Provinsi Lampung*
Determinant Factor of the Local Food Consumption of the Households
in Lampung Province
Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
Jurusan Agribisnis Universitas Lampung
Jl. Prof. Dr. Sumantri Brojonegoro No.1, Kota Bandar Lampung
E-mail: sayekti_wur@yahoo.co.id
Diterima: 21 Februari 2020 Revisi: 28 Juli 2020 Disetujui: 12 Agustus 2020
ABSTRAK
Diversifikasi konsumsi pangan merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Pengembangan pangan lokal olahan menjadi sangat penting untuk diversifikasi konsumsi pangan berbasis
potensi sumber daya lokal. Bihun tapioka dan beras siger (tiwul) merupakan pangan lokal olahan yang sudah
banyak dikenal oleh masyarakat Provinsi Lampung sebagai sumber karbohidrat nonberas. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pola konsumsi dan mengidentifikasi faktor determinan pada konsumsi pangan
lokal olahan (bihun tapioka dan beras siger) rumah tangga. Penelitian dilaksanakan di Kota Bandar Lampung,
Kota Metro, dan Kabupaten Pringsewu, Provinsi Lampung menggunakan metode survei. Pemilihan lokasi
dilakukan secara sengaja (purposive). Sampel penelitian terdiri dari 180 rumah tangga yang dipilih secara
acak. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dengan kuesioner. Metode analisis data
yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis faktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa singkong
merupakan jenis pangan lokal yang paling banyak dikonsumsi oleh rumah tangga. Hasil analisis faktor
menunjukkan bahwa berdasarkan 14 faktor yang dianalisis, maka terbentuk 5 kelompok faktor, yaitu faktor
pengenalan dan penerimaan, pengetahuan gizi, pendidikan, pekerjaan, dan jumlah anggota rumah tangga.
Faktor pengenalan dan penerimaan konsumen terhadap pangan lokal merupakan faktor determinan yang
menentukan konsumsi pangan lokal di Provinsi Lampung.
kata kunci: diversifikasi konsumsi, pangan lokal, faktor determinan
ABSTRACT
Diversification of food consumption is an effort to realize food security. Development of processed local
food becomes very important for diversification of food consumption based on the potential of local resources.
Tapioca vermicelli and siger rice are processed local food widely known by the people of Lampung Province
as a substitute for carbohydrate sources of tubers. This research addresses to determine consumption and
identify the determinants of household processed local food consumption (tapioca vermicelli and siger rice).
The study was conducted in Bandar Lampung City, Metro City, and Pringsewu District, Lampung Province,
using survey methods. The research location was selected purposively. The research sample consisted
of 180 households that were selected randomly. Interviews with questionnaires collected data. Data were
analyzed with descriptive and factor analysis. The results showed that cassava is the most consumed
local food. Based on the 14 factors analyzed, formed five factors, namely the recognition and acceptance
factors, nutritional knowledge, education, wive’s job, and the number of household members. The factor of
consumer recognition and acceptance of local food was a determinant factor of local food consumption in
Lampung Province.
keywords: consumption diversification, local food, the determinant factor
*Makalah di seminarkan dalam Seminar Lokakarya Nasional: Peran Perguruan Tinggi Pertanian dalam Menghasilkan Sumberdaya
Manusia di Era Revolusi Industri4.0, Universitas Pajajaran Bandung, 23 September 2018 (tidak dipublikasikan)
Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung 127
Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
dari produksi dalam negeri, serta terjangkau dari Menurut Suyastiri (2008) impor pangan dalam
waktu ke waktu. Saat ini kondisi konsumsi pangan jangka pendek dapat menjadi obat kelaparan,
di Indonesia didominasi oleh beras, sebagian namun dalam jangka panjang tidak hanya
besar masyarakat menganggap bahwa beras menguras devisa, tetapi juga mengabaikan
merupakan satu-satunya sumber karbohidrat. aneka sumber daya lokal. Oleh karena itu,
Menurut Kementerian Pertanian (2018), sekitar program diversifikasi konsumsi pangan sangat
97 persen penduduk Indonesia mengonsumsi penting dalam rangka mewujudkan ketahanan
sumber karbohidrat dari beras. Daerah-daerah pangan, mengurangi ketergantungan beras
yang dulunya mengonsumsi pangan sumber dan impor terigu, serta menganekaragamkan
karbohidrat nonberas, seperti sagu, jagung dan konsumsi pangan masyarakat menuju pola
umbi-umbian saat ini berubah mengonsumsi pangan harapan (PPH) yang ideal.
beras. Konsumsi beras masyarakat Indonesia
Upaya diversifikasi pangan sudah lama
rata-rata mencapai 114,6 kg/tahun/kapita atau
dilaksanakan, namun hasilnya belum sesuai
314 gram/kapita/hari. Peningkatan jumlah
dengan harapan. Menurut Badan Ketahanan
penduduk yang diiringi dengan tingginya
Pangan (2019) selama periode 2013 sampai
jumlah konsumsi beras menyebabkan upaya
2018 perkembangan pola konsumsi pangan
penyediaan beras juga semakin berat setiap
sumber karbohidrat masih didominasi oleh
tahun. Hal tersebut dapat menimbulkan kesulitan
kelompok padi-padian terutama beras dan
dalam pengadaan beras dan mengakibatkan
terigu, sedangkan kontribusi umbi-umbian
melemahnya ketahanan pangan. Selain itu, pola
masih rendah. Meskipun, kontribusi energi yang
konsumsi penduduk yang tidak proporsional
berasal dari konsumsi kelompok padi-padian
karena didominasi oleh sumber karbohidrat dari
(beras, jagung, dan terigu) pada tahun 2017
nasi dapat menyebabkan efek yang kurang baik
mengalami sedikit penurunan dibandingkan
bagi kesehatan.
dengan tahun 2016, yaitu dari 59,3 persen
Pemerintah berupaya untuk menekan menjadi sebesar 58,4 persen, namun tahun
konsumsi beras, namun sebagian masyarakat 2018 meningkat kembali menjadi 60,7 persen.
justru menjadikan terigu sebagai pengganti Tingkat konsumsi energi padi-padian tersebut
beras sehingga proporsi pengeluaran telah melebihi komposisi anjuran, yaitu sebesar
kelompok pangan masyarakat Indonesia masih 50 persen. Selain itu, skor keberagaman
didominasi oleh padi-padian. Masyarakat pangan (Pola Pangan Harapan/PPH) juga
mulai mengonsumsi mi instan dan roti sebagai belum sesuai dengan yang ditargetkan. Untuk
sumber karbohidrat alternatif pengganti beras Provinsi Lampung, skor PPH aktual pada tahun
dan sudah dikenal serta diterima secara luas 2018 sebesar 86,4 (BKP, 2019).
oleh masyarakat. Menurut Yanuarti dan Afsari
Dalam Undang-Undang Pangan Nomor
(2016), konsumsi tepung terigu di Indonesia
18 tahun 2012 dinyatakan bahwa ketahanan
terus meningkat sejalan dengan tumbuhnya
pangan perlu diwujudkan dengan diversifikasi
konsumsi mi instan, roti, biskuit dan cookies.
konsumsi berbasis pangan lokal. Didukung
Pada tahun 2015 konsumsi tepung terigu
pula oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
nasional menjadi 396.477 ton/tahun atau 1,552
17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan
kg/kapita/tahun. Berdasarkan hasil Survei
dan Gizi yang menyatakan bahwa diversifikasi
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) rata-rata
pangan diselenggarakan untuk meningkatkan
konsumsi terigu masyarakat Indonesia bulan
ketahanan pangan dengan memperhatikan
September 2019 sebesar 0,201 kg/kapita/
sumberdaya, kelembagaan, dan budaya lokal,
bulan atau 2,412 kg/kapita/tahun (Badan Pusat
dengan cara meningkatkan keanekaragaman
Statistik, 2019). Konsumsi terigu tahun 2019
pangan, mengembangkan teknologi pengolahan
tersebut naik 55 persen dari konsumsi tahun
dan produk pangan, serta meningkatkan
2015. Hampir 95 persen makanan berbahan
kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi
baku tepung terigu sebenarnya adalah jenis
aneka ragam pangan dengan prinsip gizi
makanan introduksi, bukan makanan asli
seimbang. Berdasarkan PP tersebut, diketahui
Indonesia. Hal tersebut menyebabkan impor
bahwa pada dasarnya diversifikasi pangan
gandum dan tepung terigu terus dilakukan.
Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung 129
Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
S² = Variasi sampel (5 persen = 0,05) mengajukan pertanyaan dan memberikan skor
Z = Tingkat kepercayaan (95 persen = 1,96) untuk alternatif jawaban yang dipilih. Pemberian
d = Derajat penyimpangan (5 persen = 0,05) skor didasarkan pada skala Likert dengan
skala 1 sampai 5. Uji validitas menggunakan
Berdasarkan perhitungan tersebut, jumlah analisis korelasi Product Moment, sedangkan
sampel di Kota Metro adalah 71 rumah tangga uji reliabilitas menggunakan Cronbach Alpha.
dan Kabupaten Pringsewu sebanyak 72 rumah Dari hasil uji validitas dan reliabilitas diperoleh
tangga. Penentuan jumlah sampel pada masing- bahwa seluruh indikator pada variabel yang
masing pekon (desa) di sekitar agroindustri diukur adalah valid dan reliabel. Kuesioner yang
bihun tapioka di Metro dan agroindustri beras telah valid dan reliabel dapat digunakan untuk
siger di Pekon Margosari dilakukan dengan mengumpulkan data.
acak sederhana, sedangkan sampel yang
bukan di sekitar agroindustri di Pekon Mulyorejo Konsumsi pangan lokal olahan rumah
dan Kelurahan Pinang Jaya ditentukan dengan tangga diperoleh dengan metode recall pada
quota sampling. Oleh karena itu, jumlah sampel periode satu minggu terakhir. Untuk menghitung
dari masing-masing pekon secara berturut-turut kandungan energi pangan yang dikonsumsi
di Kota Metro, Desa Margosari, Desa Mulyorejo, digunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan
dan Kota Bandar Lampung adalah 71, 39, 35, (DKBM) (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan
dan 35 rumah tangga. Republik Indonesia, 2005). Data sekunder
diperoleh dari instansi terkait serta dari literatur
2.2. Jenis dan Teknik Pengumpulan, serta yang mencakup antara lain data konsumsi
Analisis Data pangan masyarakat.
Jenis data yang digunakan adalah data Metode analisis yang digunakan untuk
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh mengetahui pola konsumsi pangan lokal
dengan metode wawancara terstruktur dengan adalah analisis deskriptif, sedangkan untuk
kuesioner yang mencakup antara lain data mengidentifikasi faktor determinan pola
pendapatan, pendidikan, pengetahuan gizi, konsumsi pangan lokal rumah tangga di
pengetahuan tentang diversifikasi pangan Provinsi Lampung, digunakan analisis deskriptif
dan sikap terhadap diversifikasi pangan, dan kuantitatif dan analisis dengan model ekstraksi
kecenderungan mengonsumsi pangan pokok Principal Component Analysis (PCA). Menurut
nonberas, pengenalan terhadap bihun tapioka Pudjowidodo (2010), model analisis komponen
serta data konsumsi bihun tapioka rumah utama dapat dirumuskan sebagi berikut:
tangga.
