Anda di halaman 1dari 7

HUBUNGAN ANTARA FOMO DENGAN KECANDUAN MEDIA SOSIAL

TIKTOK PADA REMAJA

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia, menghubungkan
masa kanak – kanak dan masa dewasa (Santrock, 2003). Masa remaja disebut pula sebagai
masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.
Pada periode ini terjadi perubahan – perubahan besar dan esensial mengenai kematangan
fungsi - fungsi rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual (Kartono, 1995). Remaja,
yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescare yang
artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Rentang usia remaja adalah
12 tahun sampai 22 tahun menurut beberapa ahli. Karakteristik yang bisa dilihat adalah
adanya banyak perubahan yang terjadi baik itu perubahan fisik maupun psikis. Pada fase
ini pencapaian identitas diri sangat menonjol, pemikiran semakin logis, abstrak, dan
idealistis. Periode ini disebut fase pubertas (puberty) yaitu suatu periode dimana
kematangan kerangka atau fisik tubuh seperti proporsi tubuh, berat dan tinggi badan
mengalami perubahan serta kematangan fungsi seksual yang terjadi secara pesat terutama
pada awal masa remaja.

Media sosial adalah sebuah media online yang para penggunanya dapat dengan
mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isu meliputi blog, jejaring sosial, Wiki,
forum, dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial, dan Wiki merupakan bentuk yang paling
umum digunakan masyarakat di seluruh dunia. (Kaplan & Haenlein, 2012) mendefinisikan
media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun di atas
dasar ideologi dan teknologi web yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user
generated content (Agustriana, 2019). Setiap tahunnya para pencipta teknologi berusaha
melahirkan inovasi – inovasi terbaru dengan memasukan fitur – fitur menarik kedalam
media sosial yang dapat bersaing dan menjadi media sosial unggulan dari pada media
sosial lainnya. Sebut saja seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, dan masih
banyak lagi media sosial yang menawarkan kecanggihan – kecanggihan fitur dari setiap
aplikasi mereka demi menarik para peminat media sosial. Tidak hanya digunakan
sebagai media berkomunikasi dan menyebarkan informasi, beberapa media sosial

1
sengaja diciptakan sebagai media yang dapat menghibur penggunanya. Saat ini banyak
sekali aplikasi media sosial yang diciptakan dengan tujuan menghibur, baik aplikasi
berbasis game, audio, visual maupun audio visual. Contohnya adalah aplikasi TikTok yang
cukup populer di Indonesia (Hayati, 2020).

Di Indonesia hadirnya tiktok dimulai september 2017, kehadiran TikTok di Indonesia


diterima sangat baik, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia terutama
Kawasan Asia. Pada tahun 2018, pengguna aktif aplikasi TikTok tercatat mencapai 150
juta, pada tahun 2018 jumlah unduhan aplikasi TikTok sebanyak 131,5 juta atau 398,7%,
sedangkan di Indonesia mempunyai 10 juta pengguna aktif bulanan. Pada tahun 2019
terjadi peningkatan unduhan aplikasi TikTok dari seluruh dunia yaitu totalnya mencapai
738,5 juta kali. Angka tersebut meningkat 12,6% dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Aplikasi TikTok banyak diunduh hingga 219 juta kali pada tahun 2019, tertinggi sejak
diterbitkan (Menkominfo, 2018). Aplikasi TikTok ini sudah banyak disukai oleh kalangan
remaja, terutama kalangan remaja akhir daripada remaja awal karena remaja awal lebih
menghabiskan waktu di aplikasi game online dibandingkan menggunakan aplikasi TikTok
dan penggunaan aplikasi TikTok memiliki batasan usia untuk menggunakan aplikasi
tersebut. Dan remaja akhir itu lebih sering menggunakan dan menghabiskan waktu untuk
membuat konten berjam – jam di aplikasi TikTok dibandingkan bermain game online,
karena dari membuat video tersebut di aplikasi TikTok bisa menghasilkan uang. Menurut
Mappiare (1982) usia remaja menurut teoritis dan empiris dari segi psikologis yaitu
rentangan usia pada remaja awal berada diantara usia 12 tahun hingga 17 tahun dan masa
remaja akhir berada antara usia 17 tahun hingga 22 tahun. Banyak remaja tersebut dapat
membuat video dengan bergoyang - goyang yang diiringi oleh musik remix yang terkini
yang membuat remaja merasa terhibur (Pribando, 2018).

