Anda di halaman 1dari 18

ARTIKEL

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di


Provinsi Lampung
Determinant Factor of the Local Food Consumption of the
Households in Lampung Province
Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
Jurusan Agribisnis Universitas Lampung
Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No.1, Kota Bandar Lampung
E-mail: sayekti_wur@yahoo.co.id
Diterima: 21 Februari 2020 Revisi : 28 Juli 2020 Disetujui : 12 Agustus 2020
ABSTRAK
Diversifikasi konsumsi pangan merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan
ketahanan pangan. Pengembangan pangan lokal olahan menjadi sangat penting untuk
diversifikasi konsumsi pangan berbasis potensi sumber daya lokal. Bihun tapioka dan beras
siger (tiwul) merupakan pangan lokal olahan yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat
Provinsi Lampung sebagai sumber karbohidrat nonberas. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pola konsumsi dan mengidentifikasi faktor determinan pada konsumsi pangan
lokal olahan (bihun tapioka dan beras siger) rumah tangga. Penelitian dilaksanakan di Kota
Bandar Lampung, Kota Metro, dan Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung menggunakan
metode survei. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive). Sampel penelitian
terdiri dari 180 rumah tangga yang dipilih secara acak. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara dengan kuesioner. Metode analisis data yang digunakan adalah
analisis deskriptif dan analisis faktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa singkong
merupakan jenis pangan lokal yang paling banyak dikonsumsi oleh rumah tangga. Hasil
analisis faktor menunjukkan bahwa berdasarkan 14 faktor yang dianalisis, maka terbentuk 5
kelompok faktor, yaitu faktor pengenalan dan penerimaan, pengetahuan gizi, pendidikan,
pekerjaan, dan jumlah anggota rumah tangga. Faktor pengenalan dan penerimaan konsumen
terhadap pangan lokal merupakan faktor determinan yang menentukan konsumsi pangan lokal
di Provinsi Lampung.
kata kunci: diversifikasi konsumsi, pangan lokal, faktor determinan
ABSTRACT
Diversification of food consumption is an effort to realize food security. Development of
processed local food becomes very important for diversification of food consumption based on
the potential of local resources. Tapioca vermicelli and siger rice are processed local food
widely known by the people of Lampung Province as a substitute for carbohydrate sources of
tubers. This research addresses to determine consumption and identify the determinants of
household processed local food consumption (tapioca vermicelli and siger rice). The study was
conducted in Bandar Lampung City, Metro City, and Pringsewu District, Lampung Province,
using survey methods. The research location was selected purposively. The research sample
consisted of 180 households that were selected randomly. Interviews with questionnaires
collected data. Data were analyzed with descriptive and factor analysis. The results showed
that cassava is the most consumed local food. Based on the 14 factors analyzed, formed five
factors, namely the recognition and acceptance factors, nutritional knowledge, education,
wive’s job, and the number of household members. The factor of consumer recognition and
acceptance of local food was a determinant factor of local food consumption in Lampung
Province.
keywords: consumption diversification, local food, the determinant factor
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan Sumberdaya
Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
I. PENDAHULUAN Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi
etahanan pangan merupakan agenda Nasional (Susenas) rata-rata konsumsi
K pembangunan nasional yang sangat
penting. Pembangunan ketahanan
terigu
September
masyarakat
2019
Indonesia
sebesar
bulan
0,201
pangan diarahkan menuju kemandirian kg/kapita/bulan atau 2,412 kg/kapita/tahun
pangan agar Indonesia mampu (Badan Pusat Statistik, 2019). Konsumsi
menyediakan pangan yang cukup dari segi terigu tahun 2019 tersebut naik 55 persen
jumlah dan keberagaman secara dari konsumsi tahun 2015. Hampir 95
berkelanjutan bagi seluruh penduduk persen makanan berbahan baku tepung
terutama dari produksi dalam negeri, serta terigu sebenarnya adalah jenis makanan
terjangkau dari waktu ke waktu. Saat ini introduksi, bukan makanan asli Indonesia.
kondisi konsumsi pangan di Indonesia Hal tersebut menyebabkan impor gandum
didominasi oleh beras, sebagian besar dan tepung terigu terus dilakukan. Menurut
masyarakat menganggap bahwa beras Suyastiri (2008) impor pangan dalam
merupakan satu-satunya sumber jangka pendek dapat menjadi obat
karbohidrat. Menurut Kementerian kelaparan, namun dalam jangka panjang
Pertanian (2018), sekitar 97 persen tidak hanya menguras devisa, tetapi juga
penduduk Indonesia mengonsumsi sumber mengabaikan aneka sumber daya lokal.
karbohidrat dari beras. Daerah-daerah yang Oleh karena itu, program diversifikasi
dulunya mengonsumsi pangan sumber konsumsi pangan sangat penting dalam
karbohidrat nonberas, seperti sagu, jagung rangka mewujudkan ketahanan pangan,
dan umbi-umbian saat ini berubah mengurangi ketergantungan beras dan
mengonsumsi beras. Konsumsi beras impor terigu, serta menganekaragamkan
masyarakat Indonesia rata-rata mencapai konsumsi pangan masyarakat menuju pola
114,6 kg/tahun/kapita atau 314 pangan harapan (PPH) yang ideal.
gram/kapita/hari. Peningkatan jumlah Upaya diversifikasi pangan sudah
penduduk yang diiringi dengan tingginya lama dilaksanakan, namun hasilnya belum
jumlah konsumsi beras menyebabkan sesuai dengan harapan. Menurut Badan
upaya penyediaan beras juga semakin Ketahanan Pangan (2019) selama periode
berat setiap tahun. Hal tersebut dapat 2013 sampai 2018 perkembangan pola
menimbulkan kesulitan dalam pengadaan konsumsi pangan sumber karbohidrat
beras dan mengakibatkan melemahnya masih didominasi oleh kelompok padi-
ketahanan pangan. Selain itu, pola padian terutama beras dan terigu,
konsumsi penduduk yang tidak sedangkan kontribusi umbi-umbian masih
proporsional karena didominasi oleh rendah. Meskipun, kontribusi energi yang
sumber karbohidrat dari nasi dapat berasal dari konsumsi kelompok padi-
menyebabkan efek yang kurang baik bagi padian (beras, jagung, dan terigu) pada
kesehatan. tahun 2017 mengalami sedikit penurunan
Pemerintah berupaya untuk menekan dibandingkan dengan tahun 2016, yaitu dari
konsumsi beras, namun sebagian 59,3 persen menjadi sebesar 58,4 persen,
masyarakat justru menjadikan terigu namun tahun 2018 meningkat kembali
sebagai pengganti beras sehingga proporsi menjadi 60,7 persen. Tingkat konsumsi
pengeluaran kelompok pangan masyarakat energi padi-padian tersebut telah melebihi
Indonesia masih didominasi oleh padi- komposisi anjuran, yaitu sebesar 50 persen.
padian. Masyarakat mulai mengonsumsi mi Selain itu, skor keberagaman pangan (Pola
instan dan roti sebagai sumber karbohidrat Pangan Harapan/PPH) juga belum sesuai
alternatif pengganti beras dan sudah dengan yang ditargetkan. Untuk Provinsi
dikenal serta diterima secara luas oleh Lampung, skor PPH aktual pada tahun
masyarakat. Menurut Yanuarti dan Afsari 2018 sebesar 86,4 (BKP, 2019).
(2016), konsumsi tepung terigu di Indonesia Dalam Undang-Undang Pangan
terus meningkat sejalan dengan tumbuhnya Nomor 18 tahun 2012 dinyatakan bahwa
konsumsi mi instan, roti, biskuit dan ketahanan pangan perlu diwujudkan
cookies. Pada tahun 2015 konsumsi dengan diversifikasi konsumsi berbasis
tepung terigu nasional menjadi 396.477 pangan lokal. Didukung pula oleh
ton/tahun atau 1,552 kg/kapita/tahun. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun
2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi selain faktor sosial, pemilihan pangan juga
yang menyatakan bahwa diversifikasi ditentukan oleh faktor ekonomi, akses
pangan diselenggarakan untuk terhadap pangan, dan faktor perilaku.
meningkatkan ketahanan pangan dengan Akses terhadap pangan berkaitan dengan
memperhatikan sumberdaya, ketersediaan pangan yang berpengaruh
kelembagaan, dan budaya lokal, dengan terhadap konsumsi pangan sumber
cara meningkatkan keanekaragaman karbohidrat (Apriani dan Baliwati, 2011).
pangan, mengembangkan teknologi Selain itu, faktor perilaku yang berkaitan
pengolahan dan produk pangan, serta dengan pemilihan pangan lokal untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk konsumsi seseorang dipengaruhi oleh
mengonsumsi aneka ragam pangan kesiapan psikologis terhadap pangan lokal
dengan prinsip gizi seimbang. Berdasarkan tersebut. Menurut Hidayah (2011) kesiapan
PP tersebut, diketahui bahwa pada psikologis terhadap diversifikasi pangan
dasarnya diversifikasi pangan adalah upaya akan menentukan keberhasilan sosialisasi
pemberdayaan masyarakat melalui diversifikasi pangan. Kesiapan psikologis
peningkatan kemandirian dan kapasitas terhadap diversifikasi pangan meliputi
masyarakat untuk berperan aktif dalam pengetahuan, sikap terhadap diversifikasi
rangka mewujudkan penyediaan, distribusi, pangan, dan kecenderungan untuk
dan konsumsi pangan yang konsisten dari mengonsumsi pangan sumber karbohidrat
waktu ke waktu dengan memanfaatkan nonberas. Oleh karena itu, untuk dapat
kelembagaan sosial ekonomi yang telah meningkatkan konsumsi pangan lokal di
ada di masyarakat sehingga perbaikan gizi kalangan masyarakat perlu diketahui pola
dapat tercapai. konsumsi pangan lokal dan faktor
determinan yang membentuk konsumsi
Singkong merupakan salah satu
pangan lokal (bihun tapioka dan beras
pangan lokal yang menjadi bagian penting
siger) rumah tangga di Provinsi Lampung.
dalam pola pangan bangsa Indonesia
Informasi tentang pola konsumsi dan faktor
sebagai pangan fungsional. Singkong
determinan dalam konsumsi pangan lokal
merupakan komoditas potensial dalam
olahan tersebut dapat dijadikan dasar
penganekaragaman pangan di Provinsi
dalam upaya meningkatkan konsumsi
Lampung, sebab Provinsi Lampung
pangan lokal olahan dalam upaya
merupakan produsen utama singkong di
diversifikasi pangan.
Indonesia. Berbagai olahan singkong
sudah banyak dikenal oleh masyarakat, II. METODOLOGI
seperti bihun tapioka dan tiwul atau yang
2.1. Metode, Lokasi, Waktu Penelitian,
pada perkembangannya dikenal oleh
Populasi, dan Teknik Sampling
masyarakat Provinsi Lampung sebagai
beras siger. Kedua pangan olahan Penelitian ini menggunakan metode
singkong tersebut telah diproduksi secara survei dengan populasi rumah tangga di
komersial (industri rumah tangga/kecil). sekitar dan bukan sekitar agroindustri
Namun, meskipun bihun tapioka dan beras pangan lokal olahan berupa bihun tapioka
siger sudah cukup lama diproduksi di dan beras siger. Penelitian dilakukan di
Provinsi Lampung, konsumsi masyarakat Kota Metro, Bandar Lampung, dan
terhadap pangan olahan tersebut masih Kabupaten Pringsewu. Lokasi penelitian
terbatas. ditentukan secara purposive dengan
pertimbangan bahwa Kota Metro
Konsumsi pangan erat kaitannya
merupakan sentra agroindustri bihun
dengan pengambilan keputusan seseorang
tapioka. Lokasi penelitian di Kota Metro
dalam memilih pangan. Faktor sosial
berada di Kecamatan Metro Utara dan
rumah tangga yang dicerminkan oleh
Timur yang terdiri dari 3 kelurahan dengan
karakteristik rumah tangga dapat
4 agroindustri bihun tapioka, sedangkan
memengaruhi pemilihan dan konsumsi
Desa Margosari, Kecamatan Pagelaran
pangan. Menurut Dimitri dan Rogus (2014),
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
Utara, Kabupaten Pringsewu dipilih sebagai Jenis data yang digunakan adalah
salah satu daerah agroindustri beras siger. data primer dan data sekunder. Data primer
Adapun lokasi penelitian yang bukan di diperoleh dengan metode wawancara
sentra agroindustri bihun tapioka dan beras terstruktur dengan kuesioner yang
siger adalah Kelurahan Pinang Jaya di Kota mencakup antara lain data pendapatan,
Bandar Lampung dan Desa Mulyorejo, pendidikan, pengetahuan gizi, pengetahuan
Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten tentang diversifikasi pangan dan sikap
Pringsewu. Pengumpulan data terhadap diversifikasi pangan, dan
dilaksanakan pada bulan Januari–Mei kecenderungan mengonsumsi pangan
2017. pokok nonberas, pengenalan terhadap
bihun tapioka serta data konsumsi bihun
Total sampel dari empat lokasi
tapioka rumah tangga.
penelitian tersebut adalah 180 rumah
tangga dengan ibu rumah tangga sebagai Skala pengukuran variabel kesiapan
responden. Jumlah sampel untuk lokasi psikologis dalam menghadapi diversifikasi
sekitar agroindustri ditentukan pangan, pengetahuan gizi ibu rumah
menggunakan rumus Sugiarto, dkk. (2003), tangga, dan tingkat pengenalan dan
yaitu sebagai berikut. penerimaan konsumen terhadap pangan
NZ²S² lokal adalah skala ordinal, maka kuesioner
𝑛 = Nd²+Z²S² ………………………………(1) untuk variabel-variabel tersebut terlebih
dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya.
Keterangan:
Variabel kesiapan psikologis meliputi
n = jumlah sampel rumah tangga indikator pengetahuan tentang diversifikasi
X = jumlah populasi rumah tangga pangan dan pangan lokal (dimensi
(Kota Metro = 1.022 rumah pengetahuan), indikator peran pangan lokal
tangga, Kabupaten Pringsewu = dalam mewujudkan diversifikasi pangan,
923 rumahtangga) pentingnya mengonsumsi pangan lokal,
S² = variasi sampel (5 persen = 0,05) dan pentingnya sosialisasi diversifikasi
pangan pokok (dimensi sikap), dan indikator
Z = tingkat kepercayaan (95 persen =
konsumsi pangan lokal dan pemilihan
1,96)
pangan lokal (dimensi kecenderungan
d = derajat penyimpangan (5 persen = untuk mengonsumsi pangan lokal
0,05) nonberas). Indikator-indikator tersebut
Berdasarkan perhitungan tersebut, dinilai dengan mengajukan pertanyaan dan
jumlah sampel di Kota Metro adalah 71 memberikan skor untuk alternatif jawaban
rumah tangga dan Kabupaten Pringsewu yang dipilih. Pemberian skor didasarkan
sebanyak 72 rumah tangga. Penentuan pada skala Likert dengan skala 1 sampai 5.
jumlah sampel pada masing-masing pekon Uji validitas menggunakan analisis korelasi
(desa) di sekitar agroindustri bihun tapioka Product Moment, sedangkan uji reliabilitas
di Metro dan agroindustri beras siger di menggunakan Cronbach Alpha. Dari hasil
Pekon Margosari dilakukan dengan acak uji validitas dan reliabilitas diperoleh bahwa
sederhana, sedangkan sampel yang bukan seluruh indikator pada variabel yang diukur
di sekitar agroindustri di Pekon Mulyorejo adalah valid dan reliabel. Kuesioner yang
dan Kelurahan Pinang Jaya ditentukan telah valid dan reliabel dapat digunakan
dengan quota sampling. Oleh karena itu, untuk mengumpulkan data.
jumlah sampel dari masing-masing pekon
Konsumsi pangan lokal olahan rumah
secara berturut-turut di Kota Metro, Desa
tangga diperoleh dengan metode recall
Margosari, Desa Mulyorejo, dan Kota
pada periode satu minggu terakhir. Untuk
Bandar Lampung adalah 71, 39, 35, dan 35
menghitung kandungan energi pangan
rumah tangga.
yang dikonsumsi digunakan Daftar
2.2. Jenis dan Teknik Pengumpulan, Komposisi Bahan Makanan (DKBM)
serta Analisis Data (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
Republik Indonesia, 2005). Data sekunder P = Banyaknya variabel yang diteliti
diperoleh dari instansi terkait serta dari (14 variabel)
literatur yang mencakup antara lain data ℓ = Bobot dari kombinasi linier
konsumsi pangan masyarakat. (Loading)
Metode analisis yang digunakan untuk Untuk nilai variabel pengetahuan gizi
mengetahui pola konsumsi pangan lokal (X8), pengetahuan tentang diversifikasi
adalah analisis deskriptif, sedangkan untuk pangan (X9), sikap terhadap diversifikasi
mengidentifikasi faktor determinan pola pangan (X10), kecenderungan terhadap
konsumsi pangan lokal rumah tangga di diversifikasi pangan (X11), pengenalan
Provinsi Lampung, digunakan analisis terhadap pangan lokal (X12), aksesibilitas
deskriptif kuantitatif dan analisis dengan (X13), dan kesukaan (X14) diperoleh dari
model ekstraksi Principal Component skor total pada masing-masing variabel,
Analysis (PCA). Menurut Pudjowidodo kemudian diubah menjadi data interval
(2010), model analisis komponen utama dengan Succesive Interval Method.
dapat dirumuskan sebagi berikut:
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Fm = ℓm1X1 + ℓm2X2+ ℓmpXp …............ (2)
3.1. Kondisi Sosial Ekonomi Rumah
Jika ditulis dalam bentuk matrik menjadi: Tangga
F = ℓ’X …………………..…...................... (3) Seluruh responden merupakan ibu
Keterangan: rumah tangga berjumlah 180 orang.
F = Faktor Principal Components Sebesar 97,78 persen ibu rumah tangga
X1 = Umur (tahun) berada pada kelompok usia 15–64 tahun.
X2 = Lama pendidikan formal (tahun) Tingkat pendidikan formal ibu rumah tangga
X3 = Jumlah anggota rumah tangga sebagian besar antara 6–9 tahun (SD–
(orang/rumahtangga) SMP,) yaitu sebanyak 163 orang (90,56
X4 = Pendapatan sampingan ibu persen). Rumah tangga di daerah
rumah tangga (Rupiah/bulan) penelitian termasuk dalam kriteria rumah
X5 = Lama waktu tempuh dari rumah ke tangga kecil dengan jumlah anggota ≤ 4
penjual (menit) orang, yaitu sebanyak 140 rumah tangga
X6 = Harga bihun tapioka atau beras (77,78 persen). Selain menjadi ibu rumah
siger (Rupiah/porsi) tangga, sebesar 36,67 persen ibu rumah
X7 = Jarak dari rumah ke penjual tangga memiliki pekerjaan sampingan.
(kilometer) Sebagian besar bekerja sebagai pedagang
X8 = Pengetahuan gizi dengan kisaran pendapatan sebesar
X9 = Pengetahuan tentang diversifikasi Rp100.000,00 sampai dengan
pangan Rp3.000.000,00 atau rata-rata
X10 = Sikap terhadap diversifikasi Rp327.111,00 per bulan. Dalam hal
pangan pengetahuan gizi, sebagian besar ibu
X11 = Kecenderungan terhadap rumah tangga termasuk dalam klasifikasi
diversifikasipangan pengetahuan gizi yang rendah.
X12 = Pengenalan terhadap pangan Pengetahuan gizi merupakan salah satu
lokal faktor internal yang memengaruhi pemilihan
X13 = Aksesibilitas terhadap pangan pangan. Kemampuan ibu rumah tangga
lokal dalam menjawab berbagai pertanyaan
X14 = Kesukaan mengenai pangan dan gizi menunjukkan
D = Pekerjaan sampingan ibu rumah tingkat pengetahuan gizi ibu rumah tangga
tangga (D =1, jika ibu rumah tersebut.
tangga memiliki pekerjaan 3.2. Kesiapan Psikologis Rumah
sampingan dan D = 0, jika tidak Tangga terhadap Diversifikasi
memiliki pekerjaan sampingan) Konsumsi Pangan Lokal
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
Dalam kamus Psikologi, kesiapan Menurut Rachman dan Ariani (2008),
(readiness) diartikan sebagai suatu titik pengembangan diversifikasi konsumsi
kematangan untuk menerima dan pangan penduduk tidak terlepas dari tingkat
mempraktikkan tingkah laku tertentu. pengetahuan tentang pangan dan gizi.
Kesiapan psikologis rumah tangga Meskipun dalam dimensi pengetahuan dari
terhadap diversifikasi pangan meliputi variabel kesiapan psikologis ibu rumah
pengetahuan, sikap terhadap diversifikasi tangga di daerah penelitian berada dalam
pangan, dan kecenderungan untuk kategori rendah, namun dimensi sikap
mengonsumsi pangan sumber karbohidrat rumah tangga terhadap diversifikasi pangan
nonberas. Berdasarkan ketiga dimensi berada pada kategori sedang. Dalam
tersebut, sebagian besar rumah tangga dimensi kecenderungan mengonsumsi
memiliki kesiapan psikologis terhadap pangan nonberas, ibu rumah tangga di
diversifikasi pangan lokal pada kategori daerah penelitian berada pada kategori

