Oleh Kelompok IV
1. Ria Ramadhani D. A 126070300111006
2. Lola Despitasari 126070300111010
3. Lina Handayani 126070300111022
4. Dian Shinta 126070300111023
5. Nur Ainiyah 126070300111025
6. Mustriwi 126070300111026
7. I Made Sukma Wijaya 126070300111026
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan
untuk menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum
tindakan/perawatan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang
berguna bagi kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan
tepat, maka sering dimanfaatkan untuk memperoleh pelayanan pertolongan
pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang
menginginkan pelayanan secara cepat. Oleh karena itu diperlukan perawat yang
mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan keperawatan
gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau
potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak
di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat
dikendalikan.
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek
keperawatan gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang
berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan
meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara
bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi asuhan keperawatan gawat darurat, yaitu : kondisi kegawatan
seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang datang
ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu, adanya saling
ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja di
ruang gawat darurat, keperawatan diberikan untuk semua usia dan sering dengan
data dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan dengan
ketepatan yang tinggi (Maryuani, 2009).
Mengingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang
mendasar pada kasus gawat darurat, maka setiap perawat gawat darurat harus
berkompeten dalam melakukan pengkajian gawat darurat. Keberhasilan
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang konsep pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tentang konsep pengkajian gawat darurat pada pasien
dewasa yang meliputi : primary assessment, secondary
assessment, focused assesment, diagnostic procedure.
b. Menyusun format pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan dalam makalah ini adalah dari beberapa studi literatur dan
jurnal-jurnal penelitian.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada makalah ini adalah :
BAB I : Pendahuluan
A. Latar belakang
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
C. Ruang lingkup penulisan
D. Metode penulisan
E. Sistematika penulisan
BAB II: Tinjauan Teori : primary assessment, secondary assessment, focused
assessment, diagnostic procedure.
BAB III : Pembahasan dan format pengkajian gawat darurat pada pasien
dewasa
BAB IV : Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB II
TINJAUAN TEORI
Perawatan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak
berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa,
pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan
dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung
memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap
pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) :
1. Primary survey
2. Resuscitation
3. History
4. Secondary survey
5. Definitive care
A. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan
manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang
dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
Airway maintenance dengan cervical spine protection
Breathing dan oxygenation
Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
Disability-pemeriksaan neurologis singkat
Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey
bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah
berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan
berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai
sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway,
circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu
dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey
perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen.
Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian
diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang
melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009) :
a) General Impressions
Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)
b) Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa
responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada
atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara
dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang
tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang
belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai
terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas dengan bebas?
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
Adanya snoring atau gurgling
Stridor atau suara napas tidak normal
Agitasi (hipoksia)
d) Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia,
takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan
penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda
hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk
mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk
B. Secondary Assessment
Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan
secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya
dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok
atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1. Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang
merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi
keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat
keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007).
Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari
pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi
pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang
terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang
dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai
cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman:
cedera wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai
bawah.
b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur
servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien
dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :
2. Pemeriksaan fisik
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari
bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh
kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio,
fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit
kepala (Delp & Manning. 2004).
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan
dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa
mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata
selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil
apakah isokor atau anisokor serta bagaimana reflex
cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus
dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau
adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta
diplopia
2) Hidung :periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan)
lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu
fraktur.
3) Telinga : periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter
mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya
hemotimpanum
d. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan
Belakang untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet,
memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan
kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada,
penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks
bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan
irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
Palpasi : seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,
emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya
pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra
dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala
defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian
depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya
perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar,
ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan
stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan,
nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan
atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas
yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra
abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal
lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen
misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera
karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan
transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118,
2010).
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis
(Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam,
lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur
g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi
distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas
fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam
ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin
luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau
kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan,
edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis,
atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya
clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik
kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada
saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010).
Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi,
dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya
deformitas.
i. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.
Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.
C. Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian
pada area keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey,
secondary survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan
pemeriksaan obyektif (Head to toe). Di beberapa negara bagian Australia
mengembangkan focused assessment ini dalam pelayanan di Emergency
Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa Negara
Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan istilah
Definitive Assessment (O’keefe et.al, 1998).
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa
dilakukan sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury
ditemukan. Yang paling banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa
D. Reassessment
E. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika
penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam
melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan
diagnostik yang lebih spesifik seperti :
1) Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien
dengan perdarahan dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi
kita bisa mngethaui perdarahan yang terjadi organ dalam.
Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95% pasien
dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat
ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi
dan sumber perdarahan yaitu:
a. Esofagus :Varises,erosi,
ulkus,tumor
b. Gaster :Erosi,
ulkus, tumor, polip, angio displasia,
Dilafeuy, varises gastropati kongestif
c. Duodenum :Ulkus,
erosi,
2) Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat
keadaan intra bronkus dengan menggunakan alat bronkoskop.
Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini dapat menilai lebih
baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi
infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-camping.
Teknik ini juga dapat menilai penyempitan atau obstruksi akibat
kompresi dari luar atau massa intrabronkial, tumor intra
bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya
pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina
yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening
subkarina atau intra bronkus (Parhusip, 2004).
3) CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada
kasus-kasus emergensi seperti emboli paru, diseksi aorta, akut
abdomen, semua jenis trauma dan menentukan tingkatan dalam
stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan
memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah
penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai
kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-
scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik,
dan menjadi baku emas dalam diagnosis stroke (Widjaya,
2002). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat mendeteksi kelainan-
kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-kelainan
tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan
khususnya kelainan pembuluh darah, jantung (koroner), dan
pembuluh darah umumnya (seperti penyempitan darah dan
ginjal (ishak, 2012).
4) USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif
menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas
20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran
struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar
gelombang suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5
sampai dengan 14 kilohertz digunakan untuk diagnostik.
Gelombang suara dikirim melalui suatu alat yang disebut
transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan
kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh
suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis
dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup tergantung dari
rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat
menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi,
empat dimensi dan berwarna. USG bisa dilakukan pada
abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011)
5) Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang
yang dilakukan di ruang gawat darurat. Radiologi merupakan
bagian dari spectrum elektromagnetik yang dipancarkan akibat
pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari
suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-
elektron tersebut melintasi pasien dan menampilkan film
radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian besar radiasi
menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film
yang dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit
menyerap radiasi, meyebabakan pejanan pada film maksimal
BAB III
PEMBAHASAN
status pasien secara akurat dan dapat memperkirakan hasil secara efektif (Lyer,
P.W., Camp, N.H.,2005). Pada pasien injury diperlukan penatalaksanaan yang
agak berbeda dimana pengkajian, diagnose, dan tindakan dilakukan secara
bersamaan (Fulde, 2009). Pada pengkajian awal pada pasien dengan trauma,
apabila terdapat multiple injury maka dilakukan pemeriksaan head to toe secara
cepat, akan tetapi jika jika tidak multiple maka segera lakukan focused assesment,
Pemeriksaan umum dapat dilakukan secara bersamaan dengan
pemeriksaan utama, seperti tingkat kesadaran, kualitas bicara, organisasi pikiran,
dan tampilan umum. Satu aspek yang penting dari pengkajian adalah
pembentukan hubungan terapeutik. Perawat harus memberikan privasi ketika
berbicara dengan pasien, dan ia harus menggunakan sentuhan dan penjelasan
verbal untuk meyakinkan pasien sebelum melakukan pemeriksaan dan prosedur.
Perawat Triase atau staf EMS mengirim pasien ke area pengobatan
perawat utama yang bertanggung jawab untuk perawatan individu selama berada
di UGD. Yang harus dimasukkan dalam perawatan dan harus dilakukan oleh
perawat utama adalah pengkajian pasien yang tepat waktu dan penetapan bukti
tertulis pengkajian fisik lengkap pada setiap pasien. Tetapi, hal ini tidak berarti
bahwa perawat harus melakukan pengkajian fisik lengkap pada pasien. Eksplorasi
patofisiologi terkait dan riwayat sebelumnya, selanjutnya dokumentasikan juga
keluhan utama dan pengkajian tanda vital.
Prioritas pengkajian lainnya berkenaan dengan pasien trauma.
Pemeriksaan utama ABCD (airway, breathing, circulation, disability) harus dikaji
dan didokumentasikan pada saat kedatangan sebagai data dasar dan harus
mencerminkan konsistensi di semua pengkajian medis dan keperawatan.