Pada artikel ini hanya akan berfokus pada remaja yang menggunakan media sosial
TikTok saja, dikarenakan berdasarkan hasil data artikel di atas menunjukkan bahwa media
sosial TikTok merupakan media sosial yang paling populer di kalangan remaja saat ini.
Media sosial TikTok berasal dari Cina dan diluncurkan pada bulan September (Zhang
Yiming, 2016). Menurut Safitri (2020) menjelaskan bahwa memang sebagian besar
pengguna terbanyak media sosial TikTok merupakan remaja yang sedang mencari jati
dirinya. Remaja yang menggunakan media sosial ini cenderung berlomba – lomba
mendapatkan pengikut, like, dan jumlah penonton sebanyak – banyaknya pada setiap
konten yang mereka buat. Aplikasi TikTok merupakan aplikasi yang memberikan suatu

2
efek spesial yang unik serta menarik yang bisa digunakan oleh penggunanya dengan sangat
mudah, sehingga pengguna aplikasi ini dapat membuat video dengan hasil yang keren dan
memuaskan yang dapat dipamerkan pada teman – teman atau pengguna lainnya, aplikasi
ini juga memiliki dukungan musik yang sangat banyak sehingga penggunanya bisa
melakukan penampilannya dengan adanya tarian, gaya bebas dan masih banyak lagi yang
bisa dilakukan dari aplikasi TikTok ini (Djulaeka, 2019). Aplikasi TikTok mempunyai
beberapa macam dampak negatif diantaranya membuang – buang waktu dalam membuat
satu video untuk TikTok serta mengarahkan seseorang untuk melakukan tindakan bullying
dan pelecehan (Aheniwati, 2019; Damayanti & Gemiharto, 2019).

Remaja yang menggunakan aplikasi TikTok untuk mengolok – olok orang, komunitas,
agama, ras hingga body shaming, mengarahkan kepribadian anti-sosial atau kurangnya
interaksi sosial yang diakibatkan dari kecanduan bermain TikTok, serta membuat remaja
menjadi anti-sosial, dan insomnia (Arsriani & Darma, 2013; Hidajat dkk., 2015). Selain
itu aplikasi TikTok juga memberikan dampak positif ialah dapat melatih diri remaja untuk
mengasah skill editing dalam membuat video dan konten – konten yang bermanfaat
(Fauziah, 2019). Dan selain itu, TikTok juga sebagai sumber informasi dan menjadikan
mereka mendapatkan teman – teman baru dan komentar yang positif sehingga memotivasi
mereka untuk membuat konten pada media sosial TikTok. Menurut Pratama dan Muchlis
(2020) menyatakan bahwa aplikasi TikTok untuk merekam dan menyajikan kreativitas
serta momen berharga dari seluruh penjuru dunia melalui ponsel. Banyak remaja
menggunakan aplikasi TikTok dengan membuat video pendek yang berdurasi 15 detik
atau 60 detik hingga 3 menit sampai 10 menit sehingga remaja bisa menggunakan aplikasi
TikTok hingga lebih dari 5 jam per hari. Menurut Young (1996) mengatakan bahwa
seseorang yang mengalami kecanduan media sosial akan menggunakan waktu online lebih
dari 5 jam per hari, sementara bagi pengguna yang tidak mengalami kecanduan hanya
menggunakan media sosial kurang dari 5 jam per hari.

Menurut Van Den 4 Eijnden, dkk. (2016), kecanduan media sosial memiliki kriteria
yang dimana terdapat dalam buku DSM-5, dapat digunakan untuk kecanduan media sosial.
Terdapat 9 kriteria antara lain; Keasyikan dengan media sosial, penggunaan media sosial
merupakan aktivitas paling dominan dalam kehidupan sehari – hari. Serangkaian gejala
fisik maupun psikis yang dialami oleh individu pada saat tidak menggunakan media sosial.
Toleransi, kebutuhan yang meningkat untuk terus terlibat atau menggunakan media sosial.
Usaha yang gagal dalam mengontrol penggunaan media sosial. Kehilangan minat untuk