Gambar 1. Kesiapan Psikologis Rumah Tangga terhadap Pangan Lokal Berdasarkan


Dimensi Pengetahuan, Sikap, dan Kecenderungan

sedang. Kesiapan psikologis berdasarkan tinggi.


dimensi pengetahuan, sikap, dan
kecenderungan terhadap pangan lokal oleh Pada dasarnya, masyarakat telah
rumah tangga di Provinsi Lampung dapat terbiasa mengonsumsi pangan lokal, sesuai
dilihat pada Gambar 1. dengan ketersediaan pangan yang ada,
sehingga kecenderungan mengonsumsi
Jika ditinjau secara parsial, sebagian pangan lokal di kalangan masyarakat cukup
besar pengetahuan rumah tangga terhadap tinggi. Namun, alasan mengonsumsi bukan
diversifikasi pangan berada pada kategori berdasarkan pengetahuan, melainkan
rendah. Semua responden rumah tangga karena faktor kebiasaan. Pengetahuan
pernah mendengar istilah diversifikasi rumah tangga terhadap diversifikasi pangan
pangan, namun hanya sebatas mengetahui yang rendah dapat disebabkan oleh tingkat
bahwa diversifikasi pangan adalah program pendidikan formal yang rendah. Dari
pemerintah dan tidak memahami tujuan penelitian ini diketahui sebesar 90,56
serta manfaat diversifikasi pangan. Hal ini persen ibu rumah tangga mengenyam
menunjukkan bahwa program diversifikasi pendidikan formal antara 6–9 tahun (SD–
pangan yang telah berjalan belum difahami SMP). Menurut Hidayah (2011), tingkat
oleh masyarakat. pendidikan yang relatif lebih tinggi
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
berpengaruh terhadap pengetahuan motivasi konsumsinya masih bersifat
tentang diversifikasi pangan pokok. ekstrinsik, yaitu terpaksa mengonsumsi
Penduduk pedesaan sebagian besar belum singkong karena harga beras yang sulit
mengetahui program diversifikasi pangan, terjangkau akibat tingkat perekonomian
meskipun sebagian lainnya telah yang rendah. Ketela atau singkong
mengetahui program tersebut. Adapun merupakan pilihan pangan karena sebagian
penduduk perkotaan relatif lebih besar rumah tangga menanam sendiri.
mengetahui pengertian diversifikasi pangan Adapun pada masyarakat perkotaan,
pokok sebagai usaha penganekaragaman meskipun pengetahuan dan sikap terhadap
jenis bahan pangan dan cara diversifikasi pangan yang dimiliki penduduk
pengolahannya. Hal ini berkaitan dengan perkotaan relatif lebih mendukung, namun
aksesibilitas media dan teknologi informasi konsumsi pangan lokal hanya sebatas
di perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan sebagai selingan. Selain itu, penelitian
pedesaan. Satmalawati dan Falo (2016) juga
menunjukkan hasil yang sama, bahwa
Menurut Sumaryanto (2009),
masyarakat di Kecamatan Insana Barat,
diversifikasi pangan erat kaitannya dengan
NTT mengonsumsi pangan lokal singkong
persepsi, sehingga kebiasaan makan
ketika pendapatan menurun.
individu dapat dipengaruhi oleh faktor
budaya, persepsi individu, keluarga, dan 3.3. Pola Konsumsi Pangan Lokal
masyarakat. Oleh karena itu, tahap awal Rumah Tangga
untuk mewujudkan diversifikasi pangan
Konsumsi pangan adalah jenis dan
adalah dengan mengubah persepsi. Untuk
jumlah pangan (baik bentuk segar maupun
mengubah pola konsumsi masyarakat,
olahan) yang dikonsumsi oleh seseorang
dibutuhkan upaya untuk memengaruhi
atau penduduk dalam jangka waktu tertentu
persepsi masyarakat terhadap pangan
(maupun konsumsi normatif) untuk hidup
yang akan dikonsumsi.
sehat dan produktif (Badan Ketahanan
Menurut Hardono (2014), Pangan, 2018). Komoditas pangan sumber
pemanfaatan potensi lahan dan kebiasaan karbohidrat nonberas yang dikonsumsi oleh
mengonsumsi pangan lokal dapat menjadi rumah tangga di daerah penelitian adalah
peluang tercapainya program diversifikasi jagung, singkong, ubi jalar, pisang, dan
konsumsi berbasis pangan lokal. Oleh kentang. Secara berturut-turut, jenis
karena itu, dengan peningkatan pangan golongan umbi-umbian yang
pengetahuan kepada masyarakat luas dikonsumsi oleh rumah tangga di daerah
tentang pentingnya diversifikasi konsumsi penelitian adalah singkong, ubi jalar, dan
pangan lokal, khususnya manfaat pangan kentang dengan rata-rata jumlah konsumsi
lokal bagi kesehatan, serta didukung oleh sebesar 174,83 gram/rumah tangga/hari
faktor kebiasaan masyarakat dalam atau 44,83 gram/kapita/hari. Apabila
mengonsumsi pangan lokal dapat menjadi dibandingkan dengan angka konsumsi ideal
peluang yang sangat berarti untuk pada pola pangan harapan (PPH) untuk
mewujudkan ketahanan pangan melalui kelompok umbi-umbian, yaitu sebesar 100
diversifikasi konsumsi pangan lokal gram/hari/kapita, maka konsumsi energi
masyarakat. rumah tangga di daerah penelitian masih di
bawah angka ideal.
Hasil penelitian ini selaras dengan
hasil penelitian Hidayah (2011) yang Hasil penelitian menunjukkan bahwa
menunjukkan bahwa masyarakat perkotaan secara berturut-turut, jenis pangan lokal
dan pedesaan di Daerah Istimewa yang paling banyak dan sering dikonsumsi
Yogyakarta memiliki sikap positif terhadap oleh rumah tangga adalah singkong,
diversifikasi pangan pokok, namun pisang, dan jagung. Singkong merupakan
masyarakat pedesaan sudah menerapkan pangan lokal sumber karbohidrat yang
diversifikasi pangan pokok meskipun memiliki jumlah konsumsi tertinggi
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
dibandingkan pangan lokal lain, yaitu karena faktor ketersediaan, selain juga
sebesar 52 persen. Kondisi ini sejalan mengonsumsi singkong dalam bentuk
dengan kenyataan bahwa Provinsi segar. Setelah singkong, pisang
Lampung merupakan produsen tertinggi merupakan salah satu pangan lokal yang
singkong di Indonesia, sehingga juga banyak dikonsumsi oleh rumah tangga
konsumsinya didukung oleh aspek di daerah penelitian, terutama Kelurahan
ketersediaan (Kementerian Pertanian, Pinang Jaya. Kondisi ini sejalan dengan
2018). Jenis-jenis pangan lokal sumber kenyataan bahwa Provinsi Lampung
karbohidrat nonberas yang dikonsumsi oleh merupakan produsen pisang tertinggi
rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 2. kedua setelah Provinsi Jawa Timur pada
tahun 2017 (Badan Pusat Statistik, 2018).
Pisang merupakan salah satu buah yang
banyak dikonsumsi rumah tangga karena
hasil kebun sendiri dan banyak dijual
JAGUNG
dengan harganya yang relatif murah,
16% sehingga aksesibilitas rumah tangga
terhadap pisang tergolong tinggi.
UBI
JALAR Dalam hal konsumsi beras siger,
UBI KAYU
10% ditemukan kondisi yang berbeda dengan
52%
KENTANG bihun tapioka, dimana di daerah sekitar
2% agroindustri beras siger konsumsi beras
PISANG
20%
siger tidak tinggi. Hal tersebut terjadi karena
agroindustri beras siger di daerah penelitian
tidak menjual produknya kepada
masyarakat sekitar, melainkan hanya untuk
memenuhi pesanan Dinas Ketahanan
Pangan, sehingga ketersediaan beras siger
Gambar 2. Jenis Konsumsi Pangan Lokal bagi rumah tangga sekitar agroindustri
Non Beras di Daerah sedikit dan menyebabkan konsumsinya pun
Penelitian tidak tinggi. Adapun konsumsi beras siger
(tiwul) rumah tangga di daerah sekitar
Menurut Hardono (2014), pola agroindustri beras siger diperoleh dengan
diversifikasi konsumsi pangan di tingkat cara membeli bukan dari agroindustri beras
rumah tangga dapat berbeda-beda karena siger setempat atau membuat sendiri.
banyaknya faktor yang dapat berpengaruh.
Pola diversifikasi pangan juga dapat Berbagai jenis pangan lokal
berbeda antarwilayah maupun antarwaktu. dikonsumsi oleh rumah tangga dalam
Apabila dilihat lebih lanjut, rumah tangga di bentuk segar dan olahan. Namun, sebagian
Kota Metro memiliki konsumsi singkong besar rumah tangga lebih sering
tertinggi dibandingkan daerah penelitian mengonsumsi singkong dalam bentuk
lain. Rata-rata jumlah singkong yang segar. Bentuk segar yang dimaksud adalah
dikonsumsi oleh rumah tangga di Kota singkong yang dimasak tanpa diolah
Metro sebesar 1.638,75 dengan mengubah bentuk asli, yaitu hanya
gram/rumahtangga/minggu atau 58,53 mengalami pengolahan secara minimal
gram/kapita/hari. Hal tersebut disebabkan dengan cara direbus/kukus dan digoreng.
rumah tangga di Kota Metro adalah rumah Pada dasarnya, singkong merupakan jenis
tangga yang berada di sekitar agroindustri pangan lokal yang dikonsumsi dalam
singkong olahan berupa bihun tapioka, berbagai macam jenis olahan dan banyak
sehingga masyarakat sekitar sudah dijual sebagai jajanan tradisional.
mengenal dan terbiasa mengonsumsi Konsumsi singkong lebih banyak disajikan
singkong dengan berbagai olahannya dalam bentuk kudapan atau makanan
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
selingan. Terdapat 16 jenis olahan energi ideal dari golongan umbi-umbian
singkong yang dikonsumsi rumah tangga di dapat tercapai sesuai anjuran/PPH.

