meskipun bentuk ini tidak lagi efektif diterapkan pada bangunan

mengingat efektifitas penggunaan lahan serta penataan ruang dalamnya, namun di

sisi lain bentuk bulat ini memiliki karakter atau keunikannya serta pengalaman

ruang tersendiri yang mungkin tidak terdapat pada bentuk dasar lain. Secara

estetika dan emosional bentuk ini dapat dimanfaatkan atau dieksplorasi dalam

merancang suatu objek arsitektur yang tentunya diseusaikan pula dengan keadaan

saat ini.

Rumah tradisional Nias Utara meskipun tidak lagi digunakan sebagai

tempat tinggal atau melakukan kegiatan sehari-hari oleh masyarakat melainkan

beralih fungsi menjadi sekedar bangunan simbolis namun sebaiknya tetap dijaga

kelestariaanya mengingat pada saat ini rumah tradisional Nias Utara semakin

jarang ditemui dan bahkan dapat terancam punah bila tidak dijaga keberadaannya.

79

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Bhakti , Prof. Dr. Julaihi Bin Wahid. (2012). Tipologi Arsitektur Rumah Adat Nias
Selatan & Rumah Adat Nias Utara. Graha Ilmu.

Amirrol, Hafiz. (2010). Structural Genius of Indigenous Nias House Architecture.

Barrow, Mandy. (2013). Celtic Round Houses.


http://www.primaryhomeworkhelp.co.uk/celts/index.html

Boru, Jeky El. (2013). Perkembangan Arsitektur Vernakular Atoni. Universitas Atma Jaya.
Yogyakarta.

Darai, Rajendra. (2016). Darai “An Indigenous Ethnic Community" of Nepal.


https://sites.google.com/site/daraiethnicsocietynepal/home.

Eldwin, Hajera, Astuti S. (2012). Masyarakat Dan Kebudayaan Indonesia Kebudayaan Timor.
http://hajera.blogspot.com/2012/01/kebudayaan-timor.html

Faisal, Gun. dkk. (2012). Tipologi Ventilasi Bangunan Vernakular Indonesia.


http://jurnal.ubl.ac.id/index.php/ja/article/view/312/314

Gruber, Petra. (2011). Biomimetics in Architecture - Architecture of Life and Buildings,Case


studies. Springer. 196-261

Gruber, P dan Herbig. (2006). Research of Environment Adaptation of Traditional Building


Constructions and Techniques in Nias, Vienna: Institute for Comparative Research in
Architecture.

Gruber, P dan Herbig. (2005). Settlements and Housing on Nias Island: Adaptation and
Development, Vienna: Institute for Comparative Research in Architecture.

Hariyono, Paulus. (2007). Sosiologi kota untuk arsitek. Bumi Aksara, Jakarta.

Indriyawati, E. 2009. Antropologi 1. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen


Pendidikan Nasional, Jakarta. 137

Kershaw, Peter. dkk. (1996). The Shelter Characteristics of Traditional-Styled Inuit Snow Houses.
Arctic, Vol. 49, No.4. 328-338

Lase, Y. (2005). Kontrol Seismik pada Rumah Adat Nias, Jakarta: HAKI Seminar

Lumantarna, B., Pudjisuryadi, P (2012). Learning from Local Wisdom: Friction Damper in
Traditional Building. Civil Engineering Dimension, Vol. 14, No.3.

Mentayani, ira, dan Ikaputra. (2012). Menggali makna arsitektur vernakular: Ranah, Unsur, dan
Aspek-Aspek Vernakularitas. LANTING Journal of Architecture, Vol. 1, No 2. 68-82

80
Universitas Sumatera Utara
Nag, Oishimaya Sen. (2018). Religious Beliefs in Lesotho.
https://www.worldatlas.com/articles/religious-beliefs-in-libya.html

Prasetyo, Frans. (2014). Cosmology of Nias Architecture.

Pudjisuryadi, P., Lumantarna, B. and Lase, Y. (2007).Base Isolation in Traditional Building:


Lesson Learned from Nias, Surabaya: The 1st International Conference of European Asian Civil
Engineering Forum

Purbadi, Djarot. (2008). Filosofi Bangunan


Umebubu.https://arsitekturnusantara.wordpress.com/2008/10/03/filosofi-bangunan-umebubu/(16
Juni 2018)

Purbadi, Djarot. dkk. (2008). Kearifan lokal bangunan umebubu.


https://kaenbaun.wordpress.com/2008/10/08/kearifan-lokal-bangunan-umebubu/

Salipu, M. Amir, Santoso, Imam. (2014). Pengaruh Kenyamanan Dan Keamanan Bermukim
Terhadap Bentuk Permukiman Tradisional Suku Dani Di Wamena Kabupaten Jayawijaya, Papua.
Program Studi Arsitektur, UPN Veteran, Jawa Timur.60-66

Saragi, Rizalina Tama. (2009). Honai House


http://globalwindow.wordpress.com/2009/01/23/honai-house/ (8 April 2018)

Smith, Andile. (2018). Sotho people, culture, traditional attire, food, language, quick
facts.https://buzzsouthafrica.com/sotho-people-language-and-culture/

Sumarsono, Elisabeth. (2012). Konsep kehidupan setelah kematian Fatu Bian Ma Hau Bian :
Upaya untuk mempertahankan identitas keagamaan lokal Atoin Pah Meto Suku Boti.Universitas
Gadjah Muda. Yogyakarta.

Suriawidjaja, Eppi P. dkk. (1986). Persepsi bentuk dan konsep arsitektur. Djambatan, Jakarta.

Sutardi, Tedi. (2007). Antropologi Mengungkapkan Keragaman Budaya, Setia Purna Inves,
Bandung. 25-54

Yuliawati, Sri. (2011). Pengukuran Gatra Sosial Budaya Di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Tahun 15, Nomor 1. Program Pascasarjana
UHAMKA, Jakarta.

https://www.everyculture.com/wc/Japan-to-Mali/Sotho.html

http://louisiana.jurnal-budaya.com/id3/2314-2205/Igloo_23451_louisiana-jurnal-budaya.html

81
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai