DI KABUPATEN BANDUNG
ABSTRAK
Salah satu cara mengetahui kemandirian pangan melalui kualitas keragaman konsumsi pangan yang
diukur dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH). PPH dapat digunakan sebagai ukuran keseimbangan
gizi dan keanekaragaman pangan yang dikonsumsi oleh penduduk di suatu wilayah. Skor PPH
maksimal, yaitu 100 menunjukkan situasi konsumsi pangan yang beragam dan baik komposisi serta
mutu gizinya (Baliwati, 2011). Pada prakteknya capaian indikator kualitas dan kuantitas pangan di
Kabupaten Bandung belum tercapai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besaran keluarga, tingkat
pendidikan, dan tingkat pendapatan terhadap PPH di Kabupaten Bandung. Metode dasar penelitian ini
adalah metode eksplanasi (Eksplanatory Research). Penentuan Kecamatan Paseh dan Pasirjambu
dilakukan secara Purposive Sampling, yaitu ditentukan kecamatan tertinggi dan terendah PPHnya.
Selanjutnya ukuran responden dengan menggunakan teknik Slovin. Untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi PPH di Kabupaten Bandung menggunakan teknik analisis regresi berganda dan
pengujiannya dilakukan dengan menggunakan program SPSS 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
besaran keluarga, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan berpengaruh positif terhadap PPH
Kabupaten Bandung. Artinya semakin tinggi besaran keluarga, tingkat pendidikan dan tingkat
pendapatan maka semakin tinggi pula PPH di Kabupaten Bandung.
Kata kunci: besaran keluarga, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, Pola Pangan Harapan
ABSTRACT
One way to know food self-sufficiency through the quality of food consumption diversity as measured
by Food Harvest Scale (PPH) scores, hereinafter abbreviated as PPH. PPH can be used as a measure
of nutritional balance and food diversity consumed by residents in a region. The maximum PPH score,
100 indicates the diverse food consumption situation and both the composition and quality of nutrition
(Baliwati, 2011). In practice, the achievement of food quality and quantity indicator in Bandung
Regency has not been achieved. This study aims to determine the size of family, education level, and
income level of PPH in Bandung regency. The basic method of this research is the explanatory method
(Eksplanatory Research). The determination of Paseh and Pasirjambu sub-districts was conducted by
purposive sampling, which is determined by the highest and lowest kecamatan PPH. Furthermore the
size of respondents using Slovin techniques. To know the factors that influence the PPH in Bandung
regency using multiple regression analysis technique and the test is done by using SPSS 20 program.
The result of the research shows that the family size, education level and income level have positive
influence on PPH Kabupaten Bandung. This means that the higher the size of the family, the level of
education and income level then the higher the PPH in Bandung regency.
Keywords: family size, education level, income level, Food Pattern of Hope (PPH)
132
Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH
Volume 6, Nomor 1, Januari 2019: 132-143
Provinsi Jawa Barat menetapkan Peraturan merupakan konsep penting dalam promosi
Daerah Tentang Kemandirian Pangan kesehatan. Indikator yang digunakan untuk
Daerah No 4 Tahun 2012. Perda mengikat mengetahui kuantitas konsumsi pangan
individu maupun lembaga yang berada adalah Angka Kecukupan Energi (AKE).
dalam ruang lingkup kebijakan tersebut Kabupaten Bandung sebagai daerah
agar dicapai pemecahan masalah dalam otonom memiliki kewajiban dalam
mewujudkan kemandirian pangan. menyelenggarakan urusan ketahanan
Kebijakan sebagai tata kelola dan wujud pangan, salah satunya yaitu upaya
intervensi terhadap masyarakat dalam pencapaian PPH sesuai dengan harapan.