200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0

gram/RT/hari jumlah RT

Gambar 3. Jenis Pangan Olahan Singkong yang di Konsumsi Rumah Tangga.

daerah penelitian. Jenis olahan singkong Menurut Mutakin (2016), untuk


tersebut disajikan pada Gambar 3. mencapai pola pangan ideal, sangat perlu
Berdasarkan Gambar 3 dapat untuk menyajikan pangan umbi-umbian di
diketahui bahwa singkong paling banyak meja makan setiap hari, sebab untuk
dikonsumsi oleh rumah tangga dalam mencapai PPH sesuai anjuran, umbi-
bentuk segar, yaitu dalam bentuk singkong umbian perlu dikonsumsi 100
rebus/kukus atau goreng. Jumlah rumah gram/hari/kapita. Menurut Hardono (2014),
tangga yang mengonsumsi singkong skor PPH terkait pangan lokal yang relatif
sebanyak 67 rumah tangga (37,2 persen) masih rendah bukan berarti masyarakat
dan mengonsumsinya dengan cara tidak mengonsumsi pangan lokal.
direbus/dikukus dan digoreng. Rata-rata Masyarakat sudah mengonsumsi pangan
jumlah singkong yang dikonsumsi dalam lokal, tetapi masih dalam porsi relatif sedikit
bentuk singkong goreng dan rebus dan tidak rutin, sehingga belum mampu
sebanyak 182, 46 gram/rumahtangga/hari menyubstitusi konsumsi pangan pokok
atau 45,62 gram/kapita/hari. Jika utamanya, yaitu beras. Pangan lokal
dikonversikan ke dalam satuan energi, sumber karbohidrat, seperti singkong dan
maka konsumsi energi yang dihasilkan dari jagung, lebih banyak disajikan dalam
singkong goreng dan rebus adalah sebesar bentuk kudapan atau pangan selingan.
331,53 kkal/rumah tangga atau sekitar Hasil penelitian ini juga menunjukkan fakta
82,88 kkal/kapita. Jika konsumsi energi yang sama dengan yang disampaikan oleh
ideal yang dianjurkan PPH untuk golongan Hardono (2014). Diversifikasi konsumsi
umbi-umbian sebesar 100 gram/hari/kapita pangan ke arah nonberas kurang memiliki
atau 120 kkal/hari/kapita, maka konsumsi makna apabila pangan umbi-umbian atau
singkong segar ini berkontribusi sebesar jenis pangan lokal lain hanya sekedar
69,07 persen. Jika dikonsumsi bersamaan dijadikan snack (Wigna dan Khomsan,
dengan jenis umbi-umbian lain pada hari 2011).
yang sama, maka diharapkan konsumsi

Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
3.4. Faktor Dominan Konsumsi Pangan besar nilai varian, maka semakin besar
Lokal Rumah Tangga pengaruhnya terhadap faktor yang
terbentuk. Nilai eigen value dan varian
Pada penelitian ini terdapat 14
pada masing-masing faktor dapat dilihat
variabel yang berkaitan dengan konsumsi
pada Tabel 2.
pangan lokal yang dianalisis. Hasil analisis
Penamaan faktor-faktor yang
Tabel 2. Nilai Eigen Value dan Varian pada Enam Faktor
Faktor Nilai Eigen Value Presentase Varian (%) Kumulatif Varian (%)
1 3,496 24,968 24,968
2 2,399 17,137 42,105
3 1,861 13,290 55,395
4 1,115 7,968 63,363
5 1,047 7,479 70,842