Fm = ℓm1X1 + ℓm2X2+ ℓmpXp ….................. (2)
Skala pengukuran variabel kesiapan
psikologis dalam menghadapi diversifikasi Jika ditulis dalam bentuk matrik menjadi:
pangan, pengetahuan gizi ibu rumah tangga, dan F = ℓ’X …………………..…............................ (3)
tingkat pengenalan dan penerimaan konsumen Keterangan:
terhadap pangan lokal adalah skala ordinal,
maka kuesioner untuk variabel-variabel tersebut F = Faktor Principal Components
terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. X1 = Umur (tahun)
Variabel kesiapan psikologis meliputi indikator X2 = Lama pendidikan formal (tahun)
pengetahuan tentang diversifikasi pangan dan X3 = Jumlah anggota rumah tangga (orang/
pangan lokal (dimensi pengetahuan), indikator rumahtangga)
peran pangan lokal dalam mewujudkan X4 = Pendapatan sampingan ibu rumah
diversifikasi pangan, pentingnya mengonsumsi tangga (Rupiah/bulan)
pangan lokal, dan pentingnya sosialisasi X5 = Lama waktu tempuh dari rumah ke
diversifikasi pangan pokok (dimensi sikap), dan penjual (menit)
indikator konsumsi pangan lokal dan pemilihan
X6 = Harga bihun tapioka atau beras siger
pangan lokal (dimensi kecenderungan untuk (Rupiah/porsi)
mengonsumsi pangan lokal nonberas).
X7 = Jarak dari rumah ke penjual (kilometer)
Indikator-indikator tersebut dinilai dengan
Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung 131
Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
Gambar 1. Kesiapan Psikologis Rumah Tangga terhadap Pangan Lokal Berdasarkan Dimensi
Pengetahuan, Sikap, dan Kecenderungan
kecenderungan mengonsumsi pangan lokal Menurut Hardono (2014), pemanfaatan
di kalangan masyarakat cukup tinggi. Namun, potensi lahan dan kebiasaan mengonsumsi
alasan mengonsumsi bukan berdasarkan pangan lokal dapat menjadi peluang tercapainya
pengetahuan, melainkan karena faktor program diversifikasi konsumsi berbasis pangan
kebiasaan. Pengetahuan rumah tangga lokal. Oleh karena itu, dengan peningkatan
terhadap diversifikasi pangan yang rendah dapat pengetahuan kepada masyarakat luas tentang
disebabkan oleh tingkat pendidikan formal yang pentingnya diversifikasi konsumsi pangan
rendah. Dari penelitian ini diketahui sebesar lokal, khususnya manfaat pangan lokal bagi
90,56 persen ibu rumah tangga mengenyam kesehatan, serta didukung oleh faktor kebiasaan
pendidikan formal antara 6–9 tahun (SD–SMP). masyarakat dalam mengonsumsi pangan lokal
Menurut Hidayah (2011), tingkat pendidikan dapat menjadi peluang yang sangat berarti
yang relatif lebih tinggi berpengaruh terhadap untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui
pengetahuan tentang diversifikasi pangan diversifikasi konsumsi pangan lokal masyarakat.
pokok. Penduduk pedesaan sebagian besar
Hasil penelitian ini selaras dengan hasil
belum mengetahui program diversifikasi pangan,
penelitian Hidayah (2011) yang menunjukkan
meskipun sebagian lainnya telah mengetahui
bahwa masyarakat perkotaan dan pedesaan
program tersebut. Adapun penduduk perkotaan
di Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki
relatif lebih mengetahui pengertian diversifikasi
sikap positif terhadap diversifikasi pangan
pangan pokok sebagai usaha penganekaragaman
pokok, namun masyarakat pedesaan sudah
jenis bahan pangan dan cara pengolahannya.
menerapkan diversifikasi pangan pokok
Hal ini berkaitan dengan aksesibilitas media dan
meskipun motivasi konsumsinya masih bersifat
teknologi informasi di perkotaan yang lebih tinggi
ekstrinsik, yaitu terpaksa mengonsumsi singkong
dibandingkan pedesaan.
karena harga beras yang sulit terjangkau akibat
Menurut Sumaryanto (2009), diversifikasi tingkat perekonomian yang rendah. Ketela atau
pangan erat kaitannya dengan persepsi, sehingga singkong merupakan pilihan pangan karena
kebiasaan makan individu dapat dipengaruhi sebagian besar rumah tangga menanam sendiri.