rangka mewujudkan kemandirian pangan di Tingkat konsumsi pangan penduduk
Jawa Barat. Kabupaten Bandung pada tahun 2014 masih
Implikasi dari adanya Perda Provinsi berada di bawah standar pelayanan minimal
Jawa Barat tentang Kemandirian Pangan bidang ketahanan pangan. Berdasarkan data
adalah keharusan mendorong kemandirian Susenas Tahun 2011 yang diolah, penduduk
pangan bagi Pemerintah Kabupaten/Kota di Kabupaten Bandung baru mengonsumsi
seluruh Jawa Barat termasuk Kabupaten energi sebesar 98.5% dari AKE atau setara
Bandung. Perda Provinsi Jawa Barat dengan 2.070 kkal/kapita/hari. Menurut
sebagai pedoman bagi Pemerintah Daerah Peraturan Menteri Kesehatan RI No.75
dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam tahun 2013 Tentang Angka Kecukupan Gizi
memberikan pelayanan dan insentif kepada yang dianjurkan adalah 2150
masyarakat untuk mewujudkan kkal/kapita/hari dan 57 gram. Mengacu
kemandirian pangan daerah; dan pedoman pada ketentutan maka angka 98.5% dinilai
bagi masyarakat untuk berperan dalam masih kurang seperti dinyatakan dalam data
mewujudkan kemandirian pangan daerah Kementerian Kesehatan RI tahun 2016
termasuk bagi Kabupaten Bandung. kategori Kurang: adalah 70≤100% AKE.
Konsumsi pangan merupakan output Proporsi asupan masih bersumber pada
pembangunan ketahanan pangan di suatu karbohidrat sebesar 58%. Keragaman
wilayah. Oleh karena itu, asupan pangan masih rendah di Kabupaten
penganekaragaman konsumsi pangan Bandung.
merupakan isu penting yang harus Pemerintah Kabupaten Bandung
ditingkatkan upaya pencapaiannya. berupaya untuk mengoptimalkan upaya
Azadbakht dkk (2005) menegaskan bahwa menuju kemandirian pangan. Kebijakan
variasi makanan akan menentukan tingkat ditujukan untuk mengatasi masalah seperti
kulitas kecukupan gizi. Variasi makanan lemahnya peningkatan dan pengembangan
133
Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH
Volume 6, Nomor 1, Januari 2019: 132-143
134
Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH
Volume 6, Nomor 1, Januari 2019: 132-143
135
Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH
Volume 6, Nomor 1, Januari 2019: 132-143
adanya pembagian atau distribusi makanan keluarga terhadap PPH pada Kecamatan
yang tidak merata pada anggota keluarga Paseh dan Kecamatan Pasirjambu
sehingga mempengaruhi konsumsi Kabupaten Bandung, jadi semakin tinggi
makanan, status gizi, dan skor PPH besaran keluarga, semakin baik pula PPH
keluarga. Keluarga pada Kecamatan Paseh dan
PPH mencerminkan susunan Kecamatan Pasirjambu Kabupaten
konsumsi pangan anjuran untuk hidup Bandung, begitu pula sebaliknya semakin
sehat, aktif, dan produktif. Berdasarkan rendah besaran keluarga maka PPH
skor pangan dari sembilan bahan pangan. Keluarga pada Kecamatan Paseh dan
Ketersediaan pangan sepanjang waktu Kecamatan Pasirjambu Kabupaten
dalam jumlah yang cukup dan harga Bandung juga akan rendah.
terjangkau sangat menentukan tingkat
konsumsi pangan ditingkat rumah tangga. Pengaruh Tingkat Pendidikan (X2)
Selanjutnya pola konsumsi pangan rumah Terhadap PPH
tangga akan berpengaruh pada konsumsi Berdasarkan hasil analisis yang
pangan (Depkes RI, 2005). Oleh karena itu, dilakukan menunjukkan bahwa pengaruh
sangat penting untuk menjaga komposisi tingkat pendidikan terhadap PPH pada
pangan masyarakat sesuai dengan anjuran Kecamatan Paseh dan Kecamatan
hidup sehat dan produktif. Sehingga dengan Pasirjambu Kabupaten Bandung
mengupayakan PPH yang baik diharapkan berpengaruh positif. Hasil analisis tersebut
dapat terwujud ketahanan pangan di berdasarkan nilai signifikan tingkat
Indonesia. Dalam aplikasinya PPH dikenal pendidikan sebesar 0,002<0,05 yang artinya
dengan pola konsumsi pangan yang tingkat pendidikan terhadap terhadap PPH
Beragam, Bergizi Seimbang dan Aman atau pada Kecamatan Paseh dan Kecamatan
dikenal dengan istilah menu B2SA. Dengan Pasirjambu Kabupaten Bandung
terpenuhinya kebutuhan energi dari berpengaruh positif. Hal tersebut sesuai
berbagai kelompok pangan sesuai dengan dengan nilai t hitung sebesar 8,75. Nilai
PPH maka secara implisit kebutuhan zat tersebut harus lebih besar dari t Tabel,
gizi lainnya juga terpenuhi. Oleh karena itu dimana distribusi t dicari pada = 5%
skor PPH mencerminkan mutu gizi dengan dk (100-3-1) = 96, maka diperoleh t
konsumsi pangan dan tingkat keragaman Tabel sebesar 1,98. Oleh karena nilai t
konsumsi pangan. Hitung > t Tabel (8,75>1,98) maka Ho
Maka jelaslah penelitian ini ditolak, artinya secara parsial terdapat
menunjukkan bahwa pengaruh besaran pengaruh yang signifikan antara tingkat
137
Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH
Volume 6, Nomor 1, Januari 2019: 132-143
bentuk uang. Pendapatan adalah sumber sebanyak 43 (65,1%). Hal ini dapat terjadi
daya material yang sangat penting bagi karena pada suatu keluarga tidak semua dari
masyarakat, karena dengan pendapatan pendapatan yang diperoleh di pakai untuk
itulah seseorang bisa membiayai konsumsi makanan, contohnya pada
konsumsinya. Jumlah pendapatan akan keluarga yang melebihkan anggaran untuk
menggambarkan besarnya daya beli dari pendidikan anak-anaknya daripada untuk
seseorang. Daya beli akan menggambarkan makanan yang dikonsumsi sehingga status
banyaknya produk dan jasa yang bisa dibeli gizi anggota keluarga menjadi kurang.
dan dikonsumsi oleh seseorang dan seluruh Berbagai upaya perbaikan gizi
angota keluarganya. biasanya berorientasi pada tingkat
Pendapatan dan penerimaan menurut pendapatan keluarga. Semakin
Biro Pusat Satatistik dibedakan sebagai meningkatnya pendapatan, maka
berikut 1)Pendapatan faktor yang kecukupan makanan dapat terpenuhi.
didistribusikan, yang dibagi lagi menurut Dengan demikian tingkat pendapatan
sumbernya menjadi: a)Penghasilan gaji dan keluarga memiliki faktor utama dalam
upah; b)Penghasilan dari usaha sendiri dan pemilihan bahan makanan yang berkualitas.
pekerjaan bebas; c)Penghasilan dari Besar kecilnya pendapatan rumah tangga
pemilikan harta; 2)Transfer yang bersifat juga tidak lepas dari pekerjaan dari orang
redistributif, terutama terjadi dari transfer tua serta tingkat pendidikan (Soekirman,
pendapatan yang tidak mengikat dan 1991). Dengan demikian jika tingkat
biasanya bukan merupakan imbalan atas pendapatan perkapitanya tinggi maka skor
penyerahan barang, jasa atau harta milik. PPH tentu akan tinggi, ini sesuai dengan
Hasil penelitian menunjukkan ada pendapat dari Djiteng Roedjito (1989),
hubungan antara tingkat pendapatan bahwa besar kecilnya pendapatan keluarga
terhadap PPH pada Kecamatan Paseh dan berpengaruh terhadap pola konsumsi dan
Kecamatan Pasirjambu Kabupaten status gizi individu, maka apabila suatu
Bandung. Hasil penelitian menunjukkan keluarga berpenghasilan tinggi maka
keluarga dengan tingkat pendapatan rendah mereka mampu membeli pangan bergizi.
memiliki skor PPH kurang sebanyak 26 Selain itu, Tingkat pendapatan keluarga
keluarga (76,4%) dan dengan skor PPH dapat digunakan untuk dua tujuan yaitu
tinggi sebanyak 8 keluarga (23,5%). konsumsi dan tabungan. Besar kecilnya
Keluarga yang tingkat pendapatan tinggi pendapatan yang diterima seseorang akan
dengan skor PPH kurang sebanyak 23 mempengaruhi pola konsumsi.
(34,8%) dan dengan skor PPH tinggi
139
Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH
Volume 6, Nomor 1, Januari 2019: 132-143
140
Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH
Volume 6, Nomor 1, Januari 2019: 132-143
Caraher M., dan Coveney.,J (2004) Public Protein serta Penilaian Mutu Gizi
health nutrition and food policy. Konsumsi Pangan. Wirasari, Jakarta.