menunjukkan nilai KMO-MSA sebesar


terbentuk berdasarkan nilai faktor loading
0,672 dan Bartlett’s Test of Sphericity
tertinggi. Faktor dominan yang membentuk
dengan signifikansi sebesar 0,000. Nilai
pola konsumsi pangan lokal rumah tangga
tersebut menunjukkan bahwa antar variabel
di Provinsi Lampung adalah faktor
terjadi korelasi dan data dapat dilakukan
pengenalan dan penerimaan pangan lokal.
analisis faktor lebih lanjut. Selain itu, nilai
Faktor ini meliputi indikator lama waktu
MSA pada masing-masing variabel yang
tempuh, harga produk, pengenalan dan
ditunjukkan oleh nilai anti-image correlation
penerimaan pangan lokal, aksesibilitas, dan
memiliki nilai di atas 0,5 sehingga seluruh
kesukaan. Antar variabel dalam faktor yang
variabel dinyatakan layak untuk dianalisis
terbentuk memiliki korelasi. Nilai rotasi
lebih lanjut. Hasil analisis faktor
faktor tiap variabel dalam membentuk pola
berdasarkan nilai KMO dan Bartlett’s Test of
konsumsi pangan lokal rumah tangga dapat
Sphericity dapat dilihat pada Tabel 1.
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1. Nilai KMO dan Bartlett’s Test of Hasil analisis faktor pada Tabel 3
Sphericity menunjukkan bahwa tingkat pengenalan
dan penerimaan rumah tangga terhadap
Keterangan Nilai pangan lokal merupakan variabel dengan
Kaiser-Meyer-Olkin Measure 0,679 korelasi tertinggi pada faktor 1 yang
of Sampling (KMO) membentuk pola pemilihan dan konsumsi
Bartlett's Test 1135,366 pangan lokal rumah tangga di Provinsi
of Sphericity Lampung. Tingkat pengenalan seseorang
Sig. 0,000 terhadap suatu jenis pangan akan
berpengaruh terhadap pemilihan pangan
Berdasarkan hasil uji analisis faktor, yang bersangkutan. Seseorang akan
maka terbentuk 5 faktor dengan nilai eigen cenderung memilih jenis pangan yang
value setiap faktor lebih dari 1, sehingga sudah dikenal dan familiar untuk
total varian ke enam faktor tersebut adalah dikonsumsi. Hasil penelitian menunjukkan
sebesar 70,842. Nilai tersebut bahwa sebagian besar rumah tangga sudah
menunjukkan bahwa sebesar 70,842 mengenal pangan lokal dan berbagai
persen konsumsi pangan lokal rumah olahannya. Rumah tangga yang memiliki
tangga di Provinsi Lampung dapat tingkat pengenalan tinggi terhadap pangan
dijelaskan oleh lima faktor yang terbentuk. lokal adalah rumah tangga yang berada di
Faktor 1 berkontribusi sebesar 24,968 sekitar atau dekat dengan agroindustri
persen dalam membentuk pola konsumsi singkong. Di lain sisi, sebesar 32,78 persen
pangan lokal oleh rumah tangga. Semakin responden rumah tangga yang memiliki
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
Tabel 3. Nilai Rotasi Faktor
No. Variabel Faktor Faktor
Loading
1 Lama waktu tempuh 0,758
2 Harga produk 0,735 Faktor penerimaan dan
3 Pengenalan dan penerimaan pangan lokal 0,844 pengenalan pangan lokal
4 Aksesibilitas 0,654
5 Kesukaan 0,696
6 Pengetahuan gizi 0,842
Pengetahuan gizi
7 Pengetahuan diversfikasi pangan lokal 0,807
8 Sikap terhadap diversifikasi pangan lokal 0,634
9 Pendapatan 0,901
Pekerjaan
10 Pekerjaan 0,927
11 Usia ibu rumah tangga -0,790
Pendidikan
12 Lama pendidikan 0,810
13 Jumlah anggota rumah tangga 0,833
Jumlah anggota rumah
14 Kecenderungan terhadap diversifikasi 0,530
tangga
konsumsi pangan lokal