oleh faktor budaya, persepsi individu, keluarga, Adapun pada masyarakat perkotaan, meskipun
dan masyarakat. Oleh karena itu, tahap awal pengetahuan dan sikap terhadap diversifikasi
untuk mewujudkan diversifikasi pangan adalah pangan yang dimiliki penduduk perkotaan relatif
dengan mengubah persepsi. Untuk mengubah lebih mendukung, namun konsumsi pangan
pola konsumsi masyarakat, dibutuhkan upaya lokal hanya sebatas sebagai selingan. Selain
untuk memengaruhi persepsi masyarakat itu, penelitian Satmalawati dan Falo (2016)
terhadap pangan yang akan dikonsumsi. juga menunjukkan hasil yang sama, bahwa
Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung 133
Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
rumah tangga di daerah sekitar agroindustri 46 gram/rumahtangga/hari atau 45,62 gram/
beras siger diperoleh dengan cara membeli kapita/hari. Jika dikonversikan ke dalam satuan
bukan dari agroindustri beras siger setempat energi, maka konsumsi energi yang dihasilkan
atau membuat sendiri. dari singkong goreng dan rebus adalah sebesar
331,53 kkal/rumah tangga atau sekitar 82,88
Berbagai jenis pangan lokal dikonsumsi
kkal/kapita. Jika konsumsi energi ideal yang
oleh rumah tangga dalam bentuk segar dan
dianjurkan PPH untuk golongan umbi-umbian
olahan. Namun, sebagian besar rumah tangga
sebesar 100 gram/hari/kapita atau 120 kkal/
lebih sering mengonsumsi singkong dalam
hari/kapita, maka konsumsi singkong segar
bentuk segar. Bentuk segar yang dimaksud
ini berkontribusi sebesar 69,07 persen. Jika
adalah singkong yang dimasak tanpa diolah
dikonsumsi bersamaan dengan jenis umbi-
dengan mengubah bentuk asli, yaitu hanya
umbian lain pada hari yang sama, maka
mengalami pengolahan secara minimal
diharapkan konsumsi energi ideal dari golongan
dengan cara direbus/kukus dan digoreng. Pada
umbi-umbian dapat tercapai sesuai anjuran/
dasarnya, singkong merupakan jenis pangan
PPH.
lokal yang dikonsumsi dalam berbagai macam
jenis olahan dan banyak dijual sebagai jajanan Menurut Mutakin (2016), untuk mencapai
tradisional. Konsumsi singkong lebih banyak pola pangan ideal, sangat perlu untuk menyajikan
disajikan dalam bentuk kudapan atau makanan pangan umbi-umbian di meja makan setiap hari,
selingan. Terdapat 16 jenis olahan singkong yang sebab untuk mencapai PPH sesuai anjuran,
dikonsumsi rumah tangga di daerah penelitian. umbi-umbian perlu dikonsumsi 100 gram/hari/
Jenis olahan singkong tersebut disajikan pada kapita. Menurut Hardono (2014), skor PPH
Gambar 3. terkait pangan lokal yang relatif masih rendah
Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui bukan berarti masyarakat tidak mengonsumsi
bahwa singkong paling banyak dikonsumsi oleh pangan lokal. Masyarakat sudah mengonsumsi
rumah tangga dalam bentuk segar, yaitu dalam pangan lokal, tetapi masih dalam porsi relatif
Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung 135
Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
Tabel 3. Nilai Rotasi Faktor
mempengaruhi perilaku pemilihan pangan. Pringsewu. Dari kenyataan ini terlihat bahwa
Menurut Rachman (2010), peningkatan kedekatan dengan agroindustri tidak menjamin
aksesibilitas rumahtangga terhadap pangan aksesibilitas yang tinggi, dalam hal ini ditentukan
patut dikedepankan karena bertujuan untuk oleh usia agroindustri serta tingkat distribusi
meningkatkan penganekaragaman konsumsi produk agroindustri tersebut.
pangan menuju gizi seimbang dan memantapkan
Hardono (2014) menyatakan bahwa salah
ketahanan pangan rumahtangga. Dari sisi fisik,
satu faktor yang berkaitan dengan diversifikasi
aksesibilitas perlu peningkatan ketersediaan
pangan adalah ketersediaan pangan alternatif
pangan dalam ragam jenis, jumlah, mutu, dan
dan hal ini menentukan tingkat pengenalan
sesuai selera. Dalam hal ini, aksesibilitas fisik
terhadap pangan tersebut. Pengenalan
pangan juga terkait dengan kelancaran distribusi
terhadap produk merupakan tahapan awal
atau infrastruktur jalan.
yang dilalui ketika mengambil keputusan dalam
Tingkat aksesibilitas rumah tangga mengonsumsi pangan lokal. Kenyataan ini
terhadap pangan lokal diukur berdasarkan sesuai dengan hasil penelitian Rahmawati, dkk.
indikator besar usaha, jumlah penjual/warung (2018) yang mendapatkan bahwa keputusan
yang menyediakan pangan lokal, kondisi jalan, pemilihan pangan lokal olahan rumah tangga
transportasi, lebar jalan, kualitas jalan, dan tata diawali tahap pengenalan kebutuhan.
letak produk. Sebesar 53,00 persen rumah
Selain tingkat pengenalan dan penerimaan,
tangga menilai bahwa aksesibilitas terhadap
lama waktu tempuh dan harga produk merupakan
pangan lokal berada pada kategori rendah.
variabel pada faktor 1 yang membentuk pola
Rumah tangga dengan tingkat aksesibilitas
pemilihan dan konsumsi pangan lokal rumah
rendah adalah rumah tangga di Desa Mulyorejo,
tangga. Menurut Nainggolan (2011), salah satu
Kabupaten Pringsewu dan Keluarahan Pinang
prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah
Jaya, Kota Bandar Lampung yang berada jauh
tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah
dari agroindustri pangan lokal. Sebaliknya,
dan kualitas yang cukup sepanjang waktu
rumah tangga dengan tingkat aksesibilitas tinggi
dengan harga yang terjangkau adalah sistem
adalah rumah tangga yang berada di sekitar
distribusi yang efisien. Dalam hal ini, lama waktu
agroindustri bihun tapioka di Kota Metro. Adapun
tempuh dan harga pangan berkaitan dengan
rumah tangga dengan tingkat aksesibilitas
aksesbiilitas fisik dan ekonomi rumah tangga.
sedang adalah rumah tangga sekitar agroindustri
Lama waktu tempuh dari rumah ke warung/
beras siger di Desa Margosari, Kabupaten
Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung 137
Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
jumlah anggota rumah tangga, usia ibu rumah DAFTAR PUSTAKA
tangga, dan tingkat pengetahuan gizi ibu rumah Apriani, S dan Y. F. Baliwati. 2011. Faktor-Faktor Yang
tangga. Hasil penelitian sejenis lainnya juga Berpengaruh Terhadap Konsumsi Pangan Sumber
menunjukkan bahwa pendapatan dan jumlah Karbohidrat di Perdesaan dan Perkotaan. Jurnal
anggota rumah tangga memengaruhi pola Gizi dan Pangan, 6(3):200–207.
konsumsi pangan rumah tangga di Kabupaten Badan Ketahanan Pangan. 2019. Direktori
Pringsewu (Handayani dkk. , 2019). Perkembangan Konsumsi Pangan. Badan
Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah Jakarta.
dipaparkan, kesiapan psikologis masyarakat Badan Pusat Statistik. 2019. Pengeluaran untuk
terhadap diversifikasi pangan menjadi hal yang perlu Konsumsi Penduduk Indonesia. Buku I. Badan
diperhatikan. Masyarakat memiliki kecenderungan Pusat Statistik. Jakarta.
konsumsi pangan lokal yang cukup tinggi, namun Dimitri, C. and S. Rogus. 2014. Food Choices, Food
belum didasarkan pada pengetahuan terhadap Security, and Food Policy. Journal of International
pangan dan gizi serta diversifikasi pangan yang Affairs, 67(2):19–31.
tepat. Sosialisasi pangan lokal perlu ditingkatkan Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik
secara masif agar pengetahuan, pengenalan, Indonesia. 2005. Daftar Komposisi Bahan
dan penerimaan masyarakat terhadap pangan Makanan. Departemen Kesehatan. Jakarta.
lokal meningkat, sehingga dapat mendorong Hanani, N., R. Asmara, dan Y. Nugroho. (2008).
Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan dalam
terbentuknya pola konsumsi pangan lokal dalam
Memantapkan Ketahanan Pangan Masyarakat
rangka menyukseskan program diversifikasi Pedesaan. Jurnal AGRISE 8(1):46-54 .[http://
konsumsi pangan lokal. agrise.ub.ac.id/index.php /agrise/ article/vi
IV. KESIMPULAN ew/4/2.... ].
Handayani, M., W. D. Sayekti, dan R. H. Ismono.
Berdasarkan hasil penelitian, maka beberapa (2019). Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga
hal dapat disimpulkan yaitu sebagian besar pada Desa Pelaksana dan Bukan Pelaksana
rumah tangga mengonsumsi pangan lokal Program Percepatan Penganekaragaman
dalam bentuk pangan segar, sedangkan pangan Konsumsi Pangan (P2KP) di Kabupaten
lokal olahan hanya dikonsumsi oleh sebagian Pringsewu. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis, Volume
7 No. 1, Februari 2019.
kecil rumah tangga yang berada di sekitar
agroindustri pangan lokal. Singkong adalah Hardono, G. S. 2014. Strategi Pengembangan
Diversifikasi Pangan Lokal. Jurnal Pusat Sosial
pangan lokal yang paling banyak dikonsumsi
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
oleh rumah tangga di Provinsi Lampung. Hasil
Hidayah, N. 2011. Kesiapan psikologis masyarakat
analisis faktor menunjukkan bahwa berdasarkan pedesaan dan perkotaan menghadapi diversifikasi
14 faktor yang dianalisis, maka terbentuk 5 pangan pokok. Jurnal Humanitas, 8(1):88–104.
kelompok faktor, yaitu faktor pengenalan dan Kementerian Pertanian. 2018. Statistik Pertanian.
penerimaan, pengetahuan gizi, pendidikan, Kementerian Pertanian. Jakarta.
pekerjaan, dan jumlah anggota rumah tangga. Mutakin, M. D. (2016). Intensitas Konsumsi Pangan
Faktor pengenalan dan penerimaan konsumen Lokal Sumber Karbohidrat Non-Beras Dalam
terhadap pangan lokal merupakan faktor Upaya Diversifikasi Pangan di Desa Hargorejo
determinan yang menentukan konsumsi pangan Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo.
lokal di Provinsi Lampung. Jurnal GEA (Pendidikan Geografi), Volume 16,
Nomor 2, Oktober 2016. Program Pascasarjana
UCAPAN TERIMA KASIH Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada,
Terima kasih disampaikan kepada Direktorat Yogyakarta.
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Nainggolan, K. 2011. Persoalan Pangan Global
Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Riset dan Dampaknya terhadap Ketahanan Pangan
Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas bantuan dana Nasional. Jurnal Pangan, Volume. 20 No. 1
penelitian yang diberikan. Ucapan terima kasih juga Maret 2011. Halaman 1–13. DOI: 10.33964/
disampaikan kepada Ade Novia Rahmawati, S.P., jp.v20i1.11
Meri Handayani, S.P., Fadila Ismi Bazai, S.P., dan Pudjowidodo P. 2010. Analisis Faktor. http://
Tyas Sekartiara Syafani, S.P., M.Si. atas bantuannya statistikarotasi.wordpress.com. [ diakses 29
dalam mengumpulkan dan menganalisis data. September 2019].
Faktor Determinan Konsumsi Pangan Lokal Rumah Tangga di Provinsi Lampung 139
Wuryaningsih Dwi Sayekti, Dyah Aring Hepiana Lestari, dan Hanung Ismono
140 PANGAN, Vol. 29 No. 2 Agustus 2020 : 127 – 140