Public Health Nutrition: 7(5), 591–59 Hardinsyah, Yayuk FB, Martianto D.,
Chamberlain.,K (2004) Food and Handewi SR, Agus W., dan
Health:Expanding the Agendafor Subiyakto. 2001. Pengembangan
Health Psychology. JOURNAL OF Konsumsi Pangan dengan
HEALTH PSYCHOLOGY 9(4 ) 471- Pendekatan Pola Pangan Harapan.
781 Pusat Studi Kebijakan Pangan dan
David, Fred R. 2006. Manajemen Strategis gizi IPB, Lembaga Penelitian IPB dan
Edisi 10. Penerbit Salemba Empat, Pusat Pengembangan Ketersediaan
Jakarta. pangan Departemen Pertanian
Departemen Kesehatan. 1996. Panduan 13 Harper, I. J. , B. J. Draton & J. A. Driskel.
Pesan Dasar Gizi Seimbang. Ditjen 1988. Pangan, Gizi dan Pertanian
Pembinaan Kesehatan Masyarakat, (Suhardjo, penerjemah). Universitas
Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Indonesia Press, Jakarta.
Jakarta. Hikam, AS (2014) Menyongsong 2014-
Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan 2019. memeperkuat Indonesia dalam
Umum Ketahanan Pangan 2005- Dunia yang berubah. Jakarta cv.
2009. Dewan Ketahanan Pangan, rumah buku
Jakarta. Hutabarat, J dan M. Huseini. 2006.
Dewan Ketahanan Pangan. 2011. Kebijakan Operasionalisasi Strategi. PT Elex
Umum Ketahanan Pangan 2010- Media Komputindo, Jakarta
2014. Dewan Ketahanan Pangan, Kahraman, Cengiz, Nihan Etin Demirel,
Jakarta. Tufan Demirel. 2007. Prioritization
Firman Noer TA. 2002. Strategi of e-Government Strategies using a
Pengembangan Agribisnis Sapi SWOT-AHP Analysis: The Case of
Potong di Kawasan Sentra Produksi Turkey. European Journal of
Koto Hilalang Kabupaten Agam Information Systems 16.3 (Jul 2007):
Propinsi Sumatera Barat. Program 284-298
Studi Magister Manajemen Khomsan, Ali. 2002. Pangan dan Gizi
Agribisnis Program Pascasarjana IPB dalam Dimensi Kesejahteraan.
Frankenberger, TR. 1992. Indicators and Jurusan GMSK Fakultas Pertanian
Data Collection Methods for IPB, Bogor.
Assessing Household Food Security Kriyantono, Rachmat. 2009. Teknik Praktis
di dalam: Maxwell S, Frankenberger Riset Komunikasi. Kencana Prenada
TR. Household Food Security: Media Group, Malang.
Concepts, Indocators, Measurements, Lang.,T dan Barling.,D (2013) Conference
A Technical Review. UNICEF-IFAD on ‘Future food and
Hardinsyah dan Drajat Martianto. 1992. health’Symposium I: Sustainability
Gizi Terapan. PAU Pangan dan Gizi and food security. Proceedings of the
IPB, Bogor Nutrition Society (2013), 72, 1–12
Hardinsyah, Dodik B., Retnaningsih, Lubis dan Arianti (2011) Dampak
Herawati, Retno W. 2002. Analisis Liberalisasi WTO
Kebutuhan Konsumsi Pangan. Pusat TerhadapKetahanan pangan beras dan
Studi Kebijakan pangan dan Gizi IPB gula. Buletin Ilmiah Litbang
dan Pusat Pengembangan Konsumsi Perdagangan, Vol. 5 No. 2. pp 148-
Pangan Badan Bimas Ketahanan 163
Pangan, Departemen Pertanian Lutz.,J dan Schachinger.,J (2013) Do Local
Hardinsyah, Drajat Martianto. 1989. Food Networks Foster Socio-
Menaksir Kecukupan Energi dan EcologicalTransitions towards Food
141
Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH
Volume 6, Nomor 1, Januari 2019: 132-143
142
Jurnal Ilmiah Mahasiswa AGROINFO GALUH
Volume 6, Nomor 1, Januari 2019: 132-143
143