tingkat pengenalan dan penerimaan rendah Rumah tangga dengan tingkat aksesibilitas
terhadap pangan lokal adalah rumah rendah adalah rumah tangga di Desa
tangga yang bukan bertempat tinggal di Mulyorejo, Kabupaten Pringsewu dan
sekitar agroindustri pangan lokal olahan, Keluarahan Pinang Jaya, Kota Bandar
yaitu masyarakat di Desa Mulyorejo. Lampung yang berada jauh dari
Kabupaten Pringsewu dan Kelurahan agroindustri pangan lokal. Sebaliknya,
Pinang Jaya, Kota Bandar Lampung. rumah tangga dengan tingkat aksesibilitas
tinggi adalah rumah tangga yang berada di
Akses terhadap produk pangan juga
sekitar agroindustri bihun tapioka di Kota
mempengaruhi perilaku pemilihan pangan.
Metro. Adapun rumah tangga dengan
Menurut Rachman (2010), peningkatan
tingkat aksesibilitas sedang adalah rumah
aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan
tangga sekitar agroindustri beras siger di
patut dikedepankan karena bertujuan untuk
Desa Margosari, Kabupaten Pringsewu.
meningkatkan penganekaragaman
Dari kenyataan ini terlihat bahwa kedekatan
konsumsi pangan menuju gizi seimbang
dengan agroindustri tidak menjamin
dan memantapkan ketahanan pangan
aksesibilitas yang tinggi, dalam hal ini
rumahtangga. Dari sisi fisik, aksesibilitas
ditentukan oleh usia agroindustri serta
perlu peningkatan ketersediaan pangan
tingkat distribusi produk agroindustri
dalam ragam jenis, jumlah, mutu, dan
tersebut.
sesuai selera. Dalam hal ini, aksesibilitas
fisik pangan juga terkait dengan kelancaran Hardono (2014) menyatakan bahwa
distribusi atau infrastruktur jalan. salah satu faktor yang berkaitan dengan
diversifikasi pangan adalah ketersediaan
Tingkat aksesibilitas rumah tangga
pangan alternatif dan hal ini menentukan
terhadap pangan lokal diukur berdasarkan
tingkat pengenalan terhadap pangan
indikator besar usaha, jumlah
tersebut. Pengenalan terhadap produk
penjual/warung yang menyediakan pangan
merupakan tahapan awal yang dilalui ketika
lokal, kondisi jalan, transportasi, lebar jalan,
mengambil keputusan dalam mengonsumsi
kualitas jalan, dan tata letak produk.
pangan lokal. Kenyataan ini sesuai dengan
Sebesar 53,00 persen rumah tangga
hasil penelitian Rahmawati, dkk. (2018)
menilai bahwa aksesibilitas terhadap
yang mendapatkan bahwa keputusan
pangan lokal berada pada kategori rendah.
pemilihan pangan lokal olahan rumah
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
tangga diawali tahap pengenalan dan konsumsi pangan lokal rumah tangga
kebutuhan. adalah kesukaan. Sebagian besar rumah
tangga menyukai pangan lokal. Jika ditinjau
Selain tingkat pengenalan dan secara parsial, sebagian besar rumah
penerimaan, lama waktu tempuh dan harga tangga yang menyukai pangan lokal adalah
produk merupakan variabel pada faktor 1 rumah tangga sekitar agroindustri bihun
yang membentuk pola pemilihan dan tapioka di Kota Metro. Adapun rumah
konsumsi pangan lokal rumah tangga. tangga yang sebagian besar tidak menyukai
Menurut Nainggolan (2011), salah satu pangan lokal adalah rumah tangga yang
prasyarat untuk menjamin agar seluruh berada di sekitar dan bukan sekitar
rumah tangga dapat memperoleh pangan agroindustri beras siger di Desa Margosari
dalam jumlah dan kualitas yang cukup dan Mulyorejo, Kecamatan Pagelaran
sepanjang waktu dengan harga yang Utara, Kabupaten Pringsewu. Rumah
terjangkau adalah sistem distribusi yang tangga bukan sekitar agroindustri di
efisien. Dalam hal ini, lama waktu tempuh Kelurahan Pinang Jaya sebagian besar
dan harga pangan berkaitan dengan berada pada kategori suka dan sedang
aksesbiilitas fisik dan ekonomi rumah terhadap pangan lokal. Dari kondisi ini
tangga. Lama waktu tempuh dari rumah ke terlihat bahwa kesukaan terhadap pangan
warung/penjual sekitar 5–10 menit, lokal tidak selalu berkaitan dengan
sedangkan harga rata-rata bihun tapioka ketersediaan pangan tersebut.
dan beras siger yang dibeli oleh rumah
tangga adalah Rp11.000,00 sampai dengan Selain faktor tingkat pengenalan dan
Rp12.000,00. Hal ini selaras dengan penerimaan pangan lokal, faktor
hukum permintaan yang menyatakan pengetahuan gizi dan lama pendidikan
bahwa permintaan dipengaruhi oleh harga adalah faktor yang membentuk pola
barang itu sendiri. Hasil penelitian konsumsi pangan lokal rumah tangga di
Budiningsih (2009) dalam Hardono (2014) Provinsi Lampung. Hasil analisis faktor
menunjukkan bahwa salah satu faktor menunjukkan bahwa pengetahuan gizi
diversifikasi pangan dipengaruhi oleh harga berkaitan dengan kesiapan psikologis
pangan. Harga pangan berkaitan dengan masyarakat terhadap diversifikasi konsumsi
aksesibilitas ekonomomi rumah tangga pangan berdasarkan dimensi pengetahuan
yang dicerminkan oleh daya beli. dan sikap. Pengetahuan yang baik akan
mendasari sikap seseorang terhadap
Harga beras siger yang cukup tinggi pemilihan pangan, sehingga pada akhirnya
yaitu antara Rp11.000,00 sampai dengan menentukan tindakan yang tepat untuk
Rp12.000,00 lebih tinggi daripada harga mengonsumsi pangan yang beragam.
beras padi antara Rp8.000,00 sampai Seseorang yang memiliki pengetahuan gizi
dengan Rp10.000,00 menjadi penghambat dan diversifikasi pangan yang tinggi akan
konsumen memilih beras siger. Dari memperluas spektrum pemilihan pangan
penelitian ini diketahui bahwa rumah tangga lokal, sehingga dapat mendorong
yang mengonsumsi beras siger sebagian peningkatan diversifikasi konsumsi pangan
besar adalah beras siger (tiwul) yang dibuat lokal.
sendiri (tidak membeli). Kenyataan tersebut
sejalan dengan kenyataan tingginya harga Hasil penelitian Sayekti, dkk. (2017)
relatif beras siger terhadap beras padi. menunjukkan bahwa kesiapan psikologis
Rumah tangga yang mengonsumsi beras rumah tangga terhadap diversifikasi pangan
siger dari pembelian adalah rumah tangga lokal berpengaruh nyata positif terhadap
yang mengonsumsi beras siger untuk pola konsumsi pangan, dimana dimensi
alasan Kesehatan yaitu untuk konsumen kecenderungan konsumsi pangan lokal
yang sakit diabetes. berada pada kategori tinggi. Hasil
penelitian ini juga selaras dengan penelitian
Salah satu variabel lainnya dalam Hanani, dkk. (2008) yang menunjukkan
faktor 1 yang membentuk pola pemilihan
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
bahwa diversifikasi pangan secara nyata pengenalan, dan penerimaan masyarakat
dipengaruhi oleh pendidikan ibu dan kepala terhadap pangan lokal meningkat, sehingga
rumah tangga, sedangkan hasil penelitian dapat mendorong terbentuknya pola
Budiningsih (2009) dalam Hardono (2014) konsumsi pangan lokal dalam rangka
menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyukseskan program diversifikasi
memengaruhi diversifikasi pangan adalah konsumsi pangan lokal.
pengetahuan gizi pangan.
IV. KESIMPULAN
Selain faktor pengenalan dan
Berdasarkan hasil penelitian, maka
pengetahuan gizi, jumlah anggota rumah
beberapa hal dapat disimpulkan yaitu
tangga juga membentuk pola konsumsi