3
menjalankan hobi sebelumnya. Terus menggunakan media sosial secara berlebihan
meskipun memiliki pengetahuan tentang masalah psikososial. Menipu keluarga, terapis,
atau orang lain terkait jumlah penggunaan media sosial. Menggunakan media sosial untuk
lari dari masalah ataupun perasaan – perasaan yang negatif. Telah membahayakan atau
kehilangan hubungan, pekerjaan, pendidikan, atau peluang karir karena penggunaan media
sosial. Kecanduan merupakan suatu keterlibatan secara terus – menerus dengan sebuah
aktivitas meskipun hal – hal tersebut mengakibatkan konsekuensi negatif (Laili, M. &
Nuryono, 2015) untuk diunggah ke aplikasi tersebut dan di share ke media sosial lainnya
tersebut. Kecanduan yang diteruskan terus – menerus akan berdampak pada perkembangan
motorik remaja. Remaja yang sudah memiliki riwayat kecanduan media sosial mereka
tidak akan bisa lepas dari penggunaan saat ini yaitu aplikasi TikTok. Remaja akan
meluangkan waktunya untuk melihat aplikasi TikTok (Aheniwati, 2019; Sari dkk., 2021;
Utami, 2021).

Kecanduan media sosial aplikasi TikTok merupakan suatu kondisi dimana individu
merasakan ketergantungan terhadap suatu hal yang disenangi pada berbagai kesempatan
yang ada akibat kurang kontrol terhadap perilaku sehingga merasa terhukum apabila tidak
memenuhi hasrat dan kebiasaannya, kecanduan tidak hanya terdapat zat saja tapi juga
aktivitas tertentu yang dilakukan berulang – ulang dan timbul dampak negatif (Cahyono,
2016; Dini, 2021; Jani & Weismann, 2021). TikTok menjadi salah satu media sosial
terbesar berdasarkan penggunanya, melebihi media sosial lain yang sudah lama ada
sebelum TikTok seperti Snapchat, Pinterest, dan Twitter. Dengan banyak sekali konten
yang menarik di dalam media sosial TikTok, kemungkinan besar waktu yang dihabiskan
individu dalam penggunaan media sosial TikTok tentunya besar. Individu tidak dapat
mengontrol penggunaan dari media sosial, sehingga waktu penggunaannya meningkat dan
dapat menyebabkan kecanduan media sosial pada TikTok (Aprilia, Sriarti, dan Hendrawati,
2018). Remaja yang tidak mampu memanajemen waktunya maka akan menjadi kecanduan
dan menimbulkan perilaku yang negatif. Tujuan dan waktu penggunaan media sosial pada
TikTok pun akan menentukan sejauh mana remaja akan mengalami kecanduan media
sosial, terutama dikaitkan terhadap banyaknya waktu yang dihabiskan sendirian di depan
smartphone atau komputer. Hal ini diakibatkan tujuan penggunaan media sosial aplikasi
TikTok buka digunakan sebagai upaya untuk mengatasi atau melarikan diri dari masalah –
masalah yang dihadapi di kehidupanya (Ngafifi, 2014; Rahmayani dkk., 2021; Setiadi,
2016; Wandi, 2020).

4
Individu terus ingin terhubung dengan individu lain, bahkan tidak ingin melewatkan
momen sekecil apapun, hal ini dapat memicu agar dapat terus menghabiskan waktunya
untuk menggunakan smartphone yaitu karena semakincanggihnya perkembangan aplikasi
yang disediakan oleh smartphone, salah satunya ialah media sosial pada TikTok (Lee Cho,
2015) Sedangkan, apabila muncul perasaan takut dan tertinggal pada diri individu akan
suatu informasi yang up to date yang muncul di media sosial itu biasa disebut fear of
missing out JWT Intelligence (dalam Mudrikah 2019). Fear of missing out merupakan
salahsatu faktor penyebab individu mengalami kecanduan media sosial. Penelitian yang
dilakukan oleh Blackwell, Leaman, Tramposch, Orborne, dan Liss (2017) menemukan
bahwa fear of missing out secara signifikan berpengaruh terhadap kecanduan media sosial.
Sejalan pula dengan hasil penelitian yang di lakukan oleh Hariadi (2018) yang juga
menemukan bahwa fear of missing out mempengaruhi kecanduan media sosial pada remaja
secara signifikan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fuster, Carbonell, Pontes, &
Griffiths (2017) menjelaskan apabila membuka jejaring sosial menggunakan gadget dan
menimbulkan kecanduan, hal tersebut sangat berhubungan dengan fear of missing out
(FoMO).