Pengkajian mekanisme cedera juga merupakan hal yang sangat penting. Dalam
hal ini petugas EMS juga sangat membantu. Informasi ini akan sangat
menghemat waktu dan menyelamatkan kehidupan dengan mengarahkan fokus
klinis ke struktur internal dan sistem tubuh yang paling rentan terhadap jenis
cedera tertentu (Lyer, P.W., Camp, N.H.,2005). Pengkajian di UGD dirancang
untuk mengenali kegawatdaruratan yang mengancam kehidupan dan
mengumpulkan cukup data untuk menentukan prioritas perawatan dalam waktu
yang sangat sempit. Setiap saat, dan untuk setiap pasien, perawat gawat darurat
diharapkan untuk memperoleh dan mengkomunikasikan temuan yang tepat,
termasuk abnormalitas, pemburukan gejala, atau perubahan tingkat keakutan agar
dapat dilakukan penatalaksanaan pasien lebih lanjut
Perawat gawat darurat memberikan perawatan pada seluruh populasi
termasuk orang dewasa yang memiliki beragam pengalaman episodic, tiba-tiba,
potensial, mengancam kesehatan jiwa atau kondisi psikososial (Curtis, Murphy,
Hoy, dan Lewis, 2009). Untuk itu diperlukan pengetahuan yang dalam dan
pengalaman klinik dalam memberikan perawatan dalam seluruh rentang
kehidupan dan mengelola situasi kegawatdaruratan walaupun dalam situasi yang
ramai dan memerlukan penggunaan teknologi yang kompleks (Curtis, Murphy,
Hoy, dan Lewis, 2009). Menurut Fulde (2009) memberikan gambaran mengenai
penatalaksanaan yang harus dilakukan pada pasien yang mengalami injuri, antara
lain; primary survey, resusitasi, history dan secondary survey. Pada secondary
survey yang membedakan antara trauma dan non trauma adalah isi atau content
dari prtanyaan yang ditanyakan atau dikaji, contohnya pada pemeriksaan thoraks
jika non trauma maka kita mengkaji adakah jejas?, adakah krepitasi sedangkan
pada non trauma yang kita kaji adalah adakah suara nafas tambahan, suara bising
jantung, adakah penggunaan pace maker. Sedangkan Curtis, Murphy, Hoy, dan
Lewis (2009) yang menyampaikan bahwa diperlukan pendekatan yang sistematis
dalam melakukan pengkajian pada pasien di unit gawat darurat, antara lain;
pengkajian riwayat kesehatan (history), potensial “bendera merah” (potensi kritis),
pemeriksaan fisik, investigasi dan intervensi keperawatan. Pada gambar 1 dapat
dilihat model pendekatan sistematik pada pengkajian pasien dan manajemen di
UGD. Langkah-langkah tersebut dapat dilakukan bersamaan dan evaluasi disertai
pengkajian ulang sangat penting dilakukan sebagai kunci dalam proses
keperawatan (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009).
sosial. Langkah kedua adalah pengkajian kritis (potential red flag) yang bertujuan
menentukan keakutan dari penyakit pasien dan kebutuhan tindakan yang segera
berdasarkan kombinasi tanda klinis dan faktor riwayat. Langkah ketiga adalah
pengkajian klinis yang mengikuti mnemonic ABCD (Airway, Breathing,
Circulation dan Disability/Neurological function). Pada langkah ketika ini,
intervensi dapat segera dilakukan jika ditemukan ancaman kematian pada salah
satu elemen pengkajian ini, misalnya; jika ditemukan ketidakadekuatan
pernafasan yang diperlukan ventilator maka akan difokuskan pada pengkajian
pernafasan sebelum dilanjutkan ke pengkajian sirkulasi. Selanjutnya tahap
keempat adalah investigasi yang merupakan suatu tindakan dalam pemeriksaan
diagnostik dan tes laboratorium untuk mengidentifikasi perawatan definitive yang
tepat. Langkah kelima sebagi langkah terakhir adalah intervensi keperawatan yang
dilakukan bersamaan dengan pengkajian keperawatan. Hal tersebut didasarkan
pada proses keperawatan yang interaktif dan non linear dimana banyak tindakan
yang akan terjadi secara simultan, misalnya ketika mengkaji pasien yang baru tiba
di UGD, sambil menggunakan pakaian pelindung dan alat pelindung diri lainnya
maka akan dilakukan juga pengkajian riwayat penyakit yang dialami (Curtis,
Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009). Pengkajian ulang dilakukan sebagai respon
pasien terhadap intervensi keperawatan yang diberikan dan potensial kerusakan
yang akan terjadi melalui komunikasi secara tertulis dan verbal dari langkah
pertama.
Berdasarkan dari berbagai format pengkajian yang disampaikan diatas dan
tinjaun teori, kami merangkum bentuk pengkajian keperawatan gawat darurat
untuk orang dewasa. Pengkajian keperawatan gawat darurat ini dapat dilakukan
oleh perawat UGD dengan mudah dan singkat dalam situasi UGD yang krodit.
Pengkajian ini dilengkapi dengan diagnosa keperawatan dan intervensi
keperawatan yang akan dilakukan pada situasi kegawatdaruratan. Pada lampiran 1
dapat dilihat pengkajian keperawatan gawat darurat pada orang dewasa
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa terdiri dari primary
assessment, secondary assessment, focused assessment, dan diagnostic
procedure.
2. Konsep primary assessment merupakan proses evaluasi awal yang
sistematis dan penanganan segera pada pasien dewasa yang mengalami
kondisi gawat darurat, yang meliputi Airway maintenance, Breathing dan
oxygenation, Circulation dan kontrol perdarahan eksternal, Disability-
pemeriksaan neurologis singkat dan Exposure dengan kontrol lingkungan.
3. Konsep secondary assessment yang membahas mengenai proses
anamnesis dan pemeriksaan fisik head to toe untuk menilai perubahan
bentuk, luka dan cedera yang dialami pasien dewasa.
4. Konsep Focused assessment yang membahas mengenai beberapa
komponen apengkajian terfokus yang penting untuk melengkapi primary
survey pada pasien dewasa di gawat darurat.
5. Pemeriksaan diagnostik yang dibutuhkan untuk melengkapi proses
pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa, yang meliputi : Endoskopi,
bronkoskopi, CT scan, USG, dll.
6. Perbedaan proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa dengan
kondisi trauma dan non trauma adalah pada isi pertanyaan yang ditanyakan
(content) pada saat melakukan anamnesis dan pemeriksaan head to toe
yang dilakukan.
B. Saran
Pada proses pengkajian gawat darurat pada pasien dewasa bisa menggunakan
format pengkajian yang telah disusun oleh kelompok sehingga bisa
membantu pengumpulan data terkait keluhan dan kondisi pasien serta
mempercepat pemberian penanganan pada pasien secara tepat
No. Rekam Medis ... ... ... Diagnosa Medis ... ... ...
IDENTITAS
Mekanisme Cedera :
Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) : Baik Tidak Baik, ... ... ...
Diagnosa Keperawatan:
AIRWAY
Inefektif airway b/d … … …
PRIMER SURVEY
Diagnosa Keperawatan:
1. Penurunan curah jantung b/d …
……
CIRCULATION
2. Inefektif perfusi jaringan b/d …
……
Diagnosa Keperawatan:
1. Kerusakan integritas jaringan b/d
………
EXPOSURE 2. Kerusakan mobilitas fisik b/d …
……
3. … … …
Diagnosa Keperawatan:
1. Regimen terapiutik inefektif b/d
………
ANAMNESA
2. Nyeri Akut b/d … … …
3. … … …
Intervensi :
1. … … …
2. … … …
Alergi :
Medikasi :
SECONDARY SURVEY
Even/Peristiwa Penyebab:
Tanda Vital :
BP : N: S: RR :
PEMERIKSAAN FISIK Diagnosa Keperawatan:
1. … … …
2. … … …
Diagnosa Keperawatan:
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. … … …
2. … … …
RONTGEN CT-SCAN USG EKG Kriteria Hasil : … … …
ENDOSKOPI Lain-lain, ... ...
Intervensi :
1. … … …
Hasil : 2. ………
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors.
instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.
Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing
assessment process: a structured framedwork for a systematic approach.
Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136
Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK.
UNPAD. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013.
Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use
among aults aged 18-64: early release of estimates from the national health
interview survey, January-June 2011. Diakses pada tanggal 28 April 2013,
dari
http://www.cdc.gov/nchs/data/nhis/earlyrelease/emergency_room_use_janu
ary-june_2011.pdf
Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with
medical emergency team (MET) guidelines. Diakses pada tanggal 28 April
2013, dari
http://www.ihi.org/knowledge/Pages/Tools/NursingAssessmentFormwithME
TGuidelines.aspx.
Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen
Publication.
O’keefe, M.F.,Limmer D., Grand, H.D., Murray, R.H., Bergebon J.D., (1998).
Emergency Care, eighth Ed., New Yersey, Prentice Hall. Inc. A. Simon &
Schuster Co.
The National Institue for Health and Clinical Excellence. (2007). Head injury:
triage, assessment, investigation and early management of head injury in
infant, children and adults. London: The National Institue for Health and
Clinical Excellence
Thygerson, Alton. (2006). First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati
Hartantnto. Ed. Rina Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.