sebagian besar rumah tangga
pangan lokal rumah tangga di Provinsi
mengonsumsi pangan lokal dalam bentuk
Lampung. Semakin banyak jumlah
pangan segar, sedangkan pangan lokal
anggota rumah tangga, maka beban yang
olahan hanya dikonsumsi oleh sebagian
akan ditanggung rumah tangga akan
kecil rumah tangga yang berada di sekitar
semakin besar, termasuk dalam
agroindustri pangan lokal. Singkong adalah
pemenuhan konsumsi pangan. Oleh karena
pangan lokal yang paling banyak
itu, rumah tangga biasanya mengatasi hal
dikonsumsi oleh rumah tangga di Provinsi
tersebut dengan cara meningkatkan
Lampung. Hasil analisis faktor
pendapatan rumah tangga atau
menunjukkan bahwa berdasarkan 14 faktor
mengurangi pengeluaran pangan rumah
yang dianalisis, maka terbentuk 5 kelompok
tangga. Biasanya ibu rumah tangga juga
faktor, yaitu faktor pengenalan dan
bekerja untuk meningkatkan pendapatan
penerimaan, pengetahuan gizi, pendidikan,
rumah tangga. Hasil penelitian
pekerjaan, dan jumlah anggota rumah
menunjukkan bahwa ibu rumah tangga
tangga. Faktor pengenalan dan penerimaan
yang bekerja merupakan salah satu faktor
konsumen terhadap pangan lokal
yang membentuk pola konsumsi pangan
merupakan faktor determinan yang
lokal di Provinsi Lampung. Hal tersebut
menentukan konsumsi pangan lokal di
selaras dengan hasil penelitian Rahmawati,
Provinsi Lampung.
dkk. (2018) yang menunjukkan bahwa pola
konsumsi pangan rumah tangga di Kota UCAPAN TERIMA KASIH
Metro dipengaruhi oleh jumlah anggota
Terima kasih disampaikan kepada
rumah tangga, usia ibu rumah tangga, dan
Direktorat Penelitian dan Pengabdian
tingkat pengetahuan gizi ibu rumah tangga. Masyarakat Direktorat Jendral Pendidikan
Hasil penelitian sejenis lainnya juga Tinggi Kementerian Riset Teknologi dan
menunjukkan bahwa pendapatan dan Pendidikan Tinggi atas bantuan dana penelitian
jumlah anggota rumah tangga yang diberikan. Ucapan terima kasih juga
memengaruhi pola konsumsi pangan disampaikan kepada Ade Novia Rahmawati,
rumah tangga di Kabupaten Pringsewu S.P., Meri Handayani, S.P., Fadila Ismi Bazai,
(Handayani dkk. , 2019). S.P., dan Tyas Sekartiara Syafani, S.P., M.Si.
atas bantuannya dalam mengumpulkan dan
Berdasarkan hasil penelitian yang menganalisis data.
telah dipaparkan, kesiapan psikologis
DAFTAR PUSTAKA
masyarakat terhadap diversifikasi pangan
menjadi hal yang perlu diperhatikan. Apriani, S dan Y. F. Baliwati. 2011. Faktor-
Masyarakat memiliki kecenderungan Faktor Yang Berpengaruh Terhadap
konsumsi pangan lokal yang cukup tinggi, Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat di
namun belum didasarkan pada Perdesaan dan Perkotaan. Jurnal Gizi dan
Pangan, 6(3):200–207.
pengetahuan terhadap pangan dan gizi
serta diversifikasi pangan yang tepat. Badan Ketahanan Pangan. 2019. Direktori
Sosialisasi pangan lokal perlu ditingkatkan Perkembangan Konsumsi Pangan. Badan
secara masif agar pengetahuan, Ketahanan Pangan Kementerian
Pertanian. Jakarta.
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
Badan Pusat Statistik. 2019. Pengeluaran untuk Rachman, H. P. S. 2010. Aksesibilitas Pangan:
Konsumsi Penduduk Indonesia. Buku I. Faktor Kunci Pencapaian Ketahanan
Badan Pusat Statistik. Jakarta. Pangan di Indonesia. Jurnal Pangan,
Volume 19 No. 1, Juni 2010. Halaman 147–
Dimitri, C. and S. Rogus. 2014. Food Choices,
156. DOI: 10.33964/jp.v19i2.128.
Food Security, and Food Policy. Journal of
International Affairs, 67(2):19–31. Rahmawati, A. N., W. D. Sayekti, dan R. H.
Ismono. (2018). Pengambilan Keputusan
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik
Dalam Pemilihan Pangan Lokal Olahan
Indonesia. 2005. Daftar Komposisi Bahan
dan Pola Konsumsi Pangan Rumah
Makanan. Departemen Kesehatan.
Tangga di Kota Metro. Jurnal Ilmu-Ilmu
Jakarta.
Agribisnis, Volume 6 No. 2, Mei 2018.
Hanani, N., R. Asmara, dan Y. Nugroho. (2008).
Satmalawati, E. M. dan M. Falo. 2016.
Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan
Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok
dalam Memantapkan Ketahanan Pangan
Berbasis Potensi Lokal Dalam Mewujudkan
Masyarakat Pedesaan. Jurnal AGRISE
Ketahanan Pangan di Kecamatan Insana
8(1):46-54 .[http://agrise.ub.ac.id/index.php
Barat Kabupaten Timor Tengah Utara NTT.
/agrise/ article/vi ew/4/2.... ].
Makalah disampaikan pada Seminar
Handayani, M., W. D. Sayekti, dan R. H. Ismono. Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian
(2019). Pola Konsumsi Pangan Rumah Masyarakat. 29–30 Agustus 2016. UNMAS
Tangga pada Desa Pelaksana dan Bukan Denpasar, Bali.
Pelaksana Program Percepatan
Sayekti, W. S., D. A. Lestari, dan H. Ismono.
Penganekaragaman Konsumsi Pangan
(2017). Kesiapan Psikologis Ibu Rumah
(P2KP) di Kabupaten Pringsewu. Jurnal
Tangga Terhadap Diverisifikasi Pangan
Ilmu-Ilmu Agribisnis, Volume 7 No. 1,
dan Pola Pangan Rumah Tangga di Kota
Februari 2019.
Metro, Provinsi Lampung. Prosiding
Hardono, G. S. 2014. Strategi Pengembangan Seminar Nasional BKS PTN Wilayah Barat
Diversifikasi Pangan Lokal. Jurnal Pusat Bidang Pertanian Juli 2017 di Pangkal
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Pinang.
Bogor.
Sugiarto, D. Siangian, L. T. Sunaryanto, dan D.
Hidayah, N. 2011. Kesiapan psikologis S. Oetomo. 2003. Teknik Sampling. PT
masyarakat pedesaan dan perkotaan Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
menghadapi diversifikasi pangan pokok.
Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah
Jurnal Humanitas, 8(1):88–104.
Satu Pilar Ketahanan Pangan. Forum
Kementerian Pertanian. 2018. Statistik Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27 No. 2
Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta. Desember 2009: 93–108. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Mutakin, M. D. (2016). Intensitas Konsumsi
Jakarta.
Pangan Lokal Sumber Karbohidrat Non-
Beras Dalam Upaya Diversifikasi Pangan di Suyastiri, N. M. 2008. Diversifikasi Konsumsi
Desa Hargorejo Kecamatan Kokap, Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal
Kabupaten Kulon Progo. Jurnal GEA dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan
(Pendidikan Geografi), Volume 16, Nomor Rumahtangga di Pedesaan Gunung Kidul.
2, Oktober 2016. Program Pascasarjana Jurnal Ekonomi Pembangunan. 13(1):
Fakultas Geografi Universitas Gadjah 5160.
Mada, Yogyakarta.
Wigna, W dan A. Khomsan. 2011. Kearifan
Nainggolan, K. 2011. Persoalan Pangan Global Lokal dalam Diversifikasi Pangan. Jurnal
dan Dampaknya terhadap Ketahanan Pangan, Volume 20 No. 3, September
Pangan Nasional. Jurnal Pangan, Volume. 2011. Halaman 283–294. DOI :
20 No. 1 Maret 2011. Halaman 1–13. DOI : 10.33964/jp.v20i3.171
10.33964/jp.v20i1.11
Yanuarti, A. R dan M. D. Afsari. 2016. Profil
Pudjowidodo P. 2010. Analisis Faktor. Komoditas Barang Kebutuhan Pokok dan
http://statistikarotasi.wordpress.com.[ Barang Penting Komoditas Tepung Terigu.
diakses 29 September 2019]. Kementerian Perdagangan. Jakarta.

Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
BIODATA PENULIS :

Wuryaningsih Dwi Sayekti dilahirkan di


Ponorogo, 22 Agustus 1960. Penulis
menyelesaikan pendidikan S1 Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
(GMSK) Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor lulus tahun 1983, pendidikan S2
Program GMSK Program Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor pada tahun 1992, dan
S3 Program Studi Manajemen Universitas
Pajajaran, lulus tahun 2012.
Dyah Aring Hepiana Lestari dilahirkan di
Malang 18 September 1962. Penulis
menyelesaikan pendidikan S1 Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor lulus tahun 1985, pendidikan
S2 diselesaikan pada tahun 1994 dari Fakultas
Ekonomi dan Akuntansi Universitas
Padjajaran, dan S3 dari Jurusan Ilmu-Ilmu
Pertanian dengan minat Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada,
lulus pada tahun 2012.
Hanung Ismono dilahirkan di Jakarta, 23 Juni
1962. Penulis menyelesaikan pendidikan S1
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, lulus tahun
1985. Kemudian, melanjutkan pendidikan S2
dan S3 pada Jurusan Pembangunan
Pertanian Universitas Padjajaran dan lulus
tahun 1995 dan 2002.

Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan
Sumberdaya Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan Sumberdaya
Manusia di Era Revolusi Industri4.0, 23 September 2019, Universitas Pajajaran Bandung (tidak dipublikasikan)..

Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung


Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono

Anda mungkin juga menyukai