Menurut Przyblylski, Murayama, Dehaan dan Gladwell (2013) mendefinisikan FoMO


sebagai munculnya perasaan khawatir yang bersifat pervasif apabila dirasa orang lain
mempunyai pengalaman yang lebih berharga dan memuaskan. FoMO memiliki ciri yaitu
muncul dorongan agar dapat selalu terhubung pada kegiatan yang dilakukan oleh orang
lain. konstruk psikologis yang paling erat hubungannya dengan kesalahan dalam
pemakaian gadget dan media sosial yang berlebih ialah fear of missing out (Przblylski,
dkk, 2013). Sejalan dengan Elhai, Levine, Dvorak dan Hall (2016) yang menjelaskan
bahwa ketika individu melakukan kesalahan dalam menggunakan gadget sehingga
menimbulkan munculnya rasa cemas, terlebih apabila dilakukan dengan frekuensi yang
berlebih maka akan dapat menimbulkan depresi, dan FoMO. Sedangkan menurut JWT
Intelligence (2012) fear of missing out (FoMO) ialah perasaan takut yang dialami individu
ketika menyadari orang lain mungkin sedang melakukan kegiatan atau peristiwa yang
menyenangkan, akan tetapi individu yang merasakan ketakutan itu tidak ikut serta dalam
kegiataan tersebut.

JWT Intelligece (2012), menjelaskan bahwa terdapat enam hal yang dapat memicu

5
munculnya FoMO, salah satu pendorong terjadinya FoMO ialah semakin radikalnya
transparasi waktu yang ada pada media sosial yang menjadikan seseorang terus ingin tahu
hal – hal terbaru yang dilakukan oleh orang lain, dan menunjukkan dimana orang lain
berada. Ciri dari FoMo adalah rasa takut akan tertinggal informasi atau merasa kurang
terupdate akan hal – hal baru yang kekinian. Sehingga individu yang mengalami FoMO
memiliki kecenderungan kecanduan media sosial. Pernyataan ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Marlina (2017), di mana terdapat hubungan positif antara fear of
missing out dengan kecanduan media sosial. Ketakutan individu akan kehilangan momen
berharga, pada saat individu tersebut tidak dapat hadir di dalamnya dikenal sebagai fear
of missing out (FoMO). Hal ini ditandai dengan adanya keinginan individu untuk terus
terhubung dengan individu lainnya (Przybylski, Murayama, Dehaan, & Gladwell, 2013).

Hasil penelitian dari Fathadhika dan Afriani (2018), menunjukkan bahwa risiko
kecanduan media sosial TikTok mempunyai hubungan yaitu semakin besar kekhawatiran
remaja akan kehilangan momen dalam media sosial. Hasil penelitian Hariadi (2018),
menemukan bahwa fear of missing out mempengaruhi kecanduan media sosial pada remaja
secara signifikan. Hasil penelitian Aisafitri dan Yusriyah (2021), menemukan bahwa
kecanduan media sosial TikTok memiliki dampak positif dan negatif pada kehidupan
sehari – hari. Dan Hasil penelitian Blackwell, Leaman, Tramposch, Orborne, dan Liss
(2017), mengatakan bahwa terdapat adanya fear of missing out secara signifikan
berpengaruh terhadap kecanduan media sosial. Dari berdasarkan kepentingan penelitian
tersebut, maka dari itu perumusan masalah dari peneliti ajukan apakah terdapat hubungan
antara fear of missing out dengan kecanduan media sosial terhadap pengguna aplikasi
TikTok?

B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk melihat adakah terdapat hubungan antara fear of
missing out dengan kecanduan media sosial pada remaja pengguna aplikasi TikTok.

C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara
praktis, seperti:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi secara


teoritis mengenai hubungan antara fear of missing out dengan kecanduan media

6
sosial pada TikTok terhadap remaja sehingga dapat mendukung pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya ilmu Psikologi Sosial. Selain itu, penelitian ini diharapkan
juga dapat menjadisaah satu referensi bagi peneliti lain yang akan melakukan dengan
tema yang serupa.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfat bagi:
a. Bagi Remaja
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta
pemahaman mengenai hubungan antara fear of missing out dengan
kecanduan media sosial TikTok terhadap remaja untuk kedepannya
menggunakan media sosial pada TikTok dengan bijaksana, sehingga tidak
akan timbul patologi berupa kecanduan media sosial dan fear of missing out.
Serta diharapkan agar menjadi acuan terhadap remaja agar mengetahui
seberapa besar hubungan fear of missing out terhadap kecanduan media
sosial.
b. Bagi Orang Tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan
dan memberikan pemahaman bagi para orang tua terhadap anaknya yang
bermain media sosial TikTok mengenai fear of missing out akibat kecanduan
media sosialTikTok, sehingga anak mampu mengontrol dirinya untuk tidak
terlalu larut dalam bermain TikTok.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan dapat
dikembangkan bagi peneliti lain yang melakukan penelitian berikutnya untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai